BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BIODIESEL
Biodiesel didefinisikan sebagai metil/etil ester yang diproduksi dari minyak tumbuhan atau hewan dan memenuhi kualitas untuk digunakan sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel. Biodiesel tergolong bahan bakar yang dapat diperbaharui karena diproduksi dari hasil pertanian, antara lain jarak pagar, kelapa, sawit, kedelai, jagung, rape seed, kapas, kacang tanah dan lain sebagainya. Selain itu biodiesel juga bisa dihasilkan dari lemak hewan dan minyak ikan. Penggunaan biodiesel cukup sederhana, dapat terurai
(biodegradable), tidak beracun, pada dasarnya bebas kandungan belerang (sulfur)
dan memiliki kandungan energi yang hampir sama dengan kandungan energi petroleum diesel [24].
Biodiesel dapat diperoleh melalui reaksi transesterifikasi trigliserida dan atau reaksi esterifikasi asam lemak bebas tergantung dari kualitas minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku [8]. Bila bahan baku yang digunakan adalah minyak mentah yang mengandung kadar asam lemak bebas (free fatty acid) tinggi, yakni lebih besar dari 2%, maka perlu dilakukan proses praesterifikasi untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2%, sehingga biodiesel dihasilkan melalui 2 tahap proses, yaitu:
a. Esterifikasi asam
Ini merupakan proses pendahuluan menggunakan katalis asam untuk menurunkan kadar asam lemak bebas hingga sekitar 2%. Asam sulfat
(sulphuric acid) 0,5 wt% dan alkohol (umumnya metanol) dengan nisbah
molar antara alkohol dan bahan baku minyak sebesar 6:1 terbukti memberikan hasil konversi yang baik.
b. Esterifikasi alkalin
Jika minyak berkadar FFA tinggi langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun. Terbentuknya sabun dalam jumlah yang cukup besar dapat menghambat pemisahan gliserol dari metil ester dan berakibat terbentuknya emulsi selama proses pencucian. Jadi esterifikasi digunakan sebagai proses pendahuluan untuk mengkonversikan FFA menjadi metil ester sehingga mengurangi kadar FFA dalam minyak nabati dan selanjutnya ditransesterifikasi dengan katalis basa untuk mengkonversikan trigliserida menjadi metil ester [8]. Bila bahan baku minyak yang digunakan memiliki kadar air dan asam lemak bebas rendah, maka proses esterifikasi dengan katalis alkalin bisa langsung dilakukan terhadap minyak tersebut.
Kedua proses esterifikasi di atas dilakukan pada temperatur 40-600C. Esterifikasi dilakukan di dalam wadah berpengaduk magnetik dengan kecepatan konstan (umumnya pada 600 rpm). Keberadaan pengaduk ini penting untuk memastikan terjadinya reaksi di seluruh bagian reaktor. Produk esterifikasi alkalin akan berupa metil ester di bagian atas dan gliserol di bagian bawah (akibat perbedaan densitas). Setelah dipisahkan dari gliserol, metil ester tersebut selanjutnya dicuci dengan air distilat panas (10 vol%). Air pencuci ini juga akan terpisahkan dari metil ester dan menempati bagian bawah reaktor karena memiliki densitas yang lebih tinggi dibandingkan metil ester. Metil ester yang telah dimurnikan ini selanjutnya bisa digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel [24].
Biodiesel yang telah diproduksi juga harus diketahui standarisasinya. Tabel 2.1 berikut memperlihatkan standar mutu biodiesel di Indonesia.
Tabel 2.1. Standarisasi Mutu Biodisel Indonesia (RSNI EB 020551) [5]
No. Parameter Satuan Batas Nilai Metode Uji Metode Setara
Tabel 2.1. Standarisasi Mutu Biodisel Indonesia (RSNI EB 020551) (Lanjutan)
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi biji tanaman kopi.
Gambar 2.1 Struktur Buah dan Biji Kopi (Wikipedia, 2011)
Dari sekian banyak jenis biji kopi yang dijual di pasaran, hanya terdapat 2 jenis varietas utama, yaitu kopi arabika (Coffea arabica) dan robusta (Coffea
robusta). Masing-masing jenis kopi ini memiliki keunikannya masing-masing dan
pasarnya sendiri. 1. Biji kopi arabika
Kopi ini berasal dari Etiopia dan saat ini telah dibudidayakan di berbagai belahan dunia, mulai dari Amerika Latin, Afrika Tengah, Afrika Timur, India, dan Indonesia. Secara umum, kopi ini tumbuh di negara-negara beriklim tropis atau subtropis. Kopi arabika tumbuh pada ketinggian 600-2000 m di atas permukaan laut. Suhu tumbuh optimalnya adalah 18-260C. Biji kopi yang dihasilkan berukuran cukup kecil dan berwarna hijau hingga merah gelap [27].
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Biji Kopi Arabika (% berat kering) [9]
Komponen Kopi Pasar Kopi Sangrai
Kaffein 1,2 1,3
Trigonellin 1,0 1,0
Protein 9,8 7,5
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Biji Kopi Arabika (% berat kering) (Lanjutan) Keterangan:
Komponen Kopi Pasar Kopi Sangrai
Asam-asam amino 0,5 0
Sukrosa 8,0 0
Gula pereduksi & gula lainnya 1,1 0,3
Polisakarida 49,8 38,0
Asam aliphatic 1,1 1,6
Asam quinat 0,4 0,8
Asam klorogenat 6,5 2,5
Lemak 16,2 17,0
Hasil karamelisasi dan kondensasi - 25,4 Mineral (sebagai oksida) 4,2 4,5
Total 100 100
Air 8-12 0-5
Tabel 2.3 Karakteristik Minyak Biji Kopi Arabika [15]
Karakteristik Rentang Nilai
Densitas Relatif (250C) 0,92 – 1,20
Refractive Index (250C) 1,46-1,49
Bilangan Saponifikasi 170-200 mg/KOH/1g Bilangan Iodin 70-100 I2/100g
Bilangan Peroksida Max. 10.00 mEQ O2/1000g
Viskositas Max (250C) 300 cp Tak Tersaponifikasi Max 10,0%
Titik Lebur 5 – 150C
Moisture & volatiles < 2%
Titik lebur 5-150C
UV B Max Absorption 300-303 nm Sedimen (Pada 250C) ≤ 5 mg/3 g
Impurities % ≤ 1
Kopi robusta pertama kali ditemukan di Kongo pada tahun 1898. Kopi robusta dapat dikatakan sebagai kopi kelas dua, karena rasanya yang lebih pahit, sedikit asam, dan mengandung kafein dalam kadar yang jauh lebih banyak. Kopi robusta dapat tumbuh pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut. Kopi robusta banyak dibudidayakan di Afrika Barat, Afrika Tengah, Asia Tenggara, dan Amerika Selatan [27].
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Biji Kopi Robusta (% berat kering) [9]
Komponen Kopi Pasar Kopi Sangrai
Kaffein 2,2 2,4
Trigonellin 0,7 0,7
Protein 9,5 7,5
Asam-asam amino 0,8 0
Sukrosa 4,0 0
Gula pereduksi 0,4 0,3
Gula lainnya 2,0 -
Polisakarida 54 42
Asam aliphatic 1,2 1,6
Asam quinat 0,4 1,0
Asam klorogenat 10,0 3,8
Lemak 10,0 11,0
Hasil karamelisasi dan kondensasi
- 25,9
Aroma volatile Traces 0,1
Mineral (sebagai oksida) 4,4 4,7
Total 100 100
2.2.1 Minyak Biji Kopi
Sebanyak 0,2-0,3% kadar lemak total pada kopi terdapat pada lapisan lilin pelindung biji. Asam lemak pada lapisan lilin berbeda dari pada minyak kopi. Pada lapisan lilin terdapat asam lemak 5-hidroksitriptamida dari asam palmitat, arachidat, behenat dan lignoserat. Pada minyak kopi terdapat trigliserida dengan asam lemak linoleat (40-45%), asam palmitat (30-35%). Pada ester diterpen terdapat asam palmitat (40-45%) dan asam linoleat (26%). Kadar asam lemak bebas robusta lebih tinggi daripada arabika. Lemak dan turunannya pada biji kopi antara lain trigliserida, asam lemak bebas, ester diterpen, diterpen bebas, triterpen, sterol, ester-ester sterol, tokoferol, fosfatida serta 5-hydroksitryptamida dan turunannya. Pengingkatan asam lemak bebas selama penyimpanan menyebabkan kopi menjadi berbau tengik. Diterpen pada biji kopi antara lain safestol, kahweol, dan 16-0-methilcofestol. Kahweol sedikit sekali terdapat pada kopi robusta, sedangkan pada kopi arabika sebesar 0,31%. 6-0-methilcofestol hanya terdapat pada kopi robusta antara 0,07-0,15%. Rasio kafestol:kahweol pada kopi arabika antara 40:60-70:30, sedangkan pada kopi robusta tidak terdapat atau sedikit sekali terdapat kahweol [22]. Minyak biji kopi rusak diketahui memiliki kadar asam lemak bebas (FFA) lebih besar dari 5% [20].
Tabel 2.5 Komposisi Kimia Lemak Kopi [9]
Komposisi % dari lemak total
Trigliserida 70-80
asam lemak bebas 0,5-2,7
ester-ester diterpen 15-18,5
diterpen bebas 0,1-1,2
triferpen, sterol dan ester-ester sterol 1,4-3,2 5-hidroksitriptamida dan turunannya 0,3-0,7
Tokoferol 0,3-0,7
2.2.2 Biji Kopi Rusak
Biji kopi rusak dikenal secara luas memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas minuman. Di Brazil, biji yang rusak bisa mencapai kuantitas 20% dari total produksi kopi. Biji yang rusak ini harus dipisahkan dari biji yang baik sebelum dikomersialisasikan pada perdagangan internasional dan akhirnya bertumpuk pada perdagangan lokal Brazil, yang menurunkan kualitas kopi sangrai yang dikonsumsi di Brazil [16]. Di Indonesia sendiri, lebih dari 65% ekspor kopi Indonesia adalah tergolong kopi mutu rendah yang terkena larangan ekspor. Adapun hal yang menyebabkan tingginya jumlah limbah biji kopi berupa biji kopi rusak di Indonesia ini antara lain kesalahan pemetikan dan penanganan paska panen [7].
Adapun beberapa jenis biji kopi rusak yang dibedakan berdasarkan karakteristiknya secara visual, antara lain :
a) Antestia
Disebabkan oleh hama Antestia, biji kopi yang terbentuk menjadi sedikit tidak berwarna hingga hampir keseluruhan gelap dan kisut.
b) Bits
Merupakan kepingan biji kopi yang terpecah selama pengolahan. c) Biji Gelap (Black Beans)
Merupakan biji yang gelap, atau sangat gelap, atau biji yang tidak tersangrai. Biji gelap biasanya dihasilkan dari pemanenan buah yang belum matang atau buah yang jatuh secara alami dari pohon. Biji gelap juga dapat dihasilkan karena terlalu banyak kontak dengan air dan panas serta akibat serangga. Biji kopi yang tidak tersangrai dengan warna gelap, biru tua atau daerah permukaan cokelat tua lebih dari 25% dapat dianggap sebagai biji gelap. Biji gelap menghasilkan efek yang merugikan pada rasa kopi. Jumlah biji gelap dalam suatu sampel merupakan ukuran dasar penggolongan kelas kopi.
d) Shells
e) Moldy
Biji kopi yang tidak tersangrai dengan tekstur sedikit hijau atau putih seperti bulu hewan yang merupakan ciri jamur. Biji kopi sangrai yang dikenai efek jamur akan memiliki bau apek dan berjamur.
f) Withered (Layu)
Merupakan biji kopi yang memiliki ciri bekerut, tidak mengembang, dan ringan. Seringkali disebabkan oleh kekeringan [30].
2.3 EKSTRAKSI
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi padat cair atau leaching adalah perpindahan komponen terlarut dari padatan inert ke dalam pelarutnya. Ekstraksi dari bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solvent pengekstraksi.
Minyak dapat diekstraksi dengan perkolasi, imersi, dan gabungan perkolasi-imersi. Dengan metode perkolasi, pelarut jatuh membasahi bahan tanpa merendam dan berkontak dengan seluruh spasi diantara partikel. Sementara imersi terjadi saat bahan benar-benar terendam oleh pelarut yang bersirkulasi di dalam ekstraktor. Sehingga dapat disimpulkan:
a. Dalam proses perkolasi, laju di saat pelarut berkontak dengan permukaan bahan selalu tinggi dan pelarut mengalir dengan cepat membasahi bahan karena pengaruh gravitasi.
b. Dalam proses imersi, bahan berkontak dengan pelarut secara periodik sampai bahan benar-benar terendam oleh pelarut. Oleh karena itu pelarut mengalir perlahan pada permukaan bahan, bahkan saat sirkulasinya cepat. c. Untuk perkolasi yang baik, partikel bahan harus sama besar untuk
mempermudah pelarut bergerak melalui bahan.
Metode perkolasi biasa digunakan untuk mengekstraksi bahan yang kandungan minyaknya lebih mudah terekstraksi. Sementara metode imersi lebih cocok digunakan untuk mengekstraksi minyak yang berdifusi lambat.
Ada dua jenis ekstraktor yang lazim digunakan pada skala laboratorium, yaitu ekstraktor Soxhlet dan ekstrakor Butt.
2.3.1 Ekstraktor Soxhlet
Pada ekstraktor Soxhlet, pelarut dipanaskan dalam labu didih sehingga menghasilkan uap. Uap tersebut kemudian masuk ke kondensor melalui pipa kecil dan keluar dalam fasa cair. Kemudian pelarut masuk ke dalam selongsong berisi padatan. Pelarut akan membasahi sampel dan tertahan di dalam selongsong sampai tinggi pelarut dalam pipa sifon sama dengan tinggi pelarut di selongsong. Kemudian pelarut seluruhnya akan mengalir masuk kembali ke dalam labu didih dan begitu seterusnya. Peristiwa ini disebut dengan efek sifon.
2.3.2 Ekstraktor Butt
Prinsip kerja ekstraktor Butt mirip dengan ekstraktor Soxhlet. Namun pada ekstraktor Butt, uap pelarut naik ke kondensor melalui anulus di antara selongsong dan dinding dalam tabung Butt. Kemudian pelarut masuk ke dalam selongsong langsung lalu keluar dan masuk kembali ke dalam labu didih tanpa efek sifon. Hal ini menyebabkan ekstraksi Butt berlangsung lebih cepat dan berkelanjutan (rapid). Selain itu ekstraksinya juga lebih merata. Ekstraktor Butt dinilai lebih efektif daripada ekstraktor Soxhlet. Hal ini didasari oleh faktor berikut :
b. Pada ekstraktor Soxhlet terdapat pipa sifon yang berkontak langsung dengan udara ruangan. Maka akan terjadi perpindahan panas dari pelarut panas di dalam pipa ke ruangan. Akibatnya suhu di dalam Soxhlet tidak merata. Sedangkan pada ekstraktor Butt, pelarut seluruhnya dilindungi oleh jaket uap yang mencegah perpindahan panas pelarut ke udara dalam ruangan [2].
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi padat-cair, antara lain: 1. Ukuran partikel
Ukuran partikel yang kecil dapat mempercepat operasi, hal ini disebabkan partikel yang kecil memberikan luas permukaan perpindahan massa yang semakin besar, sehingga proses pelarutan dan difusi semakin mudah. Bila ukuran partikel terlalu kecil kemungkinan pengotoran larutan akan semakin besar.
2. Pelarut
Semakin besar jumlah pelarut, hasil yang diperoleh semakin banyak. Hal ini disebabkan distribusi partikel dalam pelarut semakin besar, sehingga memperluas permukaan kontak. Semakin besar perbedaan konsentrasi komponen terlarut dalam pelarut, maka difusi akan semakin mudah berlangsung.
3. Waktu
Waktu operasi dapat mempengaruhi kadar hasil yang diperoleh. Semakin lama berarti jumlah sirkulasi semakin banyak. Hal ini mempunyai batasan sampai kondisi yang optimum [3].
2.4 ESTERIFIKASI
berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikiometrik) dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam.
Reaksi esterifikasi dari asam lemak menjadi metil ester adalah : RCOOH + CH3OH RCOOH3 + H2O
Asam Lemak Metanol Metil Ester Air
Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam ≥ 5 mg-KOH/g). Pada tahap ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi. Namun sebelum produk esterifikasi diumpankan ke tahap transesterifikasi, air dan bagian terbesar katalis asam yang dikandungnya harus disingkirkan terlebih dahulu.
2.5 TRANSESTERIFIKASI
Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty Acids
Metil Ester, FAME).
Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat [14]. Katalis yang biasa digunakan pada reaksi transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini dapat mempercepat reaksi.
Produk yang diinginkan dari reaksi transesterifikasi adalah ester metil asam-asam lemak. Terdapat beberapa cara agar kesetimbangan lebih ke arah produk, yaitu:
a. Menambahkan metanol berlebih ke dalam reaksi b. Memisahkan gliserol
c. Menurunkan temperatur reaksi (transesterifikasi merupakan reaksi eksoterm) [9].
2.6 ANALISA BIAYA PRODUKSI METIL ESTER
Analisa biaya produksi ini hanya menghitung biaya untuk bahan baku dan daya listrik yang digunakan untuk proses ekstraksi, destilasi dan transesterifikasi. Harga pelarut N-Heksana = Rp 3.500/ liter
Harga Methanol = Rp 20.000/liter Asumsi,
jumlah kopi yang diproduksi 100 kg maka jumlah minyak yang dihasilkan yaitu, 17,3 % x 100 kg = 17,3 kg.
Dari proses transesterifikasi yang dilakukan diperoleh metil ester 39,63% Harga metil ester = (39,63 % x 17,3 kg) x Rp 7880/ l
= 6,85599 kg = 7,493 l = 7,493 l x Rp 7880/ l = Rp 59044,84
Daya untuk pengaduk magnetic 1,6 kW. Waktu optimum proses transesterifikasi 2 jam.
Daya yang digunakan = 1,6 kW x 2 h = 3,2 kWh Tarif dasar listrik per kWh Rp 1004
Hasil yang diperoleh adalah harga penjualan biodiesel dikurangi biaya pembelian bahan baku dan biaya listrik untuk magnetic.
Hasil perolehan produksi metil ester = Rp 67437,- – (Rp 23500,- + Rp 3.212,8,-) = Rp 32332,04,-