• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada tikus terinduksi streptozotosin.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada tikus terinduksi streptozotosin."

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada tikus terinduksi streptozotosin. Penelitian ini bersifat penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus jantan galur Wistar, umur 6-8 minggu, berat 120-160 g, dan terbagi dalam 5 kelompok sama banyak. Kelompok I merupakan kelompok basal. Kelompok II diberi CMC Na dosis 50 mg/kgBB secara oral. Kelompok III, IV, dan V diinduksi STZ dosis 40 mg/kgBB secara intraperitonial dan kelompok IV dan V dilanjutkan dengan pemberian glibenklamid 0,45 mg/kgBB dan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB secara oral. Pada hari 0, 4, 7 dan 14 ditimbang berat badan dan diukur kadar glukosa darah, hari ke-14 tikus dibedah untuk diamati kerusakan pankreasnya. Data kadar glukosa darah dan berat badan dihitung nilai LDDK0-14 dan dianalis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi normalitas data normalitas data dilanjutkan dengan ANOVA dan uji post hoc Bonferroni dengan tingkat kepercayaan 95% untuk melihat perbedaan antar kelompok. Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB tidak memiliki efek antihiperglikemik berdasarkan pengukuran kadar glukosa darah dan gambaran histologis pankreas tikus terinduksi streptozotosin.

(2)

ABSTRACT

This aim of study research were to prove antihyperglycemic effect of ethanol extract of leaves of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg in rats induced-streptozotosin. This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. This research use 25 male Wistar rats, age group between 6-8 weeks and weight around 120-160 g and was divided into 5 groups as many. Group I was the basal group. Group II was givenCMC Na dose 50 mg/kgBW orally. Group III, IV, and V induced STZ 40 mg/kgBW intraperitoneally and the group IV and V were followed by administration of glibenclamide 0,45 mg/kgBW and ethanol extract of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg leaves 50 mg/kgBW orally. At day 0, 4, 7 and 14 body weight were weighed and blood glucose levels of rats were measured. At day 14th, the rats were dissected and pancreas were taken to observe the damage. Blood glucose levels and body weight were calculated using LDDK0-14 value and analyzed using Kolmogorov-Smirnov test to look at the distribution of normality the data and resumed using ANOVA and post hoc Bonferroni test standard of 95% to look at the differences between group. The results showed administration of ethanol extract of leaves of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dose of 50 mg/kgBW didn’t have antihyperglycemic effect based on the measurement of fasting blood glucose levels and histologisc structure of the pancreas in rat induced-STZ.

(3)

EFEK ANTIHIPERGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN Artocarpus altilis (Park.) Fosberg PADA TIKUS TERINDUKSI STREPTOZOTOSIN

SKRIPSI

Dianjurkan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Inggrid Roswita Tokan

NIM : 108114035

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“The person who the person who says something is impossible

should interrupt the person doing it”

- Chinese Proverb -

Kupersembahkan buat: Tuhan Yesus Kristus yang selalu menjaga dan memberi jalan keluar dari semua

masalah yang dialami selama pengerjaan skripsi, Bapak, Mama, dan keluargaku, Teman-temanku, serta

(7)
(8)
(9)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol Daun Artocarpus

altilis (Park.) Fosberg pada Tikus Terinduksi Streptozotosin” ini dengan baik.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan campur tangan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Kedua orangtua Bapak Hendrikus Baro Sili dan Ibu Maria Magdalena

Rawa Borot yang selalu memberi dukungan dan mandanai pengerjaan skripsi.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak Ipang Djurnarko, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing Utama pada skripsi ini atas kesabaran, bantuan, bimbingan, serta motivasi dan

masukan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Ibu drh. Sitarina Widyarini, M.P., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing

(10)

viii

5. Ibu Phebe Hendra, M. Si., Apt., Ph.D. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberi perhatian, masukan dan saran kepada penulis.

6. Bapak Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberi perhatian, masukan dan saran kepada penulis.

7. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt, selaku Kepala Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian skripsi ini.

8. Pak Suparjiman, Pak Heru, Pak Kayatno, Pak Wagiran, Pak Parlan, Pak Kunto, Pak Musrifin dan Mas Bimo selaku Laboran Laboratorium

Fakultas Farmasi yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pelaksanaan penelitian.

9. Pak Sugiyono dan Pak Lilik selaku staff Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Gadjah Mada yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pelaksanaan penelitian.

10.Rekan-rekan tim Sukun Chatarina Serafina I. W., Therezita Sahita L., dan Anggun Amalia M. atas segala kerjasama, bantuan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi.

11.Kakak Ester Boi D., Maria Agustina T., Vinsensius A. T., dan Theresia Helena T. yang selalu memberi dukungan pengerjaan skripsi.

12.Sahabat-sahabatku Maria Theresia G., Vera Juniarta, Theresia A., Puspita Sari D., Mega Wiro S., Priscilla D. V. V., Adrienne Roma A., dan Pande

(11)
(12)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

INTISARI ... xxii

ABSTRACT ... xxiii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1.Permasalahan ... 5

2.Keaslian penelitian ... 5

3.Manfaat penelitian ... 6

a. Manfaat teoritis ... 6

(13)

xi

B. Tujuan Penelitian ... 6

1.Tujuan umum ... 6

2.Tujuan khusus ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Tanaman Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 8

1. Habitat dan morfologi ... 8

2. Klasifikasi ... 9

3. Penyebaran ... 9

4. Kandungan kimia ... 10

5. Nama daerah ... 10

6. Manfaat ... 11

B. Ekstraksi ... 12

C. Pankreas ... 13

1. Bagian eksokrin pankreas ... 14

2. Bagian endokrin pankreas ... 15

D. Diabetes Melitus ... 16

1. Definisi ... 16

2. Epidemiologi ... 17

3. Manifestasi klinis ... 18

4. Klasifikasi ... 19

5. Patogenesis ... 19

6. Diagnosis ... 23

(14)

xii

F. Insulin ... 25

1. Fungsi insulin ... 25

2. Sintesis insulin ... 25

3. Regulasi sekresi insulin ... 26

G. Streptozotosin ... 27

H. Glibenklamid ... 30

I. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah ... 31

J. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin ... 33

K. Landasan Teori ... 34

L. Hipotesis ... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 37

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 37

1. Variabel penelitian ... 37

2. Definisi operasional ... 38

C. Bahan Penelitian ... 40

1.Bahan utama ... 40

2.Bahan kimia ... 40

D. Alat dan Instrumen Penelitian ... 42

E. Tata Cara Penelitian ... 43

1. Determinasi tanaman Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 43

2. Pengumpulan bahan ... 43

(15)

xiii

4. Pembuatan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 44

5. Dosis ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada penelitian ... 44

6. Penetapan kadar air serbuk daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg .... 45

7. Pembuatan suspensi CMC Na 0,5% ... 45

8. Pembuatan dapar Na Sitrat 50 mM pH 4,5 ... 45

9. Penetapan dosis streptozotosin ... 46

10. Penetapan keseragaman bobot tablet glibenklamid ... 46

11. Pembuatan suspensi glibenklamid 5 mg% (b/v) ... 47

12. Penentuan dosis glibenklamid ... 47

13. Induksi hiperglikemia pada tikus ... 47

14.Pengukuran kadar glukosa darah ... ... 48

15. Desain dan perlakuan penelitian ... 48

16. Pengumpulan sampel ... 50

17. Pembuatan slide ... 50

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 54

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Hasil Determinasi Tanaman ... 56

B. Penetapan Kadar Air Serbuk Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 57

C. Penetapan Bobot Tetap Ekstrak Etanol Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 58

(16)

xiv

E. Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol Daun Artocarpus altilis (Park.)

Fosberg ... 60

1. Kadar glukosa darah ... 60

2. Berat badan ... 70

F. Gambaran Histologis Pankraes Tikus ... 75

1. Kelompok basal ... 76

2. Kelompok kontrol negatif ... 77

3. Kelompok kontrol positif ... 78

4. Kelompok perlakuan STZ + glibenklamid ... 80

5. Kelompok perlakuan STZ + EEAA ... 81

G. Rangkuman Pembahasan ... 83

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

1. Kesimpulan ... 87

2. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

LAMPIRAN ... 94

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Daftar negara dengan estimasi kasus diabetes tahun 2000 dan

2030 ... 18

Tabel II. Klasifikasi diabetes melitus ... 19

Tabel III. Kriteria kadar glukosa darah pada pasien normal, pradiabetes dan diabetes melitus ... 24

Tabel IV. Keseragaman bobot tablet ... 47

Tabel V. Volume bahan untuk pengukuran kadar glukosa ... 48

Tabel VI. Prosedur pewarnaan Harris Hematoxyline-Eosin ... 53

Tabel VII. Rata-rata nilai LDDK0-14 kadar glukosa darah tikus pada perlakuan kelompok basal, kontrol negatif dan kontrol positif... 62

Tabel VIII. Hasil uji Bonferroni nilai LDDK0-14 kadar glukosa darah tikus pada perlakuan kelompok basal, kontrol negatif dan kontrol positif ... 63

Tabel IX. Rata-rata kadar glukosa darah tikus pada hari ke-0, 4, 7, dan 14 ... .... 67

Tabel X. Hasil uji post hoc Bonferroni LDDK0-14 kadar glukosa darah pada tikus kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ + glibenklamid dan STZ + perlakuan EEAA... 69

(18)

xvi

Tabel XII. Hasil uji post hoc Bonferroni LDDK0-14 berat badan pada tikus kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif,

perlakuan STZ + glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA .. 72 Tabel XIII. Presentase kerusakan sel Iset Langerhans pankreas tikus

dengan pengecatan Hematoksilin dan Eosin ... 75 Tabel XIV. Keseragaman bobot tablet glibenklamid ... 103 Tabel XV. Bobot pengeringan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg ... 104 Tabel XVI. Hasil rendemen ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.)

Fosberg ... 104 Tabel XVII. Hasil penetapan kadar air serbuk daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg ... 105

Tabel XVIII. Data pengukuran kadar glukosa darah tikus pada kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ +

glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA ... 106 Tabel XIX. Nilai LDDK0-14 kadar glukosa darah (hari.mg/dl) pada

kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan

STZ + glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA ... 107 Tabel XX. Data penimbangan berat badan tikus pada kelompok basal,

kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ + glibenklamid

(19)

xvii

Tabel XXI. Nilai LDDK 0-14 berat badan tikus (hari.mg/dl) pada kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan

(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Interpretasi spektrum flavonoid 7, 3’, 4’ trihidroksi flavonol ... 10

Gambar 2. Bagian abdominal atas dengan lambung, penampang melintang colon dan sebagian besar bagian hati yang dipotong untuk menunjukkan lokasi dan hubungannya dengan pankreas ... 13

Gambar 3. Penampang histologis organ pankreas ... 14

Gambar 4. Gambaran sel-sel asini (bagian eksokrin pankreas) ... 15

Gmabar 5. Sel Islet Langerhans pankreas (A) Sel β pankreas berfungsi menghasilkan insulin (B) Sel α pankreas berfungsi menghasilkan glukagon (C) Sel δ pankreas berfungsi menghasilkan somatostatin (D) Sel PP berfungsi untuk menghasilkan hormon polipeptida pankreas ... 16

Gambar 6. Regulasi sekresi insulin dari sel β pankreas ... 26

Gambar 7. Struktur streptozotosin ... 27

Gambar 8. Mekanisme STZ menginduksi rusaknya sel β pankreas ... 28

Gambar 9. Struktur glibenklamid ... 30

Gambar 10. Skema uji antihiperglikemik ... 55

Gambar 11. Kurva hubungan antara waktu (hari) dengan rata-rata kadar glukosa darah tikus (mg/dl) ... 68

(21)

xix

Gambar 13. Kurva hubungan antara waktu (hari) dengan rata-rata berat badan tikus (mg/dl) ... 72

Gambar 14. Histogram perbandingan rata-rata LDDK0-14 berat badan pada pada tikus kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif,

perlakuan STZ + glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA ... 73 Gambar 15. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok basal dengan

perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans tidak

ada perubahan patologi spesifik ... 76 Gambar 16. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok kontrol negatif

dengan perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans tidak ada perubahan patologi spesifik ... 77 Gambar 17. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok kontrol positif

dengan perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans yang mengalami nekrosis ... 79

Gambar 18. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok perlakuan STZ + glibenklamid dengan perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans yang mengalami nekrosis ... 80

Gambar 19. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok perlakuan STZ + EEAA dengan perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet

(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat determinasi daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg .... 95 Lampiran 2. Surat pengesahan medical and health research ethics

committe (MHREC) ... 96 Lampiran 3. Hasil pembacaan preparat histopatologi organ pankreas

tikus dengan pengecatan Hematoksilin dan Eosin ... 97

Lampiran 4. Leaflet GOD-PAP ... 98 Lampiran 5. Foto ... 100

Lampiran 6. Keseragaman bobot tablet glibenklamid ... 103 Lampiran 7. Bobot pengeringan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg ... 104

Lampiran 8. Perhitungan rendemen serbuk daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg ... 104

Lampiran 9. Penetapan kadar air seruk daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 105 Lampiran 10. Data pengukuran kadar glukosa darah tikus ... 106

Lampiran 11. Hasil perhitungan nilai luas daerah di bawah kurva kadar glukosa darah tikus pada hari ke-0, 4, 7 dan 14 ... 107

Lampiran 12. Analisis statistik nilai LDDK 0-14 kadar glukosa darah tikus... 108

(23)

xxi

Lampiran 14. Hasil perhitungan nilai luas daerah di bawah kurva berat badan tikus pada hari ke-0, 4, 7 dan 14 ... 112

(24)

xxii INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada tikus terinduksi streptozotosin.

Penelitian ini bersifat penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus jantan galur Wistar, umur 6-8 minggu, berat 120-160 g, dan terbagi dalam 5 kelompok sama banyak. Kelompok I merupakan kelompok basal. Kelompok II diberi CMC Na dosis 50 mg/kgBB secara oral. Kelompok III, IV, dan V diinduksi STZ dosis 40 mg/kgBB secara intraperitonial dan kelompok IV dan V dilanjutkan dengan pemberian glibenklamid 0,45 mg/kgBB dan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB secara oral. Pada hari 0, 4, 7 dan 14 ditimbang berat badan dan diukur kadar glukosa darah, hari ke-14 tikus dibedah untuk diamati kerusakan pankreasnya. Data kadar glukosa darah dan berat badan dihitung nilai LDDK0-14 dan dianalis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi normalitas data normalitas data dilanjutkan dengan ANOVA dan uji post hoc Bonferroni dengan tingkat kepercayaan 95% untuk melihat perbedaan antar kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB tidak memiliki efek antihiperglikemik berdasarkan pengukuran kadar glukosa darah dan gambaran histologis pankreas tikus terinduksi streptozotosin.

(25)

xxiii ABSTRACT

This aim of study research were to prove antihyperglycemic effect of ethanol extract of leaves of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg in rats induced-streptozotosin.

This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. This research use 25 male Wistar rats, age group between 6-8 weeks and weight around 120-160 g and was divided into 5 groups as many. Group I was the basal group. Group II was givenCMC Na dose 50 mg/kgBW orally. Group III, IV, and V induced STZ 40 mg/kgBW intraperitoneally and the group IV and V were followed by administration of glibenclamide 0,45 mg/kgBW and ethanol extract of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg leaves 50 mg/kgBW orally. At day 0, 4, 7 and 14 body weight were weighed and blood glucose levels of rats were measured. At day 14th, the rats were dissected and pancreas were taken to observe the damage. Blood glucose levels and body weight were calculated using LDDK0-14 value and analyzed using

Kolmogorov-Smirnov test to look at the distribution of normality the data and resumed using ANOVA and post hoc Bonferroni test standard of 95% to look at the differences between group.

The results showed administration of ethanol extract of leaves of

Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dose of 50 mg/kgBW didn’t have antihyperglycemic effect based on the measurement of fasting blood glucose levels and histologisc structure of the pancreas in rat induced-STZ.

(26)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Diabetes melitus sering dikenal penyakit gula darah atau kencing manis merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dimana kadar glukosa di dalam darah tinggi (Porth and Matfin, 2009; Soegondo, 2005). Kadar

glukosa tinggi atau hiperglikemia yang diakibatkan oleh defisiensi fungsional kerja insulin. Hal ini disebabkan karena sekresi insulin oleh sel β pankreas

menurun, resistensi insulin, atau peningkatan hormon counter regulatory yang melawan efek insulin (McPhee and William, 2010). Akibat dari terjadinya defisiensi insulin adalah penyerapan glukosa dalam sel terhambat sehingga kadar

glukosa dalam darah meningkat (Indrowati dan Joko, 2008).

Diabetes melitus menyebabkan tingginya angka mortalitas. Diperkirakan

terdapat sekitar 180 juta orang dengan diabetes di seluruh dunia dan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030. Peningkatan prevalensi penderita diabetes terbanyak yaitu, di negara India, China dan Amerika Serikat.

Di Indonesia pada tahun 2000 prevalensinya mencapai 8,6 persen dari total penduduk dan menduduki peringkat ke-4 di dunia dan diperkirakan meningkat

pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta orang (Wild, Roglic, Green, Sicree, and King, 2004).

(27)

Dalam penelitian ini, digunakan streptozotosin yang merupakan senyawa diabetogenik untuk menginduksi penyakit DM pada hewan uji. Mekanisme kerja

dari streptozotosin yaitu, alkilasi DNA, pelepasan nitrit oksida (NO) dan radikal hidroksil (OH) yang memicu nekrosis sel β pankreas. Hal ini menyebabkan

penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas akibatnya terjadi poliuria,

polidispia, polifagi dan penurunan berat badan (Nugroho, 2006; Kim, Seock, Bu, Hae, Hong, and Sae, 2006). Dalam penelitian ini, dosis streptozotosin yang

digunakan sebesar 40 mg/kgBB untuk menginduksi diabetes pada tikus. Penggunaan dosis ini disesuaikan dengan penelitian Astuti, Mulyani, Laksmindra,

dan Sismindari (2001) menyatakan pada tikus Sprague Dawley dengan pemberian STZ dosis tunggal sebesar 40 mg/kgBB memberikan respon yang stabil dan penurunan insulin yang lebih cepat dibandingkan dengan dosis 60 mg/kgBB.

Saat ini penggunaan tanaman obat dalam pengobatan, banyak diminati masyarakat. Hal ini mendorong peneliti untuk meneliti lebih mendalam mengenai

penggunaan tanaman obat tradisional. Penggunaan tanaman obat tradisional diharapkan dapat mengoptimalkan pengobatan dan memungkinkan penderita diabetes mempunyai pilihan pelengkap dalam pengobatan untuk meningkatkan

kualitas hidup penderita.

Salah satu tanaman obat tradisional yang biasa digunakan berdasarkan

pengalaman empiris oleh masyarakat adalah Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (tanaman sukun). Artocarpus altilis (Park.) Fosberg termasuk famili Moraceae,

(28)

artondonesianin dan kuersetin (Ramadhani, 2006). Menurut Coskun, Mehmet, Ahmet, and Sukru (2004) kuersetin dapat menurunkan radikal bebas dan

melindungi sel Islet Langerhans akibat induksi streptozotosin. Dalam penelitian Kurniawan (2013) diperoleh isolat 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol dari daun

Artocarpus altilis (Park.) Fosberg yang memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah secara in vitro. Selain itu, Le, Ly, Son, and Trung (2013) juga mengisolasi

β-sitosterol-3-O-β-D-glucopyranoside dari daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg

yang memiliki kemampuan antidiabetes.

Dalam penelitian yang dilakukan Gustina (2012) menyatakan ekstrak

etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dapat menghambat enzim α -glukosidase sehingga berpotensi sebagai antidiabetik. Penelitian Ramadhani (2009) menggunakan etanol 70% dan hasilnya tidak begitu sempurna dalam

melarutkan zat aktif. Sesuai dengan penelitian tersebut, maka digunakan pelarut etanol 96% memiliki kadar alkohol yang lebih tinggi dibandingkan etanol 70%

sehingga diharapkan dapat melarutkan zat aktif dalam daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg dengan sempurna.

Dalam penelitian ini menggunakan hewan uji tikus jantan galur Wistar

yang memiliki kemampuan fisiologis sama dengan manusia dan dipilih tikus jantan karena tikus betina memiliki sensitifitas rendah terhadap streptozotosin

(Kolb, 1987). Senyawa antihiperglikemia berupa ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dengan dosis 50 mg/kgBB yang diberikan secara per oral

(29)

memberikan efek antihiperglikemia pada tikus dengan pemberian ekstrak air panas daun Artocarpus heterophyllus. Tanaman Artocarpus heterophyllus yang

mempunyai genus yang sama Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (famili Moraceae).

Selain itu, dalam penelitian ini digunakan juga glibenklamid sebagai pembanding ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dengan dosis 50 mg/kgBB dengan dosis 0,45 mg/kgBB. Hal ini didasarkan penelitian

Rajasekaran, Karuran, and Sorimuthu (2005) yang menyatakan bahwa glibenklamid biasa digunakan sebagai obat standar pada tikus dengan model

diabetes terinduksi streptozotosin. Dosis sebesar 0,45 mg/kgBB merupakan dosis konversi dari dosis glibenklamid umumnya pada manusia dengan dosis 5 mg.

Efek antihiperglikemik yang diamati dalam penelitian ini adalah kadar

glukosa darah tikus dan berat badan yang menggambarkan karakteristik diabetes melitus. Selanjutnya diamati gambaran histologis pankreas tikus untuk melihat

ada tidaknya nekrosis sehingga dapat disimpulkan tingkat keparahan pada sel Islet Langerhans pankreas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dibuktikan secara ilmiah mengenai efek antihiperglikemik dari ekstrak etanol daun

(30)

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

a. Apakah pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg

dosis 50 mg/kgBB memiliki efek antihiperglikemik berdasarkan pengukuran kadar glukosa darah pada tikus terinduksi streptozotosin?

b. Apakah pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg

dosis 50 mg/kgBB memiliki efek antihiperglikemik berdasarkan gambaran histologis pankreas pada tikus terinduksi streptozotosin?

2. Keaslian penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan Kurniawan (2013) menyatakan hasil isolasi kandungan flavonoid dalam daun sukun (Artocarpus altilis (Park.)

Fosberg) berupa isolat 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol dapat menurunkan kadar glukosa darah secara in vitro. Selain itu, Le, et al., (2013) juga mengisolasi β

-sitosterol-3-O-β-D-glucopyranoside yang memiliki kemampuan antidiabetes. Menurut Coskun, et al., (2004) kuersetin dapat menurunkan radikal bebas dan melindungi sel Islet Langerhans akibat induksi streptozotosin. Penelitian

Ramadhani (2009) menyatakan daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg mengandung senyawa flavonoid yang bersifat larut dalam alkohol. Penelitian

Gustina (2012) menyatakan bahwa ekstrak etanol dan etil asetat daun sukun dapat

menghambat enzim α-glukosidase lebih besar dibandingkan dengan kontrol

(31)

air dan fraksi etil asetat daun sukun dapat menurunkan kadar glukosa darah meskipun belum sebanding dengan glibenklamid.

Sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun sukun yang diinduksi streptozotosin pada tikus jantan Wistar

belum pernah dilakukan. 3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengembangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang kefarmasian tentang manfaat ekstrak

etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dalam pengobatan hiperglikemia dan dampaknya terhadap pankreas.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, informasi, dan masukan kepada masyarakat pada umumnya dan khususnya pada

penderita diabetes mengenai penggunaan daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dalam pengobatan hiperglikemia.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk membuktikan adanya efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg

(32)

2. Tujuan khusus

Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk

a. Mengetahui efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB berdasarkan pengukuran kadar glukosa

darah pada tikus terinduksi streptozotosin.

b. Mengetahui efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB berdasarkan gambaran histologis pankreas

(33)

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tanaman Artocarpus altilis (Park.) Fosberg 1. Habitat dan morfologi

Tanaman Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (sukun) memiliki habitus pohon yang tingginya dapat mencapai 30 meter, namun rata-rata tingginya hanya

12-15 meter. Jenis sukun dapat tumbuh baik sepanjang tahun (evergreen) di daerah tropis basah dan beriklim penghujan. Tanaman sukun memiliki batang

yang besar, bergetah dan bercabang banyak. Daun tanaman sukun kaku, tebal dan tunggal yang bentuknya oval sampai lonjong, ukurannya bervariasi. Satu pohon sukun memiliki ukuran daun dengan panjang 20-60 cm, lebar 20-40 cm dan

panjang tangkai daun 3-7 cm. Bagian ujung daun meruncing, sedangkan bagian pangkalnya membulat, tepi daun berlekuk menyirip kadang-kadang siripnya

bercabang. Permukaan daun bagian atas licin, warnanya hijau mengkilap sedang bagian bawahnya kasar, berbulu dan berwarna kusam. Posisi daun menyebar menghadap ke atas dengan jarak antar daun bervariasi antara 2-10 cm.

Bunga-bunga sukun berkelamin tunggal (Bunga-bunga betina dan Bunga-bunga jantan terpisah) tetapi berumah satu. Bunganya keluar dari ketiak daun pada ujung cabang dan ranting.

Bunga jantan berbentuk tongkat panjang berwarna kuning, dan bunga betina berbentuk bulat betangkai pendek. Buah sukun terbentuk dari keseluruhan jambak

(34)

yang dalam dan akar samping yang dangkal (Pitojo, 1992).

2. Klasifikasi

Kedudukan tanaman sukun dalam klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Urticales Famili : Moraceae

Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg (Triwiyatno, 2003).

3. Penyebaran

Dalam buku History of Indian Archipelago, disebutkan bahwa orang Jepang menemukan tanaman sukun di kepulauan Ambon, kemudian menyebar

luas di Pulau Jawa dan Malaysia bagian barat. Beberapa ahli yang lain berpendapat bahwa tanaman sukun diduga berasal dari Amerika Latin dan kepulauan Pasifik. Dari daerah asalnya, tanaman sukun masuk ke Indonesia

melalui orang-orang Spanyol dan Portugis yang datang ke Indonesia pada abad XV. Di Indonesia, tanaman sukun banyak dikembangkan di wilayah Kabupaten

(35)

4. Kandungan kimia

Daun sukun mengandung beberapa senyawa kimia seperti saponin,

polifenol, asam hidrosianat, asetilkolin, tanin, riboflavin, fenol, dan flavonoid seperti kuersetin dan androindonesianin (Ramdhani, 2009). Selain itu, daun sukun

juga mengandung β-sitosterol, trigliserida, squalen, polifenol, lutein dan asam

lemak (Ragasa, Vincent, Jea, Dong, Kimberly, and Chien, 2014). Penelitian yang dilakukan Kurniawan (2013) mengisolasi kandungan flavonoid dalam daun sukun

(Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) secara spektrofotometer visibel dan menghasilkan isolat 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol (Gambar 1).

Gambar 1. Interpretasi spektrum flavonoid 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol (Kurniawan, 2013)

Le, Ly, Son, and Trung (2013) mengisolasi β-sitosterol-3-O-β -D-glucopyranoside dari ekstrak etil asetat daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg

yang memiliki kemampuan menghambat enzim α-glukosidase dan baik digunakan

dalam pengobatan diabetes.

5. Nama daerah

Tanaman sukun merupakan salah satu jenis yang sangat dikenal di Indonesia dan negara lainnya. Jenis ini memiliki banyak nama lokal tergantung

daerah persebarannya. Beberapa sebutan lokal antara lain, hatopul (Batak), sokon

(36)

(Irian). Di beberapa negara seperti Malaysia dikenal sebagai kulur/kuro, dan di Inggris dikenal sebagai bread fruit (Suprapti, 2002). Di Filipina dikenal sebagai

rimas, Papua New Guinea dikenal sebagai kapiak, Thailand dikenal sebagai sa-ke, khanun-sampalor dan di Vietnam dikenal sebagai sake (Deivanai, and Subhash,

2010).

6. Manfaat

Daun sukun berpotensi sebagai antialergi dan anti tumor (Syah, dkk.,

2006). Daun sukun juga memiliki kemampuan untuk mengurangi risiko kanker, mencegah penyakit jantung, antioksidan, antiinflamasi, antivirus dan dapat

mencegah dan mengobati depresi tulang (Le, et al., 2013). Penelitian Kurniawan (2013) menyatakan hasil isolat flavonoid 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol dapat menurunkan kadar glukosa. Menurut Coskun, et al., (2004) kuersetin dapat

menurunkan radikal bebas dan melindungi sel Islet Langerhans. Daun sukun memiliki aktivitas sebagai penangkap radikal bebas (Suryanto dan Frenly, 2009).

Menurut Ramadhani (2009) terkait pengujian daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg melaporkan daun sukun efektif mengobati penyakit seperti liver, hepatitis, pembesaran limpa, jantung, ginjal dan kencing manis dan juga bisa

untuk penyembuhan kulit yang bengkak atau gatal-gatal. Selain itu, daun sukun juga efektif mengobati tekanan darah tinggi (Mitchell dan Ahmad, 2006). Ekstrak

(37)

B. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari

simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Penyari simplisia dilakukan

dengan cara maserasi, perkolasi atau penyeduhan dengan air mendidih. Penyarian dengan campuran etanol dan air dilakukan dengan cara maserasi atau perkolasi (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010). Ekstraksi

adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak

mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Maserasi dilakukan dengan memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana, tuangi dengan 75 bagian cairan

penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindungi dari cahaya sambil sering diaduk. Setelah itu, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat tertutup dan sejuk

serta terlindungi dari cahaya selama 2 hari kemudian disaring. Maserat yang diperoleh diuapkan pada tekanan rendah dan suhu yang tidak lebih dari 50oC

hingga konsistensi yang dikehendaki (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010).

(38)

memisahkan senyawa aktif dan berkhasiat, dari bahan dengan senyawa kandungan lainnya. Cairan pelarut yang dipilih harus dapat melarutkan hampir semua

metabolit sekunder yang terkandung. Faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan cairan penyari adalah selektivitas, kemudahan bekerja dan proses

dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan keamanan.

C. Pankreas

Gambar 2. Bagian abdominal atas dengan lambung, penampang melintang colon dan sebagian besar bagian hati yang dipotong untuk menunjukkan lokasi dan hubungannya dengan pankreas (Sobotta and Hammersen, 1985)

Pankreas adalah organ retroperitoneum melintang yang terbentang di

antara lengkung “C” duodenum dan terletak di belakang lambung dengan berat

sekitar 100 g (Johnson, 1994) (Gambar 2).

(39)

Gambar 3. Penampang histologis organ pankreas (Sobotta and Hammersen, 2007)

Kelenjar ini merupakan kelenjar ganda yang terdiri atas bagian eksokrin dan endokrin. Secara embriologis, baik komponen eksokrin maupun komponen

endokrin berasal dari endoderm. Bagian eksokrin pankreas membentuk 80% sampai 85% pankreas yang menghasilkan enzim-enzim pencernaan. Bagian endokrin pankreas membentuk 1% sampai 2% pankreas yang terdiri dari sekitar 1

juta kelompok sel Islet (pulau) Langerhans. Sel-sel Islet ini yang mensekresikan insulin, glukagon, dan somatostatin (Kumar, Abbas, dan Fausto, 2010) (Gambar

3).

1. Bagian eksokrin pankreas

Unit fungsional utama dari bagian eksokrin pankreas adalah asinus. Tiap asinus terdiri atas banyak sel epitel piramidal yang bergabung satu sama lain melalui kompleks tautan yang dikelilingi oleh membran basalis. Sel asini

pankreas (Gambar 4), merupakan lebih dari 80% pankreas dan berbentuk bulat. Sel-sel ini khusus mensekresi protein yang digunakan dalam proses pencernaan

(Johnson, 1994).

Islet Langerhanss (bagian endokrin)

(40)

Gambar 4. Gambaran sel-sel asini (bagian eksokrin pankreas) (Mills, 2007)

2. Bagian endokrin pankreas

Bagian endokrin disebut juga Islet Langerhans yang terdiri atas kelompok sel yang terpulas lebih pucat dari sel asinus di sekitarnya (bagian eksokrin). Sel Islet Langerhans memiliki ukuran yang lebih kecil daripada sel

asinus. Bentuknya kelihatan bulat dan dinding selnya tidak mudah dilihat. Di antara sel-sel itu terdapat pembuluh kapiler darah (Wonodirekso, 2003) (Gambar

5). Islet Langerhans terdapat beberapa sel yaitu, sel β pankreas berfungsi menghasilkan insulin. Granula intrasel yang mengandung insulin berisi suatu

matriks kristalina dengan profil rektangular dikelilingi oleh suatu halo. Sel α

mengeluarkan glukagon, memicu hiperglikemia melalui efek glikogenolitiknya pada sel hati. Granula sel α berbentuk bulat dengan membran yang rapat dan

bagian tengah yang padat. Sel δ mengandung somatostatin, yang menekan

pelepaan insulin dan glukagon; sel ini memiliki granula besar, pucat terbungkus

(41)

Gambar 5. Sel Islet Langerhans pankreas (A) Sel β pankreas berfungsi menghasilkan insulin (B) Sel α pankreas berfungsi menghasilkan glukagon (C) Sel δ pankreas berfungsi menghasilkan somatostatin (D) Sel PP berfungsi untuk menghasilkan hormon polipeptida pankreas (Mills, 2007)

Penyakit yang paling signifikan pada pankreas endokrin adalah diabetes

melitus dan tumor endokrin pankreas, sedangkan penyakit pada pankreas eksokrin mencakup fibrosis kistik, anomali kongenital, pankreatitis akut dan kronik, dan

neoplasma (Kumar, dkk., 2010).

D. Diabetes Melitus 1. Definisi

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau

mengalihkan” (siphon). Melitus dari bahasa Latin yang bermakna manis atau

madu. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan gambaran umum hiperglikemia (Kumar, dkk., 2010). Diabetes melitus

A

B

(42)

adalah penyakit yang disebabkan karena adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara

absolut atau relatif dari kerja dan sekresi insulin (Anonim a, 2010). Selain itu, diabetes melitus juga terjadi karena adanya peningkatan hormon counter

regulatory yang melawan efek insulin (McPhee and William, 2010). Kekurangan insulin atau defisiensi insulin mengakibatkan penyerapan glukosa dari peredaran darah ke dalam sel terhambat sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat

(Indrowati dan Joko, 2008).

2. Epidemiologi

Peningkatan jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 disebabkan karena adanya peningkatan pertumbuhan penduduk, peningkatan jumlah usia tua, urbanisasi, peningkatan prevalensi obesitas dan jumlah penduduk yang jarang

berolaraga. Secara keseluruhan, prevalensi penderita diabetes lebih tinggi pada laki-laki berusia di atas 60 tahun dibandingkan pada perempuan. Di negara

berkembang mayoritas penderita diabetes berada pada rentang usia 45-64 tahun sebaliknya, sebagian besar penderita diabetes di negara maju berada pada usia di atas 64 tahun. Diperkirakan pada tahun 2030 penderita diabetes di atas usia 64

(43)

Tabel I. Daftar negara dengan estimasi kasus diabetes tahun 2000 dan 2030

(Wild, et al., 2004) Berdasarkan usia diperkirakan terjadinya peningkatan jumlah penderita

diabetes pada tahun 2000 dan 2030. Dari tabel I di atas dapat dilihat, terdapat tiga negara yang memiliki peningkatan prevalensi terbanyak yaitu, India, China dan Amerika Serikat. Indonesia menempati peringkat ke-4 dengan penderita diabetes

pada tahun 2000 sekitar 8,4 juta penderita yang diperkirakan mengalami peningkatan pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta penderita (Wild, et al., 2004).

3. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis diabetes berkaitan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak mampu

mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang mengakibatkan terjadi hiperglikemia. Apabila hiperglikemia melebihi ambang ginjal untuk reabsorpsi glukosa, maka akan terjadi glukosuria (McPhee and William, 2010).

Glukosuria ini mengakibatkan diuresis osmotik yang secara klinis bermanifestasi sebagai poliuria dan memicu dehidrasi yang dapat merangsang

(44)

ini mengakibatkan penurunan berat badan dan hilangnya kalori melalui urin, rasa lelah dan somnolen (Porth and Matfin, 2009; McPhee and William, 2010).

4. Klasifikasi

Klasifikasi etiologi diabetes melitus berdasarkan American Diabetes

Association (2010) dapat dilihat pada tabel II di bawah ini: Tabel II. Klasifikasi diabetes melitus

Tipe Keterangan

Diabetes tipe 1 Diabetes yang tergantung dengan insulin. Hal ini dikarenakan adanya kerusakan sel-sel β pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin secara tetap.

Diabetes tipe 2 Biasanya diawali dengan resistensi insulin karena defisiensi insulin relatif sampai terjadi gangguan sekresi insulin beserta resistensi insulin.

Diabetes tipe lain 1. Defek genetik fungsi insulin 2. Defek genetik kerja insulin 3. Karena obat

4. Infeksi

5. Sebab imunologi yang jarang: antibodi insulin 6. Resistensi insulin

7. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM (Klinefelter, sindrom Turner)

Diabetes gestasional Karena dampak kehamilan

5. Patogenesis a. Diabetes tipe 1

Diabetes tipe 1 adalah suatu penyakit autoimun, dan kerusakan sel-sel

Islet Langerhans. Diabetes tipe 1 disebabkan oleh limfosit T yang bereaksi terhadap antigen-antigen sel β yang belum diketahui. Seperti halnya penyakit autoimun lainnya, kerentangan genetik dan faktor lingkungan berperan penting

(45)

ketoasidosis, koma dan kematian. Selain itu, penderita DM tipe 1 biasanya ditandai dengan kehadiran anti-GAD, sel Islet atau antibodi insulin yang

mengidentifikasi proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel β (Anonim a,

2010).

Kelainan fisiologis pertama yang terdeteksi pada seseorang yang rentang secara genetik adalah hilangnya fase pertama dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Sebelum hilangnya fase pertama, autoantibodi sel Islet

Langerhans yang terdeteksi dalam serum (autoantibodi yang biasanya dikenal termasuk insulin, glutamat dekarboksilase, tirosin protein fosfatase IA-2

[ICA-512], dan seng transporter 8 [SLC30A8]) akan memicu stimulus proses autoimun yang belum diketahui dan sebagian besar akan mendukung paparan virus (enterovirus, dll). Pada pemeriksaan histologis pankreas hewan uji model diabetes

tipe 1 menunjukkan sel T dalam jumlah yang dominasi di dalam sel CD8+ (insulitis). Akibatnya terjadinya penghancuran sel-sel dimediasi, menghasilkan

TNF-, IFN-, dan IL-1, yang dapat menyebabkan kematian sel. Penghancuran sel terjadi selama berbulan-bulan sampai tahun dan ketika lebih dari 80% dari sel-sel yang rusak, akan terjadi hiperglikemia dan baru dapat didiagnosis secara klinis

bahwa penderita mengalami diabetes tipe 1 (Brunton , Chabner and Bjorn, 2010). b. Diabetes tipe 2

Meskipun diabetes tipe 2 memiliki predisposisi genetik yang jauh lebih kuat, defek molekular spesifik atau defek yang menyebabkan diabetes tipe 2

(46)

Dalam penelitian Trisnawati dan Soedijono (2013) menyatakan bahwa peningkatan risiko diabetes pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada

usia tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Selain itu, pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel

otot. Adapun dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah berkurangnya kemampuan jaringan perifer merespon terhadap insulin (resistensi

insulin) dan disfungsi sel β yang bermanifestasi sebagai kurang adekuatnya

sekresi insulin dalam menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia (Kumar, dkk., 2010).

Patogenesis diabetes tipe 2 menurut Brunton et al. (2010) dapat dilihat dari:

1) Gangguan fungsi sel

Pada penderita diabetes tipe 2, sensitivitas sel terhadap glukosa terganggu dan ada juga yang mengalami hilangnya respon terhadap rangsangan.

Hal ini menyebabkan, sekresi insulin terhambat sehingga glukosa darah meningkat setelah makan dan terjadinya kegagalan menahan lepasnya glukosa hepatik selama puasa. Selain itu, penderita diabetes tipe 2 juga mengalami

pengurangan massa sel. Pengurangan progresif dari massa sel dan fungsi sel mengakibatkan kebanyakan pasien yang membutuhkan terapi terus meningkat

untuk mempertahankan kontrol glukosa darahnya. Peningkatan kadar insulin puasa terjadi disebabkan karena peningkatan jumlah proinsulin. Proinsulin

(47)

2) Resistensi insulin

Sensitivitas insulin merupakan parameter kuantitatif yang diukur sebagai

jumlah glukosa yang dibersihkan dari darah dalam merespon dosis insulin. Kegagalan jumlah insulin dalam mendapatkan respon yang diharapkan disebut

sebagai resistensi insulin. Sensitivitas insulin dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk usia, berat badan, tingkat aktivitas fisik, penyakit dan obat-obatan.

3) Tidak ada regulasi metabolisme glukosa hepatik

Pada penderita diabetes tipe 2, glukosa hepatik yang keluar dalam keadaan puasa sangat berlebihan sehingga tidak cukup ditekan setelah makan.

Akibatnya profil glikemik pasien diabetes menjadi abnormal sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa dalam keadaan setelah diabsorpsi dan penekanan peningkatan kadar glukosa setelah makan.

c. Diabetes gestational

Diabetes gestational terjadi pada wanita hamil, dapat kambuh pada

kehamilan berikutnya dan cenderung sembuh setelah melahirkan. Diabetes gestasional biasanya terjadi pada trimester kedua kehamilan, yang dipicu oleh peningkatan kadar hormon-hormon seperti somatomamotropin khorion,

(48)

6. Diagnosis

Kriteria untuk mendiagnosis penderita diabetes menurut American

Diabetes Association (2010) dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : a. Nilai HbA1C≥ 6,5%.

Nilai HbA1C digunakan sebagai penanda adanya glikemia kronis, yang mencerminkan rata-rata kadar glukosa darah selama periode 2-3 bulan. Pengujian ini digunakan untuk mengontrol pengobatan yang diberikan pada penderita

diabetes. Sebaiknya pengujian ini dilakukan di laboratorium menggunakan metode NGSP bersertifikat dan standar uji DCCT.

b. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (≥ 7,0 mmol/l).

Pengujian kadar glukosa darah puasa dilakukan setelah minimal 8 jam penderita tidak menerima asupan kalori.

c. Kadar plasma glukosa 2 jam selama TTGO ≥ 200 mg/dl (≥ 11,1 mmol/l). Menurut World Health Organization pengukuran beban glukosa yang

terkandung dalam darah setelah 2 jam makan setara dengan 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air.

d. Untuk pasien dengan gejala klasik hiperglikemia, kadar plasma glukosa ≥ 200

mg/dl (≥ 11,1 mmol/l).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis diabetes

(49)

Tabel III. Kriteria kadar glukosa darah pada pasien normal, pradiabetes dan diabetes melitus

Kelompok Glukosa darah puasa Glukosa darah postprandial (mg/dl) (mmol/l) (mg/dl) (mmol/l)

Normal < 100 < 5,6 < 140 < 7,8

Pradiabetes 100-125 5,6-6,9 140-199 7,8-11,1

Diabetes melitus ≥ 126 ≥ 7,0 ≥ 200 ≥ 11,1

(Dipiro, Robert, Gary, Gary, Barbara, and Michael, 2008)

E. Diabetes pada Tikus

Untuk hewan uji khususnya tikus, kadar glukosa darah puasa normal

adalah 50-135 mg/dl (Wolfensohn and Maggie, 2003). Secara umum, kadar glukosa darah sesaat kelompok yang diinduksi STZ harusnya > 200 mg/dl, sedangkan untuk kadar gkulosa darah puasa harusnya > 150 mg/dl (glukosa dari

18 mg/dl = 1mM). Hal yang paling penting adalah harus ada perbedaan yang signifikan antara kelompok yang diinduksi STZ dan kelompok kontrol (Wu and

Youming, 2008).

Dosis yang digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 secara intravena adalah sebesar 40-60 mg/kg, sedangkan dosis intraperitoneal adalah lebih dari 40

mg/kg BB. STZ juga dapat diberikan secara berulang, untuk menginduksi DM tipe 1 yang diperantarai aktivasi sistem imun. Untuk menginduksi DM tipe 2, STZ

diberikan intravena atau intraperitoneal dengan dosis 100 mg/kg BB pada tikus berumur 2 hari kelahiran, atau 8-10 minggu. Dosis tersebut dapat menyebabkan

terjadinya gangguan respon terhadap glukosa dan sensitivitas sel β terhadap glukosa (Szkudelski, 2001). Dosis yang digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 pada tikus berkisar dari 40-70 mg/kgBB (dosis tunggal) dengan jalur pemberian

(50)

mempelajari patogenesis dari DM tipe 1, dan mengevaluasi senyawa antidiabetes (Wu and Youming, 2008). Dalam penelitian Astuti, dkk. (2001) menyatakan

pada tikus Sprague dawley dengan pemberian STZ dosis tunggal sebesar 40 mg/kgBB memberikan respon yang stabil dan penurunan insulin yang lebih cepat

dibandingkan dengan dosis 60 mg/kgBB. Senyawa diabetogenik yang sering digunakan selain STZ yaitu alloxan, vacor, dithizone dan 8-hidroksikuinolon.

F. Insulin 1. Fungsi insulin

Insulin adalah hormon anabolik utama tubuh dan memiliki efek menstimulasi transpor glukosa, meningkatkan transpor asam amino ke dalam sel, menstimulasi sintesis protein, menghambat pemecahan cadangan lemak, protein,

dan glukosa dan menghambat glukoneogenesis, sintesis glukosa baru oleh hati. Insulin dilepaskan pada tingkat/kadar basal oleh sel-sel β pulau Langerhans.

Stimulasi utama untuk pelepasan insulin di atas kadar basal adalah peningkatan glukosa darah (Corwin, 2009).

2. Sintesis insulin

Insulin disintesis sebagai prekursor berantai tunggal yang rantai A dan B dihubungkan oleh peptida C. Produk awal insulin adalah preproinsulin yang

digabungkan dan dipenetrasi ke dalam retikulum endoplasma kasar sel β,

kemudian dipecah menjadi proinsulin. Proinsulin kemudian diangkut ke aparatus

(51)

berfusi dengan membran sel ini. Insulin dikeluarkan ke daerah luar dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel β dan kapiler

berdekatan serta endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1995).

3. Regulasi sekresi insulin

Glukosa merupakan stimulus utama sekresi insulin. Glukosa memasuki

sel β melalui transpor terfasilitasi, yang diperantarai oleh GLUT2. Kemudian

glukosa difosforilasi oleh glukokinase. Metabolisme glukosa yang diawali dengan glukokinase, dan menghasilkan perubahan dalam perbandingan ATP/ADP. Hal ini

mengakibatkan, penghambatan saluran K+ sensitif-ATP dan depolarisasi sel β. Aktivitas konpensasi saluran Ca2+ bergantung pada tegangan dan menghasilkan influks Ca2+ ke dalam sel β. Ca2+ mengaktivasi fosfolipase A2 dan fosfolipase C,

yang menghasilkan pembentukan asam arikidonat, inositol polifosfat dan diasilgliserol. Inositol-1,4,5-trifosfat memobilisasi Ca2+ dari kompartemen

mirip-retikulum endoplasma, yang selanjutnya meningkatkan konsentrasi kation sitosolik. Ca2+ intraseluler bekerja sebagai perangsang sekresi insulin (Gambar 6).

(52)

Insulin dilepaskan pada tingkat/kadar basal oleh sel-sel β pulau Langerhans. Stimulasi utama untuk pelepasan insulin di atas kadar basal adalah peningkatan glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal

adalah 80-90 mg/100 mL darah. Apabila glukosa darah meningkat lebih dari 100mg/100 mL darah, maka sekresi insulin dari pankreas dengan cepat meningkat

cepat dan kemudian ke tingkat basal dalam 2-3 jam (Corwin, 2009).

G. Streptozotosin

Gambar 7. Struktur streptozotosin (Konrad, Irina, Joseph, Kan and Jeffrey, 2001)

Streptozotosin atau streptozosin atau izostazin atau zanosar (STZ) adalah

sintesis dari derivat nitrosoureido glukopiranosa yang diisolasi dari frementasi

Streptomyces achromogenes yang merupakan suatu antibiotik anti tumor dan senyawa kimia yang berkaitan dengan nitrosureas untuk kemoterapi kanker.

(53)

amino]-D-glucopyranose (Gambar 7). Streptozotosin berbentuk bubuk, berwarna kuning pucat digunakan untuk menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan

uji (Etuk, 2010). STZ disimpan pada suhu -20oC untuk menghidari terjadinya kekeringan. Sebelum menimbang STZ, ditutup dengan alumunium foil sehingga

terlindung dari cahaya (STZ sensitif terhadap cahaya). STZ tidak stabil dalam larutan dengan pH terlalu asam. Larutan STZ disiapkan dalam kondisi segar dan diinjeksikan 5 menit setelah dicampur karena STZ dapat terdekomposisi dalam

buffer sitrat 15 sampai 20 menit setelah pencampuan (Wu and Youming, 2008).

Gambar 8. Mekanisme STZ menginduksi rusaknya sel β pankreas (Szkudelski, 2001)

STZ merupakan analog dari glukosa toksik yang terakumulasi dalam sel

β pankreas melalui transporter glukosa GLUT2. Aktivitas alkilasi STZ

dihubungkan dengan bagian nitrosoureidonya. Nitrosoureido bersifat lipofilik dan

diserap jaringan melalui membran plasma dengan proses yang cepat. STZ akan

terakumulasi dalam sel β pankreas melalui transporter glukosa GLUT2 dan

(54)

perpindahan gugus metil dari STZ ke molekul DNA sehingga terjadi alkilasi DNA (Lenzen, 2008). STZ juga secara selektif akan menghambat aktivitas enzim

O-G1cNAase yang bersama-sama dengan O-G1cNAc tranferase bertanggung jawab dalam terhadap perpindahan G1cNAc dari protein. Akibatnya terjadinya

O-glikosilasi protein intraseluler yang mengakibatkan terjadinya kerusakan DNA (Pathak, Helge, Vladimir, and Daan, 2008). Kerusakan DNA akibat STZ dapat mengaktivasi poly (ADP-ribose) polymerase (PARP) yang kemudian

mengakibatkan penekanan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) seluler, penurunan jumlah adenosine triphospate (ATP) dan akhirnya terjadi nekrosis sel

β pankreas (Lenzen, 2008) (Gambar 8).

Selain itu, STZ merupakan pendonor nitrit oksida (NO) yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase

dan pembentukan cyclic guanosine monophospate (cGMP). NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel (Ramesh and Pugalendi, 2006).

STZ juga menghasilkan radikal hidroksi (OH) yang berperan penting dalam

kerusakan sel β pankreas. OH yang dihasilkan STZ menyebabkan terjadinya

pembentukan anion superoksida dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas

xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria. Penurunan produksi ATP mitokondria

mengakibatkan pengurangan secara drastis neukleotida sel β pankreas dan

menyebabkan nekrosis sel (Lenzen, 2008).

(55)

peningkatan kadar glukosa darah setelah 3 hari pemberian STZ sebagai parameter diabetes melitus. Efek metabolik dari streptozotosin menyebabkan terjadinya

hiperglikemia, sedangkan keton dan plasma free fatty acid tidak mengalami peningkatan. Streptozotosin menyebabkan destruksi sel β dan tidak menimbulkan

toksisitas ekstrapankreatik. Namun jika dibandingkan dengan aloxan, streptozotosin lebih efektif dalam induksi diabetes pada hewan percobaan (Etuk, 2010).

H. Glibenklamid

Gambar 9. Struktur glibenklamid

(Parameswararao, Satynarayana, Naga, and Ramana, 2012)

Glibenklamid (Gambar 9), merupakan golongan sulfoniurea generasi kedua. Mekanisme kerja glibenklamid, yaitu dengan merangsang sekresi hormon

insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas. Interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel β menyebabkan terjadinya depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Terbukanya kanal Ca, maka

ion Ca2+ akan masuk ke dalam sel β kemudian merangsang granula yang berisi insulin untuk mengsekresikan insulin. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis

(56)

membandingkan sifat antidiabetes dari berbagai senyawa pada tikus yang merupakan model diabetes terinduksi streptozotosin (Rajasekaran, Karuran, and

Sorimuthu, 2005).

Glibenklamid memiliki potensi 200 kali lebih kuat dari tolbutamid.

Untuk mencapai kadar optimal di plasma, glibenklamid akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Glibenklamid cepat diserap dalam saluran pencernaan, memiliki waktu paruh sekitar 4 jam. Glibenklamid di dalam plasma,

akan terikat pada protein plasma, terutama albumin sekitar 90-99%. Meskipun waktu paruh glibenklamid pendek, namun efek hipoglikemiknya berlangsung

selama 12-24 jam, sehingga cukup diberikan satu kali dalam sehari. Sekitar 50% dari dosis disekresikan dalam urin dan 50% melalui empedu ke tinja. Dosis awal untuk penderita DM tipe 2 adalah 2,5-5 mg setiap hari, disesuaikan setiap 7 hari

dengan penambahan sebesar 2,5 atau 5 mg sehari sampai 15 mg per hari (Suherman, 2007).

I. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah

Metode penetuan glukosa darah dapat ditentukan dengan beberapa cara,

yaitu:

a. Metode kondensasi dengan gugus amina

Prinsip dari metode ini adalah terjadinya kondensasi aldosa dengan orto toluidin dalam suasana asam dan menghasilkan larutan berwarna hijau setelah

(57)

spektofotometri sesuai dengan intensitas warna yang terjadi (Widowati,

Dzulkarnain, dan Sa’roni, 1997).

b. Metode oksidasi-reduksi

Prinsip metode ini adalah dengan reaksi oksidasi reduksi menggunakan

suatu oksidan ferrisianida. Oksidan diredusi menjadi ferrosianida oleh glukosa dalam suasana basa dengan adanya pemanasan. Kelebihan garam ferri dititrasi secara iodometri (Widowati, dkk., 1997).

c. Metode pemisahan glukosa

Prinsip metode ini adalah glukosa dipisahkan dalam keadaan panas

dengan antron atau timol dalam suasana asam. Pemisahan glukosa menggunakan kromatografi tetapi metode ini jarang dilakukan (Widowati, dkk., 1997).

d. Metode enzimatik

Metode enzimatik yang paling sering dilakukan adalah metode glukosa oksidase (GOD) dan heksokinase. Metode GOD memiliki akurasi dan presisi

yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk reaksi pertama), tetapi reaksi kedua rawan interferen (tidak spesifik). Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat dan asam askorbat (Nabyl, 2012).

Penetapan kadar glukosa darah tikus menggunakan metode enzimatik menggunakan pereaksi GOD-PAP “DiaSys®”. Kadar glukosa darah tikus diukur

dengan menggunakan mikrovitalab pada panjang gelombang 500 nm dan

operating time selama 20 menit pada suhu 20-25 oC. Penetapan kadar glukosa

(58)

(GOD) akan mengkatalis oksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. Hidorgen peroksida akan bereaksi dengan 4-amino-antipirin dan fenol

yang dikatalis oleh enzim peroksidase membentuk senyawa kuinonimin berwarna merah muda . Pembentukan senyawa berwarna merah muda ini membutuhkan

waktu 20 menit, dimana dengan waktu 20 menit reaksi antara glukosa yang terdapat dalam serum tikus dengan enzim yang terdapat dalam reagen dapat berlangsung secara optimal (Anonim b, 2012).

Reaksi yang terjadi dapat dilihat dibawah ini:

Glukosa + O2 + 2 H2O GOD asam glukonat + H2O2

2 H2O2 + 2,4-dikloro phenol + 4-aminoantipirin POD quinonimine + 4H2O (Anonim b, 2012)

J. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin

Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) adalah jenis pewarnaan rutin yang paling umum dipakai. Prosedur ini digunakan dalam proses pembuatan preparat histopatologi dari berbagai spesies hewan sakit atau mati dan

memerlukan pemeriksaan hispatologi untuk peneguhan diagnosis hewan yang bersangkutan (Muntiha, 2001). Pewarnaan ini digunakan untuk mewarnai

jaringan. Prinsip dari pewarnaan ini adalah inti yang bersifat asam akan menarik zat/larutan yang bersifat basa sehingga berwarna biru. Sitoplasma bersifat basa akan menarik zat/larutan yang bersifat asam sehingga berwarna merah (Mulyatno,

(59)

1. Deparafinisasi, bertujuan untuk menghilangkan/melarutkan parafin yang terdapat pada jaringan dengan menggunakan xylol.

2. Rehidrasi, bertujuan untuk memasukkan air ke dalam jaringan. Air akan mengisi rongga-rongga jaringan yang kosong dengan menggunakan alkohol

absolut, alkohol 90% dan alkohol 80%.

3. Pewarnaan I, bertujuan untuk memberi warna pada inti dan sitoplasma pada jaringan dengan menggunakan hematoxylin.

4. Differensiasi, bertujuan untuk mengurangi warna biru pada inti dan menghilangkan warna biru pada sitplasma dengan menggunakan HCl 0,6%.

5. Blueing, bertujuan untuk memperjelas warna biru pada inti sel dengan menggunakan lithium carbonat 0,5%.

6. Pewarnaan II, bertujuan untuk memberi warna merah pada sitoplasma sel

dengan menggunakan eosin.

7. Dehidrasi, bertujuan untuk menghilangkan air dari jaringan dengan

menggunakan alkohol 80%, alkohol 90% dan alkohol absolut.

8. Mounting, bertujuan untuk mengawetkan jaringan yang telah diwarnai dengan menggunakan entelan/canada balsem. Jaringan yang telah diwarnai,

akan awet lebih dari 5 tahun.

K. Landasan Teori

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya

(60)

insulin (Anonim a, 2010). Kekurangan insulin atau defisiensi insulin mengakibatkan penyerapan glukosa dari peredaran darah ke dalam sel terhambat

sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Indrowati dan Joko, 2008). Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg mengandung flavonoid 7, 3′, 4′

trihidroksi flavonol dapat menurunkan kadar glukosa (Kurniawan, 2013). Selain itu, Le, et al., (2013) juga mengisolasi β-sitosterol-3-O-β-D-glucopyranoside yang memiliki kemampuan antidiabetes. Menurut Coskun, Mehmet, Ahmet, and Sukru

(2004) kuersetin dapat menurunkan radikal bebas dan melindungi sel Islet Langerhans akibat induksi streptozotosin. Dalam penelitian Gustina (2012)

menyatakan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis memliki efek antidiabetik. Menurut Chandrika, et al., 2006) dengan dosis 50 mg/kgBB dapat memberikan efek antihiperglikemia pada tikus dengan pemberian ekstrak air panas daun

Artocarpus heterophyllus. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dilakukan penelitian pankreokuratif dengan model antihiperglikemik dari daun Artocarpus

altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB, dan senyawa model streptozotosin. STZ merupakan analog dari glukosa toksik yang terakumulasi dalam sel

β pankreas melalui transporter glukosa GLUT2. Mekanisme toksisitas sel β

pankreas melalui aktivitas alkilasi DNA (Szkudelski, 2001) dan mendonorkan nitrit oksida (NO) dan radikal hidroksi (OH) yang menghambat siklus Krebs dan

menurunkan konsumsi oksigen mitokondria sehingga menyebabkan nekrosis sel β

pankreas (Ramesh and Pugalendi, 2006; Lenzen, 2008). Degredasi sel yang

(61)

glukosa darah setelah 3 hari pemberian STZ sebagai parameter diabetes melitus (Etuk, 2010). Penelitian ini termasuk penelitian akut dengan waktu pengamatan

selama 14 hari dan pengambilan cuplikan darah pada hari ke-0, 4, 7 dan 14. Senyawa flavonoid dapat bersifat sebagai antidiabetes karena flavonoid

mampu berperan sebagai senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas dan dapat mencegah kerusakan sel β pankreas yang memproduksi insulin (Schroeter, Clinton, Jeremy, Robert, Enrique, and Catherine, 2002). Efek antihiperglikemik

adalah efek dari suatu senyawa dalam menyembuhkan dan mencegah lebih lanjut

hiperglikemia akibat kerusakan dari sel β pankreas yang sudah terpapar radikal

bebas dalam jangka waktu tertentu.

L. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50

mg/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus terinduksi streptozotosin

2. Pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50

(62)

37 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Hayati Imono dan

Farmakologi-Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Variabel penelitian a.Variabel utama

1) Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perlakuan

hewan uji (dosis glibenklamid dan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg.)

2) Variabel tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah

kadar glukosa darah yang diolah menjadi kurva kemudian dihitung nilai LDDK0-14 dan gambaran histologis pankreas tikus.

b.Variabel pengacau

1) Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam

penelitian ini adalah hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan

Gambar

Gambar 1. Interpretasi spektrum flavonoid 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol
Gambar 2. Bagian abdominal atas dengan lambung, penampang melintang colon dan sebagian besar bagian hati yang dipotong untuk menunjukkan lokasi dan hubungannya dengan pankreas(Sobotta and Hammersen, 1985)
Gambar 3. Penampang histologis organ pankreas
Gambar 4. Gambaran sel-sel asini (bagian eksokrin pankreas)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana efek ekstrak daun sukun ( Artocarpus altilis ) dalam menurunkan kadar kolesterol total tikus putih ( Rattus norvegicus ). 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1

Daun sukun ( Artocarpus altilis ) satu genus dengan tanaman nangka ( Artocarpus heterophyllus ) yang mempunyai efek diuretik. Daun sukun mengandung senyawa kuersetin

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa kombinasi ekstrak etanol daun kemangi dosis 250 mg/kgBB dan ekstrak etanol daun salam dosis 75 mg/kgBB memiliki efek

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui aktivitas antihiperglikemik ekstrak air daun sukun, mengetahui dosis ekstrak air daun sukun yang paling efektif dalam

Penurunan persentase nekrosis hati perlakuan ekstrak etanol 70% daun sukun dosis 1200 mg/kgBB memberikan efek hepatoprotektif paling efektif terhadap mencit jantan yang

Krim Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus altilis) Sama Efektifnya dengan Krim Hidrokuinon dalam Mencegah Peningkatan Jumlah Melanin Kulit Marmut (Cavia porcellus) yang

Kelompok ekstrak etanol daun kamboja dosis 222,2 mg/kgBB terhadap kelompok estrak etanol daun kamboja dosis 277,7 mg/kgBB secara statistik menunjukan hasil yang tidak

Berdasarkan penelitian sebelumnya daun nangka (Artocarpus heterophyllus) yang diekstraksi dengan pelarut hidroalkoholik (60% etanol : 40% air) pada dosis 200 mg/kg dan