• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH UTS DAN FILSAFAT ILMU.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH UTS DAN FILSAFAT ILMU.docx"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS FALSAFAH SAINS (UTS)

ANALISIS PERUBAHAN PARADIGMA

PERTANIAN AGRIBISNIS

MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN

SECARA FILSAFAT ILMU DI INDONESIA

OLEH

IDAWATI (I 361160031)

PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN

PROGRAM PASCA SARJANA

(2)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Filsafat Ilmu menyatakan bahwa perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan ilmu. Kemajuan ilmu dan teknologi dari masa kemasa adalah ibarat mata rantai yang tidak terputus satu sama lain. Hal-hal baru yang yang ditemukan pada suatu masa menjadi unsur penting bagi penemuan-penemuan lainnya di masa berikutnya.

Kuhn dalam Rizal Mustansyir menyatakan bahwa perkembangan ilmu dan kemajuan ilmiah bersifat revolusioner, bukan kumulatif. Kuhn lebih mementingkan sejarah ilmu sebagai titik tolak penyelidikannya. Revolusi ilmiah atau ilmu disini pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah. Dalam struktur perkembangan atau revolusi keilmuan Kuhn dalam Syafaruddin memperjelas dan mendefinisikan paradigma sebagai apa yang dibagi anggota masyarakat keilmuan dan sebaliknya masyarakat ilmiah berisikan orang-orang yang membagi paradigmanya. Paradigma keilmuan inilah yang kemudian terjun ke realisme ilmiah dengan memahami hakikat ada, sumber pengetahuan dan nilai yang ada dalam pengetahuan.

(3)

tanaman, hewan, dan ikan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya.

Paradigma pertanian subsisten yang awalnya hanya merupakan pertanian yang dilaksanakan dengan pendekatan komoditas (Kasrino dan Suryana, 1992). Pendekatan ini dicirikan oleh pelaksanaan pembangunan berdasarkan pengembangan komoditas secara sendiri-sendiri (parsial ) dan berorentasi pada peningkatan produksi. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa pembangunan sektor pertanian selama ini memberikan hasil yang sangat menakjubkan, terutama dalam memacu pertumbuhan produksi yang dibuktikan dengan tercapainya swasembada beras. Keberhasilan program peningkatan produksi pertanian terutama beras, kelapa sawit, kakao,udang, ayam buras dan pedaging serta telur antara lain disebabkan oleh: keadaan pasar berbagai komoditas tersebut dalam situasi exees demond, dukungan paket teknologi maju, sumber daya alam yang tersedia, sumber dana tersedia dengantingkat bunga disubsidi dan dana untuk investasi prasarana dan sarana ekonomi oleh pemerintah dan komitmen pemerintah.

Namun pendekatan komodite untuk masa yang akan datang kurang memadai lagi, karena adanya indikasi: kejenuhan atau keterbatasan pengembangan pasar (permintaan), keterbatasan ketersediaan sumber pertanian, dan investasi dan mulaimelandainya kenaikan produktivitas. Oleh karena itu diperlukan reorentasi pembangunan pertanian dimasa mendatang. Hal ini diperkuat lagi dengan pelaksanaan desentralisasi dan pemerataan pembangunan berkelanjutan yang lebih dimatangkan.

(4)

dengan usaha lainnyamaupun dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Dengan kata lain persaingan dengan berbagai komoditas terhadap penggunaan sumberdaya pertanian akan semakin tinggi.

Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian.

(5)

1.2. Rumusan Masalah

Melihat paradigma pertanian kita dari pertanian berpindah-pindah, pertanian subsisten hingga pertanian agribisnis terdapat beberapa masalah-masalah yang muncul baik dari pelaku utama dengan kondisi usaha taninya maupun berkaitan dengan pengambil kebijakan sehingga merasa perlu untuk dilakukan analisa sejauh mana paradigma tersebut berfungsi sesuai tujuan ilmunya ataupun melahirkan masalah-masalah baru, sehingga perlu dilakukan kajian kebenaran atas paradigma agribisnis dengan rumusan :

1. Bagaimana teori, konsep dan aplikasi paradigma lama pertanian agribisnis secara filsafat ilmu.

2. Bagaimana perubahan teori, konsep dan aplikasi paradigma lama yang mampu mengatasi dan melengkapi permasalahan paradigma pertanian agribisnis sesuai kebutuhan globalisasi secara filsafat ilmu.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis teori, konsep dan aplikasi paradigma lama pertanian agribisnis secara filsafat ilmu

(6)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Perkembangan Pertanian

Berdasarkan sejarah perkembangannya pertanian dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu :

1. Pemburu dan pengumpul. Manusia pertama hidup di daerah hutan tropik di sekitar laut Cina Selatan yaitu bangsa Alitik (prapaleolitik) yang merupakan kelompok manusia pengumpul makanan dan berburu serta menangkap ikan. Sebagai contohnya adalah suku Semang, suku Kubu dan Sakad di Semenanjung Malaya, Sukum Andaman dan Aeta di Filiphina, suku Toala di Sulawesi, suku Punan di Kalimantan dan suku Tasadai di Mindanau Selatan. Manusia pengumpul dan pemburu bersifat nomadik (berpindah-pindah) tetapi tidaklah mengembara tanpa tujuan di dalam hutan. Setiap kelompok mempunyai wilayah tertentu antara 20-25 Km2 . Mereka bertempat tinggal di goa-goa atau tebing batu. Mereka juga telah banyak mengetahui jenis-jenis tanaman dan habitatnya serta kegunaannya. Pengetahuan untuk menghilangkan racun dari bahan makanan dan cara mengawetkannya juga sudah mereka kuasai. Sebagai contoh biji sebelum dimakan direndam dalam air kemudian dimasukkan ke dalam bambu dan dibenamkan ke dlaam tanah selama sebulan lebih.

(7)

penemu cara penanaman dan penghasil bahan makanan yang pertama. Han menamai pertanian primitif sebagai Hackbau (Hoe Culture atau Hoe Tillage

= pertanian pacul atau pertanian bajak). Dia menganggap pacul adalah alat kerja wanita, sedangkan bajak alat kerja pria. Teori Han yang pertama menyatakan wanita adalah yang pertama memulai penanaman mungkin dapat diterima tetapi pendapatnya tentang perbedaan antara pertanian primitif dan pertanian yang lebih maju berdasarkan alat kerja yang digunakan apalagi dihubungkan dengan jenis kelamin tidaklah dapat diterima meskipun di beberapa daerah atau negara banyak wanita yang bekerja sebagai petani. Perbedaan yang fundamental antara pertanian primtif dengan pertanian yang lebih maju adalah dalam hal penggunaan lahan. Petani-petani primitif, bertani secara berpindah-pindah. Sebidang tanah ditanami sekali sampai 2 kali kemudian ditinggalkan dan mereka mencari tanah baru untuk ditanami dan seterusnya. Sehingga sistem pertanian ini disebut huma atau ladang berpindah.

3. PertanianTradisional

Pada pertanian tradisional orang menerima keadaan tanah, curah hujan, dan varietas tanaman sebagaimana adanya dan sebagaimana yang diberikan alam. Bantuan terhadap pertumbuhan tanaman hanya sekedarnya sampai tingkat tertentu seperti pengairan, penyiangan, dan melindungi tanaman dari gangguan binatang liar dengan cara yang diturunkan oleh nenek moyangnya. Peternakan merupakan penjinakan hewan-hewan liar untuk digunakan tenaga dan hasilnya. Sedangkan perikanan merupakan hasil penangkapan dan pemeliharaan secara sederhana serta tergantung pada kondisi alam.

(8)

pemupukan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta masak lebih cepat. Susunan makanan ternak disiapkan secara ilmiah dan dikembangkan metode berbagai macam input dilakukan secara ilmiah dan didorong motivasi ekonomi untuk mendapatkan hasil dan pendapatan yang lebih besar. Hasil pertanian dalam bentuk bulk (lumbung) diolah untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi. Cara pengawetan hasil pertanian dikembangkan untuk menghindarkan kerusakan dan mendapatkan nilai yang tinggi.

2.2. Paradigma Pertanian Agribisnis

Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati “agama” baru bahwa “farming is business”. Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi.

(9)
(10)

III METODE DAN BAHAN

Menganalisis perubahan peradigma lama secara teori, konsep dan aplikasi secara filsafat ilmu dan kemajuan ilmiah baik secara ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam perkembangan pembangunan pertanian dengan melihat kelebihan dan kekurangannya dengan pengujian aplikasi lapangan disertai dengan pendapat-pendapat para ahli pertanian dari paradigma teori pertanian agribisnis dengan mencari paradigma baru yang dapat melengkapi kekurangan dari paradigma lama tersebut.

(11)

IV. ANALISIS PERUBAHAN PARADIGMA LAMA SECARA

FILSAFAT ILMU

4.1. Identifikasi Pertanian Agribisnis secara Filsafat Ilmu

4.1.1. Paradigma ilmu lama kita :

- Ontologi (Teori Lama/Paradigma Lama Kita) :

Davis dan Goldberg (1957) mendefinisikan agribisnis sebagai berikut:

Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution off-farm supplies, production activities on the farm, and storage, processing and distribution off-farm, commodities and items from them.

Definisi di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud agribisnis mencakup keseluruhan kegiatan mulai dari memproduksi dan distribusi input sampai dengan distribusi hasil pertanian. Perhatikan bahwa on farm, atau usahatani, sebagai kegiatan yang sering disebut secara umum sebagai pertanian, hanya merupakan salah satu bagian dari agribisnis. Jika halnya demikian, agribisnis harus melihat pertanian secara menyeluruh, bukan hanya melihat kegiatan menghasilkan produk-produk pertanian di tingkat usahatani.

(12)

produk olahannya, baik sebagai produk antara maupun produk akhir, beserta kegiatan pemasaran atau perdagangannya: subsektor agribisnis pendukung, yaitu kegiatan yang menghasilkan atau menyediakan jasa yang dibutuhkan oleh subsistem-subsistem agribisnis lainnya, misalnya perbankan, transportasi, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, maupun penyuluhan dan jasa konsultan.

Pembangunan agribisnis sebagai suatu sistem merupakan cara baru untuk memandang pembangunan pertanian maupun pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Berbagai masalah pembangunan. Seperti peningkatan pendapatan, pembukaan kesempatan kerja, pemerataan pembangunan dan pendapatan, penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan, stabilitas ekonomi, masalah kelestarian lingkungan dan lain-lainnya dapat dipecahkan melalui pembangunan sistem agribisnis. Dengan demikian strategi industrialisasi melalui pembangunan sistem agribisnis akan sesuai jiwa trilogi pembangunan.

- Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)

(13)

kontribusi sektor pertanian dalam pengertian agribisnis menjadi sangat besar. Di waktu yang akan datang, peran sektor pertanian dalam pengertian agribisnis menjadi semakin besar. Perubahan cara pandang di atas mempunyai konsekuensi bahwa pertanian bukan sebagai way of life atau gaya hidup. Pertanian merupakan bagian dari kegiatan bisnis besar yang mempunyai prospek yang baik. Pertanian merupakan kegiatan produktif menghasilkan produk pangan dan serat dengan memanfaatkan sumber daya pertanian seperti tanah, air, hara tanah, sinar matahari, dan lain-lain.

- Aksiologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)

Pengertian agribisnis yang paling banyak dijadikan acuan selama ini adalah pengertian agribisnis yang dikemukakan oleh John Davis dan Ray Goldberg (Davis and Goldberg, 1957). Menurut Davis dan Golberg (1957), agribisnis dipandang bukan hanya kegiatan produksi di usahatani (on-farm), tetapi termasuk kegiatan yang di luar usahatani (off-farm) yang terkait. Pemahaman yang sama juga dikemukakan oleh Downey and Erickson (1989), Downey and Trocke (1981), bahwa agribisnis meliputi kegiatan di usahatani dan di luar usahatani yang terkait dalam pengadaan input pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran hasil.

4.1.2. Ketidakpuasan Dengan Paradigma Lama

Paradigma Agribisnis yang Keliru

(14)
(15)

Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”. Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.

(16)

Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.

Dari sudut pandang kelembagaan, struktur agribisnis di Indonesia untuk hampir semua kornoditas masih tersekat·sekat. Struktur yang tersekat-sekat ini tentunya menjadi penghambat utama pembangunan agribisnis di Indonesia. Struktur agribisnis yang tersekat-sekat ini dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut : Pertama, subsistem agribisnis hulu (produksi dan perdagangan sarana produksi pertanian) dan subsistem agribisnis hilir (pengoIahan hasil pertanian dan perdagangannya) dikuasai oleh pengusaha menengah dan besar yang bukan petani. Petani sepenuhnya hanya bergerak pada subsistem agribisnis penghasil produk primer. Kedua, antar subsistem agribisnis tidak ada hubungan organisasi fungsional dan hanya diikat oleh hubungan pasar produk antara yang juga tidak sepenuhnya kompetitif. Ketiga, adanya asosiasi pengusaha yang bersifat horizontal dan cenderung berfungsi sebagai kartel. Berbagai asosiasi pengusaha ini dapat ditemui pada subsistem agribisnis hulu maupun subsistem agribisnis hilir. Keempat, agribisnis dilayani oleh paling sedikit lima departcmen teknis (Pertanian, Kehutanan, Perindustrian dan Perdagangan, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Koperasi dan PPK). Berbagai departemen ini tentunya memiliki visi ataupun mandat yang berlainan, sehingga berbagai kebijakan yang ditujukan pada agribisnis belum tentu integratif dan selaras satu dengan lainnya dipandang dari sudut agribisnis sebagai suatu sistem.

(17)

rnenjadikan peluang untuk meningkatkan pendapatannya relatif keeil. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk itu, yaitu: (a) Dalam sistem agribisnis, nilai tambah yang terbesar berada pada subsistem agribisnis hulu dan subsistem agribisnis hilir. (b) Petani berada di an tara dua kekuatan eksploitasi ekonomi, yaitu pada pasar sarana produksi petani monopsonistik. Petani dalarn menghadapi kedua pasar tersebut selalu dalam posisi yang kalah. Keadaan yang demikian ini me nyebabkan upaynupava peningkatan produktivitas ditingkat petani tidak secara otomatis berarti peningkatan pendapatan. Manfaat pengernbangan teknologi baru, pengembangan infrastruktur pedesaan, subsidi harga produksi, dan subsidi melalui pcrkreditan yang ditujukan untuk mcningkatkan produktivitas usahatani relatif sedikit manfaatnya pada petani.

(18)

Penataan dan pengembangan struktur agribisnis nasional perlu diarahkan pada dua sasaran pokok, yaitu: Pertama, mengembangkan struktur agribisnis yang terintegrasi secara vertikal mengikuti aliran produk, Struktur agribisnis yang terintegrasi secara vertikal ini memungkinkan subsistem agribisnis dari hulu sampai hilir dikelola dengs" efisien dan saling mendukung satu subsistem dengan subsistem lainnya. Intcrgrasi vertikal akan memudahkan penerapan sistem manajemen yang ditujukan pada peningkatan daya saing dan peningkatan kualitas. Kedua, mengembangkan organisasi bisnis pctani agar mampu mcmperoleh nilai tambah yang ada di subsistcm hulu maupun hilir dari sistem ngribisnis. Secara individu petani akan sulit merebut nilai tambah tcrsebut.

Keberhasilan pembangunan agribisnis di Indonesia ditentukan juga oleh arah kebijakan ekonomi makro. Pembangunan yang diarahkan pada industriahsasi yang t.iriak memiliki basis sumbcrdaya yang kuat, seperti md ustri subst.itusi impor, sering melahirkan kebijakan kebijakan mnkro yang mengharnbat perkembangan agribisnis. Berbagai kebijakan ekonomi makro diarahkan untuk menopang industrtalisasi yang kem ud ian secara langsung atau tak langsung menyebabkan distorsi harga yang menghambat perkernbangan agribisnis.

(19)

menggunakan bahan baku yang berasal dari dalam negeri dan banyak produknya yang dimaksudkan juga untuk melayani pasar internasional, sehingga nilai tukar Rupiah yang secara artifisial dibuat kuat merugikan pembangunan agribisnis,

Kebijakan tarn yang tinggi untuk memberikan proteksi pada industri yang bersifat substitusi impor ternyata memberikan dampak juga pada perkembangan agribisnis. Proteksi yang berlebihan yang diberikan pada industri-industri tertentu dapat menyebabkan distorsi dalam alokasi sumberdaya. Industri-industri yang memperoleh proteksi menjadi tampak lebih menarik di mata investor, sedangkan industri yang termasuk ke dalam agribisnis dianggap kurang menguntungkan, dan juga berusaha di bidang agribisnis dianggap memiliki resiko yang lebih tinggi. Akibatnya, sumberdaya kemudian lebih banyak mengahr ke industri-industri yang memperoleh proteksi dan bidang usaha agribisnis yang memiliki basis kuat sebaliknya mengalami kesulitan memperoleh modal untuk investasi ataupun usaha. Kebijakan industrialisasi berspektrum luas ataupun industrialisasi substitusi irnpor yang selarna ini diterapkan menimbulkan struktur insentif yang diskrim inasi yang merugikan pernbangunan agribisnis dan pertanian pe nghasil produk primer.

(20)

ya ng dibangun untuk daerah pedcsaan.

Kebijakan industrialisasi yang bersifat spektrum luas maupun industri substitusi impor umumnya bertumpu pada upah tenaga kerja yang murah. Upah tcnaga kerja ini sering dikaitkan dengan kebutuhan hid up minimum. Dengan demikian agar upah dapat tetap rendah, maka harga-harga berbagai kebutuhan pokok (pangan) harus dijaga tetap rendah. Keadaan ini tentu membuat pembangunan yang dilakukan semakin bias ke perkotaan dan mendiskriminasi pedesaan dan agribisnis.

4.1.3. Perubahan Paradigma Lama

(21)

globalisasi dalam perekonornian, yang disertai dengan kesadaran demokrasi yang meningkat, membawa konsekuensi berbeda dalam praktek pembangunan maupun dalam praktek bisnis. Tuntutan akan peningkatan efisiensi yang disertai dengan tuntutan pemerataan keadilan menjadikan konsep-konsep agribisnis yang telah dikumandangkan pada masa lalu perlu terus diperbaharui. Perusahaan-perusahaan agribisnis, yang umumnya bersentuhan langsung dengan usaha petani skala kecil, perlu mempertajam maupun mempraktekkan {food corporate govermsnce agar dapat

sustain dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, pengembangan konsep agribisnis maupun konsep pembangunan agribisnis di masa datang perlu lebih menekankan pada aspek kelembagaan dan aspek

govermance dan responsibility dari pihak-pihak yang ada di dalamnya. petani, perusahaan, dan pemerintah.

4.2. Menganalisis Peradigma Baru Pertanian Berkelanjutan Secara Filsafat Ilmu

- Ontologi (Teori/ Paradigma Baru)

(22)

tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanja kan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.

(23)

- Epistemologi (Metode/Mencari Kebenaran)

Mengacu kepada konsep pembangunan berkelanjutan yang dikeluarkan oleh angenberg, maka keberhasilan pembangunan tentunya juga harus dilihat dari paian keempat dimensi pembangunan berkelanjutan, sehingga akan terlihat nerja pembangunan secara keseluruhan. Tidak cukup jika pembangunan hanya rkonsentrasi untuk meningkatkan kualitas ekonomi, tetapi dengan merusak gkungan. Dalam jangka panjang kondisi ini berpotensi menimbulkan kerugian, rena boleh jadi biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan lebih sar dari manfaat ekonomi yang diperoleh. Begitu pula dengan pembangunan ng mengabaikan pembangunan kelembagaan sehingga memunculkan senjangan ekonomi dan sosial. Kesenjangan sering kali menjadi alasan jadinya konflik bahkan dalam bentuk yang paling ekstrim seperti separatisme. onflik seperti ini tentu akan memberikan dampak negatif bagi pembangunan di asa yang akan datang.

(24)

Pembangunan berkelanjutan, yang memunculkan dimensi kelembagaan bagai dimensi tersendiri, dipandang sangat tepat untuk kondisi Indonesia. ondisi ini diharapkan berdampak pada meningkatnya perhatian pada dimensi lembagaan, tanpa mengabaikan dimensi yang lain. Sebagai dimensi tersendiri lembagaan akan memiliki bobot yang lebih besar dalam mengukur capaian mbangunan. Untuk itu, penyusunan indeks komposit yang memasukkan empat mensi pembangunan berkelanjutan (ekonomi, sosial, lingkungan dan lembagaan) akan menjadi bagian penting dari pembangunan berkelanjutan pada mumnya, dan khususnya untuk pembangunan kelembagaan.

Selain menjabarkan pembangunan berkelanjutan ke dalam empat dimensi, angenberg juga mengidentifikasi empat modal pembangunan. Keempat modal mbangunan tersebut adalah man-made capital, human capital, natural pitaldansocial capital. Keseimbangan penggunaan keempat modal tersebut akan mendorong terciptanya pembangunan berkelanjutan. Hingga saat ini, rhatian terhadap tiga modal yang pertama lebih dominan dibandingkan dengan odal yang terakhir. Padahal di sisi lain, modal sosial diduga dapat mereduksi rmasalahan pembangunan yang telah disebutkan sebelumnya. Modal sosial harapkan akan mampu mengurangi terjadinya kesenjangan pendapatan dengan norma saling membantu. Modal sosial juga diduga mampu mencegah lingkungan dengan adanya kearifan lokal. Modal sosial juga menjadi ama untuk dapat mewujudkan kelembagaan yang kuat. Sebagai salah satu dalam pembangunan, sudah sepatutnya modal sosial mendapatkan n yang seimbang dengan modal yang lain.

- Akseologi (Kesimpulan Yang Didapatkan)

(25)

’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat.

(26)

untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.

4.2.1. Tokoh-Tokoh Paradigma Baru

Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang populer dan menjadi fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT mi (United Nation Conference on Environmental Development, UNCED) di Rio de Jenairo pada tahun 1992. Konsep pembangunan berkelanjutan pun terus mengalami perkembangan. Serageldin melihat pembangunan berkelanjutan dari sebuah dimensi (a triangular framework), yaitu ekonomi, sosial dan ekologi/lingkungan (Rustiadi dkk, 2009). Pandangan ini menjadi konsep yang lingkungan sering dijadikan acuan dalam berbagai tulisan.

Pembangunan berkelanjutan saat ini sudah menjadi isu dan perhatian masyarakat dunia, bagitu juga halnya di bidang pertanian. Masalah pembangunan berkelanjutan pertama kali muncul tahun 1987 dalam sidang WCED, pada waktu itu Mrs. G.H. Bruntland (Perdana Menteri Swedia) menyampaikan laporan dengan judul Our Common Future (hari depan kita bersama). Dalam laporan inilah disebutkan pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Di bidang pertanian diterapkan dengan pendektan pembangunan pertanian berkelanjutan atau berwawasan lingkungan, yang dalam penerapannya sudah termasuk aspek pertanian organik.

(27)

mengikutsertakan pemerintah, masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat. Disaming itu perlu keseimbangan dalam menangani atau melaksanakan pembangunan dengan memperhatikan kepentingan lingkungan.

Pertemuan Johanesberg, Afrika Selatan (2-4 September 2002) yang dikenal sebagai Pertemuan Puncak Pembangunan Berkelanjutan (World Summit On Sustainable Development), telah menghasilkan Deklarasi Johanensberg, antara lain menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan membutuhkan pandangan dan penanganan jangka panjang dengan partisipasi penuh semua pihak. Kelimpahan keanekaragaman yang dimiliki dapat dikembangkan sebagai kegiatan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dalam pembangunan berkelanjutan. Masyarakat global telah diberkati dengan berbagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk pengentasan kemiskinan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah penting untuk menjamin keberlanjutan dan ketersediaan sumberdaya alam tersebut.

4.2.2. Proses Pengujian Terhadap Paradigma Baru

Konsep Dasar dan Penjabaran Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Keterbatasan Pertumbuhan (Limit to Growth)

Ada dua kelompok besar yang menaruh perhatian pada masalah pembangunan ekonomi (economic development) yaitu kelompok pesimistis dan optimistis. Kelompok yang pesimistis mendasarkan pemikiran pada hukum

(28)

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian. Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir tahun 1980’an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang terfokus pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup. Konsep pertama dirumuskan dalam Bruntland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan PBB:

“Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED, 1987).

Bedasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi Pangan Dunia mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai berikut : …… manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989).

(29)
(30)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Defenisi dari teori Agribisnis menurut Davis dan Goldberg (1957)adalah

Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and distribution off-farm supplies, production activities on the farm, and storage, processing and distribution off-farm, commodities and items from them. Secara konsep agribisnis adalah suatu manajemen di bidang usaha pertanian dari hulu ke hilir dengan orientasi profit, dengan beberapa subsistem antara lain, ketersedian sarana prasarana pertanian, budidaya/usaha tani (on farm), pengolahan hasil pertanian (agroindustri), pemasaran hasil pertanian, dan subsistem kelembagaan pendukung. Secara aplikasi di lapangan belum semuanya berjalan sesuai konsep, sulitnya merubah pola pikir usaha pertanian masih subsisten komoditi dengan segala kekurangan sistem kelembagaan usaha tani pelaku utama dan kelembagaan pengambil kebijakan.

(31)

bahwa manajemen usaha tani dari hulu ke hilir dengan beberapa subsistem dengan orientasi profit tanpa melupakan lingkungan hayati sebagai media utama keberlangsungan sumber daya alam kita.

5.2. Saran

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Burk, Monroe, 1994. Ideology and Morality in Economic Theory, dalam Lewis, Alan and Kare-Erek Warneryd (ed). Ethics and Economic Affairs, Routledge, London – New York.

Davis dan Goldberg, 1957. Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta : Erlangga. Davis, R. C. 1957. Industrial Organization and Management.

Downey and Erickson, 1989. Manajemen Agribisnis. Erlangga. Jakarta

Downey, David W dan John K.Trocke. 1981. Agribusiness Management. McGraw-Hill, Inc. US of America

FAO, 1989. Utilization of Tropical Foods : Tropical Oil-Seeds. Roma: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Halaman 51-54.

Kasrino dan Suryana, 1992. What is the Participatory Rural Appraisal. SIL International (www.sil.org, diakses 28 Mei 2012.

Munasinghe. M., 1993. Environmental Economics and Sustainable Development.

Rustiadi, Eman, dkk., 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan YOI.

Referensi

Dokumen terkait

Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik

Disamping itu filsafat ilmu juga memperluas wawasan ilmiah sebagai kesiapan dalam menghadapi perkembangan iptek yang berlagsung dan maju dengan begitu pesatnya, cepat,

ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi

KESEJAJARAN ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI ILMU HUKUM Nilai Nilai Hukum The Coherence Theory of Truth Deduktif Metode Reflektif Filsafat Hukum Kaidah Karya Hukum The

Hamlyn bahwasannya epistemologi adalah sebagai cabang dari filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendalian-pengendaliannya serta

Hubungan Landasan Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi dalam filsafat ilmu Dari tiga pengertian di atas dapa kita simpulkan bahwa antologi adalah ilmu yang mempertanyakan

Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok

Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin, beliau mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan