• Tidak ada hasil yang ditemukan

Religiusitas dan Sikap Terhadap Penerapa (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Religiusitas dan Sikap Terhadap Penerapa (1)"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

MUHAMMAD ANSOR, MA

ZUBIR, MA

DR. MUHAMMAD ABU BAKAR, MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

ZAWIYAH COT KALA LANGSA

TAHUN ANGGARAN

2

20

01

10

0

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN SIKAP

TERHADAP PENERAPAN SYARIAT ISLAM

(2)
(3)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ………. iii

Daftar Isi………. iv

Kata Pengantar Penulis……… vi

Abstrak ……….……… ix

Bab I Pendahuluan ………1

1.1. Latar Belakang………….………...1

1.2. Rumusan Masalah .………. 5

1.3. Pembatasan Masalah …..……….…6

1.4. Tujuan Penelitian………….…..……… 7

1.5. Signifikansi Penelitian………7

1.6. Hipotesa Penelitian…….………7

1.7. Kajian Riset Terdahulu ..……… 8

Bab II Kerangka Teoritik dan Metodologi Penelitian……….…….. 10

2.1. Kerangka Teoritik………..……….10

2.2. Indikator Religiusitas………..14

2.3. Indikator Sikap Terhadap Implementasi Syariat Islam .………. 16

2.4. Indikator Pendamping: Islamisme, Toleransi dan Sosial Demografi …….17

2.5. Metodologi Penelitian ……….…19

2.5.1.Teknik Penentuan Sampel ……….…. 20

2.5.2.Teknik Analisa Data ……..……….…23

(4)

Bab III Potret Religiusitas dan Komitmen Keagamaan Muslim Langsa……… 25

3.1. Religiusitas dan Identitas Muslim……….…………..25

3.2. Potret Religiusitas Muslim Langsa…….………26

3.2.1. Dimensi Keimanan……….….………26

3.2.2.Ibadah Wajib ……….….……….…28

3.2.3.Ibadah Sunnah …..……….….……….…31

3.2.4.Ibadah Nahdliyin ..……….….……….…32

3.3. Islamisme dan Toleransi Keagamaan……….34

3.3.1.Islamisme ………..………..34

3.3.2. Toleransi Keagamaan ……….37

3.4. Pola Hubungan Diantara Dimensi-dimensi Islam…….………40

3.5. Korelasi Unsur Islam dengan Faktor Sosial ……….….……….… 43

Bab IV Sikap Atas Penerapan Syariat Islam dan Perilaku Politik .……….. 49

4.1. Pandangan Tentang Syariat Islam Melalui Negara….………... 49

4.1.1. Dukungan Pelembagaan Syariat………….………49

4.1.2.Kolerasi Religiusitas dengan Penerapan Syariat ……… 55

4.1.3.Kolerasi Islamisme dan Toleransi dengan Penerapan Syariat ………61

4.2. Syariat Islam dan Perilaku Politik Masyarakat Langsa….……….64

4.2.1. Popularitas Institusi Penerapan Syariat Islam……….………64

4.2.2.Tingkat Kepuasan Kondisi Pelaksanaan Syariat ………….………... 65

4.3. Korelasi Dukungan Penerapan Syariat dan Perilaku Politik…..…………71

(5)

vi

4.1. Kesimpulan……….75

4.2. Rekomendasi……….. 76

Daftar Pustaka………79

Lampiran-lampiran……….………81

1. Profil Sosial Demografi Responden ………... 85

2. Balangko Acak Pemilihan Responden .………...91

3. Proses Pemilihan Sampel Desa ……….102

4. Keterangan Tim Pewawancara ………..108

5. Kuisioner Penelitian ………..111

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas hubungan antara religiusitas dan sikap terhadap penerapan syariat Islam di Langsa. Metode yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Peneliti melakukan wawancara terhadap 305 responden yang tersebur di 28 Gampong di Kota Langsa. Lokasi desa dipilih secar acak, setelah dilakukan proporsi populasi dimasing-masing kecamatan. Responden yang dimaksud dalam survei ini adalah penduduk yang punya hak pilih dalam pemilihan umum sekarang, yakni berumur 17 tahun atau lebih, atau telah menikah, yang dilakukan secara multistage random sampling. Pemilihan responden ditingkat KK menggunakan sistem Kish Gird. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara unsur religiusitas dengan unsur sikap penerapan syarait Islam. Orang Langsa dapat dikategorikan sebagai religius ketika religiusitas didefinisikan sebagai intensitas melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah. Namun meskipun tergolong religius dan memiliki komitmen keagamaan yang tinggi, ternyata unsur religiusitas ini tidak mempengaruhi sikap orang Langsa terkait dengan penerapan syariat Islam.

Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang berkorelasi dengan sikap penerapan syariat Islam adalah ideologi Islamisme, intoleransi dan keacehan. Hampir semua unsur Islamisme berkorelasi positif dan signifikan terhadap sikap penerapan syariat Islam. Semakin setuju seseorang dengan ideologi Islamisme, maka semakin kuat dukungannya terhadap penerapan syariat Islam melalui pendekatan kenegaraan. Beberapa unsur terkait dengan toleransi tidak berkorelasi tetapi sebagian besar berkorelasi signifikan, tetapi sebagian besar unsur tersebut memiliki korelasi yang signifikan. Semakin kuat intoleransi, maka semakin positif dukungan atas penerapan syariat Islam. Adapun terkait dengan demografi, tidak semua unsur yang dirumuskan berkorelasi dengan sikap penerapan syariat Islam, hanya item keacehan yang berkorelasi kuat dan meyakinkan terhadap penerapan syariat Islam. Adapun item seperti unsur pendapatan, pekerjaan, umur, dan desa-kota; tidak berpengaruh.

(7)

viii

KATA PENGANTAR

Studi hubungan antara religiusitas dengan sikap terhadap penerapan syariat Islam di Kota

Langsa, dimaksudkan untuk mengidentifikasi perilaku keagamaan masyarakat terkait

dengan penerapan syariat Islam. Terkecuali itu, studi ini juga dimaksudkan menganalisa

pengaruh religiusitas dan sikap penerapan syariat Islam terhadap perilaku politik

masyarakat di Langsa.

Ini barangkali studi yang pertama kali dilakukan dalam skala Langsa dengan topik

pembahasan dan pendekatan yang serupa. Karena itu, diharapkan temuan-temuan dalam

studi ini memberikan manfaat, setidaknya memberikan relevansi teoritis menyangkut

penelitian agama dan masyarakat.

Tim Peneliti yang terdiri dari Muhammad Ansor, Zubir, dan Muhammad Abu Bakar

mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan memberikan

dukungan selama pelaksanaan penelitian hingga laporan kemajuan ini tersusun. Kepada

Bapak DR. Zulkarnaini, MA atas kesediaannya menjadi konsultan bagi penelitian ini.

Terimakasih disampaikan pula kepada LP3EM yang telah memberikan dukungan moral

dan finansial untuk kegiatan ini.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait yang telah

membantu tim peneliti terutama dukungan data. Mahasiswa kelas Metodologi Hukum

Islam merupakan pihak yang paling banyak memeberikan bantuan terutama terkait dengan

pengumpulan data untuk penelitian ini. Atas dedikasi dari pihak-pihak tersebut kami dapat

(8)

Harapan kita semua semoga hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi

pemetaan kondisi masyarakat di Langsa terkait dengan perilaku keagamaan mereka.

Pandangan masyarakat terkait dengan penerapan syariat Islam yang dirangkum dalam

laporan ini diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Bagi akademisi, diharapkan studi ini memberikan sumbangan teoritis dalam model studi

tentang agama dan perilaku politik. Kami menyadari sangat memungkinkan sekali dalam

proses penelitian ini terdapat kekurangan termasuk dalam proses penulisan laporan ini,

untuk itu, masukan, kritik dan saran yang konstruktif sangat berguna bagi perbaikan

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Proyek Islamisasi di Propinsi Aceh, sejak penerapan syariat Islam diresmikan pada tahun 2002, cenderung berfokus pada keharusan kesalehan individu atau ungkapannya di depan umum. Penerbitan Qanun (Peraturan-peraturan Daerah) yang berkaitan dengan

penerapan Syariat Islam di Aceh seperti Qanun Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Larangan Maisir (Perjudian), Qanun Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Khamar, dan Qanun

Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Larangan Khalwat, cukup memperlihatkan kecenderungan itu.

Meskipun sesungguhnya secara historis pelaksanaan Syariat Islam di Aceh bukan hal asing bagi masyarakatnya, namun penerapannya melalui intervensi Negara mendapat respon yang beragam dari masyarakat. Betapapun, penyataan ini harus segera disusul anggapan yang meluas di masyarakat bahwa secara statistik, kelompok yang menolak pelembagaan syariat melalui Negara memang tidak sebanding dengan pendukungnya yang memang mayoritas di Aceh.

Pemberitaan media massa tentang operasi perempuan berpakaian ketat di Aceh Barat yang menuai protes sebagian kalangan masyarakat sipil misalnya, menandakan bahwa respon masyarakat terhadap dominasi Negara terkait implementasi syariat Islam ini tidaklah tunggal. Syamsul Rizal dalam penelitiannya tentang perilaku keagamaan remaja di Kota Langsa mengatakan bahwa perilaku berpacaran para remaja di kota ini yang menggejala, sebagai ekspresi perlawanan atau protes sosial warga atas dominasi Negara sebagaimana dituangkan dalam Qonun 14/2003 tentang Larangan Khalwat.1 Demikian pula kehadiran kelompok diskusi anak muda Banda Aceh sebagaimana yang mereka diekspresikan melalui website www.acehinstitute.com yang cenderung bersikap kritis terhadap penerapan Syariat Islam di Aceh memperkuat argumen diversitas respon masyarakat Aceh terhadap agenda ini.

(10)

Aceh tentang Hukum Acara Jinayat. Bagian krusial di dalam rancangan tersebut yang memantik kontroversi di masyarakat antara lain terkait dengan diperkenalkannya hukuman cambuk dalam pelanggaran pidana di Aceh. Pro dan kontra antara kelompok yang mendukung dan menolak rancangan Qanun yang baru ini memperlihatkan adanya suara yang tidak tunggal terkait implementasi Syariat Islam.

Aceh secara historis memang menyediakan perbendaharaan melimpah mengenai keragaman pandangan menyangkut visi Islam dan campur tangan Negara dalam penegakan

syariat. Perdebatan yang menyejarah antara dua tokoh sufi, Abdul Rauf Sinkily dengan Hamzah Fansuri mengenai konsep relasi Tuhan dan manusia yang berakhir dengan vonis

hukuman mati Fansuri oleh otoritas negara karena dinilai mengembangkan ajaran sesat, menandakan bahwa keragaman visi Islam di daerah ini memiliki akar historis yang sudah sangat lama. Hal lain yang dapat dipetik dari kisah Sinkily dan Fansuri ini adalah kenyataan bahwa dukungan Negara terhadap model praktik ke-Islaman di Aceh selalu tampil menjadi pemenang dalam pertarungan antara pelbagai mainstream ke-Islaman.

Kota Langsa, sebuah kota di bagian Aceh Timur yang secara geografis berbatasan dengan wilayah administrasi Propinsi Sumatera Utara, menghadirkan “varian lain” dari

visi ke-Islaman di propinsi ini. Kota Langsa dihadapkan pada tarik menarik dua identitas ganda: di satu sisi sebagai bagian dari wilayah administratif Propinsi Aceh, muncul wajah

religious kota ini. Namun, kedekatan Kota Langsa secara geografis dengan Sumatera Utara yang multikultural dan plural secara sosial, mengakibatkan resonansi budaya di daerah ini cukup dirasakan di Langsa.

Menyangkut model berpacaran dan gaya berpakaian anak muda di Kota Langsa misalnya, sebagaimana ditunjukkan penelitian Samsul Rizal (2008), lebih merepresentasikan daerah relatif kosmopolitan. Praktik keseharian masyarakat juga memperlihatkan tarik menarik antara arus visi sosial keagamaan Banda Aceh dan Medan. Dalam soal implementasi syariat Islam melalui Negara, Kota Langsa merepresentasikan contoh yang relatif kurang bersemangat dalam menjalankan visi keislaman melalui pendekatan kenegaraan ini. Paling tidak hal inilah yang sementara ini terlihat dari fenomena penerapan syariat Islam di Langsa.

(11)

3 Beberapa orang berpandangan bahwa lemahnya dukungan terhadap pelaksanaan syariat Islam berkorelasi positif dengan rendahnya religiusitas atau kesalehan masyarakat Muslim. Menggunakan ungkapan yang berbeda, masyarakat kurang mendukung penegakan syariat Islam dikarenakan belum memahami secara baik dan benar mengenai apa yang didefinisikan sebagai syariat Islam, terutama tujuan kemaslahatan yang akan didapatkan. Kemungkinan lain, dinginnya respon atas penerapan syariat Islam dikarenakan rendahnya tingkat religiusitas masyarakat. Perlu disampaikan bahwa pernyataan yang terakhir ini lebih bersifat hipotesis dibandingkan dengan sesuatu yang telah diverifikasi dengan pembuktian empirik.

Ada hal menarik di Langsa, meskipun secara umum masyarakat muslim di daerah ini memperlihatkan komiten keislaman yang kuat dalam kehidupan sehari-hari, namun preferensi politik masyarakatnya bersifat sekular. Di katakan demikian karena dalam momen-momen pemilihan umum, atau momen pemilihan kepala daerah, Langsa dalam beberapa dasarwarsa terakhir, merupakan daerah yang selalu dimenangkan Partai Golkar. Paling tidak hal tersebut yang terlihat dari hasil Pemilu DPRD Langsa pada tahun 2004. Demikian Pemilu 2009 yang dimenangkan oleh Partai Aceh disusul oleh Partai Demokrat dan Partai Golkar. Partai Aceh, betatapun merupakan dikelompokkan dalam Partai Lokal, secara ideologis bukan merupakan Partai Islam. Karena itu kemenangan partai-partai politik yang tidak berbasis agama di satu pihak, di tengah masyarakat dengan komitmen keislaman yang kuat, memantik keingintahuan tentang perilaku politik orang Langsa. Menurut peneliti akan menarik apabila analisa mengenai hal ini dikaitkan dengan religiusitas dan sikap mereka terhadap penerapan syaraiat Islam.

(12)

mereka kepada partai-partai politik yang berorientasi sekular dibandingkan dengan partai Islam.

Kota Langsa, merupakan daerah yang menarik diamati untuk menjelaskan tesis tersebut. Seperti dikemukakan, dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Propinsi Aceh, pelaksanaan syariat Islam di Kota Langsa tampaknya lebih longgar. Saat beberapa kabupaten/kota di Aceh mulai memberlakukan hukuman cambuk bagi Muslim yang terbukti melakukan pelanggaran syariat Islam seperti perjudian dan khalwat, praktik

terhadap kebijakan yang sama belum ditemukan di Kota Langsa. Sepanjang pemberlakuan sanksi hukum cambuk misalnya, berbeda dengan mayoritas kabupaten/kota di Propinsi

Aceh, Langsa belum pernah mempraktikkan hukuman cambuk kepada orang yang terbukti melakukan pelanggaran syariah, seperti judi, khalwat, ataupun minum minuman beralkohol.

Kenyataan secara geografis Kota Langsa berada di area fontier—perbatasan antara kultur Aceh dengan Sumatera Utara—mungkin salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut. Tetapi menganalisa hal ini dengan berlandaskan pertimbangan geo-politik-kultural tersebut tampaknya sikap akademis yang kurang berhati-hati dalam membaca dinamika keagamaan di Kota Langsa. Karena itu, survey perilaku keagamaan masyarakat Kota Langsa dengan menekankan pada hubungan religiusitas dengan sikap

terhadap penerapan syariat Islam, diharapkan dapat menjelaskan dinamika keagamaan

sekaligus perilaku politik masyarakat di daerah ini.

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian ini akan difokuskan pada hubungan antara keberagamaan (religiusitas) masyarakat Kota Langsa dengan perilaku politik atau sikap mereka terkait penerapan syariat Islam. Untuk memudahkan pembahasan, pertanyaan-pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagaimana berikut :

1. Bagaimana hubungan antara religiusitas masyarakat Muslim dengan sikap terhadap penerapan syariat Islam?

2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat Muslim Kota Langsa terhadap penerapan syariat Islam?

(13)

5

1.3. Pembatasan Masalah

Syariat Islam merupakan topik yang amat luas. Definisi kata syariat sendiri bahkan merupakan wilayah yang diperebutkan antara kelompok yang menyetujui implementasi Syariat Islam melalui Negara dengan kelompok yang menentangnya. Tentu bukan di sini tempatnya membahas perdebatan konseptual tersebut.

Namun, syariat Islam yang dimaksudkan dalam penelitian ini dibatasi pada

peraturan-peraturan (Qanun) pemerintah Propinsi Aceh mengenai pelaksanaan Syariat Islam. Qanun tentang pelaksanaan Syariat Islam sebagaimana dimaksud adalah (1) Qanun

Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam; (2) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya; (3) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (Judi); (4) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Mesum). Draft Qanun Jinayat Aceh.

Artinya, sikap terhadap penerapan syariat Islam sebagaimana dimaksudkan penelitian ini adalah sikap atas regulasi sebagaimana tertuang dalam qanun-qanun tentang pelaksanaan syariat Islam sebagaimana disebutkan di atas. Rancanan Qanun (yang belum disahkan), seperti halnya Raqan Hukum Acara Jinayat, tidak dijadikan subyek penelitian, karena materi hukum masih bersifat rancangan, belum menjadi ketetapan.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui hubungan antara religiusitas masyarakat dengan sikap terhadap penerapan syariat Islam.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sikap masyarakat Langsa terhadap penerapan syariat Islam.

3. Bagaimana pengaruh religiusitas dan sikap penerapan syariat Islam terhadap perilaku politik masyarakat Kota Langsa.

1.5. Signifikansi Penelitian

(14)

2. Memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Kota Langsa, khususnya dan Propinsi NAD umumnya terkait harapan masyarakat dalam penerapan Syariat Islam.

3. Memberikan sumbangan teoritis model analisa religiusitas (perilaku keagamaan) dan hubungannya dengan perilaku politik-keagamaan masyarakat Kota Langsa.

1.6. Hipotesa Penelitian

Tingkat religiusitas masyarakat Kota Langsa berkorelasi dengan sikap terhadap pelembagaan atau penerapan syariat Islam. Semakin tinggi religiusitas masyarakat maka

dukungan terhadap penerapan syariat Islam semakin kuat. Sebaliknya semakin rendah religiusitas masyarakat, dukungan terhadap penerapan syariat Islam di daerah ini melalui pendekatan kenegaraan semakin lemah. Meski demikian, religiusitas dan sikap terhadap syariat Islam tidak berkorelasi dengan preferensi politik orang Langsa dalam memilih partai politik dalam pemilihan umum. Untuk membuktikan hipotesa tersebut, peneliti membuat sejumlah indikator terkait dengan variabel penelitian sebagaimana dipaparkan dalam kerangka teoritik di bab II laporan penelitian ini.

1.7. Kajian Riset Terdahulu

Studi tentang perilaku keagamaan masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya yang dilakukan dengan menggunakan menggunakan pendekatan kuantitatif masih relatif sedikit. Pendekatan kuantitatif dalam membahas perilaku keagamaan orang Islam di Aceh memang belum menjadi kecenderungan di kalangan intelektual Muslim di Indonesia. Memang akhir-akhir ini, terutama pada era pasca reformasi berkembang tradisi penelitian kuantitatif terutama di ranah perilaku politik, tetapi model penelitian tersebut belum banyak dimanfaatkan untuk melihat perilaku keagamaan Muslim di Indonesia.

Bahkan di Indonesia pun studi model ini masih belum banyak yang melakukan. Salah satu yang patut disebutkan terkait dengan pendekatan ini adalah studi Saiful Mujani berjudul Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Mujani dalam studinya memfokuskan pada relasi antara muslim dan

(15)

7 memfokuskan pembahasannya tentang Aceh, karena memang konteks pembahasannya untuk melihat dinamika Islam di Indonesia.2

Studi perilaku keagamaan masyarakat Aceh pada era modern antara lain studi John Bowen berjudul Muslims Through Discourse.3 Studi ini menggunakan pendekatan antropologi, dengan lokasi masyarakat Suku Gayo di Tekengon. Bowen tidak membahas implementasi Syariat Islam melalui pendekatan Negara, tetapi berbicara tentang praktik keseharian masyarakat Muslim di lokasi penelitian, Tekengon.

Praktik pelembagaan syariat Islam di Aceh merupakan subyek studi yang menarik, karena menggambarkan dinamika keagamaan di kawasan yang secara resmi memberlakukan syariat Islam. Menurut Munawar A Jalil, “sejauh ini belum ada satu kajian khusus dan komprehensif mengenai pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, kecuali hanya penelitian-penelitian kecil yang dilakukan oleh beberapa peneliti di Aceh dan beberapa buah buku yang dibuat oleh para guru besar di Aceh serta artikel-artikel singkat yang dimuat di surat kabar”.4Namun, selama ini studi tentang Aceh didekati dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diharapkan akan menghasilkan perspektif baru dalam analisa sosial masyarakat Muslim di kawasan ini.[]

2 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia

Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2007)

3Bowen, John R., Muslims through Discourse: Relogion and Ritual in Gayo Society, (Princeton: Princeton University Press, 1993)

4 Munawar A. Djalil, “Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Menjawab Mitos dan Mengungkap

(16)

BAB II

KERANGKA TEORITIK DAN METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Kerangka Teoritik

Para ilmuan sosial secara umum melihat agama sebagai sebuah sistem nilai melalui

satu atau dua strategi. Yang pertama memahaminya sebagai sebuah “fenomena mental”,

sedangkan yang kedua memahaminya sebagai “fenomena sosial”. Yang pertama berhubungan dengan masalah keyakinan (believing), dan yang kedua berhubungan dengan masalah anutan atau kepemelukan (belonging). Pendekatan-pendekatan seperti ini sejalan dengan pembedaan antara pemahaman agama yang bersifat subyektif-pribadi, yang menekankan keimanan dan ketaatan individu, perspektif kolektif sosial yang menekankan dasar komunitas dari identitas dan ekspresi keagamaan.1

Pendekatan pertama berasal dari karya Max Weber, yang menekankan kemampuan sistem-sistem kepercayaan untuk memberi petunjuk dan mengarahkan perlaku sekuler dengan mengganjar perilaku yang benar dan memberikan sanksi perilaku yang melanggar norma-norma yang diajarkan. Sementara pendekatan yang kedua menekankan pencerminan Durkheim pada pentingnya kelompok dalam agama dan bagian-bagian

behavioral dari komponen rasa keanggotaan dari agama.2

Menurut Kenneth D. Wald, sebagaimana dilansir Mujani, agama adalah fenomena mental yang meliputi kayakinan dasar, ide, norma dan simbol yang berhubungan dengan tradisi agama, termasuk apa yang disebut dengan teologi atau sistem keyakinan.3 Stretegi penelitian yang agama dengan model yang ini menekankan isi spesifik dari ajaran-ajaran agama maupun kumpulan nilai dan perilaku yang dapat diterima yang diajarkan oleh tradisi keagamaan. Ada beberapa pengandaian yang terkait dengan pendekatan ini. Pertama, bahwa pemikiran dan perilaku manusia diatur secara dominan oleh proses

kognitif. Kedua, bahwa individu terkait dengan dunia sekitar mereka secara otomatis dan

1 Wald, Kenneth D. dan Corwin E. Smidt, “Strategi-strategi Pengukuran dalam Studi Agama dan Politik”, dalam Agama dan Politik di Amarika, David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, penerjemah: Debbide A. Lubis dan A Zaim Rofiqi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute: 2006), h. 53

2Wald, Kenneth D. dan Corwin E. Smidt, h. 54

3Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia

(17)

9 bukan secara organik. Ketiga, bahwa dampak agama pada pemikiran dan perilaku politik

adalah “segera” dan langsung.4

Gerhard Lenski, sebagaimana dikutip Mujani, menunjukkan sifat multidi-mensional dari satu agama—orientasi, komunalisme, dan asosiasionalisme—yang sejajar dengan dimensi teologis, sosial dan organisasional. Orientasi mencakup penerimaan doktrin agama dan intensitas hubungan individual dengan Yang Maha Kuasa. Komunalisme merujuk pada komunalitas keagamaan di kalangan keluarga, kerabat dan lingkungan sosial yang

mengitari. Asosionalisme berhubungan dengan keanggotaan dalam organisasi keagamaan.5

Untuk lebih jelasnya, sebagai sebuah agama, Islam terdiri dari keyakinan dan identitas kelompok atau rasa memiliki (belonging), dan dua hal ini dalam praktiknya saling berinteraksi. Seperti umum diketahui, Islam tidak dapat dibayangkan tanpa iman. Pada tingkat yang paling dasar, orang Islam pada umumnya memahami Islam sebagai sebuah kesatuan antara keyakinan dan praktik keagamaan menurut norma tertentu yang diterima secara kolektif sehingga ia berkembang menjadi entitas sosial. Pada tingkat iman, seorang Muslim memercayai bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Percaya bahwa Muhammad utusan Allah berarti mempercayai bahwa Tuhan mewahyukan al-Qur’an. Isi al-Qur’an secara bervariasi dipercayai sebagai ajaran, nilai,

norma atau hukum Tuhan.

Agama Islam apa yang disebut dengan lima rukun Islam. Di samping iman, seorang Muslim wajib melaksanakan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan pergi haji ke Mekkah apabila mampu. Rukun Islam ini pada dasarnya merefleksikan kesatuan antara iman atau keyakinan dan identitas kolektif keagamaan, iman dan amal, iman dan ibadah, iman dan ritual, dan sering pula dikatakan iman dan Islam, meskipun keduanya secara konseptual dapat dibedakan. Tingkat intensitas dan kedalaman dalam meyakini, membenarkan dan mempraktikkan ajaran tersebut yang dalam studi ini dikonseptualisasi sebagai religiusitas.

Pararel dengan Gerhard Lenski, Riaz Hasan dalam Faitlines: Muslim Conception of

Islam and Society menyebutkan bahwa agama bersifat multidimensional.6Hasan mencoba

mengatasi tantangan begaimana mengidentifikasi dimensi keberagamaan yang berbeda dan

4Wald, Kenneth D. dan Corwin E. Smidt, h. 54 5Saiful Mujani, h. 41

(18)

mengukurnya secara metodologis. Bagi Hasan, inti dari keberagamaan adalah komitmen. Hasan juga mendefinisikan dan mengoperasikannya dan melakukan analisis bahasa agar dapat menentukan hal-hal yang berbeda yang dikandung istilah tersebut, dan cara-cara yang berbeda dimana seseorang dapat menjadi religius. Mereka menganalisis apakah keberagamaan yang berwujud dalam salah satu cara ini berhubungan dengan hal-hal yang diungkapkan oleh orang lain.7

Menurut Stark dan Glock, meski terdapat perbedaan dasar dalam ungkapan keagamaan, ada juga persamaan yang penting dalam agama-agama tersebut dalam hal bagaiana rasa keberagamaan harus diwujudkan. Stark dan Glock mengidentifikasi lima

dimensi inti keberagamaan di mana manifestasi keagamaan dari agama-agama yang berbeda dapat dilaksanakan. Mereka menyebut dimensi ideologis, ritual, pengalaman, intelektual, dan konsekuensi.8Dimensi idelogis tercipta berkat adanya kepercayaan pokok di mana seseorang yang beragama diharapkan atau sering dituntut untuk percaya. Dimensi ritual ini terdiri dari kewajibab-kewajiban ibadah tertentu yang dilakukan oleh para penganutnya untuk mengungkapkan komitmen keagamaan mereka. Seringkali hal tersebut berupa ibadah bersama atau komunal, bisa juga berupa ibadah individual.

Setiap agama memiliki tuntutan-tuntutan tertentu, akan tetapi setiap orang yang beragama, bila harus dikatakan, pada suatu waktu akan mendapatkan pengetahuan

langsung mengenai realitas tertinggi, atau mengalami emosi agama. Ini mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang dirasakan oleh orang atau kelompok agama, yang melibatkan bentuk-bentuk komunikasi dengan Tuhan atau zat yang transendal. Stark dan Glock menyebut ini sebagai suatu diensi ekspresiensial.

Dimensi intelektual merujuk pada harapan dimana orang yang beragama akan mendapatkan pengetahuan mengenai dasar-dasar keimanannya dan kitab sucinya. Dimensi ini berhubungan erat dengan dimensi idelologis, karena pengetahuan tentang iman merupakan syarat mutlak untuk mendapatkannya. Namun iman tidak harus berasal dari pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan agama mengharuskan adanya iman. Adapun dimensi konsekuensi meliputi pengaruh sekular sekular terhadap kepercayaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan agama yang menjelaskan apa yang harus dilakukan seseorang, dan sikap apa yang harus dimiliki sebagai konsekuensi agama yang dianutnya.9

7Riaz Hasan, h. 45-46 8Riaz Hasan, h. 46-47 9

(19)

11

2.2. Indikator Religiusitas

Penelitian ini menggunakan indikator yang disusun Mujani dalam mengukur religiusitas. Religiusitas pertama-tama diukur dari intensitas keimanan (syahadah) dan pelaksanaan ibadah wajib. Iman adalah syahadah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Ibadah wajib terbatas pada pada pelaksanaan shalat lima waktu dan puasa Ramadan. Total skor dari intensitas ibadah membentuk indek ibadah atau ritual wajib, yang berkisar pada tidak pernah (1), pernah (2), sering (3) dan sangat sering (4). Zakat dan menunaikan ibadah haji tidak disertakan dalam pengukuran ini, karena kedua parameter ini mengandung bias sosial-ekonomi sehingga mereduksi religiusitas (keberagamaan) seseorang ke dalam faktor tersebut.

Selain sebagai ibadah wajib, Islam dapat didefinisikan sebagai seperangkat ibadah sunnah. Ibadah yang tidak wajib ini, sifatnya sangat bervariasi. Memperbesar variasi dalam mengukur religiusitas seseorang Muslim, sangat penting untuk kepentingan analisis. Ibadah sunnah, yang dimaksudkan dalam studi ini adalah intensitas membaca doa sebelum bekerja, membaca al-Qur’an atau mengaji, shalat berjamaah, menghadiri pengajian atau

majlis taklim, memberi sedekah, melaksanakan puasa sunnah, dan melaksanakan shalat sunnah. Masing-masing item ini mencakup empat skala, dari tidak pernah (1), pernah (2), sering (3), dan sangat sering (4). Ketujuh item ini ditambahkan untuk membentuk indeks ibadah sunnah yang terdiri dari empat skala, mulai dari tidak pernah (1), pernah (2), sering (3), dan sangat sering (4).

Ibadah wajib dan ibadah sunah tersebut diakui oleh semua yang beragama Islam. Namun masyarakat Islam tertentu memiliki ibadah tambahan yang unik yang menentukan corak religiusitas orang tersebut. Dalam kontek orang Islam Indonesia, ada kelompok tertentu yang menganjurkan seperangkat ibadah tertentu. Misalnya dalam kelompok NU (Nahdlatul Ulama), biasa dilakukan ibadah atau ritual seperti haulan (perayaan tahunan atas kematian seseorang), tujuh harian untuk kematian seseorang, tahlilan, mohon berkah dari kyai/tengku, dan ziarah kubur. Total skor intensitas melakukan ritual ini membentuk indeks ibadah kaum NU, yang berkisar dari tidak pernah (1), pernah (2), sering (3), dan sangat sering (4).

(20)

menentukan identitas sosial keislaman seseorang. Keterlibatan dalam kehidupan sosial ini diukur melalui intensitas (anggota aktif, anggota tidak aktif, dan bukan anggota), dan jumlah keanggotaan dalam berbagai organisasi Islam yang ada di Kota Langsa. Total skor dari kedua item ini membentuk indeks keterlibatan dalam kehidupan sosial islami (Islamic civiv engagement).

Di samping pengelompokan di atas, dalam masyarakat Islam juga dikenal corak keberislaman (religiusitas) yang menekankan pada aspek substantiasi nilai-nilai Islam

dalam tatanan kehidupan politik-kenegaraan, dan ada kelompok yang menekankan pada aspek simbolisme Islam. Kontestasi antara kedua kelompok ini dapat didentifikasi dengan

mengukur bagaimana seseorang meresponi isu-isu tertentu dalam diskursus keislaman, seperti dalam soal (1) sikap terhadap pemerintahan teokrasi; (2) sikap terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sosial politik oleh pemerintah; (3) sikap terhadap hak-hak kaum perempuan; (4) sikap terhadap kebebasan berpikir; dan (5) sikap terhadap gagasan tolerasi dan pluralisme agama. Untuk mengukur corak religiusitas masyarakat Muslim di Kota Langsa, studi ini akan memecah lima indikator di atas ke dalam sejumlah item pertanyaan yang akan membentuk corak keberagamaan masyarakat.

2.3. Indikator Sikap terhadap Implementasi Syari’at

Pada bagian selanjutnya, untuk mengukur sikap terhadap pelembagaan syariat melalui hukum positif, studi ini akan memerinci garis besar pelaksanaan syariat Islam sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Qanun (Peraturan Daerah) pemerintah Propinsi Aceh terkait dengan pelaksanaan syariat Islam. Adapun Qanun yang ditetapkan pemerintah propinsi Aceh terkait pelaksanaan Syariat Islam antara lain : (1) Qanun Nomor 11 Tahun

2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam bidang’ Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam; (2) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya; (3) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (Judi); dan (4) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (Mesum).

(21)

13 tersebut. Masing-masing isi qanun tersebut akan dirinci untuk menyusun menjadi indikator dukungan masyarakat Kota Langsa terhadap aturan tersebut. Total skor dukungan terhadap pelembagaan syariat membentuk indeks dukungan masyarakat Kota Langsa terhadap pelaksanaan syariat Islam, yang berkisar dari sangat tidak setuju (1), tidak setuju (2), setuju (3), dan sangat setuju (4).

Untuk melihat sikap masyarakat terhadap penerapan syariat Islam, penelitian juga mengembangkan indikator yang dikembangkan dari teori prilaku politik. Terkait hal ini,

peneliti mengidentifikasi persepsi masyarakat atas kinerja institusi-institusi publik yang berurusan dengan pelaksanaan syariat. Institusi-institusi publik diaksud seperti DPR Aceh,

pemerintah propinsi, DPRD, pemerintah kota, ormas keagamaan, sekolah atau Perguruan Tinggi dan pesantren atau dayah. Hal ini dimaksudkan untuk memperdalam studi tentang sikap terhadap syariat Islam dan ekspektasi mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi terkait dengan syariat Islam di Langsa.

2.4. Indikator Pendamping: Islamisme, Toleransi Keagamaan dan Sosial Demografi

Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai hubungan antara religiusitas dan sikap terhadap penerapan syariat Islam, peneliti mengajukan beberapa indikator pendamping, yakni (1) Islamisme, (2) Toleransi keberagamaan, dan (3) Faktor sosial demografi dan ekonomi. Untuk mengukur indeks Islamisme, peneliti merumuskan beberapa indikator yang dikembangkan dari agenda-agenda gerakan kalangan Islamis selama ini. Responden diminta untuk melaporkan pandangan mereka berdasarkan skala empat, yakni sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Indikator-indikator tersebut adalah :

Tabel 2.1. Indikator Indeks Islamisme

No Indikator

1. Pemerintahan Islam, yakni pemerintahan yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah di bawah kepemimpinan ulama adalah yang terbaik bagi Aceh atau Langsa.

2. Negara mewajibkan pelaksanaan Syariat Islam bagi semua Muslim dan Muslimah dan menetapkan sanksi bagi yang melanggar ketentuan syariat Islam.

3. Pemilihan umum seharusnya hanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang mengerti dan memperjuangkan tegaknya Syariat Islam di Aceh dan atau Kota Langsa

4. Metode gerakan atau organisasi Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) untuk menegakkan syariat Islam dalam pemerintahan dan masyarakat sejalan dengan ajaran Islam

(22)

6. Seorang muslim/muslimah wajib membuka rekening tabungan diperbankan Islam, atau haram hukumnya memiliki rekening di bank konvensonal

7. Pada umumnya laki-laki lebih unggul daripada perempuan dalam berbagai hal

8. Dalam satu keluarga ada dua anak, anak laki-laki dan anak perempuan, sementara kemampuan ekonomi untuk mengkuliahkan hanya satu anak. Dalam kasus seperti ini, yang harus dikuliahkan adalah anak laki-laki.

9. Jika seorang perempuan mendapatkan lebih banyak uang dibandingkan suaminya, hampir dipastikan timbul masalah dalam keluarga tersebut.

10. Dalam pembagian harta waris dari orang tua, anak-anak perempuan harus mendapat separuh dari bagian anak laki-laki.

Terkait toleransi, ada delapan indikator yang digunakan, dan responden diminta untuk melaporkan pandangan mereka atas indikator-indikator tersebut, apakah sangat

setuju, setuju, tidak setuju atau sangat tidak setuju. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur toleransi terlihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.2. Indikator Indeks Toleransi Keberagamaan

No Indikator

1. Membina hubungan persaudaraan dengan orang yang berbeda agama mengurangi iman dan ketakwaan

2. Nilai budaya masyarakat non Islam tidak boleh mempengaruhi budaya masyarakat Muslim

3. Seorang muslim yang baik harus percaya bahwa hanya Islamlah agama yang benar, sementara agama lain salah

4. Dalam membangun mesjid dibenarkan menerima sumbangan dana dan barang dari umat non-muslim

5. Orang Islam diperbolehkan memberi ucapan selamat kepada pemeluk agama lain yang sedang merayakan hari besar agamanya

6. Orang muslim diperbolehkan belajar di sekolah/universitas yang dikelola umat non-Muslim

7. Bisa memahami kalau di gampong tempat tinggal saya dibangun gereja, apabila memang ada sedikitnya 60 orang Kristen yang tinggal di gampong ini

8. Orang yang berdarah asli Aceh (atau beretnis Aceh) yang keluar dari agama Islam pantas tidak diakui sebagai orang Aceh.

(23)

15 Signifikansi teoritis dari dimasukkannya faktor-faktor non-agama dalam pengukuran ini adalah untuk mengonfirmasi diskursus modernisasi yang mengklaim bahwa agama merupakan fenomena masyarakat tradisional yang akan cenderung kehilangan peran seiring dengan perkembangan industri masyarakat modern. Akar-akar agama dipandang terdapat di pedesaan dan dalam masyarakat kelas sosial bawah. Pengukuran ini diyakini berguna untuk melacak faktor-faktor non-agama yang mempengaruhi corak keberagamaan (religiusitas) masyarakat Kota Langsa, dan implikasinya terhadap dukungan atas politik pelembagaan syariat di daerah ini.

2.5. Metode Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian kuantitatif, dengan menggunakan metode survey opini publik. Area penelitian ini Kota Langsa, salah satu kota administratif di propinsi Aceh. Langsa dipilih selain didasarkan pertimbangan teknis-ekonomi dimana peneliti berdomisili di kota ini; yang lebih penting adalah respon masyarakat di kota ini terhadap implementasi pelaksanaan syariat Islam tampaknya lebih bervariansi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Propinsi Aceh.

2.5.1. Teknik Penentuan Sampel

Khusus pada pengumpulan data melalui survei perilaku keagamaan masyarakat, Primary Sampling Unit (PSU) adalah desa/kelurahan di Kota Langsa yang dipilih secara proporsional dari segi populasi desa-kota, gender dan kecamatan. Sedangkan responden yang dimaksud dalam survei ini adalah penduduk yang punya hak pilih dalam pemilihan umum sekarang, yakni berumur 17 tahun atau lebih, atau telah menikah, yang dilakukan secara multistage random sampling.

Jumlah sampel bersih untuk dianalisis diusahakan tidak kurang 400 orang, dengan marjin eror 5,5%. Dalam prakteknya tidak pernah 100% bersedia diwawancarai, dan tidak pernah 100% menjawab semua pertanyaan. Maka jumlah sampel harus lebih besar dari 400 responden. Pengalaman selama ini respond rate survei sekitar 98%, maka diperlukan sekitar 420 responden untuk proxy net sampel sebesar 400 responden itu.

(24)

orang, sehingga jumlah responden yang diwawancara adalah 420 orang. Untuk menjaga kualitas wawancara, di setiap desa/kelurahan akan menggunakan satu orang tenaga pewawancara. Ini artinya, relawan yang akan mewawancara sebanyak 30 orang.

Untuk proporsi gender adalah 1:1 atau 50:50%; Tiak ada perbendingan pemilihan sampel mengenai variabel desa/kelurahan mengingat semua desa/kelurahan di Kota Langsa akan dijadikan sampel penelitian. Untuk nama-nama desa/kelurahan di kecamatan juga akan merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) 2009 dan Data Pemilih yang

dikeluarkan KPUD Kota Langsa.

Untuk memilih responden di tingkat desa/kelurahan digunakan lewat prosedur random sistematik berikut: mendaftar RT (atau Dusun/Kampung/Lorong atau sederajatnya sebagai unit sosial terkecil di atas KK), memilih RT secara acak; di tiap RT terpilih didaftar Kartu Keluarga (KK), dengan tujuan memilih 10 KK di setiap desa/kelurahan. Di tiap KK terpilih dengan menggunakan Kish Grid didaftar anggota KK yang berumur 17 tahun atau lebih, atau telah menikah, dan kemudian dipilih satu orang laki-laki/perempuan untuk diwawancarai. Random sistematik ini dilakukan dengan bantuan sistem acak komputerisasi.

Tabel 2.3. Rencana Kerja dalam Penentuan dan Pengambilan Sampel

No Uraian Keterangan

1. Jumlah Responden 420 responden 2. Jumlah Desa 30 desa/kelurahan

3. Tipe responden Laki-laki/perempuan berumur 17 tahun ke atas, atau sudah menikah.

4. Tenaga Pewawancara 30 surveyor, 5 orang telemonitoring, 3 orang spot-cheker. 5. Marjin eror 5,5 persen

Wawancara dilakukan oleh tenaga surveyor lapangan (pewawancara, mahasiswa) dengan menggunakan instrumen kuesioner yang disediakan. Seluruh surveyor terlebih dahulu dibekali dengan pengetahuan metodologis melalui workshop survei, termasuk pemahamannya mengenai prinsip-prinsip penelitian survei, metode pemilihan sampel, pemahaman terhadap setiap pertanyaan dalam kuesioner dan kemampuan teknis dalam melakukan wawancara tatap muka secara benar.

(25)

17 di tingkat desa/rumahtangga yang keliru, ada juga hasil wawancara yang dinilai tidak bisa dianalisis lebih lanjut karena terlalu banyak item pertanyaan yang tidak terisi, atau jawaban

“tidak tahu” terlalu dominan. Hal-hal ini menjadi perhatian serius dalam tahapan kegiatan verifikasi dan data cleaning.

Untuk memastikan wawancara benar-benar dilakukan sebaik-baiknya oleh pewawancara, dilakukan kendali kualitas (quality control system) dalam bentuk telemonitoring dan spotcheck oleh peneliti. Telemonitoring dilakukan dengan menelpon

responden pada saat sedang melakukan pengambilan data lapangan, guna memastikan para surveyor di lapangan mewawancarai responden sesuai dengan metode sampling yang

ditetapkan. Dalam telemonitoring, peneliti secara acak juga akan melakukan wawancara singkat dengan responden yang sedang ditemui tim surveyor. Sedangkan spotcheck ini akan dilakukan terhadap 10% dari jumlah desa/kelurahan yang menjadi Primary Sampling Unit (PSU), paling lama seminggu setelah tim surveyor selesai melakukan wawancara lapangan.

Proses penentuan desa dan responden yang akan diwawancarai berdasarkan system penghitungan sabagaimana terlihat dalam tabel berikut ini. Pembagian proporsi desa sampel didasarkan data yang disediakan BPS tahun 2009. Ini data paling mutakhir yang didapatkan saat penentuan sampel dilakukan. Komposisi desa yang diwawancara sebanyak

delapan desa di kecamatan Langsa Kota (112 responden), tiga desa di Langsa Timur (42) responden, lima desa di Langsa Lama (70 responden), delapan desa di Langsa Baru (112 responden), dan enam desa di Langsa Barat (84 responden).

Tabel 2.4. Proses dalam Penentuan Sampel Penelitian

NO Kecamatan Pendidik

an* % Jml

Pembu

latan Desa %

Kuota

Desa Resp

1 Langsa Kota 37,478 26.72 106.88 107 10 7.6 8 112

2 Langsa Timur 12,393 8.84 35.34 35 14 2.5 3 42

3 Langsa Lama 23,395 16.68 66.72 67 9 4.8 5 70

4 Langsa Baro 38,050 27.13 108.51 109 9 7.8 8 112

5 Langsa Barat 28,951 20.64 82.56 83 9 5.9 6 84

Jumlah 140,267 100% 400 400 51 28.57 30 420

* Sumber : Berdasarkan Data BPS 2009

(26)

masing-masing desa. Berdasarkan acak computer, di dapatkan nama-nama desa yang akan diwawancarai sebagaimana terlihat dalam lampiran. Tidak semua desa berhasil diwawancarai, dari 30 desa yang direncanakan, hanya 28 desa yang sudah selesai diwawancarai, karena kendala-kendala yang ditemukan di lapangan.

2.5.2. Teknik Analisa Data

Analisa data hasil survey opini publik dilakukan secara kuantitatif. Analisa data kuantitatif dilakukan melalui program SPSS dan berdasarkan tabel-tabel distribusi frekwensi, klasifikasi, korelasi, table, dan diagram yang dihasilkan melalui program tersebut. Hanya sedikit data yang dianalisa dengan menggunakan rumus korelasi rank order (spearmen’s rho rank order correlations). Ini terutama untuk menganalisa hubungan antara indeks religiusitas dengan sikap penerapan syariat Islam.

2.6. Proses Pengumpulan Data dan Kendala

Memilih pendekatan kuantitatif dengan responden yang bersifat kolosal dalam situasi keterbatasan dana bukan merupakan keputusan yang bisa diambil dengan mudah. Biasanya, survey yang peneliti lakukan dengan menggunakan pendekatan serupa dalam lingkup administratif tingkat kabupaten atau kota membutuhkan dana minimal sepuluh kali dari yang dianggarkan untuk penelitian ini. Karena itu, sejumlah persoalan yang sudah dibayangkan pada saat memutuskan menggunakan pendekatan ini, hampir sepenuhnya ditemukan pada proses pengumpulan data.

(27)

BAB III

POTRET RELIGIUSITAS DAN KOMITMEN KEAGAMAAN MUSLIM LANGSA

3.1. Religiusitas dan Identitas Muslim

Agama merupakan identitas muslim yang esensial. Ada perdebatan penting di kalangan orang Islam mengenai sifat dan komitmen keagamaan (religiusitas) yang harus ditunjukkan dan dianut oleh seorang Muslim agar ia dikatakan sebagai seorang mukmin

yang saleh. Pengujian atas sejauh mana religiusitas seseorang dapat diukur, merupakan diskursus yang belum selesai. Beberapa orang berkeyakinan bahwa religusitas merupakan

sesuatu yang bersifat personal, dan karenanya, tidak dapat dikuantifikasi. Sementara sebagian lainnya, terutama ilmuan sosial berkeyakinan sebaliknya bahwa religiusitas seseorang bukan sesuatu yang mustahil diukur secara kuantitatif. Peneliti lebih cenderung pada pandangan yang kedua bahwa religiusitas bukan sesuatu yang strelis dari pengukuran kuantitatif, dan karena itu pula akan mencoba mengukur religiusitas Muslim di Langsa.

Telah didiskusikan pada bab sebelumnya bahwa ilmuan sosial mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem keyakinan yang suci. Sistem ini dilihat melalui salah satu dari dua cara, yakni agama sebagai ”fenomena mental” (mental phenomenon), dan agama sebagai ”fenomena sosial” (sosial phenomenon). Agama sebagai fenomena mental didefinisikan

sebagai seperangkat keyakinan (believing), sedangkan agama sebagai fenomena sosial adalah tentang rasa kepemilikan atau kepenganutan (belonging).

Agama sebagai sebuah fenomena mental, mengatur keyakinan-keyakinan pokok, ide-ide, kode etik, dan simbol yang diasosiasikan dengan tradisi keagamaan, termasuk di dalamnya apa yang disebut teologi atau sistem keyakinan.1 Pandangan ini menekankan pada pentingnya ajaran dan nilai-nilai agama serta pengaruhnya terhadap perilaku sosial.2 Sementara itu, sebagai sebuah fenomena sosial, agama didefinisikan sebagai suatu kelompok sosial yang ”anggotanya dapat menunjukkan identitas yang sama, cara

berinteraksi sosial yang regular, serta harapan yang sama terhadap keyakinan maupun perilaku.3 Beranggotakan dan keterikatan pada suatu keompok keagamaan, dan perilaku

1 Wald, Kenneth D., dan Corwin E. Smidt, “Strategi-strategi Pengukuran dalam Studi Agama dan

Politik”, dalam Agama dan Politik di Amarika, David C. Leege dan Lyman A. Kellstedt, penerjemah: Debbide A. Lubis dan A Zaim Rofiqi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Freedom Institute: 2006), h. 54

2Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia

Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 87

3

(28)

tertentu yang merefleksikan norma kelompok tersebut merupakan sesuatu yang pokok dalam cara pandang ini. Di sini agama menjadi identitas sosial bagi para penganutnya.

Kedua konsep ini tentu saja saling berhubungan. Keyakinan terhadap nilai dan ide agama tertentu, yang dihasilkan dari penafsiran atas agama, diyakini mampu membentuk kecenderungan dan perilaku tertentu. Melalui proses pelembagaan, kecenderungan dan perilaku tersebut tercermin rasa kebersamaan atau kekompakan, dan setiap individu merasa menjadi bagian di dalamnya. Keterikatan ini pada gilirannya mempengaruhi keyakinan.

3.2. Potret Religiusitas Muslim Langsa 3.2.1. Dimensi Keimanan

Dimensi ini terdiri dari seperangkat kepercayaan yang wajib diyakini dan diimani oleh seorang Muslim. Seperti agama lainnya, struktur kepercayaan Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berkaitan dengan iman terhadap Tuhan beserta segala sifat-sifat-Nya. Bagian kedua menjelaskan tentang tujuan Tuhan dan peran orang mukmin dalam tujuan tersebut. Bagian ketiga menjelaskan tentang dasar etika agama. Menurut Stark dan Glock, kepercayaan ini dalam wacana sosiologi acapkali disebut sebagai iman yang sahih (warranting belief), iman yang memiliki tujuan (pupossive belief), dan iman yang diamalkan (implementing belief).4

Penelitian ini menggunakan indikator tunggal untuk mengukur dimensi keimanan orang Langsa, yakni percaya terhadap Allah. Seseorang kadang-kadang bisa percaya kepada Tuhan dan kadang pula tidak. Bagi beberapa kalangan, atau malah sebagian besar orang, iman bukanlah kondisi yang konstan. Untuk itu peneliti mengukur keyakinan kepada Allah dengan sejauh mana seseorang percaya kepada Allah dengan menggunakan indikator berskala nominal: (1) percaya Allah itu ada, dan tidak pernah ragu sedikitpun; (2) saya percaya Allah itu ada, tapi kadang-kadang ragu; (3) saya percaya Allah itu ada, tapi sering ragu; dan (4) saya tidak pernah percaya kepada Allah.

Temuan dari menginformasikan bahwa sebanyak 97% responden memilih opsi yang percaya kepada Allah dan mengatakan mereka tidak pernah ragu sedikitpun tentang keberadaan Allah. Hasil ini tidak berbeda dengan temuan dalam survey berskala nasional dimana sebanyak 97,2 responden mengaku percaya kepada Allah.5 Berdasarkan data ini

4Riaz Hasan, Keragaman Iman: Studi Koparatif Masyarakat Muslim, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 49

5

(29)

21 dapat dikatakan bahwa hampir semua Muslim di Kota Langsa percaya kepada Allah. Hanya sedikit di antara mereka yang meragukan Allah, dan tidak ada orang Langsa yang tidak mengakui keberadaan Allah. Karena rendahnya variasi ini, kekuatan analisisnya rendah. Hal ini tidak perlu lagi dianalisis pada tingkat individu.

Indikator pendamping untuk mengidentifikasi dimensi iman orang Langsa adalah keyakinan terhadap Mukjizat dan keyakinan hanya umat Muhammad yang akan masuk surga. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa 90,8% orang Langsa meyakini kebenaran mukjizat sebagaimana yang diceritakan al-Qur’an. Hanya 2,6% responden yang berpandangan bahwa Mukjizat merupakan peristiwa alam yang dapat dijelaskan secara rasional. Data ini memperlihatkan kuatnya skripturalistik dalam pemahaman keagamaan orang Islam di Langsa. Mereka cenderung menolak melakukan rasionalisasi mukjizat.

Terkait dengan indikator bahwa hanya orang yang beriman kepada Nabi Muhammad yang akan masuk surga, penelitian ini menemukan sebanyak 76,7% orang Langsa meyakini secara pasti bahwa hanya umat Muhammad yang akan masuk surga. Ketika rumusan pertanyaan dalam penelitian ini diungkapkan dengan mengganti kata “Muhammad” dengan kata “Islam”, penelitian menemukansikap yang serupa (81%) orang

Langsa berkeyakinan bahwa hanya Islamlah agama yang benar. Hanya 15% yang berpandangan bahwa umat dari agama lain juga berkemungkinan masuk surga.

3.2.1. Ibadah Wajib

Selain beriman kepada Allah, kaum Muslim diwajibkan untuk melakukan sejumlah ibadah. Dua dari ibadah itu adalah shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Shalat lima waktu adalah shalat subuh, zuhur, ashar, magrib dan isya. Praktik ibadahnya sangat ketat dan intensitas pelaksanaan ibadah dalam studi ini menjadi ukuran dalam ketaatan seorang Muslim. Hasilnya, sebanyak 89% orang

Langsa mengaku sering atau sangat sering melaksanakan shalat lima waktu,

dan hanya sekitar 11% yang

(30)

sering atau sangat sering melaksanakannya dan hanya 7% yang mengaku jarang melaksanakannya. Berdasarkan proporsi ini dapat digambarkan bahwa orang Langsa secara homogen dapat dikatakan religius.

Mujani dilaporkan pernah melakukan penelitian dengan pendekatan serupa untuk mengukur intensitas muslim di Indonesia dalam melaksanaan shalat dan puasa Ramadhan. Apabila data ini dibandingkan dengan temuan Mujani, survey religiusitas masyarakat Kota

Langsa menemukan bahwa

intensitas pelaksanaan shalat dan puasa Ramadhan orang Langsa lebih kurang sama dari orang Indonesia umumnya. Ini artinya bahwa intensitas pelaksanaan shalat wajib dan puasa Ramadhan di kalangan orang Langsa relatif sama dengan orang Indonesia

sebagaimana temuan suvey sebelumnya.

Survey ini cenderung mendukung temuan-temuan yang dilakukan sebelumnya tentang dimensi keberagamaan orang Aceh seperti yang dilakukan Hurgronye dan John R

Bowen.6 Bowen menulis antusiasme orang dataran tinggi Gayo dalam mempraktikkan ajaran Islam. Snouck Hurgronye mengatakan bahwa orang Aceh, demikian pula orang Langsa, adalah muslim yang memiliki emosi keislaman yang kuat. Hurgronye melaporkan saat bulan Ramadhan orang Aceh memperlihatkan antusiasme dalam menjalankan puasa, dan kalaupun tidak berpuasa maka tidak berani menampakkannya secara terang-terangan di depan umum.7

Kenyataan bahwa intensitas pelaksanaan shalat dan puasa Ramadhan di Kota Langsa relatif sama dengan temuan survey nasional Mujani menarik dicermati. Karena sebagai mana diketahui semua orang bahwa orang Aceh memiliki emosi keagamaan kuat. Ada beberapa kemungkinan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kenyataan ini. Pertama, asumsi pertama dikarenakan populasi Langsa plural secara etnisitas, seperti

halnya pluralitas masyarakat Indonesia umumnya. Untuk membuktikan ini, peneliti

(31)

23 menelusuri latar-bekalang etnisitas responden dengan mengkatogorisasikan antara orang asli Aceh dan non-Aceh. Orang asli Aceh yang dimaksudkan di sini adalah yang beretnis Aceh ada sub etnis yang ada di dalamnya, sedangkan non-Aceh adalah orang yang beretnis selain etnis Aceh seperti Jawa, Batak, Melayu, Minangkabau dan sejenisnya.

Tabel 3.1. Analisis Korelasi r Pearson antara unsur Ibadah Wajib dengan Faktor

Lainnya

.035 .024 .210(**) -.011 -.261(**) -.051 -.224(**) Pentingnya agama .119(*) .043 -.014 .046 -.077 .048 -.026 Pentingnya syariat

Islam

.183(**) .162(**) -.122(*) -.013 -.081 .016 -.111 Sedekah .007 .062 -.059 -.087 -.031 .057 -.097 ** dan * korelasi adalah signifikan masing-masing pada .01 dan .05

Hasilnya, intensitas pelaksanaan puasa orang Langsa yang beretnis asli Aceh memang lebih tinggi dibandingkan dengan non-Aceh yang tinggal di daerah ini. Namun data yang tersedia ini menunjukkan adanya korelasi negatif (-,010) antara intensitas shalat dengan latar belakang etnisitas. Ini artinya, asumsi bahwa rendahnya intensitas pelaksanaan shalat wajib dan puasa dikalangan orang Langsa dibandingkan Indonesia dikarenakan latar belakang etnisitas ini tidak dapat dibuktikan secara empirik.

Kedua, data yang tersedia menunjukkan justru memperlihatkan bahwa intensitas

pelaksanaan shalat berkorelasi positif terhadap pandangan tentang urgensi agama dalam kehidupan dan pentingnya pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Data yang tersedia dalam tabel berikut merupakan hasil analisis bivariat antara shalat dan puasa dengan variabel lainnya.

7

(32)

3.2.2. Ibadah Sunnah

Selain ibadah wajib, orang Islam juga dianjurkan untuk melaksanakan ibadah yang sifatnya sunnah, yang dalam studi ini disebut ibadah sunnah. Penelitian ini, sebagaimana alasan-alasan yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu merumuskan bahwa yang termasuk ibadah sunnah adalah membaca al-Qur’an, berdoa sebelum bekerja, shalat berjamaah, shalat sunnah, puasa sunnah, menghadiri pengajian dan memberi sedekah.

Adalah pandangan umum bahwa keberagamaan seorang muslim dalam ibadah sunnah tidaklah homogen. Proporsi orang Langsa yang melakukan ibadah sunnah secara signifikan bervariasi: sekitar 56% melaporkan sering atau sangat sering membaca al-Qur’an, sekitar 70% mengaku sering atau sangat sering berdoa sebelum bekerja atau beraktivitas, sekitar 46,2% sangat sering atau sering shalat berjamaah, sekitar 39,7 sangat sering atau sering melakukan shalat sunnah, sekitar 32,2% sangat sering atau sering melakukan puasa sunnah, dan sekitar 47,2% melaporkan sangat sering atau sering menghadiri pengajian. Memberi sedekah seperti barang atau uang atas nama agama kepada orang yang membutuhkan merupakan praktik keagamaan yang dianjurkan. Terlepas dari berapa banyak barang atau uang yang disedekahkan, sekitar 70,2% orang Langsa mengaku

sangat sering atau sering melakukan sedekah.

Menarik dicermati bahwa intensitas pelaksanaan ibadah sunnah orang Langsa lebih rendah dibandingkan muslim di Indonesia. Setidaknya inilah temuan apabila data ini

dibandingkan dengan temuan Saiful Mujani dalam survey yang berskala nasional. Berikut

ini ditampilkan

perbandingan hasil

survey di Langsa (2010)

dengan survey yang

dilakukan Mujani yang dilakukan sebanyak dua kali (2001 dan 2002).

Data di bawah ini

memperlihat akan

(33)

25

3.2.3. Ibadah Nahdliyin

Mujani dalam mengukur religiusitas muslim Indonesia membedakan antara model ibadah orang yang berafiliasi dengan ormas keagamaan NU dan muslim lainnya. Menurutnya, praktik keagamaan seperti (1) memohon didoakan kyai untuk mencapai maksud tertentu, (2) mengunjungi makam para wali, ulama atau kyai, (3) tahlil, (4) acara tujuh hari kematian anggota keluarga, dan (5) melaksanakan haul atau upacara memperingati seratus hari kematian anggota keluarga; merupakan model ritual peribadatan yang khas orang NU. Peneliti menggunakan indikator ini untuk membuktikan apakah temuan Mujani berlaku dalam kasus muslim di Langsa. Asumsinya bahwa meskipun di Aceh NU tidak berkembang luas sebagaiamana di pulau Jawa, praktik ibadah sebagaimana indikator yang digunakan Mujani banyak ditemukan di Langsa, bahkan merupakan bagian dari tradisi keagamaan.

Penelitian ini menemukan bahwa sekitar 22% orang Langsa mengaku sering atau sangat sering minta didoakan secara khusus oleh kyai, ulama atau tengku. Bagi masyarakat muslim di Kota Langsa, ulama atau tengku merupakan pribadi pemegang otoritas keagamaan yang sangat populer, diyakini bukan saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga

pemimpin informal yang berkharisma dan ditaati. Namun berbeda dengan temuan pada skala nasional yang mengatakan 37% muslim memiliki kontak intensif dengan ulama atau tengku untuk minta didoakan, hal demikian tidak mendapatkan bukti empirik di Aceh.

Sebanyak 33% orang Langsa mengaku tidak pernah minta didoakan orang ulama, dan 41% mengaku jarang melakukannya.

(34)

Adapun terkait dengan ziarah kubur, data di atas memperlihatkan bahwa intensitas melaksanakan ziarah kubur dikalangan orang Langsa sebesar 23%, tidak berbeda dengan temuan survey nasional sebesar 25-27%. Sebanyak 41,5% orang Langsa mengaku meskipun pernah melakukan ziarah kubur, meski hal tersebut jarang dilakukan, dan 30,5% lainnya mengatakan tidak pernah melakukannya. Ini artinya, pada kasus ziarah kubur, bahwa praktik peribadatan sebagaimana yang dilakukan NU mendapat dukungan di Kota Langsa.

Praktik ibadah lainnya yang biasa diasosiasikan dengan NU adalah upacara memperingati kematian anggota keluarga yang dilaksanakan pada hari ke tujuh (tujuh hari) dan hari ke seribu (haul). Anggota keluarga yang telah meninggal dunia mengundang kyai dan masyarakat sekitar untuk berdoa bagi keselamatan yang telah meninggal dunia di akhirat. Sekitar 71% orang Langsa mengaku sering melakukan atau menghadiri acara doa di hari ke tujuh kematian, dan sebanyak 52,6% orang Langsa mengaku sering menghadiri upacara haul. Angka-angka ini relatif tidak berbeda dengan temuan pada survey nasional mengenai hal serupa.

3.3. Islamisme dan Toleransi keberagamaan 3.3.1. Islamisme

Islamisme atau orientasi politik Islamis merupakan sesuatu yang krusial dalam

mendefinisikan sejauhmana seseorang dianggap Islamis atau tidak. Para ahli tentang masyarakat Muslim seperti Bernard Lewis dan Ernest Gelner ataupun sarjana politik seperti Samuel P Huntington mencoba membuktikan bahwa Islamisme merupakan hal yang universal bagi kaum Muslim. Untuk melihat seberapa kuat klaim ini pada kasus masyarakat Muslim di Langsa, maka peneliti menggunakan indikator-indikator yang biasa digunakan para ahli untuk mengukur Islamisme.

(35)

27 memberikan kepada manusia hak otonom untuk menyelesaikan hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan politik sehari-hari.8

Peneliti menggunakan indikator-indikator berikut untuk mengukur dimensi Islamisme pada masyarakat Langsa: (1) Pemerintahan Islam yang terbaik untuk Langsa, (2) Negara mewajibkan pelaksanaan syariat Islam, (3) pemilu harusnya hanya untuk memilih wakil rakyat yang memperjuangkan syariat Islam, (4) aksi kekerasan dalam menegakkan syariat Islam sejalan dengan ajaran Islam, (5) setuju terorisme atas nama agama, (6) haram menabung di bank konvensional, dan (7) hanya Islamlah agama yang benar. Berdasarkan indikator tersebut responden diminta melaporkan mereka apakah

sangat setuju,

setuju, tidak setuju, atau sangat tidak setuju dengan

ide-ide tersebut.

Peneliti lalu

mengkategorisasika

n jawaban sangat setuju dan setuju sebagai tendensi

Islamis, dan

jawaban tidak setuju atau sangat tidak setuju sebagai tendensi penolakan Islamisme.

Hasil sebagaimana penelitian terlihat dalam diagram berikut menunjukkan bahwa sebanyak 82% orang Langsa setuju atau sangat setuju dengan ide pemerintahan Islam, sebanyak 90% setuju atau sangat setuju dengan pelaksanaan syariat Islam oleh negara, dan sekitar pemilu harusnya hanya untuk memilih wakil rakyat yang memperjuangkan syariat Islam. Angka ini jauh melampaui temuan Mujani tentang sikap muslim Indonesia terhadap gagasan yang sama. Menurut temuan Mujani, sebanyak 63 persen orang Indonesia menyetujui pemerintahan Islami, dan 66% setuju atau sangat setuju dengan penegakan syariat Islam oleh negara.9

Terkait dengan data yang ditemukan pada kasus Langsa, angka-angka ini menurun secara drastik ketika dikaitkan dengan dukungan terhadap aksi dakwah melalui kekerasan.

8Saiful Mujani, h. 99-100 9

(36)

Tidak sampai separoh orang Langsa yang setuju atau sangat setuju dengan metode dakwah melalui aksi kekerasan dalam menegakkan syariat Islam sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan FPI, dan hanya minoritas atau sekitar 11% yang setuju atau sangat setuju dengan terorisme sebagaimaa yang menjadi metode perjuangan Noordin Top. Demikian pula, hanya 28% orang Langsa yang mendukung pandangan haramnya menabung di bank konvensional. Pandangan bahwa hanya Islamlah agama yang benar didukung oleh 81% orang Langsa, dan dukungan terhadap superioritas laki-laki sebesar 64%, dan setara dengan dukungan terhadap gagasan laki-laki lebih diutamakan dalam soal kesempatan mendapatkan pendidikan. Menarik dicatat bahwa pandangan yang mendukung superioritas laki-laki ini tidak hanya muncul dari laki-laki saja, tetapi didukung juga oleh perempuan.

Kecenderungan kalangan Islamis untuk melibatkan pemerintah dalam masalah agama dapat diukur dengan banyak item termasuk kewajiban yang secara khusus disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sebagian besar orang Islam dimana saja akan sepakat bahwa mereka diwajibkan menunaikan lima rukun Islam. Shalat lima waktu dan puasa Ramadan adalah dua dari lima rukun Islam tersebut. Kalangan Islamis berpendapat

bahwa pemerintah harus bertanggung-jawab atas pelaksanaan rukun itu. Dalam survey ini, peneliti menemukan sebanyak 70,2% orang Langsa setuju agar orang yang tidak melaksanakan puasa Ramadan dihukum oleh pemerintah. Ini menegaskan sikap

sebelumnya mengenai dukungan terhadap intervensi Negara dalam pelaksanaan ajaran Islam.

3.3.2. Toleransi Keberagamaan

Toleransi, dalam tradisi Islam dirumuskan dalam kaitan dengan hubungan Muslim dengan kaum Yahudi dan Kristen. Corak hubungan tersebut mengambil bentuk beragam, sejalan dengan pola hubungan sosial politik yang terjalin. Keragaman itu pula yang antara lain mewarnai pemaknaan Islam, sebagaimana tersurat dalam al-Qur’an, terhadap mereka yang didefinisikan sebagai non-Muslim. Beberapa ayat al-Quran memberikan batas demarkasi yang tegas antara orang non-Muslim dan Muslim yang berujung pada pernyataan“untukmu agamamamu, untukku agamamaku”(Qs:109:5).

(37)

29 membekali kaum Muslim untuk merumuskan Yahudi dan Kristen sebagai komunitas keagamaan yang berbeda, dan selanjutnya memiliki sikap sosial politik berlainan.

Namun di pihak lain, al-Qur’an juga memiliki persediaan melimpah terkait dengan ayat-ayat yang menekankan toleransi. Salah satu istilah dalam al-Qur’an yangmenekankan aspek toleransi adalah penggunaan istilah ahlu kitab untuk merujuk pada Yahudi dan Kristen. Istilah ahlu kitab digunakan dalam al-Qur’an antara lain sebagai ungkapan penghargaan tinggi terkait konsistensi mereka berpegang pada ketuhanan yang monotheistik. Al-Qur’an dengan demikian mengandung ajaran yang menekankan baik toleransi maupun intoleransi sekaligus.

Toleransi keberagamaan merupakan indikator penting untuk mengukur dimensi keberagamaan seorang Muslim. Toleransi adalah sikap individu yang muncul ketika seseorang berhadapan dengan sejumlah perbedaan, dan bahkan pertentangan baik di tingkat sikap, pandangan, keyakinan, dan juga tindakan yang tumbuh di tengah masyarakat.10 Para ahli politik Islam seperti Huntington dan Lewis selalu berpandangan bahwa toleransi di kalangan Muslim sangat rendah. Kedua sarjana ini bahkan mengklaim unversitas intoleransi Islam terhadap penganut agama lain atau kebudayaan selain Islam.

Untuk membuktikan kebenaran ataupun barangkali bantahan atas pandangan sarjana ini, peneliti akan mengemukakan sejumlah data empirik dalam skala Langsa.

Namun sebelum lebih jauh menelusuri toleransi beragama di kalangan Muslim

Langsa, studi tentang toleransi biasanya tidak mengarah pada suatu kelompok tertentu, seperti katakanlah non-Muslim atau Kristen, tetapi lebih mengarah pada kelompok manapun yang tidak disukai.11 Strategi “pengukuran dengan isi berkontrol” ini lebih merupakan strategi untuk mengukur toleransi keagamaan orang Langsa terhadap orang non-Muslim atau Kristen. Berdasarkan pertimbangan ini, peneliti menggunakan delapan indikator untuk mengidentifikasi kecenderungan toleransi di kalangan Muslim Langsa, dengan meminta responden melaporkan sejauh mana mereka setuju dengan dengan ide-ide berikut, apakah sangat setuju, setuju, tidak setuju atau sangat tidak setuju.

Delapan indikator tersebut adalah: (1) membina hubungan pertemanan dengan non-Muslim mengurangi iman dan takwa, (2) nilai budaya masyarakat non-non-Muslim tidak boleh mempengaruhi budaya masyarakat Muslim, (3) dalam membangun mesjid dibenarkan menerima sumbangan dari umat non-Muslim, (4) seorang Muslim diperbolehkan

10John L. Sullivan, James Pierson dan George E. Marcus, Political Tolerance and American

(38)

mengucapkan selamat natal, (5) belajar di lembaga pendidikan yang dikelola non-Muslim, (6) pembangunan gereja di lingkungan pemukiman mereka, (7) mengusir dari kampung terhadap orang asli Aceh yang murtad atau keluar dari Islam.

Diagram berikut ini memperlihatkan sikap Muslim Langsa yang sangat setuju atau setuju dengan ide-ide sebagaimana yang menjadi indikator toleransi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa mayoritas orang Langsa (66%) tidak mempersoalkan pertemanan dengan dengan non-Muslim. Mereka dengan kata lain menolak pandangan bahwa membina hubungan pertemanan dengan umat non-Muslim mengurangi iman atau takwa.

Meskipun tidak mempersoalkan pertemanan dengan non-Muslim, orang Langsa mayoritas menolak indikator toleransi yang dirumuskan dalam penelitian ini. Terhadap pengaruh budaya non-Muslim, hanya 20% orang Langsa tidak mempersoalkan terjadinya adaptasi budaya

non-Muslim. Sebanyak

64,2% responden

menolak secara tegas. Angka ini tampaknya

sejalan dengan

anggapan yang

berkembang luas di

kalangan masyarakat Aceh, Langsa serta kalangan skripturalis bahwa selama ini sumber kemunduran umat Islam adalah pengaruh budaya asing di kalangan masyarakat Muslim. Khutbah yang disampaikan dalam pengajian atau momen-momen keagamaan lainnya selalu berisi peringatan kepada masyarakat agar bersikap waspada terhadap pengaruh budaya dari luar. Hasilnya, sebagaimana yang dikemukakan dalam penelitian ini.

Demikian pula, dukungan terhadap toleransi di kalangan Muslim Langsa sangat rendah apabila menggunakan indikator-indikator lainnya. Hanya 38% orang Langsa mentoleransi pembangunan mesjid dari dana yang sumbernya berasal dari sumbangan non-Muslim. Hanya 29% orang Langsa yang tidak mempermasalahkan mengucapkan selamat natal kepada non-Muslim, sebanyak 27% membolehkan orang Islam sekolah atau kuliah di lembaga pendidikan yang dikelola non-Muslim, dan 13% bisa memahami kehadiran gereja

Gambar

Tabel 2.3. Rencana Kerja dalam Penentuan dan Pengambilan Sampel
Tabel 2.4. Proses dalam Penentuan Sampel Penelitian
Tabel 3.1. Analisis Korelasi r Pearson antara unsur Ibadah Wajib dengan  Faktor
Tabel 3.2. Korelasi r Pearson antara Ibadah dengan Unsur Islamisme
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa memperhatikan kronologis pencalonan Bakal Pasangan Calon yang diusung oleh PKP Indonesia di Kabupaten Dogiyai sebagai Laporan KPU Provinsi Papua, serta mencermati proses

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil dan pembahasan pada Rancang Bangun Game “ Who Wants to Be a Brillianaire ” berbasis Android adalah game ini dapat

Penambahan luas ini sebagai bagian dari komitmen pemerintah kabupaten terutama DKP yang terus melakukan pembangunan dan optimalisasi TPST untuk dapat memenuhi Sidoarjo Zero

Dengan menilai tingkat kesiapan mahasiswa dalam mengimplementasikan e-learning melalui tugas akhir ini, disimpulkan bahwa penerapan model Akaslan dan Law dapat

yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :.. pelaksanaan titel eksekutorial oleh

Biaya'operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 digunakan untuk pembayaran honorarium, pengadaan bahan, alat tulis kantor, cetak/stensil, fotocopy/penggandaan,

Selain itu, dapat kami sampaikan pula bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Komite Remunerasi dan Nominasi mengacu kepada regulasi yang berlaku, diantaranya adalah

Jumlah buah tomat pada tanaman yang diberi inokulan PSB tidak berbeda nyata dengan tanaman yang diberi kompos, tapi berbeda dengan pemberian kotoran ayam+sekam, pupuk kimia NPK,