• Tidak ada hasil yang ditemukan

etno judul dan Latar belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "etno judul dan Latar belakang"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOLINGUISTIK

UNGKAPAN TRADISIONAL JAWA

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Etnolinguistik Dosen Pengampu : Dr. Wakit Abdullah, M. Hum.

Oleh

Chintya Kusumawardhani (C0111009)

Jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

(3)

. Jika diterjemahkan secara harafiah berbunyi teratur, damai, makmur, nasib baik. Khusus kata teratur sebenarnya memberi pernyataan kesanggupan untuk memberi kehidupan, memelihara suatu kerapian yang sempurna. Orang Jawa yakin bahwa dengan mempertahankan hal tersebut akan terhindar dari kekacauan tidak akan terjadi. Ungkapan tradisional Jawa sebagai suatu media, sudah barang tentu mempunyai nilai yang baik dan tidak baik. Di sini ungkapan yang mempunyai nilai tidak baik berlaku sangat relatif, berhubungan dengan ruang waktu berlakunya. Nilai yang baik dijadikan pegangan sedangkan yang tidak baik dikesampingkan. Nilai yang mengandung fungsi pokok sebagai penegak norma sosial yang dipergunakan untuk pegangan perilaku masyarakat. Makna yang ada dalam ungkapan tradisional yang dimiliki orang Jawa bersifat metafora dan ada yang secara wajar atau lugu, semuanya dapat diperlajari dengan seksama sehingga dapat dipergunakan untuk melihat aspek kehidupan masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu peneliti memilih ungkapan tradisional Jawa sebagai topik pembahasan.

B. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi permasalahan supaya tidak terlalu luas, perlu dijelaskan objek kajian. Dalam penelitian ini, penulis membatasi pada ungkapan tradisional masyarakat Jawa pada keluarga Daniel Murtopo, Danukusuman, Serengan, Solo dalam makna leksikal, makna kultural dan fungsi. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan penelitian dan mempermudah dalam menganalisis. C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana makna leksikal dan makna kultural dalam ungkapan tradisional masyarakat Jawa? 2. Bagaimana fungsi ungkapan tradisional masyarakat Jawa?

D. Tujuan Penelitian

1.Mendeskripsikan maknal leksikal dan makna kultural ungkapan tradisional masyarakat Jawa. 2.Mendeskripsikan fungsi ungkapann tradisional masyarakat Jawa.

(4)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Etnolinguistik

Istilah etnolinguistik berasal dari kata etimologi yang berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku dan linguistik yang berarti ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9), yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi dengan pendekatan linguistik (Shri Ahimsa, 1997:3).

Menurut Harimurti Kridalaksana (1983:42), etnolinguistik adalah (1) cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan, bidang ini juga disebut linguistik antropologi (2) cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap kebahasawan terhadap bahasa, salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah relavitas bahasa. Relativitas bahasa adalah salah satu pandangan bahwa bahasa seseorang menentukan pandangan dunianya melalui ketegori gramatikal dan klasifikasi semantik yang ada dalam bahasa itu dan yang dikreasi bersama kebudayaan (Hari murti Kridalaksana, 1983:145). Menurut Wakit Abdullah (2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat.

B. Ungkapan Tradisional

Menurut KBBI ungkapan tradisional adalah kalimat perkataan yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang sesuai dengan sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma, adat dan kebiasaan yang turun temurun dalam sekelompok masyarakat.

C. Makna

(5)

kamus sebagai leksikon. Makna erat kaitannya dengan semantik, oleh karena itu istilah ungkapan tradisional Jawa akan dilihat dari segi makna leksikal dan makna kultural.

1. Makna leksikal

Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem atau makna kata yang berdiri sendiri, baik dalam bentuk leksem atau berimbuhan. Menurut Harimurti Kridalaksana (2001:133) menyatakan bahwa makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain, makna leksikal ini mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya. Sedangkan menurut Fatimah Djajasudarma (1993:13) makna leksikl adalah makna kata-kata yang dapat berdiri sendiri, baik dalam bentuk tuturan maupun dalam bentuk kata dasar.

2. Makna kultural

Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1999:3) Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu. Simbol adalah objek atau peristiwa yang merujuk pada sesuatu. Simbol itu sendiri meliputi apa saja yang dapat kita rasakan. Simbol yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nama orang Jawa pada mahasiswa bidang Linguistik Sastra Daerah angkatan 2011. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa makna kultumurti Kridalaksana, 1983:145). Menurut Wakit Abdullah (2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat sekitar.

D. FUNGSI

(6)

menunjukkan cerimanan pribadi seseorang. Karakter, watak atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual sosial dan emosional. Bahasa dalam ungkapan tradisional Jawa memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi nasehat (ajaran, dorongan) dan larangan dalam masyarakat.

1. Nasihat

Nasihat adalah suatu didikan yang diberikan berdasarkan kebenaran dengan maksud untuk menegur dan membangun seseorang dengan tujuan yang baik. Nasehat selalu bersifat mendidik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nasihat berarti (1) ajaran atau pelajaran baik; ujaran petunjuk, peringatan, teguran yang baik. (2) amanat yang terkandung dalam suatu cerita 2. Larangan

(7)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi penelitian merupakan cara, alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan keserangkaian proses penentuang kerangka pikir, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, klasifikasi dan teknik analisi data.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai untuk mengkaji ungkapan tradisional Jawa adalah penilitian deskriptif kualitatif. Ditegaskan oleh Edi Subroto bahwa penelitian kualitatif terutama yang dipakai untuk meneliti ilmu-ilmu sosial atau humaniora. Maksud dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data dianalisis serta hasilnya berbentuk deskriptif, fenomena yang tidak berupa angga atau koefisien tentang hubungan antara variable. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan berbentuk kalimat bukan angka. Selain itu penelitian kualitatif lebih mengutamakan proses dari pada hasil. Metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang melalu prosedur statistik oleh karena itu penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan data kebahasaan yang diperoleh dari sumber data tertulis yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat atau bentuk yang lain, selanjutnya dikerjakan dengan cermat sehingga menghasilkan penafsiran yang kuat dan objektif.

B. Data dan Sumber Data

(8)

C. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Adapun alat bantu penelitian terdiri dari bolpoint, tipe-ex, buku catatan, sedangkan alat bantu elektronik berupa komputer dan flashdisk.

D. Populasi

Populasi adalah objek penelitian yang pada umunya merupakan keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 1992: 32). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah semua kalimat yang memuat tentang ungkapan tradisional Jawa.

E. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian secara langsung yang mewakili populasi atau mewakili populasi secara keseluruhan(Edi Subroto, 1992: 32). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

purposive sampling yaitu pengambilan sampel secara selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan data yang ada (Edi Subroto, 1992: 25). Sampel data dalam penelitian ini adalah kalimat yang mengandung ungkapan tradisional Jawa pada sumber data.

F. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, menganalisi dan menjelaskan fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dasar dan teknik lanjutan. Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik wawancara, yaitu bertanya kepada narasumber untuk memperoleh data (Edi Subroto, 1992: 42). Kemudian teknik lanjutannya adalah teknik sadap dan teknik catat. Adapun langkah-langkahnya adalah pertama, peneliti mewawancara narasumber yang dapat dijadikan data. Setelah itu peneliti menyadap sumber data yang dapat dijadikan data tersebut. Selanjutnya teknik catat yakni berupa pencatatan data pada buku catatan berupa kalimat yang mengandung ungkapan tradisional.

G. Klasifikasi Data

(9)

1. Makna terdiri dari : a.Makna leksikal

b.Makna kultural

2. Fungsi yang terdiri dari :

a.Nasihat dalam bersosialisasi/bergaul b. Nasihat dalam etika moral

c.Nasihat dalam menjalani hidup

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data ini merupakan upaya peneliti menangani langsung masalah yang terkandung pada data. Dalam menganalisis data penulis menggunakan metode padan. 1. Metode Padan Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji atau menentukan identitas satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu di luar bahasa (Sudaryanto, 1992: 13). Metode padan dibedakan atas lima sub jenis berdasarkan macam alat penentunya, antara lain sebagai berikut :

a.Metode padan referensial dengan penentunya kenyataan yang ditunjuk bahasa atau sebagai referen bahasa.

b.Metode padan fonetis artikulasi dengan alat penentunya oragna bicara atau pembentu bahasa. c.Metode padan translasional dengan penentuk bahasa atau langue lain.

d.Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan. e.Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra wicara.

(10)

BAB IV

PEMBAHASAN

1. Makna Leksikal dan Makna Kultural

1. Aja bungah ing pangalem, aja susah ing panacad Aja : jangan

Bungah : gembira ing : pada,

oleh pangalem : pujian aja : jangan

susah : susah ing : pada,

oleh panacad : celaan

(11)

Pengaruh ungkapan ini pada warga masyarakat menjadi tidak emosional, baik dicela maupun dipuji tetap tenang-tenang saja, sebab bagi mereka, baik celaan maupun pujian pada hakekatnya sama, yaitu sebagai dorongan untuk mawas diri. Meskipun di antara warga masyarakat tidak semua menghayati nilai yang terkandung dalam ungkapan Aja bungah ing pangalem, aja susah ing panacad , tetapi karena warga masyarakat yang merupakan pendukung ungkapan tadi terutama terdiri dari para tokoh pemerintahan dan tokoh masyarakat, maka ungkapan tadi telah menyebabkan berlangsungnya kebijaksanaan yang rasional.

2. Aja dhemen metani alaning liyan Aja : jangan

Dhemen : senang, suka Metani : Mencari-cari Alaning : buruk, jelek Liyan : orang lain

Arti yang tersirat dalam ungkapan ini sama dengan artinya yang tersurat, yaitu agar kita tidak mencari-cari keburuan, kejelekan atau kesalahan orang lain. Ungkapan Aja dhemen metani alaning liyan ini mengandng nilai pendidikan ke arah sikap mengekang diri terhadap kecenderungan yang terdapat di dalam hati masing-masing untuk mencari-cari atau membicarakan keburukan-keburukan yang ada pada orang lain seperti ungkapan Aja ngethung becike dhewe. Jelaslah bahwa pendidikan yang terkandung dalam ungkapan dalam ungkapan ini amat penting, sebab: (1) membicarakan keburukan-keburukan orang lain tidak ada gunanya, (2) jika orang yang menjadi objek itu akhirnya mendengar/mengetahui bahwa kita membicarakan keburukan-keburukannya, mungkin menjadi marah dan benci kepada kita, (3) suka membicarakan keburukan orang lain adalah suatu tanda keburukan pribadi.

(12)

gradual. Ada manusia yang kecenderungannya kepada hal-hal yang tidak baik itu besars sekali, tetapi ada pula manusia yang kecenderungannya semacam itu kurang sekali, hampir tidak ada. Hal ini tergantung pada kemampuan masing-masing manusia mendidik diri sendiri dan mengekang diri. Orang yang mampu mendidik diri sendiri atau mengekang diri kecenderungannya kepada hal yang tidak baik tentu kecil sekali atau hampir tidak ada. Ungkapan ini masih sering terdengar dalam percakapan dalam pergaulan sehari-hari, ungkapan ini mempunyai nilai ajaran ke arah sikap mengekan diri terhadap kecenderungan hati untuk mencari-cari atau membicarakan keburukan orang lain, ungkapan ini menyebabkan orang menjadi lebih sadar bahwa berbicara tentang keburukan orang lain adalah perbuatan yang tidak terpuji atau perlu dihindari.

3. Aja dumeh Aja : jangan

Dumeh : mentang-mentang

Arti yang tersirat dalam ungkapan ini jangan mentang-mentang, jangan mentang-mentang kaya, pandai, berkuasa, berkedudukan tinggi, keturunan bangsawan. Ungkapan ini mengandung nilai ajaran atau nasehat, agar orang bersikap wajar tidak berlebih-lebihan. Jangan mengagung-agungkan kedudukan tinggi, jangan mengmengagung-agungkan kekayaan dan kekuasaannya. Makna kultural/falsafah ungkapan ini yaitu pandangan hidup orang Jawa yang menekankan sikap sederhana, tidak memamerkan barang yang dimilikinya. Tidak memamerkan kekayaan, kelebihan-kelebihan lain, misal kepandaian, kekuasaan, kekuatan dan sebagainya. Kesemuanya itu diperas menjadi satu ungkapan yang singkat yaitu aja dumeh. Kalu diuraikan lebih lanjut dari ungkapan ini dapat luas penggunaannya, misalnya aja dumeh sugih, aja dumeh pinter, aja dumeh kuwasa, aja dumeh menang . Ungkapan ini berpengaruh besars terhadap kehidupan masyarakat dengan adanya ungkapan ini, maka orang memiliki pengontrol atau pengekang dalam pergaulan sehari-hari, agar tidak bersikap memamerkan segala kelebihan yang dimiliki.

4. Aja lali marang asale Aja : jangan

(13)
(14)

ini juga merupakan satu kekuatan yang dapat menahan kecenderungan kepada sikap melupakan Tuhan sebagai sumber segalanya.

5. Ana bapang sumimpang Ana : ada

Bapang : rintangan; penghalang; hambatan

Sumimpang : menghindar; berganti haluan

Arti yang tersirat kalau menjumpai penghalang atau penghambar yang membahayakan keselamata atau kesejahteraan, lebih baik menghindar, menyingkir, menjauhi. Di dalam hidup bermasyarakat, lebih baik kita mencari dan memupuk tali persaudaraan dan menjauhi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan perpecahan atau permusuhan Ungkapan ini mengandung nilai pendidikan yang tujuannya ialah untuk mencapai kerukuan dan kedamaian di dalam pergaulan, demi terciptanya kesejahteraan bersama. Diskusi, saling tukar menukar pendapat, sangat baik manfaatnya dan perlu selalu dilaksanakan, untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ilmu yang kita kuasai. Itu semua berjalan baik dan dapat menelorkan hasil sesuai dengan sasaran yang akan dicapai, bila semua pihak yang terlibat dapat memahami tujuan yang baik. Kalau di antara mereka yang terlibat ada yang berpendapat bahwa hal itu bertujuan untuk mengadu kepandaian, kekuatan serta bersikap tidak mau musyawarah untuk mufakat, maka hasilnya bukanlah kesatuan dan kerukunan melainkan perpecahan atau permusuhan. Dalam usaha kita untuk mncapai cita, tidak jarang menghadapi penghalang. Tujuan yang baik sering dihambat oleh gangguan-gangguan yang mungkin dapat mengagalkan tercapainya tujuan itu, misalnya malas belajar. Makna kultural/falsafah ungkapan ini seperti dadi wong becik iku akeh godhane (menjadi orang baik itu banyak godaannya). Begitulah nasihat yang diwariskan oleh orang tua. Godaan-godaan yang bermacam ragam cara serta wujudnya itu, di dalam perjalanan hidup tiap orang merupakan batu ujian. Kalau orang dapat menghindarkan gangguan-gangguan atau godaan itu, kalau ada orang tidak mudah tergiur atau terpengaruh oleh bujukan dan rangsangan untuk menyelewengka, maka akan lulus orang itu menempuh ujian hidup. Dasar pemikiran inilah yang melatar belakangi munculnya ungkapan yang berbunyi Ana bapang sumimpang. Ungkapan ini memiliki pengaruh yang posotif terhadap kehidupan masyarakt. Dengan adanya ungkapan ini, maka orang senantiasa merasa diingat, agar di dalam perjalanan

(15)

hidupnya selalu ingat dan waspada menghadapi maksu-maksud jahat, yang menghambat tercapainya sasaran yang akan dituju.

6.Bibit, bebet, bobot Bibit : benih

Bebet : kekayaan Bobot : kepandaian

Arti yang tersirat adalah orang memilih jodoh hendaknya diperhatikan adanya tiga syarat yaitu bibit, bebet, bobot. Dimaksudkan oleh ungkapan ini ialah memberi petunjuk kepada calon mempelai agar perkawinan kelak hari tidak mengalami kesulitan. Sebab 3 syarat tersebut merupaka modal pokok atau modal dasar yang harus dimiliki setiap orang. Ungkapan ini mengandung nilai moral yang artinya perkawinan yang diharapkan hanya sekali seumur hidup hendaknya dipersiapkan secara baik sebelumnya agar supaya keturunannya nanti tidak mengalami kesulitan dikelak kemudian hari. Cacat cela pada keluarga oleh masyarakat dapat terjadi kalau perkawinan kurang diperhatikan. Makna kultural/falsafah ungkapan ini di dalam adat pemilihan jodoh, masih berlaku tata cara meneliti calon pasangan. Biasanya yang menjadi ‘informan’ dalam meneliti adalah orang yang ada hubungannya dengan keluarga dengan calon pasangan. Dengan cara meneliti ini diharapkan seseorang dalam mendapat jodoh tidak meleset. Kebiasaan masyarakat Jawa, pada waktu orang akan melakukan perkawinan, orang tua selalu melibatkan diri dalam memberi pertimbangan itu dikenal dnegan nama ‘persatoan salaki-rabi’ atau petungan dalam perkawinan, sumber petungan ini lengkapnya terdapat dalam primbon. Di dalam kehidupan masyarakat, ungkapan bibit, bebet, bobot masih diperhatikan, tetapi berlaku dan kadarnya berlainan. Ungkapan yang bersifat ideal ini sudah barang tentu sulit untuk dipenuhi. Tetapi sebagi suatu ungkapan yang mengandung nasegat, merupakan peringatan bagi setiap orang yang akan melaksanakan hidup berkeluarga. Sehingga dalam sistem memilih jodoh, perlu diperhatikan pula kualitas manusianya. Sudah barang tentu ungkapan itu berlakunya sangat relatif, tergantung dengan strata sosialnya.

7. Digdaya tanpa aji, sugih tanpa bandha, menang tanpa ngasorake Digdaya : kebal, sakti

Tanpa : tanpa

(16)

Bandha : harta kekayaan Menang : menang Tanpa : tanpa

Ngasorake : mengalahkan, menaklukkan

Arti yang tersirat dalam ungkapan ini yaitu itikat baik mengalahkan segalanya. Keluhuran budi itu merupakan bekal hidup yang sangat tinggi nilainya. Orang yang memiliki keluhuran budi, tentu memiliki kewibawaan yang tinggi, ibarat orang yang sakti. Keluhuran budi diibaratkan sebagai kekayaan yang sangat tinggi nilainya. Nilai yang terkandung dalam ungkapan ini ialah ajaran atau dorongan agar orang senantiasa beritikat baik dan berbudi luhur. Sikap demikian itu sangat tinggi nilainya, baik dalam hidup bermasyarakat, di dalam organisasi sosial maupun di dalam badan-badan pemerintah. Seperti pedoman hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa terpatri dalam ungkapan berbunyi sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti (segala sesuatu, bahkan maksud yang tidak baik akan dapat dikalahkan oleh perbuatan baik. Kemarahan yang meluap akan dapat dikalahkan oleh sikap rendah hati. Di dalam kehidupan masyarakat, keluhuran budi merupakan sikap yang ideal. Ungkapan ini berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Orang yang sikap dan perbuatannya tercela dicemooh kalau tidak berani secara terang-terangan lalu dilakukan dengan cara tersembunyi, digosipkan. Orang yang sikap dan perbuatannya terpuji dihargai dalam pergaulan.

8. Kaya mimi lan mintuna Kaya : seperti

Mimi : ikan (betina) Lan : dan

Mintuna : ikan (jantan)

(17)

Makna kultural falsafah ungkapan kaya mimi lan mintuna sebenarnya berbunyi kaya mimi maituna yang artinya seperti mimi yang sedang bersetubuh. Persetubuhan di sini melambangkan persatuan total antara suami istri untuk mencapai kebahagiaan abdi dalam rumah tangga. Kemudian ungkapan ini berubah menjadi mimi lan mintuna untuk jenis ikan mimi tidak dibedakan namanya diantara ikan mimi betina dan jantan. Tetapi untuk lebih menggambarkan keintiman ikan mimi dibedakan jenis kelaminnya. Lawan jenis yang dilambangan dengan dua nama tersebut menambah arti dari persatuan suami istri. Sebagai kenyataan tidak pernah ikan mimi berenang sendiri tetapi selalu berdua. Di dalam kehidupan masyarakat, perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang monogami (satu istri satu suami) yang kekekalannya sangat dijunjung tinggi. Pertentangan antara suami istri harus dapat diselesaikan, jangan berakhir dengan perpecahan yang kemudian sampai kepada perceraian.

9. Sadawa-dawane lurung isih luwih dawa gurung Dawa : panjang

Sadawa-dawane : sepanjang-panjangnya, betapun panjangnya Lurung : lorong, jalan

Isih : masih

Gurung : tenggorokan

(18)

dibesar-besarkan atau ditambah-tambahi daripada kenyataannya, seperti ungkapan undhaking pawarta sudaning kiriman.

2. Fungsi 1. Fungsi nasihat ditunjukkan oleh ungkapan : a.Ana bapang sumimpang

Ungkapan tersebut berbentuk kalimat perintah jika dilihat dari konteksnya, walaupun tidak menggunakan tanda seru. Dalam fungsi sebagai nasihat karena konteks kalimatnya berisi menasehati agar menghindari bahaya/ hal buruk.

b.Bibit, bebet, bobot

Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita menggunakan kata dasar yang sudah memiliki arti. Dalam fungsinya sebagai nasihat karena menyarankan dalam memilih pasangan hidup dengan memperhitungkan dari segala aspek.

c.Kaya mimi lan mintuna

Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita, yang mengibaratkan kehidupan manusia melalui hewan (ikan). Dalam fungsinya sebagai nasihat agar manusia dapat meniru sikap hewan yang setia kepada pasangan sampai akhir.

d.Sadawa-dawane lurung isih luwih dawa gurung

Ungkapan tersebut berbentuk kalimat berita, kalimat tersebut memperbandingkan benda satu dengan benda yang lain. Dalam fungsi sebagai nasihat agar manusia bisa menjaga bicaranya dengan baik.

2. Fungsi larangan ditunjukkan oleh ungkapan : a)Aja bungah ing pangalem, aja susah ing panacad b)Aja dhemen metani alaning liyan

c)Aja dumeh

d)Aja lali marang asale Secara keseluruhan ungkapan larangan menggunakan kata aja sebagai pewatas dalam melarang yang memberi peringatan kepada mitra tutur.

(19)

BAB IV PENUTUP

Ungkapan tradisional merupakan salah satu bentuk lambang referensial yang berbentuk bahasa lisan, merupakan lambang yang membutuhkan pemahaman sendiri. Ungkapan tradisional telah mencerminkan gambaran hidup orang Jawa cara menghayati kehidupannya, pranata-pranata masyarakat dapat menjadi pelajaran yang berarti bagi generasi penerus bangsa. Karena berisi nasihat dalam pendidikan, moral, etika, bersosial dll. Ungkapan tradisional dengan fungsinya sebagai nasihat dan larangan dalam penelitian ini tidak menunutup kemungkinan terdapat fungsi yang lain. Ungkapan tradisional Jawa dalam penelitian ini masih sangat terbatas, masih banyak ungkapan tradisional Jawa yang lain.

Data Informan

Nama : Sri Murni Umur : 68 tahun Pendidikan : SMP Nama : Daniel Murtopo Umur : 50 tahun Pendidikan : akademi Nama : Ninik Suryani Umur : 46 tahun Pendidikan : SMA

(20)

DAFTAR PUSTAKA Imam Sutarjo. 2006.

Mutiara Budaya Jawa

. Universitas Sebelas Maret Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Shri Ahimsa Putra. 1997.

Etnolinguistik : Beberapa Bentuk Kajian (makalah).

Yogyakarta : Balai Penelitian Bahasa, Surakarta : Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Wakit Abdullah. 2013.

Etnolinguistik : Teori, Metode dan Aplikasinya

. Universitas Sebelas Maret Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa. ____ dkk. 2005.

Ensiklopedi Kebudayaan Jawa.

Yogyakarta : Bina Media. ___ dkk. 1984.

Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan DIY.

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi

Setelah melihat ibunya mengambil kain untuk mengeringkan lantai dengan cara menyeret kakinya yang dialasi dengan kain untuk mengeringkan lantai, Afif pun

Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian yang berjudul “ Pengaruh Atribut Dining Experience terhadap Behavioral Intention di The Stone Cafe

STUDI TENTANG MINTA TERHADAP PROFESI GURU GEOGRAFI PADA MAHASISWA DEPARTEMEN GEOGRAFI FPIPS UPI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Dalam ulasan beliau, ditinjau dari segi aspek sumber, tasawuf dikategorikan sebagai salah satu dari ilmu syariah , yakni bersumber dari syariat al- qur’an dan

Sistem pengukuran kinerja BSC yang menggunakan beragam ukuran baik keuangan maupun non keuangan menunjukkan adanya target dan sasaran khusus yang lebih jelas untuk dicapai

Tautan untuk mengunduh buku Geoekologi Kepesisiran dan Kemaritiman ada pada tautan