• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan Dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan Dan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 makro juga mikro, percepatan zaman mengubah kehidupan kita, maka pendidikan harus mampu menjawab tantangan global. Fakultas pendidikan dituntut mampu mendidik calon guru untuk siap saji menjadi pengemban peradaban, guru yang melek keaksaraan ilmiah adalah guru yang dibutuhkan dewasa ini, makalah ini menganalisis pengaruh globalisasi terhadap pendidikan Indonesia dengan teknik pendalaman materi (verstehen) dengan analisis kritis. Globalisasi berpengaruh secara signifikan terhadap pendidikan di Indonesia, fragmentasi ilmu pengetahuan menjadi tantangan terberat dan teknologi adalah elemen kunci yang menentukan kemajuan pendidikan Indonesia di masa yang akan datang, tujuan pendidikan mengalami peralihan drastis dari mencerdaskan anak bangsa menjadi Ajang Perjudian (mengundi nasib melalui ijazah sekolah formal dan perguruan tinggi demi kesejahteraan ekonomi) yang membentuk Darwinisme sosial, demi menanggulangi hal tersebut seyogianya guru memiliki wewenang yang lebih besar demi menegakkan peradaban. Seorang guru lebih memahami keadaan peserta didiknya, dalam sains pendidikan, seorang guru harus memiliki “keaksaraan ilmiah” dalam menyelesaikan segala permasalahan kelas beserta atributnya berdasarkan prinsip sains pendidikan. Guru yang rasional adalah guru yang memiliki keaksaraan ilmiah dan senantiasa menjunjung tinggi fungsi dan tugas guru, terutama dan utama adalah mempertahankan peradaban.

Kata Kunci: Globalisasi, Teknologi, Pendidikan

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Peter Worsley (dalam Piötr Sztompka, 2004: 101) mengatakan “sebelum dekade 1980-an, masyarakat global belum terwujud”, namun perdebatan perihal globalisasi sudah lama ada, hanya saja baru terasa dan dibicarakan banyak pihak di luar akademik adalah hal yang baru, yang membuat kaburnya istilah tersebut. Perubahan yang sangat signifikan dalam tata letak politik dunia semenjak meletusnya revolusi komunikasi di permulaan abad 21, ditandai dengan hilangnya tapal batas antar negara, antar bangsa, dan munculnya teknologi komunikasi canggih yang menyebar di seluruh belahan dunia. Ini adalah era globalisasi yang biasanya dikenang

*** Mohammad Rachmatul ‘Aziz adalah mahasiswa tingkat akhir FITK Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN

(2)

2

dengan May Day (1 Mei 2000) di mana demonstran anti global marak di Amerika. Menurut Pip Jones (2010: 248) bagi Back dan Giddens abad 21 ditandai dengan:

... tidak hanya semakin tidak pasti dan berisiko dalam hal manajemen perubahan yang tak terduga dan ketidaktahuan apa yang terjadi di masa depan pada tingkat makro. Tetapi juga semakin besar ketidakpastian dan penuh risiko bagi kita sebagai individu dalam kehidupan pribadi kita, [maka] ... kita perlu memahami risiko dan ketidakpastian ... pada tatanan mikro pula.

Dualitas fokus analisis Back dan Giddens, mengingatkan pada Chirot (dalam Piötr Sztompka, 2004: 101) mengenai saling tergantungnya antar negara yang menggelobal, bahwa “tidak ada satu negara pun di dunia yang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri” sebagai risiko pada tatanan makro yang juga pasti berimbas pada tatanan mikro, maka tentu saja setiap negara harus membentuk masyarakat terdidik karena adanya risiko yang tidak dapat diprediksi, hal ini harus dijawab oleh pendidikan di setiap negara sebagai ‘warga desa global’.

Seperti yang kita ketahui tujuan pendidikan adalah menegakkan peradaban, maka seorang guru harus menyadari arti peradaban dengan serius, seperti yang dikatakan Bertrand Russell (1991: 9) “peradaban [secara esensial] adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa, bukan pada peralatan materi dari sisi fisik kehidupan”. Bagi Russell, peradaban bukan bangunan gedung yang menjulang tinggi atau kemajuan teknologi yang canggih, akan tetapi moralitas dan daya nalar yang maju, dengan kata lain Russell menghendaki untuk mengaktifkan ‘akal budi murni’ dan ‘akal budi praktis’ sebagai manifestasi dari ‘mempertahankan peradaban’. Pertanyaan besarnya adalah apa dampak globalisasi terhadap pendidikan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut akan coba kami jawab dengan makalah ini dan kami merinci pertanyaan tersebut dalam rumusan masalah di bawah ini.

2. Rumusan Masalah

A. Apa yang dimaksud globalisasi?

B. Bagaimana hubungan globalisasi dengan pendidikan Indonesia?

C. Bagaimana peran pendidikan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di era global?

3. Tujuan

A. Teoritis

Memperkaya khazanah keilmuan mengenai pengaruh globalisasi terhadap pendidikan Indonesia dan peranan pendidikan yang berkemungkinan mampu meningkatkan kualitas SDM Indonesia.

(3)

3

Memberikan sarana pertimbangan dalam membentuk kebijakan pendidikan, mengajar di ruang kelas serta mendidik anak-anak kita di rumah dengan berkaca pada pertimbangan zaman dan menjadi background analis untuk mengidentifikasi risiko yang tidak dapat diprediksi.

4. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan makalah ini didasarkan pada paradigma dan metodologi analitik dengan teknik pendalaman materi (verstehen) dengan analisis kritis menggunakan data kualitatif. proses yang dilakukan secara terus menerus sejak kami berupaya memahami data sampai seluruh data terkumpul.

GLOBALISASI

Tidak ada definisi baku mengenai globalisasi, meski demikian sedikit gambaran dapat dilakukan, istilah ini mengacu pada hilangnya tapal batas antar negara-bangsa, di mana antar individu dapat berkomunikasi tanpa ada batas ruang dan waktu. Abercrombie dkk (2010: 235) menjelaskan bahwa:

Meskipun tidak ada definisi baku mengenai globalisasi, dapat dicatat adanya komponen penting berikut ini: (1) adanya pertumbuhan pesat dalam kesalingterkaitan budaya, komoditas dan masyarakat melintasi ruang dan waktu; (2) adanya perkembangan teknologi dan sistem informasi untuk memadatkan [ruang dan waktu]; (3) difusi prilaku, praktek dan kode standar untuk memproses arus informasi, uang, komoditas dan orang-orang; (4) munculnya sistem yang mendukung, mengendalikan, mengawasi atau menolak globalisasi; dan (5) munculnya tipe kesadaran yang mengenali, mendukung, merayakan atau mengkritik proses global seperti kosmopolitanisme.

Lebih jauh lagi, George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2014: 634) menjelaskan poin penting dalam analisis globalisasi adalah:

Globalisasi dapat dianalisis secara kultural, ekonomis, politis dan/atau institusional. Pada masing-masing kasus, perbedaan utamanya adalah apakah orang melihat semakin besarnya homogenitas atau heterogenitas. Pada kutub ekstrem, globalisasi ‘kebudayaan’ bisa dipandang sebagai ekspansi transnasional kode-kode dan praktek utama (homogenitas) atau sebagai proses di mana input-input lokal dan global berinteraksi untuk menciptakan semacam pastiche, atau campuran, yang mengarah ke berbagai persilangan kultural (heterogenitas). Kecenderungan ke arah homogenitas sering kali diasosiasikan dengan ‘imperialis kultural’, atau, dengan kata lain, meningkatnya pengaruh internasional dari kebudayaan tertentu.

(4)

4

jelas bagaimana heterogenitas dan homogenitas sebagai pijakan dalam memandang dunia global dalam diskursus kontemporer. Kendati demikian, kami memandangnya sebagai heterogenitas sekaligus homogenitas seperti yang dikatakan Shils (dalam Piötr Sztompka, 2004: 74) bahwa “manusia [tidak] mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa [tidak] puas terhadap tradisi mereka [sendiri]”, lebih jauh lagi, Robert Mackenzie (dalam Francis Fukuyama, 2004: 23) menulis:

Sejarah manusia adalah sebuah catatan tentang kemajuan—sebuah rekaman tentang akumulasi pengetahuan dan kearifan yang meningkat, sebuah kemajuan secara terus-menerus dari intelegensi dan kesejahteraan sampai tingkat yang lebih tinggi. Setiap generasi mewariskan pada generasi berikutnya sesuatu yang berharga, kemudian dimodifikasi dengan pengalaman yang mereka miliki, diperluas dengan hasil usaha dari semua kemenangan yang telah dicapai sendiri ... pertumbuhan kesejahteraan manusia yang selamat dari pangeran yang suka menipu dan menyuap, sekarang ditinggalkan menuju peraturan-peraturan yang bersifat dermawan dari hukum-hukum besar ....

1. Homogenitas

Dari Ritzer dan Goodman kita mengetahui aspek apa saja yang dapat dianalisis dalam globalisasi, bagi yang menekakan pada ekonomi yang dengannya lahir diskursus kapitalisme global, akan cenderung memandang homogenitas, di mana dunia disatukan dengan satu sistem ekonomi global atau yang disebut ‘Grand Area’. Noam Chomsky (2015: 8) mengatakan bahwa

istilah itu ditujukan pada “wilayah yang harus tunduk pada kepentingan ekonomi Amerika”.

Dalam aspek kultur, Piötr Sztompka (2004: 108) mengatakan bahwa dalam masyarakat modern “reaksi serupa ditimbulkan oleh pertumbuhan kultur ‘westernisasi’ (atau juga Amerikanisasi)”, lebih lanjut lagi, Hamelink (dalam Piötr Sztompka, 2004: 108) menegaskan “dalam pemikiran awam dan pemikiran ideologis pun terdapat keluhan bahwa berbagai sistem kultur dunia yang menonjol telah mengalami kemerosotan karena proses ‘penyelarasan kultural’ ...”, selain itu munculnya minat masyarakat dunia pada teknologi yang membentuk McDonaldisasi yang akan kami bahas nanti.

(5)

5

konvergensi kultur yang berasumsi bahwa “globalisasi yang menyebabkan meningkatnya kesamaan di seluruh dunia” (Ritzer, 2012: 992).

2. Heterogenitas

Selain pandangan yang menekankan homogenitas ada juga yang menekankan pada heterogenitas, asumsinya adalah terjadinya dialektis antara lokal dan global sehingga menjadi hibridisasi budaya dan glokalisasi. Abercrombie dkk (2010: 239) menjelaskan bahwa glokalisasi adalah:

... istilah yang dipinjam oleh para sosiologi untuk strategi pemasaran global yang memperkenalkan modifikasi produk global untuk pasar lokal yang berbeda, untuk memenuhi selera lokal. Dalam sosiologi; ini menunjukkan ketegangan antara budaya lokal dan global. Sebagai sebuah proses, istilah ini mengacu pada globalisasi yang lokal dan lokalisasi yang global.

Sedangkan perihal hibridisasi, mereka menjelaskan bahwa;

Awalnya istilah ini adalah interpretasi antropologi mengenai hubungan antara westernisasi dan kebudayaan lokal. Idenya adalah bahwa kebudayaan pribumi tidak hanya hancur tetapi juga bergabung dengan kebudayaan Barat melalui proses adaptasi. Konsep ini telah digunakan dalam sosiologi postmodernitas untuk mempertanyakan dugaan kurangnya otentisitas dalam pengaturan kebudayaan hibrida. Jika tidak ada kebudayaan ‘murni’, maka ‘hibriditas’ adalah komponen umum difusi kebudayaan .... (2010: 263).

Menurut hemat kami, dalam globalisasi tidak hanya homogenitas tetapi juga heterogenitas, keduanya hadir dalam kehidupan masyarakat global, homogenitas melalui Amerikanisasi, McDonaldisasi dll, juga membawa pada heterogenitas di kawasan lokal, penggabungan kultur lokal dan global sulit diatasi, terlebih konfrontasi ideologi lokal dan teknologi yang membawa aras global mengakibatkan tak terelakkannya hibridisasi kultur, sekaligus tidak dapat menafikan homogenitas. Pasi Sahlberg (2014: 205) menegaskan bahwa “... globalisasi adalah paradoks kultural—globalisasi menyatukan dan sekaligus menceraiberaikan manusia dan kultur”.

3. ASEAN Economic Community (AEC)

(6)

6

AEC adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang direncanakan untuk dicapai pada tahun 2015. Dengan pencapaian tersebut maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan basis produksi di mana terjadi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang bebas serta aliran modal yang lebih bebas. Adanya aliran komoditi dan faktor produksi tersebut diharapkan membawa ASEAN menjadi kawasan yang makmur dan kompetitif dengan perkembangan ekonomi yang merata, serta menurunnya tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial-ekonomi di kawasan ASEAN.

Tantangan yang dihadapi Indonesia adalah peningkatan SDM harus diupayakan secepat mungkin. Seperti yang dikatakan ketua Bappenas (dalam Ace Suryadi, 2014: 2) mengenai empat tahap pokok kerangka pembangunan jangka panjang 2005-2025 Indonesia adalah:

(1) tahap pertama (2005-2009); menata kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. (2) tahap kedua (2010-2014); memantapkan penataan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), membangun kemampuan IPTEK, dan memperkuat daya saing perekonomian. (3) tahap ketiga (2015-2020); memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pada pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam (SDA) yang tersedia, SDM yang berkualitas serta berkemampuan IPTEK. dan (4) tahap keempat (2020-2024); mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di segala bidang dan struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif.

Kami berpendapat bahwa, dalam rangka mewujudkan program tersebut, maka pendidikan adalah basis utama, hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan basis masyarakat pengetahuan yang akan kami bahas nanti.

GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN

Seperti yang kita ketahui, dalam pendidikan formal misalnya, kurikulum 2013 mensyaratkan penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran. Hal ini menunjukkan banyak dari aktivitas kehidupan kita menggantungkan diri pada teknologi, meskipun data ini lemah untuk melakukan generalisasi, namun pengalaman aktual kita dapat membuktikan secara lebih akurat, seperti yang kita ketahui, teknologi dapat membantu kita dalam menyelesaikan aktivitas kita secara efisien, namun juga dapat mengurangi kreativitas manusia, maka kepiawaian individu dalam memanfaatkan teknologi ditentukan oleh tingkat pendidikan yang didapatnya, bukan dalam arti mengoperasikannya melainkan memanfaatkannya sebagai media mencapai tujuan tanpa kehilangan makna yang menjadi prinsip (rasional instrumen).

Dewasa ini, pendidikan beralih definisi menjadi pelatihan untuk menjadi ‘santapan borjuis’ atau ‘budak kapitalis’. Joe L. Kinchelo (2014: 17) menegaskan bahwa “ketika tujuan

(7)

7

industri secara khusus, maka kualitas pendidikan akan menurun”. Desakkan ekonomi global membawa masyarakat mencari sertifikat pendidikan demi kelangsungan hidup mereka, yaitu lapangan pekerjaan yang lebih menjanjikan, meski harus ditukar dengan hilangnya esensi pendidikan itu sendiri.

Di sisi lain, teknologi bermain peran secara dominan, informasi yang berbasis komputerisasi dan alat komunikasi yang super canggih memberikan informasi kepada masyarakat global dari berbagai belahan dunia, sayangnya validitas informasi tersebut masih dipertanyakan, sedangkan persaingan individu abad 21 adalah persaingan berbasis pengetahuan. Hal ini memberi stimulus “fetisisme materi” dan menggiring umat manusia pada ‘penyembahan raja Demos’ (irasionalitas massa). Sehingga lahir mitos di abad 21 “siapa yang menguasai teknologi, ia menguasai dunia”.

1. McDonaldisasi

Dewasa ini masyarakat global dilanda dengan apa yang disebut McDonaldisasi. Di mana hampir dalam segala sendi kehidupan menerapkan prinsip restoran cepat saji, konsekuensi riil dari McDonaldisasi adalah hilangnya banyak lapangan pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik (kerja kasar) manusia dan mesin menggantikannya manusia dengan yang lebih menghemat biaya, serta munculnya “ekonomi pengetahuan”.

Dalam dunia pendidikan, McDonaldisasi mulai diterapkan sebagai landasan rasionalisasi di zaman global ini. Pada prinsipnya Ritzer diilhami “rasionalisasi bertujuan” atau “rasional instrumen” Durkheim, namun Ritzer mengadopsi restoran cepat saji, yaitu efisiensi, kemudahan diperhitungkan, kemudahan diprediksi, kontrol melalui teknologi, dan ketidakrasionalan rasionalitas (lihat Ritzer, 2012; Abercrombie dkk, 2010).

(8)

8

2. Fragmentasi Ilmu Pengetahuan

Hadirnya internet dapat memberikan banyak informasi dengan cepat, akan tetapi paradoks teknologi informasi ini adalah terfragmentasikannya ilmu pengetahuan. Edward Said (2010) dalam prolog edisi ulang tahun orientalisme yang ke-5 mengatakan bahwa “... mahasiswa kita saat ini justru sering terganggu oleh pengetahuan yang terfragmentsi (terpecah-pecah) yang sebagian besar bersumber dari internet dan media massa”.

Hal yang sangat memprihatinkan adalah ketidaksadaran dunia pendidikan akan fragmentasi tersebut. Adalah contoh yang sangat paradoksal, seorang mahasiswa yang lebih suka bunuh diri dengan cara ‘meninabobokan’ diri sendiri dengan cara menyalahgunakan fasilitas internet sebagai ajang ‘maling massal’ dunia ilmiah (plagiat).

Ayn Rand (2003: 16) menegaskan “secara psikologis, pilihan untuk berpikir atau tidak adalah pilihan untuk fokus atau tidak. Secara eksistensial, pilihan untuk fokus atau tidak adalah pilihan untuk sadar atau tidak. Secara metafisik, pilihan untuk sadar atau tidak adalah pilihan untuk hidup atau mati”, inilah yang kami sebut bunuh diri.

Dalam hadis al-qudsi dikatakan (Asy-Syahrastani, 196 :54):

ُللها َقَلَخ اَم َلَوَأ

ْرِبْدَأ :ُهَل َلاَق َُّثُ َلِبْقَأَف ْلِبْقَأ :ُهَل َلاَقَ ف َلْقَعلا َلَاَعَ ت

َف

َِِاَََِو َََِِِِّّو َلاَقَ ف َرَ بْدَأ

.ُعَنْمَأ َكِبَو يِطَِْأ َكِبَو َُُِِّّأ َكْنِم َنَسْحَأ ُتْقَلَخ اَم

Artinya:

yang pertama-tama yang diciptakan oleh Allah ialah akal, Allah berfirman kepadanya

‘menghadaplah’ maka ia menghadap, kemudian Allah berfirman ‘berpalinglah’ maka

ia berpaling. Allah berfirman: Demi ke Muliaan-Ku dan ke Agungan-Ku tidak kuciptakan suatu makhluk yang lebih baik selain engkau. Karena aku memberimu kemuliaan, karena engkau Aku memberi (pahala) dan karena engkau Aku tidak memberi (pahala)

Berpikir yang kami maksud adalah menyerahkan segala putusan kepada akal seperti hadis di atas, bukan asumsi common sense dengan maksud akal yang dikuasai oleh ego.

3. Moralitas Global

(9)

9

kami berpendapat bahwa pandangan Durkheim justru menimbulkan masalah besar, Durkheim hampir sama dengan pandangan common sense (pandangan umum atau awam) dari segi epistemologi. Keberatan kami adalah moralitas yang sandarkan pada masyarakat.

Di era global, salah satu etika yang sesuai adalah etika objektif Ayn Rand, di mana akal budi adalah tolok ukur moral, mampu berpikir adalah kualitas primer manusia. Ayn Rand terpengaruh oleh Hegel dan Kant, kontribusi kedua filosof tersebut sangat kentara, terutama asumsi Ayn Rand (2003: 24) mengenai “tiga nilai utama etika objektif ... [yang] merupakan sarana bagi dan realisasi secara bersaman realisasi dari nilai tertinggi seseorang ... adalah: [A]kal Budi, Tujuan, Harga-Diri bersama tiga kebajikan padanya: Rasionalitas, Produktivitas [dan] kebanggaan”.

Jika “moralitas menjadi mungkin dikarenakan oleh masyarakat” maka individu menjadi irasional, apa-apa yang dipandang baik oleh masyarakat belum tentu baik dan apa-apa yang dibenarkan oleh masyarakat belum tentu benar. Seperti yang kita ketahui dari para filosof Yunani dan agama kita, berpikir adalah memisahkan antara yang “haq” dan yang “bathil” yang

hanya ada pada individu, bukan masyarakat.

Era global adalah era yang menceraiberaikan umat manusia, tentu saja menuntut individu untuk menjaga satu-satunya kualitas untuk dapat dikatakan manusia: berpikir. Maka sejalan dengan hakikat tujuan pendidikan, yaitu “memanusiakan manusia”, di mana manusia mempertahankan kualitas primernya sekecil apa pun semampunya demi mempertahankan peradaban manusia. Menurut hemat kami, pendidikan karakter harus berlandaskan pada prinsip moral demi menjaga kelangsungan hidup umat manusia, dengan patokan kebenaran moral yang jelas.

PERAN PENDIDIKAN DI ERA GLOBAL

Dewasa ini, zaman telah menuntut pendidikan formal untuk mampu mencetak lulusan yang berdaya saing dalam dunia bisnis, bukti riilnya adalah target pendidikan formal adalah dapat hidup lebih baik lewat lapangan pekerjaan yang menyaratkan ijazah pendidikan formal sebagai tolok ukur karier. Ivan Illich (2002:218) mengatakan bahwa “para pendidik memancing naluri berjudi seluruh populasi ketika mereka mengumpulkan uang untuk sekolah-sekolah. Mereka mengiklankan hadiah-hadiah tanpa menyebutkan rintangan-rintangan”.

(10)

10

kepada kita rintangan apa saja yang ada di dalamnya, maka adalah hal wajar banyak sarjana pengangguran. Pendidikan harus kembali pada tujuannya yaitu mempertahankan peradaban.

1. Menegakkan Peradaban di Era Global

Banyak yang salah mengartikan peradaban, lazimnya term tersebut ditujukan pada teknologi maju dan bidang material lainnya, Russell (1988: 9) mengatakan bahwa “peradaban dalam arti penting adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa, bukan pada peralatan materi dari sisi fisik kehidupan. Peradaban juga menyangkut soal pengetahuan dan sebagian lagi soal perasaan”.

Menurut hemat kami, hadirnya teknologi canggih dapat menjaga peradaban, akan tetapi juga dapat menghancurkan peradaban, contoh kecilnya adalah Nagasaki dan Hiroshima yang hancurkan Amerika dengan bom atom. Pendidikan harus meningkatkan daya nalar peserta didik dan perasaan yang beradab, maka sejalan dengan Bruce Joyce dkk (2011: 7) mengatakan bahwa:

pada hakikatnya, hasil instruksi jangka panjang yang paling penting adalah bagaimana siswa mampu meningkatkan kapabilitas mereka untuk dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif pada masa yang akan datang, baik karena pengetahuan dan skill yang mereka peroleh maupun karena penguasaan mereka tentang proses belajar yang lebih baik.

Apabila hal ini disadari secara serius oleh para pendidik dan pemerintah maka masyarakat pengetahuan akan terwujud.

2. Masyarakat Pengetahuan

Masyarakat pengetahuan yang kami maksud adalah masyarakat yang rasional, Russell (1988: 17) menegaskan bahwa rasionalitas adalah:

(11)

11

problematika rasionalitas”. Pendidikan adalah bagian dari sains sosial, maka tak heran di dalamnya pun membahas persoalan rasionalitas, terlebih dalam sosiologi pendidikan.

Kami berpendapat bahwa guru harus memiliki wewenang yang lebih besar, di mana guru menjadi individu mandiri dan senantiasa mentransformasi peserta didiknya ke arah kemajuan dan menjunjung tinggi peradaban. Masyarakat pengetahuan diperlukan karena adanya ketidakpastian dan semakin besar risiko kehidupan global seperti yang Back dan Giddens katakan.

3. Guru Sebagai Peneliti

Guru sebagai peneliti akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, di tengah ketidakpastian zaman, hanya guru itu sendiri yang mengetahui secara langsung kehidupan para peserta didik, tentu saja akan lebih mudah mentransformasikan peserta didik sesuai keadaan.

Hal ini tidak akan terwujud tanpa adanya peningkatan pendidikan guru atau fakultas pendidikan. Pasi Sahlberg (2014: 181) mengatakan bahwa “pendidikan guru berbasis riset berarti bahwa integrasi teori pendidikan , metodologi penelitian dan praktek semuanya memegang peranan penting dalam program pendidikan guru ...”, singkatnya setiap guru tidak buta keaksaraan ilmiah.

Laugksch (dalam Lawrence Neuman, 2013: 12) mendefinisikan keaksaraan ilmiah sebagai:

Kapasitas untuk memahami pengetahuan ilmiah; menerapkan konsep, prinsip dan teori ilmiah; menggunakan proses-proses ilmiah untuk memecahkan masalah dan mengambil keputusan; serta berinteraksi dalam cara yang mencerminkan nilai-nilai ilmiah inti. Buta keaksaraan ilmiah berarti tidak memiliki kapasitas tersebut, karakteristik guru yang bermutu meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut: prinsip otonomi, pekerjaan sebagai tempat belajar, prinsip variasi kerja, prinsip kerja sama antar pekerja, prinsip kerja individual sebagai kontribusi untuk kesejahteraan sosial dan prinsip bermain adalah kebajikan yang harus menyatu dalam kerja (lihat Joe L. Kinchelo, 2014).

(12)

12

KESIMPULAN

Globalisasi adalah hilangnya tapal batas antar bangsa-negara, menyatukan manusia juga memisahkannya secara bersamaan, lahirnya teknologi informasi yang canggih adalah ciri has abad 21.

Dalam pendidikan kegiatan belajar mengajar berubah secara signifikan, hal ini terjadi karena masuknya teknologi dalam dunia pendidikan, namun pendidikan beralih tujuan menjadi sarana merespons dunia bisnis. Pendidikan harus segera dibenahi demi mempertahankan peradaban.

Dengan demikian, fakultas pendidikan harus meningkatkan kualitas calon guru agar lebih melek keaksaraan ilmiah. Alternatifnya adalah menjadikan guru sebagai peneliti, hal ini dimaksudkan agar terciptanya masyarakat pengetahuan untuk menjawab tantangan dunia yang tidak dapat diprediksikan ini.

(13)

13

DAFTAR PUSTAKA

Abercrombie, N., Hill, S., & Turner, B. S. (2010). Kamus Sosiologi. (D. Noviyani, E. Adinugraha, & Widada, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Asy-Syahrastani. (1961). al-Milal wa al-Nihal. (A. Syukur, Penerj.) Surabaya: Bina Ilmu. Chomsky, N. (2015). How The World Works. (T. Setiadji, Penerj.) Bentang Pustaka:

Yogyakarta.

Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional. (2014). Menuju ASEAN Economic Community 2015. Departemen Perdagangan Republik Indonesia.

Fukuyama, F. (2004). The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. (M. Amrullah, Penerj.) Yogyakarta: Qalam.

Habermas, J. (2012). Teori Tindakan Komunikatif: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat (Vol. I). (Nurhadi, Penerj.) Bantul: Kreasi Wacana.

Illich, I. (2002). Perayaan Kesadaran: Sebuah Panggilan Untuk Revolusi Institusional Agama, Pendidikan, Kesejahteraan Sosial. (S. Pasaribu, Penerj.) Yogyakarta: Ikon Teralitera. Jones, P. (2010). Pengantar Teori-Teori Sosial: dari Teori Fungsionalisme Hingga

Post-Modernisme. (A. F. Saifuddin, Penerj.) Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2011). Models of Teaching: Model-Model Pembelajaran.

(A. Fawaid, & A. Mirza, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kinchelo, J. L. (2014). Guru Sebagai Peneliti: Pemberdayaan Mutu Guru dengan Metode Panduan Penelitian Kualitatif. (N. Sya'ran, Penerj.) Yogyakarta: IRCiSod.

Rand, A. (2003). Kebajikan Sang Diri: Konsep Baru Ego. (A. Asnawi, Penerj.) Yogyakarta: Ikon Teraliteria.

(14)

14

Ritzer, G., & Goodman, D. D. (2014). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. (Nurhadi, Penerj.) Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Russell, B. A. (1988). Pergolakan Pemikiran. (M. Pabottinggi, Penerj.) Jakarta: Gramedia. Sahlberg, P. (2014). Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak a la

Finlandia. (A. Muchlis, Penerj.) Bandung: Kaifa.

Said, E. W. (2010). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur Sebagai Subjek. (A. Fawaid, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Smart, B. (2011). Sosiologi, Moralitas dan Etika: Tentang Kebersamaan Dengan Yang Lain. Dalam G. Ritzer, & B. Smart, Hand Book Teori Sosial (I. Muttaqien, D. S. Widowatie, & Waluyati, Penerj., hal. 1016-1038). Bandung: Nusa Media.

Suryadi, A. (2014). Pendidikan Indonesia Menuju 2025. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sztompka, P. (2004). Sosiologi Perubahan Sosial. (Alimandan, Penerj.) Jakarta: Pernada

Referensi

Dokumen terkait

This highly descriptive work is a geographical dictionary used in conjunction with an atlas and contains information about physical geography (land forms, geology, rivers,

dalam pembelajaran Matematika pada siswa kelas VIII di MTsN Jambewangi Selopuro Blitar Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015 adalah pembelajaran dengan

Disamping Buku Log Latihan Industri, Pelajar seperti program di atas di kehendaki menyediakan Buku Log Latihan Industri (sepertimana yang ditetapkan oleh pihak

Cacing ini mempunyai tubuh yang lunak dan hidup be- bas sebagai fauna dasar (benthic fauna) pada berbagai habitat di dasar laut.. Cacing laut dapat hidup pada perairan dangkal sam-

Sumber data peneltian yaitu sumber subjek dari tempat mana data bisa didapat- kan atau diperoleh. Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder yaitu data

Dalam Forex kononnya ada 3 level, newbie – intermediate – advance. Namun, pada saya ada 2 level je sebenarnya, iaitu WINNERS & LOSERS. Anda baru tapi dapat ilmu & tunjuk

melengkung yang disebut selimut merupakan bangun ruang .... Kubus mempunyai titik sudut .... Prisma tegak ABCD.EFGH mempunyai titik sudut sebanyak.... Sisi kubus mempunya ....