• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH ANOMALI CURAH HUJAN TERHADAP PR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH ANOMALI CURAH HUJAN TERHADAP PR"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH ANOMALI CURAH HUJAN TERHADAP PRODUKSI PADI DI KABUPATEN JEMBER

Miqdad Anwarie

Dep. Geografi, FMIPA Universitas Indonesia Tel : +6281574000348 Email : miqdad90@ymail.com

ABSTRAK

Akibat pemanasan global secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap perubahan iklim yang pada akhirnya mengancam produktivitas tanaman pertanian diantaranya produktivitas tanaman padi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan iklim (curah hujan) terhadap produksi padi, terutama ketika terjadi El Nino, La Nina, dan dalam keadaan normal di Kabupaten Jember. Metode dasa r yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang didasarkan pada pemecahan masalah faktual. Data yang digunakan adalah data iklim (curah hujan) dan produksi padi pada kondisi normal, El Nino, dan La Nina selama periode 2000 - 2010. Untuk mengetahui hubungan antara perubahan iklim dengan produksi padi dianalisis berdasa rkan keterkaitan antara keduanya secara kualitatif. Intensitas hujan yang tinggi ketika terjadi La Nina (2010) cenderung lebih mempengaruhi produksi padi, khususnya pada masa tanam sedangkan pada kondisi El Nino (2009) tidak terlalu berpenga ruh karena sistem pengairan pertanian sudah berupa irigasi.

Kata Kunci : Perubahan Iklim, Padi, Produksi

Pendahuluan

(2)

Oscillation (ENSO) di Samudera Pasifik (Naylor et al. 2002) dan Indian Ocean Dipole (IOD) di Samudera Hindia (Ashok et al. 2001; Mulyana 2001). Pada suatu saat terjadi penurunan curah hujan yang mengakibatkan terjadinya kekeringan dan pada saat yang lain mengakibatkan tingginya curah hujan sehingga dapat menimbulkan banjir (Allan, 2000). Munculnya fenomena El Niño kuat sebanyak tujuh kali sepanjang dua puluh tahun terakhir disertai dengan terjadinya fenomena IOD positif yang hampir terjadi bersamaan mengakibatkan deraan kekeringan yang cukup serius. Berdasarkan peristiwa kekeringan yang terjadi sebanyak 43 kali sejak tahun 1844 – 1998, hanya enam peristiwa kekeringan yang tidak berkaitan dengan fenomena El Niño (Boer and Subbiah 2005). Seperti halnya kekeringan yang terjadi antara tahun 1990 – 1997, dalam kurun waktu tersebut terjadi tiga kali kekeringan yang hebat yaitu tahun 1991, 1994 dan 1997. Demikian pula secara hampir bersamaan Saji et al. (1999) dan Webster et al. (1999) menyatakan bahwa pada tahun 1997 ketika terjadi El Niño kuat, secara bersamaan terjadi pula IOD positif kuat di Samudera Hindia.

(3)

gilirannya mengakibatkan gangguan terhadap stabilitas sistem pertanian (Koesmaryono et al. 2008).

Variabilitas iklim di satu sisi dapat menjadi potensi namun di sisi lain dapat pula menjadi ancaman bagi kemandirian pangan. Peningkatan fluktuasi, frekuensi dan intensitas anomali iklim dalam dasawarsa terakhir yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan IOD berdampak pada perubahan pola distribusi, intensitas dan periode musim hujan sehingga awal musim hujan maupun musim kering menjadi terlambat

(Las 2000; Boer 2006; Naylor et al. 2007; D’Arrigo 2007). Akibatnya terjadi pergeseran musim dari kondisi normal rata-ratanya yang akhirnya dapat berimplikasi serius pada tanaman pangan (Hamada et al. 2002; Haylock and McBride 2001) karena umur tanaman pangan lebih pendek dibandingkan dengan tanaman tahunan seperti perkebunan.

Stabilitas pangan khususnya ketersediaan pangan fluktuasinya sangat dipengaruhi oleh variasi iklim dan cuaca (Pendleton & Lawson 1988). Hasil kajian FAO (2005) menunjukkan bahwa dampak variabilitas dan perubahan iklim dapat menurunkan produksi tanaman pangan (serealia) di kawasan Asia Tenggara antara 2,5 % sampai 7,8 % (Fischer et al. 2002). Variabilitas dan perubahan iklim dengan segala dampaknya yang terjadi berpotensi menyebabkan kehilangan produksi tanaman pangan utama sebesar (20,6%) untuk padi, (13,6%) jagung dan (12,4%) untuk kedelai (Handoko et al. 2008). Sementara itu kebutuhan pangan terutama beras terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk. Diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk akan mencapai 262 juta jiwa dengan konsumsi beras 134 kg per kapita, dengan demikian kebutuhan beras nasional mencapai 35,1 juta ton atau 65,9 juta ton GKG (Budianto 2002).

(4)

menunjukkan bahwa terjadi pergeseran sekitar 10 hingga 20 hari dari lama masa tanam normal pada satu abad terakhir ini (Linderholm 2006).

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh fenomena perubahan iklim terhadap produksi maupun produktivitas padi di daerah Kabupaten Jember, penelitian ini dilakukan dengan mengkaitkan anomali curah hujan dasa harian pada tiga wilayah, yaitu wilayah hulu, tengah, dan pesisir dimana pada masing-masing wilayah diwakilkan oleh satu sampel, yaitu Arjasa (Hulu), Curahmalang (Tengah), dan Puger (Pesisir). Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui wilayah mana yang paling terpengaruh oleh adanya perubahan iklim berdasarkan distribusi dan variabilitas hujan yang dipengaruhi jarak dari laut pada kondisi normal (2008), El Nino (2009), dan La Nina (2010). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat analisis deskriptif yang menjelaskan keterkaitan secara kualitatif untuk menjelaskan bagaimana pengaruh perubahan iklim berupa anomali curah hujan terhadap produksi padi di wilayah hulu, tengah, dan pesisir Kabupaten Jember berdasarkan pola distribusi hujan dasa harian pada masing-masing wilayah (alur pikir pada gambar 1).

Jember

Wilayah Hulu Wilayah Tengah Wilayah Pesisir

Produksi & Produktivitas Padi

Periode 2008 - 2010 Anomali Curah Hujan

Keterkaitan?

(5)

Kondisi Iklim Kabupaten Jember

Menurut BMG Stasiun Karangploso Malang, iklim di Kabupaten Jember dikiasifikasi kedalam 8 kategori menurut lama musim hujan dan musim kering (Tabel 1).

Tabel 1. Kategori Iklim di Kabupaten Jember

Sumber : Bappenas, 2007

Lama musim adalah suatu periode yang setara dengan 2/3 bulan (hampir 10 hari). Berarti jumlah total lama musim hujan dan musim kering sama dengan 36 (12 bulan x 3). Area ZPI= 100 dalam Tabel 1 mempunyai periode musim hujan terlama yaitu 28 (280 han pada musim hujan selaina satu tahun). Di Kabupaten Jember, jumlah total curah hujan pada saat musim hujan bervariasi antara 3.935 mm sampai 5.323 mm. Sedangkan jumlah curah hujan pada musim kering (lama musim = 8) hanya berkisar antara 258 mm sampai 348 mm.

(6)

0.00

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

C

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

C

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2008

Bagian Tengah (St. Curahmalang)

(7)

Gambar 2. Pola curah hujan bagian hulu, tengah, dan pesisir pada tahun 2008

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

C

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2008

Bagian Pesisir (St. Puger)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

C

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2009

Bagian Hulu (St. Arjasa)

(8)

Gambar 3. Pola curah hujan bagian hulu, tengah, dan pesisir pada tahun 2009

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

C

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

C

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2009

Bagian Pesisir (St. Puger)

(9)

0.00

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

C

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2010

Bagian Hulu (St. Arjasa)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

C

Curah Hujan Dasa Harian Tahun 2010

Bagian Tengah (St. Curahmalang)

(10)

Gambar 4. Pola curah hujan bagian hulu, tengah, dan pesisir pada tahun 2010

Pola hujan tahunan Kabupaten Jember secara umum memiliki awal musim hujan pada bulan Oktober akhir dan awal musim kemarau pada bulan April dalam keadaan normal seperti pada tahun 2008 (gambar 2). Pada tahun 2009, di bagian hulu dan tengah musim kemarau terjadi di bulan maret akhir, sedangkan di bagian pesisir terjadi secara normal, yaitu di bulan april tetapi lebih panjang hingga bulan Desember (gambar 3). Pada tahun 2010, baik di bagian hulu, tengah, maupun pesisir mengalami pergeseran musim, yaitu awal musim kemarau yang baru terjadi pada bulan Mei akhir serta kejadian hujan di setiap bulannya merata.

Pertanian Padi di Kabupaten Jember

Pertanian padi di Kabupaten Jember mayoritas berupa pertanian padi irigasi dimana pengaruh musim kemarau tidak terlalu signifikan terhadap produtivitas padi. Secara umum, padi ditanam dua kali dalam setahun, baik di bagian hulu, tengah, maupun pesisir. Musim tanam padi dilakukan pada bulan Januari dan April akhir dengan rentang antara musim tanam dan musim panen adalah empat bulan.

0.00

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

(11)

Berikut merupakan jumlah produksi dan produktivitas padi di bagian hulu, tengah, dan pesisir, serta peta penggunaan tanah sawah dan non sawah di Kabupaten Jember.

Tabel 2. Produksi dan Produktivitas Padi Bagian Hulu, Tengah, dan Pesisir

Peta 1. Sawah dan Non Sawah di Kabupaten Jember

Persebaran sawah di Kabupaten Jember terarah secara diagonal dari Barat Daya ke Timur Laut dengan konsentrasi lebih banyak di bagian selatan. Sawah yang

Pesisir (Puger) Tengah (Curahmalang) Hulu (Arjasa)

Produksi (ton) 37965 33925 16591

Produktivitas (ton/ha) 68.21 59.27 52.79

Produksi (ton) 37824 33825 13672

Produktivitas (ton/ha) 68.12 54.65 51.99

Produksi (ton) 37669 32408 14487

Produktivitas (ton/ha) 66.92 56.38 48.61

(12)

wilayah ada, baik di hulu, tengah, maupun pesisir karena melimpahnya sumberdaya air di daerah tersebut.

Dampak Perubahan Iklim (Anomali Curah Hujan) Terhadap Pertanian Padi

Perubahan iklim adalah berubahnya variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsurangsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 (multi decadal) sampai 100 tahun (inter centenial) (KLH 2004). Perubahan iklim juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan manusia di bumi. Perubahan iklim mengakibatkan kondisi cuaca yang tidak stabil sebagai contoh curah hujan yang tidak menentu, sering terjadi badai, suhu udara yang ekstrim, arah angin yang berubah drastis, dan sebagainya (Ratnaningayu 2009).

(Sumber: Naylor 2007 dalam UNDP Indonesia 2007)

Gambar 5. Perubahan curah hujan.

(13)

terhadap penurunan produktivitas tanaman pangan, penurunan produksi tanaman pangan, penurunan areal yang dapat diirigasi dan penurunan efektivitas penyerapan hara serta penyebaran hama dan penyakit (Prihantoro 2008). Stabilisasi produksi pangan pada kondisi iklim yang berubah akan memakan biaya yang sangat tinggi, misalnya dengan meningkatkan sarana irigasi, pemberian input (bibit, pupuk, insektisida/pestisida) tambahan. Di Indonesia dengan skenario konsentrasi CO2 dua kali lipat dari saat ini produksi padi akan meningkat hingga 2,3 persen jika irigasi dapat dipertahankan. Tetapi jika sistem irigasi tidak mengalami perbaikan produksi padi akan mengalami penurunan hingga 4,4 persen (Prihantoro 2008).

Dampak fenomena perubahan iklim sangat terasa pada perubahan pola tanam baik di lahan sawah irigasi maupun tadah hujan. Saat ini, sebagian besar areal tanam padi menggunakan pola tanam padi-padi dimana pada musim tanam kedua sangat tergantung pada ketersediaan air irigasi (Las et al. 2007). Kekeringan yang terjadi pada musim tanam kedua akan mengubah pola tanam dari padi menjadi padi-non padi sehingga akan mengakibatkan penurunan produksi beras, yang pada gilirannya akan mengganggu kesinambungan stok pangan nasional. Kesinambungan produksi beras dalam beberapa tahun terakhir sering terganggu akibat berkurangnya area tanam padi karena dampak ENSO dan IOD (Gambar 6).

(14)

Penetapan awal musim tanam padi merupakan salah satu strategi penting dalam budidaya pertanian di Indonesia (Naylor et al. 2001, 2007) khususnya tanaman pangan yang sangat berkaitan dengan anomali iklim. Penetapan awal musim tanam merupakan bagian dari kalender tanam secara tradisional telah lama dikembangkan oleh petani secara turun temurun dengan berbagai istilah yang berbeda di setiap daerah. Namun demikian berbagai kearifan lokal tersebut tidak dapat sepenuhnya dijadikan acuan dalam menetapkan awal musim tanam karena perubahan iklim dan semakin sulitnya menemukan indikator penanda musim. Fluktuasi curah hujan yang sangat dinamis akibat munculnya anomali iklim menyebabkan terjadinya pergeseran awal musim hujan dan musim kemarau. Dampak perubahan pola hujan dan pergeseran awal musim mengakibatkan perubahan waktu tanam yang dapat mempengaruhi maju mundurnya waktu tanam sehingga sangat menyulitkan petani yang telah terbiasa dengan kalender tanam yang dilakukan.

(15)

Di kabupaten Jember, meningkatnya intensitas curah hujan dan bergesernya musim hujan sangat mempengaruhi besarnya produksi padi yang dihasilkan setiap tahunnya. Berdasarkan kondisi Oceanic Nino Index (ONI) (Climate Prediction Center NOAA) pada gambar 7, pada tahun 2008 merupakan kondisi normal, 2009 merupakan kondisi el nino, dan pada tahun 2010 merupakan kondisi la nina.

Gambar 7. Oceanic Nino Index Tahun 1950 – 2012

(16)

Gambar 8. Grafik perbandingan antara curah hujan tahunan dan produksi padi di wilayah hulu

Gambar 9. Grafik perbandingan antara curah hujan tahunan dan produksi padi di wilayah tengah

Perbandingan Curah Hujan Tahunan dan Produksi Padi

di Wilayah Tengah (Curahmalang)

Curah Hujan (mm)

(17)

Gambar 10. Grafik perbandingan antara curah hujan tahunan dan produksi padi di wilayah pesisir

Di wilayah hulu, anomali curah hujan tahunan mempengaruhi besarnya produksi padi. Dari keadaan ONI normal (2008) hingga La Nina (2010), produksi padi terus menurun. Hal tersebut terjadi karena terus meningkatnya intensitas hujan pada bulan tanam (januari dan april) setiap tahunnya sehingga jumlah padi yang dipanen menjadi lebih kecil dibanding pada keadaan normal. Berdasarkan data dinas pertanian, luas panen bersih pada tahun 2008, 2009, dan 2010 adalah 3.143 ha, 2.630 ha, dan 2.980 ha dengan luas tanam awal adalah 3.209 ha, 3.298 ha, dan 3.036 ha sehingga peningkatan intensitas curah hujan pada musim tanam mempengaruhi nilai produksi maupun produktivitas padi di wilayah hulu.

Di wilayah tengah, anomali curah hujan tahunan tidak terlalu berpengaruh terhadap besarnya produksi padi. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 9 bahwa adanya penurunan curah hujan tahunan dari tahun 2008 ke 2009 dan meningkat kembali di tahun 2010 sedangkan untuk nilai produksi terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan pola curah hujan pada gambar 2, 3, dan 4, peningkatan produksi padi terjadi karena meratanya hujan ketika musim tanam

1644.00

Perbandingan Curah Hujan Tahunan dan Produksi Padi

di Wilayah Pesisir (Puger)

Curah Hujan (mm)

(18)

panen. Selain itu, sawah di wilayah tengah merupakan sawah yang terus terendam air (basah) (gambar 11) sehingga tingginya curah hujan berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Adapun luas panen bersih di wilayah tengah berdasarkan dinas pertanian di tahun 2008, 2009, dan 2010 adalah 5.724 ha, 6.189 ha, dan 5.748 ha dengan luas tanam sebesar 6.035 ha, 6.296 ha, dan 5.736 ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa curah hujan berbanding terbalik dengan luas panen maupun luas tanam.

Gambar 11. Sawah di wilayah tengah (Curahmalang) (sumber: dok. Miqdad Anwarie 2012)

(19)

tersebut terjadi karena pola curah hujan pada tahun La Nina lebih fluktuatif dan intensitas curah hujan ketika musim tanam lebih tinggi, seperti ditunjukkan pada gambar 2, 3, dan 4, sehingga sawah di bagian pesisir yang dominan kering tanpa terendam air (gambar 12) menjadi banjir dan benih padi yang ditanam menjadi rusak. Berdasarkan data dinas pertanian, luas lahan tanam bersih padi di tahun 2008, 2009, dan 2010 di wilayah pesisir adalah 5.566 ha, 5.553 ha, dan 5.629 ha dengan luas tanam sebesar 7.260 ha, 5.751 ha, dan 5.759 ha. Hal terebut menunjukkan bahwa luas panen ketika terjadi El Nino lebih kecil daripada luas panen ketika terjadi La Nina tetapi produksi yang dihasilkan lebih banyak ketika terjadi El Nino sehingga intensitas curah hujan yang tinggi di wilayah pesisir cenderung lebih menurunkan produksi daripada musim kemarau berkepanjangan.

(20)

wilayah hulu, tengah, dan pesisir tahun 2008, 2009, dan 2010 yang menunjukkan bahwa di setiap wilayah memiliki perbedaan respon terhadap fenomena perubahan iklim, baik ketika terjadi El Nino maupun La Nina.

(21)

Peta 3. Perbandingan curah hujan dan produksi padi tahun 2009

(22)

Fenomena perubahan iklim berupa anomali curah hujan yang berkaitan terhadap pergeseran musim hujan dan musim kemarau merupakan faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai produksi padi di Kabupaten Jember. Perbedaan respon terhadap fenomena perubahan iklim di wilayah hulu, tengah, dan pesisir terjadi karena perbedaan karakteristik fisik yang berbeda pada masing-masing wilayah serta perbedaan faktor penentu iklim yang mempengaruhi curah hujan.

Pengaruh ENSO di masing-masing wilayah memiliki respon yang lebih tinggi di bagian pesisir dibanding dengan wilayah tengah dan hulu karena jarak yang lebih dekat dengan laut sehingga lebih terpengaruh oleh fluktuasi suhu permukaan laut sedangkan pada bagian tengah cenderung lemah pengaruhnya terhadap produksi padi karena jika terjadi kemarau panjang, cadangan air dari sungai dan irigasi melimpah sedangkan jika terjadi musim hujan yang panjang tanahnya semakin subur sehingga lebih meningkatkan produksi. Untuk bagian hulu, fenomena anomali curah hujan terpengaruh oleh ENSO karena dengan meningkat maupun melemahnya suhu permukaan laut akan berpengaruh terhadap pembentukan hujan lokal yang berpengaruh juga terhadap produksi padi di wilayah tersebut.

Referensi

Alfyanti, Rika. 2011. Pemanfaatan luaran Regcm3 untuk kajian dampak perubahan iklim terhadap perubahan waktu dan pola tanam padi di Jawa Barat. IPB: Bogor Ariyanto, Shodiq Eko. 2010. Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap

Produktivitas Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.)di Lahan Kering. Sains dan Teknologi, 3 (2). ISSN 1979-6870

BPS Jember. 2010. Jember Dalam Angka 2010

Gambar

Gambar 1. Alur pikir penelitian pengaruh perubahan iklim terhadap produksi padi
Tabel 1. Kategori Iklim di Kabupaten Jember
Gambar 2. Pola curah hujan bagian hulu, tengah, dan pesisir pada tahun 2008
Gambar 3. Pola curah hujan bagian hulu, tengah, dan pesisir pada tahun 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Segenap dosen Prodi DIII Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang telah memberikan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan Karya Tulis

Dalam mewujudkan visi dedikasi kepada anak-anak di wilayah pedesaan Tegalweru, Sanggar Baca PANDA membangun kemitraan jaringan dengan sejumlah organisasi yang

Penelitian yang menguji pengaruh peluang pertumbuhan terhadap tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer dimulai oleh Gul, dkk (2000) yang menjelaskan bahwa

tim perumus melaksanakan paparan materi Standardisasi Komoditi Militer Indonesia yang telah disusun di depan Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan

Beban seberat 15 Newton digantung pada ujung bawah pegas menyebabkan sistem pegas bertambah panjang 5 cm.. Lima pegas masing-masing mempunyai konstanta 100 N/m

Demikian laporan Rakor Pengendalian Pelaksanaan APBD Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2017 untuk Bulan Pebruari 2017 dari Dinas Kearsipan Dan

Meskipun FedEx telah menetapkan standar biaya dan kinerja perusahaan, tetapi FedEx harus melakukan penyesuaian budaya agar layanan yang diberikan menjadi pilihan tepat

Saat kita merasa untuk diri kita saja masih belum cukup, bagaimana bisa berpikir untuk membaginya dengan orang lain.. Kadang tanpa kita sadari, mungkin kita