• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggambaran Tokoh Putri Princess Dalam (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penggambaran Tokoh Putri Princess Dalam (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGAMBARAN TOKOH PUTRI (PRINCESS) DALAM FILM KARTUN DISNEY

(ANALISIS KOMPARASI ERA KLASIK VS ERA KONTEMPORER)

Dhian Kartika Febriyanti

Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Film sebagai salah satu media massa dapat memberikan efek sosial kepada penontonnya, terutama anak-anak apabila di konsumsi secara terus menerus untuk menciptakan realitas mengenai perempuan. Maka pada penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggambaran tokoh putri (princess) dalam film kartun Disney. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi kuantitatif dan kualitatif, dimana analisis isi kuantitatif sebagai data utama dari penelitian serta analisis isi kualitatif untuk mempertajam dengan memaknai lebih dalam dari data utama untuk menganalisa kecenderungan konstruksi perempuan dalam kemasan princess, pada penampilan fisik dan sifat internal tokoh Cinderella dan Merida yang merepresentasikan dari era klasik dan era kontemporer.

Hasil dari penelitian ini, peneliti menemukan adanya pergeseran pada penggambaran tokoh princess klasik ke princess kontemporer. Pada penampilan fisik, jenis princess klasik cinderella merepresentasikan perempuan yang dilekatkan pada standar perempuan ideal dari penampilan fisik di media seperti rambut sempurna, tubuh kurus, kulit wajah putih, dan tekstur kulit flawless, pada sifat internalnya selalu dikaitkan dengan kepasifan, kepatuhan, dan kebergantungan. Sedangkan pada princess kontemporer merepresentasikan perempuan yang tidak berkaitan dengan gambaran perempuan ideal di media seperti rambut messy look, tubuh curvy, wajah bulat dengan tekstur freckless. Pada sifat internal, Merida merepresentasikan sebagai perempuan yang berdaya, melakukan aksi penyelamatan, dan terlepas dari peran serta relasi laki-laki atau pangeran. Disamping itu masih terdapat kontradiksi pada kedua princess tersebut, dimana media masih terlihat mempertahankan representasi pada kecantikan fisik dari princess klasik, seperti kulit yang putih, bentuk hidung, dan bentuk alis yang rapi masih ditampilkan. Sedangkan dari hasil penelitian sifat internal juga ditemukan kontradiksi bahwa jenis princess kontemporer masih terlihat mempertahankan representasi perempuan itu sendiri, seperti pada karakter ceroboh dan

nurturing atau female modesty. Disney seakan menjadikan sebuah patokan gambaran perempuanprincessyang dapat memberikan pesan kepada anak-anak bahwa perempuan yang cantik dan superior adalah perempuanprincessDisney. Maka dari itu, dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa bahwa Disney sekali lagi meneguhkan konsep kecantikan yang sudah ada di media.

(2)

PENDAHULUAN

Walt Disney merupakan salah satu produsen media dan hiburan yang mendunia bahkan menjadi bagian dari budaya Amerika karena keberhasilannya dalam industri film, salah satunya adalah film kartun atau animasi yang disertai liniDisney princess”. “Disney princess

adalah waralaba perusahaan Walt Disney yang didasarkan dari tokoh fiksi Disney, dimulai pada awal tahun 2000” (Shaffer, 2010, h. 32).

“Film Disney princess ini menjadi tontonan favorit bagi semua kalangan, tokoh animasi Disney, lagu, tema cerita, dan pernak-pernik, mereka adalah ikon budaya yang dihormati dan dipercayai oleh orang dewasa maupun anak-anak, baik yang tinggal di kota-kota besar maupun di pedesaan, dan di seluruh dunia” (Faherty, 2001).

Disney terbukti telah mampu

mendominasi budaya tidak hanya melalui film, tapi juga memproduksi pernak-pernik yang menjadi konsumsi massa. seperti yang diulas oleh New York Times magazine,

“Princess,” as some Disney execs call it, is not only the fastest-growing brand the company has ever created; they say it is on its way to becoming the largest girls’ franchise on the planet (Orenstein, 2006).”

Salah satu media massa, khususnya film memiliki pengaruh yang spesifik dan terukur pada konsep viewers dari realitas. “Semakin banyak waktu seseorang menghabiskan media, semakin banyak sumber-sumber informasi, gagasan, dan kesadaran terkait persepsi realitas yang diberikan oleh media. Demikian juga semakin banyak media yang dikonsumsi, semakin banyak persepsi “mainstreamed” (Gerbner, Gross, Morgan, & Signorielli,

1980). Intinya dengan adanya konsumsi media secara terus-menerus, dapat

memberikan efek sosial kepada

penontonnya untuk menciptakan realitas bahwa perempuan seharusnya seperti tokoh-tokoh yang mereka tonton dan

kagumi. Wynss dan Rosenfeld juga

menambahkan:

“The Media as holding a powerful role in forming the attitudes, value, and behaviours of its viewers (2003, h. 91)”.

Melalui film Disney princess, anak-anak akan menerima pesan tentang gambaran perempuan dari segi penampilan dan karakter melalui tokoh yang ditampilkan. karena mereka tidak hanya menonton, namun juga berinteraksi, terlebih lagi mereka akan berpenampilan atau berperilaku seperti tokoh kesukaan mereka.

Menurut Villa (2013) dalam

penelitiannya yang berjudul “Konsep Diri

Anak Penonton Barbie dan Bukan

Penonton Barbie”, menyatakan bahwa “anak-anak menerima pesan dalam film memiliki kecenderungan untuk lebih menerima karakteristik tokoh utama. Pesan dan isi yang diterima ialah kehidupan Barbie seperti mahkota, putri dan kerajaan serta kecantikan Barbie bahwa cantik berupa kulit putih dan langsing.”

Hal yang terpenting untuk

dipertimbangkan dalam konteks film animasi Disney, “karena anak-anak yang

menontonnya masih belum dapat

membedakan antara dunia fiksi dan realitas, mereka bahkan berpikir bahwa tokoh dalam film tersebut nyata dan hidup”(Gökçearslan, 2010).

Merujuk pada istilah “Princess”

(3)

superior yang artinya perempuan dengan sebutan princess dikatakan memiliki citra positif yang berkualitas tinggi atas kecantikan, penampilan, peran, karakter, serta perilaku yang lebih tinggi sebagai seorang perempuan.

Peneliti disini tertarik untuk mempelajari dan meneliti film Cinderella dan Brave. Kedua film ini memiliki periode waktu yang berbeda, Cinderella di tahun 1950 dan Brave 2012. Penelitian ini mengkaji mengenai perbandingan antara jenis princess klasik dan kontemporer, dimana tokoh Cinderella merupakan representasi jenis princess klasik dan tokoh Merida dalam film Brave yang merepresentasikan jenis princess kontemporer. Tokoh Cinderella dianggap menarik untuk diteliti dikarenakan sosok yang sangat populer dikalangan anak-anak perempuan karena disebut sebagai “perfect female” seperti asumsi Ford dan Mitchell (2004, h. 35-36).

“Physical image Disney’s Cinderella is quite perfect and Cinderella stands for female perfection”.

Disamping itu, kepopuleran Cinderella juga berasal dari ciri khasslipper glassdan

dress-nya, bahkan ketika ada perayaan

Halloween dan acara ulang tahun pun

anak-anak perempuan seringkali

menggunakan dresscode ataupun tema tokohprincessini. Seperti yang diulas oleh

The New York Times,

“It’s everywhere i turn, and she’s obsessed with it. It’s all about who has the nicest (Halloween) costume. Everyone is going to be Cinderella. It’s who’s got the tiara’s, the dresses, the shoes”(Kantor, 2005).

Princess jenis kontemporer seperti tokoh Merida menarik untuk diteliti dikarenakan didalam film menceritakan peniadaan pada peran pangeran, kisah

romance, dan ending happily ever after

berupa pernikahan yang biasanya menjadi ciri khas cerita dalam film Disney

princess. Salah satu artikel menyatakan sebagai berikut:

“Merida was created to break that mould," she added. "To give young girls a better, stronger role model, a more attainable role model; something of substance, not just a pretty face that waits around for romance."(Child, 2013).

Maka dari itu, film Brave dinilai cukup penting untuk memberikan pesan kepada

anak-anak bagaimana penggambaran

perempuan notion princess dalam

memandang dirinya sendiri. Karena anak-anak belajar mengenai lingkungan sosialnya dari apa yang mereka tonton.

Berdasarkan adanya fenomena Disney

princess di dunia dan pada anak-anak perempuan dan penggambaran notion princess itu sendiri. Penelitian ini kemudian akan meneliti bagaimana

perbandingan penggambaran tokoh

Cinderella dan Merida khususnya

perempuan yang dikonstruksi oleh Disney dengan cara membandingkan representasi jenis princess klasik dan jenis princess

kontemporer tersebut.

RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah penggambaran tokoh putri (princess) dalam film kartun Disney?

TUJUAN

Untuk mengetahui untuk mengkaji

penggambaran tokoh putri (princess) dalam film kartun Disney.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Film Kartun sebagai Komunikasi Massa

(4)

tetapi berbeda dalam isi dan fungsi” (McQuail, 2000, h. 23). “Film sebagai komunikasi massa ditujukan kepada sejumlah besar khalayak (DeVito, 1997, h. 506), karena film dengan cepat dapat menjangkau populasi masyarakat yang besar di berbagai daerah.” Tidak terkecuali film Cinderella dan Brave yang dibahas dalam penelitian ini juga merupakan salah satu alat komunikasi massa.

Film juga dapat ditonton kapanpun, bersama siapapun, dan dimanapun. Dengan teknologi yang semakin maju, film mengalami perkembangan dalam pembuatannya, salah satunya adalah film animasi.

Film animasi 2 dimensi atau yang lebih dikenal dengan sebutan film kartun, pada umumnya diciptakan untuk anak-anak, karena bentuknya yang full colour, ceria, dan lucu. Menurut M. Horn (2007, h. 4),

“Animation comes from the Latin word, anima. The word means “spirit”, “breath”, or “life”. Animations make drawings, paintings, paper cutouts, clay, puppet, or computer image appear to come alive. Methods differ. But all animators find ways to fool the human eye.”

Dalam bentuk kartun, setiap tokoh digambarkan melalui tampilan fisik dan karakter. Animator membuatnya menjadi menarik, sehingga penggambaran sifat karakter pada tokoh kartun dapat diketahui melalui pesan yang disampaikan dialur cerita suatu film, khususnya film kartun DisneyPrincess.

2.2 Kajian Isi dan Pesan dalam Film DisneyPrincess

Film kartun sebagai komunikasi massa merupakan milik umum dan dapat memberikan pesan kepada penonton. Pesan tersebut disampaikan dengan media

bahasa, gambar, dan suara dalam sebuah film.

“Film is powerful storyteller, employing narrative, visuals, music enhances its ower to communicate a vision of moral living(Ward, 2002, h. 5).”

Isi dan pesan yang disampaikan oleh film disney princess ialah mengenai perempuan itu sendiri. Anak-anak perempuan yang menonton akan menerima pesan berupa bagaimana seharusnya seorang perempuan dalam bertindak atau berperilaku, berpikir, dan berpenampilan. isi pesan mengenai perempuan itu sendiri dapat terlihat disaat tokoh utama dalam film pertama kali dimunculkan.

“Pesan merupakan sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima” (Cangara, 2010, h. 24). “Pesan sendiri bisa berbentuk verbal dan nonverbal, pesan verbal dikelompokkan dalam bahasa lisan dan bahasa tulisan” (Daryanto, 2010, h. 24). “Sedangkan pesan nonverbal menurut Littlejohn (2009, h. 158), adalah kumpulan

perilaku yang digunakan untuk

menyampaikan arti.”

Kajian isi dan pesan dalam film ini ialah karakter tokoh princess Cinderella dan Merida, karakter kedua tokoh ini digambarkan melalui bentuk pesan verbal dan nonverbal, yaitu berupa dialog dengan lawan mainnya serta perilaku atau tingkah laku tokoh tersebut. Intinya, dengan pesan yang ditampilkan di film Disney, maka

dapat diketahui bahwa Disney

mengkonstruksi perempuan princess

melalui film kartun.

2.3 Konstruksi Film atas Perempuan DisneyPrincess

(5)

terkandung di dalamnya adalah hasil konstruksi. Bahkan film yang berdasarkan kisah nyata pun, merupakan hasil konstruksi karena proses produksinya tetap mengandalkan interpretasi dari tim produksi tersebut.

Seperti yang diungkapkan oleh Graeme Turmer (2008, h. 27), “film merupakan representasi dari realitas masyarakat dan bukan sekedar “memindahkan” realitas ke layar lebar tanpa merubah realitas tersebut. Film bukan saja menceritakan budaya namun juga mengkonstruksi budaya tersebut”. Maka dapat disimpulkan, bahwa isi media bukanlah realitas yang sesungguhnya.

Baudrillard (dalam Durham dan Kellner, 2006, h. 448) mengungkapkan bahwa gambaran yang tampak pada media sebenarnya adalah sebuah hypereal. Gambaran mengenai perempuan seringkali dikonstruksi pada kecantikan ideal, dimana produsen media dan hiburan Walt Disney terlihat membawa konsep ideal tersebut melalui film-film dengan tokoh utama perempuan yang melalui lini Disney

princess, hal itu didukung oleh asumsi Wolf (2002, h. 3) yang menyatakan bahwa konsep ideal yang dikirimkan oleh media tidak terjadi begitu saja, namun berujung pada politik tertentu yang memiliki tujuan untuk produksi massal suatu produk.

Pada film kartun Disney, sosokprincess

dikemas untuk menyatakan sebagaimana sifat atau karakter dan penampilan fisik ideal yang melekat pada seorang perempuan di dalam masyarakat. Hollows berpendapat (2010, h. 14), “sering

dinyatakan bahwa gadis remaja

disosialisasikan pada nilai dan perilaku feminin yang dikaitkan dengan kepasifan,

kepatuhan, dan kebergantungan.”

Kebanyakan dari princess tersebut

dikonstruksi memiliki penggambaran perempuan yang sedemikian rupa.

2.3.1 Physical Appearance pada Perempuan DisneyPrincess

Physical appearance atau penampilan fisik merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan penampilan luar yang mudah diamati atau dinilai oleh orang lain. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Owen (2006, h. 59) bahwa,

“The Physical appearance of others, in terms of body size, shape, and attractiveness, also affect our behaviour and expectations.”

Begitu juga pada gambaran perempuan

princess Dinsey, gambaran fisik pada perempuan dinilai dari bentuk tubuh dan warna kulit sehingga menjadikan sebuah tolak ukur pada kecantikan perempuan. Dalam budaya barat, hal tersebut dianggap

cukup penting untuk menghargai

kecantikan seorang perempuan. Wood (2008, h. 100) juga menambahkan sebagai berikut,

“Western culture places an extremely high value on physical appearance and on spesific aspects of appearance. we first notice obvious physical qualities such as sex, skin colour, and size. Based on physical qualities, we may make inferences about other personalities.”

Hecht (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Happily Ever After: Construction of Family in Disney Princess Collection Films, menyampaikan bahwa Disney masih menggambarkan pandangan tentang

physical appearance. Hal ini bisa menjadi hasil dari perusahaan berusaha untuk mempertahankan identitas merek didalam koleksi film-film Disney.”

Kebanyakan film kartun disney princess menggambarkan bagaimana seharusnya

(6)

Baran (2012, h. 14) “memberikan contoh

banyaknya film-film yang

mengkonstruksikan cantik dengan langsing dan putih.” Penggambaran perempuan tersebut di dalam film dikonstruksi secara terus-menerus dan semakin memperkuat bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang langsing dan putih, Hal tersebut juga diperkuat oleh asumsi Cheu (2013, h. 271) yang menyatakan,

“Perhaps most tellingly, in this regard are Disney’s princesses, who with excesses of femininity, an innate connection with nature, impossible thinness, beautiful flawless skin, and perfect hair, attire and poise, always manage to get the prince and live happily ever after”

Adanya penggambaran mengenai tokoh

utama perempuan Disney princess

terutama mengenai nilai penampilan fisik didukung oleh pendapat Ford dan Mitchell (2004, h. 35-36) pada tokoh Disney

princessCinderella,

“Physical image Disney’s Cinderella is quite perfect and Cinderella stands for female perfection”.

Begitu pula dengan Lester (2010, h. 294) yang menambahkan mengenai gambaran penampilan fisik perempuan pada tokoh utama Cinderella,

Cinderella is often called "the blonde with the tiny feet" (Lester, 2010, h. 294).”

2.3.2 Sifat-sifat Internal Tokoh dalam Film

Sifat internal merupakan sifat atau karakter yang diciptakan di dalam tokoh dongeng atau fiksi. Menurut Lauther (2004, h. 3), sifat internal dalam sebuah tokoh fiksi tidak selalu terlihat didalam cerita. Penulis harus membiarkan pembaca penasaran, tetapi pada saat yang sama ia mungkin memilih untuk menyimpan

setidaknya satu sifat internal tersembunyi dari tokoh yang lain dalam cerita.”

“sifat internal juga diperoleh dari waktu ke waktu tergantung pada pengalaman si

tokoh, misalnya pendidikan dan

lingkungan sosial, atau insiden spesifik yang telah terjadi dalam hidupnya” (Lauther, 2004, h. 3). Maka dari itu, akan terlihat gambaran sifat internal yang dibentuk oleh Disney pada tokoh Cinderella dan Brave.

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi kuantitatif dan kualitatif. Mcnamara (2003) menyatakan, “analisis isi kuantitatif merupakan analisis yang sesuai dengan metode ilmiah dan menghasilkan temuan yang dapat diandalkan. Analisis isi kualitatif teks diperlukan untuk memahami makna lebih dalam dan kemungkinan besar interpretasi oleh khalayak, pastinya tujuan akhir dari menganalisis isi media. Jadi kombinasi dari kedua metode tersebut bisa menjadi pendekatan yang ideal.”

Menurut Neundorf (2002, h. 1) “analisis isi dapat didefinisikan secara singkat sebagai sistematis, objektif, analisis kuantitatif karakteristik pesan”. Tujuan dari penelitian analisis isi adalah “menggambarkan isi pesan dalam media massa”(Neundorf, 2002, h. 5).

Analisis isi kualitatif menurut (Kriyantono, 2006, h. 251) ialah “analisis yang memahami produk isi media dan

mampu mengubungkannya dengan

(7)

Penelitian dengan menggunakan metode

analisis isi dapat mengungkap

kecenderungan yang ada pada isi pesan dalam film. Dalam penelitian ini, analisis isi kuantitatif berfungsi sebagai data utama

dalam menggambarkan isi pesan,

sedangkan kualitatif digunakan untuk mempertajam dengan memaknai lebih dalam mengenai penggambaran tokoh putri (princess) dalam film kartun Disney.

3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi yang diterapkan dan menjadi indikator untuk mendefinisikan konsep (Adiputra, 2008, h. 111). Adiputra menambahkan, “definisi operasional ini menunjukkan bagaimana peneliti akan mengukur sesuatu.” Berikut definisi operasional dalam penelitian ini :

1. Film Kartun atau animasi

Film animasi 2 dimensi atau yang lebih dikenal dengan sebutan film kartun. Menurut Horn (2007, h. 4) “Animation comes from the Latin word, anima. The word means “spirit”, “breath”, or “life”. Animations make drawings, paintings, paper cutouts, clay, puppet, or computer image appear to come alive. Methods differ. But all animators find ways to fool the human eye.”

“Animation comes from the Latin w 2. Disneyprincess

“Disney princess adalah waralaba milik perusahaan Walt Disney yang didasarkan dari tokoh fiksi Disney, dimulai pada awal tahun 2000”(Shaffer, 2010, h. 32).

3. Physical appearance

Physical appearanceatau penampilan fisik

merupakan segala sesuatu yang

berhubungan dengan penampilan luar yang mudah diamati atau dinilai oleh orang lain.

4. Sifat internal

Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2009, h. 392), Sifat atau karakter diartikan sebagai “sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang.” Lauther (2004, h. 3) menyatakan, “sifat internal bisa diperoleh dari waktu ke waktu tergantung pada pengalaman karakter, misalnya pendidikan dan lingkungan sosial, atau insiden spesifik yang telah terjadi dalam hidupnya. Sebuah sifat atau karakter adalah hasil dari apa yang dilihat, didengar, atau dialami.”

3.3 Unit Analisis

Carney (dalam Neundorf, 2002, h. 71) menjelaskan dalam analisis isi, “unit adalah pesan yang dapat diidentifikasi atau komponen pesan, (a) yang berfungsi sebagai dasar untuk mengidentifikasi populasi dan menggambar sampel, (b) dimana variabel diukur, atau (c) yang berfungsi sebagai dasar untuk pelaporan analisis. Unit dapat kata-kata, karakter, tema, periode waktu, interaksi, atau hasil lainnya dari memecah sebuah komunikasi ke dalam bentuk-bentuk yang lebih spesifik.”Peneliti menentukan unit analisis dalam penelitian ini, yakniCharacter Unit. Character unit dalam penelitian ini adalah karakter tokoh Cinderella dalam film Cinderella dan tokoh Merida dalam film

Brave.

3.4 Sampel

Sampling analisis isi media terdiri dari tiga langkah,Newbold et al (dalam Mcnamara, 2003, h. 13) mengemukakan sebagai berikut:

(8)

film) dan genre (berita, peristiwa saat ini, drama,opera

sabun, dokumenter, dan

seterusnya). Bentuk media yang dipilih oleh peneliti dalam penelitian ini ialah film. Sedangkan genrenya ialah film kartun atau animasi. Yaitu film Cinderella dan Brave.

2. Pemilihan isu atau tanggal (periode). Pemilihan periode penelitian ini ialah era klasik dan era kontemporer.

3. Sampling konten yang relevan dari dalam media tersebut.

Sampel konten dalam media ini ialah karakter tokoh Cinderella dan Brave.

3.5 Koder

Karakteristik dalam pemilihan koder ini adalah paling tidak koder yang memahami ilmu komunikasi dasar dan komunikasi massa serta pernah mempelajari mengenai sinematografi. Kedua koder tersebut yaitu :

1. Koder kedua adalah Gita

Puspitasari, mahasiswi ilmu komunikasi FISIP Universitas Brawijaya Malang.

2. Koder ketiga adalah Tri Sari Arum, mahasiswi ilmu komunikasi FISIP Universitas Brawijaya Malang.

3.6 Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, data dalam penelitian ini adalah, data Primer. “Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama atau tangan pertama di lapangan. Dalam analisis isi, data primernya adalah isi komunikasi yang diteliti” (Kriyantono, 2006, h. 41-42). Data primer dalam penelitian ini berupa dokumentasi film, yaitu film kartun DisneyprincessCinderella danBrave.

3.7 Pilot Coding

“Praktek coding, yang disebut pilot coding, dapat menginformasikan para peneliti untuk keterandalan dan kelangsungan skema coding. Kemudian revisi dapat dilakukan sebelum final coding.”(Neundorf, 2002, h. 133).

Dalam tahapan ini, pengkodingan dilakukan dengan mengikutsertakan pihak koder. Hal pertama yang dilakukan ialah melakukan pelatihan coding dengan tujuan “coder dapat mengerti dengan baik kategori yang dipakai dalam penelitian, definisi dari masing-masing kategori dan dapat mengaplikasikan secara benar protokol pelatihan, dan pemahaman yang sama terhadap lembar coding dan protokol” (Eriyanto, 2011, h. 254).

Tahapan kedua ialah melakukan praktek coding atau pilot coding untuk menyamakan pendapat agar tidak terjadi perbedaan makna dalam proses penelitian sesuai dengan unit analisis yang ditentukan

sebelumnya. Peneliti menentukan

kesepakatan bersama dengan para coder dari kategorisasi yang telah dirumuskan. Ketika dalam proses pilot coding tidak sepakat, maka kategorisasi dirumuskan kembali dengan menambahkan indikator baru maupun mengurangi indikator.

3.8 Validitas dan Reliabilitas

3.8.1 Validitas

“Didalam penelitian analisis isi terdapat beberapa tipe validitas diantaranya adalah

face validity, criterion validity, content validity, dan construct validity”

(Neundorf, 2002).

(9)

2 1

2

N N

M CR

 

disusun atau diturunkan dari suatu kerangka teori tertentu.” Dalam hal ini peneliti telah mengkategorisasikan instrumen penelitian berdasarkan teori-teori yang ada.

3.8.2 Reliabilitas

“Realibilitas melihat pada alat ukur dapat dipercaya menghasilkan temuan yang sama, ketika dilakukan oleh orang yang berbeda” (Eriyanto, 2011, h. 282). Kriyantono menyatakan (2006, h. 238) “bahwa salah satu uji reliabilitas yang dapat digunakan adalah berdasarkan rumus oleh R. Holsty. Di sini periset melakukan

pre test dengan cara mengkoding sampel ke dalam kategorisasi. Kemudian hasil pengkodingan dibandingkan dengan menggunakan rumus Holsty, yaitu:

Keterangan:

CR = Coeficient Reliability

M = Jumlah pernyataan yang disetujui oleh koder

N1,N2 = Jumlah pernyataan yang

diberi kode oleh koder

Hasil yang diperoleh dari rumus Holsti disebut Observed Agreement (persetujuan yang diperoleh dari penelitian). Selanjutnya untuk memperkuat hasil uji reliabilitas di atas, digunakan rumus Scott sebagai berikut:

pi = nilai keterandalan

Observed agreement = hasil pengamatan tiap coder

Expected agreement = angka kesepakatan yang diharapkan

Kriyantono (2006, h. 240) mengatakan “ambang penerimaan yang sering dipakai untuk uji reliabilitas kategorisasi adalah 0,75. Jika persetujuan antarkoder tidak mencapai 0,75, maka kategorisasi operasional mungkin perlu dirumuskan lebih spesifik lagi. Artinya, kategorisasi yang dibuat belum mencapai tingkat keterandalan atau keterpercayaan.”

3.9 Teknik Analisis Data

Menurut Eriyanto (2011, h. 208) pengukuran membutuhkan suatu alat, dalam analisis isi alat itu adalah instrumen yang berisi tentang item dan kategori yang ingin diketahui dalam analisis isi. Instrumen ini kerap disebut sebagai lembar

coding (coding sheet), “Sampel yang telah didokumentasi diolah melalui proses

pengkodingan, diolah dengan

menggunakan lembar koding dan panduan

codebook bagi koder” (Wimmer dan Dominick, 2011, h. 168). Penelitian ini menggunakan ukuran data nominal, dimana setiap kategori diberi angka atau nilai. Angka atau nilai ini hanya sebagai label untuk mengidentifikasi atau mengkategorikan isi. Ukuran data nominal dipilih karena karena kategorisasi yang digunakan dalam penelitian tidak mempunyai jenjang atau tingkatan.

Data diklasifikasikan sesuai dengan unit analisis, variabel, spesifikasi, dan indikator yang telah ditetapkan dalam penelitian. Variabel merupakan bagian-bagian dari unit analisis. Spesifikasi adalah penjabaran lebih lanjut dari variabel, dan indikator menjadi pembatas dari masing-masing spesifikasi.

(10)

menemukan pendapat-pendapat yang sama. Jumlah pernyataan yang sama akan dihitung sebagai nilai frekuensi masing-masing spesifikasi di setiap potongan adegan (scene) film yang diamati. Penyajian data ini sendiri menggunakan tabel frekuensi serta bentuk grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesis

Hasil dari analisis isi kuantitatif dan kualitatif ini memberikan ringkasan data mengenai kecenderungan konstruksi perempuan yang ditampilkan dalam kemasanprincessmilik Disney, yaitu pada penampilan fisik dan sifat internal tokoh Cinderella dan Merida. Perbandingan diantara kedua princess tersebut akan dijabarkan kedalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.4 Tabel Penampilan FisikPrincess

Klasik danPrincessKontemporer

JenisPrincess

4. Gerakan saat beraktifitas bentuk alis tebal dan rapi, serta

4. Gerakan saat beraktifitas

sporty, aktifitas

(11)

Karakteristik rambut Cinderella digambarkan oleh Media dianggap sebagai

perfect hair tampaknya pada era tersebut, karakteristik rambut seperti Cinderella memang sedang populer. Namun seiring dengan berubahnya zaman, karakteristik rambut di era klasik mengalami pergeseran ke era kontemporer, khususnya pada gambaranprincessDisney. Merida sebagai jenis princess kontemporer menjadi role model baru yang menampilkan kecantikan dan kemenarikan perempuan dari sisi yang berbeda. Namun dari segi wajah, beberapa persamaan dari kedua princess tersebut masih terlihat menampilkan standar pada perempuan ideal.

Pergeseran selanjutnya terlihat dari adanya perbedaan bentuk tubuh diantara kedua princess tersebut. Bentuk tubuh yang menarik bukan lagi ditampilkan dengan bentuk tubuh yangslim-skinnyatau kurus. Ketika zaman berubah, maka roda perputaran kecantikan dan kemenarikan pada bentuk tubuh perempuan juga

mengalami perubahan. Di era

kontemporer, bentuk tubuh yang menarik ialah perempuan dengan bentuk tubuh

curvy seperti yang dimiliki oleh jenis

princesskontemporer Merida.

Kemudian pada gerakan saat

beraktifitas, dapat disimpulkan bahwa jenis princess kontemporer tidak banyak menampilkan gerakan aktifitas yang identik dilakukan oleh princess pada umumnya. Terlihat pergeseran yang lebih terlihat variatif pada jenis princess

kontemporer. Princess tidak lagi monoton ditampilkan dengan gerakan aktifitas seperti penjabaran tabel di atas.

Berikutnya pada ringkasan data dari hasil pembahasan diperoleh hasil mengenai sifat internal pada jenisprincess

klasik dan jenis princess kontemporer. Data yang ditemukan diantara kedua

princess tersebut akan dijabarkan kedalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.5 Tabel Sifat internalPrincess

Klasik danPrincessKontemporer

JenisPrincess

(12)

memiliki sifat perintah Ibu tiri

dan kedua

6. Tidak tertarik dengan lawan bagaimana gambaran perempuan itu sendiri melalui kemasan “princess” Disney yang merepresentasikan dari dua era, yaitu era klasik dan era kontemporer.

Pada sifat internal Cinderella tampak bagaimana gambaran perempuan dari jenis princess klasik itu sendiri. Terlihat sifat yang masih menampilkan pakem Disney ketika diuji pada jenis princess

kontemporer Merida yang masih tampak sedikit beberapa persamaan sifat diantara Merida dan Cinderella.

Pada jenis princess kontemporer, sifat internal lebih cenderung ditampilkan berbeda dan tampak memiliki kepribadian yang kuat dari jenis princess klasik Cinderella, seperti sifat yang lebih cermat, optimis, berani, berjiwa petualang, tidak tertarik lawan jenis, dan berani menentang tradisi. Hal tersebut dikarenakan adanya pengembangan sifat pada perempuan itu sendiri juga disesuaikan seiring dengan perubahan zaman untuk dijadikan role modelyang baru bagi anak-anak.

Diskusi Hasil

Berdasarkan dari penggambaran

perempuan secara utuh. Dari data yang diperoleh peneliti menemukan bahwa konstruksi perempuan di media tidak hanya berdasarkan pada penampilan fisik, melainkan juga pada sifat perempuan itu sendiri.

Media banyak mengkonstruksi

(13)

didukung pernyataan Baran (2012, h. 14) yang “memberikan contoh banyaknya film-film yang mengkonstruksikan cantik dengan langsing dan putih.” Asumsi Baran mengenai konstruksi cantik pada perempuan di media mendukung hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti pada warna kulit Cinderella dan menariknya peneliti juga menemukan hal yang sama pada warna kulit Merida.

Cinderella sebagai jenis princess klasik

tampak sekali merepresentasikan

perempuan yang dilekatkan pada standar perempuan ideal dari penampilan fisik.

Representasi pada Cinderella

membenarkan pernyataan Cheu (2013, h. 271) tentang gambaran fisik yang menyatakan bahwa,

“Perhaps most tellingly, in this regard are Disney’s princesses, who with excesses of femininity, an innate connection with nature, impossible thinness, beautiful flawless skin, and perfect hair, attire and poise, always manage to get the prince and live happily ever after”

Dari penelitian yang dilakukan mengenai princess kontemporer Merida, peneliti juga mendapatkan bahwa Merida merepresentasikan penampilan fisik yang tidak berkaitan dengan gambaran perempuan ideal di media seperti tubuh curvy, tekstur kulit freckless (berbintik), rambut yang keriting dan tampilan messy look dengan artian Merida menjadi role model baru yang tidak dilekatkan pada standar perempuan ideal.

Media juga seringkali mengkonstruksi mengenai penggambaran perempuan itu sendiri yang didukung pernyataan Hollows (2010, h. 14), yaitu “sering dinyatakan bahwa gadis remaja disosialisasikan pada nilai dan perilaku feminin yang dikaitkan

dengan kepasifan, kepatuhan, dan kebergantungan”.

Dari hasil temuan pada kedua princess

tersebut ditemukan bagaimana

penggambaran mengenai perempuan itu sendiri. Pada tokoh Cinderella, analisis Hollows mengenai perempuan di media membenarkan gambaran perempuan itu sendiri yang sangat tampak dengan kepasifan, kepatuhan, dan kebergantungan.

Berbeda dengan jenis princess

kontemporer Merida, dari hasil penelitian yang dilakukan pada sifat internalnya, peneliti tidak membenarkan analisis Hollows yang mengaitkan gambaran perempuan dengan kepasifan, kepatuhan, dan kebergantungan karena Merida tampak meniadakan gambaran yang melekat pada konstruksi perempuan itu sendiri di media karena Merida merepresentasikan sebagai perempuan

yang berdaya, melakukan aksi

penyelamatan, dan terlepas dari peran serta relasi laki-laki atau pangeran. Merida terlihat tidak mendambakan dan berpikir bahwa pernikahan adalah akhir yang bahagia atau“happily ever after”.

Seiring dengan berkembangnya zaman, berkembang pula mengenai gambaran perempuan itu sendiri, sehingga mematahkan standar yang seringkali dilekatkan pada gambaran perempuan terhadap penampilan fisik dan sifat-sifat perempuan di media.

Dari keseluruhan sintesis mengenai konstruksi penggambaran perempuan

princess pada penampilan fisik dan sifat perempuan itu sendiri. Terlihat bahwa ada beberapa bagian, baik dari penampilan fisik dan sifat perempuan pada jenis

(14)

yang masih tampak merepresentasikan dari

princess klasik Cinderella dan menjadi patokan perempuan Disney.

Dari hasil penelitian ini ditemukan hal baru pada gambaran perempuan di media,

bahwa media menciptakan tokoh

perempuan yang kontemporer, namun tetap mempertahankan gambaran tokoh perempuan klasik, terbukti dari perbedaan era tokoh Cinderella dan Merida selama beberapa dekade, media masih sedikit melekatkan standar perempuan ideal pada Merida dan hanya mengubah beberapa bagian penampilan fisik dan sifat

perempuan kontemporer dengan

melakukan penyatuan dari gambaran perempuan klasik dan kontemporer kedalam tokoh Merida. Peneliti juga menemukan, bahwa hasil penelitian ini didukung oleh asumsi Wood (2008, h. 265) yang menyatakan,

“Perhaps the most interesting trend in media is combining traditional and non traditional and non traditional images in single character”

Maka bisa dikatakan, bahwa Disney sekali lagi meneguhkan konsep kecantikan yang sudah ada di media, meskipun memberi pembeda pada tokoh princess kontemporer. Tampak bahwa gambaran kecantikan fisik masih dijadikan suatu nilai penting dalam menggambarkan peempuan, hal tersebut di dukung oleh Craven (2002) yang berasumsi bahwa,

“that viewers tended to think they had been educated about feminism as well as entertained but, in reality, the education was really about the importance of beauty. The feminine beauty ideal, or the socially constructed idea that physical attractiveness is among the most important assets a woman has, is represented in many fairy tale”.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan penggambaran tokoh putri (princess) dalam film Cinderella dan Merida sebagai berikut :

1. Walt Disney merupakan institusi yang memproduksi budaya massa dengan mengkonstruksi dunia anak-anak melalui film yang bertemakan

princess. Dimana anak-anak akan menerima pesan melalui tokoh

princess dari segi penampilan maupun karakter.

2. Representasi perempuan princess

Disney dapat terlihat dari bagaimana media mengkonstruksi perempuan itu sendiri melalui tokoh jenis klasik Cinderella dan jenis kontemporer

Merida. Cinderella cenderung

tampak sekali merepresentasikan perempuan yang dilekatkan pada standar perempuan ideal dari penampilan fisik di media seperti rambut yang sempurna, tubuh kurus, tekstur kulit flawless. Jenis princess

kontemporer lebih cenderung

merepresentasikan penampilan fisik yang tidak berkaitan dengan gambaran perempuan ideal di media seperti, rambut messy look, tubuh

curvy, dan tekstur wajahfreckless.

3. Terdapat kontradiksi diantara gambaran perempuanprincessklasik dan kontemporer, yaitu pada warna kulit, bentuk hidung, alis yang rapi. Dari hasil penelitian yang dilakukan juga ditemukan hal yang berbeda, yaitu secara mayoritas terdapat pergeseran pada penampilan fisik dan karakter jenis princess klasik Cinderella dan jenis princess

(15)

4. Hasil penelitian dari kedua princess

tersebut juga memperlihatkan

relevansi konstruksi di media saat ini

yang menunjukkan, bahwa

kecantikan fisik pada perempuan masih menjadi suatu nilai penting di media, bahkan produsen media pun juga turut menampilkan kecantikan melalui tokoh film kartun, sehingga menginternalisasi anak-anak dalam memandang dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, E. & Komala, L. & Karlinah, S. (2007). Komunikasi massa suatu pengantar edisi revisi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Baran, S. (2012). Pengantar komunikasi massa melek media dan budaya

(edisi 1 jilid 5). Jakarta: Erlangga.

Cangara, H. (2010). Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Cheu, J. (2013). Diversity in Disney Films:Critical Essays on Race,Ethnicity, Gender, Sexuality and Disability. North Carolina:

McFarland, and company, inc., publisher. Tersedia dari Google books.

Daryanto. (2010). Ilmu komunikasi. Bandung: Satu Nusa.

DeVito, J. A. (1997). Komunikasi antar manusia. Jakarta: Profesional book.

Dill, E. K. (2009). How Fantasy Becomes Reality: Seeing Through Media Influence. New York: Oxford University Press. Tersedia dari Google books.

Durham, M.G. & Kellner, D.M (eds.). (2006). Media and Cultural Studies Keyworrks. Oxford: Blackwell Publishing.

Eriyanto. (2011). Analisis isi: pengantar metodologi untuk penelitian ilmu komunikasi dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Jakarta: Kencana.a

Ford, E. A. & Mitchell D. C. (2004). The makeover in movies.North Carolina: McFarland, and company, inc., publisher.

Hollows, J. (2000). Feminisme, feminitas, dan budaya Populer.Yogyakarta: Jalasutra.

Horn, M. G. (2007). Movie animation. USA: Gareth Stevens Publishing. Tersedia dari Google books.

Kriyantono, R. (2006).Teknik praktis riset komunikasi, disertai contoh praktis riset media, public relations, advertising, komunikasi organisasi, komunikasi pemasaran. Jakarta: Kencana.

Lauther, H. (2004). Creating characters : a writer's reference to the personality traits that bring fictional people to life. North Carolina: Mc Farland & company, Inc., Publishers. Tersedia dari Google books.

Littlejohn, S. W. & Foss, K. A. (2009).

Theories of human communicaion

(9th ed). (M. Yusuf Hamdan, Terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika

(16)

McQuail, D. (1994). Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.

McQuail, D. (2000).Mass Communication Theory (4th ed). London: Sage Publication Ltd.

Megawangi, R. (1999). Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan.

Milady. (2007). Milady’s standard cosmetology. USA: Wadsworth Cengage Learning. Tersedia dari Google books.

Narendra, P. (2008). Metodologi riset komunikasi. Yogyakarta: BPPI dan Pusat Kajian Media dan Budaya Populer.

Neuendorf, K. A. (2002). The content analysis guidebook. USA: Sage Publication Ltd.

Owen, H. (2006). The handbook of communication skills (3rd Ed). New York: Routledge. Tersedia dari Google books.

Seger, L. (1987). Making A Good Script Great, Hollywood : Samuel French Trade.

Shaffer, J. C. (2010). Discovering the magic kingdom: an unofficial disneyland vacation guide. USA: AuthorHouse. Tersedia dari Google books.

Sherrow, V. (2001). For Appearance' Sake: The Historical Encyclopedia of Good Looks, Beauty, and Grooming. USA: Greenwood Publishing Group. Tersedia dari Google books.

Sobur, A. (2006).Semiotika

Komunikasi,Bandung : Remaja Rosdakarya.

Tim Prima Pena. (2009). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru. Jakarta : Gitamedia Press.

Turmer, G. (2008). Film as social practice. New York: Routledge

Ward. A. R. (2002). Mouse Morality: The Rhetoric of Disney Animated Film.

USA: University of Texas Press.

Tersedia dari Google books

Wimmer, R. D. & Dominick, J. R. (2011).

Mass Media Research: An Introduction (9th ed). USA: Wadsworth. Tersedia dari Google books

Wolf, N. (2002). The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women. New York: Harper CollinsPublisherInc.

Wood, J. T. (2008). Gendered Lives : Communication, gender, and culture

(8th ed). USA: Wadsworth Cengage Learning. Tersedia dari Google books

Wood, J. T. (2008). Communication mosaics : an introduction to the field of communication (5th Ed). USA: Thomson Wadsworth.

Yasyin, S. (1997). Kamus lengkap bahasa indonesia. Surabaya: Amanah.

JURNAL

(17)

Faherty, V. E. (August, 2001). Is the mouse sensitive? A study of race, gender, and social vulnerability in Disney animated films. studies in media & information literacy education. 1(3). 1-8. Retrieved march 3, 2013.

Gerber, George; Gross, Larry; Morgan, Michael; & Signorielle, Nancy (1980). The “mainstreaming” of America: Violence profile No. 11. Journal of Communication, 30(3), 10-29.

Mcnamara, J. (2005). Media content analysis: Its Uses, Benefits, and Best practice Methodology. Asia Pacific Public Relations Journal. 6 (1), 1-34.

Lester, N. A. (2012). Disney’s the princess and the frog: the pride, the pressure, and the politics of being a first. The Journal of American Culture, 33 (4), 294.

Patton, T. O. (2006) Hey Girl, Am I More than My Hair?: African American Women and Their Struggles with Beauty, Body Image, and Hair. National Women’s Studies Association Journal. 18 (2), 30.

Towbin, M. A., Haddock, S. A., Zimmerman, T. S., Lund, L. K., &Tanner, L. R. (2003).Images of gender, race, age, and sexual orientation in Disney feature-length animated films.Journal of Feminist Family Therapy, 15, 19–44.

Wiserma, B. A. (2001). The gendered world of Disney: A content analysis of gender themes in full-length animated Disney feature films

(Abstract). Dissertation Abstracts International, 61, 4973.

Wynns, Scarlet L. and Rosenfeld, Lawrence B.(2003) Father-daughter relationships in Disney's animated films, Southern Communication Journal, 68 (2), 91.

SKRIPSI

May, B. Beyond the Prince: Race and Gender Role Portrayal in Disney Princess Films. (Skripsi, Saint Mary’s Collage, Notre Dame IN,

2011). Diakses dari

https://www.saintmarys.edu/files/Fin al%20Senior%20Paper-May.pdf

Villa, M. Z. (Skripsi, Universitas Brawijaya Malang, 2013). Konsep Diri Anak Penonton Barbie dan Bukan PenontonBarbie.

THESIS

Hecht, J. (2011). Happily Ever After: Construction of Family in Disney Princess Collection Films. (Thesis, San José State University, 2011).

Diakses dari

http://scholarworks.sjsu.edu/cgi/viewc ontent.cgi?article=5093&context=etd_ theses

WEBSITE

Website resmi disney princess.(n.d ). Diakses pada 10 Februari 2014, dari

http://www.disney.co.uk/princess/pri ncesses/cinderella.jsp#

(18)

ARTIKEL KORAN ELEKTRONIK Orenstein, P. (2006, December). What’s

wrong with Cinderella? New

York Times Magazine. Retrieved fromhttp://www.nytimes.com/

2006/12/24/magazine/24princess.t.ht ml

Child, B. ( 2013). Disney retreats from Princess Merida makeover after widespread criticism.

Retrieved from

http://www.theguardian.com/film/20 13/may/16/disney-princess-merida-makeover

ARTIKEL MAJALAH

Kantor, J. (2005, November 3). Love the riches, lose the rags. The New York Times, p.G1.

GAMBAR

Cover Film Cinderella (image) (n,d) Diakses pada 10 Februari 2014 dari http://www.imdb.com/title/tt004233 2/

Gambar

tabel frekuensi serta bentuk grafik.
Tabel 1.5 Tabel Sifat internal Princess

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian potensi pengembangan komoditas salak pondoh di Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara dapat ditarik kesimpulan sebaga

+emasyarakatkan pelestarian lingkungan hidup yang bersih dan sehat bagi keluarga dengan : a.. +emelihara

Temuan penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara stres kerja dengan kecelakaan kerja, kesalahan kerja, kesehatan fisik, dan kepuasan kerja hanya berlaku

Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan berbagai tantangan yang dihadapi oleh guru dan orang tua dalam mendampingi kegiatan Belajar Dari Rumah (BDR) anak usia 4-6

Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Rancangan RPJP Daerah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah tentang RPJP Daerah Kepulauan Riau Tahun 2005-2025, yang merupakan

Anak-anak dalam jumlah yang banyak,baik laki-laki maupun perempuan,yang ikut serta dalam aktivitas sepakbola, perlindungan terhadap mereka harus menjadi prioritas.Tidak satupun yang

Petani di Kabupaten Jember selama ini masih memiliki kesadaran yang lemah untuk bergeser dari pertanian non organik menuju pertanian organik. Mereka masih terlena dengan