• Tidak ada hasil yang ditemukan

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JOURNAL OF INDONESIAN ADAT LAW (JIAL)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2018

ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

ISSN (Online) : 2581 - 2092

ASOSIASI PENGAJAR HUKUM ADAT

(APHA) INDONESIA

(3)

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

JIAL adalah wadah informasi dan komunikasi keilmuan di bidang Hukum Adat yang berisi artikel ilmiah hasil penelitian dan gagasan konseptual dan kajian lain yang berkaitan dengan Ilmu Hukum Adat. Diterbitkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, terbit tiga kali dalam satu tahun, April, Agustus dan Desember.

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) Vol. 2 No. 2, Agustus 2018 Published by :

Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia

Alamat : Fakultas Hukum Universitas Trisakti Kampus A Gedung H Lantai 6, Jl. Kyai Tapa No. 1 Grogol Jakarta Barat.

Telp. +62 878 8325 6166, +62 813 1667 2509 E-mai : apha.sekretariat@gmail.com

Edited & Distributed by :

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL)

Alamat Redaksi : Jl. Haji Nawi Raya No. 10 B Jakarta, Indonesia Telp. +62-21-7201478

Website : http://jial.apha.or.id E-mai : jurnaljial.apha@gmail.com

Copyright 2018

Journal of Indonesian Adat Law (JIAL) ISSN (Cetak) : 2581 - 0952

(4)

Ketua Editor

M.Syamsudin (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta)

Editor Pelaksana

Ni Nyoman Sukerti (Universitas Udayana Denpasar)

Nurul Miqat (Universitas Tadulako Palu)

M.Hazmi Wicaksono (Universitas Bina Nusantara, Jakarta)

Rosa Widyawan (Lembaga Studi Hukum Indonesia)

Dewan Editor

Jamal Wiwoho (Universitas Sebelas Maret, Surakarta)

Dominikus Rato (Universitas Negeri, Jember)

Sulistyowati Irianto (Universitas Indonesia, Jakarta)

Aminuddin Salle (Universitas Hasanudin, Makasar)

Wayan P. Windia (Universitas Udayana, Bali)

Catharina Dewi Wulansari (Universitas Katolik Parahyangan, Bandung)

Jeane Neltje Saly (Universitas Tarumanegara, Jakarta)

Sulastriyono (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Ade Saptomo (Universitas Pancasila, Jakarta)

MG Endang Sumiarni (Universitas Atmajaya, Yogyakarta)

St. Laksanto Utomo (Universitas Sahid Jakarta)

Asisten Editor

Irwan Kusmadi

Nelson Kapoyos

Admin

Arga Mahendra

(5)

Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal pada Masyarakat

Hukum Adat Moronene Hukaea Laea di Bombana Sulawesi

Tenggara

Heryanti

1-29

Penyelesaian Sengketa pada Suku Osing

Noor Fajar Al Arif F dan Jazim Hamidi

30-44

Kepemilikan dan Pengolahan Tanah dalam Perspektif Hukum

Tanah Adat

Aarce Tehupiory

45-64

Sistem Kewarisan pada Masyarakat Banjar

Gusti Muzainah

65-85

Peran Kelembagaan Adat Moloku Kie Raha dalam Mewujudkan

Sistem Pemerintahan yang Baik di Maluku Utara

Nam Rumkel, Tri Syafari & Yahya Yunus

86-105

Implikasi Reklamasi Pantai bagi Hak Masyarakat Lokal di

Wilayah Pesisir

Rina Yulianti

106-129

Dispensasi Kawin dan Perkembangannya: Fenomena Perzinahan

di Kabupaten Banyumas

(6)

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT MORONENE

HUKAEA LAEA DI BOMBANA SULAWESI TENGGARA

Heryanti

Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo

Jl. Syaikh Muhammad Al-Khidhir, Kambu, Kota Kendari, Sulawesi

Tenggara

E-mail:

heryanti_fh@uho.ac.id

ABSTRAK

Perkembangan zaman dengan masuknya pola-pola baru mempengaruhi pola kehidupan masyarakat dari tradisional ke masyarakat modern yang terjelma dalam bentuk masyarakat prismatik.Pola-pola baru dalam wujud teknologi, modernitas ataupun kapitalisme tak jarang juga mempengaruhi pola kehidupan masyarakat hukum adat yang senantiasa mencoba eksis atau mempertahankan nilai kearifan lokalnya seperti dalam pengelolaan sumber daya hutan. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pola-pola pengelolaan sumberdaya alam atau hutan berdasaran nilai-nilai tradisional masyarakat hukum adat karena adanya anggapan bahwa pola-pola tersebut kurang efektif dan tidak efisien. Selama ini kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang disebut sebagai kearifan lokal pengelolaan hutan hanya menjadi kekuatan yang mengikat bagi kelompok masyarakat tersebut dalam hubungan interaksinya dengan alam. Keterikatan masyarakat hukum adat dengan alam terwujud dengan masih lestarinya hutan-hutan dalam kawasan masyarakat hukum adat.

Kata-Kata Kunci: hutan; kearifan lokal; masyarakat hukum adat ABSTRACT

The development of the era with the inclusion of the new patterns of patterens influencing the pattern of people’s lives from traditional to modern society incarnated in the form of prismatic society New patterns in the form of technology, modernity or capitalism also often influence patterns of life costumary law communities that always try to exist or maintain the value of their local wisdom such as in forest resource management patterns in tradition values due to the presumption that these patterns effective and inefficient. During this time community’s habits referred to as local wisdom have only become a binding force for the community groups in their interaction with nature. The attachment of

(7)

- 2 -

costumary law communities to nature was realized with the sustainability of forest forests in the area of costumary law communities.

Keywords: forest; local wisdom; adat law community

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kekayaan kultural bangsa Indonesia antara lain ditandai dengan berbagai macam masyarakat hukum adat yang tersebar dan hidup pada beberapa wilayah Indonesia. Masyarakat hukum adat memiliki beragam sebutan yang melekat seperti masyarakat tradisional atau indigenous people. Namun merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebutan yang ditujukan pada masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri seperti hukum/aturan, bahasa, adat istiadat, kepercayaan, seni, mata pencaharian, teknologi/peralatan, interaksi sosial antar anggota masyarakat yang telah tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri adalah masyarakat hukum adat.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberikan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana Pasal 18 B ayat (2) bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pengakuan ini terdapat pula dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

(8)

- 3 -

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU Nomor 23 Tahun 2014 jo UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat semakin diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mempertegas status hutan adat walaupun pengakuan yang diberikan adalah pengakuan yang bersyarat yaitu masyarakat hukum adat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada.

Sejumlah peraturan yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat adalah dasar hukum yang dapat digunakan untuk mendorong pemenuhan hak-hak dan kebebasan dasar masyarakat hukum adat, bilamana kondisi yang melemahkan pengakuan, penghormatan dan perlindungan dapat dihilangkan. Di sisi lain, keistimewaan masyarakat hukum adat dalam sistem pengurusan diri sendiri yang mencakup sistem pemerintahan dalam komunitas maupun sistem peradilan dan ketentuan-ketentuan tentang pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang dapat didayagunakan oleh Negara untuk memperkuat upaya mencapai cita-cita kebangsaan (Badriyah, 2016: 27).

Secara historis bangsa Indonesia sejak dulu telah memiliki nilai-nilai kearifan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai kearifan sebagai sistem nilai sepantasnya berada pada tataran yang ideal karena mampu membentengi dan sebagai filter berbagai pengaruh nilai dan budaya luar yang masuk ke Indonesia terutama dalam era globalisasi sekarang ini.

Perkembangan kemajuan suatu bangsa tak jarang dilihat dari hukum yang merupakan cerminan tingkat kesadaran hukum warganya. Semakin tinggi kesadaran hukum warga negara, maka semakin tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sedemikian pentingnya kesadaran hukum ini sehingga Hugo Krabbe (1857-1936), menyatakan bahwa sumber segala hukum adalah kesadaran hukum. Undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum kebanyakan orang akan kehilangan kekuatan mengikat (Rukka, 2013: 174).

Dalam perkembangannya kearifan lokal mulai dikaji sebagai bentuk kesadaran hukum. Kearifan lokal–seperti kata Ewick dan Sylbey– lebih merupakan hukum sebagai perilaku bukan sebagai aturan, norma, atau asas (Ewick dan Sylbey

(9)

- 4 -

dalam Ali, 2009: 298). Oleh karena konteksnya sebagai perilaku, maka daya ikat kearifan lokal terhadap anggota komunitas (masyarakat) nya menjadi sangat kuat.

Kearifan lokal yang terwujud dalam berbagai jenis dan tradisi merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya. Kearifan lokal merupakan respons individu terhadap kondisi lingkungannya. Pada aras individual, kearifan lokal muncul sebagai hasil proses kognitif individu sebagai upaya menetapkan pilihan nilai-nilai yang dianggap tepat bagi mereka. Pada aras kelompok, kearifan lokal merupakan upaya menemukan nilai-nilai bersama sebagai akibat dari pola-pola hubungan yang telah tersusun dalam sebuah lingkungn (Ridwan, 2007: 7). Olehnya kearifan lokal lahir sebagai bentuk adaptasi masyarakat terutama masyarakat hukum adat dengan lingkungannya maka ketergantungan akan sumber kehidupan dari alam lingkungannya membentuk pola-pola kehidupan tertentu yang mengisyaratkan harmonisasi atau penghormatan manusia pada alam, salah satunya dalam kearifan lokal pengelolaan hutan.

Bagi masyarakat hukum adat, hutan adalah sumber utama kehidupan. Hutan merupakan tempat mengambil bahan makanan, berburu hewan atau tempat mengambil kayu untuk membuat rumah tempat tinggal dan sumber energi. Kondisi hutan Indonesia saat ini cenderung menurun kondisinya dengan terjadinya kerusakan hutan, kebakaran hutan serta pengelolaan hutan oleh perusahaan-perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan yang lebih banyak melakukan ekspolitasi dibanding pelestarian.

Secara konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa: ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Dasar hukum pengaturan hutan di Indonesia yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah diubah melalui UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan PERPU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Konsep penguasaan hutan oleh negara, memberi wewenang kepada pemerintah untuk antara lain mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan

(10)

- 5 -

dengan hutan. Pengurusan hutan tersebut bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat dimana salah satu bentuk penyelenggaraan pengurusan hutan adalah kegiatan pengelolaan hutan (Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf b UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).

Dalam pelaksanaan pengurusan hutan, pemerintah kurang berhasil dalam mengelola sumberdaya hutan dan hal ini telah menjadi sorotan masyarakat dunia. Pada masa lalu pemerintah atau badan-badan pembangunan dalam menetapkan berbagai kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan kurang memberi perhatian terhadap pola-pola pengelolaan secara tradisional yang lazim dipraktikkan oleh masyarakat setempat.

Proses transformasi penguasaan sumber daya dari sumber daya yang dikelola oleh masyarakat (adat) lokal menjadi sumber daya yang dikuasai Negara telah mengarahkan pada antara lain penghilangan kelembagaan kearifan lokal (Sumardjono, 2011: 30). Padahal masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang (Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999).

Penguasaan masyarakat hukum adat atas hutan terbatas pada kawasan hutan adat namun UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan justru mengintervensi otoritas itu dengan menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 angka 6) UU Nomor 41 Tahun 1999. Gugatan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuahkan hasil dengan keluarnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 menguatkan status hutan adat bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat dan bukan lagi sebagai hutan negara. Kemudian rumusan hutan negara pada Pasal 5 ayat (1) huruf a tidak termasuk hutan adat.

Adanya pembagian status hutan yang terdiri dari hutan Negara dan hutan adat maka agar pengelolaan hutan dapat dilakukan secara maksimal dengan berlandaskan asas kelestarian, pengelolaan hutan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah

(11)

- 6 -

dengan pelibatan pihak swasta dengan hak pengusahaan hutan (HPH) adalah hanya pada kawasan hutan Negara. Untuk masyarakat hukum adat pengelolaan penuh diberikan pada kawasan hutan adat.

Banyak kebiasaan masyarakat dalam menjaga kelestarian dan mengelola hutan yang tidak menjadi bagian atau terakomodir dalam kebijakan perencanaan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah seperti tatacara pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan ternak, perburuan satwa, pemungutan hasil hutan dan perlakuan terhadap kawasan pasca panen dengan perladangan berpindah. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang disebut sebagai kearifan lokal pengelolaan hutan hanya menjadi kekuatan yang mengikat bagi kelompok masyarakat tersebut dalam hubungan interaksinya dengan alam.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masih sedikit yang mengatur tentang kearifan lokal diantaranya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (UUPPLH) pada Pasal 1 ayat (30) menyatakan kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Kearifan lokal merupakan wujud budaya masyarakat yang senantiasa ada, hidup, tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Sebagai suatu nilai maka kearifan lokal bersifat abstrak artinya tidak dapat dilihat oleh pancaindra. Nilai adalah segala sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat sehingga dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku atau bertindak. Esensi atau inti kearifan lokal adalah keharmonisan dalam kehidupan manusia. Keharmonisan tersebut mencakup tiga demensi kehidupan manusia yaitu pertama keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan yang mengandung nilai religius, kedua keharmonisan hubungan manusia dengan manusia yang mngandung nilai kebersamaan, ketiga keharmonisan hubungan manusia dengan alam yang mengandung nilai keadilan (Saini, 2005: 34).

Pada hakikatnya, kearifan lokal berguna bagi masyarakat untuk menata lingkungannya dan bersikap terhadap proses dinamika, baik yang berupa proses

(12)

- 7 -

fisik, proses sosial, dan proses-proses cultural yang terjadi. Kearifan lokal dapat berperan dan memberikan kontribusi yang nyata dalam mengurangi risiko dinamika lingkungan yang pada gilirannya mampu menunjang keberlanjutan kehidupan manusia (Marfaim, 2015: 2). Kerusakan lingkungan terutama hutan yang terjadi dimana-dimana oleh pemerintah harusnya menjadi sebuah peringatan tidak semakin harmonisnya alam dengan manusia karena sistem pola-pola pengelolaan yang lebih berorientasi pada eksplorasi dan eksploitasi dibanding pelestarian. Hal yang tentu saja tidak terjadi dalam lingkungan masyarakat hukum adat dengan kearifan lokalnya.

Masyarakat Moronene Hukaea Laea merupakan komunitas masyarakat hukum adat yang ada di Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam pengelolaan hutannya, masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea membagi hutan ke dalam kelompok yaitu hutan inti (inalahi pure), hutan penyangga (inalahi

popalia), hutan perkebunan (inalahi puema), hutan kecil (olobu). Selain jenis hutan

maka untuk kawasan sekitar hutan dibagi pula atas perladangan (kura), padang (lueno), bakau (bako), tambak garam (beo), dan tambak ikan tradisional (bolo).

Pembagian kawasan hutan tersebut menunjukkan adanya wilayah yang sama sekali tidak boleh dirusak. Hutan inti merupakan kawasan yang tidak pernah diganggu gugat karena dianggap keramat dengan keberadaan sumber mata air dalam hutan. Kesadaran masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea untuk tidak merambah hutan inti selain bentuk ketaatan penuh akan aturan adat juga bentuk kearifan lokal akan kesadaran bahwa perusakan hutan akan berimbas pada sumber mata air terutama sungai-sungai yang menjadi salah satu sumber kehidupan masyarakat hukum adat.

Demam emas yang sempat melanda Kabupaten Bombana pertengahan tahun 2008 dengan ditemukannya bongkahan-bongkahan emas masih bercampur tanah di daratan maupun pinggiran sungai. Pada 2008, survei Dinas Pertambangan Kabupaten Bombana, merilis jika luasan potensi emas di Bombana mencapai 5000 hektar. Kandungan emas itu, terdapat di perbukitan dan aliran-aliran sungai Hal ini menarik datangnya ribuan orang baik dari dalam maupun luar Sulawesi Tenggara

(13)

- 8 -

untuk mendulang emas Bombana. Menurut data Dinas Pertambangan Kabupaten Bombana tahun 2008 hingga 2009 jumlah kunjungan ke Bombana mencapai 60.000 orang. Pada umumnya mereka datang berkelompok, membawa keluarga namun tak jarang pula yang datang sendiri. Untuk mendapatkan emas para pendulang menjamah area hutan.

Penambangan emas Bombana selain membawa dampak positif dengan berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat namun juga menimbulkan degradasi lingkungan di wilayah lokasi penambangan berupa tingkat kerusakan tanah di lokasi penambangan emas mengalami tingkat kerusakan berat dan menimbulkan dampak fisik lingkungan seperti degradasi tanah. Hilangnya unsur hara yang dibutuhkan oleh pertumbuhan tanaman, berkurangnya debit air permukaan, tingginya lalu lintas kendaraan membuat mudah rusaknya jalan, polusi udara, dan dampak sosial ekonomi (Ahyani, 2011: 12). Kubangan-kubangan sisa galian menjadi pemandangan lumrah pada sisi jalan, halaman depan, belakang rumah, hingga antara sela tanaman perkebunan. Dampak yang lain adalah banyaknya korban yang meninggal akibat kecelakaan ditempat penambangan. Dampak lain yaitu muncul berbagai penyakit karena lingkungan tidak sehat seperti sumber air yang tercemar cairan merkuri yang digunakan sebagai bahan dalam kegiatan tambang untuk memisahkan emas dari tanah atau perak. Data dari salah satu puskesmas (Media Sultra, 2005:5) yaitu UPTD Puskesmas Lomba Kasih Kecamatan Lantari Jaya Kabupaten Bombana bahwa pada tahun 2008 warga yang datang berobat karena alergi penyakit kulit mencapai 316 orang padahal di tahun 2007 hanya berkisar 50 kasus saja. Jumlah penyakit lain yang diderita yaitu 290 kasus untuk penderita penyakit hypertensi, penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat sebanyak 732 kasus, ISPA 711 kasus dan diare 357 kasus. Sebelum ditemukannya potensi-potensi tambang, wilayah Bombana termasuk hutan tetap lestari. Pasca demam emas, kawasan hutan masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea tetap terjaga seperti kawasan hutan inti (inalahi pure) karena memang juga merupakan kawasan hutan terlarang untuk dikelola. Kearifan lokal masyarakat hukum adat yang diyakini, ditaati dan dipertahankan menyebabkan

(14)

- 9 -

potensi tambang itu hanya bisa dikelola bila ada izin atau persetujuan dari lembaga adat.

Dalam konteks masyarakat hukum adat, orang-orang nampak dengan sendirinya menaati adat-istiadat sebab mereka telah membatinkan (menginternalisasikan) norma-norma tersebut dalam dirinya. Ketaatan pada norma bukan karena takut dihukum, melainkan karena ia akan merasa bersalah apabila tidak mentaatinya. Norma-norma penting dari masyarakat telah tertanam dalam batin setiap anggota masyarakat itu sebagai norma moral (Suseno, 1992: 26).

Saat sekarang masyarakat tidak hanya butuh peraturan-peraturan yang menjamin kepastian hukum dalam hubungan mereka satu sama lain, tetapi juga butuh keadilan di samping hukum dituntut pula melayani kepentingan-kepentingannya atau memberikan kemanfaatan (Prasetyo dan Barakatullah, 2013: 15-16). Nilai dasar “kegunaan” yang dikemukakan Gustav ini (Rahardjo (2010: 17-18), menempatkan hukum dalam kaitan dengan konteks sosial yang lebih besar. Dengan demikian, hal ini menjadi pembuka jalan bagi kajian hukum yang juga memperhatikan interaksi antara hukum dan masyarakatnya. Di sinilah terdapat ruang bagi kelompok masyarakat hukum adat dengan nilai kearifan lokal yang melekat padanya untuk dapat diterima sebagai dasar konstruksi hukum.

Aturan adat istiadat masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea terhadap alam sangat dipegang teguh secara turun temurun agar tetap lestari. Berkaitan dengan keberlangsungan sumberdaya alam disekitar tempat dihidup orang Moronene Hukaea Laea untuk pengurusannya ditunjuk Totongano Lombo (urusan pertanian) dan Totongano Inalahi (urusan kehutanan). Adapun tanggungjawab

Totongano Lombo adalah menangani urusan kehutanan dan lingkungan, mengatur

pembagian dan penentuan lahan yang akan dijadikan areal pertanian dan menentukan luas areal lahan setiap warga. Kemudian Totongano Inalahi bertanggungjawab khusus menentukan jumlah dan jenis hasil hutan yang dapat diambil, menjaga kelestarian air dan mengawasi pengelolaan hutan. Selain yang telah disebutkan juga terdapat Kamotuano Kampo (tempat bertanya segala masalah),

(15)

- 10 -

kampung/desa), Serea (menyampaikan perintah kepala kampung ke warga) dan Juru

Tulisi (sekretaris).

Masyarakat hukum adat di Indonesia maupun di bagian dunia lainya, sering dijadikan sebagai penyebab atas terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan yang mereka lakukan. Sesungguhnya sistem perladangan masyarakat hukum adat ini tidak berpengaruh besar terhadap kerusakan hutan karena dalam kehidupan masyarakat hukum adat terdapat juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan (hutan) tersebut Lobja (2003) dalam Barau (2013) (Ariyanto, 2014). Pengelolaan hutan yang berorientasi pada penggunaan masyarakat hukum adat dan pengolahan hutan tersebut menjadi basis perekonomian yang kuat bagi masyarakat hukum adat yang ada disekitarnya merupakan hal yang sangat penting untuk mengatasi dominasi pengelolaan hutan oleh pemodal besar yang mendapat legitimasi negara.

Rumusan Masalah

Permasalahan dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana kearifan lokal masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea dalam pengelolaan hutan?; (2) Bagaimana eksistensi kearifan lokal masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea dalam pengelolaan hutan ?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yaitu: (1) Untuk menganalisis kearifan lokal masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea dalam pengelolaan hutan; (2) Untuk menganalisis eksistensi kearifan lokal masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea dalam pengelolaan hutan.

Metode Penelitian

Penelitian ini terbilang penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual. Obyek yang dikaji adalah norma atau kaedah, asas-asas dan doktrin-doktrin hukum untuk menganalisis eksistensi kearifan lokal dalam pengelolaan hutan yang

(16)

- 11 -

dilakukan oleh masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea. Dalam kajiannya penelitian normatif didukung oleh penelitian empiris yang bertujuan untuk mengetahui nilai kearifan lokal masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea dalam pengelolaan hutan dengan pendekatan historis dan studi kasus.

Subyek penelitian meliputi masyarakat dan anggota lembaga adat masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea. Lokasi penelitian adalah wilayah masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea yang terdapat di Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai daerah yang masih memiliki dan menerapkan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan. Keberadaan Perda Kabupaten Bombana Nomor 4 Tahun 2015 semakin mempertegas pengakuan Negara akan keberadaan masyarakat hukum adat.

Untuk mengkaji fokus penelitian tersebut, data yang dipergunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer atau data dasar (primary data atau basic

data) diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat

melalui penelitian. Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan responden dan narasumber dan observasi (pengamatan) dengan non participant observation di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dari studi dokumen atau studi kepustakaan. Data sekunder terdiri dari bahan hukum yang meliputi: bahan hukum primer yaitu bahan hokum yang mempunyai sifat kekuatan mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan dari UUD 1945 sampai dengan peraturan daerah. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hokum yang mempunyai sifat memberikan penjelasan terhadap bahan hokum primer. Bahan hokum ini berupa literatur ilmu hukum, hasil penelitian, serta pendapat-pendapat para pejabat dan tokoh masyarakat, serta dokumen tertulis lainnya yang relevan dengan isu penelitian. Bahan hukum tertier yaitu bahan hokum yang mempunyai sifat menunjang, oleh karena dapat memberikan petunjuk, dan penjelasan terhadap bahan hokum primer dan sekunder. Bahan hokum ini meliputi kamus hukum, kamus besar Bahasa Indonesia serta bahan lain yang mendukung kelengkapan bahan hukum primer dan sekunder.

(17)

- 12 -

Analisis data dilakukan dengan cara mengklasifikasi dan mensistematisasi yang selanjutnya dievaluasi untuk mendukung penyelesaian masalah yang sedang diteliti untuk memperoleh kesimpulan yang tepat sebagai jawaban rumusan masalah. Metode yang dipakai menganalisis data adalah metode kualitatif yaitu suatu analisis secara mendalam dan komprehensif.

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengelolaan Hutan

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Menurut Black Law Dictionary, hutan (forest) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan tempat hidup segala binatang (Murhaini, 2012:9).

Pengelolaan hutan merupakan salah satu bagian dari pengurusan hutan. Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengelolaan hutan diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 51 UU Nomor 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 3 Tahun 2008 (Redi, 2014: 118).

Pengelolaan hutan meliputi kegiatan: (a) tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; (b) pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; (c) rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan (d) perlindungan hutan dan konservasi alam.

Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari dimana tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Untuk blok-blok tersebut dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Selanjutnya

(18)

- 13 -

berdasarkan blok dan petak disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.

Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Untuk hutan adat maka pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya, demikian juga untuk hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi. Untuk penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif yang dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Untuk reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kemballi lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.

Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk: (a) mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan (b) mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Pasal 22 s.d. Pasal 47 UU Nomor 41 Tahun 1999).

(19)

- 14 -

Pengelolaan hutan seharusnya dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta memperhatikan hak-hak rakyat, dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat.

Kearifan Lokal

Kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan entitas yang menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007), yang dalam penamaan dan penyebutan kadang berbeda-beda misalnya kearifan lokal bisa disebut kearifan tradisional (Imang, 2007), local genius (Ayatrohaedi, 1986), cultural identity atau identitas kepribadian (Hariyadi, 2009) (Konradus, 2015: 388) dan pengetahuan lokal (local knowledge) pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu, yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan (Sardjono dalam Wa Kuasa Baka, 2016:11-12). Pengetahuan tradisional merujuk pada pengetahuan, inovasi, dan praktik dari masyarakat asli dan lokal di seluruh dunia (Eta, 2014: 460).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan pada Pasal 1 ayat (30) bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Menurut Sartini (2004) bahwa Local Genius adalah ide-ide lokal yang memilki karakteristik seperti: bijaksana, penuh hikmat, nilai-nilai yang baik, yang ditanam dan diikuti oleh masyarakat. Local genius juga merupakan kearifan lokal, mampu bertahan dari budaya luar, yang mengakomodasi dan mengintegrasikan budaya luar ke dalam, dan memberi mereka dengan cara yang benar. Bakhtiar Mahmud (2015: 357,359), kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah

(20)

- 15 -

berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.

Kearifan lokal memiliki 6 (enam) dimensi sebagaimana dikemukakan Ife (Baka, 2016: 15) yaitu: (1) dimensi pengetahuan lokal; (2) dimensi nilai lokal; (3) dimensi keterampilan lokal; (4) dimensi sumber daya lokal; (5) dimensi pengambilan keputusan lokal; dan (6) dimensi solidaritas kelompok lokal.

Berkaitan dengan alam, pada suatu titik tertentu interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya akan mencapai titik kesetimbangan dalam dinamika yang terus bergerak (dynamic equilibrium) dimana pada tahapan tersebut manusia mempunyai pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku (behaviour) yang mencerminkan keselarasan dan kearifan respons terhadap lingkungan. Kearifan lokal sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungan serta sebagai hasil proses panjang yang berlangsung secara terus menerus yang merupakan suatu bentuk panduan, pandangan, arah, aturan dan kebijakan yang tidak tertulis yang ada dalam masyarakat (Marfaim, 2015: 2).

Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat adalah: (1) sekumpulan warga memiliki kesamaan leluhur (geneologis), (2) tinggal di suatu tempat (geografis), (3) memiliki kesamaan tujuan hidup untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai dan norma-norma, (4) diberlakukan sistem hukum adat yang dipatuhi dan mengikat, (5) dipimpin oleh kepala-kepala adat, (6) tersedianya tempat dimana administrasi kekuasaan dapat dikoordinasikan, (7) tersedia lembaga-lembaga penyelesaian sengketa baik antara masyarakat hukum adat maupun sesama suku berbeda kewarganegaraan (Thontowi, 2012: 35).

(21)

- 16 -

Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 67 ayat (1) menyebutkan bahwa, masyarakat hukum adat sepanjang menurut keberadaannya masih ada dan diakui keberadaannya dan mempunyai hak yaitu: (1) Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hukum adat yang bersangkutan; (2) Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang; (3) Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.

Masyarakat hukum adat merupakan masyarakat dengan bentuk komunal. Masyarakat komunal merupakan masyarakat dimana segala bidang kehidupan diliputi oleh kebersamaan. Masyarakat hukum adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan antar personal dan proses interaksi sosial yang terjadi antar manusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara (a

uniform or customary of behaving within a social group) (Theodorson dalam Hendra

Nurtjahjo dan Fokky Fuad, 2010:12).. Masyarakat hukum adat adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain berupa keseluruhan dari kebiasaan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, dan jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara para anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Masyarakat Moronene

Masyarakat Moronene merupakan salah satu etnik yang ada di Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah Moronene dahulu memiliki luas wilayah 3.973,59 km² (tahun 1991) (data BPS Kabupaten Bombana) namun di tahun 2015 luas wilayahnya menjadi 3.316,16 km² dengan batas wilayah awalnya dari kampong Wulende (Tondo Wolio) kemudian pindah ke sungai Toari (Rekson Solo Limba, 2016:17). Masyarakat atau etnik Moronene sebagai penduduk asli di Kabupaten

(22)

- 17 -

Bombana pada masa prasejarah terbentuk dalam satu kerajaan tersendiri yaitu Kerajaan Moronene yang dipimpin seorang raja bernama Dendeangi dengan gelar

Tongki Pu’u Wonua dilantik oleh Raja Sawerigading dari tanah Luwu Sulawesi

Selatan. Pada masa pemerintahan Raja Dendeangi wilayah kerajaan Moronene yang juga sebagai wilayah kebudayaannya meliputi 3 daerah yaitu Lembompari (Poleang), Keuwia (Rumbia) dan Wonua Karambau (Kotu’a/Kabaena) (Rekson S. Limba, et all., 2015:22).

Orang Moronene hidup dalam kelompok-kelompok yang lingkungan tempat tinggalnya disebut tobu. Dalam satu wilayah ini ada daerah-daerah tertentu yang dikuasai (hak ulayat) yang terdiri dari hutan belukar sebagai tempat berburu dan membuka lading, sungai-sungai kecil maupun rawa-rawa. Peranan sungai begitu penting bagi lahirnya peradaban masyarakat Moronene dilembah sungai. Mata pencaharian utama etnik Moronene adalah petani ladang yang masih menerapkan sistem pengetahual lokal dalam sistem pertaniannya. Sebagian besar etnik Moronene menempati Kampung Adat Moronene di Huka’ea La’ea yang telah diakui sebagai Kampung Adat sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Bombana Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Moronene Hukaea Laea di Kabupaten Bombana. Dalam Pasal 1 angka 9 perda ini dirumuskan masyarakat adat (Moronene) adalah kelompok masyarakat Moronene yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis Hukaea Laea karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum.

Arti kata Laea secara etimologis terdiri dari dua suku kata yaitu La dan Ea. La berarti sungai dan Ea berarti besar. Jadi Laea berarti sungai besar. Kemudian Hukaea terdiri pula dari dua suku kata yaitu Huka yang artinya pohon melinjau dan Ea berarti besar. Jadi Hukaea berarti pohon melinjau yang besar. Nama Hukaea Laea diambil berdasarkan kondisi alam yang ada diperkampungan tersebut. Orang Moronene sangat tergantung dengan keberadaan sungai dan menempati wilayah pinggiran sungai.

Masyarakat Hukum Adat Moronene adalah masyarakat yang tinggal dalam kawasan kampong. Masyarakat Moronene yang tinggal di luar kawasan tidak masuk kategori masyarakat hukum adat. Jumlah masyarakat Moronene yang ada di

(23)

- 18 -

kampong Hukaea Laea adalah 110 kepala keluarga. Menurut Mansur Lababa, tokoh adat Masayarakat Moronene (wawancara, 28 November 2016) bahwa jumlah ini merupakan jumlah yang tetap, tidak boleh ada penambahan lagi. Hal ini karena untuk mempertahankan nilai-nilai adat masyarakat Moronene yang pernah terusik dimana orang-orang yang berada di kawasan itu merupakan orang-orang yang pernah mengalami penindasan sehingga bila tidak ada pembatasan terhadap jumlah kepala keluarga masyarakat Moronene di kawasan itu maka dikhawatirkan akan terjadi perubahan terhadap aturan-aturan adat yang selama ini ditaati dan dijalankan sepenuhnya oleh masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea.

Nilai-nilai filosofis suatu komunitas adat sangat melekat pada masyarakat hukum adat Moronene. Pada etnis masyarakat moronene sejak dulu dikenal memiliki karakter yang khas sebagai satu kelompok komunitas adat yang menjujung tinggi nilai-nilai kedamaian, ketenangan dan kesederhanaan. Sehingga setiap ada perselisihan dengan pihak lain mereka selalu memilih mengalah dan menghindar mencari tempat hidup yang lain. Cerminan atas karakter yang dimaksud dapat disaksikan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya sehari-hari dari masyarakat Moronene seperti: (1) pola hidup mereka sangat sederhana dan senang bermukim berkelompok dalam jumlah yang sedikit (biasanya satu rumpun); (2) rumah-rumah mereka lebih banyak dari bahan-bahan bambu yang ada disekitar kebun mereka; (3) sehingga saat mereka harus menyebar mencari tempat lain untuk menghindari konflik ditempat semula, maka penyedian rumah di tempat baru bagi mereka tidak dijadikan beban atau masalah; dan (4) umumnya komunitas adat moronene senang dengan kegiatan pesta keramaian dengan menggunakan perlengkapan pesta di dominasi oleh warna-warna cerah.

Kearifan Lokal Masyarakat Moronene dalam Pengelolaan Hutan

Menurut Sarjono Djatiman (Konradus dalam Samekto, 2015: 388), bentuk dan jenis-jenis kearifan lokal masing-masing masyarakat hukum adat memiliki bentuk dan tampilan yang berwujud nyata (tangible) dan tampilan yang tidak berwujud (intangible). Jenis-jenis kearifan lokal masyarakat hukum adat yang berwujud dilihat dalam bentuk kelembagaan, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat). Bisa juga terwujud dalam keterkaitan

(24)

- 19 -

dengan penataan ruang dimana kearifan lokal dapat menjadi landasan dalam penyelenggaraan penataan ruang masyarakat hukum adat itu.

Menurut Rambe (Limba, 2015: 3-4) salah satu wujud kearifan lokal etnik Moronene adalah pengelompokkan kawasan dalam 4 wilayah yaitu: (1) Pelelerea (lueno); (2) Porako’a Ihie’e; (3) Inalahi Kapopalia; dan (4) Inombo. Pengelompokkan ini didasarkan pada kepercayaan terhadap adanya 4 utama yang merupakan penjelmaan Tuhan disebut Apu sebagai kekuatan tertinggi yang menguasai menjaga dan mengontrol alam semesta termasuk mengatur nasib dan member berkah kepada manusia. Adapun 4 dewa utama penguasa alam semesta yaitu: (1) Dewa Tanah; (2) Dewa Api; (3) Dewa Angin; dan (4) Dewa Air. Keempat dewa tersebut adalah bentuk penjelmaan Tuhan. Dengan dasar kepercayaan tersebut maka etnik Moronene mengelompokkan kawasan hutan dengan menggunakan istilah Inalahipue, Inalahi Popalia, Inombo, dan Lueno.

Oleh Mansur Lababa selaku tokoh adat Masyarakat Moronene (wawancara, 28 November 2016) dinyatakan bahwa kepercayaan pada 4 dewa yaitu dewa tanah (sangia tumondete), dewa api (sangia mponga’e), dewa air (sangia olaro), dan dewa langit (sangia laamoa) yang diibaratkan pada tubuh manusia yaitu tanah, asal manusia dari tanah, makanan manusiapun berasal dari tanah. Ketika berkeringat maka ada tanah di tubuh manusia, ketika bekerja keras maka ada air di tubuh manusia. Hidup manusia membutuhkan angin yaitu nafas. Emosi yang ada dalam diri manusia akan memunculkan api.

Kearifan lokal etnik Moronene sebagai bagian dari kebudayaan Moronene dilaksanakan oleh masyarakat sebagai warisan leluhur berdasarkan sistem pengetahuan tradisional. Bentuk kearifan lokal masyarakat Moronene dapat dilihat dari pelaksanaan adat istiadat yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Hutan bagi masyarakat Moronene tidak hanya sebagai sumber daya potensial melainkan juga sebagai sumber pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan dan sekaligus tempat tinggal mereka.

Hutan merupakan totalitas kehidupan masyarakat hukum adat. Hutan tidak semata-mata bermakna ekonomis melainkan juga sosio-budaya-religius yang terkait dengan kedaulatan mereka dalam kepemilikan dan pengelolaan sumber daya hutan (Loir Botor Dingit, 1999:4). Dalam pengelolaan hutan maka penggunaan istilah-istilah lokal dalam pembagian kawasan hutan juga menjadi bentuk kearifan lokal.

(25)

- 20 -

Tobu (perkampungan) Hukaea Laea mempunyai luas wilayah adat sekitar 26.295,32

ha (data tahun 2000) dengan klasifikasi wilayah hutan menurut penggunaannya (Limba, 2015:161) yaitu:

Jenis Hutan Nama Lokal Luas Hutan (ha)

1. Hutan inti 2. Hutan penyangga 3. Hutan perkebunan 4. Hutan kecil 5. Perladangan 6. Padang savanna 7. Hutan bakau Inalahi pue Inalahi popalia Inalahi peumaa/kotoria Olobu Kura Tana lapa/lueno Bako 4.623,44 2.599,50 2.420,31 1.077,56 1.193,34 11.471,35 2.593,75

Berkaitan dengan pengelolaan hutan, masyarakat hukum adat Moronene memaknai bahwa manusia bukan satu-satunya makhluk, ada makhluk yang lain. Manusia sebagai makhluk hidup, hutan sebagai makhluk hidup dan diluar dari itu ada makhluk gaib, seperti pada kawasan-kawasan hutan Inalahi pue, Inalahi popalia, Inalahi peumaa/kotoria, dan Olobu diyakini dalam kawasan tersebut ada penguasanya (makhluk gaib).

Bentuk penghormatan masyarakat hukum adat Moronene terhadap yang dianggap penguasa hutan ketika meminta isyarat pada penguasa hutan terhadap niatan atau rencana yang akan dilakukan. Isyarat yang muncul biasanya ditandai dengan kemunculan binatang yaitu bila yang muncul adalah kupu-kupu atau capung maka artinya penguada hutan mengizinkan, sedangkan bila yang muncul adalah tawon berarti penguasa hutan menolak.

Hutan inti merupakan kawasan hutan yang tidak pernah diganggugat sehingga tidak pernah rusak. Di hutan inti terdapat tempat-tempat ritual seperti sumber-sumber mata air yang dianggap keramat. Kawasan hutan yang boleh diolah adalah kawasan hutan penyangga. Pelanggaran terhadap kawasan-kawasan hutan yang tidak boleh dirusak maka pelaku oleh lembaga adat dikenakan sanksi awal untuk menanam 50 sampai 100 anak kayu. Bila pelanggaran masih dilakukan maka sanksi selanjutnya lebih berat yaitu dikeluarkan dari kampung.

Keberadaan hutan tak lepas dari mata pencaharian utama masyarakat Moronene yaitu petani ladang yang masih menerapkan sistem pengetahual lokal dalam sistem pertaniannya dimana masyarakat menerapkan sistem perladangan berpindah. Bila perladangan berpindah tak jarang menjadi sorotan sebagai salah satu

(26)

- 21 -

penyebab utama terjadinya kebakaran hutan maka pada masyarakat hukum adat Moronene sistem perladangan berpindah ini justru menjadi keharusan dalam pola pertanian ladang mereka. Hal ini selaras dengan kearifan lokal masyarakat Moronene bahwa hutan adalah makhluk hidup yang bila terus menerus diolah maka akan menjadi kurang atau tidak subur lagi. Olehnya berpindah ke tempat lain dengan tujuan agar tanahnya kembali subur dan kembali menjadi hutan. Menurut Loir Botor Dingit (1999:4) masyarakat hukum adat memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang bercorak khas dan tidak selalu dapat diduplikasikan di tempat lain. Sistem perladangan bergilir merupakan bukti konkret mengenai kearifan masyarakat hukum adat dalam mengelola potensi sumber daya hutan secara lestari.

Anggota masyarakat hukum adat Moronene yang akan berladang maka untuk memperoleh lahan harus meminta pada Totongano Inalahi karena wilayah untuk perladangan berada pada kawasan hutan penyangga yang bisa untuk diolah. Bila terjadi pelanggaran dalam perolehan lahan ini akan dikenakan sanksi yang disebut terampu yaitu tinggal di kepala kampung untuk beberapa lama yang jangka waktu beberapa lamanya tergantung pada tingkat kesalahan pelaku. Setelah itu baru pelaku disidangkan. Bila dalam persidangan tidak ada putusan yang berhasil diambil, selanjutnya diserahkan pada Kepala Kampung. Menurut Mansur Lababa, dalam perkembangan sekarang, hukum adat tersebut tidak berubah, yang berubah hanya nilainya saja.

Eksistensi Kearifan Lokal Masyarakat Moronene dalam Pengelolaan Hutan Kearifan lokal menjadi sesuatu yang harus dihargai eksistensinya. Menurut Nugraha ( Limba, 2016: 5) dengan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan mengelola hutan, masyarakat lokal memiliki sistem pengetahuan tradisional tentang bagaimana cara pengelolaan hutan agar tidak rusak secara permanen. Yang paling penting adalah adanya kesadaran kolektif dari masyarakat hukum adat bahwa hutan merupakan sumber penghidupan mereka yang utama, karena perilaku masyarakat hukum adat terhadap alam senantiasa memperhatikan tata aturan adat yang ada.

Masyarakat Moronene percaya bahwa hukum adat itu berasaskan kebenaran, kejujuran keadilan, karena wajib dipatuhi, diataati dan dilaksanakan oleh segenap masyarakatnya. Pada dasarnya manusia yang lurus, tidak menyukai konflik atau perselisihan, dan suka bersatu. Olehnya orang Moronene yang menerima

(27)

- 22 -

warisan leluhur untuk hidup mekalolaro (saling mengasihi) harus hidup saling menyayangi, menghargai dan taat kepada adatnya tersebut. Barangsiapa yang melanggar adat ia pasti akan dikutuk oleh adat dan dikucilkan dari masyarakat itu sendiri. Tanah Moronene sebagai tanah leluhur dipercayai sebagai barakatino wonua yang disebut Lipu i Bombana Wita i Moronene yaitu negeri yang diberkahi dan diberi karamah oleh Tuhan (Limba, 2016:29-30).

Pandangan hidup yang menjadi pemersatu masyarakat hukum adat Moronene yaitu kato measa laro wangusako wonua, kato pohedo samaturu yang berarti kita satukan hati untuk membangun negeri, kita bekerjasama membangun rasa. Falsafah ini teraplikasi pada tatanan kehidupan maupun tradis masyarakat Moronene ( Limba, 2016: 149).

Dalam pelaksanaannya sebagai dasar kepatuhan dan ketaatan masyarakat hukum adat Moronene terhadap hukum adatnya maka terdapat “sumpah adat” yang disebut Tandualeno Adati Nto Moronene yang diterapkan dalam upacara-upacara khusus seperti pada pengukuhan penguasa terutama dilingkup pemerintahan karena di tangan merekalah masyarakat menunggu kesejahteraan (Limba, 2016: 30).

Kapala atau Kepala kampong sebagai pimpinan dalam masyarakat hukum

adat Moronene memiliki perangkat yang menangani bidang-bidang yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan masyarakat hukum adat yaitu Totongano Lombo (urusan pertanian) dan Totongano Inalahi (urusan kehutanan). Adapun tanggungjawab

Totongano Lombo adalah menangani urusan kehutanan dan lingkungan, mengatur

pembagian dan penentuan lahan yang akan dijadikan areal pertanian dan menentukan luas areal lahan setiap warga. Sedangkan Totongano Inalahi bertanggungjawab khusus menentukan jumlah dan jenis hasil hutan yang dapat diambil, menjaga kelestarian air dan mengawasi pengelolaan hutan. Selain yang telah disebutkan juga terdapat Kamotuano Kampo (tempat bertanya segala masalah),

Tatangano Kadadi (mengatur satwa dan hewan yang dapat diburu), Serea

(menyampaikan perintah kepala kampung ke warga) dan Juru Tulisi (sekretaris). Kelembagaan masyarakat hukum adat memiliki cara tersendiri untuk menjaga wilayahnya (ulayat) dengan kearifan lokal yang dijalankannya. Persekutuan (lembaga adat) berusaha meletakkan batas-batas disekeliling wilayah kekuasannya yaitu wilayah masyarakat hukum adat. Tetapi usaha ini tidak dapat diselenggarakan secara sempurna apalagi jika masyarakat hukum adat tinggal menyebar dalam

(28)

- 23 -

wilayah kecil atau apabila daerah-daerah itu meliputi tanah-tanah kosong. Usaha selanjutnya adalah menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus mengawasi wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat (Setiady, 2015: 293-294).

Eksistensi kearifan lokal masyarakat Moronene dalam pengelolaan hutannya menurut Mansur Lababa di kampong Hukaea Laea selama 20 tahun tidak ada hutan yang terambah karena kearifan lokal masyarakat dalam menjaganya. Seluruh masyarakat hukum adat Moronene turut mengawasi kelestarian hutan di kampong Hukaea Laea. Bila ada permasalahan-permasalahan berkaitan dengan hal tersebut maka disampaikan lewat pabitara (humas) sebagai tempat penyalur aspirasi masyarakat yang akhirnya akan disampaikan ke kepala kampung.

Untuk menjaga kesucian kampong Hukaea Laea maka setiap 2 tahun sekali dilakukan upacara pencucian kampong. Pemotongan kerbau putih dianggap sebagai penebus kesalahan-kesalahan yang terjadi akibat pelanggaran terhadap aturan-aturan adat termasuk pelanggaran dalam aturan adat atau kearifan lokal dalam pengelolaan hutan.

Kelestarian hutan dalam kawasan Hukaea Laea merupakan bukti pentingnya kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam memperlakukan alam. Menurut Bambang Daru Nugroho (2015:80) masyarakat hukum adat dengan persekutuan hukumnya merupakan pengelola hak ulayat kehutanan yang paling handal dan dapat dipercaya. Olehnya apabila hutan-hutan di Indonesia ingin tetap dapat dimanfaatkan dan sekaligus dilestarikan, maka penguasa harus member kepercayaan serta melibatkan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hak ulayat kehutanan.

Kewenangan Negara dalam pengaturan pengelolaan hutan berlandas pada konsep hak menguasai Negara dimana Indonesia sebagai Negara hukum maka supremasi hukum dijadikan sebagai landasan penyelenggaraan Negara termasuk dalam perlindungan dan pengelolaan sumber daya alamnya (hutan). Negara hendaknya dapat mengakomodir perlindungan hak-hak warganya. Menurut John Locke (Abdul Manan, 2006:89-90) suatu Negara hukum yang menghargai hak-hak warga Negara harus berisi tiga unsure penting yaitu adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan damai, adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul antara pemerintah (certical dispute) atau sesame anggota masyarakat (horizontal dispute).

(29)

- 24 -

Peranan utama pemerintah dalam pengelolaan lingkungan (hutan) berkaitan dengan kearifan lokal bahwa pemerintah akan menentukan prioritas dengan menimbang-nimbang kepentingan ekonomis dan kepentingan ekologis yang akan berakhir dengan keputusan politik dan tidak selalu memuaskan semua pihak. Tujuan perlindungan lingkungan perlu digariskan dengan tegas karena penguasa bertugas meningkatkan kualitas hidup melalui kebijakan bersifat membina dan menanamkan kesadaran ekologis masyarakat (Rangkuti, 2008: 9).

Dalam pelaksanaannya kebijakan pemerintah yang berwujud pembentukan instrument hukum nasional tak lepas dari Pancasila sebagai cita hukum dan norma fundamental Negara. Pancasila harus menjadi pedoman, pengarah, acuan nilai, dalam pembaharuan (sistem) hukum karena peraturan perundang-undangan yang dibuat dan akan diperbaharui sesuai kebutuhan masyarakat dan zaman, harus selalu menjadikan Pancasila sebagai kerangka berfikir dan sebagai sumber nilai (Mahfud dalam Rosadi, 2012: 45). Pluralitas bangsa Indonesia berkomitmen menjadikan Pancasila sebagai sebuah kesepakatan bersama. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sejalan dengan filosofis kehidupan masyarakat terutama masyarakat hukum adat dengan kearifan lokalnya.

Peletakan keberpihakan Negara terhadap entitas masyarakat hukum adat seharusnya mampu mendorong lahirnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan hukum yang lebih berpihak pada kepentingan elemen masyarakat tersebut (Patittingi, 2013:271). Tindakan Negara dengan meratifikasi Konvensi ILO Nomor 169 Tahun 1989 yang mendefenisikan masyarakat hukum adat (indigenous people) adalah sekumpulan individu yang merupakan keturunan asli dari suatu Negara, memberikan kewajiban pada Negara yang meratifikasi untuk mengadopsi standarisasi perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Secara tak langsung adanya konvensi ini muncul suatu norma dasar yang diterima masyarakat internasional bahwa setiap Negara harus memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat (Thontowi, 2012: 100).

Terlepas dari secara legal formal telah ada pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat walau dengan syarat sepanjang menurut kenyataannya masih ada namun secara real masyarakat hukum adat tetap ada dengan segala kearifannya. Kearifan lingkungan masyarakat hukum adat pada hakekatnya berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Ajaran

(30)

- 25 -

agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan member warna serta mempengaruhi citra lingkungan dalam wujud sikap dan perilaku terhadap lingkungannya. Kendatipun sering tampak tidak rasional dan tidak logis, tetapi secara nyata perilaku terhadap alam dengan pola-pola tindak yang bercorak mistis dan magis tersebut menciptakan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup termasuk hutan (Safa’at, 2015: 12-13).

Sifat komunal yang melekat pada masyarakat hukum adat seperti masyarakat hukum adat Moronene Hukaea Laea menimbulkan rasa kepemilikan yang kuat antara anggota masyarakat hukum adat untuk memelihara potensi hutan yang dimiliki serta pemberlakuan sanksi oleh lembaga adat semakin memperkuat ikatan magis religious masyarakat hukum adat untuk senantiasa menghormati dan memperlakukan alam (hutan) dengan baik.

PENUTUP Simpulan

Kearifan lokal masyarakat Moronene dalam pengelolaan hutan diwujudkan dalam bentuk antara lain: pengelompokkan kawasan dalam 4 wilayah yaitu: (1) Pelelerea

(lueno); (2) Porako’a Ihie’e; (3) Inalahi Kapopalia; dan (4) Inombo. Penggunaan

istilah-istilah lokal dalam pembagian kawasan hutan menurut penggunaannya yaitu

Inalahi pue, Inalahi popalia, Inalahi peumaa/kotoria, Olobu, Kura, Tana lapa/lueno, Bako. Adanya penghormatan masyarakat hukum adat Moronene

terhadap yang dianggap penguasa hutan ketika meminta isyarat pada penguasa hutan terhadap niatan atau rencana yang akan dilakukan. Sistem perladangan berpindah yang masih dijalankan masyarakat yang selaras dengan kearifan lokalnya dengan maksud agar tanah kembali subur dan kembali menjadi hutan.

Eksistensi kearifan lokal masyarakat Moronene dalam pengelolaan hutan bahwa eksistensi kearifan lokal masyarakat Moronene dalam pengelolaan hutan didasarkan pada kepercayaan masyarakat hukum adat Moronene akan hukum adat yang berasaskan kebenaran, kejujuran keadilan sehingga wajib dipatuhi, diataati dan dilaksanakan oleh segenap masyarakatnya. Masyarakat Moronene menerima warisan leluhur untuk hidup mekalolaro yaitu untuk hidup saling menyayangi, menghargai dan taat kepada adatnya tersebut. Barangsiapa yang melanggar adat ia pasti akan dikutuk oleh adat dan dikucilkan dari masyarakat itu sendiri. Tanah

(31)

- 26 -

Moronene sebagai tanah leluhur dipercayai sebagai barakatino wonua yang disebut

Lipu i Bombana Wita i Moronene yaitu negeri yang diberkahi dan diberi karamah

oleh Tuhan. Pandangan hidup yang teraplikasi pada tatanan kehidupan maupun tradis masyarakat Moronene dan menjadi pemersatu masyarakat hukum adat Moronene yaitu kato measa laro wangusako wonua, kato pohedo samaturu yang berarti kita satukan hati untuk membangun negeri, kita bekerjasama membangun rasa, adanya perangkat adat yang menjaga dan menangani urusan kehutanan yaitu

Totongano Inalahi dan yang utama seluruh masyarakat hukum adat Moronene

berperan turut mengawasi kelestarian hutan di kampong Hukaea Laea.

Saran

Kelestarian hutan pada kawasan masyarakat hukum adat Moronene menunjukkan bahwa kearifan lokal masyarakat Moronene dalam pengelolaan hutan memiliki peran penting dalam menjaga habitat hutan sehingga merupakan hal yang esensial dan utama untuk menjadi landasan atau dasar dalam program-program pengelolaan hutan baik skala nasional maupun internasional.

Kearifan lokal masyarakat hukum adat hendaknya tidak hanya menjadi wacana perbincangan karena secara formal Negara telah memberikan pengakuan akan keberadaan masyarakat hukum adat beserta dengan kearifan lokalnya. Seharusnya kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan dapat teradopsi dalam pengaturan atau kebijakan hukum nasional karena kearifan lokal itu lahir dari proses adaptasi masyarakat dan alam.

(32)

- 27 - DAFTAR ACUAN

Manan, A. (2006). Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana.

Ali, A. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence), Jakarta: Kencana.

Redi, A. (2014). Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, Jakarta: Sinar Grafika.

Prastowo, A. (2011). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan

Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Ariyanto, et all. (2014). “Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan di Desa Rano Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala”. Warta

Rimba Vol. 2 Nomor 2, Desember 2014.

Nugroho, B.D.. (2015). Hukum Adat Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya

Alam Kehutanan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Hukum Adat.

Bandung: PT Refika Aditama.

Patittingi, F. (2013). “Prinsip Keadilan Sosial Dalam Sistem Tenurial Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia”, Bhumi Jurnal Ilmiah

Pertanahan PPPM-STPN, Nomor 38 Tahun 12, Oktober 2013, Yogyakarta.

Suseno, F.M. (1992). Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius.

Nurtjahjo, H. dan Fuad, F. (2010). Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum

Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi, Salemba Humanika,

Jakarta.

Thontowi, J. et all,. (2012). Aktualisasi Masyarakat Hukum Adat (MHA) : Perspektif

Hukum dan Keadilan Terkait Dengan Status MHA dan Hak-Hak Konstitusionalnya, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Dingit, L.B. (1999). Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat : Kepastian Hukum

Kawasan Tanah Adat, dalam Prosiding Sarasehan Masyarakat Adat Nusantara Tahun 1999 : Menggugat Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara (Sarasehan Masyarakat Adat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumardjono, M.S.W. (1989). Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: tanpa penerbit.

_______, et all. (2011). Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia Anatar Yang

Tersurat dan Tersirat, Kajian Kritis Undang-Undang Terkait Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam. Yogyakarta:Fakultas Hukum UGM dan

(33)

- 28 -

Ahyani, M. (2011) Pengaruh Kegiatan Penambangan Emas Terhadap Kondisi

Kerusakan Tanah Pada Wilayah Pertambangan Rakyat di Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara, Tesis, Semarang:Program Pascasarjana

Universitas Diponegoro.

Marfaim.M.A. et all. (2015). Peran Kearifan Lokal Dan Modal Sosial Dalam

Pengurangan Risiko Bencana dan Pembangunan Pesisir, Integrasi Kajian Lingkungan, Kebencanaan, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Ridwan. N.A. (2007). “Landasan Keilmuan Kearifan Lokal”, Ibda Jurnal Studi

Islam dan Budaya. STAIN Purwokerto, Purwokerto.

Rosadi, O. (2012). Quo Vadis Hukum, Ekologi dan Keadilan Sosial. Yogyakarta: Thafa Media.

Safa’at, R. et all. (2015). Relasi Negara dan Masyarakat Adat, Malang: Surya Pena Gemilang.

Limba, R.S. et all. (2015). Sejarah Peradaban Moronene, Yogyakarta: Lukita. ______. (2016). Kearifan Lokal Masyarakat Moronene: Pola Konservasi Hutan

Dalam Sistem Pertanian Ladang, Ringkasan Disertasi. Kendari:Program

Pascasarjana UHO.

Samekto, et all. (2015). Membangun Politik Hukum Sumber Daya Alam Berbasis

Cita Hukum Indonesia, Yogyakarta: Thafa Media.

Saini, K.M. (2005). Kearifan Lokal di Aras Global. Jakarta:Kompas. 30 Juli 2005. Rahardjo, S. (2010). Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan

Masalah, Yogyakarta: Genta.

Badriyah, S.M. (2016). Sistem Penemuan Hukum Dalam Masyarakat Prismatik. Jakarta: Sinar Grafika.

Rangkuti, S.S. (2008). Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum

Lingkungan, Surabaya: Airlangga University Press.

Murhaini, S. (2012). Hukum Kehutanan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan

Bidang Kehutanan. Yogyakarta: Laksbang Grafika.

Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara; Sebuah Kajian Filsafat, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.

Rukka, S. (2013). “Kearifan Lokal dan Kesadaran Hukum”, Jurnal Al Risalah Volume 13.

Prasetyo, T. dan Barakatullah, A.H. (2013). Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum:

Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Setiady, T. (2015). Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, Bandung: Alfabeta.

(34)

- 29 -

Baka, W.K. (2016). Degradasi Kearifan Lokal Etnik Muna Dalam Pengelolaan

Pertanian, Ringkasan Disertasi, Kendari:Pascasarjana UHO.

Eta, Y. (2014). “Rancangan Undang-Undang Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Ditinjau Dari Aspek Benefits Pasal 8J UNCBD”. Jurnal

Arena Hukum, Vol. 7, No. 3, Desember 2014, Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya, Malang.

Biodata Penulis:

(35)
(36)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Perlu diadakan manajemen pendampingan guru lanjutan untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas kompetensi pedagogik dan kompetensi professional guru-guru mata

Kebanyakan daripada pesantren tersebut menjadi pusat orientasi (anutan) orang ramai. Sebelum komunikasi berkembang pesat seperti sekarang, institusi ini menjadi pusat

Hal ini sesuai dengan pernyataan Syahrir dan Abdeli (2005) bahwa peningkatan kandungan serat kasar diduga disebabkan karena makin lama fermentasi, maka miselium

f). Konseling konseling tentang pemanfaatan pekarangan g). Konseling tentang gizi seimbang.. Pengukuran berat badan balita gizi kurang untuk mengetahui tingkat perkembangan

Menurut Mike Jefferies dan Ken Been (2006), potensi likuifaksi dapat terlihat dari garis critical state ini, di mana area di atas garis merupakan keadaan di mana

2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Kecamatan adalah Wilayah kerja camat sebagai perangkat

Uraian ini menjadi suatu penilaian bagi suatu organisasi dalam menunjukkan kualitas layanan kepada setiap orang yang diberi pelayanan sesuai dengan bentuk-bentuk kepuasan

Larangan pemilikan tanah secara absentee yang telah ditentukan dalam Pasal 10 UUPA, belum dapat dilihat hasil secara signifikan. Walaupun data yang pasti belum dapat