• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tidur a. Pengertian Tidur

Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup (Asmadi, 2008). Menurut Tarwanto dan Wartonah (2006), tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa kesadaran, penuh ketenangan, tanpa kegiatan, dan merupakan urutan siklus yang berulang-ulang, serta masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda.

Tidur sama halnya dengan kebutuhan manusia lainnya seperti bernapas, makan dan minum. Seringkali tidur dipandang sebagai keadaan di mana tubuh tidak aktif, sebenarnya tidur merupakan keadaan aktif, penting dan involunter, dimana tanpa tidur orang tidak dapat berfungsi secara efektif. Secara primer, tidur memiliki peran tersendiri bagi otak. Selama tidur otak dapat memproses informasi, memperkuat memori, mengelompokkan informasi yang telah ada dan memberikan kesempatan dirinya untuk belajar dan berfungsi secara efektif pada siang hari. Tidur juga memengaruhi kemampuannya

(2)

commit to user

dalam menggunakan bahasa, mempertahankan konsentrasi, memahami apa yang dibaca, dan menyimpulkan apa yang didengarkan. Selain itu, tidur juga memengaruhi sistem imun tubuh (Robotham, 20011).

b. Fisiologi Tidur

Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Regional (BSR) yang terletak pada batang otak. RAS ini terletak dalam mesenfalon dan bagian atas Pons. RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. Selain itu RAS dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di Pons dan batang otak tengah, yaitu BSR (Potter dan Perry, 2005).

Tidur disebabkan oleh proses penghambatan aktif. Bila pusat tidur tidak diaktifkan, nuklei pengaktivasi RAS akan terbebas dari inhibisi dan menjadi aktif secara spontan. Keadaan ini selanjutnya akan merangsang korteks serebri dan sistem saraf perifer, yang keduanya kemudian mengirimkan umpan balik positif ke RAS agar

(3)

commit to user

sistem ini terus aktif. Oleh karena itu, begitu timbul keadaan siaga ada kecenderungan untuk mempertahankan keadaan ini. Setelah aktif selama beberapa jam, neuron-neuron pengirim umpan balik positif tersebut mulai letih dan respon umpan balikpun menjadi memudar. Selanjutnya timbul perangsang tidur dari pusat tidur mulai mengambil alih dan timbul peralihan yang cepat dari keadaan siaga menjadi keadaan tidur (Guyton, 2007).

Pada manusia, jumlah waktu yang diperlukan seseorang untuk tidur berbeda-beda tergantung pada faktor-faktor tertentu dan usianya. Waktu yang dibutuhkan neonatus rata-rata 15-18 jam dan tidak dipengaruhi oleh circadian ryhtm. Waktu tersebut akan berkurang hingga 13-14 jam setelah satu tahun. Remaja memerlukan waktu tidur lebih lama daripada orang dewasa, yang dimungkinkan oleh perubahan fisiologis yang sedang terjadinya pada tubuhnya. Remaja usia 12-18 tahun memerlukan tidur 8-9 jam per hari. Saat seseorang mencapai tahap dewasa, dirinya cenderung memerlukan waktu tidur 7-8 jam per hari (Robotham, 2011 ; Benaroch, 2012).

c. Tahapan Tidur

Pada hakikatnya tidur dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu tidur dengan gerakan bola mata cepat (Rapid Eye Movement-REM), dan tidur dengan gerakan bola mata lambat

(Non-Rapid Eye Movement-NREM). Berdasarkan pola pada

(4)

commit to user

yaitu N1, N2, dan N3. N3 disebut juga Slow Wave Sleep (SWS) atau tidur dalam dan terdiri dari fase 3 dan 4 pada penggolongan yang terdahulu. Pada orang dewasa, tidur terdiri dari sekitar 5% bangun, 5% N1, 50% N2, 15% N3, dan 25% tidur REM (Jain dan Glauser, 2014). Tiap proses tidur melewati fase NREM yang tebagi menjadi 3 tahap dan fase REM, keempat tahap tersebut berlangsung dalam satu siklus yang berlangsung sekitar 90 menit (Atmadja, 2010).

Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau paradoksial. Hal tersebut berarti tidur REM ini sifatnya nyeyak sekali, namun fisiknya yaitu gerakan kedua bola matanya bersifat sangat aktif. Tidur REM ini ditandai dengan mimpi, otot-otot kendor, tekanan darah bertambah, gerakan mata cepat, sekresi lambung meningkat, ereksi penis, gerakan otot tidak teratur, kecepatan jantung, dan pernafasan tidak teratur. Gejala-gejala yang terlihat ketika mengalami kehilangan tidur REM yaitu cenderung hiperaktif, kurang dapat mengendalikan diri dan emosi, nafsu makan bertambah, bingung, dan curiga (Asmadi, 2008).

Tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan dalam. Pada tidur NREM gelombang otak lebih lambat dibandingkan pada orang yang sadar atau tidak tidur. Tanda-tanda tidur NREM antara lain: mimpi berkurang, keadaan istirahat, tekanan darah turun, kecepatan pernapasan turun, metabolisme turun, dan gerakan bola mata lambat (Asmadi, 2008). Fase tidur NREM ini biasanya berlangsung antara 70

(5)

commit to user

menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat menjelang pagi atau bangun (Japardi, 2002).

d. Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Aktivitas saat terjaga, termasuk kewaspadaan mental, produktivitas, keseimbangan emosi, kreativitas, tanda vital fisik dan bahkan berat badan secara langsung dipengaruhi oleh kualitas tidur (Smith, 2012). Kualitas tidur dapat dianalisis melalui pemeriksaan Elektroensofalogram (EEG), gerakan mata dan gerakan otot. Pada tahap terjaga, EEG menunjukkan voltase rendah dengan gelombang acak dan cepat. Ada beberapa tipe gelombang dalam EEG yaitu gelombang alfa, beta, teta dan delta (Stanley, 2006). Kualitas tidur sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah kuantitas tidur yang cukup, keadaan kamar tidur, ada tidaknya stres, ada tidaknya masalah psikologis (seperti depresi, stres, schizophernia, dan lain-lain), aktivitas yang dilakukan saat siang hari, obat dan makanan yang dikonsumsi saat siang hari dan lainnya.

(6)

commit to user

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk antara lain gangguan tidur seperti insomnia, osteoporosis, diabetes, stres, konsumsi alkohol, kafein dan nikotin (Robotham, 2011; Mote, 2010). Faktor yang dapat menyebabkan kualitas tidur membaik antara lain olah raga teratur, mengkondisikan kamar tidur menjadi nyaman dan mengonsumsi nasi gandum (Robotham, 2011; Soong, 2011).

2. Rokok

a. Kandungan Rokok

Bahan utama yang digunakan untuk membuat rokok adalah tembakau yang sudah dikeringkan. Sekitar 2500 komponen kimia terdapat pada tembakau yang siap dibuat rokok, yaitu tembakau yang telah selesai proses fermentasi selama 1-3 tahun. Dari semua komponen tersebut sebanyak 1100 komponen diturunkan menjadi asap tanpa perubahan akibat pembakaran sedangkan 1400 lainnya mengalami dekomposisi dan bereaksi dengan komponen lain membentuk komponen baru (Rodgman dan Perfetti, 2006). Tembakau dengan mutu yang baik umumnya mengandung kadar nikotin tinggi, asam-asam lemak, minyak atsiri, dan bahan organik lain yang fungsinya memberikan rasa dan aroma saat dibakar (Tirtosastro dan Murdiyati, 2009).

Pada prinsipnya merokok adalah menikmati asap nikotin pada tembakau yang dibakar (Tirtosastro dan Murdiyati, 2009). Nikotin memiliki efek adiktif dan psikoaktif, sehingga dapat menyebabkan

(7)

commit to user

rasa kenikmatan, kecemasan berkurang, toleransi dan keterikatan fisik. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sekali merokok susah untuk berhenti (Gondodiputro, 2007). Asap rokok memiliki sekitar 4800 macam komponen kimia yang telah teridentifikasi. Dari komponen kimia ini telah diidentifikasi yang membahayakan kesehatan antara lain tar, nikotin, gas CO dan NO yang dihasilkan oleh tanaman tembakau, dan beberapa bahan residu yang terbentuk saat penanaman, pengolahan, dan penyajian (Tirtosastro dan Murdiyati, 2009).

b. Perilaku Merokok

Perilaku merokok adalah suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok kemudian menghisapnya dan menghembuskannya ke luar sehingga asap tersebut juga dapat terhisap oleh orang-orang di sekitarnya (Nasution, 2007). Menurut Sitepoe (2000), merokok adalah membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Saat pertama kali mengonsumsi rokok umumnya seseorang akan mengalami gejala batuk-batuk, lidah terasa getir, dan mual, akan tetapi gejala tersebut biasanya akan diabaikan. Perokok cenderung akan terus melanjutkan kegiatan merokoknya dan akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan ini sering kali dipersepsikan sebagai kenikmatan yang memberikan kepuasan psikologis (Amelia, 2009).

(8)

commit to user

Saat ini perilaku merokok telah umum dijumpai di masyarakat. Perokok berasal dari berbagai kelas sosial, status, serta kelompok umur yang berbeda, salah satu penyebabnya mungkin karena rokok mudah ditemukan dan didapatkan di mana saja (Nasution, 2007). Proses globalisasi menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi di berbagai kawasan dunia dan memberikan dampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial dan budaya. Kondisi demikian sangat rentan terhadap stres, anisietas, konflik, ketergantungan terhadap Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) termasuk rokok (Depkes RI, 2010).

Data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2011 menyebutkan bahwa persentase perokok aktif di Indonesia mencapai 67% (laki-laki ) dan 2.7% (perempuan) dari jumlah penduduk, terjadi kenaikan 6 tahun sebelumnya perokok laki-laki sebesar 53 %. Indonesia menduduki posisi pertama dengan prevalensi perokok aktif tertinggi, dibandingkan dengan India (2009): laki-laki 47.9% dan wanita 20.3 %; Philippines (2009): laki-laki 47,7 % dan wanita 9,0%; Thailand (2009): laki-laki 45,6% dan wanita 3,1%; Vietnam (2010): 47,4% laki-laki dan 1,4% wanita; Polandia (2009): 33,5% laki-laki dan 21.0% wanita) (Depkes, 2012).

c. Hubungan Merokok dengan Kualitas Tidur

Dalam pengaturan homeostatis, zat penginduksi tidur yang terakumulasi ketika seseorang dalam keadaan bangun dapat

(9)

commit to user

meningkatkan aktivitas neuron yang mendorong tidur sekaligus menurunkan aktivitas neuron yang menyebabkan seseorang terjaga. Terkait dengan konsumsi rokok, terjadi peningkatan aktivitas saraf yang dipicu oleh hormon dopamin dan terjadi pengaktifan jalur adrenergik. Nikotin yang terkandung pada rokok akan ditangkap oleh reseptor asetilkolin nikotinik. Asetilkolin dilepaskan di medula adrenal dan berinteraksi dengan reseptor nAChRs pada sel kromafin untuk menghasilkan depolarisasi lokal yang mengakibatkan pelepasan norepinefrin secara eksositosis. Pelepasan norepinefrin menyebabkan terjadinya respon simpatomimetik seperti vasokonstriksi, takikardi dan tekanan darah tinggi (Mushoffa, 2012 ; Gondodiputro, 2007).

Selain memicu pelepasan norepinefrin, nikotin juga memicu pelepasan hormon dopamin. Dopamin memiliki efek memberikan rasa tenang, meningkatkan mood, meningkatkan konsentrasi, memacu otak untuk lebih keras bekerja, memberi rasa segar, menghilangkan rasa kantuk, dan memacu aktivitas kognitif lainnya (Fellous dan Suri, 2002). Dalam tahap ini terjadi kontradiksi, di mana seseorang yang sebenarnya ingin tidur atau masuk dalam kondisi bawah sadar mengalami kesulitan karena proses mental atau aktifitas kognitifnya tidak bisa dihentikan. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas tidur dan gangguan tidur (Putra, 2013).

(10)

commit to user

3. Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur yang sifatnya reliabel, valid, dan terstandarisasi. Penggunaannya didasarkan untuk mengukur kualitas tidur selama kurang lebih sebulan terakhir dan mengklasifikasikannya sebagai kualitas tidur yang baik atau buruk. Beberapa cakupan dalam skoring PSQI meliputi kulitas tidur subjektif, masa laten tidur, durasi tidur, kebiasaan efisiensi tidur, gangguan tidur, dan disfungsi pada siang hari. PSQI mengalami revisi pada sistem penilaian pada tahun 2005 (Rush et al., 2000 ; Busse, 1998).

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) tersusun atas 19 pertanyaan. Lima belas pertanyaan pilihan ganda untuk diri-sendiri menanyakan frekuensi gangguan tidur dan kualitas tidur subjektif serta empat pertanyaan uraian menanyakan tentang jam tidur, jam bangun, masa laten tidur, dan durasi tidur. Lima pertanyaan untuk teman sekamar atau pasangan tidur merupakan soal pilihan ganda yang berfungsi untuk menilai gangguan tidur. Adapun pertanyaan diri-sendiri saja yang dihitung dalam skor (Busse, 1998).

Setiap komponen pertanyaan mempunyai rentang nilai antara 0 sampai 3. Nilai 0 berarti jika seorang tidak mengalami kesulitan sedangkan nilai 3 merupakan nilai maksimum untuk kesulitan yang berat. Tiap komponen dijumlahkan dan menghasilkan nilai total yang berkisar antara 0-21. Total nilai PSQI > 5 menunjukkan seseorang mengalami

(11)

commit to user

kualitas tidur yang buruk. Hal ini signifikan dengan sensitivitas diagnostik 89,6 % dan spesifitas 86,55 (kappa = 0,75; p < 0.001) (Backhause et al., 2002).

(12)
(13)

commit to user

C. Hipotesis

Ada perbedaan kualitas tidur pada mahasiswa yang merokok dengan yang tidak merokok di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Referensi

Dokumen terkait

Adiksi kafein adalah penggunaan kafein yang dapat menyebabkan intoksikasi, ansietas, gangguan tidur, ketergantungan dan keadaan putus kafein. Faktor-faktor yang mempengaruhi

(2011), penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelompok lansia adalah: gangguan pembuluh darah (dari hipertensi sampai stroke), gangguan metabolik (diabetes mellitus),

kualitas tidur jika seseorang tidur dengan waktu yang cukup, tidur dengan. nyenyak, tidak memiliki gangguan tidur saat akan tidur

Gangguan tidur memiliki kaitan erat dengan kejadian ansietas, stres psikososial, dan gangguan afek. 29 Gangguan tidur anak-anak berbeda dengan orang dewasa.

Tetapi pada individu yang tidak tergantung atau tidak terbiasa dengan alkohol, konsumsi alkohol dalam jumlah kecil dapat mempengaruhi ataupun mengganggu

Dari beberapa faktor – faktor kelahiran prematur diatas stres merupakan salah satu faktor disamping faktor-faktor medis lainnya yang dapat menyebabkan bayi lahir

Patchouli alkohol merupakan sesquiterpen alkohol yang dapat diisolasi dari minyak nilam dan mempunyai sifat tidak larut dalam air, larut dalam alkohol, eter maupun pelarut

Kekurangan tidur terjadi sebagai akibat dari sejumlah masalah tidur yang tidak diobati termasuk jadwal tidur yang tidak mencukupi, insomnia, sleep apnea, nakolepsi, gangguan kerja