• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 SISTEM PERAWATAN KESEHATAN PADA PENGOBATAN PATAH TULANG GURU SINGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4 SISTEM PERAWATAN KESEHATAN PADA PENGOBATAN PATAH TULANG GURU SINGA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 4

SISTEM PERAWATAN KESEHATAN PADA PENGOBATAN PATAH TULANG GURU SINGA

4.1 Pengobatan Patah Tulang Guru Singa

Pengobatan patah tulang Guru Singa mencakup pengetahuan, kepercayaan, teknik, peran, sikap, lambang dan sebagainya yang saling berkaitan dan membentuk suatu sistem yang saling menguatkan dan saling membantu yang disebut dengan sistem medis.

Pengobatan patah tulang Guru Singa merupakan suatu sistem perawatan kesehatan yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang yaitu pengobat, pasien, keluarga pasien, dokter, perawat, dan sebagainya. Seperti yang dijelaskan Foster dan Anderson bahwa suatu sistem perawatan kesehatan adalah suatu pranata sosial yang melibatkan interaksi antara sejumlah orang, sedikitnya pasien dan penyembuh. Fungsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, yakni keluarganya dan masyarakatnya, untuk menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut (Foster dan Anderson, 1986: 46).

4.1.1 Peranan pengobat dan peranan pasien

Peranan dokter (pengobat) dan peranan pasien, seperti halnya peranan-peranan lain, saling melengkapi dan saling tergantung; yang satu membutuhkan yang lainnya. Tanpa pasien tak akan ada peranan dokter, dan sebaliknya, tanpa dokter tidak ada peranan pasien. Namun di luar ketergantungan itu, kedua peranan itu ditandai oleh ciri-ciri yang sangat berbeda, yang dapat dianalisis dalam rangka empat pasang dimensi dasar: terbatas-universal, permanen-temporer, atasan-bawahan, sukarela-nonsukarela (Foster dan Anderson, 1986: 123).

Terbatas-universal. Peranan pengobat adalah terbatas, dimana orang yang diakui dapat mengobati berjumlah terbatas dibanding orang yang bisa menjadi pasien. Peranan pasien adalah universal karena siapa saja bisa menjadi pasien. Permanen-temporer. Bagi pengobat, peranannya adalah permanen seumur hidup, sedangkan peranan pasien bersifat temporer. Atasan-bawahan. Pengobat berperan

(2)

sebagai atasan yang bertugas untuk mengambil tindakan terhadap pasien. Pasien berperan sebagai bawahan karena posisi pasien yang lebih pasif dibanding pengobat dan berkewajiban untuk mengikuti instruksi dari pengobat. Sukarela-nonsukarela. Pengobat berperan sukarela dalam mengobati pasien karena pengobat menginginkan (sukarela) menjadi pengobat, walaupun pada masyarakat tertentu ada pengobat yang tidak menginginkan peranannya, sedangkan pasien berperan nonsukarela karena pasien tidak dengan sendirinya menjadi pasien. Misalnya kecelakaan, pasien tidak menginginkan (tidak dengan sukarela) menjadi pasien, walau terkadang pada sejumlah orang ada yang menginginkan berperan sebagai pasien tetapi peranan pasien disini dipandang nonsukarela.

Peranan pengobat dan pasien ini terlihat pada pengobatan patah tulang GS dimana terdapat sepuluh pengobat aktif10 dengan pasien yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding pengobat, pasien rawat inap terhitung dari tempat tidur yang disediakan sejumlah 89 dengan kisaran pasien rawat inap sekitar enam puluh sampai tujuh puluh pasien, ditambah jumlah pasien rawat jalan yang dalam dua jam hari libur bisa mencapai empat puluh pasien11. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pengobat adalah terbatas, dan peranan pasien adalah universal.

Peranan pengobat adalah permanen atau dapat dikatakan sebagai peranan yang seumur hidup, sedangkan peranan pasien bersifat temporer. Pasien datang ke GS berperan sebagai pasien, diobati oleh pengobat, setelah dianggap tidak perlu berobat lagi maka pasien tersebut sudah tidak berperan sebagai pasien.

Pengobat berperan sebagai atasan yang bertugas mengobati pasien dengan meminta pasien untuk melakukan tindakan-tindakan seperti misalnya pasien diminta untuk mengangkat tangannya pada saat pengobatan agar diketahui kondisi pasien dan agar pengobat dapat melakukan tindakan selanjutnya untuk mengobati pasien. Pasien dengan mengikuti permintaan pengobat dapat dilihat bahwa pasien berperan sebagai bawahan.

10

Pengobat aktif yang dimaksud adalah pengobat yang secara praktek terlihat langsung dan tercatat sebagai pengobat jaga malam. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, anak kandung dari Ngulih ada juga yang menjadi pengobat namun tidak secara aktif, sehingga ‘pengobat aktif’ yang tercatat adalah sepuluh orang, yaitu Jojon, Fredy, Edi, Boim, Yono, Banon, Christian, Sakeus, Yanto, dan Syam.

11

Penulis berada di ruang pengobatan GS dan menghitung pasien yang berobat pada hari libur, siang hari sekitar pukul 13.00-15.00.

(3)

Peranan pengobat adalah sukarela, hal ini sesuai dengan syarat untuk menjadi pengobat di GS,

“…pertama masuk kan, itu semua tinggal kemauan sih. Mba juga bisa kalau mau serius…”.

Dalam kutipan diatas terlihat bahwa orang tersebut dengan sukarela menjadi pengobat, bila tidak dengan sukarela maka orang tersebut tidak bisa menjadi pengobat, sedangkan peranan pasien bersifat nonsukarela. Pasien yang datang berobat ke GS adalah pasien yang mengalami cidera akibat kecelakaan yang biasanya tidak disengaja atau tidak diinginkan (non sukarela) seperti misalnya kecelakaan lalulintas, terjatuh, terpleset, dan lain sebagainya.

Peranan penyembuh tidak otoriter. Penyembuh boleh menyarankan namun tidak boleh mendikte. Saran pengobatan boleh diikuti hanya apabila ada pengesahan dari anggota yang berpengaruh dalam kelompok sosial si pasien (Clark, 1959: 213 dalam Foster dan Anderson, 1986: 124).

“…ya sebenarnya kalau patah kaki, paha, kita memang sarankan untuk nginap. Tapi tidak dipaksakan. Masa’ kalau pasien nggak mau rawat inap kita paksakan?!...”

Dari kutipan diatas, terlihat bahwa peranan pengobat (penyembuh) tidak otoriter. Pengobat menyarankan pasien untuk dirawat inap, tetapi apabila pasien tidak berkenan pengobat tidak memaksakan kehendaknya. Sama halnya bila ada pasien yang ingin ke luar dari ruang rawat inap GS walaupun dari pihak pengobat GS belum mengizinkan pasien tersebut pulang, tetapi karena pasien yang meminta maka pihak GS mengizinkannya dengan sebelumnya dibuat surat keterangan ‘pulang paksa’ yang ditandatangani oleh pihak pasien. Dengan adanya surat keterangan ‘pulang paksa’ tersebut, pihak GS tidak bertanggungjawab terhadap kondisi pasien setelah pasien keluar dari GS dengan paksa, karena pihak pengobat sebenarnya belum mengizinkan pasien tersebut untuk keluar dari GS. Hal ini juga menjelaskan bahwa peranan pengobat tidaklah otoriter. Seperti yang dijelaskan Calrk (1959, 213) dalam Foster dan Anderson (1986: 124) bahwa saran pengobatan boleh diikuti hanya apabila ada pengesahan dari anggota yang berpengaruh dalam kelompok sosial si pasien.

(4)

4.1.2 Sifat universal dalam peranan penyembuhan

Dalam sistem pelayanan perawatan kesehatan, Foster dan Anderson menemukan ciri-ciri persamaan dalam premis-premis profesional, citra diri dan bentuk-bentuk hubungan dengan publik, tanpa memandang asumsi-asumsi kausatif yang mungkin melatar-belakangi sistem tersebut. Dipandang dari perspektif lintas-budaya, para dokter menunjukkan ciri-ciri yang sama dalam hal spesialisasi, seleksi dan pendidikan, perasaan citra keprofesionalan, harapan akan pembayaran, dan keyakinan akan kekuatan mereka (Foster dan Anderson, 1986: 124).

4.1.2.1 Spesialisasi

Pada suatu daerah petani di Filipina, misalnya, ada dukun beranak (mananabang), dukun pijat atau dukun patah (manghihilot), dan penyembuh umum (mananambal) (Leiban, 1926: 512 dalam Foster dan Anderson, 1986: 125). Logika yang melandasi spesialisasi tersebut pada dasarnya nampaknya serupa dengan yang melandasi pengobatan modern (Foster dan Anderson, 1986: 125). Pengobatan patah tulang GS termasuk kedalam pengobatan dengan spesialisai patah tulang. Hal ini jelas terlihat dari papan nama yang dipasang di depan jalan raya menuju GS serta dari kartu nama yang GS miliki.

Kategori spesialisasi patah tulang ini diakui oleh para pengobat, pasien, dan masyarakat. Hal ini terlihat juga pada kisah pasien Ynt yang mengetahui pengobatan patah tulang GS dari masyarakat sekitar. Walaupun sebelumnya Ynt tidak pernah dirawat di GS, tetapi Ia mengetahui GS dan mengetahui bahwa spesialisasi GS adalah patah tulang. Masyarakat juga berperan dalam mengakui kategori spesialisasi patah tulang pada GS, hal ini terlihat dari pengakuan Ynt.

4.1.2.2 Seleksi dan pendidikan

Kepandaian mengobati diperoleh dengan cara yang serupa dengan yang diperoleh pada profesi-profesi lain; kepandaian dan kemauan untuk bekerja

(5)

keras merupakan kualifikasi yang diperlukan oleh seseorang untuk melakukan tugas tersebut (Foster dan Anderson, 1986: 125).

Syarat untuk menjadi pengobat adalah panggilan dari dalam diri orang tersebut untuk mengobati, sebagaimana dikatakan salah seorang anak Ngulih,

“Panggilan ya. Biasanya kita disini, karyawan disini semua itu bekas pasien kalo nggak yang kerja disini. Malah asisten pertama bapak saya itu bekas pasien”.

Hal senada disampaikan oleh salah seorang pengobat di GS yang tidak berasal dari hubungan keturunan atau kerabat Ngulih,

“… kalau misalnya orangnya nggak terlalu serius juga nggak akan ngerti apa-apa. Kalau cuma setengah-setengah juga nggak bisa…”.

Pengobat GS yang tidak berasal dari kerabat Ngulih melalui berbagai tahapan untuk menjadi pengobat. Berawal dari dapur, kemudian turut membantu pada saat tim GS kontrol setiap siang hari sekitar pukul 14.00, seperti yang dijelaskan salah seorang pengobat,

“Awal mulanya itu, pertamanya di dapur dulu-lah … Ikut kontrol, liat-liat dulu, pelan-pelan, belajar pelan-pelan. Yaa taulah namanya kerja di dapur, dulu ikut kontrol, jadi secara bertahap gitu, baru deh..”

Pengobat diajarkan oleh Ngulih dalam teknik-teknik pengobatannya, akan tetapi secara teori tidak diajarkan, seperti yang dijelaskan salah seorang pengobat,

“Ya baru pegang-pegang tangan gitu. Perlahan ya bisa. Tau gitu gimana kondisi tulangnya. Pak Guru-nya (Ngulih) ngasih tau ya kalau patah tulang begini solusinya kaya begini, ada yang patah tulang kaya’ gini solusinya seperti ini, cara perbannya bagaimana. Ada teknik-tekniknya ya pasti ada-lah. Intinya secara teori itu nggak ada… Feeling,, prakteklah.. Praktek dengan menggunakan feeling”.

Pengobat melalui tahapan seleksi dan pendidikan dalam prosesnya menjadi seorang pengobat GS. Adanya pendidikan secara tidak formal dari Ngulih kepada ‘calon pengobat’ yaitu dengan diberitahunya teknik-teknik pengobatan kepada ‘calon pengobat’. Adanya seleksi menjelaskan bahwa tidak semua orang dapat menjadi pengobat, penyeleksi awalnya adalah dari kemauan diri sendiri orang tersebut, bila diberi ‘pendidikan’ oleh Ngulih pun tetapi tidak ada kemauan dari diri sendiri maka orang tersebut sudah terseleksi sebagai orang yang tidak dapat menjadi pengobat. Proses ‘pendidikan’ yang

(6)

diajarkan oleh Ngulih selain memberitahu teknik-teknik pengobatan, Ngulih juga meminta ‘calon pengobat’ memijit atau mengurut Ngulih agar diketahui kemampuan ‘calon pengobat’ tersebut.

4.1.2.3 Perasaan citra profesional

Penyembuh mempunyai perasaan yang kuat terhadap citra profesionalnya, tentang peranan mereka dan tentang tempat mereka di dalam masyarakat. Melalui tingkahlaku, pakaian dan perlengkapan-perlengkapan lainnya, mereka biasanya menambah citra keprofesionalan tersebut (Foster dan Anderson, 1986: 131). Para penyembuh dibedakan dari teman-teman mereka yang bukan profesional oleh pakaian dan tingkahlaku (Foster dan Anderson, 1986: 132).

Pengobat dicirikan dengan menggunakan seragam12 yang tertulis nama panggilan pengobat. Nama pengobat tertulis pada sisi depan sebelah kanan seragam. Dengan penggunaan seragam ini memudahkan pasien, keluarga pasien, kerabat pasien, dan lainnya, dalam mengenali para pengobat. Agus yang tergabung dalam tim kontrol harian13 untuk meneteskan minyak ke pasien rawat inap, menggunakan seragam bila ia akan kontrol harian, tetapi setelah selesai kontrol harian ia melepaskan seragam tersebut, tidak seperti para pengobat lain yang menggunakan seragam setiap harinya. Pada saat tim kontrol harian mengontrol pasien-pasien rawat inap, seragam terlihat membedakan antara pengobat dengan petugas GS yang bukan pengobat, sama halnya pada saat pengobat berada di ruang pengobatan. Selain seragam, pengobatan patah tulang GS menggunakan status kondisi pasien (medical record)14 pada setiap kontrol harian. Hal ini juga menambah citra keprofesionalannya.

4.1.2.4 Harapan akan pembayaran

Penyembuh-penyembuh non-Barat sedikit sekali berminat terhadap uang. Para dokter digambarkan sebagai perampok uang (Foster dan Anderson, 1986: 132). Hal ini sejalan dengan pengobatan patah tulang GS. Pada pasien rawat

12Seragam pengobat dijelaskan pada bagian III.2.1 13

Kontrol harian dijelaskan pada bagian III.2.4 14

(7)

jalan, pasien dikenakan biaya pengobatan seikhlasnya (sukarela), sedangkan pada pasien rawat inap, pasien dikenakan biaya pengobatan sesuai dengan kondisi pasien, kisaran biaya sekitar Rp.600.000,- hingga Rp.1.000.000,-, biaya ini adalah biaya pengobatan pasien selama dirawat inap. Biaya ruang rawat inap yang dikenakan GS kepada pasien rawat inap berbeda sesuai dengan fasilitas yang didapatkan pasien. Biaya ruang rawat inap di GS yaitu Rp.70.000,- hingga Rp.300.000,- per hari. Ruang rawat inap yang paling rendah biayanya yaitu Rp.70.000,- per hari, pasien akan mendapatkan makanan sebanyak tiga kali, sup sumsum sebanyak dua kali, serta tempat inap. Selain itu, petugas dapur GS menyediakan air putih yang disediakan untuk pasien, keluarga, maupun kerabat pasien.

4.2 Pemilihan pengobatan patah tulang Guru Singa

Ada berbagai alasan yang membawa pasien berobat ke GS. Dari sejumlah informasi yang penulis dapatkan alasan diantaranya yaitu karena pasien sudah tahu bahwa GS adalah spesialis patah tulang sehingga jika terjadi patah tulang maka pasien bersama keluarga akan berobat ke GS dan adapula yang karena pihak lain yang mengambil keputusan untuk berobat. Dari keempat pasien yang penulis jadikan informan terdapat satu pasien yang tertabrak motor, satu pasien yang terjatuh dari peron stasiun kereta, satu pasien yang terjatuh di tempat kerja, dan yang satu lagi pasien mengalami kecelakaan yaitu tertabrak mobil pada saat Ia mengendarai motor.

Pada pasien kedua, ketiga, dan keempat terdapat kesamaan yaitu pihak yang mengambil keputusan untuk berobat ke GS adalah orang-orang yang berada didekatnya pada saat terjadinya kecelakaan. Pasien kedua berobat ke GS karena dibawa oleh orang-orang yang berada di dekatnya pada saat Ia terjatuh di peron stasiun kereta. Pasien ketiga berobat ke GS karena dibawa oleh orang-orang yang masih satu tempat kerjaan dengannya. Begitu pun dengan pasien keempat yang berobat ke GS karena dibawa oleh orang-orang yang berada didekat tempat terjadinya kecelakaan. Dalam hal ini, pasien berada pada posisi yang tidak kuasa, dan penyandang dana atau orang-orang yang membawanya ke GS pada posisi

(8)

yang lebih kuasa maka pasien pasrah dibawa berobat kemanapun, sebagaimana yang dijelaskan Notosiswoyo pada hasil penelitiannya (Notosiswoyo, 1995: 131).

Pada pasien pertama, yang mengambil keputusan untuk berobat ke GS adalah dirinya sendiri yang mempunyai pengetahuan mengenai GS dari masyarakat sekitar sebagaimana yang dijelaskan oleh Foster dan Anderson, strategi-strategi yang mendasari proses-proses pengambilan keputusan dalam mencari perawatan kesehatan disebut “hierarki sarana (pengobatan) dalam praktek penyembuhan” (Schwartz 1969 dalam Foster dan Anderson, 1986: 293). Cara-cara bagaimana masyarakat menyusun hierarki sarana pribadi mereka sendiri dan faktor-faktor yang masuk dalam perhitungan mereka banyak memberi penjelasan kepada kita tentang bagaimana bentuk-bentuk pengobatan ilmiah dan pengobatan “alternatif” baru (dan terutama pengobatan di perkotaan) telah sangat terdesak praktek pengobatan tradisional (Foster dan Anderson, 1986: 293).

Pasien pertama menceritakan kisahnya mengenai awal mula kecelakaan yang dialaminya sebelum ia dibawa ke GS,

“…dikasih surat pengantar (dari mantri kesehatan dekat rumah) ke Rumah Sakit Persahabatan tapi ternyata kan luka saya nggak berat, kenapa kok harus dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan?”.

“Yo artinya kalau dibawa ke rumah sakit kan otomatis lukanya, ketabrak kan luka, kita kan nggak ada luka, cuma luka dalem, jadi cukup dibawa ke Guru Singa aja. Kalau di Guru Singa kan ‘patah tulang’, udah ketauan ini patah tulang. Kecuali saya keadaan babak belur perlu diobatin, perlu dirawat dulu di rumah sakit, lah mungkin saya dibawa ke rumah sakit. Itu pertimbangan saya itu. Kedua, pertimbangan keduanya kalau di rumah sakit, karena sakit dalam, patah tulang, pasti dioperasi dan biasanya makan biaya banyak. Jadi saya mendingan dibawa ke sini, patah tulang ini.”

Hierarki sarana (pengobatan) dalam praktek penyembuhan terlihat dari kutipan di atas yang diucapkan oleh pasien yaitu tingkatan ‘luka berat’ dan ‘luka tidak berat’. Luka berat adalah luka luar sedangkan luka tidak berat adalah luka dalam. Maksudnya adalah luka yang terlihat hingga luar kulit pasien, pasien memasukkannya kedalam tingkatan luka berat, sedangkan untuk luka patah tulang yang tidak terlihat maka pasien memasukkannya kedalam tingkatan luka tidak berat. Adanya tingkatan ‘luka berat’ dan ‘luka tidak berat’ ini menyebabkan adanya langkah yang akan diambil pasien untuk memilih pengobatan. Jika luka

(9)

berat maka pasien akan memilih untuk berobat ke rumah sakit, dan jika luka tidak berat maka pasien memilih untuk berobat ke GS. Pasien ini menganggap luka yang dideritanya adalah luka tidak berat sehingga tidak perlu berobat ke rumah sakti, maka ia memilih GS dibanding rumah sakit.

Pasien menjelaskan bahwa pengobat yang menangani patah tulang merupakan pengobat yang sudah ahli dalam bidangnya, bukan sembarang orang tetapi orang yang mengetahui kondisi tubuh manusia,

“Yang nanganin patah tulang itu memang bener-bener orang yang udah pinter, udah profesinya, ada tulang begini, susunan tubuh itu begini, itu udah tau semua, jadi kalau misalkan sakit ini Oh yang dipegang bukan ininya. Kalau patah kaki ini jelas, yang nanganin ini juga, tapi yang narik bukan sembarang orang, tapi orang yang bener-bener tau keadaan kondisi orang tubuh manusia”

Keyakinan terhadap kebenaran dari kepercayaan tentang pengobatan dan kesehatannya, dan kepercayaan sendiri mungkin menjadi ciri dari semua masyarakat; hal ini merupakan salah satu simbol terpenting, dimana kelompok masyarakat yang bersangkutan menyusun persepsi etosnya, keunikannya dan esensinya yang terpenting (Foster dan Anderson, 1986: 297).

“…nggak di rontgen. Kita yakin bahwa sini (GS) bisa patah tulang, nggak usah dirontgen, dia udah tau, gitu aja. Harusnya mah dirontgen dulu,, tapi enggak ah. Dia (pengobat) udah tau”.

Pasien meyakini bahwa GS dapat mengobati patah tulang, sehingga ia merasa tidak perlu dirontgen untuk mengetahui kondisi tulangnya yang patah.

“…saya percaya sama sini. Percaya bahwa saya berobat,, sembuh, gitu aja. Nggak macem-macem. Kemarin ada temen dateng, kenapa nggak dibawa ke rumah sakit sih? Saya bilang kalau rumah sakit kan dua kali sakit, karena dioperasi pasang pen nanti sembuh trus operasi lagi cabut pen, kan dua kali. Kalau di sini kan disambung karena alat sama keadaan dari tubuh kita. Itu aja…”.

Pasien memiliki kepercayaan terhadap pengobatan patah tulang GS, selain itu karena pandangan pasien yang menganggap rumah sakit suatu tempat pengobatan yang justru membuat dua kali sakit, yaitu pada saat dipasang pen dan disaat pennya dicabut. Selain itu, adanya perasaan nyaman pasien terhadap GS sebagaimana yang dijelaskan oleh salah seorang pasien:

(10)

“…pokoknya di sini bebas. Pokoknya disini bebas nggak bikin pasien itu harus begini-begini. Di sini biasa aja, santai. Makan ini yo terserah, bebas. Makan sate yo terserah. Soalnya di sini ibaratnya kan sehat cuma karena tulangnya itu aja patah, jadi nggak boleh makan susu atau makan daging, itu nggak. Bebas. Kecuali es. jadi bebas. Gitu. Kelebihan ini juga karena ada kerjasama sama dengan dokter lain…”

Perasaan nyaman di GS karena tidak banyak peraturan yang mengikat membuat pasien merasa bebas, pantangan yang diberikan pihak GS mudah untuk dijalani pasien sehingga pasien merasa bebas.

Referensi

Dokumen terkait

Buku karya Drs. Ayat MH ini dikeluarkan pada tahun 2000, dengan meggunakan kertas berwarna putih kuning pucat penulisannya digunakan pun penulisan dengan ejaan

Setelah itu didapatkan larutan standar 10 ppm, untuk diketahui alat yang kami gunakan yakni pada spektrofotometer uv vis dapat menyerap cahaya apabila senyawa

1 Kestabilan nilai rupiah antara lain merupakan kestabilan terhadap harga- harga barang dan jasa yang tercermin pada laju inflasi.Untuk mencapai tujuan tersebut,

Resiliensi memegang peranan yang penting dalam menghadapi kondisi stres, depresi dan gangguan psikologis lainnya, resiliensi dengan dimensi yang dimilikinya

Adapun kesimpulannya: (1) Penelitian dilakukan di Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya, (2) Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk

Dapat disimpulkan bahwa campuran serat tandan kosong kelapa sawit 3 % sampai 5 % dapat meningkatkan kekuatan tekan yang lebih baik dari pada aspal murni sampai pada

LAPORAN PRAKTIK KERJA INDUSTRI (PRAKERIN) MOTOR INDUKSI DAN PERBEDAAN KONTAKTOR DAN RELAY DALAM RANGKA MEMENUHI SYARAT UNTUK MENGIKUTI UJI.. KOMPETENSI DAN UJIAN NASIONAL DISUSUN

Pernyataan bahwa jemaat bertekun setiap hari dengan sehati memecahkan roti dari rumah ke rumah, berbagi makanan dalam sukacita (b) adalah perluasan dari bertekun