• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 4. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gambar 4. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam terpilih yang ditentukan melalui uji sensori. Konsentrasi garam yang diberikan terdiri dari empat taraf, yaitu 0 %, 3 %, 6 %, dan 9 %. Uji ini dilakukan untuk mengetahui penilaian yang lebih spesifik dari para panelis. Uji sensori yang dilakukan adalah uji sensori skala hedonik yang mencakup aspek kesukaan terhadap penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Pengujian sensori menggunakan uji skoring menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis yang berjumlah 30 orang.

4.1.1 Penampakan

Penampakan adalah parameter pertama yang dinilai panelis dalam mengonsumsi suatu produk pangan. Bila kesan penampakan baik maka panelis baru melihat karakteristik lainnya seperti aroma, rasa dan tekstur. Penilaian yang diberikan panelis bersifat subjektif secara visual (Soekarto 1985). Hasil dari uji sensori yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.

4,40a 4,90 ab 5,33ab 5,70a 0 1 2 3 4 5 6 0% 3% 6% 9% K onsentrasi g aram N ila i r at a-ra ta s en so ri p en am p ak an

Gambar 4. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap Dari Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi garam dengan kisaran 0 % sampai 9 % memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata nilai sensori penampakan fillet belut asap (Lampiran 4). Nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap dari konsentrasi pemberian garam yang paling kecil sampai besar adalah 4,40; 4,90; 5,33 dan 5,70. Fillet belut asap

(2)

dengan konsentrasi garam 9 % memiliki nilai rata-rata sensori tertinggi yaitu sebesar 5,70 yang berarti produk dianggap mempunyai penampakan yang lebih

baik dibandingkan fillet belut asap dengan konsentrasi garam lainnya (Lampiran 5b). Nilai rata-rata sensori terendah dimiliki oleh fillet belut asap

kontrol, yaitu tanpa pemberian garam. Fillet belut asap yang tidak diberi perlakuan garam akan lebih terlihat berbeda. Pada dasarnya dengan pemberian garam tersebut maka akan terjadi pengeluaran cairan dari dalam tubuh ikan sehingga terjadi perubahan sifat daging ikan (Afrianto dan Liviawaty 1989). Konsentrasi garam yang lebih tinggi menyebabkan tingkat penetrasi garam ke dalam tubuh ikan menjadi lebih cepat. Dengan begitu, air yang ditarik keluar dari dalam tubuh juga akan semakin besar dan daging ikan akan lebih mengkerut. Pada fillet belut asap kontrol, tidak terjadi penarikan air dari dalam produk yang dihasilkan sehingga daging fillet belut asap terlihat tidak padat dan kompak. Penampakan tersebut sangat berbeda dengan produk yang telah direndam dari larutan garam. Produk fillet belut asap yang mendapat perlakuan garam memiliki penampakan yang terlihat lebih padat.

4.1.2 Warna

Warna merupakan salah satu penentu mutu bahan makanan. Biasanya warna yang lebih cerah dan menarik akan lebih disukai oleh konsumen dibandingkan dengan warna yang kusam. Hasil pengujian sensori terhadap warna

fillet belut asap dapat dilihat pada Gambar 5.

5,43a 5,2a 5,6a 4,9a 4,4 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 0% 3% 6% 9% K onse ntra si g a ra m N ila i r at a-ra ta s en so ri w ar na

(3)

Gambar 5 menunjukkan nilai rata-rata sensori fillet belut asap dengan menggunakan konsentrasi garam yang berbeda-beda. Fillet belut asap tanpa perlakuan konsentrasi garam memiliki rata-rata nilai sensori terkecil, yaitu sebesar 4,93. Dengan nilai rata-ratanya yang paling kecil dibandingkan dengan produk yang lain, maka fillet belut asap kontrol ini tidak terlalu disukai oleh panelis. Sedangkan nilai rata-rata sensori terbesar dimiliki oleh fillet belut asap dengan

pemberian garam 3 % sebesar 5,60 yang berarti produk lebih diminati oleh panelis.

Uji Kruskal-Wallis yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi garam yang diberikan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata, dengan nilai P > 0,05 terhadap parameter warna (Lampiran 4). Rentang konsentrasi sebanyak 3 % tidak menimbulkan perbedaan yang nyata terhadap produk. Penggunaan rentang konsentrasi yang lebih besar diperlukan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi terhadap kesukaan panelis terhadap produk. Selain itu, warna dari produk juga lebih dipengaruhi oleh kemurnian garam yang digunakan. Warna dari keseluruhan produk yang dihasilkan adalah cokelat yang berasal dari pengovenan yang dilakukan.

4.1.3 Aroma

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi garam memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) terhadap nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap (Lampiran 4). Dengan hasil tersebut dapat dilihat bahwa garam sama sekali tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap fillet belut asap. Perbedaan konsentrasi garam yang diberikan tidak menghasilkan aroma yang beragam karena garam pada dasarnya lebih berperan sebagai penambah rasa dan daya pengawet (Afrianto dan Liviawaty 1989). Nilai rata-rata sensori terhadap aroma dari tiap pemberian konsentrasi garam yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6.

(4)

5,87a 5,77a 5,5a 5,07a 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6 0% 3% 6% 9% K onsentra si g a ram N il ai r at a-ra ta s en so ri a ro m a

Gambar 6. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma fillet belut asap Berdasarkan dari diagram batang tersebut, dapat dilihat bahwa produk dengan perlakuan asap lebih disukai karena dengan pemberian asap akan menghasilkan produk dengan aroma yang lebih khas (Moeljanto 1982). Karena konsentrasi asap yang digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah sama, maka aroma yang dihasilkan juga sama.

4.1.4 Tekstur

Pada umumnya tekstur bahan pangan yang disukai oleh panelis adalah bahan pangan dengan tekstur yang empuk dan tidak terlalu keras. Hasil dari uji sensori fillet belut asap menunjukkan bahwa pemberian garam dengan konsentrasi

yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap produk (P < 0,05) (Lampiran 4). Nilai rata-rata dari uji sensori yang dilakukan dapat

dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 7.

7,07b 6,5bc 6,2b 4,63a 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0% 3% 6% 9% K onsentrasi g aram N il ai r at a-ra ta s en so ri te ks tu r

(5)

Nilai rata-rata uji sensori fillet belut asap dengan pemberian konsentrasi garam yang berbeda-beda secara berturut-turut adalah sebesar 4,63; 6,20; 6,50 dan 7,07. Penggaraman menyebabkan daging ikan menjadi lebih kompak, karena garam menarik air dan menggumpalkan protein dalam daging ikan (Afrianto dan Liviawaty 1989). Oleh karena itulah, pemberian garam dengan konsentrasi 9 % lebih disukai oleh panelis. Pada fillet belut asap kontrol, tidak terjadi penarikan air dari dalam produk sehingga menghasilkan produk dengan tekstur yang rapuh. Tekstur tersebut sangat berbeda dengan produk yang telah direndam dari larutan garam. Produk fillet belut asap yang mendapat perlakuan garam memiliki tekstur yang lebih kompak dan padat.

4.1.5 Rasa

Rasa termasuk dalam parameter yang sangat menentukan bagi panelis dalam menilai suatu produk. Rasa ini diukur dengan menggunakan indera pengecap (Soekarto 1985). Berdasarkan dari uji sensori yang dilakukan oleh 30 panelis, maka dapat dilihat perbedaan permberian konsentrasi garam pada fillet belut asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa (P < 0,05) (Lampiran 4). Uji lanjut Tukey dilakukan untuk mengetahui perbedaan yang diberikan terhadap rasa, dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 8.

5,97c 5,90c 5,33ab 4,57a 0 1 2 3 4 5 6 7 0% 3% 6% 9% K onsentrasi g a ra m N il ai r at a-ra ta se ns or i ra sa

Gambar 8. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa fillet belut asap

Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa fillet belut asap dengan konsentrasi yang lebih tinggi (kisaran 0 % sampai 9 %) akan lebih disukai oleh panelis. Nilai yang didapat dari pemberian konsentrasi garam 3 % adalah sebesar 5,33.

(6)

Nilai tersebut berbeda nyata (P < 0,05) dengan fillet belut asap konsentrasi garam 0 % yang memiliki nilai sebesar 4,57 (Lampiran 5b). Dari hasil

tersebut bisa dilihat bahwa garam sangat berperan dalam cita rasa (Afrianto dan Liviawaty 1989).

Fillet belut asap tanpa perlakuan garam kurang disukai oleh panelis,

karena tanpa pemberian garam maka fillet belut asap yang dihasilkan rasanya hambar. Hal tersebut sangat berbeda dengan fillet belut asap dengan perlakuan garam. Fillet belut asap dengan konsentrasi garam 3 % dan 6 % masih kurang disukai oleh panelis, karena rasa asinnya dirasakan kurang oleh panelis. Sedangkan fillet belut asap dengan konsentrasi garam 9 % dianggap memiliki rasa asin yang sesuai dengan tingkat keasinan yang sesuai lidah, sehingga lebih disukai oleh panelis.

4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama merupakan lanjutan dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama terdiri dari uji sensori, uji proksimat,uji kadar garam dan uji kadar abu tak larut asam. Pada penelitian utama ini menggunakan konsentrasi garam terpilih pada penelitian pendahuluan yaitu sebesar 9 % dan bumbu yang

dihasilkan pada trial and error yaitu konsentrasi cengkeh 4 % dan kayu manis 3,2 %, asam jawa 5 % dan jahe 4 %.

4.2.1 Uji sensori

Uji sensori yang dilakukan pada penelitian utama ini bertujuan untuk mendapatkan produk kombinasi asap dan bumbu terpilih berdasarkan panelis. Pengujian ini dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Parameter yang dinilai terdiri dari penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa.

4.2.1.1 Penampakan

Nilai yang dihasilkan dari pengujian sensori parameter penampakan adalah berkisar antara 5,10-5,77. Nilai penampakan yang tertinggi dihasilkan oleh fillet belut asap dengan kombinasi bumbu (jahe dan asam) dan konsentrasi asap sebesar 6 %, sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu pada perlakuan bumbu (cengkeh dan kayu manis) tanpa perlakuan asap. Untuk lebih jelasnya, nilai rata-rata dari uji sensori terhadap penampakan dapat dilihat pada Gambar 9.

(7)

5,27a 5,13a 5,40a 5,43a 5,77a 5,63a 5,1a 5,73a 5,23a 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6

K A6 A12 K B 1 A6B 1 A12B 1 K B 2 A6B 2 A12B 2

P erlakuan N il ai r at a-ra ta s en so ri p en am p ak an

Gambar 9. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap

A6 = konsentrasi asap 6 % A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % Dari nilai rata-rata uji sensori tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing nilai uji sensori yang didapat tidak memiliki rentang nilai yang jauh berbeda. Hal ini juga diperkuat dengan hasil uji Kruskal Wallis yang menunjukan bahwa kombinasi bumbu dengan asap cair memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap penampakan fillet belut asap (Lampiran 8). Dengan begitu dapat juga dipastikan bahwa panelis memiliki tingkat penerimaan terhadap penampakan cenderung sama. Tidak terlalu besarnya rentang konsentrasi asap yang digunakan, serta lama pengovenan yang sama di semua perlakuan diasumsikan dapat menyebabkan seluruh penampakan dari fillet belut asap memiliki penampakan yang hampir sama. Hasil ini juga diperkuat dengan penelitian tentang belut asap bahwa perbedaan konsentrasi (5 % dan 10 %) dan waktu pengovenan yang sama menghasilkan rentang nilai uji sensori yang tidak jauh berbeda (Febriani 2006).

(8)

Penampakan produk yang dihasilkan terlihat bersih sampai berwarna cokelat dan kusam.

4.2.1.2 Warna

Warna ikan yang telah mengalami pengasapan berwarna kekuningan (keemasan) atau agak cokelat. Warna tersebut berasal dari komponen asap yang melekat pada produk dan membentuk lapisan damar tiruan yang menghasilkan warna cokelat dan menarik. Semakin besar konsentrasi asap cair yang digunakan maka warna pada ikan asap akan semakin cokelat (Sari 2004).

Pada penelitian yang dilakukan ini, perlakuan kombinasi bumbu dan

konsentrasi asap tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0.05) (Lampiran 8). Hal ini membuktikan bahwa panelis memberikan penilaian pada

fillet belut asap dengan tingkat penerimaan terhadap warna yang cenderung sama.

Nilai rata-rata dari uji sensori fillet belut asap terhadap warna dapat dilihat pada Gambar 10. 5,63a 5,37a 5,7a 5,57a 5,43a 4,30a 5,00a 5,53a 5,57a 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8

K A6 A12 K B 1 A6B 1 A12B 1 K B 2 A6B 2 A12B 2

P erlakuan N il ai r at a-ra ta s en so ri w ar n a

Gambar 10. Diagram batang nilai rata-rata sensori warna fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap

A6 = konsentrasi asap 6 % A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 %

(9)

Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai sensori terendah dihasilkan oleh

fillet belut asap dengan konsentrasi asap 6 % tanpa pemberian bumbu, sedangkan

nilai sensori tertinggi dihasilkan oleh produk dengan pemberian bumbu tanpa pemberian asap. Sama halnya dengan penampakan, perbedaan perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna fillet belut asap (P > 0,05). Hal ini dapat disebabkan besarnya rentang konsentrasi asap yang digunakan, serta lama pengovenan yang sama di semua perlakuan dapat menyebabkan fillet belut asap memiliki warna kecokelatan sampai cokelat yang hampir sama, sehingga panelis juga memberikan nilai yang cenderung sama.

4.2.1.3 Aroma

Aroma lebih banyak dipengaruhi oleh indera penciuman. Aroma ini dikenal juga dengan pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh (Soekarto 1985). Pengasapan memberikan makanan berprotein tinggi dengan komponen aromatiknya yang dapat memberikan flavor dan warna, berperan sebagai bakteriostatik dan antioksidan (Horner 1992 dalam Hattula et al. 2001). Aroma yang terdapat pada ikan asap berasal dari komponen-komponen asap cair seperti syringol yang akan memberikan aroma khas ikan asap.

Aroma yang dihasilkan dari kombinasi bumbu dengan konsentrasi asap menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata (Horner 1992 dalam Hattula et al. 2001). Hal tersebut dibuktikan dengan uji Kruskal Wallis yang menghasilkan nilai P < 0,05 (Lampiran 8). Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A6B1 (kombinasi konsentrasi asap 6 % dengan bumbu) memberikan nilai aroma tertinggi (6,0) (Lampiran 9b). Nilai rata-rata dari uji sensori terhadap aroma dapat dilihat dari Gambar 11.

(10)

5,97c 5,83bc 4,83abc 5,67abc 6,00c 5,40abc 5,53abc 4,57a 4,73ab 0 1 2 3 4 5 6 7

K A6 A12 K B 1 A6B 1 A12B 1 K B 2 A6B 2 A12B 2

P erlakuan N il ai r at a-ra ta s en so ri a ro m a

Gambar 11. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap

A6 = konsentrasi asap 6 % A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa terdapat penilaian yang berbeda antara kontrol (tanpa pemberian asap) dengan perlakuan lainnya yang diberikan konsentrasi asap. Hal ini dapat disimpulkan bahwa panelis lebih menyukai produk dengan aroma asap, baik itu dengan konsentrasi asap 6 % ataupun 12 %. Selain itu, panelis memberikan nila sensori yang lebih tinggi pada produk dengan penambahan bumbu dibandingkan dengan produk yang tidak diberikan perlakuan bumbu. Dengan pemberian bumbu tersebut dapat meningkatkan aroma pada produk (Rahayu 1999).

4.2.1.4 Tekstur

Penginderaan tentang tekstur biasanya berasal dari sentuhan yang dapat ditangkap oleh seluruh permukaan kulit (ujung jari tangan). Rangsangan sentuhan dapat berasal dari bermacam-macam rangsangan mekanik, fisik, dan kimiawi. Dari rangsangan-rangsangan itu dihasilkan kesan ”rasa” rabaan (sensation). Kesan itulah yang dapat menggambarkan tekstur suatu produk (Soekarto 1985). Nilai rata-rata dari uji sensori yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 12.

(11)

5,43a 5,53a 5,33a 5,53a 5,87a 5,60a 5,57a 5,23a 5,17a 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6

K A6 A12 K B 1 A6B 1 A12B 1 K B 2 A6B 2 A12B 2

P erlakuan N il ai r at a-ra ta s en so ri te ks tu r

Gambar 12. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap

A6 = konsentrasi asap 6 % A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 %

Dari Gambar 12 tersebut dapat dilihat bahwa panelis memberikan nilai sensori yang hampir sama untuk semua perlakuan terhadap produk. Hal ini diasumsikan bahwa perbedaan pemberian konsentrasi asap dengan pemberian bumbu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur (P > 0,05) (Lampiran 8). Jumlah kandungan fenol dan karbonil pada asap cair dapat menentukan tekstur dari ikan asap yang dihasilkan (Martinez et al 2005). Asap cair yang digunakan berasal dari asap cair komersil yang sama sehingga tekstur yang dihasilkan cenderung sama.

4.2.1.5 Rasa

Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Rasa berbeda dengan bau dan lebih melibatkan indera pengecap (lidah). Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan

(12)

komponen rasa yang lain (Fachruddin 1997). Nilai rata-rata uji sensori dapat dilihat lebih lengkap pada Gambar 13.

5,83ab 5,60ab 5,23ab 5,90ab 6,23ab 5,07ab 4,93a 5,40 ab 5,60ab 0 1 2 3 4 5 6 7

K A6 A12 K B 1 A6B 1 A12B 1 K B 2 A6B 2 A12B 2

P erlakuan N il ai r at a-ra ta se ns or i ra sa

Gambar 13. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap

A6 = konsentrasi asap 6 % A12 = konsentrasi asap 12 %

KB1 = konsentrasi asap 0 %, jahe 4 % dan asam 5 % A6B1 = konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 % A12B1 = konsentrasi asap 12 %, jahe 4 % dan asam 5 %

KB2 = konsentrasi asap 0 %, cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A6B2 = konsentrasi asap 6 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % A12B2 = konsentrasi asap 12 % cengkeh 4 % dan k. manis 3,2 % Hasil uji sensori terhadap rasa fillet belut asap diperoleh nilai rata-rata kesukaan berkisar antara 4,93 (agak tidak suka) sampai 5,83 (agak suka), yang masing-masing dihasilkan dari kombinasi perlakuan A6 (pemberian asap konsentrasi 6 % tanpa bumbu) dan A6B1 (kombinasi asap konsentrasi 6 % dengan penambahan jahe dan asam).

Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa fillet belut asap menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap rasa (Lampiran 8). Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A6B1 (konsentrasi asap 6 % dengan jahe dan asam) menghasilkan nilai rasa tertinggi, dan tertinggi kedua dihasilkan oleh kombinasi perlakuan A12B1 (konsentrasi asap 12 % dengan jahe dan asam) (Lampiran 9b). Perbedaan rasa dari produk yang dihasilkan dapat disebabkan oleh pemberian asap dengan konsentrasi

(13)

yang berbeda, karena pemberian asap cair tersebut digunakan untuk memberikan cita rasa yang khas pada ikan asap. Rasa yang khas pada ikan asap berasal dari kombinasi komponen asap cair, yaitu senyawa fenol dan karbonil. Selain itu, dengan kombinasi bumbu dan asap yang dilakukan, dapat dilihat bahwa produk dengan pemberiam bumbu lebih disukai dibandingkan produk yang hanya diberikan asap cair. Pemberian bumbu atau rempah-rempah tersebut diharapkan dapat memberikan cita rasa dan juga dapat menyamarkan bau yang tidak diharapkan (Rahayu 1999).

Berdasarkan uji sensori yang dilakukan, 3 dari parameter yang diujikan adalah tidak berpengaruh nyata terhadap produk. Tiga dari parameter tersebut adalah warna, penampakan dan tekstur. Untuk rasa dan aroma, perlakuan yang diberikan pada penelitian utama ini adalah memberikan pengaruh yang nyata terhadap produk. Nilai rata-rata sensori tertinggi dari parameter aroma dan rasa adalah produk A6B1 (konsentrasi asap 6 %, jahe 4 % dan asam 5 %). Produk tersebut juga memiliki nilai rata-rata sensori tertinggi pada tekstur dan penampakan. Produk ini memiliki rasa dan aroma khas ikan asap, dengan rasa hangat yang berasal dari bumbu yang ditambahkan. Dengan nilai tersebut maka produk A6B1 merupakan produk yang paling disukai oleh panelis. Oleh karena itu, produk ini akan digunakan sebagai produk terpilih dan diuji lebih lanjut (uji proksimat, uji kadar garam, uji kadar abu tak larut asam dan TPC).

4.2.2 Uji proksimat

Uji proksimat adalah analisis terhadap suatu bahan yang menyangkut kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat. Uji ini dilakukan untuk mengetahui nilai gizi dari suatu bahan pangan (Winarno et al. 1980).

4.2.2.1 Kadar air

Air merupakan komponen bahan pangan yang mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologis bahan pangan. Pada perubahan fisik bahan pangan, maka perubahan air akan mempengaruhi tekstur. Pada proses mikrobiologis, peranan air sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Pada proses kimiawi dalam bahan pangan, air sangat penting sebagai pelarut, reaktan dalam reaksi hidrolisis, sebagai reaksi produk kondensasi dan sebagai modifikator aktivitas katalisator dan inhibitor (Winarno et al. 1980).

(14)

Air juga sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa dalam pengolahan pangan air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengentalan dan pengeringan. Pengeluaran air selain mengawetkan juga untuk mengurangi besar dan berat bahan pangan sehingga memudahkan dan menghemat pengepakan (Winarno et al. 1980). Penghitungan kadar air pada berbagai perlakuan terhadap

fillet belut asap dapat dilihat pada Gambar 14.

50,25 26,68 0 10 20 30 40 50 60 K A 6B 1 Perlakuan Ni lai ra ta-rat a k ad ar air (% )

Gambar 14. Diagram batang nilai kadar air fillet belut asap

Nilai kadar air dari kontrol dan pelakuan secara berturut-turut adalah 50,25 % dan 26,68 %. Pengurangan kadar air dari kedua produk tersebut disebabkan oleh pengeringan dan pemberian kadar garam yang dilakukan. Berdasarkan dari diagram batang tersebut juga dapat dilihat bahwa kadar air yang terdapat pada kontrol memiliki nilai yang masih tinggi dibandingkan dengan produk terpilih. Perbedaan kadar air pada kedua produk ini dapat disebabkan dari perlakuan yang dilakukan. Pada produk terpilih dilakukan pengasapan dan juga pemberian bumbu. Penggunaan asap cair pada produk dapat menyebabkan keluarnya air dari daging ikan, karena tingkat keasaman asap cair yang dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging (Gomez-Guillen et al. 2003 dalam Martinez et al. 2005). Tingkat keasaman ini semakin meningkat dengan adanya asam-asam organik yang berasal dari jahe dan asam jawa (Winarno et al. 1980). Kombinasi perlakuan penggaraman, pemberian asap cair, pembumbuan dan

(15)

pengovenan pada produk terpilih dapat bekerja secara sinergis menurunkan kadar air pada produk.

4.2.2.2 Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh. Fungsi protein bagi tubuh selain sebagai bahan bakar juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno et al. 1980). Analisis protein yang terkandung dalam bahan pangan, umumnya lebih ditujukan pada kadar total protein daripada terhadap adanya protein spesifik dalam bahan pangan tersebut. Jumlah gram protein dalam bahan pangan biasanya dihitung sebagai hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan faktor 6,25, dan kadar protein yang dihitung dilaporkan sebagai kadar protein kasar (crude protein).

Nilai kadar protein pada produk terpilih memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Nilai terendah dihasilkan oleh kontrol yaitu sebesar 40,15 %. Nilai kadar protein pada produk terpilih adalah sebesar 52,40 % Perbedaan nilai kadar protein seluruh perlakuan dapat dilihat pada Gambar 15.

40,15 52,40 0 10 20 30 40 50 60 K A6B 1 P erlakuan N ila i r at a-ra ta ka da r pr ot ei n ( % )

Gambar 15. Diagram batang nilai kadar protein fillet belut asap

Peningkatan kadar protein setelah mendapat perlakuan ini disebabkan karena adanya penurunan dalam kadar air. Kandungan pada bahan pangan terdiri dari lima komponen yaitu kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu dan kadar karbohidrat. Dengan adanya penurunan nilai dari salah satu komponen, maka akan diikuti oleh penaikan nilai komponen yang lain. Dengan penurunan

(16)

kadar air, maka kadar protein dari produk dapat mengalami kenaikan. Semakin besar penurunan kadar air maka nilai kadar protein akan semakin meningkat.

Kenaikan kadar protein pada produk terpilih juga dapat disebabkan oleh penambahan bumbu dan asap. Penambahan bumbu dan asap tersebut dapat meningkatkan tingkat keasaman sehingga produk akan menjadi lebih cepat kering atau matang. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, nilai protein terlarut mengalami kenaikan pada bagian-bagian tubuh ikan yang telah mengalami berbagai jenis perlakuan pengolahan. Produk yang lebih matang banyak mengalami peningkatan protein terlarut dibandingkan dengan produk yang kurang matang atau mentah. Hal ini diduga telah terjadi penggabungan diantara molekul-molekul protein yang terbentuk sebagai akibat formasi ikatan disulfida selama pemanasan (Yowell dan Flarkey 1986). Percobaan yang dilakukan Yowell dan Flarkey telah membuktikan bahwa pemanasan yang dilakukannya menyebabkan

penurunan total protein terlarut, khususnya protein yang mempunyai bobot molekul 47 kilodalton. Selain itu, pemanasan juga menyebabkan peningkatan 2 fraksi protein terlarut yang mempunyai bobot molekul lebih dari 100 dalton (Yowell dan Flarkey 1986).

Penelitian lain mengenai kadar asam amino juga telah membuktikan bahwa variasi tinggi-rendahnya kadar asam amino pada pengasapan ditentukan oleh kandungan asam amino dalam bahan, pengaruh suhu, lama pemanasan dan kondisi pengasapan terhadap kestabilan asam amino. Pada penelitian tersebut terdapat adanya kadar asam amino yang menurun dan juga meningkat. Salah satu kadar asam amino yang meningkat adalah asam amino glutamat. Penambahan kadar asam amino glutamat tersebut dapat mengindikasikan bahwa ikan teri asap memiliki cita rasa yang lebih baik (Wahyuni 1999).

4.2.2.3 Kadar lemak

Seperti halnya karbohidrat dan protein, lemak merupakan sumber energi

bagi tubuh. Berdasarkan uji kadar lemak, nilai kadar lemak pada kontrol adalah sebesar 3,09 %. Produk terpilih yaitu produk dengan kombinasi asap

konsentrasi 6 % dan penambahan bumbu menghasilkan kadar lemak tertinggi yaitu sebesar 4,33 %. Nilai-nilai dari kadar lemak tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.

(17)

3,09 4,33 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 K A6B 1 P erlakuan N ila i r at a-ra ta ka da r l em ak ( % )

Gambar 16. Diagram batang nilai kadar lemak fillet belut asap

Kadar lemak produk terpilih dengan penambahan asap dan bumbu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Lebih tingginya kadar lemak tersebut dapat disebabkan penambahan bumbu yang digunakan, yaitu asam jawa dan jahe. Peningkatan nilai kadar lemak ini juga dapat disebabkan oleh penurunan kadar air produk.

Bahan pangan yang melalui proses pengeringan pada suhu tinggi dapat mengalami oksidasi lemak yang lebih besar daripada suhu rendah. Perlakuan pengasapan pada produk telah terbukti dapat mengurangi kerusakan lemak. Hal ini diduga karena adanya aktivitas antioksidan komponen asap efektif mencegah oksidasi udara terhadap lemak ikan, minyak ikan, serta lemak pada makanan yang diasap (Cutting 1965 dikutip oleh Harris dan Karmas 1989 dalam Zakaria 1996).

Komponen asam yang bersifat antioksidan antara lain fenol, seperti 2,6-dimetoksi fenol, 2,6-dimetoksi-4-aktil fenol dan 2,6-dimetoksi-4-etil fenol

(Pearson dan Tauber 1973 dalam Zakaria 1996). Asap cair dengan konsentrasi (0,2 – 5) % pada produk terbukti memiliki kandungan antioksidan yang efektif (Schwanke et al. 1996 dalam Coronado et al. 2002).

Oksidasi lemak yang akan terjadi pada fillet belut asap dapat dihambat dengan zat antioksidan yang terdapat dalam bumbu. Zat antioksidan yang dikandung asam jawa tersebut adalah asam sitrat, asam tartrat, asam askorbat dan asam-asam organik lain (kalium bitartat, pektin, dan tanin). Asam-asam organik

(18)

yang terdapat dalam asam jawa ini akan dapat mengurangi penguraian lemak (Winarno et al. 1981). Selain asam jawa, penambahan jahe juga diduga dapat menekan laju kerusakan lemak karena kandungan zat antioksidan yang terdapat pada jahe (Zakaria 1996). Hal ini juga diperkuat oleh Stoilova et al. (2007) bahwa ekstrak jahe memiliki kemampuan antoksidan yang dapat dibandingkan dengan BHT dalam menghambat pembentukan peroksida lipid.

4.2.2.4 Kadar abu

Abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan organik, sehingga jumlah abu dalam bahan makanan mencerminkan jumlah bahan organik yang terkandung di dalam bahan makanan dan sebagian besar komponen kimia pada bahan makanan terdiri dari abu dan air. Abu terdiri dari berbagai komponen mineral seperti K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn dan Cu (Winarno 1997). Hasil dari uji kadar abu yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 17.

2,11 5,7 0 1 2 3 4 5 6 K A6B 1 P erlakuan N ila i r at a-ra ta k ad ar a bu ( % )

Gambar 17. Diagram batang nilai kadar abu fillet belut asap

Kontrol tanpa perlakuan pengasapan dan bumbu memiliki kadar abu sebesar 2,11 %. Nilai kadar abu ini meningkat pada belut dengan perlakuan pengolahan pengasapan, serta penambahan bumbu. Kadar abu pada produk terpilih memiliki nilai sebesar 5,7 %. Perubahan nilai kadar abu tersebut dapat disebabkan oleh adanya penambahan bahan lain seperti bumbu. Perbedaan nilai kadar abu dapat juga disebabkan komposisi zat gizi ikan. Perbedaan komposisi tersebut disebabkan oleh spesies, umur, habitat, jenis kelamin dan waktu penangkapan (Zaitsev et al. 1969).

(19)

4.2.2.5 Kadar karbohidrat

Kadar karbohidrat pada ikan atau bahan pangan hewani lainnya terdapat dalam jumlah yang tidak besar. Kadar karbohidrat yang lebih besar terdapat pada bahan pangan nabati (Winarno et al. 1980). Nilai rata-rata dari kadar karbohidrat pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 18.

4,40 10,89 0 2 4 6 8 10 12 K Perlakuan A6B 1 N ila i r at a-ra ta ka da r ka rbo hi dr at ( % )

Gambar 18. Diagram batang nilai kadar karbohidrat fillet belut asap Kadar karbohidrat ini dihitung dengan metode by difference. Dari diagram batang nilai kadar karbohidrat di atas dapat dilihat bahwa adanya penambahan bahan aditif seperti rempah-rempah dan juga penambahan asap dapat meningkatkan nilai kadar karbohidrat pada produk. Nilai kadar karbohidrat pada kontrol adalah 4,40 %, sedangkan pada produk terpilih adalah sebesar 10,89 %. Penambahan kadar karbohidrat pada produk dengan penambahan bumbu disebabkan oleh kadar karbohidrat yang berasal dari jahe dan asam jawa.

4.2.3 Uji mikrobiologi (Total Plate Count)

Keberadaan mikroorganisme berperan dalam menentukan bahan pangan. Mutu mikrobiologis dalam suatu produk makanan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan. Mutu mikrobiologis ini akan menentukan ketahanan simpan dari produk tersebut ditinjau dari kerusakan oleh mikroorganisme dan keamanan produk dari mikroorganisme ditentukan

oleh jumlah spesies patogenik yang terdapat dalam produk tersebut (Buckle et al. 1987).

(20)

Hasil uji mirobiologi (TPC) yang dilakukan menunjukan bahwa fillet belut asap dengan penambahan asap dan juga kombinasi bumbu dengan asap (produk terpilih sesuai uji sensori) memiliki jumlah bakteri yang rendah dibandingkan dengan kontrol (Horner 1992 dalam Hattula et al. 2001). Jumlah bakteri paling kecil terdapat pada fillet belut asap dengan kombinasi bumbu dan asap cair sebesar 2,6 x 103. Lebih lengkapnya, hasil uji Total Plate Count (TPC) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji Total Plate Count (TPC) fillet belut asap (koloni/gr)

Kontrol A6B1

TPC 3,2 x 105 2,6 x 103

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa dengan pengasapan yang yang dilakukan, jumlah bakteri pada produk berkurang. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kombinasi fenol dan formaldehid yang dapat membunuh bakteri. Selain itu kombinasi antara komponen fungsional fenol dan asam-asam organik yang bekerja secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikroba. Proses pengovenan yang dilakukan juga berperan dalam menurunkan jumlah bakteri. Adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam asap juga merupakan zat antibakteri yang tinggi (Astuti 2000 dalam Prananta 2008). Pada penelitian lain pengasapan dengan asap cair juga telah terbukti memiliki kandungan antioksidatif dan antimikroba. Kandungan dari asap cair terdiri dari fenol, syringol, guaikol, katekol dan euganol propionat dan asam organik lain yang memiliki pH rendah dan dapat merusak dinding sel bakteri (Pszczola 1995 dalam Coronado et al. 2002)

Kombinasi asap dengan bumbu jelas memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap jumlah bakteri. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah bakteri pada produk asap dengan bumbu memiliki jumlah bakteri yang terkecil, yaitu sebesar 2,6 x 103. Hal ini dapat diasumsikan bahwa kombinasi komponen asam dan fenol dengan zat-zat antibakteri dapat menurunkan jumlah bakteri yang lebih besar.

(21)

4.2.4 Uji kadar garam

Kadar garam pada produk pangan termasuk dalam kandungan yang penting untuk diketahui. Penambahan garam pada produk bertujuan untuk memberikan rasa dan juga untuk bahan pengawet (dengan konsentrasi garam yang lebih banyak). Akan tetapi, pemberian garam yang terlalu banyak dapat mengganggu kesehatan, seperti hipertensi (Opstvedt 1988). Nilai kadar garam dari perlakuan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 19.

4,36 0,96 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 K A6B1 Perlakuan N il ai r at a-ra ta k ad ar g ar am ( % )

Gambar 19. Diagram batang nilai kadar garam fillet belut asap

Berdasarkan diagram batang tersebut, besarnya nilai kadar garam dari kontrol adalah 4,36 %. Nilai tersebut melebihi nilai kadar garam dari produk dengan perlakuan asap dan bumbu. Perbedaan nilai tersebut diasumsikan berasal dari bahan aditif (bumbu) yang ditambahkan pada perlakuan. Pada kontrol yang hanya mendapat perlakuan garam akan lebih banyak mengandung kadar garam dibandingkan dengan penggunaan bumbu karena dalam 300 gram fillet belut hanya terdapat garam. Pada perlakuan dengan bumbu, garam yang digunakan akan bercampur dengan bumbu sehingga dalam 300 gram fillet belut terdapat garam, dan bumbu (jahe dan asam jawa).

(22)

4.2.5 Uji kadar abu tak larut asam

Penentuan kadar abu tak larut asam ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya bahan pengotor pada produk. Apabila abu banyak mengandung abu jenis ini maka dapat di perkirakan proses pencucian bahan tidak sempurna ataupun terjadi kontaminasi dari tanah selama proses pengolahan bahan tersebut. Pada

fillet belut asap ini diduga akan mengandung bahan pengotor, karena habitat belut

merupakan perairan yang terdapat lumpur. Nilai dari kadar abu tak larut asam dapat dilihat pada Gambar 20.

0,29 0,28 0,27 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,29 0,29 0,29 0,29 K A6B 1 P erlakuan N ila i r at a-ra ta ka da r a bu t ak l ar ut a sa m ( % )

Gambar 20. Diagram batang nilai kadar abu tak larut asam fillet belut asap Dari diagram batang tersebut dapat dilihat bahwa kontrol dengan perlakuan memiliki nilai kadar abu tak larut asam yang tidak berbeda nyata. Kadar abu tak larut asam ini banyak dipengaruhi oleh bahan pengotor pada bahan baku. Pada penelitian yang dilakukan, perlakuan pencucian pada bahan baku adalah sama. Jadi, nilai yang dihasilkan pada penentuan kadar abu tak larut asam ini tidak memiliki nilai yang berbeda. Kadar abu tak larut asam dari fillet belut asap ini masih berada pada batasan kadar abu tak larut asam ikan asap menurut SNI (Lampiran 1).

Gambar

Gambar 4. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap Dari Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi garam  dengan  kisaran  0 % sampai  9 % memberikan  pengaruh  yang  nyata  terhadap     rata-rata  nilai  sensori
Gambar 5. Diagram batang nilai rata-rata sensori warna fillet belut asap
Gambar 6. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma fillet belut asap Berdasarkan  dari  diagram  batang  tersebut,  dapat  dilihat  bahwa  produk  dengan  perlakuan  asap  lebih  disukai  karena  dengan  pemberian  asap  akan  menghasilkan produk denga
Gambar 8. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa fillet belut asap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik yang melibatkan Oknum dari Perguruan Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate dan Persaudaraan

In general, school-based management / School can be interpreted as a management model that gives greater autonomy to schools and encouraging participatory

[r]

Dari hasil penelitian diperoleh rata-rata nilai tes siswa setelah tindakan dengan melakukan perkalian aljabar dengan menggunakan tabel adalah pada siklus 1 yaitu 31 pada siklus 2

[r]

Analisis Implikasi Temuan Penelitian terhadap Pengembangan Strategi Pembelajaran Operasi Hitung Berdasarkan Konsep Belajar Konstruktivisme Sosial .... Analisis Pengembangan

Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.. Field guide for fishery purposes: The marine fishery resources

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual 145,114.. c Bagian efektif dari lindung nilai arus kas