• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Taylor (2009 dalam Muttaqin, 2008) koping didefenisikan sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Taylor (2009 dalam Muttaqin, 2008) koping didefenisikan sebagai"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 1. Koping Nyeri

1.1 Pengertian koping

Menurut Lazarus dan Folkman (1989) koping adalah suatu proses dimana individu mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Taylor (2009 dalam Muttaqin, 2008) koping didefenisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan internal maupun eksternal dari situasi yang menekan. Menurut Baron dan Byrne (1991 dalam Rasmun, 2004) menyatakan bahwa koping adalah respon individu untuk mengatasi masalah, respon tersebut sesuai dengan apa yang dirasakan dan dipikirkan untuk mengontrol, mentolerir dan mengurangi efek negatif dari situasi yang dihadapi.

Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam. Upaya individu dalam menyelesaikan masalah dapat berupa perubahan cara berfikir (kognitif), perubahan prilaku atau perubahan lingkungan yang bertujuan untuk menyelesaikan stres yang dihadapi (Keliat, 1999). Koping dapat didefenisikan melelui respon, menifestasi (tanda dan gejala) dan pernyataan klien dalam wawancara. Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek baik fisiologi dan psikologi sosial (Keliat, 1999).

(2)

Koping merupakan upaya perilaku dan kognitif seseorang dalam menghadapi ancaman fisik dan psikososial (Stuart & Laraia, 2005). Koping yang efektif akan menghasilkan adaptasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa koping adalah segala usaha individu untuk mengatur tuntutan lingkungan dan konflik yang muncul, mengurangi ketidaksesuaian/ kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan individu dalam memenuhi tuntutan tersebut.

1.2 Pengertian koping nyeri

Koping nyeri didefinisikan sebagai upaya untuk mengatasi nyeri yang dinilai berat atau melebihi sumber individu (International Association for the Study of Pain (IASP), 2009). Upaya mengatasi nyeri biasanya melibatkan kognitif dan perilaku untuk mengatasi, menangani, dan meminimalkan rasa sakit.

1.3 Respon koping

Respon koping dapat dibagi menjadi dua, yaitu: koping adaptif merupakan keadaan dimana seseorang secara berulang memproyeksikan evaluasi diri positif berdasarkan pola perlindungan diri yang bertahan terhadap ancaman-ancaman dasar yang dirasakan terhadap penghargaan diri positif, sedangkan respon koping maladaptif adalah kelainan atau kerusakan perilaku adaptif dalam kemampuan memecahkan masalah dari seseorang dalam memenuhi kebutuhan tuntutan dalam peran hidup (Mu’tadin, 2000).

1.4 Jenis Koping nyeri

Menurut John Ektor-Andersen et al (2002) membagi koping nyeri menjadi 2 dimensi dan 8 skala, yaitu: (1) usaha koping berfokus penyakit, yang terdiri dari: penjagaan, istirahat dan meminta bantuan. (2) usaha koping berfokus

(3)

kesehatan, yang terdiri dari: relaksasi, tugas ketekunan, latihan dan peregangan, pernyataan menyemangati diri sendiri dan mencari dukungan sosial.

Namun, yang lebih sering digunakan adalah:

1.4.1 Penjagaan, penjagaan adalah pembatasan penggunaan atau gerakan bagian tubuh.

1.4.2 Latihan dan peregangan, merupakan melakukan penguatan otot atau kegiatan peregangan. Untuk peregangan seseorang harus melakukan peregangan setidaknya selama 10 detik. Untuk latihan seseorang dapat menunjukan penggunaan satu dari sejumlah peregangan otot atau latihan untuk kondisi aerobik.

1.4.3 Pernyataan menyemangati diri sendiri. Adalah dengan sengaja memikirkan pikiran-pikiran positif tentang sakit. Pikiran ini bisa

meliputi bagaimana seseorang dapat mengatasi atau mengelola rasa sakit, bagaimana hal ini dapat mengurangi waktu, bagaimana

seseorang bisa berada dalam keadaan yang agak lebih baik karena masalah sakitnya, bagaimana seseorang bisa diuntungkan saat dibandingkan dengan kondisi orang lain, bagaimana seseorang sama dengan (atau bisa sama) orang lain dapat mengatasi rasa sakitnya lebih baik atau dengan kemalangan/cacat, atau memikirkan tentang orang lain untuk mendapatkan harapan dan inspirasi.

(4)

1.4.4 Mencari dukungan sosial, merupakan mencari seorang teman atau seseorang yang dicintai untuk teman bicara di telepon atau secara empat mata dikala sakit. Topik pembicaraan bisa atau tidak berhubungan dengan penyakit.

1.4.5 Istirahat, merupakan tindakan beristirahat aktivitas terhadap respon terhadap nyeri, seperti berbaring, duduk, memperlambat berbaring, atau pergi ke sebuah ruangan gelap atau sepi.

1.5 Pengukuran koping nyeri

Koping Nyeri dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan The Chronic Pain Coping Inventory (CPCI) Scale yang didesain oleh John Ektor-Andersen et al pada tahun 2002. Skala ini terdiri dari 42 pernyataan yang mengindikasikan koping nyeri berfokus penyakit dan koping nyeri berfokus kesehatan, yaitu: penjagaan, latihan dan perengangan, menanggulangi pernyataan sendiri, mencari dukungan sosial dan istirahat. Responden mengidentifikasi tingkat persetujuan mereka pada setiap pernyataan dalam kuesioner apakah sesuai atau tidak sesuai dengan diri responden. Penilaian setiap pernyataan dalam kuesioner menggunakan skala likert dengan 4 poin (tidak pernah (TP): 1, kadang-kadang (KK): 2, sering (S): 3, dan sangat sering (SS): 4).

2. Konsep Nyeri

2.1 Pengertian nyeri

Menurut The International Association for the Study of Pain (1979 dalam Prasetyo, 2010), nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, atau

(5)

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri adalah pengalaman sensori dan emsional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2002).

2.2 Penyebab nyeri

Penyebab nyeri dapat diklasifikasi ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik misalnya, penyebab nyeri trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah, dan lain-lain. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh adanya trauma psikologi. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka. Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas, dingin. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri (Asmadi, 2008).

Nyeri yang disebabkan faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Nyeri yang disebabkan oleh faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Nyeri karena faktor ini disebut juga psychogenic pain (Asmadi, 2008).

2.3 Fisiologi nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Untuk memudahkan memahami fisiologi nyeri, maka perlu menjelaskan tiga komponen fisiologis yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Resepsi merupakan proses

(6)

perjalanan nyeri, persepsi adalah kesadaran seseorang terhadap nyeri, sedangkan reaksi adalah respon fisiologis dan perilaku setelah mempersepsikan nyeri. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer.

Serabut saraf memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri yang dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri (Mc. Nair, 1990 dalam Potter dan Perry, 2005).

2.4 Klasifikasi nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

2.4.1 Klasifikasi berdasarkan durasi (lamanya) nyeri a. Nyeri Akut

Nyeri akut terjadi secara tiba-tiba setelah terjadinya cedera atau penyakit akut, dan tetap ada sampai periode penyembuhan terjadi (Lewis et al, 2000). Nyeri akut akan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak (Potter & Perry, 2006). Umumnya nyeri akut akan berkurang dalam waktu kurang dari 6 bulan (Brunner & Suddarth, 2002).

Nyeri akut dapat diakibatkan oleh trauma, bedah atau inflamasi, seperti saat sakit kepala, sakit gigi, tertusuk jarum, terbakar, nyeri otot,

(7)

nyeri saat melahirkan, nyeri sesudah tindakan pembedahan, dan yang lainnya. Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas system saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang, kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai (Prasetyo, 2010).

Nyeri apabila tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar ketidaknyamanan dan mengganggu. Nyeri akut yang tidak reda dapat mempengaruhi system pulmonary, kardiovaskuler, gastrointentestinal, endokrin, dan imunologik (Benedetti et al 1984; Yeager et al, 1987 dalam Brunner & Suddarth, 2002). Ini dipengaruhi juga dengan adanya respon stress pada individu yang mengalami trauma (Brunner & Suddarth, 2002).

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter & Perry, 2006).

Nyeri kronik dapat disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol atau pengobatan kanker tersebut, atau gangguan progresif lain, yang disebut dengan nyeri maligna. Nyeri ini dapat berlangsung terus sampai kematian (Potter & Perry, 2006). Nyeri kronis bersifat konstan atau intermiten yang bertahan selama periode waktu yang lama. Hal ini dapat

(8)

berlangsung jauh dari waktu penyembuhan yang diharapkan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab spesifik atau cedera. Pengobatan nyeri kronis sulit karena penyebab nyeri atau asal nyeri tersebut tidak jelas. Namun, jika berlanjut dapat menjadi gangguan utama (Brunner & Suddarth, 2000).

Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik non maligna dan maligna (Potter dan Perry, 2005). Nyeri kronis non-maligna seperti nyeri punggung bagian bawah, merupakan akibat dari cedera jaringan yang tidak sembuh atau yang tidak progresif. Akan tetapi nyeri tersebut berlangsung terus dan sering kali tidak berespon terhadap pengobatan yang dilakukan. Sering kali penyebab nyeri non-maligna tidak diketahui. Daerah yang mengalami cedera mungkin telah memulih sejak lama, tetapi nyeri menetap (Meinhart dan McCaffery (1983 dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri kronik non-maligna disebut juga dengan chronic benign pain.

McCaffery dan Pasero (1997 dalam dalam Prasetyo, 2010), mengidentifikasi tiga karakteristik khusus pada nyeri kronis non-maligna yaitu: (1) nyeri ini berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak mengancam kehidupan klien, (2) nyeri kronik non-maligna tidak begitu responsive terhadap metode-metode pembebasan nyeri, (3) dapat berlanjut pada sisa kehidupan klien.

Sementara nyeri kronik maligna yang disebut juga nyeri kanker memiliki penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi yaitu terjadi akibat

(9)

perubahan pada saraf, perubahan ini terjadi bisa karena penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri (Portenoy, 2007). Penyakit-penyakit yang termasuk dalam nyeri kronik non-maligna adalah neuralgia, low back pain, rheumatoid arthritis, ankylosing spondilitis, nyeri phantom, myofascial pain syndrome (Prasetyo, 2010). Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, anoreksia, penurunan berat badan, depresi, putus asa dan kemarahan (Potter & Perry, 2006).

2.4.2 Klasifikasi berdasarkan lokasi nyeri

Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu:

a. Nyeri Superfisial/ Kutaneus

Nyeri kutaneus berasal dari kulit atau jaringan subkutan, misalnya: teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar (Kozier et al, 2010). Ada dua tipe nyeri superfisial yakni: (1) nyeri yang terjadi secara tiba-tiba dan dengan kualitas nyeri yang tajam dan perih dan (2) nyeri dengan onset yang lebih lambat dan terdapat nyeri terbakar. Nyeri kutaneus relative tidak sulit karena hal ini dapat langsung dirasakan dan terlokalisasi sehingga individu dengan tepat dapat mengetahui lokasi nyeri (Luckman & Sorrensen, 1993).

b. Nyeri Somatik Profunda

Nyeri ini berasal dari ligament, tendon, tulang, pembuluh darah, dan saraf. Nyeri somatik profunda cenderung berlangsung lebih lama

(10)

dibanding nyeri kutaneus (Kozier et al, 2010). Nyeri somatik merupakan fenomena nyeri yang rumit, melibatkan otot dan tulang. Nyeri somatik tidak terlokalisasi, dapat menyebabkan nausea, sering kali berhubungan dengan perubahan tekanan darah. Nyeri somatik berasal dari struktur yang dalam dan sifatnya menyebar (Luckmann & Sorrensen, 1993).

c. Nyeri Visceral

Nyeri viseral berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan toraks. Nyeri visceral cenderung menyebar dan sering kali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri visceral sering kali disebabkan oleh perengan jaringan, iskemia atau spasme otot. Misalnya obstruksi usus akan menyebabkan nyeri visceral (Kozier et al, 2010).

3. Intensitas Nyeri

3.1 Pengertian intensitas nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013). Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

(11)

3.2 Intensitas nyeri

Intensitas nyeri (tingkat keparahan) dapat dibagi menjadi: 3.2.1 Nyeri ringan

Nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Individu secara objektif mampu berkomunikasi dengan baik. Skala nyeri pada nyeri ringan adalah ≤ 4. Pengukuran nyeri dengan menggunakan skala numerik (Backonja et al, 2010).

3.2.2 Nyeri sedang

Nyeri yang timbul dengan intensitas nyeri sedang. Pada nyeri sedang secara objektif pasien mendesis, menyeringai dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. Skala nyeri berkisar antara 5-6 dalam skala nyeri numerik (Backonja at al, 2010).

3.2.3 Nyeri berat

Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat. Pada nyeri berat secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tetapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang. Skala nyeri di atas 7, dengan skala nyeri numerik (Backonja et al, 2010).

(12)

3.3 Pengukuran intensitas nyeri

3.3.1 Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy dan Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical Prosedures and Trauma, 1992, dalam Brunner dan Suddart, 2001 terdiri atas tiga bentuk, yaitu:

a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Nyeri nyeri berat berat tidak

terkontrol terkontrol

Keterangan: Pada skala verbal: 0: tidak nyeri, 1-3: nyeri ringan, 4-6: nyeri sedang, 7-9: nyeri terkontrol, 10: nyeri hebat tidak terkontrol

Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri

(13)

terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2007).

b. Skala Intensitas Nyeri Numerik

Keterangan: 0: tidak nyeri, 1-9: nyeri sedang yang kriterianya dapat ditentukan, 10: nyeri hebat tidak tertahankan

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Tamsuri, 2007).

c. Skala Analog Visual

Tidak Nyeri sangat

nyeri hebat

Keterangan: 0= tidak nyeri, 10= nyeri sangat hebat

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan

(14)

pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tetapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

3.3.2 Skala Nyeri Menurut Bourbanis

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Nyeri

Nyeri berat berat tidak

terkontrol terkontrol

Keterangan: 0: Tidak nyeri, 1-3: Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik, 4-6: Nyeri sedang: Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik, 7-9: Nyeri berat: secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, 10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

(15)

3.3.3 The Pain Numerical Rating Scale (PNRS)/Skala Numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri

Nyeri Berat

PNRS digunakan untuk ukuran intensitas nyeri (segera atau sekarang). Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada nyeri” dan 10 menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan dengan nyeri ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat (Serlin dkk, 1995 dalam Harahap, 2007).

4. Hubungan Koping Nyeri dengan Intensitas Nyeri pada Pasien Nyeri Kronik

Nyeri kronis berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan (McCaffery, 1986 dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri kronis dapat mengakibatkan klien frustasi dan sulit bagi individu untuk menghadapinya. Pasien dengan nyeri kronik mungkin terlihat sangat takut, cemas, lelah, dan depresi. Banyak individu yang mengalami nyeri kronis menjadi putus asa dan mengasingkan diri mereka. Nyeri melelahkan individu baik secara fisik dan mental (Luckman & Sorensen, 1993).

Tingkat koping nyeri yang tinggi dapat ditandai dengan intensitas nyeri yang dirasakan pasien dapat berkurang. Sebaliknya, koping nyeri yang rendah menandakan intensitas nyeri yang dirasakan pasien dapat meningkat.

Referensi

Dokumen terkait

 Diharapkan Pengurus Komisi dapat melaksanakan rapat Komisi untuk menghasilkan program kerja AFEBI 2014- 2015.  Diharapkan Para Ketua Regional

Berdasarkan survei yang dilakukan perusahaan pada tahun 2014 terhadap pelayanan instalasi rawat inap, setiap pasien rawat inap selalu memberikan keluhan terhadap

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum memberikan perbedaan yang nyata terhadap konsumsi bahan kering, konsumsi protein dan retensi protein (P<0,01),

Putri Arsika Nirmala, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: Pengaruh Independensi, Pengalaman, Due Professional Care, Akuntabilitas, Kompleksitas Audit, dan Time

Lauster (Fasikhah, 1994) dalam Hendriana (2009) menyatakan bahwa kepercayaan diri (SE) merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini mencakup lima bab yaitu, bab I pendahuluan, bab II tinjauan pustaka, bab III karakteristik fisik jalan, sistem aktivitas,

Perbedaan kepentingan pada desain bangunan- bangunan tersebut menarik untuk dikaji: Bagaimana pengaruh aspek iklim dalam desain bangunan kuno di kawasan konservasi kota tua

Dalam organisasi pelayanan keperawatan ada beberapa bentuk kegiatan pengarahan yang didalamnya terdapat aplikasi komunikasi, antara lain : Operan adalah mengoperkan