• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Stratejik Turki dan Reaksi Terhad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Budaya Stratejik Turki dan Reaksi Terhad"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Budaya Stratejik Turki dan Reaksi Terhadap Konflik Irak

Abstrak

Sebagai salah satu negara yang tidak pernah dijajah, bukan berarti Turki tidak memiliki pandangan mengenai ancaman yang mungkin muncul bagi negaranya. Turki memiliki cara pandang yang berbeda mengenai ancaman yang dianggap mampu mengganggu kepentingan dan stabilitas nasionalnya. Turki menganggap ancaman dapat berasal dari dalam berupa konflik ideologi ataupun yang lainnya, yang kemudian berpengaruh terhadap hubungan eksternal dimana pemilik ideologi saling meminta bantuan dukungan dari pihak luar. Di sisi lain, Turki juga menganggap bahwa negara tetangga dapat berubah menjadi ancaman. Turki menganggap bahwa konflik yang ada di sekitar perbatasannya menjadi tanggung jawab negaranya. Hal ini dikarenakan Turki memiliki ketakutan bahwa konflik yang terjadi berkemungkinan meluas ke wilayah kedaulatannya dan menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Pandangan ini menjadi dasar kuat atas keterlibatan Turki dalam permasalahan yang ada di Irak. Lebih lanjut, Turki menganggap bahwa homogenitas, baik etnis, agama, atau apapun menjadi salah satu alasan bagi Turki untuk melakukan kerjasama. Anggapan ini mendorong Turki untuk berasumsi bahwa pergerakan Kurdish Irak yang ada di Irak bagian utara akan turut mempengaruhi Kurdish yang ada di Turki, sehingga Turki berhak untuk melakukan intervensi terhadap Kurdish Irak.

Kata Kunci: budaya Stratejik, Turki, strategic depth, Irak, Kurdish

Abstract

As a country which never colonized does not mean that Turkey have no view about the threats that may arise for the country. Turkey has a different view of threats that are considered interfering its national interests and stability. Turkey considers the threat may come from domestic case in the form of ideological conflict or the others, which then affect the external relations where the ideologist seek of mutual assistance through external support. On the other hand, Turkey also considers that the neighboring countries could turn into some threats. Turkey considers that the existing conflicts around its borders be the responsibility of Turkey. This perspective came because Turkey has a fear about possibility for the conflict to spread into its territory and lead to government’s instability. This view be the basic argument on the Turkey’s involvement in the existing problems in Iraq. Furthermore, Turkey considers that homogenity, whether ethnic, religious, etc can be the reasons for Turkey to cooperate. This assumption encourages Turkey to assume that the Iraqi Kurdish movement in northern Iraq will also influence Kurdish in Turkey. Due to this assumption, it is proper for Turkey to intervene against Kurdish Iraq.

Keywords: strategic culture, Turkey, strategic depth, Irak, Kurdish

Budaya Stratejik Turki

(2)

stratejik sebagai alternatif baru bagi hubungan internasional yang memiliki pandangan berbeda dengan realis ataupun neorealis. Budaya stratejik memasukkan aspek baru ke dalam penelitian mengenai negara, seperti peranan budaya dalam mempengaruhi state behavior yang sebelumnya tidak pernah dibahas. Berbeda dengan neorealis yang melulu mengaitkan perilaku negara dengan constraint dan peluang yang dipengaruhi oleh lingkungan negara. Pembahasan mengenai budaya stratejik semakin kuat dilatarbelakangi oleh keadaan negara yang memiliki strategi yang berbeda dalam menghadapi permasalahan domestik ataupun internasional yang ada. Perbedaan tersebut berkaitan dengan bagaimana cara negara menggabungkan grand strategy untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya. Macmillan et al. (1999 dalam Glenn 2004, 10) menambahkan bahwa budaya stratejik tidak dapat dipisahkan dari pergerakan negara. Budaya stratejik dengan demikian memilki kaitan yang erat terhadap level of analysis, dikarenakan faktor yang ada dalam budaya stratejik meliputi tingkatan-tingkatan pada level of analysis yang meliputi elit politik, pengalaman sejarah, kemampuan sumber daya, dan sebagainya. Dengan menggunakan budaya stratejik, penelitian terhadap negara satu dengan negara lainnya yang memiliki pengalaman berbeda akan mudah untuk dilakukan.

Banyak ahli yang mengatakan bahwa budaya stratejik Turki muncul diantara masa gencatan senjata Mudros ( 30 Oktober 1918) dan Perjanjian Sevres (10 Agustus 1920) atau pada abad 18 ketika ditandatanganinya perjanjian damai antara Kekaisaran Rusia dengan Kekaisaran Ottoman setelah konflik dari tahun 1768-1774 dalam Perjanjian Küçük Kaynarca pada 21 Juli 1774 (Templar 2015, 2). Pada masa itu, Kekaisaran Ottoman mengalami intervensi penuh dari Great Powers yang meliputi Inggris, Rusia, Perancis, Jerman, Austria-Hungaria, dan Italia. Keberadaan negara-negara tersebut mengambil alih kekuasaan Ottoman mulai dari kebijakan domestik hingga pembuatan kebijakan terhadap kedaulatan hingga di luar kedaulatan. Hal ini kemudian mempengaruhi terbentuknya budaya stratejik Turki yang secara garis besar disebut oleh Templar (2015, 3) sebagai culture of uncertainty and insecurity, yang dapat dijabarkan sebagai (1) homogenitas, (2) insecurity, (3) risk-avoidance, dan (4) denial and deception. Homogenitas menunjukkan bahwa Turki sangat menghargai kesamaan sehingga kerjasama yang ditawarkan oleh negara yang memiliki kesamaan budaya, etnis, agama, ataupun nilai-nilai terhadap Turki akan lebih mudah terjalin. Insecurity ini mempengaruhi Turki dalam melihat ancaman yang ada. Turki menganggap bahwa ancaman dari manapun akan selalu berimbas terhadap keadaan domestik dan lebih jauh akan berdampak pada disintegrasi negara. Poin ini pula yang menyebabkan Turki seringkali tidak percaya dengan tetangga negaranya bahkan dengan negara aliansinya. Turki bahkan melakukan pengamanan dengan jarak minimal 200km dari batas negara. Poin ketiga menjelaskan bahwa pada dasarnya Turki tidak akan melakukan operasi militer kecuali negara yakin akan memenangkannya. Sedangkan poin keempat menegaskan tentang penggunaan diplomasi sebagai instrumen penyelesaian konflik.

(3)

memiki sensitifitas tinggi terhadap pelanggaran kedaulatan nasional. Turki memiliki kekhawatiran tinggi terhadap ancaman yang mungkin masuk melalui kedualatan dan integritas teritorialnya. Ketiga, Turki memiliki ambiguitas tentang stakeholder yang berada di pihaknya. Hubungan Turki dengan Amerika Serikat misalnya, meskipun Amerika Serikat menunjukkan ketertarikan kuat terhadap Turki namun masih sulit bagi Amerika Serikat untuk mendapatkan kepercayaan dari Turki. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa 70% orang Turki menganggap Amerika Serikat sebagai musuh dan hanya 7% yang menganggapnya sebagai partner (Baran dan Lesser 2008, 7). Pengalaman kekalahan Kekaisaran Ottoman juga turut berpengaruh dalam perilaku Turki menghadapi konflik, bahkan konflik yang ada di sekitarnya. Trauma kekalahan Turki dan hubungan buruk dengan Kekaisaran Rusia juga masih meninggalkan efek yang nyata. Meskipun telah memulai hubungan bilateral, namun masyarakat Turki belum sepenuhnya menganggap Rusia sebagai partner, sebagaimana anggapan terhadap Amerika Serikat.

Jika ditinjau dari international behavior, Turki termasuk ke dalam negara yang konservatif dan mengemukakan status quo, Turki akan mempertimbangkan dengan matang sebelum melakukan tindakan unilateral dan mengedepankan norma-norma internasional. Hal ini berkaitan dengan ketergabungan Turki terhadap leading Western organizations seperti NATO, OECD, dan Council of Europe. Namun, beberapa tahun terakhir terlihat adanya pergantian pandangan dalam kebijakan luar negeri Turki, yang kemudian disebut dengan pendekatan ‘neo-Ottoman’. Dalam pendekatan ini, identitas Islam dan kepentingan Timur Tengah memiliki peran yang lebih besar. Keadaan ini dibuktikan dengan aktifnya Turki dalam organisasi non-Western seperti Organization of the Islamic Conference (OIC) yang terdiri dari 57 negara berpenduduk mayoritas Islam (Baran dan Lesser 2008, 4). Evans (2014) menambahkan bahwa secara jelas budaya stratejik neo-Ottoman dapat digambarkan dengan beberapa cirri khusus, yaitu (1) menerima perbedaan yang ada dalam internal Turki, termasuk perbedaan etnis dan juga agama khususnya Islam, (2) melakukan perimbangan orientasi terhadap Timur dan Barat, (3) keinginan untuk menjadi yang utama dalam politik, militer, dan juga ekonomi regional, (4) meningkat peran aktif dalam ranah internasional dan bahkan melakukan intervensi terhadap permasalahan khususnya di wilayah Timur Tengah, dan (5) meningkatkan integritas di luar batas teritori.

(4)

depannya akan turut melibatkan pihak eksternal untuk mendapatkan dukungan. Sedangkan permasalahan internasional lahir atas perdebatan yang muncul atas status Turki sebagai bagian dari negara Barat atau bukan (Altunisik 2007, 72).

Menurut strategic depth, kekalahan Kekaisaran Ottoman pada tahun 1918 dan munculnya Arab nation-states merupakan alasan utama disintegrasi ekonomi dan politik dalam dunia Islam. Lebih jauh, Davutoglu melihat bahwa ke depannya negara-negara diktator seperti Mesir, Suriah, Libia, dan negara monarki seperti Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara Teluk akan menjadi kurang stabil karena minimnya dukungan yang diperoleh. Hal ini harus dimanfaatkan oleh Turki untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara tersebut. Turki bahkan mulai meningkatkan bantuan kepada negara-negara di Timur Tengah secara signifikan sejak tahun 2009. Dari perilaku pemerintahan Turki saat ini, terlihat bahwa Turki masih menggunakan pandangan Davutoglu dalam menjalankan kebijakan luar negerinya, terutama kebijakan terhadap Timur Tengah. Melalui kebijakan ini, Turki memiliki landasan untuk bergabung menyelesaikan konflik yang ada di Timur Tengah (Ozel dan Ozkan 2015).

Pendapat konvensial mengatakan bahwa parameter terhadap budaya stratejik Turki dapat dilihat dari geopolitik dan dominasi realpolitik dalam elit pemerintah. Dengan membawa budaya stratejik parabellum, Turki tetap mengesampingkan penggunaan militer. Sejarah realpolitik tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Kekaisaran Ottoman, namun lahirnya Republik Turki merubah keadaan dari ofensif menjadi lebih defensif. Kekaisaran Ottoman juga meninggalkan asumsi mengenai ancaman terhadap Turki, yaitu (1) ancaman untuk tertinggal yang melahirkan ketakutan terhadap eksternal, (2) ketakutan akan wilayah teritori, yang menunjukkan bahwa sejarah kekalahan kekaisaran di masa lalu masih terus menjadi ancaman, (3) dominasi defensif realpoitik dan determinisme (Renda 2013, 7). Beberapa budaya stratejik tersebut memiliki kaitan erat dengan perilaku yang ditunjukkan Turki terhadap negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Rusia, Irak, dan sebagainya. Ketakutan Turki atas rusaknya stabilitas domestik Turki mendorong Turki untuk aktif dalam konflik yang ada di sekitar negaranya. Turki memiliki pandangan bahwa konflik yang ada di sekitar batas negara memiliki kemungkinan besar untuk turut mengganggu keadaan domestik negaranya.

Reaksi Turki terhadap Konflik Irak

(5)

Kurdish seperti Kurdish Working Party (PKK) dengan markas di utara Irak dan (2) adanya contagion effect yang disebabkan oleh aktifitas politik Kurdish Irak

Awal mula keterlibatan Turki dengan Gulf War tahun 1991 adalah ketika Saddam melakukan kampanye militer untuk mengusik pemberontak Kurdish keluar dari utara Irak. Hal ini menyebabkan Kurdish Irak mengungsi di perbatasan Irak-Turki. Turki memiliki peran inti dalam permasalahan ini dimana Incirlik dijadikan sebagai markas udara dalam upaya penyelesaian konflik. Di sisi lain, ketakutan Turki atas adanya konflik di perbatasan menjadi nyata. Pembuat kebijakan mulai menaruh fokus terhadap perkembangan Kurdish yang mungkin terjadi di Turki (Altunisik 2007, 70). Di bawah perlindungan Amerika Serikat dan Inggris, Irak bagian utara berhasil menjadi wilayah yang almost independent dan bahkan mampu melakukan pemilihan untuk kemudian menciptakan federated state pada Oktober 1992. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ini turut mempengaruhi politik dan militer di Turki. Keadaan tersebut dinilai mampu mempengaruhi populasi Kurdish yang ada di Turki. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh adanya pemberontakan oleh Kurdish Working Party (PKK) di Turki pada tahun 1984. Keterlibatan Turki terhadap Irak dilakukan sebatas pada isu Kurdish dan Irak utara yang dianggap akan mempengaruhi stabilitas negaranya. Ketakutan terbesar Turki dari permasalahan ini adalah kemungkinan lahirnya negara Kurdish yang secara otomatis akan menarik orang-orang Kurdish yang ada di Turki. Tanggapan yang sedemikian rupa menunjukkan bahwa Turki memiliki budaya stratejik berupa konsistensi yang kuat untuk mempertahankan status quo dari ancaman eksternal ataupun internal.

Dalam menghadapi permasalahan tersebut, Turki menggunakan cara-cara militer dan diplomatik. Cara militer dilakukan Turki dengan melangsungkan beberapa serangan militer ke Irak utara dan membangun kontingen militer secara eventual. Sedangkan secara diplomatik, Turki berusaha untuk mendapatkan bantuan dukungan dari Amerika Serikat serta meningkatkan hubungan dengan kelompok Kurdish Irak. Dukungan tersebut diarahkan untuk meminta bantuan dalam melawan PKK dengan cara tetap menjalin hubungan baik dengan komunitas Irak dan Kurdish (Altunisik 2007, 76). Pada tahun 2002, Turki mulai melihat adanya pergerakan Amerika Serikat untuk melakukan perang. Di sisi lain, Turki menimbang konsekuensi atas perang yang mungkin terjadi terhadap teritori Irak. Sebagaimana dijelaskan oleh pandangan Davutoglu (dalam Grigoriadis 2010, 4), sejarah dan posisi geografis memberikan Turki hak untuk melakukan strategic depth untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang muti-dimensional. Strategi ini juga diterapkan Turki dalam menangai masalah Irak, yaitu dengan mengeluarkan kebijakan yang disebut sebagai two-tier policy. Melalui kebijakan ini, Turki menginisiasi adanya diplomasi antara Irak dengan Amerika Serikat dengan penawaran penyelesaian tanpa menggunakan perang. Turki juga mencoba membawa negara-negara regional lainnya seperti Suriah dan Iran untuk menurunkan rezim Saddam. Namun di sisi lain, Turki juga turut bernegosiasi dengan Amerika Serikat untuk memberikan peran apabila Amerika Serikat tetap melancarkan perang melawan Irak (Altunisik 2007, 76).

(6)

yang memilih Turki untuk terlibat mengatasnamakan status quo Turki sebagai great power dalam wilayah regional, meskipun mereka sadar bahwa perang yang dilakukan tidaklah win-win scenario melainkan sebatas untuk mengurangi kekalahan atau dampak buruk yang mungkin didapat Turki apabila perang terjadi. Sedangkan dari pihak yang melawan keterlibatan Turki menyatakan bahwa hal ini tidak sesuai dengan budaya stratejik Turki karena melakukan perang yang dianggap sebagai unjust war dan Turki tidak pernah menginginkan keterlibatannya dalam konflik di Timur Tengah. Pada akhirnya, ketidak-terlibatan Turki dalam invasi Amerika Serikat di Irak justru melahirkan kekhawatiran baru. Setelah adanya invasi di Irak, PKK tetap menjadi ancaman bagi Turki dimana sekitar 5000 militan PKK berada di Irak bagian utara, termasuk para pemimpinnya. Situasi seperti ini mempengaruhi hubungan antara Turki, Amerika Serikat, dan pemerintah Irak. Amerika Serikat yang melihat PKK sebagai teroris kemudian meminta Turki untuk turut membantu dalam memerangi terorisme di Irak. Keadaan menjadi semakin serius ketika PKK kembali mengumumkan genjatan senjata sepihak pada September 2004 yang menandai semakin meningkatnya aktivitas PKK di Turki (Altunisik 2007, 78).

Hubungan antara Turki dengan Irak semakin konfliktual ketika status wilayah Kirkuk mulai menegang pada tahun 2007. Konstitusi Irak yang mengeluarkan resolusi terkait masalah isu tersebut dianggap justru semakin membuat keadaan tegang, termasuk hubungan Turki dengan kelompok Kurdish Irak. Permasalahan ini menjadi salah satu agenda utama Turki dengan Irak, yaitu menentang integrasi wilayah Kirkuk dengan Pemerintah Wilayah Kurdish. Banyak usaha yang telah dilakukan Turki sebagai upaya untuk menahan Kirkuk dari integrasi Kurdish Irak, salah satunya adalah dengan memintakan hak khusus bagi Kirkuk sebagai wilayah multi-etnis, hal ini diupayakan agar keinginan untuk melakukan kebijakan Arabisasi oleh Kirkuk dapat dilakukan dengan tanpa Kurdifikasi atau menjadi bagian dari Kurdish Irak (Altunisik 2007, 78). Selain itu, Turki juga mulai menjalin hubungan baik dengan Turcomen yang menjadi populasi Kirkuk untuk dijadikan sebagai bargaining chip (Turunc 2011, 40). Turki bahkan mengumumkan akan melakukan pengurangan kerjasama ekonomi dan perdagangan terhadap Irak apabila pemerintah pusat tidak mengambil tindakan untuk mengusir PKK yang berada di wilayah perbatasan. Turki kemudian secara resmi mengembargo makanan dan energi terhadap Irak dan melakukan serangan militer selama delapan hari di Irak bagian utara untuk melawan PKK pada Februari 2008. Hal ini mencerminkan tindakan unilateral Turki dikarenakan Irak memilih untuk diam.

(7)

(Turunc 2011, 41). Meskipun demikian, Turki tetap menjadi patner utama bagi Irak dalam mengembangkan dan meningkatkan stabilitas negaranya, khususnya di bidang ekonomi dan infrastruktur.

Ketegangan Turki dengan Kurdistan Regional Government (KRG) mulai menyurut ketika pada tahun 2011 Turkish National Security Council mengadakan pertemuan resmi dengan seluruh kelompok politik Irak untuk melemahkan KRG. Sejalan dengan upaya tersebut, State of Force Agreement Amerika Serikat juga memutuskan untuk menarik kembali pasukannya dari Irak utara yang sekaligus melemahkan posisi KRG. Hal tersebut menuntuk KRG untuk semakin bergantung dengan Turki dalam hal perekonomian. Kesempatan ini dijadikan Turki sebagai peluang untuk memulai kerjasama dengan KRG. Semakin KRG bergantung dengan Turki, maka posisi PKK di dalam Turki dapat dijangkau sehingga stabilitas internal dan kesatuan antara Irak, Sunni Arab, dan Syi’ah Arab dapat terwujud (Turunc 2011, 43). Keadaan tersebut sekaligus merubah hubungan antara Turki dengan pemerintahan pusat Irak. Setelah Turki menjalin kerjasama dengan KRG, hubungan Turki dengan Irak justru terlihat semakin menjauh. Keadaan ini terlihat pada akhir September 2012, ketika Turki perdana menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengundang pemimpin Irak, Nouri al Maliki untuk datang ke konvensi partai dengan tujuan untuk memperbaiki hubungannya dengan Irak yang dinilai semakin memburuk. Namun, tamu dari Irak datang bukan dari pemerintahan pusat melainkan dari KRG (Cagaptay dan Evans 2012, 1).

Sebagaimana disampaikan Turki dalam budaya strategiknya, Turki tidak akan ikut campur dalam banyaknya konflik yang terjadi di Timur Tengah. Namun hal tersebut diangap berbeda apabila konflik terjadi di wilayah perbatasan Turki. Terbentuknya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) secara resmi pada tahun 2014 menjadi ancaman besar bagi Turki yang berbatasan langsung dengan Irak. Tidak dapat dipungkiri, serangan terhadap Mosul yang mulai dilakukan oleh pasukan Irak dan Kurdistan serta organisasi-organisasi internasional guna mengepung ISIS pada 16 Oktober 2016 kembali menarik perhatian Turki. Operasi militer yang disebut dengan Qodimun Ya Naynawa berupaya untuk merebut kembali wilayah Mosul yang berada di bawah kendali ISIS sejak 2014. Alasan Turki untuk bergabung salah satunya dilatarbelakangi oleh pasukan Turki yang berada di Irak. Turki bersikeras untuk bergabung meskipun pemerintahan Irak secara tegas menolak keterlibatan Turki. Erdogan menjelaskan bahwa keikutsertaan Turki tidak lain adalah untuk mengantisipasi jatuhnya Mosul ke dalam kekuasaan ISIS yang ke depannya dianggap akan mengancam stabilitas Turki. Di sisi lain, Mosul merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman pada masanya dan akan memberikan pengaruh kuat terhadap perpolitikan negara. Perdana menteri Irak, Haider al Abadi bahkan mengemukakan dengan tegas akan terjadinya perang regional apabila Turki tetap melibatkan diri dalam Pertempuran Mosul (bbc.com 2016). Alasan lain Turki untuk tetap bergabung adalah upaya untuk membantu Irak, karena pasukan yang dibentuk oleh Irak dinilai akan menimbulkan perpecahan antara Sunni dan Syi’ah yang lebih jauh lagi justru akan melahirkan perpecahan sektarian (Aljazeera.com 2016).

(8)

membantah asumsi Irak yang menilai Turki ingin melakukan agresi dengan adanya militer di wilayah utara Irak (Morgan 2016).

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa budaya stratejik negara Turki memiliki kaitan yang erat dengan pengalaman negaranya. Turki yang tidak pernah dijajah mendapat pandangan mengenai ancaman dari pengalaman kekalahan Kekaisaran Ottoman. Kekalahan itu membuat Turki lebih berhati-hati dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Turki menganggap ancaman sekitar perbatasan negaranya sebagai ancaman yang mungkin dapat dengan mudah masuk ke dalam wilayah teritorinya. Dengan anggapan tersebut, Turki akan selalu berupaya untuk melakukan intervensi terhadap negara yang sedang berkonflik. Turki pun menganggap intervensinya wajar untuk dilakukan karena Turki melihat dirinya sebagai leader power dalam regional Timur Tengah.

Intervensi Turki ke wilayah konflik Irak merupakan aplikasi dari pandangan-pandangan Turki terhadap negaranya. Intervensi pada konflik di wilayah utara Irak didasarkan pada anggapan dan kekhawatiran terhadap PKK atau Kurdish Turki. Turki khawatir kemunculan KRG di wilayah utara Irak akan berdampak pada semakin aktifnya PKK di Turki. Asumsi ini didasarkan pada peristiwa pemberontakan PKK yang dilakukan di Turki pada sekitar tahun 1980-an. Pengalaman ini menimbulkan trauma bagi Turki atas kesatuan negaranya. Turki kemudian bertindak secara unilateral dalam penyerangan di utara Irak karena mendapatkan respon negatif dari pemerintah pusat Irak atas tawarannya untuk melakukan serangan ke utara Irak.

Sedangkan intervensi di Mosul dalam penyerangan terhadap ISIS dilakukan oleh Turki dengan alasan bahwa Turki berhak turut aktif dalam menjaga stabilitas di Timur Tengah. Hal ini sesuai dengan prinsip strategic depth yang dikemukakan oleh Davutoglu. Beberapa ahli bahkan prinsip tersebut mendorong Turki untuk kembali membangkitkan Kekaisaran Ottoman, dimana Mosul merupakan wilayah di bawah Kekaisaran Ottoman. Selain itu, Turki melihat bahwa upaya Irak untuk melawan ISIS dinilai salah karena secara tidak langsung justru mempertarungkan Sunni dan Syi’ah dalam satu negara, yang lebih jauh memungkinkan terjadinya perang regional. Di sisi lain, justru Irak menilai bahwa campur tangan Turki lah yang akan memicu terjadinya perang regional. Turki bahkan meminta Amerika Serikat untuk memberikan posisi dalam penyerangan Mosul. Penolakan Irak terhadap Turki dapat diasumsikan sebagai akibat dari bentuk hubungan Turki dengan Irak yang mulai memburuk sejak Turki menjalin hubungan dengan KRG, dimana Turki berharap hubungannya dengan KRG mampu membantu stabilitas domestic Turki, khususnya dengan PKK.

Referensi :

Aljazeera, 2016. Iraq-Turkey Tension Raises Amid Battle for Mosul. Tersedia dalam http://www.aljazeera.com/news/2016/11/iraq-turkey-tension-rises-battle-mosul-161102062236590.html. Diakses pada 31 Desember 2016.

Altunisik, Meliha Benli, 2007. “Turkey Security Culture and Policy Towards Iraq”, dalam Perception [pdf].

(9)

Leadership in a Shrinking World. Stanley Foundation’s Power and Principle Project.

British Broadcasting Corporation, 2016. Kehadiran Milisi Syiah dan Kurdi di Mosul, Turki ‘tidak bias tinggal diam’ [online]. Tersedia dalam http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/10/161023_dunia_turki_mosul. diakses pada 31 Desember 2016.

Cagaptay, Soner dan Evans, Tyler, 2012. “Turkey’s Changing Relations with Iraq: Kurdistan Up, Baghdad Down”, dalam Policy Focus 122. The Washington Institute for Near East Policy.

Evans, Ryan, 2016. “Turkey’s Shifting Strategic Culture: Part 3 – From Republican to Neo-Ottoman”, dalam Geopoliticus: The FPRI Blog [online]. Tersedia dalam http://www.fpri.org/2014/10/turkeys-shifting-strategic-culture-part-3-from-republican-to-neo-ottoman/. Diakses pada 31 Desember 2016.

Glenn, John, Darryl Howlett, and Stuart Poore, eds. (2004). Neorealism Versus Strategic Culture. London: Ashgate. Ch 1, 2, 3.

Grigoriadis, Ioannis N., 2010. “Working paper No 8/2010: The Davutoglu Doctrine and Turkish Foreign Policy”, dalam Middle Eastern Studies Programme. Hellenic Foundation for European and Foreign Policy (ELIAMEP).

Morgan, Scott, 2016. “Erdogan’s Gambit for Mosul”, dalam Assyrian International News Agency: News and Analysis of Assyrian and Assyrian-Related Issues

Worldwide [pdf]. Tersedia dalam

http://www.aina.org/guesteds/20161102175816.htm.

Ozel, Soli dan Ozkan Behlul, 2015. “Illusions Versus Reality : Turkey’s Approach to the Middle East and North Africa”, dalam Policy Brief no 200 – April 2015. Fride : A European Think Tank for Global Action.

Renda, Kadri Kaan, 2013. Discursive Change in Turkish strategic Culture: Changing Narratives, Roles and Values. King’s College London.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai konstanta yang terbentuk adalah 4.424 Hal ini menunjukkan bahwa jika nilai faktor intrinsik pekerjaan, penghargaan finansial, pertimbangan pasar kerja,

Alhamdulillah berkat petunjuk dan hidayah-Nya, penulis telah selesai menyusun skripsi ini untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana

gelombang dengan memperhatikan keselamatan kerja. Peserta didik mampu menerapkan peristiwa pemantulan gelombang pada kegiatan eksperimen dengan memperhatikan

Banyak modalitas diagnostik yang telah diteliti untuk mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal dan untuk mengidentifikasi apakah pada pasien

Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pemberdayaan Masyarakat Studi Pada Desa Blimbing Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung, Wike, S.Sos, M.Si DPA Penelitian ini dilakukan

Khalayak atau pangsa pasar dari wedding music entertainment adalah golongan tertentu di dalam masyarakat yang menginginkan dan membutuhkan acara hiburan musik yang menampilkan

 Jika pembagian muatan secara Tegak terkonsentrasi pada bagian atas, maka kapal akan memiliki nilai GM yang kecil, dan akibatnya kapal mempunyai sifat yang langsar

Pilihan berkata “Yes” yang diambil oleh Carl Allen, ketika dia dihadapkan pada suatu pilihan, kemudian mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, namun pada