DAMPAK MULTIGANDA RENCANA INDUK PEMBANGUNAN
KEPARIWISATAAN DAERAH (RIPPARDA) TERHADAP
KEPARIWISATAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Aditha Agung Prakoso
Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo (STIPRAM) Yogyakarta
Jl. Laksda Adisucipto Km. 5 Yogyakarta 55281 Indonesia
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Nowadays, Daerah Istimewa Yogyakarta is announced as one of tourism destination in Indonesia. It is confirmed that Daerah Istimewa Yogyakarta in Regulation of Government No 50 of Government No 50 Year 2011 is belong to 50 national tourism destinations as known as National Tourism Destination Borobudur – Yogyakarta and its surrounding area. To accomplish The Act No 10 Year 2009 on Tourism and Regulation of Government No 50 Year 2011 on Grand Strategy of National Tourism Development, so Daerah Istimewa Yogyakarta composed Grand Strategy of Regional Tourism Development that called Regulation of Regional Government No 1 Year 2012 on Grand Strategy of Regional Tourism Development Provence Daerah Istimewa Yogyakarta. It is expected to give positive multiplier effect for Daerah Istimewa Yogyakarta community.
Keywords : tourism destination, multiplier effect, grand strategy of national tourism development, tourism planning,
1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Pariwisata bagi banyak daerah di Indonesia sangat diandalkan sebagai sektor unggulan dengan kemampuannya menjadi penopang ekonomi daerah. Sebagai salah satu sektor pembangunan, pariwisata menjadi sumberdaya yang dapat mendukung peningkatan potensi lokal yang ada, sehingga mampu mempersempit kesenjangan yang mungkin terjadi dengan daerah lain yang memiliki sumberdaya sejenis.
memiliki sifat pengganda (multiplier) karena akan terjadi beberapa kali putaran perubahan, dimana putaran yang terakhir sudah begitu kecil pengaruhnya. Dalam hal ini, apa yang dikemukakan Tarigan sebenarnya dapat memperkuat asumsi bahwa pariwisata sebagai salah satu sektor usaha (industri) memiliki pengaruh yang besar terhadap sektor-sektor lainnya yang ada di suatu daerah yang pada akhirnya akan mempengaruhi perkembangan wilayah tersebut secara keseluruhan.
Tarigan juga berpendapat bahwa pembangunan dengan menggunakan suatu pendekatan pengembangan yang berbasis sektoral juga mampu mengubah ruang dan perkiraan atas penggunaan ruang di masa datang dan pada tahap selanjutnya dapat diprediksikan bahwa akan terjadi perpindahan orang dan barang dari satu daerah ke daerah lainnya secara bebas berdasarkan daya tarik (attractiveness) yang lebih kuat yang dimiliki suatu daerah dibandingkan dengan daerah lainnya. Dalam kerangka pemikiran ini, apabila sektor pariwisata memiliki daya tarik yang kuat di suatu daerah maka sangat terbuka kemungkinan bahwa akan banyak wisatawan yang datang ke daerah tersebut. Bahkan apabila dipandang secara lebih optimistik kedepan, daya tarik tersebut juga akan membuka peluang bagi berkembangnya investasi dan kegiatan ekonomi di wilayah yang bersangkutan.
Ada beberapa komponen pengembangan kepariwisataan di daerah yang perlu diakomodasikan. Inskeep (1991) menjelaskan bahwa dalam mengembangkan kepariwisataan di suatu daerah, perlu dikenali terlebih dahulu sifat dari pengembangan yang akan dilakukan tersebut. Beberapa hal yang perlu dikenali dari pengembangan pariwisata di suatu daerah antara lain:
a. Kebijakan pembangunan daerah
b. Akses wilayah dan jaringan transportasi internal yang menghubungkan antara obyek, fasilitas, dan jasa pelayanan lainnya
c. Tipe dan lokasi atraksi pariwisata
d. Lokasi pengembangan kegiatan kepariwisataan termasuk area perhotelan/resort
e. Jumlah, tipe, dan lokasi akomodasi wisatawan dan fasilitas jasa dan pelayanan lainnya
f. Kondisi lingkungan perwilayahan, sosial budaya, ekonomi dan analisis dampak
g. Tingkat edukasi masyarakat dan program-program pendukung yang telah dikembangkan di sekitar obyek wisata
h. Strategi pemasaran yang telah dilakukan dan program-program promosi lainnya
i. Struktur dan hierarki organisasi, legislasi, regulasi, dan kebijakan investasi
j. Teknik implementasi yang mencakup petahapan pengembangan, program/proyek pengembangan, serta regulasi zonasi kewilayahan.
a. Atraksi dan aktifitas wisatawan yang mencakup dekripsi kewilayahan, lingkungan alam, fitur, dan aktifitas terkait lainnya dan ada di area obyek.
b. Akomodasi yang menjadi fasilitas bermalam wisatawan
c. Fasilitas lainnya yang mendukung kegiatan pengembangan kepariwisatan termasuk pusat informasi wisatawan, restoran, pusat cinderamata atau belanja, bank, penukaran uang, retail outlet penyedia barang kebutuhan, tempat-tempat pelayanan pribadi seperti spa, perawatan kesehatan, jasa keamanan dan perlindungan, serta fasilitas tiketing.
d. Fasilitas dan jasa transportasi yang ada sebagai pendukung pergerakan wisatawan termasuk menuju obyek-obyek wisata
e. Infrastruktur pendukung lainnya termasuk listrik, jaringan drainase, pembuangan, dan telekomunikasi
f. Institusi terkait: pihak-pihak yang berkompeten dengan kegiatan pengembangan pariwisata secara luas.
Kedudukan sektor pariwisata sebagai salah satu pilar pembangunan nasional semakin menunjukkan posisi dan peran yang sangat penting sejalan dengan perkembangan dan kontribusi yang diberikan baik dalam penerimaan devisa, pendapatan daerah, pengembangan wilayah, maupun dalam penyerapan investasi dan tenaga kerja di berbagai wilayah di Indonesia. Dinamika dan tantangan dalam konteks regional dan global, telah menuntut suatu perencanaan dan pengembangan sektor pariwisata yang memiliki jangkauan strategis, sistematis, terpadu, dan sekaligus komprehensif mencakup keseluruhan komponen pembangunan kepariwisataan yang terkait, baik dari aspek industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, maupun kelembagaan.
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah akan menjadi fondasi dan dasar yang sangat penting bagi pengembangan dan pengelolaan sumber daya pariwisata budaya dan alam yang tersebar di seluruh DIY. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah secara konkrit akan memberikan visi, arah, dan rencana yang jelas bagi pengembangan kawasan-kawasan wisata baik yang sudah layak disebut unggulan maupun yang potensial di seluruh DIY. Rencana Induk sekaligus akan memberikan panduan atau arahan bagi stakeholders yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah, baik pemerintah/sektor publik, swasta, maupun masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata secara terarah, tepat sasaran, dan berkelanjutan.
1.2Perumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Apa dampak multiganda penyusunan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) terhadap kepariwisataan di Daerah Istimewa Yogyakarta?
2. TINJAUAN PUSTAKA
Buku referensi yang mendukung dalam menyelesaikan penelitian ini cukup banyak, namun beberapa hal yang dapat menjadi referensi teori adalah sebagai berikut:
2.1Aspek Pembangunan Kepariwisataan
Dalam pasal 7 UU no 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan bahwa:
Pembangunan kepariwisataan meliputi: pembangunan kepariwisataan nasional, seperti gambar di bawah ini:
Pengembangan Destinasi Pariwisata (Perwilayahan, Daya Tarik, Aksesibilitas, Fasilitas, Pemberdayaan Masyarakat, Investasi), Pemasaran Pariwisata, Industri Pariwisata, dan Kelembagaan Kepariwisataan (Organisasi, SDM).
Empat pilar tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Destinasi Pariwisata, yang berisi :
1) Perwilayahan Destinasi Pariwisata Daerah
2) Pembangunan Daya Tarik Wisata
3) Pembangunan Aksesibilitas dan/ atau Transportasi Pariwisata
4) Pembangunan Prasarana Umum, Fasilitas Umum dan Fasilitas Pariwisata
5) Pemberdayaan Masyarakat melalui Pariwisata
6) Pengembangan investasi di bidang Pariwisata
b. Pemasaran Pariwisata, yang berisi:
1) Pengembangan Pasar Wisata
2) Pengembangan Citra Pariwisata
3) Pengembangan Kemitraan Pemasaran Pariwisata
c. Industri Pariwisata, yang berisi:
1) Penguatan Struktur Industri Pariwisata
2) Peningkatan Daya Saing Produk Pariwisata
3) Pengembangan Kemitraan Usaha Pariwisata
4) Pengembangan Kredibilitas Bisnis
d. Kelembagaan Kepariwisataan
1) Pengembangan Organisasi Kepariwisataan
2) Pengembangan Sumber Daya Manusia Pariwisata
2.2Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi DIY
rencana induk pembangunan kepariwisataan Provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan Kabupaten/kota.”
Juga dalam pasal 9 disebutkan bahwa “Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.”
Sehingga muncullah Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2012 – 2025 yang akan menjadi menjadi pondasi dan dasar yang sangat penting bagi pengembangan dan pengelolaan sumber daya pariwisata budaya dan alam yang tersebar di seluruh daerah. RIPPARDA DIY secara konkrit akan memberikan visi, arah, dan rencana yang jelas bagi pengembangan kawasan- kawasan wisata baik yang sudah layak disebut unggulan maupun yang potensial di seluruh daerah. RIPPARDA DIY ini sekaligus akan memberikan panduan atau arahan bagi pemangku kepentingan terkait baik di pusat maupun daerah, baik pemerintah/sektor publik, swasta, maupun masyarakat dalam pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata secarah terarah, tepat sasaran dan berkelanjutan.
Pelaksanaan RIPPARDA DIY diselenggarakan secara terpadu oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, dunia usaha, dan masyarakat. Dalam pelaksanaan dibagi dalam tiga (3) tahap:
Tahap I : Tahun 2012 – 2014
Tahap II : Tahun 2015 – 2019
Tahap III : Tahun 2020 – 2025
Dengan penerapannya pada arah kebijakan, strategi dan indikasi program yang tercantum dalam lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan batang tubuh perda tersebut.
2.3Dampak Ekonomi Multi Ganda Pariwisata (Tourism Multiplier Effect)
Menurut Glasson (1990) multiplier effects adalah suatu kegiatan yang dapat memacu timbulnya kegiatan lain. Berdasarkan teori ini dapat dijelaskan bahwa industri pariwisata akan menggerakkan industri-industri lain sebagai pendukungnya. Komponen utama industri pariwisata adalah daya tarik wisata berupa destinasi dan atraksi wisata, perhotelan, restoran dan transportasi lokal. Sementara komponen pendukungnya, mencakup industri-industri dalam bidang transportasi, makanan dan minuman, perbankan, atau bahkan manufaktur. Semuanya dapat dipacu dari industri pariwisata.
Setelah melalui beberapa kali transaksi dalam periode satu tahun, baru akan berhenti dari peredarannya bila uang itu tidak lagi memberi pengaruh terhadap perekonomian negara atau destinasi yang dikunjungi.
Konsep Dampak Ganda (Multiplier Effect) didasarkan pada berbagai sektor pembentuk ekonomi yang saling terkait serta memiliki ketergantungan dalam ekonomi lokal. Analisis dan nilai ganda (multiplier) merupakan indikator penting dalam dampak ekonomi sebelum mendefinisikan perubahan daerah dalam tingkat permintaan eksternal. Oleh karenanya, setiap perubahan pada tingkat pengeluaran wisatawan, dalam hal ini dari luar ekonomi lokal, akan mempengaruhi tingkat pendapatan (income), ketenagakerjaan (employment), penerimaan pemerintah (government revenue), dan pengeluaran (output). Rasio perubahan dalam permintaan akhir (dalam hal ini pengeluaran wisatawan) tersebut yang disebut multiplier.
Kompleksitas dari analisis ganda tergantung dari seluk-beluk transaksi yang terdapat pada sektor ekonomi di tiap daerah. Menurut Industry Classification Standards, pariwisata mempunyai keterkaitan dalam setiap transaksi ekonomi, tidak seperti industri lain yang terpisah-pisah. Untuk itu sektor transaksi data yang digunakan dalam penghitungan dampak ganda pariwisata dibagi dalam 3 macam grup transaksi, yaitu: akomodasi/ hotel dan restoran, tranportasi, dan barang dan jasa serta cinderamata.
Multiplier merupakan konsep analisis Keynes. Konsep ini menjajaki pengeluaran wisatawan dan penyaringnya (filters) ke dalam ekonomi. Penerimaan mengalami penurunan dalam deret geometrik (geometric progression) pada setiap lingkup dampak sebagai hasil kebocoran (leakage). Kebocoran-kebocoran tersebut akan mengurangi penerimaan, baik lingkup efek langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect), maupun efek ikutan (induced effect).
A. Efek Langsung (Direct Effect)
Efek langsung merupakan efek yang mengacu pada sektor pariwisata yang langsung terkait dengan pembelanjaan. Efek keluarannya akan sama dengan nilai perubahan pada permintaan akhir. Dengan kata lain adanya pengeluaran wisatawan secara langsung akan menimbulkan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan perhotelan, restoran, toko kerajinan, dan lain-lain. Atau dapat dikatakan juga bahwa perkembangan kunjungan wisatawan secara otomatis merupakan pertumbuhan industri pariwisata.
B. Efek Tidak Langsung (Indirect Effect)
membeli barang-barang keperluan hotel tersebut dari pedagang besar atau eceran. Adanya tambahan permintaan ini merupakan derivative demand yang tidak berhenti pada padagang saja tetapi akan terus berlanjut sampai industri hulunya.
C. Efek Ikutan (Induced Effect)
Dampak ini terjadi karena peningkatan pendapatan akibat perubahan pada permintaan akhir, sebagian akan dibelanjakan untuk barang dan jasa yang tidak berkaitan dengan permintaan akhir tersebut. Penjual souvenir akan membelanjakan sebagian pendapatannya untuk memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, membeli barang elektronik, dan sebagainya. Makin banyak yang dibelanjakan oleh industri pariwisata dan industri terkait untuk berbagai jenis barang dan jasa, makin besar dampak ikutan dari sektor pariwisata. Pemasok barang dan jasa akan meningkat pendapatannya. Peningkatan pendapatan ini akan mendorong lebih lanjut perekonomian masyarakat sehingga kesempatan kerja dan pendapatan makin lama makin meningkat.
Sifat kepariwisataan yang multi bidang (multifacet) dari kepariwisataan ini membawa konsekuensi bahwa kepariwisataan akan menimbulkan pengaruh ke seluruh sektor ekonomi lainnya. Oleh karena itu, setiap satuan moneter yang dikeluarkan oleh wisatawan akan menciptakan dampak pengganda ini antara lain berupa:
a. Pengganda output (output multiplier) yaitu rasio perubahan dampak langsung, tidak langsung, dan ikutan dalam output terhadap perubahan tingkat pembelanjaan wisatawan.
b. Pengganda penjualan/transaksi (sales or transaction multiplier) yaitu rasio perubahan dampak langsung, tidak langsung, dan ikutan dalam output terhadap perubahan tingkat pembelanjaan wisatawan tetapi tidak termasuk tambahan inventory atau persediaan yang mungkin terjadi akibat perubahan tingkat pembelanjaan wisatawan tersebut.
c. Pengganda pendapatan (income multiplier): memperlihatkan penambahan dampak langsung, tidak langsung, dan ikutan terhadap pendapatan domestik yang dihasilkan akibat penambahan pembelanjaan wisatawan.
d. Pengganda ketenagakerjaan (employment multiplier) : menunjukkan berapa peluang ketenagakerjaan akibat peningkatan pembelanjaan wisatawan.
e. Pengganda penerimaan pemerintah (government revenue multiplier) : menunjukkan bagaimana berapa besar pendapatan pemerintah mampu diciptakan oleh setiap 1 unit tambahan pembelanjaan wisatawan. Secara umum mencakup berbagai bentuk penerimaan pemerintah: pajak, ijin usaha, pungutan/iuran, subsidi, bantuan yang dibayarkan kepada kepada pemerintah terkait dengan penyediaan barang dan jasa pariwisata baik langsung maupun tidak langsung.
domestik, tetapi sebagian lainnya akan dibelanjakan untuk barang-barang/jasa yang merupakan produksi dari luar/impor. Hal ini sama halnya dengan kenyataan bahwa para pemasok akan membelanjakan faktor produksinya dari dalam daerahnya dan sebagian dari luar daerahnya. Oleh karenanya penting diketahui berapa banyak total pembelanjaan wisatawan digunakan untuk membeli barang/jasa produksi lokal dan berapa banyak yang ‘bocor’ (leaks out) akibat membelai barang/jasa impor. Dalam konteks ini, dampak pengganda impor akan memperlihatkan nilai impor barang dan jasa yang berasosiasi dengan setiap unit pembelanjaan wisatawan.
3. CARA PENELITIAN 3.1Penentuan Sampel
Cara penentuan sampel nonramdom sampling purpovise sample, yaitu penentuan sampel tanpa diacak, dengan cara langsung mengarah pada sampel kunci, yaitu dinas pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta dan pemerhati pariwisata DIY. Karena mereka berperan langsung dalam pengembangan kepariwisataan DIY. (Got, 2010)
3.2Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data adalah:
a. Observasi, yaitu peneliti melakukan pengamatan secara langsung di pengembangan kepariwisataan di DIY setelah tersusunnya Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang RIPPARDA DIY.
b. Interview, yaitu peneliti melakukan wawancara terhadap pemerintah daerah dalam hal ini adalah dinas pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta dan pemerhati pariwisata DIY.
c. Studi Kepustakaan, yaitu membaca buku-buku yang berhubungan dengan pengembangan kepariwisataan destinas pariwisata. Sekaligus mencari data sekunder di internet mengenai kepariwisataan di destinasi pariwisata, khususnya dalam skala provinsi (Got, 2010).
3.3Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini mengunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari survei lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui internet.
Metode analisis data yang akan digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini mengambil data penelitian dari hasil survei dan wawancara langsung pada pemangku kepentingan di DIY.
penelitian namun belum memadai. Penelitian deskriptif menjawab pertanyaan apa dengan penjelasan yang lebih terperinci mengenai gejala sosial seperti yang dimaksudkan dalam suatu permasalahan penelitian yang bersangkutan (Malo dan Trisnoningtias, 1986).
Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek dan merasakan apa yang dialami dalam kehidupan sehari-hari dalam pengembangan kepariwisataan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskriptif sehingga merupakan rinci dari suatu fenomena pengembangan kepariwisataan yang diteliti.
4. PEMBAHASAN
4.1Potensi Kepariwisataan Daerah Istimewa Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta, merupakan salah satu provinsi yang berada pada Pulau Jawa sebelah Selatan, bentuk wilayahnya menyerupai bangun segitiga dengan puncak Gunung Merapi di bagian utara dengan ketinggian 2.911 M di atas permukaan air laut, sedangkan pada bagian kaki, dua buah dataran membentang ke arah selatan membentuk dataran pantai yang memanjang di tepian Samudera Indonesia.Secara geografis Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di antara 7º 30‘ sampai dengan 8º15’ Lintang Selatandan 110º sampai d0º52’ Bujur Timur dengan batas-batas wilayah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang.Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten dan Wonogiri. Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo.Dengan luas wilayah 3.185,80 km² atau 0,17 dari luas wilayah Indonesia, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi terkecil setelah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan secara administatif meliputi 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu :
Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi menjadi 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota, yaitu:
a. Kota Yogyakarta dengan luas 32,50 Km² (1,02%)
b. Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 Km² (15,91%)
c. Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 Km² (18,40%)
d. Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 Km² (46,62%)
e. Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 Km² (18,04%)
Gambar Peta Sebaran Daya Tarik Wisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Dalam konteks kepariwisataan, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi kepariwisataan yang cukup besar dan beragam, baik berupa daya tarik wisata, budaya (peninggalan sejarah maupun adat tradisi kehidupan masyarakat) maupun khusus.
Yogyakarta dikenal sebagai salah satu destinasi dengan kekayaan budaya dan warisan budaya yang apresiasif. Kawasan Candi Prambanan, Kawasan Kraton Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, Kawasan Kotagede dan bangunan-bangunan eks Belanda merupakan salah satu bukti kebesaran masa lalu yang masih eksis di destinasi tersebut. Keanekaragaman ritual, kreativitas seni dan keramahtamahan masyarakatnya, membuat DIY mampu menciptakan produk-produk budaya dan pariwisata yang menjanjikan. Waktu tempuh yang relatif pendek dan jangkauannya yang mudah dengan heritage (di luar batas administrasi Propinsi DIY) lain seperti kawasan Candi Borobudur, Kasunanan Surakarta, Dieng Plateau, klentheng-klentheng tua di Semarang dan beberapa obyek wisata lain menjadikan DIY memiliki nilai tambah tersendiri.
alam yang spesifik. Beberapa potensi tersebut apabila ditangani dengan benar akan menjadi produk wisata yang layak diperhitungkan.
Secara historis, masyarakat Yogyakarta merupakan masyarakat yang memiliki budaya tinggi. Berbagai bentuk kesenian berkembang pesat. Kesenian tradisional, modern atau modifikasinya dari keduanya dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Peninggalan budaya masa lalu yang berujud fisik, non fisik (pertunjukan) maupun adat istiadat (ritual) masih terpelihara dan mengakar dengan kuat pada sebagian komunitas. Bahkan berbagai ritual tersebut dilakukan oleh sebagian masyarakat secara rutin dan merupakan potensi wisata yang layak diagendakan. Desa wisata merupakan salah satu wujud upaya pemberdayaan potensi (budaya dan alam) yang terkandung dalam lingkungan masyarakat.
DIY memiliki julukan Indonesia Mini, karena di DIY banyak ditemukan pendatang dari berbagai suku bangsa di Indonesia, dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan dari mereka datang sebagai pelajar dan mahasiswa. Kedatangan mereka dibarengi dengan masuknya aneka ragam budaya. Keberadaan mereka merupakan pasar yang cukup potensial sekaligus alat promosi yang baik bagi eksistensi DIY di daerahnya, khususnya yang berkaitan dengan bidang pariwisata. Berikut beberapa daya tarik wisata di DIY:
Tabel Daya Tarik Wisata di DIY
Objek dan Daya Tarik Wisata
Wisata Alam Wisata Budaya Wisata Khusus
Objek dan Daya Tarik Wisata
Wisata Alam Wisata Budaya Wisata Khusus
▪ Gua Kiskendo ▪ C. Morangan
▪ Kawasan Kotagede
▪ Museum Sonobudoyo
▪ Museum Batik
▪ Museum Perjuangan
▪ Museum Kereta Kraton
▪ Museum Benteng Vredenburg
▪ Museum Affandi
▪ Museum Wayang Kekayon
Gede
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Potensi daya tarik wisata tersebut tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi wilayah kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul.
Gambar Jumlah Wisatawan Domestik dan Asing yang Menginap di DIY, 2004-2013 (000 Jiwa)
Jumlah kunjungan wisata ke DIY selama periode 2005-2013 cukup berfluktuasi dan sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro maupun faktor eksternal seperti bencana alam dan lainnya. Tercatat sebanyak dua kali jumlah kunjungan wisata mengalami penurunan pada tahun 2006 sebagai dampak dari gempa bumi dan tahun 2010 sebagai dampak dari erupsi Merapi. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah kunjungan wisatawan ke DIY menunjukkan peningkatan secara signifikan. Selama tahun 2013, jumlah wisatawan yang berkunjung ke DIY mencapai 3,81 juta, terdiri dari 3,60 juta wisatawan domestik dan 207,28 ribu wisatawan asing. Jumlah wisatawan domestik jauh lebih dominan dibanding wisatawan asing dengan porsi sekitar 94,56 persen. Perkembangan kunjungan wisata selama sembilan tahun terakhir menunjukkan bahwa setiap tahun jumlah kunjungan rata-rata meningkat sebesar 7,83 persen. Jumlah kunjungan wisatawan asing mampu tumbuh di atas tas 20 persen per tahun, sementara wisatawan domestik tumbuh 7,40 persen per tahun. (BPS DIY, 2014)
4.2Nilai Strategis Penyusunan RIPPARDA DIY
Sejalan dengan perkembangan industri pariwisata yang semakin kompetitif dan tren pasar dunia yang semakin dinamis, maka pembangunan kepariwisataan Kabupaten Bintan harus didorong pengembangannya secara lebih kuat dan diarahkan secara tepat untuk meningkatkan keunggulan banding dan keunggulan saing kepariwisataan DIY dalam peta kepariwisataan regional, nasional maupun Internasional.
Sejalan dengan pemberlakukan UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan dengan berbagai perubahan dalam pengaturan kepariwisataan mengharuskan tiap-tiap daerah menyesuaikan diri. Dalam Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2009 disebutkan bahwa
“Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk pembangunan kepariwisataan Nasional, rencana induk pembangunan kepariwisataan Provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan Kabupaten/kota.”
Dalam pasal 9 disebutkan bahwa
“Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.”
Dalam dokumen RIPPARNAS, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masuk dalam destinasi Borobudur – Yogyakarta dskt.
Gambar Posisi Destinasi Borobudur – Yogyakarta dalam RIPPARNAS
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Destinasi Borobudur-Yogyakarta menjadi salah satu dari 50 Destinasi Kepariwisataan Nasional, yang didalamnya memiliki 7 (tujuh) Kawasan Pengembangan Pariwisata, dengan 5 kawasan di wilayah DIY, yaitu:
a. Kws Karts Gunung Kidul dskt
b. Kws Prambanan–Kalasan dskt
c. Kws Yogyakarta Kota dskt
d. Kws Pantai Selatan Yogya dskt
e. Kws Merapi–Merbabu dskt
Dan 2 (dua) kawasan di wilayah Jawa Tengah
a. Kws Borobudur–Mendut–Pawon dskt
Gambar Destinasi Borobudur – Yogyakarta
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
a. Memberikan arah pengembangan yang tepat terhadap potensi kepariwisataan (dari sisi produk, pasar, spasial, sumber daya manusia, manajemen, dsbnya),sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara positif dan berkelanjutan bagi pengembangan wilayah dan kesejahteraan masyarakat; dan
b. Mengatur peran setiap pemangku kepentingan terkait (lintas sektor, lintas pelaku, lintas daerah/ wilayah) agar dapat mendorong pengembangan pariwisata secara sinergis dan terpadu.
Dalam RIPPARDA DIY terdapat pengembangan perwilayahan kepariwisataan DIY yang mencakup beberapa pembagian wilayah dengan konsep pengembangan yang spesifik. kawasan pengembangan kepariwisataan seperti yang ada pada bagian perwilayahan RIPPARDA DIY. Perwilayahan pembangunan destinasi pariwisata daerah Daerah Istimewa Yogyakarta mencakup:
A. Kawasan Lereng Merapi Bagian Selatan dskt
B. Kawasan Prambanan – Ratu Boko dskt
C. Kawasan Godean – Moyudan dskt
D. Kawasan Kraton – Malioboro dskt
E. Kawasan Kasongan – Tembi – Wukirsari dskt
F. Kawasan Parangtritis – Depok – Kuwaru dskt
G. Kawasan Baron – Sundak dskt
H. Kawasan Siung – Wediombo – Bengawan Solo Purba dskt
I. Kawasan Patuk dskt
J. Kawasan Karst Gunung Sewu dskt
K. Kawasan Congot – Glagah – Trisik dskt
Gambar Peta Perwilayahan RIPPARDA DIY 2012 – 2025
Sumber : RIPPARDA DIY, 2011
Kawasan tersebut dikembangkan dengan konsep dan tema yang berbeda, baik dari segi destinasi, pemasaran, industri dan kelembagaannya.
Dengan tema yang spesifik tersebut diharapkan pengembangan kepariwisataan di tiap kawasan pengembangan tersebut dapat lebih sesuai dan langsung kepada permasalahannya, sehingga dapat terencana dan terealisasikan secara optimal.
4.3Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY
sebesar 7,81%. Industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil; serta industri furnitur memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan di sektor industri pengolahan yang produksinya sangat dipengaruhi oleh permintaan domestik melalui kegiatan pariwisata maupun permintaan ekspor.
Pertumbuhan tertinggi berikutnya dihasilkan oleh sektor listrik, gas dan air bersih (6,54%) serta sektor pengangkutan dan komunikasi (6,30%). Kemudian disusul sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor jasa yang masing-masing tumbuh sebesar 6,20% dan 5,57%. Sektor pertanian menjadi sektor yang memiliki laju pertumbuhan terendah, meskipun masih tumbuh positif sebesar 0,63%.
Gambar Pertumbuhan Ekonomi DIY 2009-2013 Sumber: BPS DIY, 2014
Selama kurun waktu 2009-2013, nilai PDRB DIY Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) mengalami peningkatan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun. Pada tahun 2009 nilai PDRB ADHB tercatat sebesar 41,41 trilyun rupiah dan pada tahun 2013 mencapai 63,69 trilyun rupiah yang berarti PDRB DIY secara nominal mengalami kenaikan sebesar 22,28 trilyun rupiah atau 53,82% selama kurun lima tahun tersebut.
Tabel Nilai PDRB DIY Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB)
menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) 2009 - 2013
Sumber : BPS DIY, 2014
Tabel di atas menunjukkan kontribusi masing-masing sektor terhadap pembentukan PDRB yang dapat menggambarkan seberapa besar peranan suatu sektor dalam menunjang perekonomian. Selama periode 2009-2013 struktur perekonomian DIY didominasi oleh empat sektor, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran; sektor jasa-jasa; sektor pertanian; serta sektor industri pengolahan. Kontribusi sektor pariwisata yang diwakili oleh perdagangan, hotel, dan restoran cenderung meningkat pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012, yakni sekitar 13,152 trilyun rupiah.
Sektor jasa memberikan kontribusi terbesar pada PDRB DIY dengan rata-rata kontribusi selama lima tahun terakhir sebesar 20,02%. Setelah itu diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran (19,84%); sektor pertanian (14,71%), serta sektor industri pengolahan dengan kontribusi 13,77%.
Dengan angka sektor pariwisata yang diwakili oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang cukup tinggi membuktikan bahwa kegiatan kepariwisataan di DIY merupakan salah satu bidang yang cukup memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian DIY pada umumnya.
4.4Dampak Multi Ganda Pengembangan Kepariwisataan di DIY
Berkembangnya kegiatan pariwisata akan menggerakkan berlapis-lapis mata rantai usaha yang terkait di dalamnya, sehingga akan menciptakan efek ekonomi multi ganda (multiplier effect) yang akan memberikan nilai manfaat ekonomi yang sangat berarti bagi semua pihak yang terkait dalam mata rantai usaha kepariwisataan tersebut. Dampak ekonomi multi ganda pariwisata akan menjangkau baik dampak langsung, dampak tak langsung maupun dampak ikutan yang pada umumnya terkait dengan usaha skala kecil dan menengah maupun usaha-usaha di sektor hulu (pertanian, perkebunan, peternakan dan sebagainya).
Gambar Kontribusi Para Wisatawan Terhadap Ekonomi Lokal dan Multiplier Effect nya bagi Sosial
Ekonomi Masyarakat Setempat
Gambar Dampak Ekonomi Multi Ganda Pengembangan Pariwisata
Gambar Dampak Ekonomi dari Pariwisata
Sumber : Analisis Penulis, 2015
Efek multiganda (multiplier effect) bisa terjadi pada aspek:
(1) Pendapatan
(2) Ketenagakerjaan
Proses multiganda pada aspek pendapatan:
(1) dampak langsung (direct) adalah belanja wisatawan;
(2) dampak tidak langsung (indirect) adalah pengeluaran industri pariwisata (misal: akomodasi);
(3) dampak ikutan (induced) adalah pengeluaran rutin pemasok industri non-pariwisata.
Dalam hal ini, artinya pariwisata memberikan banyak peluang usaha pula kepada masyarakat, termasuk kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Selain menjadi tenaga kerja, masyarakat di sekitar kawasan wisata dapat pula menjadi pelaku pengembangan usaha diantaranya dalam bentuk pembuatan dan/atau penjualan cinderamata, usaha kuliner lokal, supplier bahan baku makanan, dan sebagainya.
Pengembangan kepariwisataan di DIY tidaklah lepas dari dampak multi ganda yang ditimbulkan. RIPPARDA DIY sebagai dokumen pengembangan kepariwisataan menjadi salah satu alat untuk meningkatkan optimalisasi dampak multi ganda pengembangan kepariwisataan.
Beberapa dampak yang dapat dijabarkan dengan adanya RIPPARDA DIY, antara lain:
A. Efek Langsung
Penyusunan RIPPARDA DIY diharapkan menjadi pedoman dalam meningkatkan pengembangan kepariwisataan di DIY, DIY sebagai salah satu destinasi wisata nasional maupun internasional membutuhkan pedoman pengembangan kepariwisataan yang tidak hanya menghadirkan daya tarik yang berkelas dunia serta kenyamanan dan keamanan dalam berwisata, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat DIY pada umumnya.
Dampak multi ganda – efek langsung yang dapat dilihat langsung adalah yang langsung terkait dengan pembelanjaan wisatawan. Contohnya : hotel, restoran, guide, tour operator, galeri, cinderamata dll.
Perkembangan hotel bintang di DIY sebagai contohnya, mengalami peningkatan sebagai akibat dari perkembangan kepariwisataan di DIY, dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel Jumlah Hotel Bintang dan Non Bintang di DIY 2004 – 2013
Tabel Jumlah Hotel Bintang dan Non Bintang di DIY 2013 – 2014
Sumber : BPS DIY, 2015
Berdasar data statistik, pada tahun 2010 terdapat 36 hotel berbintang dengan kapasitas 3.631 kamar dan hotel non bintang sebanyak 1098 hotel dengan kapasitas 12.519 kamar. Pada tahun 2011 bertambah menjadi 41 hotel mulai dari bintang, dengan jumlah 3.953 kamar hotel,
sedangkan hotel kelas melati ada tiga hotel dengan 12.407 kamar. Dapat dilihat dari tabel di
atas bahwa terdapat pertumbuhan jumlah hotel bintang di DIY dari tahun 2013 berjumlah 39 bertambah menjadi 43 pada tahun 2014. Pertumbuhan hotel berbintang yang demikian pesat yang tentu mau tak mau akan mempertajam tingkat persaingan usaha. Apalagi, jika laju pertumbuhan tersebut disertai dengan pertumbuhan pasar/ wisatawan. Pertumbuhan hotel yang sangat tajam di DIY ini dari satu sisi menimbulkan masalah namun dari sisi positifnya akan membuka lapangan pekerjaan bagi para lulusan pariwisata.
B. Efek Tidak Langsung
Efek tak langsung mengacu pada kelanjutan dari kebutuhan sebuah industri yang mengalami peningkatan permintaan produknya untuk melakukan pembelian dari industri lain yang terkait, untuk memproduksi outputnya. Jadi dari sebagian uang yang dikeluarkan oleh wisatawan tersebut akan mengalami peredaran lebih lanjut. Misalnya, hotel akan menggunakan penerimaannya untuk membayar upah dan gaji kepada pekerja lokal atau untuk membeli barang-barang keperluan hotel tersebut dari pedagang besar atau eceran.
Tabel Dampak Multi Ganda – Efek Tidak Langsung
No Efek Langsung Efek Tidak Langsung
1. Hotel −Karyawan Hotel
No Efek Langsung Efek Tidak Langsung −Event Organizer
−Pemerintah Daerah (Pajak)
−Daya Tarik Wisata (kunjungan wisatawan)
2. Restoran −Karyawan Restoran
−Supplier −Tour Operator −Event Organizer
−Pemerintah Daerah (Pajak)
3. Tour Operator −Karyawan TO
−Pemerintah Daerah (Pajak)
−Daya Tarik Wisata (kunjungan wisatawan) −Perusahaan Transportasi
Sumber: Analisis Penulis, 2015
C. Efek Ikutan
Dampak ini terjadi karena peningkatan pendapatan akibat perubahan pada permintaan akhir, sebagian akan dibelanjakan untuk barang dan jasa yang tidak berkaitan dengan permintaan akhir tersebut. Contohnya penjual souvenir akan membelanjakan sebagian pendapatannya untuk memperbaiki rumah, menyekolahkan anak, membeli barang elektronik, dan sebagainya. Sehingga efek ikutan ini bisa mencakup ke bidang usaha yang lebih luas lagi, diharapkan dampak positif pariwisata ini merata pada masyarakat DIY pada umumnya.
4.5Penyelenggaraan Even Pariwisata dan Budaya sebagai Upaya Perluasan Dampak Multiganda Kepariwisataan
Sebagai kota pariwisata dan budaya, Yogyakarta memiliki beberapa even-even rutin yang diselenggarakan oleh DIY sebagai ajang untuk promosi dan memasarkan DIY kepada wisatawan yang berkunjung. Dari beberapa event tersebut dapat dibagi menjadi tiga jenis event, antara lain:
A. Event Tradisional
membuang sesuatu kedalam air sungai atau laut. Upacara Labuhan sendiri bermaksud memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa di suatu tempat. Upacara Labuhan adalah upacara yang digelar secara rutin pada tanggal 29 Rejeb dalam penangalan Jawa. Upacara ini merupakan rangkaian upacara yang dilaksanakan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam rangka peringatan jumenengan Ndalem Sri Sultan Hamengkubuwono yang diselenggarakan setiap tanggal 30 bulan Rejeb penanggalan Jawa. Upacara Labuan ini telah di laksanakan semenjak berdirinya kesultanan Yogyakarta. Upacara Labuan sendiri biasanya dilakukan di Pantai Parangkusuma, Gunung Merapi, dan Gunung Lawu. Sesaji yang dilarung dalam upacara ini dimaksdkan sebagai keselamatan Sri Sultan, seluruh isi keraton, dan seluruh rakyat Yogyakarta. Di ketiga tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung.
Selain upacara Labuhan, event tradisional DIY sendiri adalah Upacara Sekaten. Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan secara bergantian menandai perayaan sekaten. Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih dan Endhog Abang merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil.
Gambar Even Tradisional Sekaten dan Labuhan
Sumber : www.google.com
B. Event Buatan berbasis Budaya
Festival Kesenian Yogyakarta atau FKY adalah event seni-budaya tahunan yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY. Even tersebut merupakan agenda kesenian yang dilaksanakan setiap tahun DIY. Agenda kesenian ini dimeriahkan oleh para seniman maupun kelompok-kelompok kesenian yang ada di 5 kabupaten/kota DIY (Bantul, Sleman, Kulonprogo, Gunungkidul dan Yogyakarta).
FKY memberikan nuansa tradisional yang kuat lewat kesenian daerah yang dipertunjukkan di acara ini.Sebut saja Pagelaran Wayang Kulit, Ketoprak, Jathilan, Pentas Seni Sulap Tradisi, Pentas Musik Kontemporer, Pertunjukkan Tari kontemporer, Pagelaran Musik Rukun Rencang dan berbagai kompetisi gelar seni untuk anak hingga festival band untuk umum membuat suasana liburan jadi kian lengkap. Tak hanya itu, berbagai kuliner tradisional pun disuguhkan bagi para pengunjung.
Setiap tanggal 7 Oktober masyarakat Kota Yogyakarta selalu merayakan hari jadi kotanya, bertepatan dengan perpindahan kraton yongyakarta dari pesanggrahan Ambarketawang ke kawasan yang dikenal sebagai kraton Yogyakarta saat ini. Pada tahun 2011 ini Kota Yogyakarta akan merayakan hari jadi kotanya yang ke-255 tahun. Dengan diawali serangkaian kegiatan seperti Pawai Mozaik Jogja dan Festival 45 Kelurahan, puncak peringatan hari jadi Kota Yogyakarta akan diperingati dengan Jogja Java Carnival pada tanggal 15 Oktober 2011. Jogja Java Carnival yang mengusung brand image : night carnival (carnival di malam hari), street performance (performance yang akan selalu dilakukan selama carnival berjalan dengan menggunakan jalan sebagai area panggungnya), mobile floating (area panggung yang berjalan yang diwujudkan dalam vehicle atau kendaraan sebagai bagian dari area panggungnya), dan international participant (keterlibatan partisipan dari luar negeri) ini diharapkan dapat menjadi ikon event pariwisata Kota Yogyakarta.
keharmonisan budaya, di tahun 2011 yang merupakan tahun keempat penyelenggaraannya, Jogja Java Carnival mengusung tema Magnificence of The World dimana Jogja Java Carnival akan mengusung pusat-pusat peradaban dunia yang masuk dalam jajaran Keajaiban Dunia dalam sebuah karya garapan seni dan budaya. Hal ini menunjukkan pluralisme Kota Yogyakarta yang tergambar dalam kemampuannya menyerap sebuah inovasi tanpa menanggalkan ciri-ciri tradisinya. Tradisi Mengawal Inovasi menjadi semangat untuk selalu berkarya bagi masyarakat Kota Yogyakarta. Event lainnya seperti Jogja Fashion Week, Jogja Biennale, Pekan Budaya Tionghoa, dll, turut menjadi icon bagi pariwisata Yogyakarta.
Gambar Jogja Java Carnival
Sumber : www.google.com
C. Event Buatasn berbasis Komunitas
Dolanan anak merupakan sebuah kebiasaan budaya bermain bagi anak-anak yang biasa dilakukan oleh kebanyakan anak di Jawa pada beberapa dekade yang telah lalu. Saat ini keberadaan dolanan anak sudah sangat jarang dimainkan. Berpijak dari hal ini maka Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta berupaya untuk terus mengangkat dan melestarikan keberadaannya dengan mengadakan Festival Dolanan Anak, dengan maksud dan tujuan untuk mengenalkan kembali jenis-jenis permainan anak yang sering dimainkan oleh anak-anak jaman dulu kepada anak-anak generasi sekarang, agar anak-anak jaman sekarang dapat menyanyikan beberapa lagu dolanan anak, untuk menumbuhkan rasa cinta anak-anak terhadap warisan budaya daerah, serta untuk membentuk sikap dan perilaku budaya daerah pada anak-anak.Biasanya festival dolanan bocah ini dilaksanakan selama 3 hari di di Pendopo Taman Siswa Yogyakarta.
dengan berbagai alat musik lainnya. Festival ini di selenggarakan di Taman Budaya Yogyakarta.
Berbagai jenis event-event berbasis komunitas lainnya seperti : komunitas harley davidson, Jogja Sunday Morning Ride, komunitas sepeda onthel Jogja, dan masih banyak event-event berbasis komunitas yang menjadi citra pariwisata Yogyakarta yang mampu menarik minat wisatawan untuk berwisata.
Gambar Even berbasis Komunitas
Sumber : www.google.com
Pariwisata berbasis even bisa diadakan hanya satu kali atau secara reguler, dan keduanya berkaitan erat dengan promosi dan pemasaran daerah (Jafari, 2000). Sejak beberapa dekade terakhir, jumlah festival dan special event meningkat dengan pesat, di mana hal ini memberikan kesempatan bagi penyelenggara even untuk membagi kebudayaan lokal mereka kepada pengunjung luar daerah. Pengunjung akan mendapatkan pengalaman yang unik dalam waktu bersamaan. Hal ini tentu disebabkan karena acara semacam ini bukanlah atraksi wisata yang bisa dikunjungi dan ditonton tiap hari, melainkan diadakan di luar program wisata atau kegiatan wisata normal lainnya (Jafari, 2000).
Menurut Boo dan Busser (2006), pariwisata event bisa memberikan tiga dampak utama kepada daerah dan komunitas lokal. Pertama, dampak ekonomi, di mana pendapatan suatu daerah dan komunitas meningkat seiring berdatangannya para wisatawan.
Kedua, peningkatan image suatu daerah, bukan hanya terhadap orang-orang luar daerah, tapi juga komunitas-komunitas lokal.
Gambar Analisis Penerima Dampak Penyelenggaraan Even
Sumber : Analisis Penulis, 2015
5. KESIMPULAN
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta disusun sebagai pengamalan dari mandat UU Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan serta PP Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS).
Namun selain itu RIPPARDA DIY diharapkan menjadi pedoman perencanaan kepariwisataan di DIY agar lebih terarah agar pengembangan dan pemanfaatan aset-aset pariwisata dapat memberi kontribusi signifikan dalam mewujudkan peran sektor pariwisata sebagai andalan pembangunan di masa depan. dalam menghadapi era perdagangan bebas saat ini.
Pariwisata sebagai sebuah sektor telah mengambil peran penting dalam pembangunan perekonomian. Kemajuan dan kesejahteraan yang makin tinggi telah menjadikan pariwisata sebagai bagian pokok dari kebutuhan atau gaya hidup manusia, dan menggerakkan jutaan manusia untuk mengenal alam dan budaya ke belahan atau kawasan-kawasan dunia lainnya. Pergerakan jutaan manusia selanjutnya menggerakkan mata rantai ekonomi yang saling kait mengkait menjadi industri jasa yang memberikan kontribusi penting bagi perekonomian, serta peningkatan kesejahteraan ekonomi di tingkat masyarakat lokal.
kepariwisataan inilah yang diharapkan berimbas secara optimal kepada masyarakat lokal DIY, baik efek langsung, tidak langsung maupun efek ikutannya.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. (2015). Rencana Kerja Pembangunan Daerah 2015. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta
Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2014). Direktori Hotel dan Usaha Akomodasi Lain Daerah Istimewa Yogyakarta 2014. Yogyakarta: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
---. (2014). Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: BPS Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Bater, J. et al. (2001). Planning for Local Level: Sustainable Tourism Development, Canadian Universities Consortium: Urban Environmental Management Project Training & Technology Transfer Program, Canadian International Development Agency (CIDA).
Boo, S. Y. & Busser, J. A. (2006). Impact analysis of a tourism festival on tourists destination images and satisfaction. Event Management,
Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. (2011). Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta
Glasson, John. (1990). Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan Paul Sitohang. Jakarta : LPFE – UI.
Got, Nicolaus. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Kepel Press
Gunn, Clare A. (1994). Tourism Planning: Basics, Concepts, Cases Third Edition. Washington DC: Taylor&Francis.
Inskeep, Edward. (1991). Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach. Van Nostrand Reinhold: New York
Jafari, Jafar. (2000). Encyclopedia Of Tourism. London: Routledge.
Malo, Manasse dan Trisnoningtias, Sri. 1986. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu Ilmu Sosial Universitas Indonesia.
PP Nomor 50 tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
Perda Nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tarigan, Robinson. (2004). Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
UU Nomor 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan