• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA PELAKU PENGEDAR OBAT KERAS DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 1440 K/Pid.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINDAK PIDANA PELAKU PENGEDAR OBAT KERAS DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 1440 K/Pid."

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA PELAKU PENGEDAR OBAT KERAS DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

(Analisis Putusan Nomor: 1440 K/Pid.Sus/2016)

Skripsi

Di ajukan kepada Fakultas Syariah & Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun oleh :

Muhammad Chairil Amin Hatuala NIM : 11140450000049

PROGRAM STUDI HUKUM HUKUM PIDAMA ISLAM (JINAYAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDATULLAH

JAKARTA 1441 H / 2020 M

(2)
(3)

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Pelaku Pengedar Obat Keras Dalam Hukum

Pidana Positif dan Hukum Islam (Analisis putusan no : 1440 K/Pid.Sus/2016)”, telah

diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 September 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Hukum Pidana Islam.

Jakarta, 30 September 2020 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.A., M.H. NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Qasim Arsadani, M.A. (...) NIP. 196906292008011016

Sekrertaris : Mohamad Mujibur Rohman, M.A. NIP. 197604082007101001

(...)

Pembimbing : Mustholih, S.Hi, MH.,CLA NIP.

(...)

Penguji I : Dr. Nahrowi, SH., M.H. (...) NIP. 197302151999031002

Penguji II : Fathudin,S.Hi, S.H., M.Hum NIP. 198506102019031007

(4)
(5)

iv

ABSTRAK

Muhammad Chairil Amin Hatuala. NIM 11140450000049. TINDAK PIDANA PELAKU PENGEDAR OBAT KERAS DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 1440 K/Pid.Sus/2016). Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2020 M. 63 Halaman.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan perkara pengedaran obat keras khususnya yang dilakukan oleh Terdakwa. Anton Kurniawan alias Mas Aan bin Kabul. Kejahatan pengedaran obat keras merupakan tindak pidana yang sangat berbahaya, apalagi diedarkan secara bebas dapat mengakibatkan rusaknya generasi bangsa itu sendiri serta merugikan masyarakat. Hal inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian terhadap putusan Nomor 1440 K/Pid.Sus/2016.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat analisis deskriptif, dengan pendekatan yuridis normative. Dengan objek penelitian peraturan perundang-undangan yang dikaitkan dengan teori-teori hukum. Demikian juga hukum dalam pelaksaannya di dalam masyarakat, yang berkenaan dengan objek penelitian.

Dari semua uraian yang ada, maka kesimpulan seseorang melakukan tindak pidana pengedaran obat keras karena faktor ekonomi dan juga lingkungan. Hukum positif telah mengatur bahwa tindak pidana pengedaran obat keras yakni dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Sementara pandangan hukum Islam terkait pemidanaan terhadap pelaku pengedar obat keras memang tidak dijelaskan secara khusus jarimahnya dalam Al- qur’an maupun Hadist untuk dikenai

Had, Qisas, Diyat. Namun dalam hukum Islam pengedaran obat keras termasuk dalam jarimah ta’zir berdasarkan kemaslahatan, sedangkan pelaksanaannya diserahkan

dalam ijtihad para hakim. Jarimah ta’zir dapat dikatakan adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada Ulil Amri, baik penentuan maupun pelaksanaannya dalam melaksanakan hukuman tersebut. Artinya pembuat Undang-undang tidak mengatur hukuman untuk masing-masing ta’zir, melainkan hanya menetapkan sekumpulan hukum dari yang seringan-ringannya sampai seberat-beratnya dimana hakim dapat memilih diantara hukuman-hukuman tersebut.

Kata Kunci: Pengedaran obat keras, Sanksi Pidana. Pembimbing: Mustolih Siradj S.H,M.H,C,L.A

(6)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan

rahmat dan hidayahnya sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa ummatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang dan semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak.

Selanjutnya proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MH., MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak H.Qosim Arsadani,S.Ag, M.Ag, selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan Bapak Mujibur Rahman, M.A., selaku sekretaris Program Studi Hukum Pidana Islam.

4. Dr.Ismail Hasani,SH.,MH, selaku Pembimbing Akademik.

5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan kepustakaan berupa buku dan literatur lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.

6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis dalam masa pendidikan berlangsung.

7. Dosen Pembimbing yakni Bapak Mustolih Siradj S.H,M.H,C,L.A yang telah banyak meluangkan waktu kesibukannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(7)

vi

8. Terimakasih kepada Ayahanda Umar Hatuala dan Aisyah Malawat, yang dengan tulus, penuh kasih sayang dan perhatian selama ini, dan juga untuk motivasi yang telah Bapak dan Ibu berikan kepada penulis.

9. Terimakasih untuk Aslamiyah Hatuala dan Muhammad Zaini Hatuala yang terus menerus memberikan semangat dan mendoakan penulis untuk mengerjakan skripsi ini.

10. Terimakasih untuk teman-teman seperjuangan Hukum Pidana Islam yang telah menemani penulis selama proses belajar di kelas maupun di luar kelas yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu per-satu, terlebih untuk Ferdiansyah Ramadhan, Halimah Nurmayanti, dan juga Hariri Lubis

11. Terimakasih untuk teman-teman Pejuang Kampus, Muhammad Imam Fahmi, Kakanda Andika Bachtiar, Khusnus Sya’bani, H.Wawan Kurniadi, Nurriza Septiani, Izhar Syafawi, Bella Putri dan juga Nauval faza yang selalu menemani penulis selama mengerjakan skripsi ini

12. Terimakasih kepada sabahat penulis Alm.Gilang Pragi Waksana, H.Ali Hamzah, Ridho Ilahi dan juga Rizki Fani Pical yang selalu menemani dan memotivaasi penulis selama mengerjakan skripsi ini

13. Terakhir saya ucapkan terimakasih kepada organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Khususnya Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum (Komfaksy) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan penulis dalam berorganisasi dan berpolitik.

Semoga segala do’a, dukungan dan bantuan yang telah diberikan menjadi ladang pahala kelak di yaumul akhir, dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi khususnya dan untuk seluruh ummat manusia pada umumnya, Amin Ya Rabbal

Aalamin.

Jakarta, 04 September 2020

(8)

vii

DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN …... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Kajian Review Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENGEDARAN OBAT KERAS DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM... 10

A. Pengertian Tindak Pidana ... 10

B. Teori Pemidanaan ... 14

C. Unsur-unsur Tindak Pidana ... 16

D. Hal-hal yang Menghapuskan Perbuatan Pidana ... 19

E. Teori Pemberatan Pidana ... 22

(9)

viii

BAB III TINDAK PIDANA PELAKU PENGEDAR OBAT KERAS DAFTAR

G ... 30

A. Pengertian dan Jenis-jenis Obat Keras Daftar G ... 30

B. Faktor Terjadinya Pengedaran Obat Keras ... 31

C. Sanksi Terhadap Pelaku Pengedar Obat Keras ... 32

BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN KASUS TERHADAP PELAKU PENGEDAR OBAT KERAS (Analisis Putusan No 1440 K/Pid.Sus/2016 Tentang Pengedaran Obat Keras Daftar G)...43

A. Posisi Kasus ... 43

B. Pertimbangan Hakim ... 47

C. Analisis Putusan Nomor 1440 K/Pid.Sus/2016 Tentang Pemidanaan Terhadap Pelaku Pengedar Obat Daftar G Tanpa Izin Edar...49

BAB V PENUTUP ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(10)

1 BAB 1

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Berdasarkan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan bahwa pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik, mental, maupun sosial ekonomi. Perkembangan pembangunan ekonomi selama ini, telah terjadi perubahan orientasi baik tata nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya pemecahan masalah di bidang kesehatan yang dipengaruhi oleh politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan serta ilmu pengetauan dan teknologi. Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi proses penyelenggaraan pembangunan kesehatan.1

Kesehatan adalah keadaan yang meliputi keadaan badan, rohani, dan sosial, bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Berbicara tentang kesehatan, maka terdapat dua aspek dari kesehatan, yaitu aspek upaya dari kesehatan salah satunya adalah pemelihanraan kesehatan. Aspek upaya kesehatan salah satunya adalah pemeliharaan kesehatan, yang dibagi menjadi pemeliharaan kesehatan masyarakat dan pemeliharaan kesehatan individu dikenal sebagai pemeliharaan kedokteran. Sementara aspek sumber daya kesehatan terdiri dari

prasarana kesehatan antara lain: Rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, tempat praktek dokter dan tenaga kesehatan antara lain: Dokter, perawat, bidang, apoteker. Seluruh kegiatan pelaksaan upaya kesehatan dilakukan oleh sumber daya kesehatan selalu diatur oleh kaidah-kaidah medis, hukum dan moral, kesopanan, kesusilaan.

Sejak dahulu setiap orang yang sakit akan berusaha mencari obatnya, maupun cara pengobatannya. Penggunaan obat bertujuan dapat memperoleh kesembuhan dari penyakit yang diderita. Penggunaan obat harus sesuai ketentuan-ketentuan, sebab bila salah, penggunaan obat dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Obat dapat memberikan kesembuhan dari penyakit bila digunakan untuk penyakit yang cocok dengan dosis yang tepat dan cara pemakaian yang tepat pula. Bila tidak, akan memperoleh kerugian bagi badan bahkan dapat menyebabkan kematian.

(11)

2

Pada sisi lain, obat-obat bebas dapat dibeli tanpa resep dokter di apotek dan toko obat. Biasanya obat bebas dapat mendorong untuk pengobatan sendiri atau perawatan penyakit tanpa pemeriksaan dokter dan tanpa analisa dokter. Penjualan obat inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor adanya pihak-pihak yang memproduksi dan mengedarkan obat atau sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar.

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku penyimpangan yang hidup dalam masyarakat, yang artinya tindak pidana akan selalu ada selama manusia masih ada di muka bumi ini. Hukum sebagai sarana bagi problematika ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu perkembangan hukum khususnya hukum pidana perlu ditingkatkan dan diupayakan secara terpadu2. Kodifikasi, unifikasi Bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan Undang-undang baru sangat dibutuhkan untuk menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya perkembangan tindak pidana.

Ilmu kesehatan adalah salah satu bidang ilmu yang mengalami perkembangan paling cepat saat ini. Begitu pula dengan perkembangan tindak pidana di bidang ilmu kesehatan. Adapun tindak pidana yang terjadi di bidang ilmu kesehatan antara lain: Malpraktik, pemalsuan obat, pengedaran dan penyalahgunaan obat tanpa izin dan transplantasi organ manusia. Masalah kesehatan merupakan keprihatinan serius di setiap negara, baik negara maju maupun sedang berkembang. Karena kesehatan merupakan hak asasi manusia.

Negara memiliki kewajiban kepada rakyatnya untuk menyediakan layanan kesehatan dan menetapkan aturan-aturan hukum yang terkait dengan kepentingan perlindungan kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan itu sangat penting dalam kelangsungan hidup masyarakat. Jadi apabila terjadi tindak pidana di bidang kesehatan akan menyerang langsung masyarakat baik secara materil maupun immateril. Sehingga masyarakat tidak dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik. Salah satu kejahatan dalam hukum kesehatan yang marak terjadi adalah kejahatan di bidang farmasi. Seperti yang terjadi di Lowokwaru Kota Malang, yang awalnya pada tanggal 1 september 2015 Terdakwa Anton Kurniawan Als Mas Aan bin Kabul menghubungi Mbuto untuk memesan 1000 (seribu) butir pil koplo dan akan dihubungi kembali

2 Andin Rusmini, “Tindak Pidana Pengedaran dan Penyalahgunaan Obat farmasi tanpa izin edar menurut

Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang kesehatan”, Al ‘Adl, Volume Nomor 3 (September-Desember 2015),

(12)

3

oleh Mbuto apabila yang dipesan sudah ada, selanjutnya pada sore harinya Mbuto menghubungi Terdakwa dan mengatakan bahwa yang dipesan sudah ada. Setelah bertemu saudara Mbuto menyerahkan 1 kantong plastik berisi 1000(seribu) butir pil koplo kepada Terdakwa dengan harga Rp.450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) dan akan dibayar setelah Terdakwa gajian.

Kemudian pada tanggal 4 September 2015 saksi Dadang Wahyu Widayat menghubungi Terdakwa dan mengatakan ingin ke rumah terdakwa. Sesampainya di rumah terdakwa, Dadang mengatakan ingin membeli 5 (lima) tik Lele (pil berwarna putih berlogo LL) karena temannya ingin membeli. Kemudian Dadang mengatakan bahwa dia akan menjual pil tersebut kepada temannya dengan harga Rp.50.000,00(lima puluh ribu rupiah) dan Terdakwa menyetujuinya dengan catatan apabila terjual dengan harga Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) Dadang akan mendapatkan Rp.20.000,00 (dua puluh ribu rupiah) sebagai upah.

Kemudian Dadang meminjam motor terdakwa untuk mengantarkan Lele tersebut kepada temannya yang bernama Suroso Hardiono dan setelah bertemu dengan Suroso Hardiono, Dadang menyerahnya 5(lima) tik Lele tersebut kepada Suroso dengan bayaran Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) sebagaimana hasil pemeriksaan laboratorium Forensik Polri Cabang Surabaya yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik Nomor LAB.6701/NOF/2015 tertanggal 21 September 2015 terhadap barang bukti Nomor. 10023/2015/NOF berupa 9 (sembilan) butir tablet berwarna putih berlogo LL dan 1 butir tablet dalam keadaan pecah dengan berat netto 1.729 gram milik Suroso Hardiono adalah benar tablet dengan bahan aktif Triheksifemidil HCI mempunyai efek sebagai antiparkinson tidak termasuk narkotika maupun psikotropika namun termasuk dalam daftar obat keras.

Tujuan Negara Indonesia secara tegas tercantum dalam Alenia IV pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yaitu untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Perlu dilakukan upaya berkelanjutan di segala bidang, termasuk kesehatan, dalam hal ini ketersediaan dan pencegahan penyalahgunaan obat serta pemberantasan peredaran gelap, seperti narkotika, psikotropika termasuk obat daftar G. Pada dasarnya obat daftar G ini berguna untuk kesehatan namun penggunaanya harus tetap melalui resep dokter agar tidak menimbulkan hal-hal negatif, karena obat ini termasuk ke dalam obat keras sehingga jika disalahgunakan, maka akan berbahaya bagi kesehatan tubuh.

(13)

4

Obat daftar G (G=Gevaarlijk=Berbahaya) yaitu obat yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter ditandai dengan lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan K di dalamnya. Obat ini dinamakan obat keras karena kalau digunakan secara sembarangan bisa membahayakan, meracuni tubuh bahkan menyebabkan kematian. Oleh sebab itu perlu adanya pengawasan untuk mengantisipasi penyalahgunaan obat keras di masyarakat.

BPOM dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan Organisasi dan tata kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2005. Berdasarkan Peratuan Perundang-Undangan tersebut, BPOM melaksanakan tugas pemerintah di bidang Pengawasan Obat dan Makanan.3

Penyalahgunaan dan peredaran obat-obat keras daftar G ini sedang marak terjadi menurut isu yang beredar bahwa para pelaku tindak kriminal perampasan kendaraan motor (begal) sebelum melakukan aksinya kadang mengkonsumsi obat daftar G untuk meningkatkan kepercayaan dirinya dalam melakukan aksinya,4 di dalam Hukum Pidana Islam istilah obat daftar G dapat dikategorikan sebagai Khamr karena memiliki illat yang sama yakni sama-sama menghilangkan kesadaran bagi penggunanya.

Berdasarkan Pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hukuman bagi pelaku pengedar obat keras adalah pidana penjara paling lama 15 tahun penjara dengan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00. Sedangkan tuntutan pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Malang tanggal 16 Februari 2016 menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun penjara dengan dikurangkan dengan lamanya terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp500.000.000,00 subsidair kurungan 3 bulan. Selanjutnya terdakwa tidak mengajukan nota pembelaan (pledoi) secara tertulis hanya memohon keringanan hukuman dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Atas permintaan terdakwa penuntut umum tetap pada tuntutannya. Tetapi pengajuan tingkat kasasi ditolak dengan dalih ternyata putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan

3 Deo Andika Putra S,”Pengawasan Penjualan Obat Keras Oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan

Pekanbaru Berdasarkan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, Vol 1 No.2,2014, hal 2

4 Ahmad Kawakiby,”Tinjauan Kriminologis Penyalahgunaan dan Peredaran Obat-obat daftar G di Kota

(14)

5

hukum dan atau Undang-Undang maka permohonan kasasi dari pemohon kasasi / penuntut umum tersebut harus ditolak.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan untuk melakukan analisis mengenai putusan nomor 1440 K/Pid.Sus/2016. Tentang penyalahgunaan pengedaran obat keras untuk diangkat menjadi sebuah skripsi dengan judul : “TINDAK PIDANA PELAKU PENGEDAR

OBAT KERAS DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 1440 K/Pid.Sus/2016)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada tentang pengedaran obat keras, agar tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini, penulis merasa perlu membuat pembatasan masalah sebagai berikut.

a. Pertimbangan hukum hakim terhadap penerapan pasal 196 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 dalam putusan No. 1440 K/Pid.Sus/2016 tentang tindak pidana pengedaran obat keras.

b. Tinjauan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap putusan No. 1440 K/Pid.Sus/2016 tentang tindak pidana pengedaran obat keras.

2. Rumusan Masalah

Dari masalah pokok di atas dapat diuraikan menjadi 2(dua) sub masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian (research question), yaitu:

a. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap penerapan pasal 196 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 dalam putusan No. 1440 K/Pid.Sus/2016 tentang tindak pidana pengedaran obat keras?

b. Bagaimana tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap putusan No. 1440 K/Pid.Sus/2016 tentang tindak pidana pengedaran obat keras.

(15)

6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap pelaku terhadap penerapan pasal 196 Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 dalam putusan No. 1440 K/Pid.Sus/2016 tentang tindak pidana pengedaran obat keras.

b. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam terhadap putusan No. 1440 K/Pid.Sus/2016 tentang tindak pidana pengedaran obat keras

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan dalam mengetahui pandangan Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam tentang tindak pidana pengedaran obat keras, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, mahasiswa dan akademisi lainnya.

b. Manfaat praktis adalah hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kalangan pelajar, mahasiswa dan akademisi lainnya. Manfaat kebijakan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada penegak hukum dalam penerapan hukum tentang tindak pidana pengedaran obat keras.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Penulis telah menemukan beberapa judul penelitian yang sebelumnya pernah ditulis dan berkaitan dengan judul skripsi yang akan diteliti saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya penelitian tersebut memiliki berbagai perbedaan antara judul, pokok permasalahan serta sudut pandang dengan skripsi yang akan diteliti. Sehingga tidak ada unsur-unsur kesamaan dalam penulisan skripsi ini. Adapun penelitian terdahulu yang telah ada sebagai berikut:

(16)

7

No Nama Judul Hasil Penelitian

1 Ahmad Faizal Rusdianto, (Jurnal, Universitas Brawijaya, Fakultas Hukum, Malang, 2015) Penanggulangan Tindak Pidana

Peredaran Obat Keras

(Daftar G) Jenis Carnophen Di Kalangan Nelayan (Studi di Polres Lamongan) Untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan

menganalisis kendala yang dihadapi Satuan Reserse Narkoba Polres Lamongan dalam menanggulangi tindak pidana peredaran obat keras (daftar G) jenis Carnophen di kalangan nelayan

2 Ahmad Kawakiby,

(Skripsi, Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Alaudin Makasar, 2017) Tinjauan Kriminologi Penyalahgunaan dan Peredaran Obat-obat Daftar G di Kota Makasar

Kepada pihak Kepolisian terkhususnya Polrestabes Makassar agar mengefektifkan sosialisasi yang dilakukan setidak tidaknya sekali dalam satu bulan terkait dengan larangan peredaran dan penyalagunaan obat daftar G

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penilitian

Metode penelitian dibagi menjadi dua, yaitu penelitian kualitatif dan kuantitatif.5 Penelitian kualitatif berarti tidak membutuhkan populasi dan sample, penelitian kuantitatif berarti menggunakan populasi dan sample dalam mengumpulkan data. Dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan normatif empiris. Dengan objek penelitian peraturan

(17)

8

perundang-undangan yang dikaitkan dengan teori-teori hukum. Demikian juga hukum dalam pelaksanannya di dalam masyarakat, yang berkenaan dengan objek penelitian. 2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan kasus (approach kasus). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.6

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi Dokumentasi / pustaka library research, dan beberapa undang-undang yang terkait yang dipergunakan untuk melengkapi data yang penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-buku dan undang-undang yang terkait dengan pokok masalah yang akan diteliti. 4. Sumber Data

Data Primer yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban terhadap masalah penelitian. Data primer tersebut berupa Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan putusan No. 1440 K/Pid.Sus/2016. Serta data sekunder yaitu berupa data tambahan yang menjadi acuan terhadap masalah penelitian ini berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta buku-buku lain yang terkait dengan penelitian penulis.

5. Teknik Analisis

Adapun cara yang digunakan dalam menganalisa datanya adalah analisis kualitatif yaitu penelitian yang menggambarkan secermat mungkin tentang hal yang diteliti dengan jalan mengumpulkan data-data atau informasi berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Dalam hal ini materi pokoknya adalah Pemidanaan Terhadap Pengedar Obat Keras ditinjau Hukum Pidana Positif.

6. Teknik Penulisan

(18)

9

Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “ Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi pokok penulisan serta memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini secara sistematis sebagai berikut:

BAB I memuat tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, batasan

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, studi review terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II berisi tentang pengertian tindak pidana, dasar hukum tindak pidana pengedaran obat

keras, teori pemidanaan, unsur-unsur tindak pidana, macam-macam sanksi pidana, hal-hal yang menghapus perbuatan pidana’

BAB III berisi tentang tinjauan umum tentang tindak pidana pengedaran obat keras berisi

tentang pengertian obat keras, unsur-unsur tindak pidana pengedaran obat keras, faktor terjadinya pengedaran obat keras.

BAB IV Analisis putusan pengadilan nomor 1440 K/Pid.Sus/2016 berisi tentang Kronologi, Perkara, Dakwaan, Tuntutan dan Putusan Hakim, Pandangan Hukum Positif terkait pemidanaan terhadap pengedar obat keras, Analisis putusan hakim dalam tinjauan Hukum Pidana Positif.

(19)

10 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENGEDARAN OBAT KERAS DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Tindak Pidana

Peristilahan yang sering dipakai dalam hukum pidana adalah istilah “tindak pidana”. Istilah ini dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah Bahasa Belanda, yaitu Delict atau straffbaar feit. Di samping itu dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah di pakai beberapa istilah yang lain, baik di dalam buku-buku maupun di dalam peraturan- peraturan tertulis. Seperti halnya untuk memberikan definisi terhadap istilah hukum, maka tidaklah mudah untuk memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah “tindak pidana”. Masalah tindak pidana dalam Ilmu Hukum Pidana merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Telah banyak diciptakan oleh para sarjana hukum pidana perumusan atau definisi tentang tindak pidana tersebut.7

Hukum pidana merupakan salah satu kaidah atau norma hukum yang berisi perintah atau larangan dan mengandung ancaman sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya, maka dapat dipahami bahwa hukum pidana merupakan salah satu hukum yang berlaku disuatu negara seperti halnya Indonesia yang mengatur tindakan yang dilarang dengan disertai sanksi.

Moeljatno telah memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan sebagai berikut. “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Beliau mengemukakan bahwa menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat dianggap baik dan adil.

7 M. Sudradjat Bassar ,Tindak-Tindak Pidana Tertentu di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

(20)

11

Dasar pokok dari segala ketentuan hukum pidana disebut Azas legalitas. Azas ini biasa juga disebut juga sebagai azas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yang maksudnya sama dengan maksud pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Secara sosiologis, hukum merupakan salah satu norma perilaku (Behavioral norms) yang ada dalam suatu masyarakat terdapat norma-norma perilaku yang lain seperti norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma agama. Kelebihan yang dimiliki oleh hukum sebagai norma perilaku jika dibandingkan dengan norma-norma perilaku lainnya adalah norma hukum dapat dipaksakan berlakunya oleh negara

Norma-norma hukum tersebut dipaksakan berlakunya oleh negara dengan cara memberikan ancaman hukuman kepada setiap warga negara atau anggota masyarakat yang ingin melanggarnya. Melalui ancaman hukuman tersebut anggota masyarakat dipaksa untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Untuk menegakan norma hukum tersebut, negara memiliki aparatur khusus yang dikenal dengan nama aparat penegak hukum (legal enforcement officier). Dalam konteks hukum pidana, penegak hukumnya dilakukan oleh Polisi, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim.8

Hukum pidana pada dasarnya adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang beserta sanksi hukum yang dapat dijatuhkan apabila larangan tersebut di langgar. Perbuatan-perbuatan yang dilanggar tersebut dikenal dengan sebutan tindak pidana atau delik, sedangkan sanksi hukumnya dikenal dengan pidana. Pidana sendiri didefinisikan sebagai hukuman berupa derita atau nestafa yang sengaja di timpakan oleh negara kepada pelaku tindak pidana.

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah di berikan arti yang bersifat ilmiah dan di tentukan dengan jelas untuk dapat

8 H.Muchammad Ichsan, Hukum Pidana islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum

(21)

12

memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Jadi, berdasarkan pendapat di atas, pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang di sertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.9

Sedangkan dalam islam hukum pidana mempunyai istilahnya sendiri yang biasa dikenal dengan sebutan Jinayah. Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha’, perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara’. Jadi pada prinsipnya hukum pidana itu mengatur tentang tindak pidana dan pidana. Berdasarkan prinsip ini, maka hukum pidana Islam dapat didefinisikan sebagai hukum yang mengatur persoalan tindak pidana (jarimah) dan sanksi (‘uqubah).10

Meskipun demikian, pada umumnya, fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu terdapat, fuqaha’ yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang di ancam dengan hukuman ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.11

Dengan demikian suatu tindak pidana adalah tindak pidana hanya jika merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh syariat. Dengan kata lain, melakukan (commision) atau tidak melakukan (ommision) suatu perbuatan, yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah tindak pidana.12

9 Kartonegoro, Diklat Kuliah Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa) , h.,62.

10 Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika : Jakarta,2004),h,.9 11 Djazuli Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1997),h,.1

(22)

13

Perbuatan yang dilarang ada kalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang dan ada kalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu tidak ada larangannya dalam syara’ maka perbuatan tersebut hukumnya mubah, sesuai dengan kaidah ushul mengatakan:

َح ةَح َابلإأ ِءَايْشلأأ ىِف ُلْصلأأ

مي رْحٌىلا ىلَع ُلٌيلٌدل أ ٌل ُدَي ٌى

“Hukum asal dari sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang melarannya

(memakruhkannya atau mengharamkannya)” (Imam As Suyuti).

Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah di atas, maka pengertian jinayah dapat dibagi ke dalam dua jenis pengertian, yaitu: pengertian luas dan pengertian sempit. Klasifikasi pengertian pengergian ini terlihat dari sanksi yang dapat dikenakan terhadap jinayah.

1. Dalam pengertian luas, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had atau ta’zir.

2. Dalam pengertian sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan dapat menimbulkan hukuman had bukan ta’zir.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Dalam kaitan ini, larangan tersebut dapat berupa larangan untuk tidak melakukan sesuatu atau larangan untuk melakukan sesuatu. Pengertian di atas mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari keetentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman.

Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara’, maka larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab) dan oleh sebab itu, mampu memahami pembebanan (taklif) dari syara’. Perbuatan-perbuatan meerugikan yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil tidak dapat di kategorikan sebagai jinayah, karena mereka tidak dapat menerima khithab atau memahami taklif.

(23)

14 B. Teori Pemidanaan

Kejahatan (crime) merupakan tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.13 Kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap tempat dan waktu. Dengan demikian, kejahatan bukan saja masalah bagi suatu kelompok atau masyarakat tertentu yang berskala lokal maupun nasional, tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia pada masa lalu, sekarang dan pada masa yang akan datang, sehingga dapat dikatakan bahwa kejahatan sebagai a universal

phenomenon.

Penggunaan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan dilakukan melalui kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana merupakan persoalan yang lazim dilakukan oleh banyak negara. Namun, tidak berarti persoalan tersebut sebagai suatu hal yang dapat dilakukan tanpa pertibangan yang mendasar. Istilah pidana merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukan sanksi dalam hukum pidana.14

Teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok teori,15 yaitu:

1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen)

Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebaga suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak dan tanpa tawar menawar. Tidak melihat akibat-akibat apapun yang mungkin terjadi dari di jatuhkannya pidana.

Hutang pati, nyaur pati: hutang lara, nyaur lara yang berarti si pembunuh harus di bunuh,

si penganiaya harus dianiaya.16 Pembalasan dikemukakan sebagai alasan untuk memidana seeorang yang telah melakukan kejahatan. Dalam pandangan ini, bahwa setiap individu manusia itu bertanggungjawab atas perbutannya sendiri. Pidana dianggap sebagai

13 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulanagan Kejahatan dengan Hukum

Pidana,(Semarang: Ananta, 1994),h,.2.

14 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di

Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982),h,.23.

15 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2010), Cet4,

h.10.

16 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2014),

(24)

15

pembalasan mutlak atas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh individu pelakunya. Misalnya, melalui lembaga lex talionis di mana penganiayaan terhadap mata dibalas secara setimpal dengan pidana atas mata yang serupa, gigi dibalas gigi, mati dibalas mati, dan seterusnya.17

Menurut Johannes Andenaes, tujuan utama dari pidana menurut teori absolute adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan. 18Salah seorang tokoh dari penganut teori absolut ialah hegel, yang berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Johannes Andenaes mengemukakan bahwa penebusan tidak sama dengan pembalasan dendam. Pembalasan dendam atau revenge merupakan suatu pembalasan yang berusaha memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban. Sedangkan penebusan atau retribution tidak berusaha menenangkan atau menghilangkan emosi-emosi dari para korban tetapi lebih betujuan untuk memuaskan tuntutan keaadilan. Pada teori absolut, kesalahan merupakan tujuan utama untuk kesejahteraan masyarakat. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana. Pidana tersebut harus disesuaikan dengan kesalahan si pembuat kejahatan.

2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarium/doel theorieen)

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Menurut J. Andenaes, teori ini disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory

of social defence).19 Teori ini lebih tepat disebut dengan teori reduktif karena dasar

pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan. Pada teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana dan harus melihat bahwa upaya menjatuhkan pidana dapat memperbaiki si pelaku kejahatan agar menjadi orang baik yang tidak akan melakukan kejahatan kembali. Menurut

17 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1996), h.167-168. 18 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2010), Cet4,

h.11.

19 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: PT. Alumni, 2010), Cet4,

(25)

16

Zevenbergen, terdapat tiga macam memperbaiki penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.20

Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berpikir si penjahat agar ia sadar akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi. Pada teori relative, dalam hal menjatuhkan pidana bergantung pada kemanfaatannya kepada maasyarakat. Untuk mencapai tujuan memperbaiki si penjahat, tidaklah layak dijatuhkan pidana, tetapi dapat pula diberikan tindakan yang tidak bersifat pidana yang di ambil oleh pemerintah. Misalnya, menyerahkan si pelaku kejahatan kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial agar dididik menjadi masyarakat yang berguna. Pencegahan bukan merupakan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.

3. Teori restroative Justice

Menurut teori ini21, sanksi pidana bersumber pada ide “mengapa diadakan pemidanaan”. Dalam hal ini sanksi pidana lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan. Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah

C. Unsur-unsur Tindak Pidana

Membicarakan unsur-unsur tindak pidana, PAF Lamintang mengatakan bahwa setiap tindak pidana dala, KUHP pada umunya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Adapun yang dimaksud unsur-unsur subjektif adalah unsu-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung

20 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2014),

cet.6,h.26.

(26)

17

didalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan dimana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.22

Simon menyebutkan dalam bukunya Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi bahwa adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit). Unsur objektif diantaranya perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu yang menyerupai perbuatan itu. Sedangkan unsur subjektif yaitu orang yang mampu bertanggunngjawab, adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.23

Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berwujud kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.

Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik

dalam pengertiannya yang formil maupun materil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang.24

Dalam KUHP yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia. Dalam perkembangan hukum pidana, suatu perkumpulan/korporasi dapat juga dikenakan hukuman pidana sebagai subjek suatu tindak pidana. Akan tetapi hukuman yang dijatuhkan hanya berupa denda, yang dapat dibayar dari kekayaan perkumpulan.25

Vos merumuskan26 “peristiwa pidana adalah suatu perbuatan manusia yang oleh Undang-undang diancam dengan hukuman “menurut bunyi batasan yang dibuat Vos dapat ditarik unsur-unsur pidana yaitu :

22 P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Cintra Aditya Bakti: Bandung, 1997), h.. 123. 23 Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana,(Jakarta: Kencana, 2015),h,.39.

24 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,(Malang: Press,

2008),h,.117.

25 Topo santoso, Menggagagas Hukum Pidana Islam, (Asy Syamil Press & Grafika: bandung,2001),h,.134. 26 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008), h,.72.

(27)

18

1. Kelakuan manusia 2. Diancam dengan pidana

3. Dalam peraturan undang-undang;

Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur dari tiga batasan yang dibuat oleh Vos, tidak ada perbedaan yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam Undang-undang dan diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidanya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya.

Sementara itu Leden Marpaung,27 menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif dengan uraian sebagai berikut :

1. Unsur Subjektif

Adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman tanpa kesalahan” (an act does not make a person guiltry unless the

mind is guiltry or actus non fecit reum nisi mens si rea). Kesalahan yang dimaksud

disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan unsur kealpaan (schuld).

2. Unsur Objektif

Merupakan unsur dari luar diri si pelaku yang terdiri atas : a. Perbuatan manusia:

1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan posesif

2) Omissions, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.

b. Akibat (result) perbiuatan manusia

Akibat tersebut membahayakan bahkan menghikangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya.

c. Keadaan-keadaan (circumtances)

(28)

19

Pada umumnya keadaan ini dibedakan antara lain: 1) Kesalahan pada saat perbuatan dilakukan 2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan

3) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat melawan hukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku hukum dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Semua unsur delik diatas merupakn satu kesatuan. Salah satu unsur saja tidak terbukti, maka bisa menyebabkan terdakwa bebas dari pengadilan.

D. Hal-hal yang Menghapuskan Perbuatan Pidana

1. Pengertian Dasar Penghapus Pidana

Pada dasarnya, apa yang diatur dalam aturan perundang-undangan adalah hal-hal yang umum sifatnya. Utrech menyatakan dalam bukunya Eva Achjani Zulva bahwa sifat umum tersebut membuk kemungkinan dijatuhkannya pidana yang tidak adil. Dengan kata lain, kemungkinan dijatuhkannya hukuman kepada seseorang yang tidak bersalah. Para pembentuk undang-undang melihat bahwa perlunya suatu pengaturan tentang kondisi-kondisi atau keadaan-keadaan tertentu untuk meniadakan pemidanaan bagi seseorang. Kondisi-kondisi atau keadaan tertentu untuk meniadakan pemidanaan bagi seseorang. Kondisi-kondisi atau keadaaan tertentu ini merupakan suatu kondisi atau keadaan yang berkaitan dengan perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana ataupun kesalahan yang melekat pada diri seorang pelaku tindak pidana.28

Alasan penghapusan pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku yang telah memenuhi rumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan hukum pidana. Akan tetapi, ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan pelaku tindak pidana dikecualikan dari peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan demikian alasan-alasan penghapusan 28 Eva Achjani Zulva, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan dan Pemberat Pidana,(Bogor:

(29)

20

pidana ini, adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik untuk tindak pidana, dan ini merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada hakim.29

Di dalam KUHP meskipun meskipun mengatur tentang alasan penghapusan pidana, akan tetapi KUHP tidak memberikan pengertian yang jelas tentang makna alasan penghapusan pidana tersebut. Menurut doktrin alasan penghapusan pidana dapat dibagi menjadi dua yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar. Mengenai dasar penghapusan pidana, KUHP merumuskan beberapa keadaan yang dapat menjadi dasar penghapus pidana, sebagai berikut:

a. Pasal 44 KUHP tentang Kemampuan Betanggungjawab. b. Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa. c. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa.

d. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-undang. e. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.

Faktor yang berasal dari luar dirinya itulah yang menyebabkan pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain mengakibatkan kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat tindak pidana terdapat alasan penghapus kesalahan. Dalam hubungan ini pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat tindak pidana. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat diteruskan kepadanya, karena pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain selain melakukan tindak pidana itu. 30

2. Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf

Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada

29 M. Hamdan, Alasan Pernghapusan Pidana Teori dan Studi Kasus,(Bogor: Ghalia Indonesia,2010), h,.27. 30 Chairiul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju Tiada Pertanggungjawaba Pidana Tanpa

(30)

21

pembenaran atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada pemaafan perbuatannya sekalipun telah melakukan tindak pidana melawan hukum.31

Menurut doktrin hukum pidana, penyebab tidak dipidananya si pelaku tersebut dibedakan dan dikelompokan menjadi dua dasar yaitu alasan pemaaf (schuiduitsluitingsgronden) yang bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenal sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat, kemudian alasan pembenar (rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat objektif dan melekat pada perbuataannya atau hal-hal yang diluar batin si pelaku.32

Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan penghapus kesalahan atau pemaf antara lain, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (nooodweer ekses), dan pelakasanaan perintah jabatan tanpa wewenang yanag didasari oleh i’tikad baik.

Pertama, daya paksa (overmacht). Dalam KUHP daya paksa diatur di dalam Pasal 48

yang menyatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa,

tidak pidana. Secara teoritis terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis absoluuta dan vis compulsive. Vis absoluuta paksaan yang pada umumnya dilakukan dengan kekuasaan

tenaga manusia (fisik) oleh orang lain, sedangkan vis compulsive adalah paksaan yang kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara perhitungan yang layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan memaksa tersebut akan mengadakan perlawanan dalam

vis compulsive yang terjadi adalah paksaan psikis, dalam arti sekalipun tidak memaksa

secara mutlak, tetapi hal demikian tetap disebut dengan memaksa.33

Kategori daya paksa sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa psikis atau vis

compulsiva terbagi menjadi dua yaitu daya paksa dala arti sempit (overmacht in enge zin)

dan keadaan darurat (noodtoestand). Pengertian daya paksa dalam arti sempit adalah sumber datangnya paksaan itu berasal dari luar diri orang yang dipaksa, sehingga orang tersebut tidak memilliki pilihan lain kecuali mengikuti kemauan orang yang memaksanya

31 Mahruz Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011),h,.181.

32 Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Kejahatan 33 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),h,.182.

(31)

22

itu. Sedangkan dalam keadaan darurat orang yang terkena daya paksa itu sebenarnya masih memiliki kebebasan untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan.

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses) diartikan sebagai dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan seperlunya haruslah disebabkan karena pengaruh dari suatu kegoncangan jiwa yang demikian hebat, yang bukan semata-mata disebabkan karena adanya perasaan takut aatau ketidaktahuan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan juga yang disebabkan oleh hal-hal lain seperti kemarahan atau perasaan kasian. Dengan demikian, pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan pada seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukum jika sifat pembelaan tersebut sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri.34

Noodweer ekses diatur di dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak pidana. Pasal ini

menjelaskan bahwa dalam noodweer ekses perbuatan seseorang hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena memang serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat adalah melawan hukum. Serangan itu juga disebabkan secara langsung oleh kegoncangan jiwa yang hebat. Hal demikian inilah yang menyebabkan dala diri orang itu terdapat alasan pemaaf.

E. Teori Pemberatan Pidana

Teori pemberatan pidana merupakan bagian dari pola pemidanaan. Menurut Barda N.Arief, Pola pemidanaan merupakan pedoman perbuatan atau penyusunan pidana bagi hakim dalam menjatuhkan pidana35. Pola pemidanaan (termasuk pola pemberatan pidana) pada dasarnya merupakan suatu gejala yang tersirat dari ancaman pidana yang terdapat dalam rumusan tindak pidana pidana dalam perundang-undangan, yang dengannya dapat diketahui kehendak pembentuk undang-undang berkenaan dengan jumlah dan jenis pidana yang seyogianya dijatuhkan terhadap seorang pembuat tindak pidana. Dengan demikian, pola pemberatan pidana adalah pedoman yang telah digunakan pembentuk undang-undang

34 P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984),h,.475. 35 Barda N.Arief, Bunga Rampai kebijakan hukum pidana, Citra Adtya Bhakti, Bandnung, 1996,hlm.167

(32)

23

dalam menentukan pemberatan pidana, antara rumusan ancaman pidana yang terdapat dalam Hukum Pidana Khusus apabila dibandingkan dengan rumusan delik umum yang mirip dalam KUHP. Hal ini mengharuskan terlebih dahulu harus dikemukakan Pola Pemberatan Ancaman Pidana dalam KUHP. Pola Pemberatan ancaman pidana dalam KUHP dapat dibedakan dala dua kategori. Pertama, dalam kategori umum pemberatan pidana yang diatur dalam Aturan Umum Buku I KUHP. Dalam hal ini, KUHP menggunakan “pola” yang seragam, misalnya pemberatan karena adanya perbarengan, baik karena concursus ideialis concursus realis maupun voortgezette handeling (sekalipun terdapat teknik pemberatan yang berbedan satu sama lain). Dalam hal ini ancaman pidana yang ditentukan (yang dapat atau yang jumlahnya dapat dijatuhkan) menjadi sepertiga lebih berat dari ancaman pidana dari ancaman pidana yang terdapat dalam rumusan delik tersebut yang memuat ancaman pidana terberat. Pola pemberatan pidana dengan menambahkan pidana penjara sepertiga lebih berat karena adanya perbarengan tersebut dalam banyak hal juga diikuti oleh RUU KUHP.

Kedua, dalam kategori khusus pemberatan pidana yang diatur dalam aturan tentang

Tindak Pidana (Kejahatan dan Pelanggaran) dalam rumusan delik yang terdapat dalam buku II dan buku III KUHP. Pola pemberatan khusus ini juga dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan pemberatan dalam kategori khusus yang seragam, yaitu pemberatan pola seragam seperti pemberatan dalam kategori umum, yaitu diperberat sepertiga. Kelompok kedua merupakan pemberatan dalam kategori khusus yang tidak seragam, yaitu pemberatan pidana dilakukan baik dengan peningkatan kualitas maupun kuantitas ancaman pidananya, misalnya perubahan jenis pidana penjara menjadi pidana mati.

Pada dasarnya pemberatan ancaman pidana dengan meningkatkan kualitas pidana dalam UU Pidana Khusus, dapat dibedakan kedalam dua bagian. Pertama, pemberatan apabila dibandingkan dengan kejahatan yang mirip seperti yang terdapat dalam KUHP. Dalam tindak pidana penyebaran teror misalnya , diancam dengan pidana mati setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis

(33)

24

atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional. Tindak pidana ini pada dasarnya merupakan bentuk khusus dari tindak pidana dalam KUHP yang berupa pembunuhan (diancam pidana 15 tahun), perampasan kemerdekaan (diancam pidana 8 tahun), perusakan fasilitas umum (dianca pidana 4 tahun). Demikian pula halnya dengan kejahatan penerbangan yang dalam KUHP yang diancam dengan pidana yang bervariasi paling ringan 6 (enam) tahun (menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai lagi atau merusak sarana penerbangan) dan paling berat diancam dengan pidana penjara 15 tahun (lima belas) tahun (mencelakakan, menghancurkan atau merusak pesawat udara), sementara dalam tindak pidana penyebaran teror mengenai perbuatan yang sama diancam dengan pidana mati.

F. Tindak Pidana Pengedaran Obat Keras Secara Ilegal

Tindak Pidana di bidang kesehatan adalah semua perbuatan di bidang pelayanan kesehatan atau yang berhubungan atau yang menyangkut pelayanan kesehatan yang dilarang oleh undang-undang disertai ancaman pidana tertentu terhadap siapapun yang melanggar larangan tersebut. Dengan demikian, objek tindak pidana di bidang kesehatan adalah pelayanan kesehatan atau segala hal yang menyangkut atau berhubungan dengan pelayanan kesehatan.36

Mengenai peraturan tindak pidana pengedaran obat yang sebelumnya diatur dalam pasal 80 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, “Barangsiapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat Farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).” Sekarang mengalami perluasan pengaturan yaitu dengan diaturnya tindak pidana peredaran obat secara illegal dalam 4 (empat) pasal yaitu pasal 196, pasal 197, pasal 198, dan pasal 201 Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Adapun penjelasan mengenai peraturan tindak pidana pengedaran obat yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan adalah sebagai berikut :

36 Adami chazawi, 2007. Malprkatik Kedokteran (Tinjauan Norma & Doktrin Hukum), Penerbit

(34)

25 1) Pasal 196

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan “setiap orang yang dengan

sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan /atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan /atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 196 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan adalah sebagai berikut:

a) Setiap orang

Disini berarti yang sebagai subjek hukum yaitu setiap orang atau pribadi dapat bertanggungjawab dan cakap hokum sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta badan hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

b) Yang dengan sengaja

Disini berarti perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu dilakukan dengan sengaja dan penuh kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan telah melawan hukum.

c) Memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan

Memproduksi adalah suatu perbuatan yang merupakan proses untuk mengeluarkan hasil, sedangakan kata mengedarkan berarti suatu perbuatan membawa suatu secara berpindah-pindah dari tangan satu ke tangan yang lain atau dari satu tempat ke tempat lain.

d) Yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan ayat (3). e)

2) Pasal 197

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan “setiap orang yang dengan

sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan

(35)

26 pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan adalah sebagai berikut :

a. Setiap orang

b. Yang dengan sengaja

c. Memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1). Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 197 sama seperti pada Pasal 196, yang menjadi perbedaan adalah dalam pasal 197 yang dilarang untuk diproduksi dan diedarkan adalah obat yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) “sediaan dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar”.

3) Pasal 198

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan “Setiap orang yang tidak

memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Unsur-Unsur Pasal 198 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan adalah sebagai Berikut :

a. Setiap orang

b. Yang tidak memiliki kewenangan.

Disini yang dimaksud dengan tidak memiliki keahlian dan kewenangan adalah tenaga kesehatan, tenaga kesehatan dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.

c. Untuk melakukan prakti kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan , praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,

(36)

27

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Pasal 201

Ayat (1)

Dalam hal ini tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain Pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199, dan pasal 200.

Ayat (2)

Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa :

a. Pencabutan izin usaha ;dan/atau

b. Pencabutan status badan hukum.”

Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dibuat atas perintah Undang-undang tersebut. Pengaturan mengenai peredaran sediaan farmasi dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dalam pasal 6 sampai Pasal 8. Adapun bunyi Pasal tersebut yaitu:37

Pasal 6

Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahann.

Pasal 7

(37)

28

Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan upaya pemeliharaan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 8

(1) Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan

(2) Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran bertanggungjawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pada pasal 9 sampai 10 Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara mendapatkan izin edar, adapun bunyi pasal tersebut yaitu:

Pasal 9

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar dari Menteri Kesehatan

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan. Pasal 10

(1) Izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan diberikan atas dasar permohonan secara tertulis kepaada Menteri Kesehatan

(2) Permohonan secara tertulis sebagaimana dalam ayat (1) disertai dengan keterangan dan/atau data mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperoleh izin edar serta contoh sediaan farmasi dan alat kesehatan

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan izin edar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 11

Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan memiliki izin edar dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan.

(38)

29

Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi dalam Peraturan Pemerintah ini diatur dalam Pasal 75 huruf (b) rumusan yang terdapat dalam Pasal ini adalah Barang siapa dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,00 (serratus empat puluh juta rupiah).

(39)

30 BAB III

TINDAK PIDANA PELAKU PENGEDAR OBAT KERAS DAFTAR G

A. Pengertian dan Jenis-jenis Obat Keras daftar G

Obat merupakan suatu zat yang digunakan untuk diagnosa pengobatan, melunakan, menyembuhkan, atau mencegah penyakit yang terjadi atau dialami manusia atau hewan.38 Obat adalah bahan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit, atau menyembuhkan seseorang dari penyakit.39

Obat hanya akan berfungsi sebagai alat perantara untuk menyembuhkan atau membebaskan masing-masing individu dari berbagai jenis penyakit yang menyerang. Tetapi, obat harus digunakan sesuai dengan dosis atau takaran dan harus tepat agar penyakit yang hendak disembuhkan segera hilang, sebaliknya obat akan berubah fungsi menjadi racun di dalam tubuh individu apabila dosis yang digunakan tidak sesuai dengan kebutuhan, baik itu kekurangan dosis maupun kelebihan dosis. Obat keras merupakan salah satu klasifikasi jenis obat yang juga memiliki khasiat untuk menyembuhkan. Obat keras ditandai dengan simbol lingkaran merah yang bergaris tepi hitam dan bertuliskan huruf “K” berwarna hitam.

Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter ditandai dengan lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan K di dalamnya40. Obat-obatan yang masuk dalam golongan ini adalah

antibiotik seperti, tetraksiklin, penisilin dan amoksilin atau obat yang mengandung hormon seperti obat penyakit diabetes, obat jantung, obat penenang dan obat alergi. Obat ini dinamakan obat keras karena kalau digunakan secara sembarangan bisa membahayakan, meracuni tubuh bahkan bisa menyebabkan kematian

Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 02396/A/SKA/III/1986 penandaan obat keras dengan lingkaran bulat berwarna merah dan garis tepi berwarna hitam serta huruf

38 Stephen Zeenot, Pengelolaan & Penggunaan Obat Wajib Apotek, (Jogjakarta : Medika,2013) h,.11. 39 https://kbbi.web.id/obat diakses pada tanggal 30 september 2017 pada pukul 12.53 WIB

40 https://berbagidanjadikaya.blogspot.com/2015/03/golongan-obat-daftar-g-apa-itu-mengapa.html?m=1

Referensi

Dokumen terkait

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pelaku Pencabulan (Analsisi Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. SUS/2011/PN-BI) Pasal 50 tidak dikenakan hukuman

Seharusnya ada pengklasifikasian terhadap sanksi-sanksi dalam tindak pidana turut serta seperti ini supaya lebih meringankan lagi hukuman bagi pelaku yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji Bagaimana Penerapan Pidana dan Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengedaran Uang Palsu,

Dalam studi hukum pidana islam, hukuman cambuk termasuk dalam bentuk dan jenis hukumannya lebih banyak diberikan kepada pelaku kejahatan yang hukumannya itu lebih banyak

Dalam kedua jenis hukum tersebut memberikan sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan sama-sama dalam jenis pembunuhan yang dilakukan secara

Hukum pidana Indonesia telah memasukan dasar yuridis dalam suatu putusan pengadilan sebagai hukuman pencabutan hak tertentu dalam bentuk sanksi pidana tambahan.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pertimbangan hakim pengadilan negeri Bondowoso dalam memutus sanksi bagi kedua pelaku penadahan hasil hutan berupa kayu sesuai dengan

Upaya represif yang dilakukan reskrim Polres menangani kasus perjudian online ini adalah dengan melakukan tindakan tegas berupa penangkapan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku