• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Gender Trouble pdf 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan Gender Trouble pdf 1"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Perempuan: Gender Trouble

oleh Saut Situmorang*

Prologue

I

Musim gugur 1981, Mainz, Jerman. Sebuah konferensi tentang “Peranan Perempuan di Afrika” berlangsung seperti konferensi akademis umumnya,

dengan berbagai makalah yang membahas berbagai aspek dari tema konferensi

dan diskusi apa adanya. Di hari terakhir konferensi sekelompok Feminis muda

Jerman diundang untuk turut berpartisipasi. Hal pertama yang mereka lakukan

adalah mengganti profesor laki-laki yang sejak hari pertama konferensi menjadi

“moderator” diskusi dengan seorang mahasiswi yang fasih berartikulasi. Lalu

mulailah acara diskusi berubah menjadi peristiwa pembuatan

pernyataan-pernyataan dan komentar pribadi seperti dalam tradisi pertemuan-pertemuan

kaum Feminis setelah para Feminis muda Jerman ini mulai membahas ide-ide

Feminis radikal dalam buku Verena Stefan berjudul Shedding. Yang utama

adalah soal hubungan mereka dengan ibu mereka: apakah mereka mesti

berusaha menyadarkan ibu mereka untuk mulai menentang bapak mereka atau

lebih baik untuk membiarkan saja ibu-ibu mereka itu dalam kondisi

“ketertindasan” mereka masing-masing. Untuk beberapa waktu para perempuan Afrika yang hadir saat itu mendengarkan saja apa yang didebatkan para Feminis

muda Jerman tersebut, tapi kemudian mereka mulai menjelaskan kepada para

saudara-perempuan Jerman mereka itu bagaimana eratnya mereka rasakan

hubungan mereka dengan ibu/anak masing-masing, dan bagaimana mustahilnya

untuk berani membuat keputusan yang penting tanpa terlebih dulu saling

meminta nasehat. (Sumber: The Post-Colonial Studies Reader, Bill Ashcroft et al.,

(2)

II

Sekitar pertengahan 1991, Wellington, Selandia Baru. Saya sedang duduk di

ruangan kuliah kampus Universitas Victoria menunggu dimulainya mata-kuliah

undergraduate “Puisi Modern”. Tiba-tiba seorang cewek londo kenalan saya

muncul di pintu ruangan kuliah yang besar itu, melihat saya, dan berjalan

mendatangi saya. Sebelum dia duduk di samping saya, tanpa maksud apa-apa

kecuali sebagai basa-basi bahasa Inggris, saya menyapanya, “Hi, girl, what’s

up?” Tiba-tiba saja wajahnya berubah muram, tak senang. Setelah duduk, dia

berkata, “Don’t call me girl, I’m not a girl!” Saya, tentu saja, kaget setengah mampus melihat reaksinya itu. Untung saya cepat menyadari kesalahan saya,

lalu saya buru-buru menjelaskannya, “Oh, sorry! I didn’t mean it like you think I

did. I only meant it like when someone, whether that person is a he or a she,

says, “Hi, boys!”. Sorry.” Siang itu adalah hari pertama saya memasuki dunia

politik seksual bahasa.

III

Ayu Utami dalam Si Parasit Lajang: Seks, Sketsa, & Cerita (2003) membuat

daftar “10+1 Alasan untuk Tidak Kawin” sebagai “sebelas alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politik(nya)”. Pertanyaan saya bagi dia adalah: Kalau

kumpul kebo adalah Feminisme, kenapa perkawinan bukan? Kalau perkawinan

adalah konstruk sosial, apakah kumpul kebo bukan? Apakah seks, juga “Ayu

Utami”, bukan konstruk kultural?

***

Isu kritik Feminisme tiba-tiba menjadi topik polemik di koran-koran

Jakarta beberapa waktu lalu. Awalnya adalah sebuah esei berjudul “Perempuan

& Sastra Seksual” yang berisi kritik dari perspektif feminisme, religi, moral, etika,

pendidikan, lingkungan, kapitalisme, pasar, dan estetis atas karya-karya para

pengarang “sastrawangi” yang ditulis oleh seorang penyair perempuan cyborg bernama Medy Loekito yang diterbitkan di Jurnal Perempuan No. 30, Thn 2003,

(3)

di-upgrade jadi esei yang lebih panjang untuk buku kumpulan-esei Sastra Kota

terbitan Dewan Kesenian Jakarta (2003). Versi reloaded inilah yang kemudian

menimbulkan polemik koran dimaksud. Dalam esei ini, saya akan ikut berpolemik

dengan melakukan studi teks atas tiga teks yang ditulis oleh tiga penulis

Kelompok Belajar Nalar Jatinangor, Jawa Barat, yang muncul di koran Media

Indonesia Minggu dan Koran Tempo Minggu sebagai reaksi atas esei Medy

Loekito tersebut.

Seorang “Pengajar pada Jurusan Sastra Inggris Unpad, Jatinangor [yang]

menyelesaikan S-2 di Institute of Women Studies di Lancaster University, Inggris

dan Kajian Wanita Pascasarjana UI” [saya gak ngerti apa relevansi semua info ini

terhadap isi tulisannya!] dalam tulisannya berjudul “Mencium Sastrawangi, Menubuhi Diri” (Media Indonesia Minggu, 11/1/2004) mengakui “kebakaran

jenggot” karena “kebingungan” memahami teks “Perempuan & Sastra Seksual”

Medy Loekito yang saya sebut di atas, di mana, menurutnya, “Feminisme, religi,

moral, etika, pendidikan, lingkungan, kapitalisme, pasar dan estetika adalah

kerangka ‘tinjauan’ yang dilakukan [Medy] secara menakjubkan dalam 25

halaman tulisan buku dengan font yang cukup besar” karena tidak ada

penjelasan atas kesemua label tersebut dan bagaimana Medy sendiri

memandang semuanya itu. Medy diklaimnya bersalah tidak memberikan uraian

definisi terutama atas apa yang dimaksudkannya sebagai “Feminisme” yang

banyak ragamnya itu.

Membaca tulisan berjudul “Mencium Sastrawangi, Menubuhi Diri” tersebut, entah kenapa, ada tiga hal yang membuat saya malah “kebingungan”. Pertama adalah nama penulisnya, “Aquarini P Prabasmoro”, di mana akhiran “

-rini” pada nama pertamanya memaksa saya untuk memaknainya sebagai nama seorang “perempuan”. Kalau saya benar, maka bukankah sangat lucu bahwa seorang “perempuan” akan menyatakan dirinya “kebakaran jenggot” untuk

mengisyaratkan rasa penasarannya atas sesuatu! Bukankah metafornya ini

sangat tidak feminis bahkan cenderung anti-feminis, nggak ngonteks! Inilah hal

(4)

kedua hal yang saya sebutkan itu, saya sendiri tidak menemukan ada

“penjelasan” definisi atas istilah “Feminisme” dalam tulisan Aquarini P Prabasmoro yang “kebakaran jenggot” itu, kecuali kutipan-kutipan dalam bahasa Inggris yang tidak diterjemahkan dan indeks-nama “feminis post-modern” [sic]

dari negeri Perancis. Kalau pendapat para “Feminis Perancis” dianggap sebagai

“kebenaran absolut” dalam membicarakan Feminisme, kenapa pendapat itu

dikutip dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, bukan dalam bahasa aslinya?

Bukankah ini cuma sebuah penceritaan-kembali yang diceritakan-kembali belaka,

walau pretensinya asli? Apakah yang bisa dimaknai dari peristiwa “presesi simulakrum” begini? Saya memaknainya begini: Aquarini P Prabasmoro sendiri

justru terperangkap dalam apa yang dituduhkannya pada Medy Loekito: tidak

memberikan penjelasan definisi atas istilah “Feminisme” tapi malah membuat

klaim tekstual bahwa “Feminisme Perancis” merupakan satu-satunya Feminisme,

walau dia juga menyatakan bahwa “banyak ragam feminisme”. “Feminisme” Medy Loekito, bagi dia, bukanlah sebuah “Feminisme”. Dalam kata lain, bagi

saya―mengutip apa yang dikatakan Aquarini P Prabasmoro sendiri dalam

tulisannya yang cuma antologi-kutipan itu―“menyatukan semua (Feminisme)

dalam satu kotak [yaitu “Feminisme Perancis”] sungguh luarbiasa”. “Moralitas dan etika” yang ditekankan oleh Medy Loekito sebagai unsur penting dalam

sebuah karya sastra juga dikomentari sebagai sebuah sikap yang “sangat patriarkal”, tapi bukankah “moralitas dan etika” dalam konteks posisi

ketertindasan perempuan dalam suatu masyarakat patriarki justru merupakan

satu unsur penting dari Feminisme, seperti yang bisa kita saksikan dalam kritik

sekelompok Feminis atas pornografi dan majalah Playboy serta para

“perempuan” yang terlibat di dalamnya!

Sementara itu di hari Minggu yang sama, di koran Jakarta lain, seorang

Bonardo Maulana W menulis tentang “Miopia Si Juru Tafsir” yang isinya juga menanggapi esei Medy Loekito dimaksud. Bagi “mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Pajajaran [yang] bergiat di Kelompok Belajar Nalar, Jatinangor” ini,

(5)

“bahwa bagian penting dari suatu karya sastra adalah kandungan moral dan etika, disamping parade kekuatan bahasa”. “[K]arya-karya yang bertolak dari ide

tentang tubuh dan seksualitas,” yang menurut Bonardo Maulana dinyatakan oleh

Medy Loekito, “telah membuat ‘ide feminisme teriritasi’”. Tapi, anehnya, apa yang sebenarnya membuat Bonardo “terkejut” justru bukanlah soal “kandungan moral dan etika, disamping parade kekuatan bahasa” yang menurut Medy

merupakan “bagian penting dari suatu karya sastra” itu, melainkan apa yang dikatakannya sebagai yang dinyatakan oleh Medy bahwa Medy “mendasarkan diri pada teori sastra terbaru”. (Koran Tempo Minggu, 11/1/2004.)

Kalau Aquarini P Prabasmoro “kebakaran jenggot” dengan Feminisme Medy Loekito, maka Bonardo Maulana “terkejut” dengan “isi/muatan” Feminisme Medy tersebut: “sungguh ganjil apabila Medy, sebagai perempuan, harus

menoleh kepada Paus dengan wacananya yang patriarkal, untuk bisa

menemukan kata yang tepat”. Medy, menurut Bonardo, seharusnya mengkritik

“dominasi Patriarki” (Paus dengan wacananya yang patriarkal itu), “atas nama

moral(-isme)”. Ada keanehan di sini, di samping keanehan-keanehan lain yang

dominan dalam tulisan Bonardo tersebut. Secara sepintas kita seolah-olah

diberitahu bahwa Medy Loekito tidak melakukan kritik, “sebagai perempuan”,

terhadap wacana patriarkal yang menindas kepentingan perempuan yang

direpresentasikan oleh Paus, padahal satu-dua alinea sebelumnya Bonardo

menyatakan bahwa, “Obyek utama kritik [Medy Loekito] berfokus pada praktik

kuasa patriarki beserta wacana yang melanggengkannya. Berkait dengan itu,

gereja, dengan Paus sebagai bagian dari strukturnya, adalah salah satu lembaga

yang dikritiknya. Paus dianggap melanggengkan dogma yang patriarkal”!

Keanehan lain adalah dongeng Bonardo Maulana tentang Kritik Baru atau

New Criticism di Amerika Serikat yang, menurutnya, menganggap moralisme

dalam karya sastra merupakan vitalitas dan keanggunan karya sastra! Keanehan

ini makin aneh lagi waktu dia menghubung-hubungkan New Criticism dengan

penyair Zaman Victoria Inggris Matthew Arnold sampai kritikus Practical Criticism

(6)

affective fallacies waktu menghubungkan “moralisme dalam karya sastra”

dengan New Criticism yang justru menganggap moralisme tidak relevan dalam

membahas karya sastra) maupun historis (dia menyatakan bahwa FR Leavis

menulis “pada pertengahan 1970-an”, padahal Leavis sudah jadi paus sastra

Inggris sejak tahun 1930an lewat majalah Scrutiny di mana dia jadi

redakturnya!) pada fiksinya ini membuat saya menganggap bahwa si juru tafsir

yang myopia itu sebenarnya adalah Bonardo Maulana W sendiri, bukan Medy

Loekito.

Juga terlalu gampangan, simplistik, dan tidak ilmiah, makanya

anti-intelektual, untuk menyatakan seperti apa yang dinyatakan Mona Sylviana dalam

tulisannya “Di Balik Ruang Kesadaran Bahasa Perempuan” (Media Indonesia Minggu, 25/1/2004) bahwa, “Peradaban yang kita huni adalah peradaban yang

sangat laki-laki, sangat patriakat [sic]. Sampai sekarang pun, ideologi itu masih

terus menerus memproduksi dan mereproduksi wacana. Begitu banyak

ruang-ruang di mana perempuan ditaklukkan dan dibikin inferior, dihina dan

dieksploitasi, diperas tak bedanya dengan tebu” waktu merujuk ke konteks

budaya karya sastra yang dibicarakan Medy Loekito. Euforia ahistoris dan tidak

kontekstual waktu menerima pemikiran Feminisme made-in-the-West di

kalangan intelektual perempuan di Indonesia, seperti yang ditunjukkan kutipan

yang sangat klise di atas, cuma menunjukkan betapa naifnya kalangan

intelektual perempuan Indonesia dengan realitas kehidupan para “saudara perempuan” mereka di negeri mereka sana, dan juga di negeri mereka sendiri.

Contoh yang paling menyolok akan bisa ditemukan dengan mudah justru di

dalam rumah tangga para intelektual perempuan Indonesia sendiri.

Apa yang saya maksudkan adalah keberadaan “babu” (yang selalu berjenis kelamin “perempuan” dan disebut secara eufemistis sebagai “pembantu

rumah tangga”) dalam, paling tidak, sebagian rumah tangga di kota-kota kecil

dan besar di Indonesia. Keberadaan seorang atau dua orang “babu” dalam

sebuah keluarga menunjukkan bahwa keluarga tersebut adalah keluarga kelas

(7)

Seorang “babu” adalah seorang pekerja yang, biasanya, mengerjakan semua pekerjaan yang secara “patriarkal” dianggap “tugas” seorang “ibu rumah tangga”: mulai dari memasak, menghidangkannya di meja makan, mengangkat

piring-gelas kotor dari meja dan mencucinya, mencuci-menjemur-menyetrika

pakaian, membersihkan rumah (tidak jarang juga membersihkan luar rumah),

ikut membantu mengasuh anak majikan (apalagi kalau masih kecil-kecil dan

kedua majikan adalah pasangan-karier) dan belanja bahan masakan di warung

atau di pasar. Jam bekerja seorang “babu” biasanya lebih lama daripada siapapun di Indonesia, apalagi dibanding dosen dan cerpenis. “Ibu rumah tangga”, baik yang berkarier maupun tidak, selalu akan membutuhkan kehadiran seorang “babu” dalam rumah tangganya, dan kebutuhan ini akan jadi lebih besar

lagi pada mereka-mereka yang bekerja-karier, yang di Indonesia secara

asal-asalan dianggap “Feminis” itu. Kehadiran “babu” dalam sebuah rumah tangga

bahkan sudah mendapat nilai signifikansi di luar sekedar sebagai “pembantu

rumah tangga” belaka, yaitu sebagai penanda status sosial. Tidak lengkap

kesannya sebuah rumah tangga kelas menengah Indonesia tanpa kehadiran

seorang “babu” dalam kehidupan sehari-harinya.

Apakah “kemewahan hidup” seperti ini juga dimiliki oleh para “ibu rumah tangga”, terutama para perempuan-karier yang feminis di budaya Barat sana,

yang pendapat-pendapatnya tentang “masyarakat patriarki” di mana mereka

hidup ditelan mentah-mentah atau diterapkan begitu saja tanpa kritis oleh para

“Feminis” Indonesia? Apakah para “ibu rumah tangga” terutama yang

perempuan-karier di Indonesia dimaksud tidak bisa juga dianggap telah

melakukan penindasan atas sesama perempuan Indonesia dalam “isu babu” ini? Kita tahu bahwa keberadaan “babu” dalam rumah tangga Indonesia adalah karena upah kerja mereka murah, malah sangat murah kalau kita pertimbangkan

berapa jam-kerja yang mereka lakukan sehari-harinya. Murahnya upah kerja ini

tentu saja karena disebabkan belum adanya penghargaan yang layak terhadap

arti sebuah pekerjaan, terutama “pekerjaan kasar” yang tidak memerlukan

(8)

temukan di budaya Barat hingga hanya mereka-mereka yang benar-benar kaya

raya sajalah yang sanggup untuk mempekerjakan “babu” untuk mengurus rumah

tangga mereka. Di luar faktor ekonomi ini, bukankah secara ideologis tidak dapat

diterima bahwa seorang perempuan yang mengklaim dirinya “Feminis” mempekerjakan seorang perempuan lain sebagai “babu” hanya untuk mengurusi

“rumah tangga”nya. Ini namanya bad faith alias munafik. Dan beginilah realitas

“Feminisme” di Indonesia.

Begitu juga dengan asersi yang dibuat Mona Sylviana bahwa “Bahasa Indonesia tak terkecuali”, merupakan bahasa yang sangat laki-laki, salah satu

ruang di mana perempuan ditaklukkan dan dibikin inferior, dihina dan

dieksploitasi. Dia mengambil kesimpulan secara serampangan begini hanya

berdasarkan satu entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (kata “lacur”) dan

satu eufemisme atas peristiwa pemerkosaan yaitu “menggagahi”. Menyatakan

bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang sexist seperti yang dilakukan

“cerpenis ... yang tengah bergiat di kelompok belajar nalar” ini, tanpa mampu

memberikan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, adalah sebuah

perbuatan yang menghina nalar dan sok pintar. Dia mungkin begitu

terperangkap dalam pesona pendapat-pendapat para pemikir Feminis Barat

(yang saya curiga tidak dibacanya langsung tapi melalui penceritaan-kembali

oleh penulis lokal lain) yang mengkritisi karakter bahasa-bahasa di budaya

mereka―seperti bahasa-bahasa Indo-Eropa dan Roman―yang mereka klaim sebagai bahasa sexist karena bahasa-bahasa tersebut memiliki aspek “maskulin”

dan “feminin” dalam tubuh linguistiknya. Apakah bahasa Indonesia memiliki kata-ganti penanda gender untuk “maskulin” dan “feminin” seperti “he” dan

“she” dalam bahasa Inggris, misalnya? Dekonstruksi linguistik seperti yang ingin dilakukan kaum Feminis berbahasa Inggris sudah mencapai tingkat tak masuk

akal ketika mereka menolak untuk memakai kata “history” bagi “sejarah” karena,

menurut mereka, kata tersebut terdiri dari dua unsur, yaitu “his” (kata ganti

kepunyaan untuk “laki-laki”) dan “story”, yang cuma bermakna “cerita (sejarah)

(9)

“feminis” untuk “sejarah”, yaitu “herstory”, sebuah gabungan dari kata “her” dan

“story”: cerita (sejarah) perempuan.

Dan apakah yang dimaksud dengan “eufemisme” seperti pada “menggagahi” sebagai ganti kata “memperkosa” itu? “Eufemisme” berasal dari bahasa Junani yaitu “eus-” (baik, menyenangkan) dan “phēmē” (berbicara) dan

diartikan sebagai “pemakaian kata atau frase yang tidak ofensif untuk menggantikan yang (dianggap) ofensif atau menyakitkan”. Berdasarkan pemahaman arti definisi istilah “eufemisme” ini, apakah bisa dikatakan bahwa penggantian kata “memperkosa” menjadi “menggagahi” merupakan sebuah “upaya membuat perkosaan sebagai tindakan yang gagah”, seperti yang

disimpulkan Mona Sylviana? Ciptaan laki-laki Indonesia sebagai “laki-laki

patriarkal”kah eufemisme tersebut, istilah umum yang dipakai laki-laki Indonesiakah kata itu, atau cuma sebuah eufemisme bahasa jurnalistik media

massa Indonesia yang frekuensi pemakaiannya tinggi justru dalam era

kekuasaan diktator militer Orde Baru yang memang gemar membuat eufemisme

sebagai politik bahasanya? Juga, apakah benar bahwa istilah “gagah” jelas

bukan kata sifat yang diperuntukkan buat perempuan, seperti yang juga diklaim

Mona Sylviana? Kalau benar, lantas istilah apakah yang akan kita pakai untuk

merujuk kepada para perempuan yang terlibat dalam aksi-aksi “maskulin” seperti

perang (“Cut Nyak Din itu anggun”?) atau kepolisian (“Mona itu seorang polwan yang luwes dan feminin”?)?

***

Apa yang dalam dunia lit. crit. (akronim dari “literary criticism”, atau kritik

sastra) di Barat saat ini disebut sebagai “The Race for Theory”, atau perlombaan

teori, dengan ciri-ciri khasnya seperti pemakaian jargon linguistik, dominannya

pengutipan atas apa yang ditulis para nabinya, kecenderungan untuk melakukan

interpretasi eksegesis teks, langkanya pembahasan terutama atas karya sastra

kontemporer, kecenderungan untuk melakukan analisis yang mekanis atas

bahasa, dan generalisasi yang keterlaluan atas budaya, telah menimbulkan

(10)

dunia akademis, yang nota bene adalah institusi sistem pendidikan Barat juga.

Dekonstruksi yang dilakukan oleh para teoritikus Barat atas tradisi pemikiran

budaya mereka telah dengan tanpa sadar dianggap mencakupi juga dunia

budaya para fan-club mereka di Dunia Ketiga seperti Indonesia hingga terjadilah

sebuah monolithisme baru, sebuah meta-narasi baru, walau konon segala

sesuatu yang “meta” begini sudah gak ngetren, ketinggalan zaman, modernis.

Internalisasi dari “imperialisme teori”, atau “globalisme wacana”, seperti ini bisa

dilihat pada tulisan Aquarini P Prabasmoro dalam konteks “tubuh perempuan”.

Karena bahasa, menurut para “Feminis Perancis”, adalah “bahasa laki-laki” di

mana “perempuan” adalah “the Other”, Yang-Lain-yang-ditindas, maka “tubuh” merupakan alat bagi perempuan untuk menciptakan “bahasa perempuan”. (Yang

tidak dimengerti oleh Aquarini P Prabasmoro dan anggota “Kelompok Belajar Nalar Jatinangor” lain adalah konteks teoritis yang sedang direspons oleh para

“Feminis Perancis” tersebut, yaitu teori psikoanalisis Jacques Lacan. Bagi Lacan,

“phallus” adalah penanda utama dari “desire”, dan karena “ketaksadaran itu

memiliki struktur seperti bahasa”, maka ketaksadaran dan bahasa itu “phallic”.

Falogosentrisme psikoanalisis Lacan “yang menunjukkan bias laki-laki dalam sistem simbolisasi” inilah yang dikritik para “Feminis Perancis”. Bagaimana

mungkin bisa membicarakan Teori “Feminis Perancis” tanpa juga membicarakan Teori Psikoanalisis Jacques Lacan! [Saya memakai “tanda-kutip” pada istilah

“Feminis(me) Perancis” untuk menunjukkan bahwa banyak ragam Feminisme dalam Feminisme Perancis, sementara yang saya rujuk di esei ini hanya

nama-nama yang dikutip oleh Aquarini P Prabasmoro.])

Konsep “tubuh perempuan” sebagai écriture féminine atau “tulisan (khas)

perempuan” (woman’s language) secara konsisten bisa ditemukan khususnya pada tulisan-tulisan Luce Irigaray, walaupun Hélène Cixous juga percaya bahwa

“menulis (bagi perempuan) adalah tentang/dari tubuh (perempuan)”, “perempuan tidak menulis seperti laki-laki, karena perempuan bicara dengan

(11)

yaitu perbedaan struktur antara genital laki-laki dan perempuan, sebagai sumber

dari pen-jender-an bahasa dan style. Dan satu-satunya bagian tubuh yang selalu

dipakai dalam peristiwa “writing is of the body” demi mencapai “bahasa (khas)

perempuan” adalah genital perempuan, organ yang memang dilecehkan dalam

psikoanalisis Freud, di mana perempuan dianggap sebagai laki-laki yang dikebiri

yang mengidap “penis-envy”, cemburu-terhadap-penis.

Membicarakan “tubuh perempuan” dalam tulisan-tulisan Irigaray dan Cixous dalam konteks discourse pemikiran “Feminisme Perancis” mungkin akan

memberikan tekstasi atau textual ecstasy akademis, tapi bagaimana di luar

tembok akadēmeia Dunia Ketiga? Kalau kita setuju dengan apa yang dikatakan

Feminis Eksistensialis Perancis Simone de Beauvoir bahwa “Seseorang itu tidak

terlahir, tapi menjadi, seorang perempuan... (dan) peradaban secara

keseluruhan yang memproduksi makhluk ini... yang dideskripsikan sebagai

feminin”, bukankah itu berarti bahwa “perempuan” merupakan konstruk sosial, sebuah konsep yang tidak universal, kontekstual? Dalam kata lain, “tubuh perempuan Indonesia”kah yang dimaksud oleh Irigaray dan Cixous dalam

tulisan-tulisan mereka? Sementara itu, dalam konteks discourse pemikiran

Feminisme secara umum sendiri, obsesi para “Feminis Perancis” terhadap “tubuh” sebagai sumber segalanya juga dikritik oleh para Feminis Barat lain

sebagai langkah mundur ke mitos lama bahwa biologi menentukan segalanya,

karena melupakan fakta bahwa gender adalah konstruk sosial ketimbang

konstruk biologis.

Saya tidak menolak anggapan bahwa terdapat penindasan atas

perempuan dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, tapi membicarakan

realitas tersebut dalam sebuah wacana intelektual yang sarat dengan pengaruh

pemikiran dari luar budaya Indonesia seperti Feminisme, tidak bisa dilakukan

secara hitam-putih dan tidak kontekstual seperti yang dicontohkan oleh

“Kelompok Belajar Nalar Jatinangor” di atas. Seperti yang dinyatakan oleh

Aquarini P Prabasmoro sendiri, ada “banyak ragam feminisme”, dan Feminisme

(12)

sendiri pun tidak bisa mengklaim diri mereka sebagai “representasi perempuan”,

baik di budaya mereka masing-masing apalagi bagi semua perempuan di planet

Bumi ini. Persoalan perempuan pascakolonial di Dunia Ketiga tentu berbeda

dengan apa yang dianggap sebagai penindasan perempuan di Eropa Barat atau

Amerika Utara. Persoalan perempuan di Jakarta saja pasti akan berbeda dengan

apa yang menjadi persoalan utama perempuan di Jatinangor. Bukankah

pengalaman “menstrual pains” pun tidak sama pada semua perempuan! Juga,

persoalan “tubuh” bukanlah persoalan utama “perempuan” dalam masyarakat pascakolonial seperti Indonesia. Seperti pada contoh “babu” di atas, “kelas

sosial” masih merupakan isu penting yang membedakan Feminisme Dunia Ketiga

dari Feminisme Barat. Walaupun para pengarang “sastrawangi” dielu-elukan

sebagai mengusung ide pembebasan tubuh perempuan Indonesia dalam karya

prosa mereka, saya masih tidak percaya kalau mereka berani membebaskan

tubuh mereka seperti para turis perempuan Barat di Pantai Kuta, Bali, misalnya.

Istilah “perempuan” sendiri sudah merupakan sebuah persoalan teoritis. Apakah

istilah “perempuan” hanya merujuk kepada mereka yang berorientasi seks

“heteroseksual” dengan mengesampingkan mereka yang “homoseksual” atau

lesbian? Bagaimana pula dengan “perempuan” yang orientasi seksualnya

“biseksual”? Untuk itulah sikap sadar-sejarah diharapkan dari mereka-mereka

yang bermain di dunia discourse kontemporer agar tidak gegabah seperti

seorang komentator postmodernism dari Bandung yang mengklaim bahwa

masyarakat Indonesia adalah masyarakat posmo hanya karena sudah punya

alamat e-mail!

Epilogue

Ada semacam keberatan umum di kalangan Feminis terhadap tulisan-tulisan oleh

penulis yang berjenis kelamin laki-laki yang bermaksud membicarakan

topik-topik “Feminis”, atau yang dianggap sebagai “topik-topik-topik Feminis” oleh kaum

(13)

yang biasanya dilakukan penulis laki-laki hingga apa saja yang dilakukan penulis

laki-laki memiliki kemungkinan untuk dianggap sebagai simptomatik dari

persoalan dominasi laki-laki atas perempuan, suatu hal yang merupakan isu

terpenting dari Feminisme. Seorang penulis laki-laki yang memutuskan untuk

“melihat” Feminisme tidak mustahil akan menghadapi risiko dianggap terlibat dalam suatu aktivitas “melihat” yang cuma merendahkan perempuan sebagai sekedar objek voyerisme belaka. Penulis laki-laki tersebut akan dianggap telah

menerapkan aturan-aturan dari suatu tatanan representasi simbolik yang

memamerkan ide-ide perempuan sama seperti film dan majalah memamerkan

tubuh perempuan demi untuk maksud-maksud yang sama: rasa ingin tahu yang

vulgar dan pembangkit birahi.

Tatanan representasi dimaksud kadang-kadang disebut “androsentris” karena

berpusat pada laki-laki (asal kata Junani andros, “laki-laki), atau “falosentrik”

karena dalam kebanyakan sistem pembedaan seksual, “phallus” dianggap

sebagai signifier (penanda) utama dari laki-laki, khususnya dalam konteks teori

psikoanalisis.

Selama ide kepemilikan atas “phallus” adalah sama dengan kepemilikan atas

kekuasaan dalam sebuah masyarakat falosentrik, maka istilah yang dipakai oleh

kebanyakan Feminis untuk mendeskripsikan sebuah tatanan representasi

simbolik yang juga berorientasi kepada laki-laki adalah “falokrasi” (asal kata

Junani kratos, “kekuasaan”; bandingkan dengan istilah “kraton” dalam konsep

kekuasaan Jawa). Dan sistem sosial yang memiliki kaitan dengan tatanan

falokrasi ini―sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki untuk mendominasi

perempuan dalam semua relasi sosial―dikenal dalam wacana Feminisme sebagai “patriarki”. Penindasan yang terjadi karena dominasi patriarki termanifestasi

(14)

Berdasarkan pemahaman seperti inilah maka dalam tatanan pengetahuan yang

falokratik seperti yang terdapat dalam masyarakat patriarki, peristiwa “melihat”

yang berakibat terjadinya “pemahaman”, berkemungkinan besar menjadi

eksploitasi. Laki-laki menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang mesti

“dikuasai” sama seperti perempuan yang juga mesti dikuasai. Maka setiap laki

-laki yang “menguasai” teks-teks Feminisme telah berdosa melakukan replikasi, di tingkat wacana (discourse), atas praktek-praktek penindasan yang

memungkinkan laki-laki mensubordinasi dan memanipulasi perempuan.

Demikianlah retorika keberatan umum yang bisa ditemukan di kalangan Feminis,

terutama yang disebut sebagai “Feminis radikal”, terhadap tulisan-tulisan laki-laki

mengenai topik-topik Feminis, yang dimaksudkan untuk membuat laki-laki tidak

memasuki perdebatan kaum Feminis karena laki-laki dianggap sudah

didiskualifikasi untuk bisa ikut perdebatan.

Kesadaran akan realitas ini tentu akan sangat membantu laki-laki untuk

berhati-hati dalam memasuki wacana pemikiran yang disebut sebagai Feminisme itu.

(Feminist Literary Studies: An Introduction, KK Ruthven, 1990.)

Referensi

Dokumen terkait

52 Berdasarkan dari gejala yang dipilih, maka pada gambar 4 akan ditampilkan hasil kesimpulan sistem sesuai jenis penyakit yang dialami.. Form hasil

Definisi Islam dirumuskan dengan “Islam agama rahmatan lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam), yang maknanya, umat Islam sadar bahwa adanya keragaman memang

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pendekatan CTL dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas III MI Muhammadiyah Karangploso Kecamatan

[r]

Berdasarkan hasil uji hipotesis yang tampak pada Tabel 1.7 dapat diketahui bahwa variabel kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap kebijakan hutang dibuktikan

tidak diharuskan pada bulan Muharam (tergantung hajatan); (b) Tidak mengikuti kronologi ritus-ritus Upacara Tabuik; (c) Dilaksanakan di luar kota Pariaman (Padang,

Gambar 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan jenis kelamin Dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh laki-laki maupun perempuan memiliki intake energi

Skripsi berjudul “PERBEDAAN PENGGUNAAN INTERNET, MEDIA SOSIAL, DAN PERSEPSI PADA DUNIA KERJA MENURUT TAHUN KELAHIRAN GENERASI Z” ini digunakan sebagai salah satu