BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Konsep Supply Chain
Supply chain adalah jaringan instansi-instansi yang secara bersama-sama
bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir (end user). Instansi-instansi tersebut biasanya termasuk supplier, instansi, distributor, toko atau ritel, serta instansi-instansi pendukung seperti instansi jasa
logistik. (Pujawan, 2005).
III-2
Gambar 3.1 memberikan ilustrasi konseptual sebuah supply chain.
supplier manufacturer distributor Ritel/toko consumer
Finansial : invoice, term pembayaran
Material : bahan baku, komponen, produk jadi
Informasi : kapasitas, status pengiriman, quotation
Finansial : pembayaran
Material : retur, recycle,repair
Informasi : order, ramalan
Gambar 3.1. Simplifikasi Model Supply Chain dan 3 Macam Aliran yang Dikelola
Supply chain yang terdiri dari supplier, manufaktur, distributor dan retailer
secara keseluruhan seperti membentuk ‘perusahaan tunggal’ yang efisien dan efektif yang memiliki kemampuan mengelola informasi. Supply chain memiliki karakteristik sebagai berikut (Sinulingga, 2013):
1. Keputusan yang diambil pada salah satu mata rantai akan mempengaruhi mata rantai lainnya. Perubahan kebijakan pada salah satu atau beberapa anggota di setiap level rantai pasok akan berpengaruh terhadap semua anggota disetiap levelnya dari hulu sampai hilir.
III-3
merubah/menyesuaikan kebijakan persediaan agar lebih responsif terhadap fluktuasi permintaan dari hilir.
3. Waktu ancang-ancang (total replenishment time) yang pendek, efektif meningkatkan kinerja rantai pasok.
4. Akurasi peramalan tentang perubahan permintaan dan ketersediaan informasi tentang permintaan aktual pada setiap level, efektif untuk mengurangi efek negatif dari perubahan permintaan. Pengelolaan permintaan melalui kegiatan seperti peramalan, pembukuan permintaan langsung, hingga penentuan kebijakan order yang dilakukan secara telitiakan menurunkan deviasi antara perencanaan dan pelaksanaan.
3.1.1. Supply Chain Management (SCM)
Istilah Supply Chain Management pertama kali dikemukakan oleh Oliver & Weber pada tahun 1982 (cf. Oliver & Weber, 1982; Lambert et al. 1998). Filosofi Supply Chain Management menekankan perlu adanya koordinasi dan kalaborasi
yang baik antar fungsi organisasi pada suatu supply chain. Hal ini memperlihatkan pentingnya sistem pengukuran kinerja yang terintegrasi, bukan hanya pengukuran kinerja didalam suatu organisasi tetapi juga antar pelaku sepanjang supply chain.
3.2. Bullwhip Effect
Bullwhip effect atau efek cambuk dinamai sesuai dengan tindakan cambuk
III-4
urutan terbalik (hilir ke hulu). Istilah bullwhip effect ini diciptakan oleh Procter dan Gamble yang melihat adanya amplifikasi akibat distorsi informasi saat informasi pesanan menyusuri rantai pasok (Buchmeister.B, 2008)
Fenomena bullwhip effect adalah terjadinya permintaan yang relatif stabil di tingkat pelanggan akhir dan menjadi permintaan fluktuatif di bagian hulu supply chain. Perbedaan atau variabilitas permintaan sering ditemukan pada suatu
supply chain (Pujawan, 2005). Fenomena ini diamati pada saluran distribusi
berbasis perkiraan (forecast). Efeknya mengindikasikan kurangnya sinkronisasi antar setiap anggota rantai pasok. Karena pola pemesanan tidak sesuai dengan pola permintaan, maka persediaan akan terakumulasi di berbagai tahap dalam rantai pasok.
Ada empat penyebab utama terjadinya bullwhip effect, yaitu: 1. Demand Forecast Updating
Pembaharuan ramalan permintaan mempengaruhi tingkat akurasi peramalan karena perusahaan mengetahui informasi terbaru terkait permintaan pelanggan dan situasi pasar yang sebenarnya.
2. Order Batching
Ritel yang menjual produk dalam skala kecil akan memesan produk dalam jumlah yang cukup besar dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini menyebabkan distributor akan menerima order yang lebih fluktuatif dibandingkan dengan permintaan yang dihadapi ritel.
III-5
Forward buying yang dilakukan ritel sebagai respon terhadap penurunan harga
mengakibatkan angka penjualan meningkat akibatnya distributor akan memesan dalam jumlah yang besar ke pabrik. Pabrik merespon dengan meningkatkan produksi dan memesan ke pemasok untuk mengantisipasi terjadinya kekurangan bahan baku atau produk. Penyebab terjadinya kekurangan ini antara lain, jumlah kebutuhan terhadap bahan baku/produk yang tidak pasti dan pesanan bahan baku/produk tidak dapat datang tepat waktu.
4. Rationing and Shortage Gaming
Penjual akan melakukan rationing pada saat permintaan lebih tinggi dari persediaan. Rationing yang dimaksud adalah memenuhi seratus persen pesanan pelanggan namun hanya sekian persen dari volume yang dipesan.
Bullwhip effect dapat dikurangi atau diatasi dengan beberapa pendekatan. Beberapa pendekatan yang diyakini dapat mengurangi bullwhip effect adalah: 1. Information Sharing
Model kolaborasi CPFR (Collaborative Planning, Forecasting, and Replenishment) merupakan solusi yang baik untuk mensinkronkan informasi di
semua pihak. Salah satu konsep CPFR yang menerapkan kolaborasi atau koordinasi dekat antar produsen dan retailer adalah Vendor Managed Inventory.
III-6
melainkan hanya memberikan informasi permintaan dari pelanggan mereka, persediaan yang tersisa, serta informasi lain yang dapat mempengaruhi penjualan dimasa yang akan datang. Dengan penerapan metode VMI ini informasi yang diperoleh hanya bersifat umum, sedangkan informasi khusus ada pada perusahaan. Oleh sebab itu, distorsi informasi dapat diminimasi hingga dihilangkan.
Information sharing antara setiap anggota di level rantai pasok dan
pelanggan/konsumen sangat penting dalam membuat analisis antisipasi. Bagi perusahaan, ketersediaan informasi tentang situasi operasi pelanggannya seperti posisi persediaan setiap saat, estimasi permintaan terhadap produk dan sebagainya sangat membantu untuk membuat antisipasi jadwal produksi, pengiriman dan persediaan. Bagi pelanggan ketersediaan informasi tentang perusahaan tentang status order, ketersediaan produk, dan sebagainya untuk membuat perkiraan jumlah da jadwal pemesanan produk (Sinulingga, 2013). 2. Mengubah Struktur Supply Chain
Dengan struktur supply chain yang lebih ramping dan pendek, perusahaan dapat langsung menerima pesanan dari pelanggan akhir sehingga perusahaan dapat mengetahui pola permintaan yang sebenarnya.
3. Pengurangan Biaya-Biaya Tetap
III-7
waktu setup produksi, mengurangi ukuran lot pemesanan, dan melakukan inovasi pada manajemen transportasi dan distribusi.
4. Menciptakan Stabilitas Harga
Pemberian potongan harga (diskon) oleh penyalur ritel harus dikurangi atau diarahkan ke pengurangan harga secara kontinyu. Ataupun jika kegiatan promosi diadakan, semua pihak pada supply chain harus mengetahui situasi tersebut.
5. Pengurangan Lead Time
Lead time dapat diperpendek dengan mengubah struktur supply chain mode
transportasi atau dengan cara-cara inovatif seperti cross docking dan perbaikan manajemen penanganan order, penjadwalan ulang produksi maupun perbaikan pengiriman yang lebih baik.
Ukuran bullwhip effect di suatu level supply chain merupakan perbandingan antara koefisien variansi dari order yang diciptakan dengan koefisien variansi dari permintaan yang diterima oleh eselon yang bersangkutan (Disney dan Lambreet, 2008).
)
III-8
Dimana;
CV (order) : Koefisien variabel penjualan CV (demand) : Koefisien variabel permintaan
S : Standar Deviasi jumlah permintaan atau penjualan Mu : Rata-rata jumlah permintaan atau penjualan
L : Lead Time
P : Periode pengamatan
3.3. Vendor Managed Inventory
Vendor Managed Inventory adalah model pengelolaan persediaan dimana keputusan waktu dan ukuran pengiriman ditentukan oleh pemasok dan pembeli memberikan informasi yang up to date tentang persediaan yang tersisa dan kebutuhan dari waktu ke waktu. Dengan mengetahui informasi-informasi tersebut, pemasok akan menentukan sendiri waktu dan jumlah pengiriman ke pembeli dengan catatan pembeli memberikan informasi tentang kapasitas minimum dan maksimum persediaan yang mereka harapkan (Pujawan, 2005).
III-9
persediaan dan meningkatkan frekuensi pengisian barang (Mahamani dan Rao 2010).
Berdasarkan Achabal et al (2000) dan Waller et al. (1999), Yao et al. (2005) menyatakan bahwa keuntungan penerapan metode pengelolaan persediaan oleh vendor adalah pengurangan biaya simpan baik pada pemasok, distributor maupun retailer, peningkatan customer service level, seperti dengan pengurangan waktu siklus pemesanan barang dan peningkatan frekuensi penggantian/pengisian persediaan.
Penerapan pengelolaan persediaan oleh vendor membutuhkan keterbukaan informasi (information sharing) mengenai level persediaan dan jumlah permintaan konsumen dari pihak retailer terhadap pemasok. Dengan cara seperti ini pihak pemasok dapat melakukan perencanaan produksi, penjadwalan pengiriman barang, pemenuhan persediaan retailer, perencanaan pembelian, serta proses logistik lainnya dengan lebih baik. Yao et al (2005) membahas dua fenomena yang terjadi dalam pengelolaan persediaan oleh vendor, yaitu information sharing dan process integration (supply chain integration). Kedua
fenomena yang terjadi pada penerapan VMI ini memberikan keuntungan pada pengelolaan sebuah rantai pasok.
Information sharing yang dilakukan antarpihak dalam rantai pasok ternyata
dapat mengurangi bullwhip effect. Berkurangnya bullwhip effect ini merupakan pencapaian performansi yang baik dalam sebuah rantai pasok.
III-10
membahas mengenai kondisi-kondisi yang terjadi dalam kesepakatan penerapan strategi pengelolaan persediaan oleh vendor. Berdasarkan pembahasan tersebut diketahui beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam suatu kesepakatan yang akan mempengaruhi performansi penerapan strategi pengelolaan persediaan oleh vendor, yaitu harga beli barang dari pemasok, batas-batas persediaan yang diiingini oleh retailer, jumlah barang yang dapat dipenuhi oleh pemasok, variasi permintaan dan sistem pembayaran. Dalam penelitian yang dilakukan Guneg (2010), terdapat juga parameter-parameter lain yang diuji yaitu kapasitas produksi pemasok, harga jual barang oleh retailer, proporsi ongkos pemesanan. Berbeda dengan sistem tradisional yang membebankan seluruh ongkos/biaya pemesanan pada retailer, pada pengelolaan persediaan oleh vendor ini terdapat pembagian biaya pemesanan antara pemasok dan retailer dengan proporsi tertentu. Perbedaan pengelolaan persediaan oleh vendor dengan sistem tradisional pun terdapat pada aliran informasi antara retailer dan pemasok seperti pada Gambar 3.2 berikut ini.
Gambar 3.2. Supply Chain dengan Vendor Managed Inventory
III-11
akan diajukan kepada pihak ritel ke distributor pusat (x3) haruslah sama dengan jumlah permintaan yang diterima ritel dari konsumen pada periode t (N3).
Gambar 3.3. Model Umum Supply Chain Dengan Sistem VMI
III-12
merupakan jumlah produk optimal yang harus disediaakan untuk memenuhi jumlah permintaan.
III-13
Gambar 3.4. Persamaan Matematis untuk Distorsi Informasi
Konsep pengelolaan persediaan oleh vendor (VMI) menghilangkan perhitungan persediaan aktual dan menyamakan jumlah pesanan dan permintaan pada level konsumen, ritel dan distributor. Persamaan matematis ini dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Persamaan Matematis untuk VMI dengan Distributor dan Peramalan oleh Produsen
3.4. Peramalan
III-14
adalah prediksi mengenai masa depan. Sedangkan Sofjan Assauri (2016) menyatakan bahwa prakiraan ramalan adalah kegiatan memprediksi nilai masa depan, dengan dasar pengetahuan atau nilai masa lalu yang dipersiapkan. Prakiraan ramalan mencakup penggunaan data historis, dengan memproyeksikannya untuk masa depan yang menggunakan jenis model matematis.
Analisa deret berkala (Time Series) pada umumnya selalu didasarkan atas penggunaan analisa pola hubungan antara variabel yang akan diperkirakan dengan variabel waktu. Metode ini merupakan metode peramalan yang memperkirakan permintaan konsumen/penjualan periode yang akan datang dengan menggunakan data historis
Data deret berkala (time series) merupakan data yang dikumpulkan, dicatat atau diobsevasi sepanjang waktu secara berurutan. Periode waktu observasi dapat berbentuk tahun, kuartal, bulan, minggu dan dibeberapa kasus dapat juga hari atau jam. Time series dianalisis untuk menemukan pola variasi masa lalu yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan nilai masa depan dan membantu dalam manajemen operasi serta membuat perencanaan.
Analisis deret berkala dapat dilakukan dengan mengamati data dan melihat apakah empat komponen data deret berkala yang mempengaruhi suatu pola data masa lalu dan sekarang, yang cenderung berulang di masa mendatang terdapat di data tersebut. Empat komponen pola deret waktu, antara lain:
III-15
2. Musiman, yaitu pola data yang mengulang dengan sendirinya setelah satu periode (hari, minggu, bulan, atau kuartalan) dan berfluktuasi secara musiman
3. Siklus, yaitu pola data yang terjadi setiap beberapa tahun. Siklus dari data deret berkala akibat dari kondisi ekonomi atau peristiwa politi dan hal ini sangat penting dalam analisis jangka pendek.
4. Variasi secara acak, yaitu pola acak didalam data yang disebabkan oleh adanya peristiwa yang tidak bisa diprediksi atau tidak beraturan
Ada 3 (tiga) teknik untuk menghitung deret berkala terdiri dari: metode rata-rata bergerak (Moving Average), rata-rata bergerak tertimbang (Weight Average) dan penghalusan eksponensial (Exponential Smoothing).
1. Metode Rata-Rata Bergerak (Moving Average)
Rata-rata bergerak mengembangkan suatu model berdasarkan hasil perhitungan rata-rata dari sebagian besar penelitian dengan menggunakan persamaan:
F1 = (At-1 + At-2 + … + Az) / N Penjelasan:
F1 = Hasil peramalan untuk periode t N = jumlah data penelitian
At = data historis penjualan/permintaan konsumen.
III-16
2. Metode Rata-Rata Bergerak Tertimbang (Weighted Moving Average)
Metode ini sama dengan rata-rata bergerak, tetapi nilai terbaru dalam deret berkala diberikan beban lebih besar untuk menghitung peramalan. Secara matematis, rata-rata bergerak tertimbang ditunjukan sebagai berikut:
Rata-rata bergerak tertimbang = wnAt-n + wn-1At-(n-1) + ... + w1At-1 Penjelasan:
wn = bobot yang diberikan pada nilai terbaru At-1 = nilai aktual pada periode t-1
3. Metode Penghalusan Eksponensial (Exponential Smoothing)
Peramalan Penghalusan Eksponensial (Exponential Smoothing) merupakan salah satu kategori metode time series yang menggunakan pembobotan data masa lalu untuk melakukan peramalan. Besarnya bobot berubah menurun secara eksponensial bergantung pada data histori. Berdasarkan bobot yang digunakan, metode eksponensial terbagi menjadi tiga jenis yaitu: Metode Single Exponential Smoothing, Double Exponential Smoothing dan Triple
Exponnetial Smoothing.
F2 = F1 + α (A1 – F1) F2 = Hasil peramalan untuk periode t
α = koefisien penghalusan
A1 = data historis penjualan/permintaan konsumen
III-17
memonitor peramalan untuk memastikan bahwa mereka berfungsi dengan baik. Tiga ukuran yang paling terkenal adalah deviasi rata-rata yang absolut (mean absolute deviation—MAD), kesalahan rata-rata-rata yang dikuadratkan (mean squared error—MSE), dan kesalahan persentase rata-rata yang absolut (mean
absolute percent error—MAPE). Tetapi disini akan ditambahkan kesalahan
rata-rata (mean error—ME) sebagai acuan pertama mencari nilai error.
3.5. Pengendalian Persediaan dengan Pendekatan Sistem (s,S)
Model persediaan stokastik dirancang untuk menganalisis sistem persediaan dimana terdapat ketidakpastian yang perlu dipertimbangkan mengenai permintaan dimasa yang akan datang (Hillier & Lieberman, 2008). Pengelolaan persediaan untuk sistem ini menerapkan tinjauan kontinu. Tinjauan kontinu berarti tingkat persediaan diamati dengan dasar kontinu, maka pesanan dapat dipenuhi secepat mungkin jika level persediaan mulai habis hingga pada titik pemesanan ulang.
Sistem persediaan kontinu untuk produk akan didasarkan pada dua angka kritis, yaitu titik pemesanan ulang (s) dan kuantitas pesanan (Q). Untuk perusahaan yang mengatur persediaan produk akhirnya, pesanan untuk menjalankan suatu produksi akan sama dengan (Q). Untuk retailer atau distributor, pesanan merupakan suatu pesanan pembelian dengan Q unit produk.
III-18
anggota level. Ini memerlukan penggunaan sistem komunikasi yang efektif yang memberikan informasi tepat waktu dan akurat. Hal ini juga memerlukan tingkat kepercayaan yang tinggi. Setiap anggota level membuat jadwal pengisian persediaan kembali berdasarkan permintaan pelanggan aktual dan dari tingkat hilir berikutnya.
Tipe sistem persediaan dasar yang paling umum, adalah sistem order up-to-level dimana keputusan untuk persediaan hanya didasarkan pada posisi
persediaan periode sebelumnya dan permintaan langsung. Disini sistem (s,S) lebih tepat dalam situasi multilevel/multiechelon. Untuk setiap persediaan di anggota level diisi secara independen, sebuah pesanan ditetapkaan berdasarkan perkiraan permintaan dengan salah satu metode peramalan. Selanjutnya, titik pemesanan disusun, dengan menggunakan perkiraan permintaan produk berdasarkan leadtime (Silver dkk, 1998)
Pada pengelolaan persediaan oleh vendor menggunakan kebijakan pengendalian persediaan dengan sistem (s,S). Metode ini dikenal juga dengan istilah order up to level. Karena review dilakukan secara kontinu maka ketika persediaan mencapai level s (reorder point) maka akan dilakukan pemesanan dalam jumlah tertentu sehingga persediaan mencapai level maksimum (S) (Li dan Liu, 2006).
III-19
diperoleh dari perusahaan. Sedangkan untuk input awal s dan S didapat dari perhitungan dengan persamaan berikut:
1.Kuantitas Pesanan Optimum (Q*)
Jumlah produk optimum yang diminta dari distributor kepada manufaktur dalam satu periode.
)
Batas minimum persediaan yang harus dimiliki oleh perusahaan tidak mengalami kekurangan persediaan yang dapat mengganggu proses produksi.
SS = (Z x sd x l) 3.Reorder Point (ROP)
Batasan/titik yang digunakan untuk menentukan kapan waktu yang tepat bagi perusahaan untuk melakukan pemesanan atau pembelian persediaannya kembali.
ROP = (D x l ) + safety stock 4.Maximum Stock (S)
Jumlah produk maksimum yang diperbolehkan disimpan dalam persediaan. S = ROP + Jumlah Pemesanan
Keterangan:
D : Jumlah permintaan rata-rata (unit)
III-20
C0 : Order Cost, biaya pesan yaitu biaya yang dikenakan kepada distributor dalam sekali pemesanan produk.
H : Holding Cost, biaya simpan yaitu biaya yang dikenakan kepada distributor dan perusahaan akibat adanya modal yang tertananm dalam persediaan.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PT. Pupuk Iskandar Muda yang berlokasi di Jalan Lintas Medan – Banda Aceh, Desa Krueng Geukuh, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh. Waktu penelitian adalah dari bulan April 2017 hingga Juni 2017.
4.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus (Case Study). Studi kasus termasuk dalam penelitian analisis deskriptif , yaitu penelitian yang dilakukan terfokus pada suatu kasus tertentu untuk diamati dan dianalisis secara cermat sampai tuntas. Penelitian studi kasus bertujuan untuk menjelaskan objek yang diteliti secara menyeluruh dan komprehensif sehingga dapat dilakukan penyelesaian dengan tepat.
4.3. Objek Penelitian
Objek penelitian yang diamati adalah permintaan pupuk urea bersubsidi yang diproduksi oleh PT. Pupuk Iskandar Muda. Penelitian ini difokuskan pada pengukuran nilai Bullwhip Effect dan dilakukan pengurangan dari nilai Bullwhip effect dengen metode pengelolaan persediaan oleh vendor (VMI). Selanjutnya
4.4. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jumlah permintaan distributor pusat
Jumlah permintaan produk yang diterima distributor pusat yang telah ditambahkan dengan hasil peramalan permintaan yang dilakukan distributor pusat di setiap bulan selama 10 tahun terakhir (2007 – 2016).
2. Jumlah permintaan retailer
Jumlah permintaan produk yang diterima oleh retailer di setiap bulan selama 6 tahun terakhir (2011 – 2016).
3. Jumlah pemesanan distributor pusat
Jumlah produk yang dipesan oleh distributor pusat kepada perusahaan disetiap bulan selama 10 tahun terakhir (2007 – 2016).
4. Jumlah pemesanan retailer
Jumlah produk yang dipesan oleh retailer kepada distributor pusat disetiap bulan selama 6 tahun terakhir (2011 – 2016).
5. Jumlah penjualan produk oleh perusahaan
Jumlah penjualan pupuk urea bersubsidi yang dihasilkan perusahaan disetiap bulan selama 10 tahun terakhir (2007 – 2016).
6. Jumlah peramalan permintaan oleh perusahaan
4.5. Kerangka Konseptual
Suatu penelitian dapat dilaksanakan jika perancangan kerangka konseptual yang baik telah tersedia sehingga langkah-langkah penelitian lebih sistematis. Kerangka konsep inilah yang merupakan landasan awal dalam melaksanakan penelitian.
Jumlah Permintaan
Jumlah Penjualan Produk Perusahaan
Jumlah Penjualan Produk Perusahaan
Jumlah Peramalan Permintaan Produk
Jumlah Peramalan Permintaan Produk
Jumlah Pemesanan Produk Distributor Pusat
Jumlah Pemesanan Produk Distributor Pusat
Jumlah Pemesanan Produk Retailer
Jumlah Pemesanan Produk Retailer
Identifikasi Level Rantai Pasok
Identifikasi Level Rantai Pasok
Nilai Bullwhip Effect Historis
Nilai Bullwhip Effect Historis
4.6. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah yang
terdapat pada blok diagram berikut:
MULAI
Studi Pendahuluan
1. Kondisi Perusahaan 2. Mekanisme pemesanan 3. Masalah-masalah perusahaan
Studi Literatur
1. Teori Buku
2. Referensi Jurnal Penelitian
Identifikasi Masalah Awal
Terdapat quantity gap
Pengumpulan Data
1. Data primer
- Prosedur pemesanan dan pengiriman produk jadi 2. Data sekunder
- Hasil ramalan jumlah produksi perusahaan - Jumlah penjualan produk
- Jumlah permintaan distributor - Jumlah permintaan retailer - Biaya pesan, biaya simpan - Waktu pemesanan
Pengolahan Data
1. Perhitungan nilai bullwhip effect historis setiap level rantai pasok
2. Perhitungan permintaan aktual dengan metode peramalan 3. Perhitungan kebijakan order dengan metode VMI 4. Perhitungan nilai bullwhip effect setelah implementasi metode VMI
5. Perhitungan pengelolaan persediaan untuk setiap level rantai pasok
Analisis Pemecahan Masalah
1. Analisis bullwhip effect
2. Analisis penyebab bullwhip effect 3. Analisis penerapan VMI 4. Analisis pengelolaan persediaan a. Pendataan
b. Pengolahan data (penentuan ROP dan Max.Stock) c. Pergudangan, Jumlah persediaan dan distribusi
Kesimpulan dan Saran
SELESAI
4.7. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan berdasarkan data permintaan dan penjualan yang dikumpulkan kemudian dilakukan perhitungan nilai Bullwhip Effect saat ini, selanjutnya minimisasi nilai Bullwhip Effect dengan metode pengelolaan persediaan oleh vendor. Output dari pengolahan data ini adalah jumlah optimal pemesanan produk yang selanjutnya akan digunakan untuk pengelolaan persediaan produk. Pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi rantai pasok perusahaan.
2. Menghitung nilai bullwhip effect histrosi setiap level rantai pasok.
3. Menghitung jumlah permintaan aktual konsumen dengan dua metode peramalan.
4. Menghitung nilai kesalahan peramalan untuk menentukan metode peramalan yang lebih akurat.
5. Menghitung kebijakan jumlah order dengan menerapkan metode pengelolaan persediaan oleh vendor untuk setiap level rantai pasok
6. Menghitung nilai bullwhip effect setelah penerapan metode pengelolaan persediaan oleh vendor.
7. Menghitung persediaan maksimum, titik pemesanan kembali dan persediaan pengaman untuk setiap level rantai pasok untuk pengelolaan persediaan.
4.8. Analisis Pemecahan Masalah
Analisis faktor dan pengurangan nilai bullwhip effect dilakukan dengan metode pengelolaan persediaan oleh vendor. Solusi permasalahan tersebut akan diselesaikan dengan menerapkan metode pengelolaan persediaan oleh vendor dengan sistem pengelolaan persediaan oleh perusahaan yang menggunakan kebijakan order dari pengelolaan persediaan oleh vendor.
4.9. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan analisis dan metode yang diberikan maka kesimpulan yang dapat ditarik yaitu perbaikan sistem rantai pasok dalam meminimisasi fluktuasi permintaan dan usulan perbaikan sistem rantai pasok dalam upaya mengantisipasi jika
BAB V
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1. Pengumpulan dan Pengolahan Data untuk Nilai Bullwhip Effect Historis Pengumpulan data yang dilakukan untuk menghitung nilai bullwhip effect historis terbagi tiga, yaitu pertama untuk manufaktur meliputi data penjualan pupuk urea bersubsidi dan hasil estimasi jumlah permintaan pupuk urea bersubsidi selama 10 tahun. Kedua untuk level distributor pusat, data pemesanan pupuk urea yang diajukan ke pihak manufaktur dan data permintaan yang diterima distributor dari pihak ritel selama 10 tahun. Ketiga untuk level ritel, data pemesanan pupuk urea yang diajukan ke pihak distributor pusat dan data permintaan konsumen yang diterima dan diestimasi pihak ritel selama 6 tahun.
5.1.1. Pengumpulan dan Pengolahan Data Nilai Bullwhip Effect Historis untuk Level Manufaktur
Tabel 5.1. Jumlah Penjualan dan Permintaan Pupuk Urea Bersubsidi pada Level Manufaktur
Tabel 5.1. Jumlah Penjualan dan Permintaan Pupuk Urea Bersubsidi pada Level Manufaktur (Lanjutan)
Tabel 5.1. Jumlah Penjualan dan Permintaan Pupuk Urea Bersubsidi pada Level Manufaktur (Lanjutan)
Tahun Bulan Order Demand Tahun Bulan Order Demand
2015
Januari 8092 6076
2016
Januari 9143 6553 Februari 4588 5174 Februari 6457 5375
Maret 8994 9213 Maret 5315 5159
April 9932 6207 April 3854 3106
Mei 7624 4013 Mei 5691 4324
Juni 3718 5350 Juni 5329 3888
Juli 3925 5150 Juli 4247 3556
Agustus 4096 4943 Agustus 6999 4917
September 8807 4286 September 4997 4504
Oktober 5663 6085 Oktober 4912 5077
November 4509 5997 November 6788 5531
Desember 5948 3621 Desember 11209 7560
Sumber: PT. Pupuk Iskandar Muda
Perhitungan nilai bullwhip effect untuk level manufaktur dilakukan pada setiap tahun, untuk mengetahui fluktuasi nilai bullwhip effect selama 10 tahun terakhir. Langkah-langkah perhitungan nilai bullwhip effect pada level manufaktur untuk tahun 2016 adalah sebagai berikut.
1. Menghitung rata-rata penjualan dan permintaan produk selama tahun 2016
Mu (order) =
=
6244,91672. Menghitung standar deviasi penjualan dan permintaan produk selama tahun 2016
S (order) =
=
= 2110,5030
S (demand) =
=
= 1243,9354
3. Menghitung koefisien variansi dari penjualan dan permintaan produk selama tahun 2016
CV (order ) = = = 0,3380
CV (demand ) = = = 0,2507
4. Menghitung nilai Bullwhip Effect di PT. Pupuk Iskandar Muda pada tahun 2016
Bullwhip Effect = = = 1,3482
Dimana L adalah leadtime yaitu satu bulan dan P adalah periode pengamatan adalah 120 bulan.
1,3482 > 1, 0167
Berdasarkan perbandingan dengan parameter bullwhip effect, telah terjadi fenomena bullwhip effect di PT. Pupuk Iskandar Muda pada tahun 2016. Rekapitulasi nilai bullwhip effect di PT.Pupuk Iskandar Muda selama 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Manufaktur
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (s) CV BE
2007
Order 6162.6667 1728.9687 0.28056
1.21028 Demand 5033.9167 1166.9163 0.23181
2008
Order 4699.5000 1302.9375 0.27725
1.29830 Demand 4392.5833 938.0333 0.21355
2009
Order 5163.0833 1458.1283 0.28241
1.18786 Demand 4519.5000 1074.5153 0.23775
2010
Order 5763.0000 1752.2894 0.30406
1.50829 Demand 4519.9167 911.1787 0.20159
2011
Order 5699.4167 1151.1491 0.20198
0.79316 Demand 4692.5000 1194.9330 0.25465
2012
Order 6398.5000 1334.0059 0.20849
0.91930 Demand 4603.5000 1044.0216 0.22679
2013
Order 6434.5833 2538.0784 0.39444
Tabel 5.2. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Manufaktur (Lanjutan)
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (s) CV BE
2014
Order 6377.8333 2815.2302 0.44141
1.68884 Demand 5577.5833 1457.8035 0.26137
2015
Order 6324.6667 2246.7008 0.35523
1.35399 Demand 5509.5833 1445.4712 0.26236
2016
Order 6244.9167 2110.5030 0.33796
1.34822 Demand 4962.5000 1243.9354 0.25067
Grafik variabilitas permintaan dan penjualan pupuk selama 10 tahun di PT.Pupuk Iskandar Muda dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Grafik variasi nilai bullwhip effect selama 10 tahun di PT.Pupuk Iskandar Muda dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Variasi Nilai Bullwhip Effect Pada Level Manufaktur Selama 10 Tahun
Berdasarkan gambar 5.2. dapat dilihat selama 10 tahun telah terjadi fenomena bullwhip effect di level manufaktur. Pada tahun ke 5 dan ke 6 terjadi penurunan
yang signifikan terhadap nilai BE hingga dibawah parameter, namun tahun selanjutnya terjadi peningkatan kembali.
5.1.2. Pengumpulan dan Pengolahan Data Nilai Bullwhip Effect Historis untuk Level Distributor Pusat
selama 10 tahun untuk distributor Kab. Langsa, Kab. Pidie, Kab. Aceh Besar, Kab. Naganraya dan Kab. Kutacane dapat dilihat pada Lampiran.
Langkah-langkah perhitungan nilai bullwhip effect pada level distributor pusat di Kab.Langsa berdasarkan data jumlah permintaan dan pemesanan untuk tahun 2016 adalah sebagai berikut.
1. Menghitung rata-rata penjualan dan permintaan produk selama tahun 2016
Mu (order) =
=
1072,75Mu (demand) =
=
736,332. Menghitung standar deviasi penjualan dan permintaan produk selama tahun 2016
S (order) =
=
= 301,7269
S (demand) =
=
= 128,0265
3. Menghitung koefisien variansi dari penjualan dan permintaan produk selama tahun 2016
CV (demand ) = = = 0,1739
4. Menghitung nilai Bullwhip Effect untuk distributor pusat Kab.Langsa pada tahun 2016
Bullwhip Effect = = = 1,617
5. Menentukan apakah terjadi bullwhip effect di PT. Pupuk Iskandar Muda pada tahun 2016
Dimana L adalah leadtime yaitu satu bulan dan P adalah periode pengamatan adalah 120 bulan.
1,617 > 1, 0167
Berdasarkan perbandingan dengan parameter bullwhip effect, telah terjadi fenomena bullwhip effect pada level distributor pusat di Kab.Langsa pada tahun 2016. Rekapitulasi nilai bullwhip effect level distributor pusat di Kab.Langsa selama 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level
Distributor Pusat Kab.Langsa
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2007
Order 712.4167 138.1840 0.1940
Tabel 5.3. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Distributor Pusat Kab.Langsa (Lanjutan)
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2008
Order 735.8333 119.2635 0.1621
1.2481 Demand 521.5833 67.7314 0.1299
2009
Order 714.5833 143.7741 0.2012
1.1234 Demand 697.0833 124.8428 0.1791
2010
Order 687.0833 139.5867 0.2032
1.2234 Demand 571.7500 94.9460 0.1661
2011
Order 951.5000 300.1229 0.3154
1.4780 Demand 663.7500 141.6495 0.2134
2012
Order 680.0000 124.0586 0.1824
1.0989 Demand 564.4167 93.7069 0.1660
2013
Order 749.7500 126.4409 0.1686
1.5723 Demand 658.3333 70.6146 0.1073
2014
Order 1001.1667 217.8639 0.2176
1.5597 Demand 799.7500 111.5821 0.1395
2015
Order 1022.1667 270.0131 0.2642
1.8152 Demand 779.4167 113.4248 0.1455
2016
Order 1072.7500 301.7269 0.2813
1.6177 Demand 736.3333 128.0265 0.1739
Gambar 5.3. Variasi Nilai Bullwhip Effect Pada Level Distributor Pusat Kab.Langsa Selama 10 Tahun
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 10 tahun dan grafik variasi nilai bullwhip effect, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh setiap tahun meningkat dan diatas nilai parameter (1.0167). Sehingga selama 10 tahun terakhir, fenomena bullwhip effect telah terjadi di distributor pusat Kab.Langsa. Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2015, yaitu mencapai 1.8152.
Tabel 5.4. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Distributor Pusat Kab.Pidie
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2007
Order 1009.1667 246.2895 0.2441
1.7042 Demand 797.7500 114.2415 0.1432
2008
Order 971.2500 184.7500 0.1902
1.1184 Demand 824.5000 140.2358 0.1701
2009
Order 992.3333 202.6786 0.2042
1.6650 Demand 782.6667 96.0107 0.1227
2010
Order 1002.7500 246.2911 0.2456
1.9462 Demand 839.5000 105.9472 0.1262
2011
Order 919.2500 193.1340 0.2101
1.6063 Demand 839.5833 109.8184 0.1308
2012
Order 1010.4167 137.7339 0.1363
1.5230 Demand 819.3333 73.3340 0.0895
2013
Order 978.2500 148.8832 0.1522
1.2297 Demand 776.2500 96.0758 0.1238
2014
Order 919.5000 90.8050 0.0988
1.3780 Demand 820.7500 58.8189 0.0717
2015
Order 891.0833 139.7813 0.1569
1.1504 Demand 745.2500 101.6215 0.1364
2016 Order 1030.7500 272.4319 0.2643 1.4395 Demand 827.6667 151.9709 0.1836
Gambar 5.4. Variasi Nilai Bullwhip Effect Pada Level Distributor Pusat Kab.Pidie Selama 10 Tahun
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 10 tahun dan grafik variasi nilai bullwhip effect, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh setiap tahun meningkat dan diatas nilai parameter (1.0167). Sehingga selama 10 tahun terakhir, fenomena bullwhip effect telah terjadi di distributor pusat Kab.Pidie. Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2010, yaitu mencapai 1.9462.
Tabel 5.5. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level
Distributor Pusat Kab.Aceh Besar
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2007
Order 585.3333 78.3005 0.1338
1.5777 Demand 471.5833 39.9851 0.0848
2008
Order 570.1667 50.3566 0.0883
1.0986 Demand 479.0833 38.5144 0.0804
2009
Order 617.0000 114.2390 0.1852
1.4700 Demand 475.9167 59.9431 0.1260
2010
Order 555.9167 91.6301 0.1648
1.5555 Demand 492.4167 52.1788 0.1060
2011
Order 596.7500 70.4816 0.1181
2.1253 Demand 463.2500 25.7439 0.0556
2012
Order 582.0000 69.3620 0.1192
1.6941 Demand 471.5833 33.1757 0.0703
2013
Order 575.5000 69.0237 0.1199
1.7405 Demand 480.0833 33.0824 0.0689
2014
Order 571.5000 101.6979 0.1779
1.7940 Demand 484.0000 48.0076 0.0992
2015 Order 623.0000 102.9704 0.1653 2.1189
Demand 478.6667 37.3371 0.0780 2016
Order 528.2500 77.5337 0.1468
1.3839 Demand 343.0833 36.3880 0.1061
Gambar 5.5. Variasi Nilai Bullwhip Effect Pada Level Distributor Pusat Kab.Aceh Besar Selama 10 Tahun
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 10 tahun dan grafik variasi nilai bullwhip effect, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh lebih besar dari nilai parameter. Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2011 dan 2015, yaitu mencapai 2.1253 dan 2.1189.
Analogi dengan perhitungan yang sama untuk level distributor pusat Kab.Naganraya berdasarkan data jumlah permintaan dan pemesanan Kab.Naganraya yang terdapat pada lampiran, diperoleh nilai bullwhip effect historis selama 10 tahun seperti tabel berikut ini.
Tabel 5.6. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Distributor Pusat Kab.Naganraya
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2007
Order 927.2500 56.7805 0.0612
Tabel 5.6. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Distributor Pusat Kab.Naganrayan(Lanjutan)
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2008
Order 930.2500 47.7667 0.0513
1.0402 Demand 838.3333 41.3814 0.0494
2009
Order 899.0000 47.0628 0.0524
1.1193 Demand 861.2500 40.2811 0.0468
2010
Order 931.5833 65.9951 0.0708
1.3093 Demand 855.1667 46.2696 0.0541
2011
Order 910.9167 55.7812 0.0612
1.1610 Demand 864.4167 45.5940 0.0527
2012
Order 915.5833 43.4060 0.0474
1.2346 Demand 831.1667 31.9170 0.0384
2013
Order 887.5833 54.1991 0.0611
1.2076 Demand 840.5000 42.5024 0.0506
2014
Order 907.8333 57.0723 0.0629
1.3750 Demand 867.5833 39.6656 0.0457
2015
Order 878.5000 63.3769 0.0721
1.4752 Demand 887.6667 43.4100 0.0489
2016
Order 896.4167 65.9662 0.0736
1.4360 Demand 874.8333 44.8327 0.0512
Gambar 5.6. Variasi Nilai Bullwhip Effect Pada Level Distributor Pusat Kab.Naganraya Selama 10 Tahun
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 10 tahun dan grafik variasi nilai bullwhip effect, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh selalu lebih besar dari nilai parameter (1.0167). Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2015, yaitu mencapai 1.4752.
Analogi dengan perhitungan yang sama untuk level distributor pusat Kab.Kutacane berdasarkan data jumlah permintaan dan pemesanan Kab.Kutacane yang terdapat pada lampiran, diperoleh nilai bullwhip effect historis selama 10 tahun seperti tabel berikut ini.
Tabel 5.7. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Distributor Pusat Kab.Kutacane
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2007 Order 808.4167 52.7489 0.0652 1.0606
Tabel 5.7. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Distributor Pusat Kab.Kutacane (Lanjutan)
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2008 Order 788.0833 55.2259 0.0701 1.4354
Demand 729.0833 35.5948 0.0488 2009
Order 783.5000 50.7122 0.0647
1.1970 Demand 732.7500 39.6212 0.0541
2010
Order 761.5000 46.7051 0.0613
1.0262 Demand 746.5833 44.6226 0.0598
2011 Order 748.7500 42.8361 0.0572 1.0325
Demand 745.3333 41.3001 0.0554
2012 Order 789.6667 47.4999 0.0602 1.0453
Demand 732.4167 42.1458 0.0575
2013 Order 785.7500 28.7469 0.0366 0.7703
Demand 739.4167 35.1192 0.0475 2014
Order 779.3333 54.3262 0.0697
1.4039 Demand 769.1667 38.1929 0.0497
2015 Order 792.5000 39.8486 0.0503 1.1978
Demand 749.8333 31.4782 0.0420 2016
Order 777.9167 53.1421 0.0683
1.3336 Demand 761.0000 38.9825 0.0512
Gambar 5.7. Variasi Nilai Bullwhip Effect Pada Level Distributor Pusat Kab.Kutacane Selama 10 Tahun
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 10 tahun dan grafik variasi nilai bullwhip effect, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh di distributor pusat Kab. Kutacane pada tahun 2010 – 2012 mendekati nilai parameter bullwhip effect. Sedangkan pada tahun 2013 nilai bullwhip effect jauh dibawah parameter yaitu sebesar 0.7703. Namun tahun 2014 terjadi peningkatan kembali hingga nilai bullwhip effect terbesar mencapai 1.4039.
5.1.3. Pengumpulan dan Pengolahan Data Nilai Bullwhip Effect Historis untuk Level Ritel
diterima konsumen (Demand). Tabulasi data penjualan dan permintaan selama 6 tahun untuk setiap ritel dapat dilihat pada Lampiran.
Langkah-langkah perhitungan nilai bullwhip effect pada level ritel untuk CV.Rahmat Jaya di Kab.Langsa berdasarkan jumlah permintaan dan pemesanan yang dilakukan CV. Rahmat Jaya yang terdapat pada lampiran, adalah sebagai berikut.
1. Menghitung rata-rata permintaan dan pemesanan selama tahun 2016
Mu (order) =
=
378,3333Mu (demand) =
=
351,66672. Menghitung standar deviasi permintaan dan pemesanan selama tahun 2016
S (order) =
= = 40,4280
S (demand) =
= = 34,6183
3. Menghitung koefisien variansi dari permintaan dan pemesanan selama tahun 2016 di CV. Rahmat Jaya di Kab. Langsa
4. Menghitung nilai Bullwhip Effect di CV. Rahmat Jaya di Kab. Langsa pada tahun 2016
Bullwhip Effect = = = 1,085
5. Menentukan apakah terjadi bullwhip effect di CV Rahmat Jaya di Kab. Langsa pada tahun 2016
Dimana L adalah leadtime dan P adalah periode pengamatan.
1,085 > 1, 0168
Berdasarkan perbandingan dengan parameter bullwhip effect, telah terjadi fenomena bullwhip effect di CV. Rahmat Jaya Kab. Langsa pada tahun 2016. Rekapitulasi perhitungan nilai bullwhip effect level ritel di CV. Rahmat Jaya selama 6 tahun dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Rahmat Jaya
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2011
Order 410.3333 36.8963 0.0899
1.2003 Demand 358.5833 26.8615 0.0749
2012
Order 411.4167 48.4627 0.1178
1.3566 Demand 350.3333 30.4193 0.0868
2013
Order 372.5833 52.3111 0.1404
Tabel 5.8. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Rahmat Jaya (Lanjutan)
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2014
Order 385.1667 39.8425 0.1034
1.2271 Demand 357.5000 30.1376 0.0843
2015
Order 399.2500 30.3439 0.0760
1.2780 Demand 354.3333 21.0727 0.0595
2016
Order 378.3333 40.4280 0.1069
1.0855 Demand 351.6667 34.6183 0.0984
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 6 tahun, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh selama 6 tahun terakhir lebih besar dari nilai parameter (1.0167). Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2012, yaitu mencapai 1.3566.
Analogi dengan perhitungan yang sama untuk level ritel di CV. Sarana Citra Kencana di Kab.Langsa berdasarkan data jumlah permintaan dan pemesanan CV. Sarana Citra Kencana yang terdapat pada lampiran, diperoleh nilai bullwhip effect historis selama 6 tahun seperti tabel berikut ini.
Tabel 5.9. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Sarana Citra Kencana
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2011
Order 453.4167 48.5301 0.1070
1.3056 Demand 387.3333 31.7528 0.0820
Tabel 5.9. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Sarana Citra Kencana (Lanjutan)
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2013
Order 450.5833 62.3385 0.1384
1.2616 Demand 354.6667 38.8946 0.1097
2014
Order 448.5000 82.9573 0.1850
1.2203 Demand 371.3333 56.2839 0.1516
2015
Order 429.7500 67.7980 0.1578
1.2135 Demand 377.3333 49.0553 0.1300
2016
Order 424.7500 82.3795 0.1939
1.0276 Demand 356.0000 67.1917 0.1887
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 6 tahun, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh selama 6 tahun terakhir lebih besar dari nilai parameter (1.0167). Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2011, yaitu mencapai 1.3056.
Analogi dengan perhitungan yang sama untuk level ritel di CV. Juang Makmur di Kab.Pidie berdasarkan data jumlah permintaan dan pemesanan CV. Juang Makmur yang terdapat pada lampiran, diperoleh nilai bullwhip effect historis selama 6 tahun seperti tabel berikut ini.
Tabel 5.10. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel
CV. Juang Makmur
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2011
Order 797.6667 34.0570 0.0427
Tabel 5.10. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Juang Makmur (Lanjutan)
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2012
Order 814.5000 35.8570 0.0440
1.2341 Demand 733.7500 26.1747 0.0357
2013
Order 822.0000 35.8203 0.0436
1.1207 Demand 748.8333 29.1168 0.0389
2014
Order 799.7500 41.4183 0.0518
1.4072 Demand 739.0833 27.2011 0.0368
2015
Order 818.5833 45.4882 0.0556
1.1342 Demand 749.8333 36.7370 0.0490
2016
Order 812.1667 42.1077 0.0518
1.0904 Demand 753.3333 35.8186 0.0475
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 6 tahun, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh lebih besar dari nilai parameter (1.0167). Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2014, yaitu mencapai 1.4072.
Analogi dengan perhitungan yang sama untuk level ritel di CV. Karya Pelita Makmur di Aceh Besar berdasarkan data jumlah permintaan dan pemesanan CV. Karya Pelita Makmur yang terdapat pada lampiran, diperoleh nilai bullwhip effect historis selama 6 tahun seperti tabel berikut ini.
Tabel 5.11. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Karya Pelita Makmur
Tabel 5.11. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Karya Pelita Makmur (Lanjutan)
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
Demand 410.2500 17.8485 0.0435
2012 Order 442.7500 38.7301 0.0875 1.2307
Demand 365.5833 25.9841 0.0711 2013
Order 455.2500 36.6807 0.0806
1.1253 Demand 407.5000 29.1781 0.0716
2014
Order 455.3333 43.5500 0.0956
1.0642 Demand 380.7500 34.2189 0.0899
2015
Order 432.5833 38.9322 0.0900
1.3053 Demand 406.0833 27.9982 0.0689
2016
Order 433.0000 26.4403 0.0611
0.6140 Demand 375.9167 37.3837 0.0994
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 6 tahun, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh selama 6 tahun terkahir lebih besar dari nilai parameter (1.0167). Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2011, yaitu mencapai 1.3287.
Tabel 5.12. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Meuligo Raya
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2011
Order 468.5000 30.9707 0.0661
1.2929 Demand 442.0000 22.5993 0.0511
2012
Order 457.0000 32.7247 0.0716
1.0682 Demand 442.1667 29.6398 0.0670
2013
Order 439.1667 47.1436 0.1073
1.2148 Demand 458.1667 40.4853 0.0884
2014
Order 471.5833 38.3085 0.0812
1.2387 Demand 450.6667 29.5553 0.0656
2015
Order 465.7500 46.3683 0.0996
1.1381 Demand 439.7500 38.4663 0.0875
2016
Order 409.0000 41.8287 0.1023
1.0500 Demand 397.4167 38.7098 0.0974
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 6 tahun, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh selama 6 tahun terakhir lebih besar dari nilai parameter (1.0167). Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2014, yaitu mencapai 1.2387.
Tabel 5.13. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Halim Jaya
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2011
Order 409.8333 33.0202 0.0806
1.1939 Demand 357.5000 24.1266 0.0675
2012
Order 445.0000 37.9162 0.0852
1.1478 Demand 375.6667 27.8872 0.0742
2013
Order 425.1667 48.0148 0.1129
1.3821 Demand 360.0000 29.4155 0.0817
2014
Order 437.9167 33.4975 0.0765
1.1579 Demand 402.9167 26.6167 0.0661
2015
Order 449.6667 27.5956 0.0614
0.9089 Demand 407.5833 27.5201 0.0675
2016
Order 424.5000 45.3441 0.1068
1.0868 Demand 410.0833 40.3067 0.0983
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 6 tahun, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh selama 6 tahun terakhir lebih besar dari nilai parameter (1.0167). Nilai bullwhip effect terbesar berada di tahun 2013, yaitu mencapai 1.3821.
Tabel 5.14. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Bullwhip Effect Historis pada Level Ritel CV. Usaha Karya Samudra
Tahun Rata-rata (Mu) S.Deviasi (S) CV BE
2011
Order 723.0833 38.8832 0.0538
1.1994 Demand 701.6667 31.4594 0.0448
2012
Order 713.5833 42.5899 0.0597
1.6748 Demand 658.7500 23.4758 0.0356
2013
Order 743.5000 37.3083 0.0502
1.0560 Demand 698.2500 33.1803 0.0475
2014
Order 729.7500 40.1591 0.0550
1.6033 Demand 688.5000 23.6316 0.0343
2015
Order 731.0833 44.3282 0.0606
1.3561 Demand 683.6667 30.5684 0.0447
2016
Order 721.4167 45.1028 0.0625
1.0315 Demand 712.5833 43.1919 0.0606
Berdasarkan hasil perhitungan nilai bullwhip effect selama 6 tahun, dapat dilihat bahwa nilai bullwhip effect yang diperoleh di ritel CV. Usaha Karya Samudra pada tahun 2013 dan 2016 telah mendekati nilai parameter bullwhip effect. Namun tetap berada diatas nilai parameter, sehingga fenomena bullwhip effect tetap terjadi. Nilai bullwhip effect terbesar terjadi pada tahun 2014 yaitu mencapai 1.6033.
tahun terakhir (2011 – 2016). Namun, data ini telah representatif untuk menunjukkan fluktuasi permintaan penyebab dari munculnya Bullwhip Effect.
Secara statistik, dilakukan perhitungan jumlah sampel dan uji kecukupan data sebagai berikut:
1. Perhitungan jumlah sampel untuk data kontinu Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut
Dimana nilai α yang digunakan adalah 0,05 dengan nilai error 5%. Nilai Z
dapat dilihat pada tabel normal yang terlampir. Untuk perhitungan standar deviasi (σ) menggunakan data dari ritel.
= 998,424 data
Sedangkan data yang telah digunakan untuk perhitungan bullwhip effect dilevel ritel adalah
12 (bulan) x 2 x 6 (tahun) x 7 (ritel) = 1008 data
V-31
5.2. Perhitungan Ketepatan Permintaan dengan Metode Peramalan
Metode peramalan permintaan dasar yang akan digunakan adalah moving average/rata-rata bergerak dan exponential smoothing. Selanjutnya, untuk
memilih metode peramalan yang tepat dilakukan dengan mempertimbangkan Means Error (ME), Means Absolute Error (MAE) dan Means Square Error
(MSE). Nilai ME, MAE dan MSE dibandingkan untuk memilih metode peramalan terbaik yang memberikan peramalan permintaan akurat untuk produk.
5.2.1. Peramalan Permintaan dengan Metode Moving Average
Metode peramalan rata-rata bergerak digunakan untuk meramalkan permintaan konsumen terhadap pupuk urea bersubsidi dalam 12 bulan terakhir yaitu selama tahun 2016. Metode rata-rata pergerakan yang berbeda yang digunakan adalah metode rata-rata pergerakan 3 bulan dan metode rata-rata pergerakan 4 bulan. Perhitungan peramalan dengan metode rata-rata bergerak untuk setiap permintaan konsumen yang diterima ritel dapat dilihat pada Tabel 5.15.
Tabel 5.15. Peramalan Permintaan dengan Metode Moving Average
CV. Rahmat Jaya
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
Januari 350
Februari 376
Maret 397
April 289 374
V-32
Tabel 5.15. Peramalan Permintaan dengan Metode Moving Average (Lanjutan)
CV. Rahmat Jaya
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
Juli 372 313 334
Agustus 334 340 328
September 358 349 339
Oktober 320 355 352
November 378 337 346
Desember 397 352 348
Jan-17 365 363
CV. Sarana Citra Kencana
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
Januari 289
Februari 323
Maret 325
April 199 312
Mei 385 282 284
Juni 443 303 308
Juli 394 342 338
Agustus 365 407 355
September 428 401 397
Oktober 347 396 408
November 413 380 384
Desember 361 396 388
V-33
Tabel 5.15. Peramalan Permintaan dengan Metode Moving Average (Lanjutan)
CV. Juang Makmur
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
Januari 720
Februari 733
Maret 750
April 795 734
Mei 714 759 750
Juni 733 753 748
Juli 796 747 748
Agustus 815 748 760
September 784 781 765
Oktober 760 798 782
November 725 786 789
Desember 715 756 771
Jan-17 733 746
CV. Karya Pelita Makmur
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
Januari 400
Februari 428
Maret 347
April 342 392
Mei 348 372 379
Juni 391 346 366
V-34
Tabel 5.15. Peramalan Permintaan dengan Metode Moving Average (Lanjutan)
CV. Karya Pelita Makmur
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
September 342 411 395
Oktober 357 394 394
November 320 376 385
Desember 395 340 362
Jan-17 357 354
CV. Meuligo Raya
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
Januari 400
Februari 396
Maret 397
April 389 398
Mei 307 394 396
Juni 442 364 372
Juli 398 379 384
Agustus 390 382 384
September 400 410 384
Oktober 410 396 408
November 370 400 400
Desember 470 393 393
V-35
Tabel 5.15. Peramalan Permintaan dengan Metode Moving Average (Lanjutan)
CV. Halim Jaya
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
Januari 489
Februari 442
Maret 415
April 400 449
Mei 385 419 437
Juni 420 400 411
Juli 324 402 405
Agustus 439 376 382
September 397 394 392
Oktober 420 387 395
November 375 419 395
Desember 415 397 408
Jan-17 403 402
CV. Usaha Karya Samudra
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
Januari 735
Februari 715
Maret 758
April 720 736
Mei 658 731 732
Juni 691 712 713
V-36
Tabel 5.15. Peramalan Permintaan dengan Metode Moving Average (Lanjutan)
CV. Usaha Karya Samudra
Periode (t) Actual Demand (tons) 3 Month M.A 4 Month MA
September 663 716 702
Oktober 708 707 703
November 650 706 707
Desember 795 674 692
Jan-17 718 704
5.2.2. Peramalan Permintaan dengan Metode Exponential Smoothing Penentuan jumlah permintaan dengan metode ini menggunakan rumus
F2 = F1 + α (A1 – F1)
Nilai α yang berbeda akan digunakan untuk meramalkan permintaan selama 12
bulan terakhir yaitu selama tahun 2016. Nilai α yang akan digunakan dalam perhitungan ini adalah α = 0.36 , α = 0.50, dan α = 0.70. Perhitungan peramalan
dengan metode rata-rata bergerak untuk setiap permintaan konsumen yang diterima ritel dengan metode exponential smooting dapat dilihat pada Tabel 5.16.
Tabel 5.16. Peramalan Permintaan dengan Metode Exponential Smoothing
CV. Rahmat Jaya
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
Januari 350
Februari 376 350 350 350
Maret 397 359 363 368
V-37
Tabel 5.16. Peramalan Permintaan dengan Metode Exponential Smoothing (Lanjutan)
CV. Rahmat Jaya
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
Mei 307 328 320 307
Juni 342 334 329 320
Juli 372 347 347 345
Agustus 334 358 362 366
September 358 344 343 339
Oktober 320 353 355 356
November 378 339 336 329
Desember 397 360 365 370
Jan-17 367 375 383
CV. Sarana Citra Kencana
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
Januari 289
Februari 323 289 289 289
Maret 325 301 306 313
April 199 302 307 314
Mei 385 257 244 226
Juni 443 324 337 356
Juli 394 345 366 397
Agustus 365 327 342 363
September 428 317 328 343
Oktober 347 340 360 387
V-38
Tabel 5.16. Peramalan Permintaan dengan Metode Exponential Smoothing (Lanjutan)
Jan-17 316 327 340
CV. Juang Makmur
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
Januari 720
CV. Karya Pelita Makmur
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
V-39
Tabel 5.16. Peramalan Permintaan dengan Metode Exponential Smoothing (Lanjutan)
CV. Karya Pelita Makmur
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
Agustus 428 404 408 409
September 342 409 416 420
Oktober 357 378 373 360
November 320 383 381 371
Desember 395 370 363 345
Jan-17 397 401 398
CV. Meuligo Raya
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
Januari 400
Februari 396 400 400 400
Maret 397 399 398 397
April 389 399 399 398
Mei 307 396 395 392
Juni 442 366 354 335
Juli 398 415 422 430
Agustus 390 399 400 399
September 400 396 396 393
Oktober 410 400 401 400
November 370 404 406 407
Desember 470 390 386 379
V-40
Tabel 5.16. Peramalan Permintaan dengan Metode Exponential Smoothing (Lanjutan)
CV. Halim Jaya
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
Januari 489
CV. Usaha Karya Samudra
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
V-41
Tabel 5.16. Peramalan Permintaan dengan Metode Exponential Smoothing (Lanjutan)
CV. Usaha Karya Samudra
Periode (t) Actual Demand (tons) alpha 0,36 alpha 0,50 alpha 0,70
September 663 740 743 744
Oktober 708 709 701 685
November 650 725 724 717
Desember 795 704 695 676
Jan-17 756 768 778
5.2.3. Pemilihan Metode Peramalan
Untuk memilih metode peramalan terbaik dilakukan perhitungan Mean Error (ME), Mean Absolute Error (MAE), Mean Square Error (MSE) untuk semua metode peramalan. Untuk semua jenis kesalahan ME, MAE dan MSE yang memiliki nilai minimum positif atau negatif dikatakan paling tidak error atau akurat. Jadi metode peramalan yang memiliki jumlah kesalahan paling minimal dipilih sebagai metode peramalan terbaik. Rekapitulasi perhitungan nilai kesalahan untuk setiap metode peramalan dapat dilihat pada Tabel 5.17.
Tabel 5.17. Rekapitulasi Perhitungan Nilai Kesalahan Metode Peramalan
Error
Moving Average Method Exponential Smoothing
V-42
Berdasarkan hasil perhitungan nilai kesalahan, maka diperoleh nilai kesalahan minimum pada metode peramalan exponential smoothing dengan nilai 38,2143. Maka hasil peramalan permintaan produk dengan metode peramalan exponential smoothing α = 0,50 digunakan sebagai jumlah permintaan produk dari konsumen.
5.3. Perhitungan Kebijakan Jumlah Order dengan Metode Pengelolaan Persediaan oleh Vendor
Perhitungan jumlah order dengan metode pengelolaan persediaan oleh vendor akan dihitung disetiap level rantai pasok, dimulai dari hilir ke hulu. Setelah perhitungan jumlah order, dilanjutkan dengan pengelolaan jumlah persediaan untuk level ritel, distributor dan manufaktur.
5.3.1. Perhitungan Kebijakan Jumlah Order dengan Metode Pengelolaan Persediaan oleh Vendor untuk Level Ritel
Perhitungan jumlah order untuk level ritel menggunakan jumlah permintaan yang telah diestimasi dengan metode peramalan terpilih, yaitu metode exponential smoothing.
Berdasarkan metode pengelolaan persediaan oleh vendor, jumlah permintaan ritel ( adalah = , dimana dan adalah jumlah permintaan dan jumlah pemesanan dari konsumen.
Untuk perhitungan jumlah pemesanan, dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.
V-43
Contoh perhitungan jumlah pemesanan (order) optimal pada level ritel di CV. Rahmat Jaya dengan biaya pemesanan adalah Rp. 10.000/pesan dan biaya penyimpanan adalah Rp. 50/unit/ton adalah sebagai berikut:
Q* = = 375 ton
Rekapitulasi perhitungan kebijakan order dan pengelolaan persediaan untuk CV. Rahmat Jaya dapat dilihat pada Tabel 5.18.
Tabel 5.18. Rekapitulasi Kebijakan Order Level Ritel di CV.Rahmat Jaya
Periode (t) Demand (N3) Q* (x3)
Januari 350 375
Februari 350 375
Maret 363 382
April 374 387
Mei 320 358
Juni 329 363
Juli 347 373
Agustus 362 381
September 343 371
Oktober 355 377
November 336 367
Desember 365 383
Jan-17 375 388
V-44
Mu (order) =
=
374,3Mu (Demand) =
=
349,57. Menghitung standar deviasi penjualan dan permintaan produk selama tahun 2016
S (order) =
=
= 8,574
S (Demand) =
=
= 15,76
8. Menghitung koefisien variansi dari penjualan dan permintaan produk selama tahun 2016
CV (order ) = = = 0,023
CV (Demand ) = = = 0,045
9. Menghitung nilai Bullwhip Effect setelah penerapan metode VMI di CV. Rahmat Jaya pada tahun 2016
V-45
10. Menentukan apakah terjadi bullwhip effect di CV.Rahmat Jaya pada tahun 2016
Dimana L adalah leadtime yaitu satu bulan dan P adalah periode pengamatan adalah 12 bulan.
0,508 < 1, 0167
Berdasarkan perbandingan dengan parameter bullwhip effect, nilai bullwhip effect yang diperoleh jauh lebih kecil dari parameter bullwhip effect. Maka tidak terjadi fenomena bullwhip effect di CV.Rahmat Jaya pada tahun 2016.
Untuk perhitungan kebijakan order level ritel untuk ritel selanjutnya langkah perhitungan yan digunakan sama. Perhitungan kebijakan order di CV. Sarana Citra Kencana dengan biaya pemesanan adalah Rp. 10.000/pesan dan biaya penyimpanan adalah Rp. 50/unit/ton adalah sebagai berikut:
Q* = = 375 ton