TINJAUAN YURIDIS PERBUATAN MELAWAN HUKUM
DALAM PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
IRWANSYAH/ D 101 11 165
PEMBIMBING
I. DR. SAHLAN S.H,S.E,M.S
II. ABD. RAHMAN HAFID, S.H,M.H
ABSTRAK
Tinjauan yuridis perbuatan melawan hukum Dalam persaingan usaha tidak sehat dibimbing oleh Sahlan dan Abd. Rahman, tulisan ini mengangkat masalah tentang perbuatan melawan hukum dalam persaingan usaha tidak sehat, Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak, persaingan yang harus dilakukan adalah persaingan yang sehat. Kegiatan ekonomi dan bisnis pun tidak luput dari sebuah persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang mengatur persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sangat diperlukan semua pihak supaya tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan, adapun rumusan masalah dalam tulisan ini untuk mengetahui sejauhmana atau syarat-syarat hukum apa yang harus dipenuhi suatu perbuatan Persaingan Usaha dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum dan sejauhmana sanksi hukum ganti rugi dapat diterapkan sebagai akibat perbuatan melawan hukum dalam persaingan usaha, dengan menggunakan metode peneltian yuridis normatif, analisa yang penulis dapatkan bahwa harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuah atau tidak berbuah, perbuatan itu harus melawan hukum, ada kerugian, ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian, dan ada kesalahan (schuld). Pembebanan ganti rugi terhadap pelaku usaha yang melakukan persaingan usaha tidak sehat mengacu pada ketentuan-ketentuan ganti rugi yang diatur dalam pembebanan ganti rugi karena wan prestasi.
Kata Kunci : Perbuatan Melawan Hukum, Persaingan Usaha Tidak Sehat
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Persaingan sangat dibutuhkan
dalam peningkatan kualitas hidup
manusia. Dunia yang kita kenal
sekarang ini adalah hasil dari
persaingan manusia dalam berbagai
aspek. Persaingan yang dilakukan
secara terus-menerus untuk saling
mengungguli membawa manusia
dalam kehidupan yang
berangsur-angsur menuju arah yang semakin
maju dari sebelumnya. Untuk
terciptanya keadilan dan
kesejahteraan bagi semua pihak,
persaingan yang harus dilakukan
adalah persaingan yang sehat.
Kegiatan ekonomi dan bisnis pun
tidak luput dari sebuah persaingan,
mengingat kegiatan ini dilakukan
banyak pihak untuk menunjang
kelangsungan hidupnya. Oleh karena
itu, hukum yang mengatur
persaingan usaha dalam kegiatan
ekonomi dan bisnis sangat
diperlukan semua pihak supaya tidak
ada pihak-pihak yang merasa
dirugikan.
Perkembangan hukum
persaingan usaha di Indonesia tidak
terlalu menggembirakan, bahkan
dapat dikatakan sangat buruk ketika
Indonesia masih berada di bawah
Pemerintahan Rezim Orde Baru.
Ketika itu, praktek-praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat
sangat subur terjadi di dalam dunia
usaha Indonesia disebabkan karena
adanya praktek-praktek kolusi,
korupsi dan nepotisme yang terjadi
antara kalangan dunia usaha dan
birokrat pemerintah.1
Menurut Munir Faudy,
perbuatan melawan hukum adalah
sebagai suatu kumpulan dari
prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk
mengontrol atau mengatur perilaku
bahaya, untuk memberikan tanggung
jawab atas suatu kerugian yang terbit
dari interaksi sosial, dan untuk
menyediakan ganti rugi terhadap
korban dengan suatu gugatan yang
tepat.2
Seiring dengan Era
Reformasi, telah terjadi perubahan
yang mendasar dalam bidang hukum
ekonomi dan bisnis, yang ditandai
antara lain dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
yang di banyak negara disebut
Undang-Undang Antimonopoli.
Undang-undang seperti ini sudah
sejak lama dinantikan oleh pelaku
usaha dalam rangka menciptakan
iklim usaha yang sehat dan bebas
dari praktik kolusi, korupsi, dan
nepotisme. Dalam Undang-Undang
1 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia cet 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004, hlm 1-4
2
Nomor 5 Tahun 1999 telah diatur
sejumlah larangan praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha yang tidak
sehat lainnya, dengan harapan dapat
memberikan jaminan kepastian
hukum dan perlindungan yang sama
kepada setiap pelaku usaha atau
sekelompok pelaku usaha dalam
berusaha. Dengan adanya larangan
ini, pelaku usaha atau sekelompok
pelaku usaha dapat bersaing secara
wajar dan sehat, serta tidak
merugikan masyarakat banyak dalam
berusaha, sehingga pada gilirannya
penguasaan pasar yang terjadi timbul
secara kompetitif. Disamping itu
dalam rangka menyosong era
perdagangan bebas, kita juga dituntut
untuk menyiapkan dan
mengharmonisasikan rambu-rambu
hukum yang mengatur hubungan
ekonomi dan bisnis antar bangsa.
Dengan demikian dunia internasional
juga mempunyai andil dalam
mewujudkan lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Hukum persaingan usaha
merupakan instrumen hukum yang
menentukan tentang segala aspek
yang berkaitan dengan persaingan
usaha yaitu mencakup hal-hal yang
dapat dan tidak dapat dilakukan oleh
pelaku usaha. Persaingan sehat
adalah persaingan yang pelaku
usahanya tidak terpusat pada tangan
tertentu dan tersentralisasi pada
beberapa pihak saja, akan tetapi
berjalan sesuai mekanisme pasar
yang sehat yaitu dalam dunia
ekonomi semua pelaku usaha
mempunyai hak dan kewajiban yang
sama. Sedangkan persaingan tidak
sehat adalah persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan
produksi dan/atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur
atau melanggar hukum atau
menghambat persaingan usaha.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
yang telah terurai di atas, maka dapat
dibuat suatu rumusan masalah yaitu:
1. Syarat-syarat hukum apa
yang harus dipenuhi suatu
perbuatan Persaingan Usaha
sehingga dapat dipandang
sebagai perbuatan melawan
hukum ?
2. Bagaimana sanksi hukum
ganti rugi dapat diterapkan
sebagai akibat perbuatan
melawan hukum dalam
II. PEMBAHASAN
A. Perbuatan Melawan Hukum sebagai akibat dalam Persaingan Usaha Tidak Sehat
Suatu persaingan usaha yang
dilakukan oleh pelaku usaha,
kemudian berdampak kepada
pengusaha lain dan atau bahkan
kepada warga masyarakat, maka
pelaku usaha yang melakukan
persaingan usaha tersebut dapat
dipertanggungjawabkan baik dari
segi hukum pidana (berupa
penjatuhan sanksi pidana pokok
dan/atau pidana tambahan), hukum
administrasi negara berupa sanksi
administratif, maupun dari segi
hukum perdata khususnya sebagai
suatu perbuatan melawan hukum
yang terhadap pelaku dibebani
kewajban untuk membayar ganti
kerugian.
Oleh karena dalam penulisan
karya ilmiah ini, penulis
berkehendak mengkaji aspek
perbuatan melawan hukum sebagai
suatu kajian hukum keperdataan
terhadap perbuatan pelaku usaha
yang melakukan persaingan usaha
tidak sehat, maka sepatutnyalah
diketengahkan terlebih dahulu
hal-hal yang berkaitan dengan
konsepsi-konsepsi hukum perbuatan melawan
hukum itu sendiri.
Di dalam ilmu hukum, unsur
kesalahan dianggap ada jika
memenuhi salah satu di antara 3
(tiga) syarat sebagai berikut:
1. Ada unsur kesengajaan;
2. Ada unsur kelalaian
(negligence, culpa);
3. Tidak ada alasan pembenar
atau alasan pemaaf.
Kesalahan mencakup dua
pengertian, yakni kesalahan dalam
arti luas (terdapat kelalaian dan
kesengajaan) dan kesalahan dalam
arti sempit (hanya berupa
kesengajaan). Apabila seseorang
pada waktu melakukan perbuatan
melawan hukum itu tahu betul bahwa
perbuatannya akan berakibat suatu
keadaan tertentu yang merugikan
pihak lain maka dapat dikatakan
bahwa pada umumnya seseorang
tersebut dapat
dipertanggung-jawabkan. Syarat untuk dapat
dikatakan, bahwa seseorang itu tahu
betul akan adanya akibat itu, ialah
bahwa seseorang itu tahu hal adanya
keadaan-keadaan sekitar
keadaan-keadaan yang menyebabkan
kemungkinan akibat itu akan terjadi.
Dicantumkannya syarat
kesalahan dalam Pasal 1365
KUHPerdt., pembuat undang-undang
berkehendak menekankan bahwa
pelaku perbuatan melawan hukum
hanyalah bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkannya
apabila perbuatan tersebut dapat
dipersalahkan padanya. Vollmar
menyatakan bahwa pembuat
undang-undang menerapkan istilah schuld
(kesalahan) dalam beberapa arti
yaitu:
1) Pertanggungan jawab si
pelaku atas perbuatan dan
atas kerugian, yang
ditimbulkan karena perbuatan
tersebut;
2) Kealpaan sebagai lawan
kesengajaan;
3) Sifat melawan hukum.
Dari segi berat ringannya,
derajat kesalahan dari pelaku
perbuatan melawan hukum, maka
dibandingkan dengan perbuatan
melawan hukum yang dilakukan
dengan unsur kelalaian, maka
perbuatan melawan hukum yang
dilakukan dengan unsur kesengajaan
derajat kesalahannya lebih tinggi.
Jika seseorang yang dengan sengaja
merugikan orang lain (baik untuk
kepentingannya sendiri atau bukan),
berarti dia telah melakukan
perbuatan yang melanggar hukum
tersebut dalam arti yang sangat serius
ketimbang dilakukannya hanya
sekedar kelalaian belaka.3
1. Kesengajaan Dalam Unsur Kesalahan
Unsur kesengajaan dalam
perbuatan melawan hukum
dianggap ada apabila
dengan perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja
tersebut telah menibulkan
konsekuensi tertentu
terhadap fisik dan/atau
mental atau harta benda
korban, meskipun belum
merupakan kesengajaan
untuk melukai (fisik atau
mental) dari korban
tersebut.4 Van Bemmelen
dan Van Hattum telah
mengemukakan adagium
“tiada hukuman tanpa kesalahan” dan Rutten telah
3
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer) Cetakan. II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 45-46.
4
berusaha menerapkan
adagium tersebut dalam
bidnag perdata dengan
mengemukakan tiada
pertanggungan gugat atas
akibat-akibat daripada
perbuatannya yang melawan
hukum tanpa kesalahan atau
sebagaimana dikemukakan
oleh Meyers bahwa
perbuatan melawan hukum
mengharuskan adanya
kesalahan (een
onrechtmatige daad verlangt schuld).5
Unsur kesengajaan dianggap
eksis dalam suatu tindakan
manakala memenuhi
elemen-elemen sebagai
berikut:6
1) Adanya kesadaran
(state of mind) untuk melakukan;
2) Adanya
konsekuensi dari
perbuatan. Jadi,
bukan hanya
adanya perbuatan
saja;
5 Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1982), hlm. 68
6 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 47
3) Kesadaran untuk
melakukan, bukan
hanya untuk
menimbulkan
konsekuensi,
melainkan juga
adanya
kepercayaan bahwa
dengan tindakan
tersebut “pasti”
dapat menimbulkan
konsekuensi
tersebut.
2. Kelalaian Dalam Unsur Kesalahan
Perbuatan melawan
hukum dengan unsur
kelalaian berbeda dengan
perbuatan melawan hukum
dengan unsur kesengajaan.
Dengan kesengajaan, ada niat
dalam hati dari pihak pelaku
untuk menimbulkan kerugian
tertentu bagi korban, atau
paling tidak dapat
mengetahui secara pasti
bahwa akibat dari
perbuatannya tersebut akan
terjadi. Akan tetapi, dalam
kelalaian tidak ada niat dalam
hati dari pihak pelaku untuk
bahkan mungkin ada
keinginannya untuk
mencegah terjadinya kerugian
tersebut.
Dengan demikian,
dalam perbuatan melawan
hukum dengan unsur
kesengajaan, niat atau sikap
mental menjadi faktor
dominan, tetapi pada
kelalaian, yang dipentingkan
ialah sikap lahiriah dan
perbuatan yang dilakukan
tanpa terlalu
mempertimbangkan apa yang
ada dalam pikirannya.
Untuk mengimplementasikan
perbuatan melawan hukum diatas
dalam penyelesaian suatu kasus,
penulis mengetengahkan sengketa
antara PT Tirta Fresindo Jaya
(produsen Le Minerale) dengan PT Tirta Investama (produsen Aqua) dan Sengketa Dominan PT Forisa
Nusapersada (produsen Pop Ice) sebagai berikut:
Contoh Kasus I:7
Persaingan produsen air minum
dalam kemasan (AMDK)
7 disadur dari laman
http://kabar24.bisnis.com/read/20170711/16/ 670224/persaingan-usaha-tidak-sehat-asal-mula-kasus-aqua-vs.-le-minerale (diakses pada tanggal 27 Oktober 2017)
khusunya di wilayah
Jabodetabek tengah ramai
dengan kasus yang menyeret
penguasa pasar PT Tirta
Investama (terlapor I) dan
distributornya, PT Balina
Agung Perkasa (terlapor II).
Perkaranya tengah bergulir di
Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) yang terdaftar
dengan nomor perkara
No.22/KPPU-L/2016. Dalam
kasus ini produsen Aqua PT Tirta Investama diduga
melanggar tiga pasal sekaligus,
yaitu Pasal 15 ayat (3), Pasal
19 dan Pasal 25 UU No.
5/1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Aqua dituduh
melarang outlet di Jabetabek untuk menjual produk Le
Minerale. Hal itu tertuang
dalam surat perjanjian yang
harus disepakati oleh
pedagang outlet. Pedagang ini yang ramai-ramai melapor ke
KPPU,” ujar Direktur
Penindakan KPPU Gopprera
Panggabean. Perkara ini
bermula dari laporan para
ke Kantor KPPU pada
September 2016. Pedagang
mengaku dihalangi oleh pihak
PT Tirta Investama untuk
menjual produk Le Minerale
yang diproduksi PT Tirta
Fresindo Jaya (Mayora Group).
Salah satu klasul perjanjian
ritel menyebutkan, apabila
pedagang menjual produk Le
Minerale maka statusnya akan
diturunkan dari star outlet (SO) menjadi wholesaler (eceran). Atas perbuatan itu, PT Tirta
Fresindo Jaya ini melayangkan
somasi terbuka terhadap PT
Tirta Investama di surat kabar
pada 1 Oktober 2017. Somasi
ini selanjutnya ditanggapi oleh
otoritas persaingan usaha.
KPPU mengendus praktik
persaingan usaha tidak sehat
dalam industri AMDK. Dari
sidang-sidang diKPPU
diketahui bahwa tim
investigator setidaknya
memiliki tiga bukti. Salah satu
bukti yang dimiliki tim
investigator yakni bukti
komunikasi berupa e-mail. Investigator mengaku menemukan komunikasi dua
arah antara terlapor I dan II,
yang saling dikirim melalui
alamat e-mail kantor. E-mail yang ditemukan tim investigator berjudul
"Degradasi Star Outlet (SO) Menjadi Wholesaler." E-mail itu berisi sanksi yang diterapkan oleh terlapor II
kepada pedagang SO. Bahkan,
terlapor II disebut telah
mengeksekusi sanksi tersebut
kepada salah satu SO.
Menanggapi tuduhan itu kubu
PT Tirta Investasma melalui
kuasa hukumnya, Rikrik
Rizkiyana dari kantor hukum
Assegaf Hamzah & Partners,
mengatakan Aqua berbisnis
sesuai undang-undang. Diakui
memang ada hubungan antara
perseroan dengan terlapor II
berupa prinsipal dan ditributor.
Namun, Aqua tidak pernah
bersepakat menghambat
kompetitor lain untuk bersaing
di pasar yang sama. Sistem
distribusi Tirta Investasma
menganut sistem jual putus
kepada distributor, sehingga ketika perusahaan menjual
Sementara itu kubu PT Balina
Agung Perkasa, distributor Aqua, menganggap e-mail kantor juga dapat digunakan
untuk kepentingan pribadi,
sehingga bukti surat elektronik
tentang klausul penurunan
level pedagang merupakan
pertanggungjawaban pribadi.
Kuasa hukum PT Balina
Agung Perkasa Ketut Widya
mengatakan tugasnya
distributor adalah menjual produk, dan tidak seperti apa
yang dituduhkan lewat temuan
surat elektronik. Menurutnya,
di perusahaan penggunaan e-mail kantor juga dapat
dimungkinkan untuk
kepentingan pribadi. PT.
Inbisco Niagatama merupakan
perusahaan yang
mendistribusikan produk
Mayora, termasuk Le Minerale.
Contoh Kasus II:8
PT Forisa Nusapersada sebagai
produsen Pop Ice akhirnya dihukum Komisi Pengawas
8 Disadur dari laman
https://news.detik.com/berita/3287606/prom osi-tidak-sehat-pop-ice-didenda-rp-11-miliar (diakses pada tanggal 27 Oktober 2017)
Persaingan Usaha (KPPU)
sebesar Rp 11 miliar. Kasus ini
berawal dari strategi marketing
PT Forisa Nusapersada.
Perusahaan itu mewajibkan
kios minuman dan toko di
pasar untuk tidak memajang
dan/atau menjual produk
pesaing dengan cara
menjanjikan hadiah berupa 1
bal Pop Ice, kaos, dan blender.
PT Forisa Nusapersada
menukar 1 renceng produk
pesaing dengan 2 renceng
produk Pop Ice dalam program
bantu tukar. Tidak hanya itu,
PT Forisa Nusapersada juga
membuat perjanjian kontrak
eksklusif dengan kios minuman dan toko di pasar untuk
melarang menjual produk.
Strategi marketing itu
dilaporkan masyarakat ke
KPPU. Pop Ice lalu dikenakan
Pasal 19 huruf (a) dan (b) dan
Pasal 25 ayat 1 huruf (a) dan
(c) UU Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. KPPU lalu
menurunkan tim investigator
dan menemukan bila PT Forisa
melakukan tindakan anti
persaingan usaha dan
menyalahgunakan posisi
dominan dengan mengeluarkan
Program Pop Ice The Real Ice Blender. Hal itu dibuktikan dengan adanya internal office memo yang berisi tiga program, yaitu program bantu tukar
produk pop ice, program
display kios minuman dan
program display toko pasar.
Setelah memanggil 36 pihak
yang terdiri dari saksi, ahli, dan
terlapor untuk diperiksa dalam
persidangan KPPU
memutuskan PT Forisa
Nusapersada bersalah
melanggar UU terkait. "Majelis
Komisi juga menghukum
terlapor PT Forisa Nusapersada
membayar denda sebesar Rp
11.467.500.000,00 untuk
disetorkan ke kas negara," kata
majelis KPPU sebagaimana
dilansir website KPPU, Rabu
(31/8/2016). Putusan itu
diketok pada Selasa (30/8)
dengan susunan majelis Nawir
Messi selaku ketua majelis,
Syarkawi Rauf dan Saidah
Sakwan masing-masing
sebagai anggota majelis. KPPU
menyatakan PT Forisa
Nusapersada melanggar Pasal
19 huruf (a) dan (b), dan Pasal
25 ayat 1 huruf (a) dan (c) UU
Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. "Memerintahkan PT
Forisa Nusapersada untuk
menghentikan Program Pop Ice The Real Ice Blender dan mencabut Internal Office Memo Nomor 15/IOM/MKT-DB/XII/2014 tanggal 29
Desember 2014," putus
majelis.
Terlepas dari polemik di media
tersebut, hemat penulis bahwa
bilamana suatu pelaku usaha
melakukan perbuatan persaingan
usaha tidak sehat yang memenuhi
unsur ketentuan-ketentuan berkaitan
dengan perbuatan melawan hukum
yang diatur dalam buku III
KUHPerdata, maka pelaku usaha
tersebut dapat
dipertanggungjawabkan baik di
depan pengadilan (melalui
penyelesaian litigasi) maupun diluar
pengadilan (penyelesaian
B. Ganti Rugi Sebagai Akibat
Hukum Perbuatan
Melawan Hukum yang disebabkan oleh persaingan usaha tidak sehat
Hukum yang mengatur
mengenai ganti rugi perdata sudah
lama dikenal dalam sejarah hukum.
Dalam Pasal 1365 KUHPerdt,
menentukan kewajiban pelaku
perbuatan melawan hukum untuk
membayar ganti rugi namun tidak
ada pengaturan lebih lanjut mengenai
ganti kerugian tersebut. Dalam
hukum perdata dapat dipersoalkan
apakah ada perbedaan pengertian
antara (1) kerugian sebagai akibat
suatu perbuatan melawan hukum di
satu pihak; dan (2) kerugian sebagai
akibat tidak terlaksananya suatu
perjajian di lain pihak. Oleh karena
itu, Pasal 1365 KUHPerdt.
menamakan kerugian akibat
perbuatan melawan hukum sebagai
“schade” (rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh
Pasal 1246 KUHPerdt. dinamakan
“kosten, scaden, en interesten” (biaya, kerugian, dan bunga).
Dalam undang-undang tidak
diatur tentang ganti kerugian yang
harus dibayar karena perbuatan
melawan hukum, sedang Pasal 1243
KUHPerdt. memuat ketentuan
tentang ganti kerugian yang harus
dibayar karena wanprestasi. Untuk
penentuan ganti kerugian karena
perbuatan melawan hukum dapat
diterapkan ketentuan-ketentuan yang
sama dengan ketentuan tentang ganti
kerugian karena wanprestasi. Pitlo
menegaskan bahwa biasanya dalam
menentukan besarnya kerugian
karena perbuatan melawan hukum
tidak diterapkan ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 1243 KUHPerdt.,
melainkan paling tinggi ketentuan
dalam Pasal1243 KUHPerdt. secara
analogis. Sehubungan dengan hal
tersebut ketentuan dalam Pasal 1247
dan 1250 KUHPerdt. tidak dapat
diterapkan untuk perbuatan melawan
hukum karena:
1. Pasal 1247
KUHPerdt. mengenai
“perbuatan perikatan”
yang berarti bahwa
perikatan tersebut
dilahirkan dari
persetujuan, sedang
perbuatan melawan
hukum tidaklah
merupakan perikatan
yang lahir dari
2. Pasal 1250
KUHPerdt.
membebankan
pembayaran bunga
atas penggantian
biaya, rugi, dan bunga
dalam hal terjadi
kelambatan
pembayaran sejumlah
uang, sedang yang
dialami karena
perbuatan melawan
hukum bukan
disebabkan karena
tidak dilakukannya
pembayaran uang
tepat pada waktunya.
Schade dapat dirumuskan
sebagai “penyusutan dari pemuas kebutuhan”. Kerugian
yang ditimbulkan oleh
perbuatan melawan hukum
dapat berupa kerugian
kekayaan (vermogensschade) atau kerugian yang bersifat
idiil. Kerugian selalu
memperkirakan kerugian atas
kekayaan yang berupa
kerugian uang. Hakim
berwenang untuk menentukan
berapa sepantasnya harus
dibayar ganti kerugian,
sekalipun penggugat menuntut
ganti kerugian dalam jumlah
yang tidak pantas. Tiap
perbuatan melawan hukum
tidak hanya mengakibatkan
kerugian uang saja, tapi juga
dapat menyebabkan kerugian
moril atau idiil, yakni
ketakutan, terkejut, sakit, dan
kehilangan kesenangan hidup.
Mengenai penggantian
kerugian idiil, Hoge Raad
dalam keputusan tanggal 21
Maret 1943 dalam kasus W.P.
Kreuningen vs. Van Bessum
cs. belumlah memutuskan
bahwa pelaku perbuatan
melawan hukum pada
umumnya berdasarkan Pasal
1365 KUHPerdt. diwajibkan
mengganti kerugian idiil.
Maka konsekuensi dari arrest
tersebut menurut Rutten ialah
bahwa dalam menerapkan
Pasal 1365 KUHPerdt. juga
dapat dituntut penggantian
kerugian idiil dengan catatan
akan diperhitungkan ex aequo et bono (menurut kelayakan dan kewajaran).
Menurut ketentuan Pasal 1246
KUHPerdt. kerugian yang
disebabkan karena tidak
umumnya harus diganti
dengan kerugian yang dialami
oleh penderita dan juga
dengan keuntungan yang
sekiranya dapat diharapkannya
(gederfdewinst). Maka itu dianut pendapat bahwa pelaku
perbuatan melawan hukum
harus mengganti kerugian
yang ditimbulkannya, maupun
keuntungan yang dapat
diharapkan diterima.
Mengenai penggantian atas
keuntungan yang sekiranya
dapat diharapkan diterimanya
tidaklah semudah diperkirakan
untuk menetapkan besarnya
jumlah ganti kerugian
tersebut. Besarnya ganti
kerugian ditetapkan dengan
penafsiran di mana diusahakan
agar si penderita sebanyak
mungkin dikembalikan pada
keadaan sebelum terjadinya
perbuatan melawan hukum.
Teori adequate (adequate veroorzaking) dari Von Kries mengajarkan bahwa perbuatan
yang harus dianggap sebagai
sebab dari akibat yang timbul
adalah perbuatan yang
seimbang dengan akibat.
Adapun dasarnya untuk
menentukan perbuatan yang
seimbang adalah perhitungan
yang layak. Kekuatan teori ini
ialah bahwa teori ini dapat
dipandang dari dua sisi baik
secara kenyataan maupun
secara normatif. Khususnya
setelah perang dunia,
peradilan berkembang
menurut cara terakhir di mana
pengertian “menurut apa yang layak” sangat bermanfaat.
Yang berlaku di sini ialah
semua dapat diduga apabila ini
sesuai dengan kebijaksanaan
hakim. Dalam teori Scholten
juga digunakan kriteria
“kemungkinan yang terbesar”
yang kemudian dilanjutkan
oleh Van Schellen. Hoge Raad
dalam berbagai arrest mulai
tahun 1927 berpendapat
bahwa soal kausalitas harus
diselesaikan dengan
berpegangan pada ajaran
III.PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada
pembahasan sebelumnya, dapat
disimpulkan:
1. Syarat-syarat hukum yang
harus dipenuhi untuk
menentukan perbuatan
persaingan usaha yang dapat
dipandang sebagai perbuatan
melawan hukum adalah :
Syarat-syarat tersebut ialah
harus ada perbuatan. Yang
dimaksud dengan perbuatan
ini baik yang bersifat positif
maupun yang bersifat
negatif, artinya setiap
tingkah laku berbuah atau
tidak berbuah. Perbuatan itu
harus melawan hukum. Ada
kerugian. Ada hubungan
sebab akibat antara
perbuatan melawan hukum
itu dengan kerugian. Ada
kesalahan (schuld)
2. Pembebanan ganti rugi
terhadap pelaku usaha yang
melakukan persaingan usaha
tidak sehat mengacu pada
ketentuan-ketentuan ganti
rugi yang diatur dalam
pembebanan ganti rugi
karena wan prestasi.
B. Saran-Saran
1. Disarankan kepada setiap
pelaku usaha untuk tidak
melakukan perbuatan
persaingan usaha tidak sehat
yang terindikasi dengan
perbuatan melawan hukum,
karena akan berdampak
kerugian kepada pelaku
usaha lainnya dan/atau
warga masyarakat.
2. Diharapkan pengadilan
benar-benar memeriksa,
mengadili perkara
persaingan usaha tidak sehat
yang diajukan oleh pelaku
usaha yang menderita
kerugian, untuk memutus
berdasar atas ketentuan baik
yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak
Sehat, maupun ketentuan
buku III KUHPerdata dan
rasa keadilan hukum
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama cet 1,Jakarta, 2004.
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2002)
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Cetakan. II,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Rosa Agustina, PerbuatanMelawanHukumCet. I, Program Pascasarjana FHUI, Jakarta, 2003
MoegniDjojodirjo, PerbuatanMelawanHukum, PradnyaParamita, Jakarta, 1982
B. BAHAN INTERNET
http://kabar24.bisnis.com/read/20170711/16/670224/persaingan-usaha-tidak-sehat-asal-mula-kasus-aqua-vs.-le-minerale (diakses pada tanggal 27 Oktober 2017)
https://news.detik.com/berita/3287606/promosi-tidak-sehat-pop-ice-didenda-rp-11-miliar (diakses pada tanggal 27 Oktober 2017)
C. PERUNDANG-UNDANGAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NAMA : IRWANSYAH
TEMPAT/ TANGGAL LAHIR : PALU, 23 MARET 1993
AGAMA : ISLAM
ALAMAT : JL. MALONDA NO.53
PEKERJAAN : MAHASISWA
STATUS : BELUM KAWIN
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD. TAHUN 1999 LULUS TAHUN 2005
2. SMPN TAHUN 2005 LULUS TAHUN 2008
3. SMAN TAHUN 2008 LULUS TAHUN 2011
4. MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
TADULAKO
Palu, 25 September2017
YANG MEMBUAT,