Politik Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Mesir di Era Hosni Mubarak
Dibuat untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Teori Hubungan Internasional
Disusun oleh:
Chandra Wulan
12/328760/SP/25135
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Amerika Serikat merupakan negara yang dikenal sebagai super power dalam politik internasional. Salah satu tanggung jawab negara yang memiliki power yang sangat kuat dalam politik internasional adalah menjaga keamanan dan perdamaian dunia, sesuai dengan misi PBB. Amerika Serikat percaya bahwa salah satu cara menjaga perdamaian adalah dengan menyebarkan nilai-nilai demokratis di seluruh dunia. Sementara itu, tidak semua negara di dunia ini menerapkan sistem pemerintahan yang demokratis, terutama negara-negara di kawasan regional Timur Tengah.
Beberapa negara di kawasan tersebut, meskipun sudah berstatus negara republik, seringkali masih diwarnai dengan pemerintahan yang represif dan dipimpin oleh tokoh yang berkuasa selama lebih dari satu periode pemerintahan dan melanggengkan kekuasaannya dengan cara yang korup, misalnya Mesir di bawah pemerintahan Hosni Mubarak. Sebagai negara superpower, politik luar negeri AS terhadap negara-negara middle-power yang bertujuan menyebarkan paham demokrasi seringkali dipertanyakan, apakah kebijakannya memang bertujuan untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian melalui demokratisasi, atau ini hanya alat Amerika Serikat untuk mempertahankan pengaruh di negara tersebut dan regional sekitarnya?
Mesir merupakan salah satu negara yang berpengaruh di regional Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA: Middle East and North Africa). Negara yang terkenal dengan piramidanya ini resmi menjadi republik pada tahun 1953 setelah revolusi yang terjadi pada tahun 1951-1952. Tiga dekade kemudian, Mesir dipimpin oleh Hosni Mubarak, salah satu presiden Mesir yang dikenal dunia karena demonstrasi yang menuntutnya mundur pada tahun 2011. Mubarak menjadi presiden Mesir pada tahun 1981 setelah presiden sebelumnya yaitu Anwar Sadat terbunuh. Posisi Mubarak saat itu adalah wakil presiden sehingga dengan mudah ia dapat menggantikan Anwar Sadat. Saat terpilih, Mubarak dianggap sebagai sosok yang moderat dan juga seorang teknokrat.
sedunia dan dengan jumlah pasukan terbanyak kedua di Timur Tengah setelah Iran.1 Oleh karena itu, kerjasama antara Amerika Serikat dan Mesir juga sampai di bidang militer. Mesir bahkan mendukung tindakan Amerika menginvasi Irak pada tahun 2003.
Jika memang Amerika Serikat menginginkan terwujudnya demokrasi, mengapa ketika Hosni Mubarak terpilih pada periode kedua, yang diduga merupakan pemilihan umum yang tidak demokratis, juga selama masa pemerintahan tahun-tahun pertamanya melakukan represi terhadap jurnalis dan aktivis politik, tetap didukung? Apakah bantuan yang diberikan Amerika Serikat kepada Mesir menjadi jaminan agar Mesir melaksanakan kebijakan-kebijakan yang selaras dengan politik luar negeri Amerika Serikat?
Tulisan ini akan mencoba menjelaskan mengenai kebijakan-kebijakan Amerika Serikat terhadap Mesir pada era Hosni Mubarak, melihat maksud kerjasama yang ditawarkan dan dijalani oleh kedua belah pihak, dan melihat korelasi antara prinsip idealis Amerika Serikat mengenai politik internasional (democratic peace) dengan cara-cara realis yang ditempuh Amerika Serikat untuk mewujudkannya (perjanjian damai dengan Israel berarti membiarkan Palestina tetap dijajah, kerjasama militer AS dengan Mesir dilakukan untuk berjaga-jaga kekurangan pasukan saat invasi, terusan Suez untuk kelancaran interaksi ekonomi) dan apakah bantuan militer yang diberikan AS kepada Mesir semata-mata diberikan untuk menjaga kontrol Amerika Serikat di Timur Tengah? 1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana politik luar negeri Amerika Serikat terhadap Mesir pada masa pemerintahan Hosni Mubarak?
1.3 Landasan Konseptual 1.3.1 Realisme Klasik
Salah satu perspektif yang tertua dan paling populer di Hubungan Internasional ini percaya bahwa manusia pada dasarnya bersifat kejam dan rakus. Negara diibaratkan bertindak layaknya seorang manusia dengan sifat-sifat tersebut. Tokoh-tokoh yang merupakan pemikir realisme klasik adalah Thucydides, Machiavelli, dan Morgenthau. Thucydides menyatakan bahwa manusia pada dasarnya selalu mencari kekuasaan atau yang lebih sering disebut sebagai power. Morgenthau mengatakan bahwa sifat selalu ingin memiliki dan melebarkan kekuasaan ini juga merupakan elemen dari politik internasional, yang kemudian dapat melahirkan rasa takut dan peperangan. Menurut Thucydides, kepentingan nasional adalah dasar pertama negara bertindak. Lalu apa kepentingan nasional yang paling mendasar? Jawabannya adalah survival. Kepentingan nasional yang utama adalah to survive, atau bertahan dari munculnya kekuatan lain yang sedang berkembang yang berpotensi mengganggu power yang sudah established. 2
1 Al-Weshah, A. (2016). American Foreign Policy Towards Egypt Under Hosni Mubarak's Regime.
2Baylis, J., Smith, S., & Owens, P. (2007). The Globalization of World Politics: an
Al-Weshah, A. (2016). American Foreign Policy Towards Egypt Under Hosni Mubarak's Regime.
Baylis, J., Smith, S., & Owens, P. (2007). The Globalization of World Politics: an
introduction to International Relations. New York: Oxfor University Press.