PENGENDALIAN CACAT BENTUK DALAM PENGERINGAN KAYU
DURIAN (Durio zibethinus Murr), KAYU KARET (Hevea brasiliensis
Muell. Arg) dan KAYU KECAPI (Sandoricum koetjape Burm.f. Merr)
Apriansyori Barus
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Deffects Control in the Drying of Durian
Wood, Rubber Wood, and Kecapi
Wood.
Apriansyori Barus1, Trisna Priadi2
INTRODUCTION. Woods supply from natural forest is continously decreasing. It makes chance for developing community forests as the wood supplier for many areas in Indonesia. Commonly, community forest is developed using fast-growing tree species. However the quality of woods are generally lower compared to the commercial woods from natural forest. Therefore, it is necessary to do some kinds of process for improving the woods quality. This study aimed to gain the control techniques of deformation-defects in wood drying process.
MATERIALS AND METHOD. The main materials were durian wood (Durio zibethinus), rubber wood (Hevea brasiliensis), and kecapi wood (Sandoricum koetjape), which were cut from logs (35-40 cm in diameter). The logs were obtained from several sawmills in Cigudeg, Bogor. The testing procedure consisted of three parts: physical properties testing of woods using standard BS: 373-1957; basic drying properties testing based on Terazawa (1965) and deformation control in wood drying process using steaming before drying and borad loading wood drying process.
RESULT. This research proved that all the wood samples had poor drying properties. It indicated that the use of 30 kg loading was the optimal treatment in the drying of durian wood, rubber wood, and kecapi wood to minimize the cupping and twist defects, so the drying properties became rather-good. Four hours steaming before the drying of rubber wood, reduced the collapse defect, so the drying properties became 0.84%/hour. Four hours steaming, before the drying of kecapi wood, reduced collapse defect, so the drying property became good, and accelerated the drying with the reduction rate of water content 0.96%/hour. Six hours steaming before the drying of durian wood minimized the collapse defect, which resulted good drying property and accelerated the drying (1.66%/hour).
Keywords : Wood drying, drying rate, steaming, board loading DHH
RINGKASAN
APRIANSYORI BARUS. Pengendalian Cacat Bentuk Dalam Pengeringan Kayu Durian (Durio zibethinus Murr), Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape Burm.f. Merr). Dibawah bimbingan TRISNA PRIADI
Pasokan kayu dari hutan alam cenderung terus berkurang. Hal ini memberikan peluang untuk mengembangkan hutan rakyat sebagai penghasil kayu. Pada umumnya pengembangan hutan rakyat menggunakan jenis-jenis yang tergolong cepat tumbuh (fast growing species). Kayu-kayu tersebut pada umumya memiliki kualitas yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kayu-kayu komersial dari hutan alam. Oleh karena itu perlu dilakukan proses peningkatan mutu terhadap kayu-kayu tersebut, yang salah satunya adalah dengan teknik pengeringan kayu. Penelitian ini bertujuan mendapatkan teknik pengendalian cacat deformasi (cacat bentuk) dalam proses pengeringan kayu.
Bahan utama yang digunakan adalah kayu durian (Durio zibethinus), kayu karet (Hevea brasiliensis), dan kayu kecapi (Sandoricum koetjape) yang dibuat dari log-log berdiameter antara 35-40 cm, yang diperoleh dari beberapa penggergajian kayu di daerah Cigudeg, Bogor. Adapun prosedur pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bagian yaitu, pengujian sifat fisis kayu menggunakan standar BS: 373-1957; pengujian sifat dasar pengeringan berdasarkan metode Terazawa (1965) dan pengujian pengendalian cacat bentuk dalam pengeringan kayu menggunakan perlakuan pengukusan sebelum pengeringan dan pembebanan pada saat pengeringan.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa kayu yang diteliti memiliki sifat pengeringan yang buruk. Pembebanan 30 kg adalah yang optimal digunakan dalam pengeringan kayu durian, kayu karet, dan kayu kecapi yang dapat menekan cacat cupping dan twist sampai sifat pengeringannya agak baik. Pengukusan 4 jam kayu karet dapat menekan cacat collapse sehingga sifat pengeringannya sangat baik dan dapat mempercepat pengeringan dengan penurunan kadar air (KA) kayu sebesar 0,84 %/jam. Perlakuan pengukusan 4 jam sebelum pengeringan kayu kecapi dapat menekan cacat collapse sehingga sifat pengeringannya menjadi baik, dan dapat mempercepat pengeringan dengan penurunan KA kayu sebesar 0,96 %/jam. Perlakuan pengkusan 6 jam sebelum pengeringan kayu durian dapat menekan cacat collapse sehingga sifat pengeringannya baik dan dapat mempercepat pengeringan dengan penurunan KA kayu sebesar 1,66 %/jam.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ” Pengendalian Cacat Bentuk dalam Pengeringan Kayu Durian (Durio zibethinus Murr), Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape Burm.f. Merr)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atan lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Apriansyori Barus E24070079
Pengendalian Cacat Bentuk dalam Pengeringan Kayu Durian (Durio
zibethinus Murr), Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan
Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape Burm.f. Merr)
APRIANSYORI BARUS E24070079
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
LEMBAR PENGESAHAN
Menyetujui: Dosen Pembimbing
(Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc) NIP. 19670425 199302 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
(Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc) NIP. 19660212 199103 1 002
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Pengendalian Cacat Bentuk dalam Pengeringan Kayu Durian (Durio zibethinus Murr), Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape Burm.f. Merr)
Nama : Apriansyori Barus
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul ”Pengendalian Cacat Bentuk dalam Pengeringan Kayu Durian (Durio zibethinus Murr), Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape Burm.f. Merr)”. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia ke era penuh dengan kemajuan dan ilmu pengetahuan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk karya tulis ini. Penulis berharap karya tulis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat sehingga dapat lebih bijak dalam pemanfaatan hasil hutan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Bogor, Agustus 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Apriansyori Barus, lahir pada tanggal 23 April 1988 di Medan, buah dari kasih sayang Ayahanda Rusli Barus dan Ibunda Nortini Tarigan. Penulis merupakan anak ke-empat dari enam bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh adalah SDN 107436 Kabupaten Deli Serdang pada tahun 1994-2000, SLTP 17 Agustus Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2000-2003, SMA W.R. Supratman II Medan pada tahun 2003-2004, selanjutnya menuruskan SMA di PGRI Cikarang Utara Kabupaten Bekasi pada tahun 2004-2006. Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan diterima di program Studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi Himasiltan IPB (2008-2010), dan Asrama Sylvasari IPB (2008-2011). Penulis melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) Jalur Kamojang-Sancang Jawa Barat, Praktik Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan KPH Tanggeung, Cianjur Selatan, Jawa Barat. Selanjutnya penulis mengikuti Praktik Kerja Lapang (PKL) di PT. Barito Pacific, Banjarmasin, Kalsel selama dua bulan pada bulan pada tahun 2011.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pengendalian Cacat Bentuk dalam Pengeringan Kayu Durian (Durio zibethinus Murr), Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape Burm.f. Merr)”. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Trisna Priadi.M.Eng.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Allah SWT yang memberikan segala kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengendalian Cacat Bentuk Dalam Pengeringan Kayu Durian (Durio zibethinus Murr), Kayu Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) dan Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape Burm.f. Merr)”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Orang tua dan keluarga penulis atas segala doa, kasih sayang, pengorbanan, pengharapan, dan kepercayaan yang sepenuhnya diberikan kepada penulis tanpa pamrih hingga saat ini.
2. Bapak Dr. Ir. Trisna Priadi.M.Eng.Sc selaku dosen pembimbing atas segala arahan, saran dan bimbingannya.
3. Seluruh Dosen yang telah memberikan berbagai pengetahuan serta laboran dan staff yang turut membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung hingga mengantarkan penulis hingga sampai pada tahap ini. 4. Keluarga besar Asrama Sylvasari IPB, kakak kelas, teman angkatan dan
adik kelas yang telah memberikan semangat dan bantuan yang telah mendukung terselesainya skripsi penulis.
5. Keluarga besar Asrama Sylvapinus IPB selaku teman seatap dan seperjuangan yang telah memberikan semangat.
6. Teman-teman seperjuangan THH 44 yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan khususnya untuk Nur Syamsi sebagai rekan satu bimbingan
7. Teman-teman FAHUTAN 44, abang dan teteh FAHUTAN 43,42,41 serta adik-adik FAHUTAN 45,46 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih untuk rasa kekeluargaannya selama ini.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
DAFTAR LAMPIRAN ... iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Manfaat ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air dalam Kayu ... 3
2.2 Tujuan dan Manfaat Pengeringan Kayu ... 3
2.3 Faktor yang Mempengaaruhi Pengeringan Kayu ... 4
2.4 Mekanisme Keringannya Kayu ... 6
2.5 Metode Pengeringan Kayu... ... 6
2.6 Cacat Pengeringan Kayu ... 7
2.7 Pengendalian Cacat Pengeringan ... 10
2.8 Sifat Beberapa Jenis Kayu ... 11
2.8.1 Kayu Durian (Durio zibethinus - Bombacaceae) ... 11
2.8.2 Kayu Karet (Hevea brasiliensis - Euphorbiaceae) ... 11
2.8.3 Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape - Meliaceae) ... 12
BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 13
3.2 Bahan dan Alat ... 13
3.3 Prosedur Pengujian ... 14
3.4 Analisis Data ... 16
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerentanan Cacat Bentuk dalam Proses Pengeringan ... 17
4.2 Pengendalain Cacat Cuping dalam Proses Pengeringan... 18
4.3 Pengendalain Cacat Twist dalam Proses Pengeringan ... 20
4.4 Pengendalian Cacat Collpase dalam Proses Pengeringan ... 22
4.5 Kecepatan Pengeringan ... 23
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 25
5.2 Saran... 25
DAFTAR PUSTAKA ... 26
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Cacat bentuk dalam pengeringan ... 8 2. Kayu yang mengalami collapse ... 9 3. Pemilihan log untuk bahan uji ... 13 4. Pengaruh perlakuan terhadap cacat cupping pada tiga jenis kayu ... 19 5. Pengaruh perlakuan terhadap cacat twist pada tiga jenis kayu ... 21 6. Pengaruh perlakuan terhadap cacat collapse pada tiga jenis kayu .. 22 7. Kecepatan penurunan kadar air kayu pada ketiga jenis kayu ... 23
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1.
Klasifikasi cacat bentuk berdasarkan Terazawa (1965) ... 292.
Perhitungan kecepatan pengeringan pada kayu durian ... 293.
Perhitungan kecepatan pengeringan pada kayu karet ... 304.
Perhitungan kecepatan pengeringan pada kayu Kecapi ... 305.
Hasil pengujian pengendalian cacat cupping ... 316.
Hasil pengujian pengendalian cacat twist ... 327.
Hasil pengujian pengendalian cacat collapse ... 338.
Sidik ragam pengendalian cacat cupping pada tiga jenis kayu ... 349.
Sidik ragam pengendalian cacat twist pada tiga jenis kayu ... 3410.
Sidik ragam pengendalian cacat collapse pada tiga jenis kayu ... 3511.
Sidik ragam kecepatan pengeringan perlakuan pengukusan ... 3512.
Uji duncan pengendalian cacat bentuk ... 36BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan kayu sebagai bahan baku untuk berbagai keperluan terus meningkat. Pasokan kayu dari hutan alam cenderung menurun baik volume maupun mutunya, sehingga dilakukan berbagai upaya dalam meningkatkan pasokan kayu antara lain dengan membangun hutan rakyat dan hutan tanaman. Kayu yang dihasilkan dari hutan tanaman dan hutan rakyat pada umumnya merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species). Tapi menurut Tobing (1988), jenis-jenis kayu yang cepat tumbuh pada umumnya bermutu rendah karena selain berumur muda, juga mengandung banyak cacat seperti mata kayu, miring serat, cacat bentuk dan sebagainya.
Proses pengeringan kayu diperlukan untuk mencapai kadar air yang diinginkan, namun pada pelaksanaannya sering diikuti dengan terjadinya cacat yang merugikan, seperti retak, pecah, dan cacat bentuk (deformasi dan collapse). Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain struktur anatomi kayu, porsi kayu remaja, dan berat jenis (Basri et al. 2000).
Teknologi pengeringan kayu diperlukan, untuk mengendalikan cacat pengeringan agar menghasilkan mutu kayu terbaik dan sesuai dengan penggunaannya sebagai bahan baku industri kayu, terutama bahan baku furniture. Salah satu persyaratan utama kualitas kayu sebagai bahan baku furniture ialah kadar air. Agar dimensi kayu tetap stabil selama pemakaian maka kadar air kayu harus dibuat seimbang dengan kadar air di lingkungannya.
Sehubungan dengan masalah pengeringan tersebut, maka dilakukan penelitian pengendalian cacat pengeringan dengan perlakuan pendahuluan pengukusan (steaming) dan perlakuan pembebanan (loading) pada pengeringan kayu. Dengan proses perlakuan tersebut cacat pengeringan, seperti cacat collapse dan deformasi dapat dikurangi bahkan dihindari.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan mendapatkan teknik pengendalian cacat deformasi (cacat bentuk) dalam proses pengeringan kayu durian (Durio zibethinus), kayu karet (Hevea brasiliensis) dan kayu kecapi (Sandoricum koetjape).
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dengan terkendalinya cacat kayu dalam proses pengeringan, maka proses pengeringan menjadi lebih efisien dan kualitas produk kayu lebih baik, sehingga dapat digunakan secara optimal sebagai bahan baku furniture dan bahan bangunan serta meningkatkan nilai kayu rakyat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air dalam Kayu
Secara alami air terkandung banyak dalam kayu karena kayu merupakan bagian xylem dari pohon, yang dalam pertumbuhannya membutuhkan air sebagai media transportasi hara dari tanah dan hasil asimilasi dari daun ke seluruh bagian jaringan pohon lainnya. Ketika pohon ditebang, air keluar dari kayu secara alami yang memerlukan waktu cukup lama sampai kadar air kayu dalam keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam kondisi kayu segar, air berada dalam rongga sel dan dinding sel. Kadar air kayu pada kondisi segar sangat beragam bergantung pada jenis pohon dan tempat tumbuhnya (Pandit & Kurniawan 2008).
Terdapat dua jenis air yang berada di dalam struktur anatomi kayu, yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas merupakan air yang berada dalam ruang-ruang atau rongga sel (lumen), sedangkan air terikat berada di dalam dinding sel. Air bebas akan lebih dulu keluar pada proses pengeringan. Keluarnya air bebas umumnya tidak mempengaruhi sifat dan bentuk kayu kecuali beratnya (Siau 1984). Sedangkan keluarnya air terikat dari dinding sel lebih sulit dan sangat mempengaruhi hampir seluruh sifat fisis maupun mekanis kayu. Ketika air bebas telah semuanya keluar dari kayu tetapi dinding sel masih jenuh dengan air disebut kadar air titik jenuh serat (TJS). Penurunan kadar air kayu akan berlangsung hingga tercapai kondisi kayu yang tidak lagi dapat melepas air ke lingkungannya. Kadar air pada kondisi ini disebut kadar air kesetimbangan (Tobing 1988).
2.2 Tujuan dan Manfaat Pengeringan Kayu
Pengeringan kayu adalah proses penurunan kadar air kayu hingga mencapai kadar air tertentu atau kadar air yang sesuai dengan kondisi tempat kayu tersebut berada yang disebut dengan kadar air keseimbangan. Tujuan pengeringan kayu ialah untuk menjaga stabilitas dimensi pada saat penggunaan. Pengeringan juga mengurangi berat kayu, meningkatkan kekuatan kayu (dengan berkurangnya kadar air dibawah titik jenuh serat), menghindari serangan jamur, mempermudah proses pengerjaan selanjutnya, dan mempermudah pemasukan bahan pengawet (Coto 2004).
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Pengeringan Kayu
Proses pengeringan kayu dipengaruhi oleh sifat-sifat kayu dan lingkungan pengeringan. Proses pengeringan dipengaruhi oleh struktur dan anatomi kayu, seperti kayu gubal, kayu teras, empulur, kayu remaja, riap tumbuh, jari-jari kayu, mata kayu, kayu reaksi, serat miring, tekstur kayu, sel pembuluh, dinding sel, dan parenkim. Kayu gubal merupakan bagian dari pohon yang berfungsi sebagai penyalur cairan dari akar ke daun serta sebagai gudang bahan makanan cadangan, sehingga lebih basah dan mudah dikeringkan. Sedangkan kayu teras merupakan bagian pohon yang jaringannya telah mati yang banyak mengandung zat ekstraktif yang dapat menurunkan permeabilitas kayu tersebut, sehingga kayu cenderung menjadi lebih sulit dikeringkan dan lebih mudah mengalami cacat seperti pecah permukaan dan pecah dalam (Pandit & Kurniawan 2008).
Sifat pengeringan bagian empulur (pith) berbeda dengan jaringan kayu lainnya. Empulur memiliki ikatan yang lebih lemah dengan jaringan kayu disekitarnya, sehingga terkadang mudah terlepas dalam proses pengeringannya terutama pada suhu pengeringan yang relatif tinggi (Tobing 1988). Kayu remaja merupakan bagian kayu yang terbentuk oleh kambium berumur muda, umumnya memiliki banyak serat spiral dan berdinding sel tipis. Bagian kayu ini memiliki potensi penyusutan yang lebih besar pada bidang radial dibanding pada bagian kayu lain. Hal tersebut sering kali diikuti oleh terjadinya deformasi seperti cacat bungkuk (crook) dan collapse (Tobing 1988).
Riap tumbuh pada kayu terdiri dari dua bagian yaitu kayu awal dan kayu akhir. Kedua bagian kayu ini memiliki berat jenis yang berbeda sehingga sifat pengeringan yang ditimbulkan juga berbeda, terutama pada penyusutan arah radial dan tangensial, yang umumnya diikuti oleh deformasi (Tobing 1988). Jari-jari kayu terdiri dari sel-sel berdinding tipis oleh karena itu relatif lebih lemah terutama jari-jari yang rapat, sehingga bagian ini sering mengalami cacat pengeringan seperti retak permukaan, pecah atau retak dalam (Pandit & Kurniawan 2008).
Mata kayu memiliki berat jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan berat jenis pada bagian kayu di sekitarnya. Orientasi seratnya juga berbeda, sehingga sifat pengeringan yang ditimbulkan juga berbeda. Mata kayu lebih rentan mengalami pecah dan lepas (loose knots) sehingga mempengaruhi mutu kayu hasil pengeringan (Tobing 1988). Dalam proses pengeringan, kayu reaksi mengalami penyusutan longitudinal yang lebih besar dibandingkan dengan
penyusutan normalnya, sehingga dapat berakibat terbentuknya cacat deformasi seperti bungkuk (crook), memuntir (twist) dan sebagainya (Haygreen dan Bowyer 1982).
Serat miring memiliki gejala yang sama dengan kayu reaksi sewaktu dikeringkan yaitu memiliki penyusutan longitudinal yang lebih besar, sehingga yang ditimbulkan juga berupa cacat deformasi (Pandit & Kurniawan 2008). Tekstur kayu yang tidak merata dapat mengakibatkan cacat pada proses pengeringan, terutama berupa retak permukanaan dan pecah. Kayu yang memiliki sel pembuluh berdiameter besar dan tidak tersumbat tylosis maupun zat amorf pada umumnya relatif mudah dikeringkan. Sedangkan kayu yang pembuluhnya berdiameter kecil dan berisi banyak tylosis, dapat menimbulkan gradien kadar air yang cukup besar antara bagian permukaan dengan bagian dalam kayu yang dapat mengakibatkan cacat pengeringan (Tobing 1988).
Dinding sel kayu mempengaruhi pengeringan kayu. Semakin tebal dinding sel kayu, maka semakin banyak jumlah air terikat yang harus dikeluarkan dari dalam kayu dibandingkan dengan kayu yang memiliki dinding sel tipis. Dinding sel yang tebal juga menyebabkan masa kayu yang harus dilewati secara difusi oleh air lebih banyak; selain itu masa kayu yang mengalami penyusutan juga lebih besar, sehingga dapat mendorong terjadinya cacat deformasi ataupun retak permukaan dan retak ujung (Tobing 1988). Kayu dengan parenkim berbentuk pita, apalagi yang kondisinya rapat beraturan dapat memudahkan keluarnya air ke arah tebal dan lebar sortimen. Sehingga pengeringannya relatif cepat (Pandit & Kurniawan 2008).
Beberapa sifat fisis kayu yang mempengaruhi efektifitas pengeringan antara lain ialah berat jenis dan penyusutan. Berat jenis adalah suatu indikator yang dapat digunakan untuk menduga mudah atau tidaknya suatu kayu dikeringkan. Kayu yang memiliki berat jenis tinggi akan mempunyai sifat pengeringan yang lambat serta kemungkinan mengalami cacat yang lebih besar dibanding kayu yang berat jenisnya lebih rendah. Penyusutan kayu terjadi akibat keluarnya air terikat dari dinding sel. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyusutan kayu antara lain : kadar air, kerapatan, struktur anatomi kayu, kadar ekstraktif, kandungan bahan kimia, dan sifat mekanis kayu tersebut (Tsoumis 1991).
2.4 Mekanisme Keringnya Kayu
Air dari dalam kayu bergerak dari zona yang lebih basah ke zona yang lebih kering. Kayu mengering dari luar ke dalam, artinya agar air bagian dalam kayu dapat dikeluarkan maka permukaan kayu harus lebih kering. Pada proses pengeringan, permukaan kayu segera mencapai keseimbangan dengan udara sekelilingnya dan pada saat ini mulai terjadi gradien kadar air kayu. Bagian permukaan kayu menjadi lebih kering dari pada bagian dalamnya. Hal ini mengakibatkan air dari bagian dalam kayu bergerak keluar. Air dalam kayu bergerak ke segala arah. Pergerakan air yang paling cepat terjadi pada arah longitudinal, sedangkan yang paling lambat terjadi pada arah tangensial. Air ini dapat bergerak dalam bentuk caian (air bebas dan air terikat) maupun dalam bentuk uap (Coto 2004).
Tobing (1988) menerangkan bahwa terdapat beberapa gaya yang mempengaruhi pergerakan air secara simultan. Beberapa gaya tersebut antara lain ialah : gaya kapiler, perbedaan tekanan uap dan perbedaan kadar air. Gaya kapiler menyebabkan air bebas bergerak dari lumen, melalui noktah dan membran sel. Gaya ini berhenti ketika kayu mencapai kadar air dibawah titik jenuh serat. Perbedaan tekanan uap air menyebabkan uap air bergerak dari lumen, melalui noktah, membran noktah dan ruang antar sel. Gerakan ini efektif pada temperature tinggi dan pada kayu dengan berat jenis rendah. Perbedaan kadar air menyebabkan air bergerak melalui dinding sel. Gerakan ini penting pada pengeringan kayu dengan temperatur rendah.
2.5 Metode Pengeringan Kayu
Metode pengeringan kayu secara umum terbagi menjadi dua, antara lain ialah metode pengeringan alami dan metode pengeringan buatan. Pengeringan alami sering juga disebut dengan pengeringan udara, walaupun cara pengeringan ini tradisional dan sederhana namun dapat memberikan hasil yang memuaskan jika dikerjakan dengan benar. Pengeringan alami merupakan cara pengeringan kayu dengan menumpuk kayu menurut susunan tertentu dan membiarkan tumpukkan itu beberapa lama di lapangan pada kondisi terbuka ataupun di bawah naungan (Budianto 1996).
Metode pengeringan alami banyak dilakukan sebagai perlakuan awal untuk membantu mangurangi cacat serta mempercepat waktu pada pengeringan buatan. Adapun kelemahan pengeringan alami yaitu sangat dipengeruhi kondisi
cuaca dan lokasi, sulit mencapai kadar air 15%, perlu pencegahan terhadap serangan berbagai organisme perusak kayu selama proses pengeringan, waktu pengeringan relatif lama dan perlu areal yang cukup luas. Maka dikembangkanlah sistem-sistem pengeringan lain guna menjamin kelangsungan proses produksi serta untuk mengurangi cacat pengering yang terjadi, yaitu dengan sistem pengeringan buatan (Coto 2004). Sistem pengeringan buatan tidak tergantung pada kondisi cuaca. Beberapa sistem pengeringan buatan, yang dapat mempercepat proses pengeringan kayu yaitu, sistem pengeringan dehumidifer, sistem pengeringan vakum, sistem pengeringan kipas (fan) dan metode pengeringan kilang pengering (konvensional).
Teknik penumpukan juga memegang peranan penting dalam menentukan lamanya (waktu) yang dibutuhkan untuk mengeringkan kayu. Pemberian beban yang cukup pada permukaan tumpukkan bagian atas serta pengaturan jarak ganjal yang baik akan menghasilkan kayu kering berkualitas baik. Kayu yang ditumpuk secara berlapis-lapis dimana masing-masing lapisan dipisahkan oleh ganjal (sticker) bertujuan agar sirkulasi udara masuk kedalam tumpukan kayu secara merata (Tobing 1988).
2.6 Cacat Pengeringan Kayu
Pada penelitian sifat dasar pengeringan, sebagian besar contoh uji kayu yang didapat merupakan kayu berdiameter kecil (diameter 30 – 40 cm). Kayu diameter kecil juga dapat dikategorikan sebagai kayu muda yang memiliki kelemahan antara lain ialah cukup banyak mengandung serat spiral, rasio penyusutan tengensial/radial yang besar, dinding sel relatif tipis dengan sudut mikrofibril dalam dinding sel yang besar sehingga penyusutan longitudinalnya besar. Kondisi tersebut menyebabkan sortimen dari kayu diameter kecil cenderung berubah bentuk (warping), dan atau collapse pada saat dikeringkan (Walker 2007).
Menurut Walker (2007), terdapat beberapa cacat kayu yang sering terjadi dalam proses pengeringan diantaranya ialah perubahan warna (staining), cacat bentuk (warping), tegangan sisa di permukaan (case hardening), pecah dalam (honeycombing), pecah (checking), dan collapse. Perubahan warna (staining) yang dapat terjadi karena serangan jamur pewarna terutama pada kayu segar dapat ditangani dengan meminimalisir waktu antara penebangan dengan pengolahannya. Penumpukan kayu perlu dilakukan secepatnya agar
permukaannya cepat mengering dan mencapai kadar air kurang dari 20%. Pewarnaan pada kayu hasil pengeringan dapat juga terjadi oleh ganjal yang digunakan, serta bahan-bahan dalam ruang pengering yang mengalami kondensasi seperti karat besi.
Cacat bentuk (warping) umumnya terjadi akibat perbedaan susut pada arah radial dan tangensial (Walker 2007). Terjadinya cacat bentuk ini dapat juga disebabkan kesalahan dalam pemilihan jadwal pengeringan serta proses penumpukan kayu yang tidak benar. Beberapa jenis perubahan bentuk yang sering dijumpai pada proses pengeringan kayu (Tsoumis 1991).
Gambar 1 Cacat bentuk dalam pengeringan: (a) memangkuk (cuping) (b) membusur (bowing) (c) memuntir (twisting) (d) diamonding (e) membungkuk (crook).
Tegangan sisa pengeringan (case hardening) merupakan tegangan sisa yang terjadi dipermukaan kayu. Cacat ini tampak pada waktu pengerjaan kayu dan sangat mengganggu pada saat kayu akan diserut atau dipotong (Walker 2007). Retak (checking) pada kayu dapat dibagi menjadi beberapa macam, yaitu retak permukan (surface check) dan retak ujung (end check) dan retak dalam (honey comb). Menurut Tsoumis (1991), retak diakibatkan perubahan dimensi
yang tidak sama antara permukaan kayu dengan bagian dalamnya. Retak pada umumnya terjadi pada sepanjang jari-jari karena merupakan bagian terlemah pada kayu. Retak dalam dapat disebabkan oleh retak permukaan yang berkelanjutan atau karena besarnya tegangan tegak lurus serat melebihi kekuatan yang kayu tersebut. Cara untuk menghindari terjadinya cacat ini adalah dengan memberikan kelembaban udara yang tinggi pada permulaan pengeringan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi ( Walker 2007).
Cacat collapse ketika pengeringan terjadi apabila kadar air kayu cukup tinggi, rongga sel penuh berisi air, maka bila terjadi proses pengeringan yang sangat cepat, air bebas akan bergerak dari dalam rongga sel kayu keluar melalui kapiler yang berakibat tegangan vakum pada lumen sehingga dinding sel mengalami collapse. Collapse terjadi pada kayu ketika tegangan kapiler di rongga sel melebihi keteguhan tekan tegak lurus serat (Walker 2007).
Gambar 2 Kayu yang mengalami collapse.
Tsoumis (1991) menyatakan bahwa collapse merupakan penyusutan sel yang sangat parah sehingga permukaan papan tampak berkerut. Agar cacat collapse dapat dihindari, maka kayu yang rawan collapse perlu mendapatkan pengeringan pendahuluan (predrying) dengan suhu rendah selama beberapa hari atau dilakukan pengeringan alami dalam beberapa minggu. Selain itu terdapat beberapa cara pencegahan terjadinya collapse, antara lain ialah (a) mengganti air yang berada dalam kayu dengan cairan lain yang mempunyai tegangan permukaan yang lebih rendah dari air, seperti metanol dan etanol. Namun usaha ini masih terlalu mahal untuk diterapkan walaupun usaha ini
berhasil mencegah collapse (Siau 1984), (b) usaha yang cukup efektif dan efisien untuk mencegah collapse adalah dengan menggunakan kondisi awal pengeringan yang lunak, karena suhu yang tinggi dan kondisi pengeringan yang terlalu keras pada awal pengeringan merupakan penyebab utama sel collapse (Hadi 1987).
2.7 Pengendalian Cacat Pengeringan
Pengukusan kayu merupakan suatu proses pemberian tekanan uap pada kayu dengan maksud meningkatkan permeabilitas kayu sehingga memudahkan keluarnya air dari dalam kayu (Cutter & Phelps 1986; Basri et al. 1999). Faktor yang menghambat proses pengeluaran air dari kayu di antaranya adalah keberadaan tilosis dalam jumlah yang banyak dalam pori/pembuluh ataupun endapan dalam jari-jari maupun saluran interselularnya. Dengan pengukusan sebelum kayu dikeringkan bisa mempercepat waktu pengeringan tanpa menurunkan kualitasnya (Haslett & Kininmonth 1986). Meskipun suhu pengukusan yang biasa digunakan adalah 100 0C (Chafe & Ananias 1996; Choong, et al. 1996), namun dapat juga dilakukan dengan mengubah-ubah suhu (Semple 1999) dan waktu (Simpson 1991 dalam McMillen & Wengert 1978).
Pembebanan kayu merupakan suatu proses pemberian beban pada kayu dengan maksud meminimalisir cacat perubahan bentuk pada proses pengeringan. Pemberian beban yang cukup pada permukaan tumpukkan bagian atas serta pengaturan jarak ganjal yang baik akan menghasilkan kayu kering berkualitas baik. Kayu yang ditumpuk secara berlapis-lapis dan masing-masing lapisan dipisahkan oleh ganjal (sticker) bertujuan untuk menyingkap seluruh permukaan papan terhadap sirkulasi udara yang terjadi di dalam tumpukkan (Tobing 1988).
2.8 Sifat Beberapa Jenis Kayu
Kayu yang dihasilkan dari hutan tanaman dan hutan rakyat pada umumnya merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing). Jenis-jenis kayu tersebut relatif bermutu rendah karena selain berumur muda, juga mengandung banyak cacat seperti mata kayu, miring serat, cacat bentuk dan sebagainya.
2.8.1 Kayu Durian (Durio zibethinus - Bombacaceae)
Nama botanis durian adalah Durio spp famili Bombacaceae (terutama D. carinatus Mast., D. Oxleyanus Griff., D. Zibethinus Murr.). Nama daerahnya adalah duren, deureuyan, andurian, duriat, duriang, derian, duiang, duhuian, tuleno, turene. Sedangkan nama lainnya durian (Philipina, Sabah, Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Spanyol, Italina, Belanda, Jerman).
Ciri umum dari kayu ini adalah kayu teras berwarna coklat jika masih segar, lambat laun menjadi coklat kelabu atau coklat semu-semu lembayung. Kayu gubal berwarna putih dan dapat dibedakan dengan jelas dari kayu teras. Menurut Mandang (1993), ciri anatomi kayu durian adalah pori soliter dan bergabung atau hampir seluruhnya bergabung 2-3 dalam arah radial, berbentuk lonjong dan jarang sekali bundar, diameter 100-400 µ, frekuensi 1-2 per m2, bidang porforasi sederhana. Parenkim tersebar merupakan garis tangensial yang halus dan pendek menembus dua jari-jari. Jari-jari heterogen, multiseriat, lebar sampai 100 µ, frekuensi 4-5 mm, tinggi sampai 3 mm. Panjang serat rata-rata 1,780 µ dengan diameter 35 µ. Permukaannya agak licin dan mengkilap. Kesan raba agak licin sampai licin.
Sifat kayu durian termasuk kelas kuat II-III dengan berat jenis 0,57. Kayunya mudah digergaji meskipun pemukaannya cenderung berbulu, selain itu mudah dikupas untuk dibuat finir. Sedangkan kegunaan kayu ini adalah sebagai bangunan dibawah atap, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga sederhana (termasuk lemari), lantai, dinding, sekat ruangan, kayu lapis, peti, sandal kayu, peti jenazah, dan bangunan kapal (Pandit & Kurniawan 2008).
2.8.2 Kayu Karet (Hevea brasiliensis - Euphorbiaceae)
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di daerah khatulustiwa antara 50 LS dan 60 LU dengan suhu rata-rata 28 0C pada ketinggian antara 1-1000 mdpl. Pusat penanaman karet di Indonesia ada di Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Dapat tumbuh optimal pada suhu antara 24-28 0C, kelembaban tinggi, curah hujan optimal antara 1500-2000 mm/thn). Jumlah pohon berkisar antara 175-200 pohon/hektar. Batang bebas cabang berkisar 2-4 m, tidak silindris dengan diameter setinggi dada rata-rata 30 cm.
Menurut Martawijaya (1972), kayu karet memiliki, kayu teras yang masih segar berwarna keputihan dan lama-kelamaan berubah menjadi cokelat muda,
sedangkan kayu gubal berwarna putih. Batas kayu gubal dan kayu teras tidak jelas. Serat kayunya lurus, tekstur agak kasar dan rata. Kadang lebar pori-pori kayu terlihat jelas dengan mata biasa dalam bentuk soliter atau berkelompok dalam deretan radial 2-4 pori tersebar merata.
Kayu karet termasuk ke dalam kelas kuat II-III dan memiliki berat jenis 0,61. Sifat dasar lainnya yang menonjol dari kayu karet adalah kayunya mudah digergaji dan permukaan gergajinya cukup halus, serta mudah dibubut dengan menghasilkan permukaan yang rata dan halus. Kayu karet juga mudah dipaku, dan mempunyai karakteristik pelekatan yang baik dengan semua jenis perekat. Sifat yang khas dari kayu karet adalah warnanya yang putih kekuningan ketika baru dipotong, dan akan menjadi kuning pucat seperti warna jerami setelah dikeringkan. Selain warna yang menarik dan tektur yang mirip dengan kayu ramin dan perupuk yaitu halus dan rata, kayu karet yang sangat mudah diwarnai (Eksanto 1996).
2.8.3 Kayu Kecapi (Sandoricum koetjape - Meliaceae)
Pohon kecapi termasuk ke dalam pohon buah-buahan, tingginya dapat mencapai 25–30 m dengan diameter 70–90 cm, di Jawa tumbuh di bawah 1000 m di atas permukaan laut dan ditanam oleh penduduk. Menurut Kamil dan Kliwon (1973) kayu ini mempunyai berat jenis (BJ) 0,49, dengan kelas awet IV–V, dan kelas kuat III–IV. Kayunya digunakan untuk konstruksi bangunan, kerajinan kayu, dan untuk membuat perabotan rumah tangga serta peralatan lainnya (Verbeij & Coronel 1997).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga November 2011 yang bertempat di Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kuhutanan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa contoh uji kayu dari jenis durian (Durio zibethinus), karet (Hevea brasiliensis), kecapi (Sandoricum koetjape), manga (Mangifera indica), rambutan (Nephelium spp), jengkol (Pithecellobium jiringa), petai (Parkia timoriana), mindi (Melia azedarach), kapuk (Ceiba pentandra), dan nangka (Artocarpus heterophyllus). Contoh uji kayu pada uji pendahuluan pengeringan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Terazawa (1965) berupa papan tangensial berukuran 20 cm x 10 cm x 2,5 cm. Pada pengujian pengendalian cacat digunakan papan tangensial berukuran 30 cm x 20 cm x 2,5 cm. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa oven, timbangan digital, penggaris, caliper, kalkulator, alat tulis, aluminium foil, lem, kompor, dandang, termometer 200 oC, desikator, tali rapia, dan alat pemberat (besi).
3.3 Prosedur Pengujian 1. Pengujian Sifat Fisis
Contoh uji berukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm (berdasarkan standar BS : 3731957) dibersihkan dari serat-serat dengan menggunakan amplas dan cutter kemudian ditandai dengan garis tengah pada tiap sisinya menggunakan pensil. Kemudian contoh uji ditimbang untuk mengetahui berat basah atau berat awal (Ba). Untuk mengetahui susut volume, contoh uji diukur panjang, lebar dan tingginya menggunakan caliper pada bagian yang telah ditandai untuk mengetahui volume awal (Va). Selanjutnya contoh uji dioven pada suhu 103 + 2 oC selama 48 jam. Setelah dioven, contoh uji didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang untuk memperoleh berat kering oven/tanur (BKT). Contoh uji selanjutnya diukur panjang, lebar dan tingginya menggunakan caliper untuk mengetahui volume akhir setelah dioven (Vo). Dengan demikian, kadar air, susut volume dan berat jenis dapat ditentukan menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar Air KA = ( Ba – BKT ) x 100% BKT Berat Jenis BJ = ( BKT / Va ) Kerapatan Susut Volume SV = ( Va – Vo ) x 100% Va Keterangan :
KA : Kadar Air (%), BA : Berat Awal (gram), BKT : Berat Kering Tanur (gram), BJ (Berat Jenis), VA : Volume Awal (cm3), SV : Susut Volume (%), Vo : Volume Akhir (cm3), Kerapatan = 1 gram/cm3dengan suhu 4 0C
2. Pengujian Pendahuluan
Contoh uji berukuran 20 cm x 10 cm x 2,5 cm yang terdiri dari 10 jenis kayu yang berbeda dengan lima kali ulangan untuk tiap jenis kayu dibersihkan dari serat-serat dengan menggunakan amplas dan cutter. Kemudian contoh uji disusun bertumpuk menggunakan sticker di dalam oven. Pengeringan dilakukan pada suhu 100 oC hingga mencapai berat kering tanur. Selanjutnya diamati cacat bentuk (deformasi dan collapse) yang tampak pada contoh uji.
Pengujian evaluasi cacat yang terjadi dilakukan dengan modifikasi metode yang dikembangkan oleh Terazawa (1965). Kemudian penilaian sifat pengeringan kayu berdasarkan tingkat kerusakan masing masing jenis cacat yang menggunakan sistem skala. Semakin tinggi skala yang digunakan, semakin parah tingkat cacat yang terjadi pada contoh uji kayu. Klasifikasi cacat bentuk (deformasi dan collapse) berdasarkan Terazawa (1965). Berdasarkan hasil evaluasi cacat tersebut, maka dipilih 3 jenis kayu yang digunakan sebagai contoh uji pengendalian perubahan bentuk.
3. Pengujian Pengendalian Cacat Bentuk
Contoh uji yang digunakan adalah papan tangensial berukuran 30 cm x 20 cm x 2,5 cm dari kayu teras tiga jenis kayu yang berbeda dengan lima kali pengulangan pada masing-masing jenis kayu dan tiap perlakuan. Contoh uji dibersihkan dari kotoran menggunakan amplas dan cutter. Kedua ujung kayu dilapisi aluminium foil. Setelah itu masing-masing contoh uji diukur dimensi dan berat awalnya. Contoh uji diberi perlakuan sebelum pengeringan dengan pengukusan selama 2 jam, 4 jam, dan 6 jam. Pengukusan dilakukan dengan suhu 100 oC. Contoh uji yang diberi perlakuan pembebanan, ditumpuk didalam oven dengan menggunakan sticker. Beban yang digunakan pada contoh uji sebesar 10 kg, 20 kg, dan 30 kg.
Pada waktu pengeringan digunakan suhu 60 oC sampai kadar air <15 %. Setiap 3-4 jam sekali contoh uji yang kontrol dan yang diberi perlakuan pengukusan diukur/dicatat beratnya. Setelah contoh uji yang dikeringakan kadar air telah mencapai <15%, hitung berat, dimensi, dan cacat bentuk yang tampak (cuping, twist dan collpse). Kemudian contoh uji dikeringakan hingga kering tanur, kemudian penimbangan berat contoh uji. Kecepatan penurunan kadar air hanya ditimbang bagi yang dikukus (2 jam, 4 Jam, dan 6 jam) serta kontrol.
3. 4 Analisis Data
Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuannya adalah Pengukusan (2 jam, 4 jam, dan 6 jam), pembebanan (10 kg, 20 kg, dan 30 kg) serta kontrol (tanpa perlakuan). Masing-masing terdiri dari 5 ulangan.
ij i ij
Y
ij
Y
= Besarnya cacat dari pengaruh perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umumi
= Pengaruh utama perlakuan ke-iij
= Pengaruh acak dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j yang menyebar (0,σ2) i = kontrol, 2 jam, 4 jam,6 jam, 10 kg, 20 kg, dan 30 kgBAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kerentanan Cacat Bentuk dalam Proses Pengeringan
Kerentanan cacat bentuk pada kayu berbeda setiap jenisnya. Banyak faktor yang mempengaruhi proses pengeringan kayu, seperti jenis kayu, anatomi kayu, bagian kayu, dan sebagainya. Pada pengujian awal menunjukkan kerentanan cacat bentuk dan collapse masing-masing kayu yang diuji (Tabel 1).
Tabel 1 Sifat fisis dan cacat pengeringan sepuluh jenis kayu rakyat
Jenis Kayu Sifat Fisis Susut Volume Kayu (%) Kelas Kuat *
Nilai Cacat Pengeringan Sifat Pengeringan berdasarkan cacat warping dan Collapse Kadar Air (%)
Berat Jenis Warping dan Collapse
Umum
* Uji Cupping Twisting Collapse
Durian 57 0,6 0,5 9,18 III 5 6 2 Buruk Jengkol 118 0,5 0,5 7,91 III 3 5 2 Agak Baik Kapuk 190 0,2 0,3 11,5 V 7 7 6 Sangat
Buruk Karet 39 0,6 0,6 9,55 III 3 6 3 Buruk Kecapi 65 0,5 0,4 7,77 III 4 4 3 Sedang Mangga 75 0,7 0,6 9,43 II 3 3 3 Agak Baik Mindi 31 0,5 0,5 7,06 III 5 3 3 Agak Buruk Nangka 28 0,6 0,6 7,36 III 5 5 4 Agak Buruk Petai 31 0,4 0,5 10,4 III 4 6 3 Buruk Rambutan 33 0,6 0,5 12,46 III 5 4 3 Agak Buruk * Martawijaya et al. (1972)
Sepuluh jenis kayu yang diuji pada umumnya memiliki nlai berat jenis (BJ) 0,4-0,6 dan kelas kuat III. Dengan sifat seperti ini, dapat digunakan untuk konstruksi bangunan, kerajinan kayu, dan untuk membuat perabotan rumah tangga serta peralatan lainnya (Verbeij & Coronel 1997).
Hasil uji juga menunjukkan bahwa cacat bentuk yang terjadi pada contoh uji pada umumnya besar, sehingga sebagian besar kayu memiliki sifat pengeringan buruk (durian, karet, dan petai). Kayu kapuk sifat pengeringannya sangat buruk. Sifat pengeringan agak buruk ada pada kayu mindi, nangka, dan
rambutan. Sifat pengeringan kayu yang sedang terdapat pada kayu kecapi. Sifat pengeringan kayu jengkol dan mangga tergolong agak baik.
Kayu karet dengan berat jenis 0,6 memiliki sifat pengeringan yang buruk, namun kayu mangga dengan BJ 0,6 memeliki sifat pengeringan agak baik. Hal ini menunjukkan BJ bukan satu-satunya penentu sifat pengeringan. Menurut Bramhall dan Wellwood (1976), selain BJ, struktur anatomi kayu juga mempengaruhi proses pengeluaran air dari dalam kayu. Faktor anatomi yang berperan dalam pengeringan kayu di antaranya adalah jaringan pembuluh, dinding serat, parenkim, dan jari-jari. Oleh karena itu jika penetapan bagan pengeringan kayu hanya berdasarkan nilai BJ-nya, maka kemungkinan kerusakan terhadap kayu yang dikeringkan tidak bisa dihindari.
Kayu dengan berat jenis tinggi seperti kayu rambutan, mangga, karet, dan kayu durian mengalami penyusutan yang lebih besar dibanding kayu dengan berat jenis rendah. Hal ini disebabkan air terikat yang dikeluarkan dari dinding sel kayu dengan berat jenis tinggi lebih banyak dan masa kayu yang menyusutnya juga lebih banyak. Namun kayu kapuk yang memiliki berat jenis paling rendah (0,2) mengalami penyusutan yang tinggi. Ini disebabkan kayu kapuk mengalami penyusutan tidak normal (collapse) dalam pengeringannya. Kayu yang mengalami collapse mengalami distorsi sel-sel yang sangat kuat sehingga menyebabkan permukaan papan tampak berkerut-kerut. Kayu nangka merupakan kayu yang paling stabil pada pengujian ini. Berat jenis kayu nangka relatif tinggi, namun kayu nangka mengalami penyusutan yang relatif rendah (7,36%).
Berdasarkan hasil pengujian kerentanan cacat bentuk dalam proses pengeringan 10 jenis kayu, dipilih 3 jenis kayu yang diuji lanjut untuk pengendalian cacat bentuk dan collapse. Kayu yang dipilih adalah yang memiliki klasifikasi cacat bentuk 4-7 atau sifat pengeringannya antara sedang-sangat buruk. Kayu yang terpilih yang diuji lanjut antara lain kayu durian dengan sifat pengeringannya buruk, kayu karet yang sifat pengeringannya buruk, dan kayu kecapi sifat pengeringannya sedang.
4.2 Pengendalain Cacat Cuping dalam Proses Pengeringan
Hasil pengujian pengendalian cacat cupping dengan perlakuan pengukusan dan pembebanan pada ketiga jenis kayu yang diteliti disajikan pada Gambar 4. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 5. Hasil
analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 8) menggunakan program SAS V 9.1.3 (Statistical Analysis System) menunjukkan bahwa perlakuan pengukusan dan pembebanan pada kayu karet dan kecapi berpengaruh nyata terhadap nilai cacat cupping, namun pada kayu durian belum tampak nyata. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan pembebanan 20 kg pada kayu karet dan perlakuaan pembebanan 30 kg pada kayu keceapi adalah perlakuan yang optimal mengurangi cacat cupping dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Gambar 4 Pengaruh perlakuan terhadap cacat cupping pada tiga jenis kayu. Gambar 4 menunjukkan bahwa perlakuan pengukusan 2 jam, 4 jam, 6 jam dan pembebanan 10 kg, 20 kg, dan 30 kg pada ketiga kayu uji terlihat dapat mengurangi besar cacat cupping. Perlakuan pembebanan pada kayu dapat menekan besar cacat cupping sehingga sifat pengeringannya agak baik. Perlakuan pembebanan pada ketiga jenis contoh uji, lebih besar mengurangi besar cacat cupping daripada perlakuan pengukusan.
Perlakuan pengukusan terlihat dapat mengurangi cacat cupping pada kayu durian, namun belum nyata secara statistik. Adapun perlakuan pembebanan mengurangi cacat cupping yang semakin nyata dengan semakin berat beban yang digunakan. Pembebanan 30 kg pada kayu durian dapat mengurangi cacat cupping hingga sifat pengeringannya agak baik.
Walaupun perlakuan pengukusan 2 jam, 4 jam, dan 6 jam serta pembebanan 10 kg tampak menurunkan nilai cacat cupping, tapi secara statistik penurunannya tidak nyata pada kayu karet. Hanya perlakuan pembebanan 20 kg dan 30 kg yang mengahasilkan penurunan cacat cupping yang nyata pada kayu karet. Perlakuan pembebanan 20 kg pada kayu karet, cukup optimal untuk mengendaikan cacat cupping dalam pengeringan kayu.
Pengujian perlakuan pengukusan dan pembebanan pada kayu kecapi terlihat mengurangi cacat cupping, namun dari hasil statistik pengujian dengan perlakuan pembebanan 20 kg dan 30 kg yang tampak nyata mengurangi cacat cupping daripada perlakuan lainnya. Pembebanan 30 kg adalah perlakuan yang paliang optimal untuk mengendaikan cacat cupping dalam pengeringan kayu kecapi.
4.3 Pengendalain Cacat Twist dalam Proses Pengeringan
Hasil pengujian pengendalian cacat twist dengan perlakuan pengukusan dan pembebanan pada ketiga jenis kayu yang diteliti disajikan pada Gambar 5. Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 6. Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 9) menunjukkan adanya pengaruh pengukusan dan pembebanan terhadap cacat twist pada ketiga jenis kayu. perlakuan pengukusan dan pembebanan pada kayu durian, karet dan kecapi berpengaruh nyata terhadap nilai cacat twist. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan pembebanan 30 kg pada kayu durian, karet dan kayu keceapi adalah perlakuan yang optimal mengurangi cacat twist dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Hasil rata-rata nilai cacat twist dan uji pengeringan ketiga jenis kayu (durian, karet, dan kecapi) dapat dilihat pada Gambar 5. Perlakuan pengukusan 2 jam, 4 jam, 6 jam dan pembebanan 10 kg, 20 kg, dan 30 kg pada ketiga kayu uji dapat mengurangi cacat twist. Perlakuan pembebanan dapat menekan cacat twist sampai sifat pengeringan agak baik. Perlakuan pembebanan pada pengeringan ketiga jenis contoh uji lebih besar mengurangi cacat twist daripada perlakuan pengukusan.
Gambar 5 Pengaruh perlakuan terhadap cacat twist pada tiga jenis kayu. Secara statistik pengendalian cacat twist pada kayu durian, hasilnya memperlihatkan perlakuan pengukusan (2 jam, 4 jam, dan 6 jam) serta pembebanan 10 kg dan 20 kg menurunkan nilai cacat twist, tapi secara statistik penurunannya tidak nyata. Hanya pembebanan 30 kg yang menghasilkan penurunan cacat twist yang nyata pada kayu durian. Perlakuan pembebanan 30 kg pada kayu durian cendrung optimal untuk mengendaikan cacat twist dalam pengeringan kayu.
Perlakuan pengukusan dan pembebanan berpengaruh nyata terhadap pengendalian twist pada kayu karet. Hasil uji Duncan memperlihatkan perlakuan pengukusan dan pembebanan berbeda nyata dengan kayu kontrol, meskipun demikian pembebanan 30 kg yang paling optimal mengurangi cacat twist daripada perlakuan lainnya.
Hasil sidik ragam juga menunjukkan perlakuan pengukusan dan pembebanan berpengaruh nyata terhadap pengendalian cacat twist pada kayu kecapi. Meskipun keseluruhan perlakuan pengukusan dan pembebanan berpengaruh nyata, tapi perlakuan yang paling optimal ialah penggunaan pembebanan 30 kg, sebab perlakuan pembebanan 30 kg yang paling besar mengurangi besar cacat twist pada kayu kecapi.
4.4 Pengendalian Cacat Collpase Dalam Proses Pengeringan
Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 10) menunjukkan pengaruh perlakuan pengukusan terhadap cacat collapse pada ketiga jenis kayu tidak berpengaruh nyata. Dari Gambar 6 diketahui perlakuan pengukusan pada umumnya dapat mengurangi cacat collapse yang terjadi pada kayu. Cacat collapse yang terjadi pada ketiga jenis kayu umumnya masih tergolong agak baik. Dengan perlakuan pengukusan, cacat collapse yang terjadi dapat dikendalikan sehingga sifat pengeringannya menjadi baik. Perlakuan yang paling optimal dalam pengendalian cacat collapse pada ketiga jenis kayu ialah dengan menggunakan pengukusan 4 jam.
Gambar 6 Pengaruh perlakuan terhadap cacat collapse pada tiga jenis.
Meskipun hasil rata-rata pengujian cacat collapse pada kayu durian masih tergolong baik, namun pengukusan 4 jam lebih bessar menekan cacat collapse daripada penggunaan waktu pengukusan lainnya. Namun dari hasil sidik ragam pengujian perlakuan pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap pengendalian cacat collapse kayu durian.
Pengukusan kayu karet tampak mengurangi cacat collapse, namun hasil sidik ragamnya belum nyata secara statistik. Perlakuan pengukusan 2 jam dapat menekan cacat collapse menjadikan sifat pengeringannya tergolong baik, sedangkan pengukusan 4 jam dan 6 jam menjadikan sifat pengeringan tergolong
sangat baik. Maka pengukusan 4 jam adalah yang optimal untuk mengendaikan cacat collapse dalam proses pengeringan kayu karet.
Pengujian cacat collpase menunjukkan perlakuan pengukusuan dapat menekan terjadinya cacat collaspe pada kayu kecapi, namun dari hasil uji statistik tidak nyata. Pengukusan 4 jam kayu kecapi dapat menekan cacat collapse hingga sifat pengeringannya menjadi baik, artinya pengukusan 4 jam lebih optimal digunakan daripada pengukusan 2 jam dan 6 jam pada kayu kecapi.
4.5 Kecepatan Pengeringan
Pengukusan kayu dengan pemberian tekanan uap dapat meningkatkan permeabilitas kayu sehingga memudahkan keluarnya air dari dalam kayu tanpa mengalami hambatan (Cutter & Phelps 1986; Basri et al. 1999). Faktor yang menghambat proses pengeluaran air dari kayu di antaranya adalah kehadiran tilosis dalam jumlah yang banyak dalam pori/pembuluh ataupun endapan dalam jari-jari maupun saluran interselularnya. Dengan melakukan pengukusan sebelum kayu dikeringkan bisa mempercepat waktu pengeringan tanpa menurunkan kualitasnya (Haslett & Kininmonth 1986).
Gambar 7 Kecepatan penurunan kadar air kayu pada ketiga jenis kayu. 1,38 1,40 1,47 1,66 0,80 0,62 0,84 0,75 0,86 0,79 0,96 0,83 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80
kontrol S 2 Jam S 4 Jam S 6 Jam
Pengukusan Laj u Pe n u ru n an K A (% /J am ) Durian Karet Kecapi
Data lengkap hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 2, 3, dan 4. Hasil analisis sidik ragam atau ANOVA (Lampiran 11) menunjukkan pengaruh perlakuan pengukusan terhadap kecepatan penurunan KA kayu pada ketiga jenis kayu tidak berpengaruh nyata. Dari Gambar 7 diketahui bahwa kecepatan penurunan KA kayu selama pengeringan kayu durian, kayu karet, dan kayu kecapi meningkat dengan perlakuan pengukusan.
Kecepatan pengeringan ketiga jenis kayu berbeda yang tercepat penurunan KA-nya adalah kayu durian sebesar 1,38 %/jam, kemudian kayu kecapi sebesar 0,86 %/jam, dan yang paling rendah adalah kayu karet sebesar 0,80 %/jam. Kecepatan pengeringan kayu dipengaruhi oleh sifat struktur kayu, seperti ketebalan dinding sel, ukuran pori kayu, serta tidak adanya hambatan air untuk keluar dari kayu berupa tylosis atau zat amorf (Tobing 1988).
Dengan perlakuan pengukusan sebelum pengeringan pada ketiga jenis kayu uji, umumnya kecepatan penurunan KA kayu lebih cepat. Waktu pengukusan yang optimal mempercepat penurunan KA kayu berbeda setiap jenisnya. Penurunan KA kayu setelah perlakuan pengukusan 6 jam adalah sebesar 1,66 %/jam (kayu durian); serta pengukusan 4 jam penurunan KA kayunya 0,84 %/jam (kayu karet) dan 0,96 %/jam (kayu kecapi).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Perlakuan pembebanan 30 kg cukup optimal menekan cacat deformasi (cupping dan twist) sehingga sifat pengeringan kayu durian menjadi agak baik. Pengukusan kayu durian 6 jam dapat menekan cacat collapse sampai sifat pengeringannya baik dan dapat mempercepat pengeringan dengan kecepatan penurunan KA kayu sebesar 1,66 %/jam.
2. Pengendalian cacat bentuk yang optimal pada kayu karet ialah dengan perlakuan pembebanan 30 kg dapat menekan cacat cupping dan twist lebih besar daripada perlakuan lainnya. Pengkusan 4 jam dapat menekan cacat collapse sampai sifat pengeringan sangat baik dan dapat mempercepat pengeringan dengan kecepatan penurunan KA kayu sebesar 0,84 %/jam.
3. Pembebanan 30 kg adalah yang optimal digunakan untuk menekan cacat deformasi (cupping dan twist) sampai sifat pengeringannya agak baik. Pengukusan 4 jam dapat menekan cacat collapse sampai sifat pengeringan baik, dan dapat mempercepat pengeringan dengan kecepatan penurunan KA kayu sebesar 0,96 %/jam.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengujian lanjutan pemberian perlakuan kombinasi pengukusan dan perlakuan pembebanan dalam proses pengeringan kayu.
2. Perlu dilakukan pengujian pengendalian cacat deformasi dengan ukuran contoh uji yang lebih besar agar dapat lebih mengamati cacat yang lain seperti membusur (bowing), dan membungkuk (crook).
DAFTAR PUSTAKA
Basri, E., H. Roliadi and Rahmat. 1999. The effect of pre-steaming and cross-sectional endcoating on the drying properties of Indonesian Torem wood species. Proceed. Of the th 4 International Conference on the Development of Wood Science, Wood Technology and Forestry, August 14-16, 1999. Forest Products Research Centre, England. pp 206-211.
Basri E, K. Hayashi, Hadjib, Roliadi. 2000. The Qualities and Kiln Drying Schedule of Several Wood Species from Indonesia. Proceeding of The Third International Wood Science Symposium, November 12, 2000 in Kyoto Japan. pp. 4348.
Bramhall, G. and R.W. Wellwood. 1976. Kiln drying of Western Canadian Lumber. Canadian Forestry Service. Western Forest Products Laboratory. Vancouver, British Columbia.
Budianto AD. 1996. Sistem Pengeringan Kayu. Semarang. Kanisius.
Chafe, S.C. and Ananias. 1996. Effect of presteaming on moisture loss and internal checking in high-temperature-dried boards of Eucalyptus globulus and Eucalyptus regnans. Journal of The Institute of Wood Science Vol. 14 No.2 (LSSUE 80): 72 - 78.
Choong, E. T., Y. Chen, S. S. Achmadi, H. Roliadi and C. Y. Hwang. 1996. Effect of steaming and hot-water soaking on the dryability of some Indonesian woods. Journal of Tropical Forest Products 2 (1):93-103. Forest Research Institute Malaysia, Malaysia.
Coto Z. 2004. Outline Mata Kuliah Pengeringan Kayu. Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Cutter, B.E. and J.E. Phelps. 1986. High pressure steam drying: Effects on permeability. Forest Prod. J. 36 (6): 19 - 20.
Eksanto EJ. 1996. Pengaruh Perendaman Air Belerang dan Minyak Tanah Terhadap Sifat Fisis Mekanis Tiga Jenis Kayu Melalui Uji Serangan Jamur Pelapuk (Sxhizophyllum commune Fr.) [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Hadi YS. 1987. Cacat Collapse Pada Pengeringan Kayu. Bogor : Buletin Jurusan Teknologi Hasil Hutan Vol. I No. 2.
Hasslet, A.N. and J.A. Kininmonth. 1986. Pretreatments to hasten the drying of Nothofagus fusca. NZ Journal For. Science. 16:237-246.
Haygreen JG dan Bowyer. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Hadikusuma, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Martawijaya A. 1972. Keawetan dan Pengawetan Kayu Karet (Hevea brasilensis Muell. Arg.). Laporan Penelitian Hasil Hutan No. 1. Bogor: pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
Mandang, Y. I. 1993. Anatomi dan Indentifikasi 9 Jenis Kayu Kurang Dikenal dari Suku Meliaceae. Jurnal Penelitian hasil Hutan 11 (3) : 286 – 293. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
McMillen, J.M. and E.M. Wengert. 1978. Drying eastern hardwood lumber: Special predrying treatments. U.S. Department of Agriculture, Forest Products Laboratory. Agric. Handbook No. 528, Madison, Wisconsin. pp 61 - 67.
Pandit IKN, Kurniawan D. 2008. Anatomi Kayu : Struktur Kayu, Kayu sebagai Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Semple, K. 1999. Green sorting and alternative timber pre-treatments for drying and preservative treatment of radiata pine (Pinus radiata D. Don.). Institute of Land and Food Resources, University of Melbourne. Master Thesis. Unpublished.
Siau. 1984. Transport Processes in Wood. New York : Springer-Verlag
Simpson W.T., ed. 1991. Dry Kiln Operator's Manual: Drying defects. U.S. Department of Agriculture, Forest Products Laboratory. Agric. Handbook 188, Madison, Wisconsin. pp 179 - 2005.
Terazawa, S. 1965. An easy method for the determination of wood drying schedule. Wood Industry 20 (5), Wood Technological Association of Japan. Tobing TL. 1988. Sifat-sifat Kayu Sehubungan dengan Pengeringan. Bogor :
Departemen Kehutanan, Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood (Structure, Properties,
Utilization). New York : Van Nostrand Reinhold.
Verbeij, E. W. M. Dan R. E. Coronel. 1997. Sumber Daya Nabati Asia tenggara 2 : Buah-buahan yang Dapat Dimakan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Walker JCF. 2007. Primary Wood Processing Priciples and Practice. London : Chapman and Hall.
(1965)
Selisih ukuran tebal pada (mm) Klasifikasi Sifat pengeringan
0-0,3 1 Sangat baik 0,3-0,6 2 Baik 0,6-1,2 3 Agak baik 1,2-1,8 4 Sedang 1,8-2,5 5 Agak buruk 2,5-3,5 6 Buruk >3,5 7 Sangat buruk
Lampiran 2 Tabel perhitungan kecepatan pengeringan pada kayu durian
Jenis Perlakuan Ulangan
Kadar Air Awal Kadar Air Akhir t2 t1 Kecepatan (%/jam) Kecepatan rata-rata (%/jam) Durian Kontrol 1 44,56 14,92 44 17 1,10 1,3821956 2 45,44 14,92 24 6 1,70 3 44,36 14,79 32 8 1,23 4 45,11 14,49 25 6 1,61 5 45,59 14,99 40 16 1,28 Pengukusan 2 Jam 1 45,37 15,36 35 13 1,36 1,40194 2 44,11 15,62 22 4 1,58 3 45,07 15,27 30 6 1,24 4 45,80 15,36 20 1 1,60 5 45,57 15,09 39 14 1,22 Pengukusan 4 Jam 1 44,63 15,33 33 13 1,47 1,46948 2 45,93 15,57 22 4 1,69 3 45,39 15,28 29 5 1,25 4 44,32 15,26 37 14 1,26 5 45,09 14,88 22 4 1,68 Pengukusan 6 Jam 1 45,45 15,23 41 13 1,08 1,65665 2 45,34 15,49 21 4 1,76 3 44,91 15,86 27 13 2,07 4 45,43 15,65 24 6 1,65 5 44,53 15,30 30 13 1,72
Lampiran 3 Tabel perhitungan kecepatan pengeringan pada kayu karet
Jenis Perlakuan Ulangan Kadar Air Awal Kadar Air Akhir t2 t1 Kecepatan (%/jam) Kecepatan rata-rata (%/jam) Karet Kontrol 1 45,5522 15,1088 41 2 0,78 0,79932 2 45,629 15,0508 52 5 0,65 3 44,623 15,1264 42 0 0,70 4 46,0534 14,8354 39 6 0,95 5 45,3671 15,1028 36 3 0,92 Pengukusan 2 Jam 1 45,711 15,0925 55 0 0,56 0,62214 2 45,323 15,1194 52 3 0,62 3 45,012 15,0408 56 0 0,54 4 45,2251 15,0796 48 3 0,67 5 45,255 15,2225 41 0 0,73 Pengukusan 4 Jam 1 45,1829 15,0851 47 1 0,65 0,84368 2 44,4121 15,038 30 1 1,01 3 44,9581 15,129 46 3 0,69 4 44,8734 15,1716 32 3 1,02 5 45,0786 15,0798 37 1 0,83 Pengukusan 6 Jam 1 45,013 15,3958 36 0 0,82 0,748386 2 44,6934 15,1275 41 2 0,76 3 45,0766 15,0892 52 5 0,64 4 45,5415 15,5493 51 9 0,71 5 45,172 15,239 40 3 0,81 Lampiran 4 Tabel perhitungan kecepatan pengeringan pada kayu kecapi
Jenis Perlakuan Ulangan
Kadar Air Awal Kadar Air Akhir t2 t1 Kecepatan (%/jam) Kecepatan rata-rata (%/jam) Kecapi Kontrol 1 46,2238 14,7688 39 12 1,17 0,86346 2 45,3844 14,7374 51 13 0,81 3 45,7985 14,9752 44 13 0,99 4 44,763 15,9914 59 15 0,65 5 45,5775 14,8831 59 15 0,70 Pengukusan 2 Jam 1 45,4504 15,6654 34 9 1,19 0,79 2 44,6758 15,1654 67 14 0,56 3 44,5794 15,9924 52 13 0,73 4 45,536 15,763 48 10 0,78 5 44,3862 15,6036 54 12 0,69 Pengukusan 4 Jam 1 45,737 15,014 30 8 1,40 0,96394 2 45,5798 15,0738 46 11 0,87 3 45,3718 15,418 39 12 1,11 4 45,5798 15,0738 46 11 0,87 5 44,302 15,2014 63 12 0,57 Pengukusan 6 Jam 1 44,4467 15,2779 49 11 0,77 0,83452 2 44,5347 15,5928 52 11 0,71 3 45,0424 15,4936 39 12 1,09 4 44,8204 15,9684 52 12 0,72 5 45,1246 15,089 40 6 0,88
Lampiran 5 Tabel hasil pengujian pengendalian cacat cupping
NO PERLAKUAN Ulangan Cacat cupping (mm) Durian Karet Kecapi
1 Kontrol 1 2,1 2,6 4,15 2 3,5 2,15 1,65 3 1,35 2,1 4,3 4 2,85 2,45 2,6 5 2,7 3 3,1 Rata-rata 2,5 2,46 3,16 Pe n g u k u s a n 2 jam 1 2 1,6 3 2 1,7 1,4 1,1 3 1 1,7 3,2 4 2,15 1,3 4,6 5 2,1 2 1,45 Rata-rata 1,79 1,6 2,67 4 jam 1 3,4 2,15 2,3 2 1,95 2,9 3 3 0,5 2 1,7 4 0,95 1,45 2,3 5 2,4 2 2,3 Rata-rata 1,84 2,1 2,32 6 jam 1 1,7 0,7 1,4 2 2 2 2,2 3 0,6 2,95 1,95 4 1,5 2,5 1,1 5 4,3 1,85 3,7 Rata-rata 2,02 2 2,07 Pe m b e b a n a n 10 Kg 1 1,8 2,4 2 2 1,4 1,5 2,05 3 2,4 0,8 1,95 4 1,4 1,6 2,5 5 1,75 1,4 1,7 Rata-rata 1,75 1,54 2,04 20 Kg 1 0,6 1 0,55 2 0,95 0,95 1,85 3 0,65 0,6 0,45 4 2,3 1 1,2 5 1,1 1,85 2,1 Rata-rata 1,12 1,08 1,23 30 Kg 1 0,85 1,6 0,5 2 1,6 1,6 0,6 3 0,65 1,45 0,65 4 1,7 0,5 0,6 5 0,5 0,95 2,05 Rata-rata 1,06 1,22 0,88
Lampiran 6 Tabel hasil pengujian pengendalian cacat twist
NO PERLAKUAN Ulangan Cacat Twist (mm) Durian Karet Kecapi
2 Twist 1 3,75 4,8 6,6 2 4 5,3 4 3 2,2 4,15 7,7 4 3,9 4,5 4,2 5 2,8 6,15 3,45 Rata-rata 3,33 4,98 5,19 Pe n g u k u s a n 2 jam 1 2,1 4,7 5 2 4,1 2,6 2 3 4,1 1,6 4,1 4 2,9 3,5 7,75 5 4,4 2,75 4 Rata-rata 3,52 3,03 4,57 4 jam 1 3,5 3,6 3,7 2 2,8 2,5 2,4 3 1,5 4,5 3,7 4 2,45 2,5 5,1 5 3 4,1 7 Rata-rata 2,65 3,44 4,38 6 jam 1 2 4,3 3,6 2 4 2,8 4,8 3 0,95 2,45 4,1 4 2,9 3,4 3,95 5 3,4 3,8 3,1 Rata-rata 2,65 3,35 3,91 Pe m b e b a n a n 10 Kg 1 3,1 3,3 3 2 3 3 4,4 3 1,45 2 1,8 4 2,75 1,25 3,02 5 2,9 1,35 2,9 Rata-rata 2,64 2,18 3,024 20 Kg 1 2 2,3 3,25 2 3,7 2 1,6 3 2,3 3,2 2,8 4 2,35 2,4 1,3 5 2,1 2,8 3,3 Rata-rata 2,49 2,54 2,45 30 Kg 1 0,75 0,8 0,9 2 0,8 2 1,5 3 0,95 1,75 1,65 4 1,65 2,45 1,1 5 1,7 2,5 1,05 Rata-rata 1,17 1,9 1,24
Lampiran 7 Tabel hasil pengujian pengendalian cacat collapse
NO PERLAKUAN Ulangan Cacat Collapse (mm) Durian Karet Kecapi
3 Kontrol 1 0,25 0,4 1,65 2 0,6 0,7 0,65 3 0,2 0,9 0,8 4 0,55 0,85 0,65 5 0,5 0,65 0,25 Rata-rata 0,42 0,7 0,8 Pe n g u k u s a n 2 jam 1 0,4 0,1 1,25 2 0,15 1 0,1 3 0,1 0,3 1,1 4 0,6 0,1 0,6 5 0,7 0,6 0,3 Rata-rata 0,39 0,42 0,67 4 jam 1 0,25 0,05 0,4 2 0,55 0,25 0,3 3 0,5 0,5 0,2 4 0,2 0,4 0,2 5 0,3 0,1 1,2 Rata-rata 0,36 0,26 0,46 6 jam 1 0,4 0,25 0,6 2 0,35 0,3 1,3 3 0,4 0,2 0,2 4 0,3 0,7 0,25 5 0,6 0 0,3 Rata-rata 0,41 0,29 0,53 Pe m b e b a n a n 10 Kg 1 0,2 0,6 0,6 2 0,5 0,25 0,4 3 0,5 0,05 0,9 4 0,65 0,4 0,3 5 0,4 0,5 0,4 Rata-rata 0,45 0,36 0,52 20 Kg 1 0,9 0,1 0,75 2 1 0,6 0,7 3 0,2 0,6 0,05 4 0,2 0,3 1 5 0,2 0,1 0,5 Rata-rata 0,5 0,34 0,6 30 Kg 1 0,4 0,35 0,25 2 0,2 0,1 0,6 3 0,65 0,5 0,6 4 0,6 0,4 0,45 5 0,1 0,05 1 Rata-rata 0,39 0,28 0,58