BAB II
TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
2.1. Spending habit
Didalam bidang ilmu marketing terdapat istilah perilaku konsumen (consumer behavior), yaitu proses yang dilalui oleh seseorang untuk mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya (Schiffman & Kanuk, 2000; Kotler, 2000). Dari definisi tersebut, consumer behavior dibagi menjadi 3 tahap : tahap perolehan, konsumsi, dan tindakan pasca beli.
Konsep ‘keputusan beli’ ternyata juga digunakan dalam bidang ilmu finance, dimana Jacobs dan Shipp (1990) sudah menggunakan konsep tersebut dengan mengggunakan istilah spending dan mendefinisikannya sebagai pola konsumsi setiap keluarga berdasarkan besarnya pendapatan yang diterima. Penelitian Dröge dkk. (1993) juga menggunakan konsep tersebut dengan lebih menspesifikkan pada personal/individu dan istilah yang digunakan adalah consumption culture. Namun, yang membedakan konsep ‘keputusan beli’ dalam dua penelitian tersebut dengan ‘konsep beli’ dalam bidang ilmu marketing adalah pada kecendrungan individu dalam pengambilan keputusan, bukan terhadap pemilihan item tertentu, tetapi lebih terhadap dua hal : pemenuhan kebutuhan ataukah pemenuhan keinginan.
2.2. Power prestige
Power prestige merupakan salah satu dimensi
dari money attitude yang dikemukakan Yamauchi & Templer (1982) dimana money attitude sendiri berarti sikap terhadap uang, sehingga jelas objek yang dievaluasi adalah uang. Sikap (Attitude) diarahkan oleh Ajzen (2005) lebih kepada respon, sikap seseorang (bukan tindakan), yang bersifat evaluatif dua kutub terhadap suatu objek atau perilaku tertentu : setuju atau menolak, baik atau buruk, perasaan mendukung (positif) atau tidak mendukung (negatif).
Haning (2012) kemudian hanya menjabarkan money attitude sebagai kecenderungan sikap yang
bersifat positif atau negatif terhadap uang. Sikap yang bersifat negatif terhadap uang membimbing individu pada perilaku konsumtif dan boros. Dalam 5 dimensi money attitude yang dikembangkan oleh Yamauchi &
sebagai simbol kesuksesan. Selain itu, uang dipandang sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan (power) atas lingkungan dan orang disekitarnya, sehingga orang dengan sikap power-prestige cenderung suka menghamburkan uang, berkebalikan dari dimensi retention time yang menunjukkan kehati-hatian dalam
menggunakan uang (Tang, 1995).
2.3. Etnis
Etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnis memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi (Ardiana, 2011). Dalam diri individu, pengaruh etnis sangat kuat dalam membentuk nilai, norma, pola pikir dan gaya hidup. Individu dengan pola pandang yang berbeda akan mengakibatkan keragaman dalam pola perilaku bermasyarakat (Anderson & Paskeviciute, 2006).
pada ajaran leluhur (Tan, 2010). Wijaya (2007) mendefinisikan orang Tionghoa (Cina) adalah orang keturunan Tionghoa yang berfungsi sebagai warga atau berpihak pada masyarakat Tionghoa atau yang dianggap sebagai orang Tionghoa oleh orang Indonesia pribumi dan mendapatkan perlakuan tertentu sebagai akibatnya. Lebih lanjut Wijaya mendefinisikan etnis Jawa sebagai etnis yang banyak bermukim di pulau Jawa khususnya Jawa bagian Tengah dan Timur, dimana etnis ini mempunyai pola perilaku dan aturan-aturan yang khas dan berlandaskan falsafah hidup yang telah digariskan secara turun-temurun sebagai tradisi yang harus dipatuhi dan dijaga kelestariannya.
2.4. Derajat Extrovert
Extrovert merupakan salah satu dimensi dari
Personality (kepribadian) dimana personality dideskripsikan Larsen dan Buss (2010) sebagai:
“the set of psychological traits and mechanisms within the individual that are organized and relatively enduring
and that influence his or her interactions with, and
Definisi tersebut melihat personality sebagai mekanisme internal seseorang yang juga terkait dengan interaksinya dengan lingkungan sosial.
Dimensi Extrovert pertama kali diperkenalkan oleh Carl G. Jung pada tahun 1933 (dalam Sharp, 1987), individu berkepribadian extrovert cenderung memiliki derajat kepribadian introvert yang kecil atau bahkan tidak sama sekali. Dalam penelitian selanjutnya, dimensi extrovert-introvert terus digunakan (Berenbaum & Williams, 1995; Lucas & Baird, 2004) dikarenakan dimensi tersebut merupakan major dimension (dimensi utama) dari personality (Wilt & Revelle, 2008); sudah mewakili perbedaan afektif (sikap, karakter, respon terhadap lingkungan sekitarnya) tiap individu (Revelle & Scherer, 2009). Cattell (1957) mendeskripsikan extrovert sebagai action-oriented, highly impulsive, social, and ascendant. Hampir sama
seperti Cattell, Goldberg et al. (2005) menyatakan individu yang memiliki derajat Extrovert tinggi cenderung senang bersosialisasi, berani dan gemar bercakap-cakap.
2.5. Rumusan Hipotesis
2.5.1.Pengaruh Etnis terhadap Spending habit
memiliki, mengelola, dan menyimpan uang sebanyak – banyaknya (Tan, 2010). Etnis lain seperti Jawa mengajarkan uang sebagai alat pengikat persaudaraan sehingga seseorang tidak segan untuk mengeluarkan uang demi kepentingan bersosialiasi. Diluar dua etnis tersebut, etnis Manado misalnya, karena uang dipandang sebagai simbol kesuksesan maka cenderung membelanjakan uangnya untuk memenuhi keinginan (Mandey, 2009). Dari situ, muncul dugaan bahwa etnis turut berpengaruh terhadap spending habit seseorang.
Penelitian Othman dkk. (2005) menemukan adanya perbedaan pola beli kado antara konsumen di negara Malaysia dengan konsumen di negara China. Hasil penelitian sebelumnya (Jung & Kau, 2004) semakin memperkuat dugaan tersebut dengan menemukan adanya perbedaan pola konsumsi konsumen antar 3 etnis yang berbeda di satu negara, yaitu etnis Malay, Chinese, dan India di Singapura, dalam hal pemilihan brand dan penyebaran informasi dalam memilih barang.
Hipotesis 1 : “Etnis memiliki pengaruh signifikan terhadap spending habit”
2.5.2. Pengaruh Derajat Extrovert terhadap Spending habit
lingkungan sosialnya. Sebagai contoh, Nave dkk. (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa anak – anak dengan kepribadian „verbally fluent‟ (fasih dalam verbal namun terkendali) cenderung bertindak dominan terhadap lingkungan pergaulannya dan dapat dengan cepat membaur jika dimasukkan dalam kelompok pergaulan lain. Nave dalam penelitiannya yang lain bersama Sherman (2010) menyebutkan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang sama lebih dari satu kali, tindakan yang dilakukan bisa tidak sama, dan faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah kepribadian.
pengeluaran tak terduga yang berasal dari keinginan, bukan kebutuhan.
Penelitian sebelumnya membuktikan individu dengan kepribadian extrovert akan menunjukkan perilaku pembelian kompulsif yang lebih besar (Shahjehan dkk., 2012), sehingga diduga kepribadian berpengaruh terhadap spending habit seseorang.
Hipotesis 2 : “Derajat extrovert memiliki pengaruh signifikan terhadap spending habit”
2.5.3. Pengaruh Power prestige terhadap Spending habit
pandang itulah diduga money attitude berhubungan dengan spending habit seseorang.
Hasil penelitian Burgess dkk. (2005) menunjukkkan bahwa analisa tentang money attitude penduduk berperan penting dalam tindakan seseorang, dalam penelitiannya disebutkan pembelian produk financial di Afrika Selatan. Dugaan money attitude berhubungan dengan spending habit seseorang semakin diperkuat dengan hasil penelitian Stollak dkk. (2011) yang menyebutkan adanya hubungan antara sikap individu terhadap uang yang ditunjukkan melalui manajemen budgeting terhadap pola konsumsi, ditunjukkan dengan adanya perbedaan antara mahasiswa tingkat tinggi (yang sudah lebih tertata manajemen budgeting-nya karena lebih banyak pengetahuannya tentang hal itu) dibandingkan juniornya atau freshmen dalam hal menghabiskan uang jajannya; junior dan freshmen cenderung untuk menghabiskan uang jajannya untuk pengeluaran sehari – hari dalam jumlah besar.
2.5.4. Pengaruh Etnis terhadap Power prestige
Anderson & Paskeviciute (2006) mengemukakan bahwa etnis berpengaruh sangat kuat dalam membentuk pola pikir dan gaya hidup seseorang, yang juga mengarah pada perbedaan dalam mengelola uang. Terkait dengan hal tersebut, penelitian sebelumnya oleh Bailey & Lown (1993) menemukan adanya ketidaksamaan money attitude yang dimiliki penduduk di 2 negara yang berbeda, dan disebutkan bahwa perbedaan budaya antar negara yang menyebabkan hal itu. Penelitian Falahati dkk. (2011) kemudian secara spesifik menyatakan bahwa tidak perlu berbeda negara, di dalam satu negara pun jika etnisnya berbeda maka financial management yang dimiliki pun juga akan
berbeda; dibuktikan dengan adanya perbedaan financial management antar etnis Malay, Chinese, dan Indian di negara Malaysia. Dari hasil penelitian tersebut maka diduga etnis berpengaruh terhadap money attitude seseorang, dalam penelitian ini dimensi power prestige. Hipotesis 4 : “Etnis memiliki pengaruh signifikan terhadap power prestige”
2.5.5. Pengaruh Derajat Extrovert terhadap Power prestige
membantu individu tersebut mengatasi permasalahan yang terjadi dalam hidup, salah satunya masalah keuangan. Contohnya, individu yang level extraversion-nya rendah, atau dengan kata lain bertipe konseptual (introvert) melaksanakan segala sesuatunya berdasarkan rencana, sehingga dalam keuangan pun diduga bersifat hati – hati dan penuh pertimbangan .
Prinsip kehati – hatian dan penuh perencanaan tersebut ternyata dapat ditemukan dalam salah satu dimensi money attitude yang dikemukakan Yamauchi & Templer (1982) yaitu dimensi retention time, dimana dalam dimensi ini uang dipandang sebagai jaminan hari tua sehingga uang perlu dikelola dengan baik. Lain halnya pada individu dengan kepribadian extrovert. Olson & Weber (2004) menyatakan bahwa extrovert terkait dengan kebutuhan akan kontak sosial, kekuasaan, dan status. 3 prinsip tersebut juga dapat ditemui dalam salah satu dimensi money attitude yang dikemukakan Yamauchi & Templer (1982) yaitu power-prestige dimana uang dipandang sebagai sumber
kekuasaan.
2.5.6. Power prestige sebagai Variabel Mediasi dari Etnis terhadap Spending habit
Pola pandang yang dimiliki suatu etnis melekat erat pada keturunannya. Etnis Tionghoa misalnya, mempunyai prinsip ‘uang harus menghasilkan uang’ dan ‘hidup tidak hanya untuk hari ini melainkan juga untuk hari esok’. Dari prinsip tersebut terlihat bahwa uang dapat dipandang sebagai tolak ukur kesuksesan, alat untuk investasi, atau bahkan tabungan di masa depan sehingga muncul tindakan dari keturunannya untuk memiliki, mengelola, dan menyimpan uang sebanyak – banyaknya. Etnis lain seperti Jawa mengajarkan kepada keturunannya untuk memandang uang sebagai alat pengikat persaudaraan sehingga seseorang tidak segan untuk mengeluarkan uang demi kepentingan bersosialisasi. Dari penelitian Falahati dkk. (2011) disebutkan perbedaan Financial management yang berbeda berimbas pada habit yang
berbeda pula; saving habit yang terbaik dimiliki etnis Chinese, diikuti oleh etnis Malay lalu Indian. Dari
situlah disimpulkan sikap seseorang terhadap uang, dalam penelitian ini adalah power prestige dapat menjadi variabel mediasi dari etnis terhadap spending habit.
Hipotesis 6 : “Power-prestige dapat menjadi variabel
2.5.7. Power prestige sebagai Variabel Mediasi dari Derajat Extrovert terhadap Spending habit Seseorang yang memiliki derajat extrovert yang tinggi selalu terkait dengan kebutuhan akan kontak sosial, kekuasaan, dan status. Orang tersebut tidak berpikir lama untuk mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitarnya, atau bahkan membuat orang lain mengikuti kehendaknya. Kebutuhan akan kontak sosial, kekuasaan, dan status tersebut ternyata juga dapat ditemui dalam dimensi power prestige.
Sikap terhadap uang yang ditunjukkan melalui dimensi power-prestige berarti menganggap uang berperan penting untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lain (eksternal), status sosial, achievement, dominasi atas orang lain dan pada akhirnya uang dipandang sebagai simbol status dan kesuksesan. Selain itu, uang juga dipandang sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan (power) atas lingkungan dan orang disekitarnya sehingga uang dipakai untuk memengaruhi orang lain. Ketika seseorang sudah menganggap uang sebagai alat kekuasaan, maka dampaknya adalah cenderung boros dalam mengeluarkan uang untuk mendapatkan rasa hormat dari lingkungan sekitarnya. Dari situlah diduga power prestige dapat menjadi variabel mediasi bagi derajat
Hipotesis 7 : “Power-prestige dari money attitude dapat menjadi variabel mediasi pengaruh derajat extrovert
terhadap spending habit”