• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Angka kematian penyakit kardiovaskular di Indonesia meningkat setiap tahunnya, tahun 2004 mencapai 30% dibandingkan tahun 1975 yang hanya 5%. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga Indonesia saat ini menunjukkan penyakit serebrokardiovaskuler adalah penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Sebuah penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota Indonesia menunjukkan penyakit arteri koroner merupakan penyebab kematian tertinggi di Jakarta (Dharma et al., 2012). Tahun 2020 diperkirakan akan terdapat 25 juta kematian setiap tahun akibat penyakit kardiovaskular dimana hampir setengahnya akibat penyakit jantung koroner (Dharma et al., 2012; Nurulita et al., 2011).

Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan bentuk paling berbahaya

dari penyakit jantung koroner (PJK) dengan angka kematian tertinggi (Alwi., 2006). Diperkirakan 700.000 penduduk Amerika akan mengalami kejadian koroner pertama pada tahun 2006 dan 500.000 diantaranya akan rekuren (ACC/AHA, 2002). Acute Myocardial Infarction adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung (Fenton, 2009). Acute Myocardial Infarction mempunyai etiologi yang heterogen. Penyebab yang paling sering adalah penyakit aterosklerosis pada arteria koroner dengan erosi atau ruptur dari plak aterosklerosis. Erosi atau ruptur plak menyebabkan paparan faktor-faktor prokoagulan pada inti ateroma dengan trombosit yang bersirkulasi dan protein

(2)

koagulasi. Hasil akhir dari proses ini adalah terbentuknya trombus intrakoroner (Fenton, 2009).

Proses inflamasi pada aterosklerosis diketahui berperan sebagai kunci patofisiologi AMI (Bassand et al., 2008). Inflamasi yang terjadi berpotensi terus meningkat yang berimbas pada perburukan klinis dan Kejadian Kardiovaskular Mayor (KKM) (Ertürk et al, 2013). Kejadian Kardiovaskular Mayor digunakan secara rutin untuk evaluasi prosedur dan outcome jangka pendek maupun jangka panjang karena menggambarkan tingkat keparahan serta kondisi morbiditas dan mortalitas yang dialami pasien (Kip et al, 2008).

Banyak penanda inflamasi diperkenalkan untuk menilai perjalanan KKM (Libby, 2001). Kendala yang dijumpai adalah biaya dan praktikabilitas dari pemeriksaan penanda inflamasi tersebut. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti hs-CRP (high sensitivity C-Reactive Protein), Lp-a (Lipoprotein a), SAA (Serum

Amyloid A), dan prediktor lainnya terhitung mahal. Pemeriksaan-pemeriksaan itu

juga belum tersedia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tipe C ke bawah. Berbagai penelitian kemudian dikembangkan untuk prediktor KKM yang murah dan praktis. Hitung Lekosit dan subtipe-nya yang terdapat dalam pemeriksaan darah rutin memenuhi kriteria tersebut, terutama terkait perannya dalam inflamasi aterosklerotik dan perburukan klinis yang terjadi (Gurm et al, 2003; Gillum et al, 2005; Margolis et al, 2005; Tsai et al, 2007).

Lapisan endotel arteri akan mengalami inflamasi akibat lesi aterosklerotik yang terjadi, menyebabkan migrasi lekosit, terutama netrofil dan monosit, ke dalam intima (Libby et al., 2002; Jialal dan Devaraj, 2001; Azab et al, 2013).

(3)

Inflamasi akan terus berlanjut dan mempengaruhi stabilitas plak serta berperan pada terjadinya penipisan lapisan penutup/fibrous cap yang menyebabkan ruptur plak. Infiltrasi netrofil diketahui meningkat pada plak yang ruptur dan tidak stabil (Elabbassi dan Al-Nooryani, 2006; Jialal dan Devaraj, 2001; Libby et al., 2002). Plak tidak stabil memberi risiko komplikasi klinis yang lebih tinggi, sehingga semakin tinggi jumlah netrofil yang terukur, semakin besar potensi perburukan klinis dan kejadian KKM (Ertürk et al, 2013).

Subtipe lekosit lain, limfosit, merupakan faktor protektif kejadian iskemik dan infark (Mallat, 2004). Penurunan limfosit berkorelasi dengan derajat keparahan aterosklerosis, luaran klinis dan KKM pada SKA, Penyakit Jantung Koroner (PJK), dan penyakit jantung kongestif (Ommen, 1998; Mallat, 2004; Tamhane et al, 2008). Gabungan netrofil dan limfosit dalam rasio netrofil per limfosit diketahui memberikan informasi lebih baik dalam menilai tingkat inflamasi dan risiko KKM (Horne et al, 2005). Rasio ini menggambarkan netrofil sebagai komponen inflamasi aktif serta limfosit sebagai regulator dan komponen protektif dalam satu kesatuan parameter. Semakin tinggi rasio netrofil per limfosit, semakin tinggi inflamasi yang terjadi (Bhutta et al, 2011; Imtiaz et al, 2012; Gibson et al, 2010).

Peran rasio netrofil per limfosit pada penyakit kardiovaskular telah diteliti di berbagai negara dengan populasi dan cut off yang berbeda-beda. Mayoritas menggunakan pembagian tertil, kuartil, atau kuintil dari rasio netrofil per limfosit yang diperoleh pada populasi penelitiannya (Arbel et al, 2012; Gazi et al, 2012; Abbase dan Khadim, 2010; Azab et al, 2010; Azab et al, 2013; Nunez et al, 2008;

(4)

Han et al, 2013; Lee et al, 2012; Shah et al, 2013; Suliman et al, 2010). Peneliti lainnya menggunakan cut off, yang nilainya untuk memprediksi perburukan kondisi atau KKM juga bervariasi antara penelitian satu dengan penelitian lain (Poludasu et al, 2009; Ergelen et al, 2013; Akpek et al, 2012). Poludasu dan rekan (2009) menggunakan cut off >3,5 pada populasi Acute Coronary Syndrome (ACS), Akpek dan rekan (2012) menggunakan cut off >3,3 pada populasi

ST-elevation Myocardial Infarction (STEMI), Ergelen dan rekan (2013)

menggunakan cut off >6,97 pada populasi STEMI. Penelitian terkini dilakukan oleh kalkan dan rekan (2014) dengan cut off >6,37 pada populasi STEMI.

Dari penelitian-penelitian tersebut, hampir semua mendapatkan hasil yang sama, rasio netrofil per limfosit pada tertil/kuartil/kuintil tertinggi atau rasio netrofil per limfosit di atas cut off yang digunakan, merupakan prediktor bebas untuk kejadian kardiovaskular mayor selama perawatan maupun selama pengamatan jangka panjang (Arbel et al, 2012; Gazi et al, 2012; Abbase dan Khadim, 2010; Azab et al, 2010; Azab et al, 2013; Nunez et al, 2008; Han et al, 2013; Lee et al, 2012; Shah et al, 2013; Suliman et al, 2010; Poludasu et al, 2009; Ergelen et al, 2013; Akpek et al, 2012). Ada beberapa penelitian lain yang mendapatkan hasil berlawanan, seperti penelitian Cho dan rekan (2011) serta Kruk dan rekan (2008) yang tidak mendapatkan hubungan antara rasio netrofil per limfosit dengan perburukan klinis yang terjadi.

Penelitian tentang pengaruh rasio netrofil per limfosit terhadap KKM di Indonesia belum dilakukan, sehingga belum diketahui apakah rasio netrofil per limfosit ini dapat digunakan untuk memprediksi kejadian KKM pada populasi ini.

(5)

B. Permasalahan

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Insidensi AMI dari tahun ke tahun terus meningkat, dan memiliki angka

mortalitas dan morbiditas yang tinggi.

2. Proses inflamasi diketahui berperan sebagai kunci patofisiologi AMI. 3. Inflamasi yang meningkat pada AMI dapat mengarah pada perburukan

klinis dan terjadinya KKM.

4. Penanda inflamasi untuk menilai perjalanan KKM masih terkendala biaya dan praktikabilitas.

5. Rasio netrofil per limfosit yang parameternya terdapat dalam pemeriksaan darah rutin diperkenalkan dalam berbagai penelitian untuk menilai tingkat inflamasi dan risiko KKM.

6. Penelitian tentang peran rasio netrofil per limfosit pada penyakit kardiovaskular telah diteliti di berbagai negara dengan populasi dan cut off yang berbeda-beda; cut off yang digunakan peneliti pada populasi

myocardial infarction diantaranya adalah >6,37

7. Penelitian tentang rasio netrofil per limfosit untuk KKM di Indonesia belum dilakukan, sehingga belum diketahui aplikasinya pada populasi ini.

C. Pertanyaan Penelitian

Apakah rasio netrofil per limfosit >6,37 merupakan prediktor bebas kejadian kardiovaskular mayor selama perawatan intensif pasien AMI di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

(6)

D. Keaslian Penelitian

Rasio netrofil per limfosit telah diperkenalkan sebagai penanda prognostik pada pasien yang mengalami ACS, AMI, menjalani Percutaneous Coronary

Intervention (PCI), sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Penelitian tentang rasio netrofil per limfosit dengan Kejadian Kardiovaskular Mayor (KKM)

Peneliti, tahun,

Tempat penelitian

Populasi Metode Hasil

Kalkan et al, 2014 Turki 72 STEMI pasca PCI Cross sectional

Rasio netrofil per limfosit tinggi (>6,37) memiliki fraksi ejeksi ventrikular rendah dan berasosiasi dengan luaran buruk yang tinggi. Ergelen et al, 2013 Turki 2140 STEMI menjalani PCI Kohort retrospektif

Rasio netrofil per limfosit >6,97 adalah prediktor bebas untuk mortalitas jangka panjang dan selama perawatan. Akpek et al, 2012 Turki 428 STEMI menjalani PCI

Kohort Rasio netrofil per limfosit >3,3 adalah prediktor bebas non reflow dan KKM. Gazi et al,

2012

Turki 525 STEMI Kohort retrospektif

Rasio netrofil per limfosit tertil ketiga (>5,77) adalah prediktor bebas untuk mortalitas jangka pendek dan selama perawatan.

Abbase & Khadim, 2010

Marjan, Irak 98 AMI Kohort Rasio netrofil per limfosit dan hitung lekosit tertil ketiga adalah prediktor bebas untuk mortalitas selama perawatan. Azab et al, 2010 New York, USA 1345 NSTEMI

Kohort Rasio netrofil per limfosit tertil ketiga (>4,7) adalah prediktor bebas untuk mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.

Suliman et al, 2010

Oman 300 ACS Kohort Rasio netrofil per limfosit saat masuk (tertil ketiga) adalah prediktor bebas untuk mortalitas. Poludasu et al, 2009 New York, USA 372 ACS Kohort retrospektif

Rasio netrofil per limfosit >3,5 adalah prediktor bebas untuk mortalitas jangka panjang dan selama perawatan. Nunez at

al, 2008

Spanyol 515 STEMI Kohort Rasio netrofil per limfosit kuintil kelima (>4,7) lebih baik dari lekosit dalam memprediksi mortalitas jangka panjang.

Sepengetahuan penulis belum ada penelitian tentang pengaruh besarnya rasio netrofil per limfosit terhadap KKM selama perawatan intensif pasien AMI di Indonesia.

(7)

E. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan bukti ilmiah tentang manfaat rasio netrofil per limfosit dalam pelayanan laboratorium klinis sebagai faktor prognostik pada pasien AMI selama perawatan intensif.

2. Manfaat Praktis

Rasio netrofil per limfosit sebagai parameter yang sederhana, murah, dan rutin diperiksa dapat digunakan untuk menentukan prognosis dan memprediksi kejadian kardiovaskular mayor pada penderita AMI guna pencegahan sekunder terhadap perkembangan komplikasi.

F. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran rasio netrofil per limfosit >6,37 sebagai prediktor bebas kejadian kardiovaskular mayor selama perawatan intensif pasien AMI di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Siswa dapat memformulasikan hubungan antara gaya, energi, usaha, dan daya ke dalam bentuk persamaan melalui percobaan sederhana dengan tepat 2C. Siswa dapat menunjukkan kaitan

What is the correlation between high school students’ reading motivation dimensions (challenge in reading, curiosity in reading, reading enjoyment, social reasons for

dari hasil wawancara. Peran catatan lapangan dalam penelitian tindakan kelas. ini adalah sebagai alat untuk mempermudah peneliti dalam

The main focus of teaching English at the Junior High School is the four language skills, and the national exam focuses on assessing reading, writing, grammar and vocabulary

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka akan dilakukan penelitian yang berjudul “Upaya meningkatkan minat dan hasil belajar matematika dengan model

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Hal ini dibuktikan dengan Kurikulum yang diajarkan di Pesantren ini cukup seimbang antara mata pelajaran ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umumnya, di sisi lain