• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR PENYEBAB KEBERAGAMAN DAN B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR FAKTOR PENYEBAB KEBERAGAMAN DAN B"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEBERAGAMAN DAN BENTUK-BENTUK PERUBAHAN PADA CANDI-CANDI DAN BANGUNAN SUCI KEAGAMAAN DI JAWA

DAN BALI

1. Pengantar

Candi merupakan salah satu jenis peninggalan arkeologi dari masa Hindu Buddha di Indonesia. Sebaran candi di Indonesia mencakup wilayah-wilayah yang pada masa lalu terkena pengaruh Indianisasi yang meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Candi pada hakikatnya difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada dewa-dewi dari pantheon Hindu ataupun Buddha, namun dalam perkembangannya juga difungsikan sebagai monumen peringatan untuk tokoh raja ataupun bangsawan yang juga dipercaya sebagai titisan dewa (Soekmono dalam Rahardjo, 2010: 53).

Candi di Indonesia terdiri dari banyak ragam bentuk dan latar belakang keagamaan yang berbeda-beda. Adanya keragaman ini sangat mungkin disebabkan karena faktor-faktor tertentu sehingga bisa berbeda satu sama lain sehingga kemudian menyebabkan perubahan-perubahan pada bentuk dan karakter candi. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa faktor yang menyebabkan keragaman candi di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang secara luas terpengaruh agama Hindu dan Buddha. Selain itu akan dibahas pula bentuk-bentuk perubahan yang terjadi secara arsitektural pada candi-candi serta bangunan suci keagamaan di ketiga wilayah tersebut.

2. Faktor-Faktor Penyebab Keberagaman Bentuk Candi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali

a. Keberagaman sumberdaya lingkungan dan Adaptasi Lingkungan

Candi-candi peninggalan agama Hindu dan Buddha di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dalam konteks lokalitasnya berada pada satuan geografi dan geomorfologi yang berbeda. Perbedaan ini berimplikasi pada ketersediaan sumberdaya alam yang berbeda pula antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pun dalam membangun sebuah candi, tentu saja seorang silpin harus pula memperhatikan ketersediaan bahan sebagai akibat kondisi geomorfologinya1.

(2)

Candi-Bila kita cermati akan tampak bahwa candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada umumnya dibuat dari bahan batu andesit, candi-candi di Jawa Timur selain berbahan andesit banyak pula yang berbahan batu bata, serta candi-candi di Bali pada umumnya dibuat pada tebing dan berbahan dasar batu padas. Pembangunan candi dengan ragam bahan dasar tersebut pada hakikatnya adalah salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya lingkungan.

Wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta terletak pada zona depresi tengah yang didominasi oleh gunung api kuarter seperti Gunung Slamet, Merapi, Sindoro, Slamet, Merbabu, Dieng, dan lain sebagainya (Invanni, 2011: 1-3). Keberadaan gunung api di wilayah tersebut banyak menghasilkan batuan beku yang dihasilkan dari pendinginan magma dari proses vulkanisme. Batuan andesit merupakan salah satu jenis dari batuan beku yang bisa didapatkan secara melimpah di wilayah-wilayah tersebut. Oleh karena itu adalah suatu hal yang wajar apabila candi-candi di wilayah tersebut dibangun dari bahan dasar batu andesit (Mundardjito, 2002).

Seperti halnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, candi-candi di Jawa Timur yang terletak di dataran tinggi dan dekat dengan gunung api seperti candi-candi di wilayah Blitar, Tulungagung, dan Malang banyak menggunakan bahan dasar batu andesit yang merupakan produk vulkanisme gunung api Kelud dan Wilis. Adapun di wilayah Probolinggo, Sidoarjo, dan Mojokerto tempat dimana banyak ditemukan candi-candi berbahan dasar batu bata merupakan wilayah yang secara geomorfologi berada pada wilayah kipas alluvial gunung api yang kaya akan endapan sedimen sebagai bahan baku pembuatan batu bata. Sebagai contoh wilayah Trowulan yang merupakan wilayah kipas alluvial Gunung Arjuna Welirang dan Penanggungan sangat kaya akan sedimen lempung sehingga tidaklah mengherankan bila wilayah ini menjadi sentra industri gerabah dan terakota baik pada masa Majapahit hingga saat ini. Hal inilah kiranya yang mungkin menyebabkan bangunan candi di wilayah ini terbuat dari bahan dasar batu bata (Kusumahartono dalam Tanudirdjo, 1995: 73)2.

candi di Jawa Tengah dengan bentuknya yang tambun agaknya juga bisa dihubungkan dengan strategi terhadap ancaman kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas kegempaan karena bentuk yang demikian kemungkinan besar lebih stabil. Faktor-faktor ekologi lain juga akan sangat berpengaruh terutama dalam penempatan situs. Pembahasan mengenai hal ini telah dilakukan oleh Mundardjito (1993) terhadap situs-situs Hindu Buddha di Yogyakarta dan Srijaya (1996) terhadap situs-situs Hindu Buddha di Gianyar Bali.

(3)

Adapun di Bali, situs berupa candi pada umumnya terbuat dari batu padas. Suatu hal yang menarik adalah karakter candi-candi di Bali berupa candi tebing. Selain candi terdapat pula pertapaan-pertapaan yang dipahatkan pula pada tebing. Wilayah yang kaya akan candi dan pertapaan yang dipahatkan pada tebing terdapat di wilayah Bedulu dan Pejeng di Gianyar seperti candi Gunung Kawi, Tegalinggah, dan Goa Gajah. Wilayah Gianyar tempat dimana banyak ditemukan bangunan suci Hindu Buddha bila dilihat dari satuan geomorfologisnya terletak pada satuan fluvio gunung api Batur Beratan yang mengendapkan hasil-hasil aktivitas vulkanisme. Satuan fluvial gunung api tersebut meliputi beberapa daerah aliran sungai seperti Pakerisan dan Petanu. Dinding-dinding aliran sungai tersebut tersusun atas batuan breksi dan tufa breksian yang kita kenal dengan batu padas. Dinding-dinding tebing sungai inilah yang kemudian dipakai sebagai bahan baku pembuatan candi karena jumlah sumberdayanya yang melimpah. Selain itu, pembangunan candi tebing juga diduga berkaitan erat dengan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam begitu dipertimbangkan. Dengan hanya memahat dan tidak menambang batu menjadi balok-balok batu seperti di Jawa tentunya sumberdaya alam yang tersedia tidak akan tereksploitasi secara dahsyat dan sebagai akibatnya sumberdaya lingkungan di sekitarnya masih bisa lestari (Srijaya, 1996: 185).

b. Sumberdaya Manusia dan Alam Pikirannya

Beragamnya pengaturan bentuk dan penempatan candi dapat juga ditafsirkan sebagai gambaran pikiran serta susunan masyarakatnya. Sebagai contoh candi-candi di Jawa Tengah Utara disusun secara berkelompok namun dengan tidak disertai aturan yang baku kemudian ditafsirkan sebagai mental template masyarakat yang berada di wilayah kuasa dinasti Sanjaya bersifat demokratis. Adapun di Jawa Tengah Selatan candi disusun sedemikian rupa sehingga candi induk terletak di tengah dengan candi perwara yang teratur rapi berbaris-baris menunjukan mental template masyarakat yang dikuasai oleh dinasti Sailendra bersifat feodal dengan rajasebagai pusatnya (Soekmono, 1973: 85).

Ukiran-ukiran serta gaya arsitektural yang sangat indah pada candi-candi di Jawa Tengah mungkin pula menunjukan kemampuan sumberdaya manusia pada masa tersebut

(4)

memang sangat tinggi terlepas apakah si pembangun adalah penduduk lokal Indonesia atau bukan. Adapun candi-candi Jawa Timur terkesan mengalami penurunan kualitas dan kerap pula dihubungkan dengan adanya gejala penurunan kualitas sumberdaya manusia pembuatnya. Namun hal ini kemudian banyak disangkal oleh ahli-ahli arkeologi Indonesia dengan alasan bahwa hal tersebut tidak serta merta harus dikaitkan dengan penurunan kualitas melainkan sebagai akibat pengaruh-pengaruh perkembangan sosial budaya dan kemasyarakatan penduduk Jawa Kuno pada masa tersebut.

Adapun dalam kasus candi dan bangunan keagamaan di Bali tampak bahwa masyarakat Bali pada zaman dahulu memang telah memiliki kearifan lokal dalam hal seni bangun. Candi-candi di Bali menampakan karakter yang mandiri sejak awal masa klasik bila dibanding candi-candi di Jawa. Keberadaan candi-candi pahat pada tebing bisa jadi mengindikasikan karakter masyarakat yang mementingkan efisiensi tenaga dan lingkungan—konsep keselarasan lingkungan, manusia, dan Tuhan (tri hita karana) – karena bila saja bahan dasar bangunan berupa batu padas tersebut dieksploitasi dalam bentuk balok-balok yang lain tentunya akan merusak lingkungan. Oleh karena itu masyarakat Bali kuno kemudian membangun bangunan sucinya dengan cara memahati dinding tanpa mengeksploitasi secara berlebihan sumberdaya alamnya. Selain itu aspek pemaknaan terhadap tenaga-tenaga Ilahiah tampaknya lebih dipentingkan walau hanya dengan bangunan yang tidak semonumental di Jawa.

c. Suasana Politik

Suasana politik dapat juga berpengaruh pada karakter pembangunan candi. Pembangunan candi secara megah dan kaya ornamentasi di Jawa bagian tengah dan Yogyakarta sepertinya dikarenakan iklim politik yang stabil sehingga tidak menimbulkan banyak perang dan memungkinkan adanya ‘’waktu leluasa’’ untuk membangun candi tanpa adanya bayang-bayang ketakutan. Keberadaan dua buah dinasti pada masa Mataram Kuno tidak memunculkan konflik yang mungkin menghamabat aktivitas pembangunan. Terlebih apabila pendapat Boechari mengenai hanya ada satu dinasti di Mataram Kuno memang benar, maka aktivitas pembangunan bangunan suci secara besar-besaran merupakan suatu hal yang wajar karena iklimnya yang mendukung.

(5)

Hipotesis yang mungkin bisa kita ajukan adalah bahwa pada masa tersebut iklim politiknya tidak sestabil pada masa Mataram Kuno. Seperti kita ketahui pada masa Kediri dan Singasari banyak terjadi konflik baik dalam lingkungan elite penguasa lokal seperti perang perebutan kekuasaan dalam keluarga raja maupun dengan kekuatan asing seperti Cina. Pada masa Singasari, ekspansi politik mulai dilancarkan oleh Kertanegara untuk menguasai wilayah-wilayah Nusantara. Dengan adanya ekspansi tersebut secara otomatis konsentrasi negara diarahkan pada hal-hal yang sifatnya militeristik sehingga konsentrasi terhadap pembangunan bangunan suci keagamaan tidak menjadi skala prioritas. Begitu pula pada masa Majapahit, ekspansi politik yang dilancarkan Patih Gajah Mada lebih terkonsentrasi pada perluasan wilayah kekuasaan dibanding dengan pembangunan infrastruktur keagamaan.

Di Bali hal yang sama mungkin juga terjadi. Pada masa pemerintahan Udayana dan Anak Wungsu upaya pembangunan candi terlihat mencapai masa puncaknya dengan didirikannya kompleks candi tebing dan pertapaan di sepanjang aliran sungai Pakerisan. Pada masa-masa selanjutnya, ketika pengaruh Singasari dan Majapahit mulai muncul aktivitas pembangunan bangunan suci kemungkinan besar mengalami penurunan atau mungkin pula mengalami corak yang berbeda terutama mungkin bila dikaitkan dengan adanya pembangunan candi dengan bahan-bahan organik sehingga sisa-sisanya secara nyata tidak bisa kita saksikan saat ini.

d. Perubahan Latar Belakang Keagamaan

(6)

yang real terlihat dalam bangunan candi. Termasuk dalam kategori ini misalnya candi Jawi (Kinney, 2003: 127).

Pada masa-masa akhir Hindu Buddha di Jawa latar belakang keagamaan yang murni Hindu atau Buddha semakin melemah. Kultus-kultus keagamaan dari Hindu, Buddha, Siwa-Buddha, kemudian berkembang menjadi aliran yang lain seperti tercermin dari adanya pengkultusan terhadap tokoh Bima dan Panji di Candi Cetho dan Sukuh serta kepurbakalaan Penanggungan (Kinney, 2003: 259-78, Munandar, 1990: 187). Morfologi candi pun terlihat semakin bergaya lokal seperti bentuk piramid dan punden berundak yang juga mengindikasikan menguatnya kembali kepercayaan lokal (Kinney, 2003: 259).

Di Bali, pengaruh faktor latar belakang keagamaan juga terlihat jelas secara mandiri pada candi stupa Pegulingan dan Kalibukbuk yang berkarakter Buddha. Adapun candi-candi tebing di sepanjang DAS Pakerisan juga tampaknya berhubungan dengan latar belakang agama Hindu Tirtha yang sangat menghormati air sebagai sumber kehidupan dan kesuburan (Kinney, 2003: 26). Adapun pascakolonisasi Bali oleh Majapahit latar belakang keagamaan itu kiranya ikut juga berubah sehingga membentuk agama Hindu yang sekarang.

e. Kearifan Lokal (Local Genius)

Kendati pengaruh asing tidak dipungkiri datang secara bertubi-tubi dari berbagai penjuru namun rupa-rupanya masyarakat baik Jawa Kuno maupun Bali Kuno masih memegang kearifan-kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Dalam seni arsitektur terlihat bahwa candi-candi dan bangunan suci keagamaan dari periode Hindu dan Buddha tidak bergaya India secara utuh kendati agama yang melatarinya berasal dari India. Candi Borobudur sebagai contoh menunjukan kearifan lokal berupa susunan candinya yang berbentuk stupa berundak. Kearifan lokal makin terlihat pada masa-masa klasik akhir dengan dibangunnya candi-candi dan bangunan keagamaan yang khas Indonesia. Bahkan pada akhir masa klasik, kearifan lokalnya makin kuat dengan keberadaan situs-situs punden berundak yang merupakan warisan asli nenek moyang masyarakat Indonesia.

(7)

Candi-candi baik Hindu maupun Buddha pada dasarnya merupakan produk budaya yang awalnya berasal dari India. Begitu pula pada candi-candi di Indonesia terlihat sejumlah candi yang menunjukan corak India terutama pada candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang berasal dari periode klasik awal. Sebagai contoh candi Bima memiliki gaya yang mirip dengan candi-candi di Bhuwaneswara, Sirpur, Mammalapuram, dan Orrisa. Candi Prambanan memiliki gaya candi Buddha di Paharpur, Benggala. Begitu pula arca-arca di dalam candi-candi di Jawa Tengah menunjukan gaya seni arca ‘’ke-Guptaan’’ seperti misalnya yang terdapat di Borobudur dan Plaosan (Fontein dalam Rahardjo, 2010: 34). Fenomena ini kemungkinan besar berkaitan dengan banyaknya jumlah orang-orang India pada masa periode awal klasik baik sebagai penyebar agama maupun para arsitek mengingat pada awal masa klasik tentulah penduduk Jawa tidak serta merta menguasai teknologi seni bangun/pahat serta pemahaman keagamaan yang tinggi. Hal ini semakin dikuatkan misalnya dengan pemberitaan Cina yang menyatakan bahwa penyebar agama Buddha di Jawa adalah Gunadharma yang berasal dari Kashmir. Tokoh ini dalam perkembangan selanjutnya juga disebut-sebut sebagai perancang pembangunan Borobudur (Damais dalam Rahardjo, 2010: 34).

Pada masa-masa selanjutnya jumlah orang-orang India kemungkinan besar menurun secara drastis. Hal ini mungkin terjadi karena dalam pandangan para penyebar agama Hindu dan Buddha maupun silpin penduduk Jawa telah secara cukup mampu secara mandiri membangun bangunan keagamaan maupun melakukan ritual secara mandiri setelah sekian lama mereka belajar. Hal ini terlihat dari bangunan-bangunan candi yang semakin jauh dari gaya-gaya India dan bercorak lokal seperti yang terlihat pada candi-candi periode klasik muda (Rahardjo, 2010: 34).

(8)

dan akulturasi. Kendati gejala kontak dengan India di Bali sudah terlihat terjadi sejak paro pertama abad Masehi dengan temuan gerabah Arikamedu di Sembiran, namun pengaruh dalam hal arsitektural yang ‘’sangat India’’ tidak terlihat sekuat di Jawa (Ardika,). Malahan berdasarkan data epigrafi kendati nampaknya sudah mengenal dan menganut agama Hindu, kultus awal di Bali masih menampakan penyembahan terhadap gramadevata (dewa lokal) bukannya terhadap dewa-dewa dari pantheon Hindu seperti yang tercermin dari prasasti Trunyan A1.

3. Bentuk-Bentuk Perubahan pada Bangunan Candi di Jawa dan Bali dari Masa ke Masa

Pengamatan terhadap aspek arsitektural dan gaya seni pada candi-candi di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali menunjukan adanya bentuk-bentuk perubahan seiring waktu. Bentuk-bentuk perubahan tersebut dapat diringkas dalam tabel sebagai berikut:

a. Perubahan Bahan Baku

Perubahan bahan baku pada bangunan suci keagamaan dari fase klasik muda di Jawa Tengah menuju fase klasik tua di Jawa Timur antara lain terlihat dari penggunaan batu bata secara dominan pada candi-candi di Jawa Timur walaupun sejumlah candi Jawa Timur dibangun dari bahan batu andesit pula. Penggunaan bahan-bahan organik juga digunakan seperti pada candi induk Penataran. Di Bali bahan baku bangunan suci keagamaan terbuat dari batu padas baik berupa candi yang secara mandiri berdiri maupun candi dan pertapaan tebing. Pada perkembangan selanjutnya bangunan suci keagamaan Bali tidak menampakkan corak seperti masa sesudahnya. Sepertinya bangunan suci keagamaan pada masa selanjutnya dibuat dari bahan-bahan organik atau kemungkinan besar merupakan prototipe pura pada saat ini.

b. Morfologi

(9)

Jawi dan Jabung. Candi-candi dengan arsitektur lokal seperti punden berundak (Penanggungan), batur tunggal (Kotes), dan tipe piramida (Sukuh dan Cetho) juga berkembang pada masa akhir Majapahit (Munandar, 2011: 20-25).

Adapun di Bali, bentuk perubahan yang terlihat adalah dari candi tiga dimensi seperti pada kasus candi Pegulingan yang kemudian berubah menjadi candi tebing. Pada masa-masa selanjutnya kemungkinan besar bangunan keagamaan di Bali dibuat dari bahan organik atau perpaduan batuan dan organik. Yang menarik perhatian adalah bagaimana candi di Bali tidak bisa bertahan hingga sekarang padahal latar keagamaannya kontinyu dari dulu hingga saat ini. Beberapa ahli berpendapat bahwa transformasi candi ke dalam bentuk pura disebabkan oleh kesinambungan perkembangan agama, Hindu, sejak masa Bali Kuno hingga sekarang. Candi sebagai tempat pemujaan atau beribadah digunakan terus menerus dan sedikit demi sedikit diperbaiki dari masa ke masa dalam bentuk pura. Bukti-bukti mengenai hal tersebut antara lain terlihat dari bekas-bekas sisa bangunan pada pura-pura tua semisal pura Pegulingan dan candi Mangening (Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, 2010: 340). Selain hal tersebut semangat keagamaan di Bali juga tampaknya lebih mengedepankan aspek penghayatan ketimbang aspek fisik bangunan keagamaan sehingga bentuk rumah ibadah candi berubah menjadi pura.

c. Ornamentasi

(10)

relief merupakan proporsi dengan perbandingan-perbandingan tertentu (Munandar, 2011: 175-85).

Satu hal yang juga sering dijadikan untuk membedakan gaya seni candi dari periode klasik tua dan klasik muda adalah perbedaan penggambaran kala makara. Pada candi-candi dari masa klasik tua, kala makara digambarkan tanpa rahang bawah sedangkan pada masa klasik muda kala makara-nya digambarkan lengkap dengan rahang bawah bahkan dengan kedua tangannya. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kreatifitas lokal silpin, penanda gaya, atau perbedaan acuan karya sastra mengenai penggambaran sosok Kala (Paramadhayaksha, 2010: 170-1). Selain itu, hiasan-hiasan seperti motif ikal lemah dan makara yang umum ditemukan pada depan dan tangga candi dari periode Klasik tua pada sejumlah candi dari periode klasik muda juga tidak ditemukan.

d. Fungsi

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Ardana, I Gusti Gde, I Wayan Ardika, dan I Ketut Setiawan. 2012. Raja Udayana di Bali (989-1011). Denpasar: Udayana University Press dan Pusat Kajian Bali

Invanni, Muhammad. 2011. Geomorfologi Jawa: Modul Mata Kuliah Geomorfologi. Surabaya: Insitut Teknologi Sepuluh November (tidak diterbitkan)

Kinney, Ann R. 2003. Worshiping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java. Honolulu: University of Hawai’i Press

Munandar, Agus Aris. 1990. ‘’Arca dan Relief Pada Kepurbakalaan Gunung Penanggungan: Pembicaraan Aspek Ringkas Keagamaan’’ dalam Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia

(12)

Paramadhyaksa, I Nyoman Widya. 2010. ‘’Tafsiran Kesetaraan Makna Ornamen Karang Bhoma pada Bangunan Suci Tradisional Bali dengan Ornamen Kala pada Arsitektur Candi’’ dalam Mutiara Warisan Budaya Sebuah Bunga Rampai Arkeologis. Denpasar: Jurusan Arkeologi dan Program Kajian Budaya Universitas Udayana, hal. 163-178

Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir. Depok: Komunitas Bambu

Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius

Srijaya, I Wayan. 1996. Pola Persebaran Situs Keagamaan Masa Hindu-Buda di Kabupaten Gianyar, Bali: Suatu Kajian Ekologi. Tesis Pascasarjana Arkeologi Universitas Indonesia

Tanudirdjo, Daud Aris. 1995. ‘’Theoretical Trends in Indonesian Archaeology’’ dalam Peter J Ucko (ed) Theory in Archaeology: A World Perspective. London: Routledge, hal. 62-76

Referensi

Dokumen terkait

Dokter sebagai seorang yang dapat bekerja secara efektif dan harmonis Dokter sebagai seorang yang dapat bekerja secara efektif dan harmonis dengan orang lain baik

 Kelompok pengeluaran yang mengalami inflasi yaitu kelompok makanan jadi, minuman, rokok & tembakau sebesar 0,27 persen; kelompok sandang sebesar 0,54 persen;

diperlukan. Tingkat kedetilan yang diperlukan tergantung pada bagaimana data permintaan yang tidak terdistorsi akan digunakan oleh perusahaan yang terlibat

Hasil : Berdasarkan analisa Matriks IFAS kekuatan utama yang dimiliki oleh UPT Puskesmas Kintamani VI, memiliki kebijakan internal dalam mengatur pemanfaatan pelayanan,

Peraturan perundang-undangan terkait tersebut adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), Undang-undang

Berdoalah agar Tuhan Yesus Kristus akan menjaga, memelihara, dan memotivasi semua orang percaya di Iran, terutama umat Kristen yang berada dalam penjara di... OpenDoors

Tetapi, Tri Sumaryani tidak hanya menolak permintaan itu, dia bahkan mengadukan masalah ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. 3) Kedatangan Sri Kuncoro dan kawan-kawan

Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas antibakteri bakteriosin yang dihasilkan oleh isolat Lactobacilus casei dari sotong kering hilang dengan penambahan enzim