• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan pengendalian, bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan pengendalian, bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAMPIRAN

KEPUTUSAN DIREKTUR STANDARDISASI PRODUK TERAPETIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA NOMOR HK.05.02.322.3.05.15.3086 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT STANDARDISASI PT DAN PKRT TAHUN 2015 - 2019

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. KONDISI UMUM

Sesuai amanat Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, bahwa perencanaan pembangunan nasional disusun secara periodik meliputi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) untuk jangka waktu 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga untuk jangka waktu 5 tahun, serta Rencana Pembangunan Tahunan yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja K/L).

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Selanjutnya RPJPN ini dibagi menjadi empat tahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), salah satunya adalah RPJMN 2015-2019 yang merupakan tahap ketiga dari pelaksanaan RPJPN 2005-2025. Sebagai kelanjutan RPJMN tahap kedua, RPJMN tahap ketiga ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pada pencapaian daya saing kompetitif perekonomian yang berlandaskan keunggulan sumber daya alam, sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat.

Sebagaimana amanat tersebut dan dalam rangka mendukung pencapaian program-program prioritas pemerintah, BPOM sesuai kewenangan, tugas pokok dan fungsinya menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan BPOM untuk periode 2015-2019. Penyusunan Renstra BPOM ini berpedoman pada RPJMN periode 2015-2019, sesuai dokumen RPJMN 2015-2019 yang telah dikirim ke seluruh K/L melalui surat No. 1123/Ses/02/2015 tanggal 27 Februari 2015. . Renstra BPOM selanjutnya akan dijadikan acuan seluruh unit kerja dibawahnya, salah satunya Direktorat Standardisasi PT dan PKRT sebagai unit Eselon II di lingkungan Kedeputian I BPOM. Proses penyusunan Renstra Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM tahun 2015-2019 dilakukan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hasil evaluasi pencapaian kinerja tahun 2010-2014, serta merujuk pada Renstra BPOM melibatkan pemangku kepentingan yang menjadi mitra BPOM. Selanjutnya Renstra BPOM periode 2015-2019.

Adapun kondisi umum Direktorat Standardisasi PT dan PKRT pada saat ini yang memiliki tugas pokok sebagai berikut:

diharapkan dapat meningkatkan kinerja BPOM dibandingkan dengan pencapaian dari periode sebelumnya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan

Sebagaimana amanat tersebut dan dalam rangka mendukung pencapaian program-program prioritas pemerintah, BPOM sesuai kewenangan, tugas pokok dan

penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang

(2)

2 fungsinya menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan serta program dan kegiatan BPOM untuk periode 2015-2019. Penyusunan Renstra BPOM ini berpedoman pada RPJMN periode 2015-2019. Proses penyusunan Renstra BPOM tahun 2015-2019 dilakukan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hasil evaluasi pencapaian kinerja tahun 2010-2014, serta melibatkan pemangku kepentingan yang menjadi mitra BPOM. Selanjutnya Renstra BPOM periode 2015-2019 diharapkan dapat meningkatkan kinerja BPOM dibandingkan dengan pencapaian dari periode sebelumnya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.

Adapun fungsinya :

a) Penyusunan rencana dan program standardisasi PT dan PKRT;

b) Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang standardisasi PT dan PKRT;

c) Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang pengaturan PT dan PKRT,

d) Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang standardisasi dan penilaian bioavailabilitas dan bioekivalensi obat;

e) Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan, pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang bimbingan industri farmasi;

f) Evaluasi dan penyusunan laporan di bidang standardisasi PT dan PKRT.

Adapun kondisi umum BPOM pada saat ini berdasarkan peran, tupoksi dan pencapaian kinerja adalah sebagai berikut:

A. Peran BPOM berdasarkan Peraturan Perundang-undanganStrategis Direktorat Standardisasi PT dan PKRT

Dengan adanya globalisasi ekonomi antara lain perdagangan pasar bebas dan pembentukan ASEAN Economic Committee (AEC), maka akan berdampak pada berbagai bidang dan salah satu bidangnya adalah terkait dengan pengawasan obat dan makanan karena terjadi penipisan entry barrier dalam perdagangan arus barang dari dalam dan luar negeri. Hal ini mengakibatkan meningkatnya jumlah peredaran obat baik jenis maupun volume yang merupakan produksi dalam negeri maupun yang masuk dari luar negeri sehingga akan memberikan konsekuensi tersendiri terhadap pengawasan obat. Hal penting yang harus jadi perhatian adalah penetapan standar obat yang akan mempengaruhi daya saing obat di pasar bebas. Produk yang sub standar akan berdampak pada risiko kesehatan dan melemahkan daya saing produk obat itu sendiri sehingga dalam hal ini perlu penguatan fungsi-fungsi pengawasan obat untuk penapisan obat yang tidak memenuhi syarat.

Sesuai dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada tahun 2015, yaitu “Melanjutkan Reformasi Bagi Percepatan Pembangunan Ekonomi yang berkeadilan”, maka isu strategis nasional yang dihadapi pada tahun 2015 adalah peningkatan daya saing melalui peningkatan iklim investasi dan usaha. Badan POM melalui Direktorat Standardisasi PT dan PKRT berperan dalam mendukung peningkatan pemenuhan standar dan ketentuan ketentuan yang sesuai dengan best practices nasional dan

(3)

3

internasional yang dilakukan melalui bimbingan teknis dan dukungan regulatory kepada para pelaku usaha.

Badan POM berupaya kuat melindungi kesehatan masyarakat, melalui strategi atau kegiatan inovatif untuk memperkuat sistem pengawasan obat dan makanan. Obat sebagai salah satu komponen penting dalam upaya peningkatan kesehatan, meliputi upaya pemeliharan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pemulihan kesehatan. Akan tetapi obat juga dapat mengganggu bahkan dapat membahayakan kesehatan bila tidak memenuhi persyaratan/standar mutu atau bila salah penggunaan. Di samping itu, obat juga tidak terlepas dari aspek ekonomi dan teknologi.

Obat yang akan dan sedang beredar harus dikawal dengan pengawasan yang cermat dan ketat untuk menghindari risiko peredaran obat yang tidak memenuhi standar, palsu dan ilegal. Untuk itu sebelum obat diedarkan perlu dilakukan penilaian terhadap pemenuhan standar khasiat, keamanan dan mutu serta penandaan, sedangkan setelah obat beredar diperlukan pengawasan antara lain pengujian mutu berdasarkan standar. Tantangan pengawasan obat di masa depan semakin kompleks seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. OProduk Terapetik (PT) dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) obat yang beredar mengalami peningkatan baik dari segi jenis maupun jumlahnya. Keadaan tersebut mendorong pihak pemerintah dan swasta untuk lebih memahami pentingnya standardisasi obat, karena standar obat selain merupakan salah satu perangkat penunjang sistem pengawasan terhadap produk sebelum dan sesudah dipasarkan, juga membantu kelancaran perdagangan di pasar lokal maupun internasional atau pasar dagang bebas. Dengan pertimbangan di atas maka standar mutu obat perlu terus dimutakhirkan dan perlu juga menyusun standar mutu obat yang belum ada. Begitu juga dengan pedoman, perlu dilakukan pemutakhiran dan penyusunan.

Kebutuhan masyarakat terhadap obat generik terus meningkat. Hal ini memacu meningkatnya produksi obat generik oleh Industri Farmasi baik dalam dan luar negeri, sehingga dapat mengakibatkan kurangnya pengawasan mutu obat oleh industri farmasi dan dapat menimbulkan risiko peredaran obat generik yang sub standar. Direktorat Standardisasi PT dan PKRT berperan dalam rangka mengantisipasi risiko tersebut serta untuk menjamin obat generik mempunyai khasiat, keamanan, mutu yang sama dengan obat inovator, melalui penilaian terhadap laporan uji bioekivalensi (Uji BE), termasuk penilaian protokol uji BE sesuai dengan ketentuan standar GCP, GLP dan Pedoman Uji BE. Mekanisme prakualifikasi WHO antara lain uji BE yang dilakukan harus sesuai dengan persyaratan internasional pada laboratorium Uji BE yang dikenal/telah diinspeksi oleh WHO dan memenuhi standar GLP dan GCP. Selain itu untuk menghadapi harmonisasi ASEAN Bidang Farmasi yang salah satunya adalah uji BA/BE, laboratorium uji BE di Indonesia perlu ditingkatkan kompetensi dan persyaratannya agar memenuhi persyaratan ASEAN. Hal ini karena laboratorium Uji BE sangat memegang peranan penting dalam membuktikan apakah obat copy/generik memiliki terapetik ekivalen dengan obat inovatornya.

Dalam era globalisasi, perdagangan bebas termasuk obat mengakibatkan semakin banyak obat yang masuk ke Indonesia. Hal ini harus diantisipasi dengan pengawasan yang ketat melalui Nasional Single Window (NSW). Setiap produk impor/ekspor harus mempunyai kode (nomor) Harmonisasi Sistem yang disebut HS Code. Direktorat Standardisasi PT dan PKRT bekerjasama dengan Direktorat Pengawasan Distribusi PT dan PKRT melakukan identifikasi dan kodefikasi terhadap produk binaan Badan POM (bahan baku obat dan sediaan obat) untuk mempermudah identifikasi dan menghambat masuknya bahan baku obat dan sediaan obat yang tidak sesuai ketentuandiinginkan.

Belum

tersedianya bahan baku kemasan infus yang diproduksi di dalam negeri, menyebabkan bahan kemasan infus harus diimpor walaupun dengan harga mahal, akibatnya harga

(4)

4

infus menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Mengingat komponen biaya produksi infus yang paling tinggi adalah bahan baku kemasannya, maka Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, sejak tahun 2008 melalui Badan POM (Direktorat Standardisasi PT dan PKRT) sebagai sektor pembina industri farmasi, memberikan fasilitas subsidi berupa Bea Masuk Di Tanggung Pemerintah (BMDTP) kepada produsen infus. Hal ini untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat essensial khususnya infus. Direktorat Standardisasi PT dan PKRT melakukan pengawasan terhadap penggunaan bahan baku kemasan infus yang mendapat fasilitas BMDTP agar sesuai dengan peruntukannya yaitu hanya digunakan sebagai bahan pembuat kemasan infus esensial/generik untuk penggunaan lokal saja dan tidak dapat dipakai untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan. Hal ini akan sangant berpengaruh pada program pelayanan kesehatan pemerintah, yang berdampak terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

Dalam rangka menghilangkan barier teknis perdagangan negara-negara ASEAN dan mencapai sasaran ASEAN Free Trade Area (AFTA) telah dibentuk ASEAN Consultative Committee for Standard and Quality – Pharmaceutical Product Working Group (ACCSQ-PPWG) yang berperan dalam mengupayakan harmonisasi standar dan persyaratan di bidang farmasi di negara-negara ASEAN. Salah satu standar yang diharmonisasi yaitu Uji BA/BE, oleh karena banyaknya industri farmasi di Indonesia dan memproduksi obat generik, maka perlu peran aktif Indonesia dalam hal ini Direktorat Standardisasi PT dan PKRT sebagai leading sector di bidang harmonisasi uji BA/BE obat. Selain itu perlu juga dijalin dan ditingkatkan kerjasama lintas sektor dengan instansi terkait.

A.

BPOM adalah sebuah Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) yang bertugas mengawasi peredaran obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik dan makanan di wilayah Indonesia. Tugas, fungsi dan kewenangan BPOM diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah non Departemen yang telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001. Sesuai amanat ini, BPOM menyelenggarakan fungsi: (1) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan; (2) pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan; (3) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM; (4) pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah dan masyarakat di bidang pengawasan Obat dan Makanan; (5) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Dilihat dari fungsi BPOM secara garis besar, terdapat 3 (tiga) inti kegiatan atau pilar lembaga BPOM, yakni: (1) Penapisan produk dalam rangka pengawasan Obat dan sebelum beredar (pre-market) melalui: a) Perkuatan regulasi, standar, dan pedoman pengawasan obat, Obat dan Makanan serta dukungan regulatori kepada pelaku usaha untuk pemenuhan standar dan ketentuan yang berlaku; b) Peningkatan registrasi/penilaian Obat dan Makanan Obat dan Makanan yang diselesaikan tepat waktu; c) Peningkatan inspeksi sarana produksi dan distribusi Obat dan Makanan dalam rangka pemenuhan standar Good Manufacturing Practices (GMP) dan Good Distribution Practices (GDP) terkini; dan d) Penguatan kapasitas laboratorium BPOM. (2) Pengawasan Obat dan Makanan pasca beredar di masyarakat (post-market) melalui: a) Pengambilan sampel dan pengujian; b) Peningkatan cakupan pengawasan sarana

(5)

5

produksi dan distribusi Obat dan Makanan di seluruh Indonesia oleh 33 BB/BPOM, termasuk Pasar Aman dari Bahan Berbahaya; c) Investigasi awal dan penyidikan kasus pelanggaran di bidang Obat dan Makanan di Pusat dan Balai. (3) Pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi serta penguatan kerjasama kemitraan dengan pemangku kepentingan dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan di Pusat dan Balai melalui: a) Public Warning; b) Pemberian Informasi dan Penyuluhan/Komunikasi, Informasi, dan Edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha di bidang Obat dan Makanan, serta; c) Peningkatan Pengawasan terhadap Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS), peningkatan kegiatan BPOM Sahabat Ibu, dan advokasi kepada masyarakat.

Tugas dan fungsi tersebut melekat pada BPOM sebagai lembaga pemerintah yang merupakan garda depan dalam hal perlindungan terhadap konsumen. Di sisi lain, tupoksi BPOM ini juga sangat penting dan strategis dalam kerangka mendorong tercapainya Agenda Prioritas Pembangunan (Nawa Cita) yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, khususnya pada butir 5:. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, khususnya di sektor kesehatan; pada butir 2: Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif demokratis dan terpercaya; pada butir 3: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan; pada butir 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; serta pada butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan setor-sektor strategis ekonomi domestik. Oleh karena itu, BPOM sebagai lembaga pengawasan Obat dan Makanan sangat penting untuk diperkuat, baik dari sisi kelembagaan maupun kualitas sumber daya manusia, serta sarana pendukung lainnya seperti laboratorium, sistem teknologi dan informasinya, dan lain sebagainya, untuk mendukung tugas-tugasnya tersebut.

BPOM idealnya dapat menjalankan tugasnya secara lebih proaktif, tidak reaktif, yang hanya bergerak ketika sudah ada kasus-kasus yang dilaporkan. Namun, dengan luas wilayah darat Indonesia yang mencapai 1.922.570 km² merupakan salah satu faktor utama yang sangat sulit bagi BPOM melakukan fungsi pengawasan secara komprehensif. Negara Indonesia ini berbentuk kepulauan yang tentu saja terdapat banyak pintu masuk bagi berbagai Obat dan Makanan ke Indonesia. Namun hal ini tidak menjadi hambatan, bahkan justru menjadi tantangan tersendiri bagi BPOM untuk melakukan revitalisasi tehadap kinerjanya dalam hal mengawasi Obat dan Makanan, baik produksi dalam negeri maupun impor yang beredar di masyarakat.

Di sisi lain, tuntutan modernisasi suatu bangsa juga berpengaruh pada pola hidup masyarakatnya. Dengan perkembangan modernisasi tersebut, menjaga pola hidup sehat juga menjadi semakin sulit untuk dipenuhi oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, terutama pemenuhan standar kesehatan, dimana peredaran makanan yang tidak begitu baik bagi kesehatan juga hampir-hampir tidak bisa dihindari.

B. Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 tahun 2000, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Keputusan Presiden tersebut telah dikuatkan dengan adanya Peraturan Presiden No. 3 tahun 2014 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden No 103 tahun 2011 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), yang menetapkan tugas pokok, fungsi, dan wewenang Badan POM. Badan POM merupakan salah satu dari LPNK tersebut.

(6)

6

Pembentukan Badan POM ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor: 02001/SK/KBPOM, tanggal 26 Pebruari tahun 2001, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan setelah mendapat

persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:

34/M.PAN/2/2001 tanggal 1 Pebruari 2001. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tersebut telah dilakukan penyesuaian organisasi dan tata kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan, utamanya pada Kedeputian I Bidang Pengawasan PT dan NAPZA melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor: 02001/SK/KBPOM tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sesuai Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231 tahun 2004 Direktorat Standardisasi Produk Terapetik (PT) dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Deputi Bidang Pengawasan PT dan NAPZA (Deputi I) Badan POM, dengan struktur organisasi :

Stuktur Organisasi dan Tata Kerja BPOM disusun berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004. Khusus Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar/Balai POM disusun berdasarkan Keputusan Kepala BPOM Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 14 Tahun 2014.

Sesuai dengan struktur organisasi yang ada pada gambar 1.1, secara garis besar unit-unit kerja BPOM dapat dikelompokkan sebagai berikut: Sekretariat Utama, Deputi Bidang Pengawasan Teknis (I, II dan III), unit penunjang teknis (Pusat-pusat), dan Inspektorat, serta Unit Pelaksana Teknis di daerah.

Gambar 1.1 STRUKTUR ORGANISASI

DIREKTORAT STANDARDISASI PT DAN PKRT DIREKTORAT

STANDARDISASI PT DAN PKRT

SUBDIT STANDARDISASI DAN PENILAIAN

BA-SUBDIT BIMBINGAN INDUSTRI FARMASI SUBDIT STANDARDISASI DAN PENGATURAN

(7)

7

(8)
(9)

9

Untuk mendukung tugas-tugas Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM sesuai dengan peran dan fungsinya diperlukan sejumlah SDM yang memiliki keahlian dan kompetensi yang baik. Jumlah SDM yang dimiliki Direktorat Standardisasi PT dan PKRTBPOM untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan Obat dan Makanan sampai tahun 201nya tahun 2014 4 adalah sejumlah 313.498 orang orang dengan , yang tersebar di Unit Pusat dan Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia. Adapun jumlah pegawai BPOM yang tersebar baik di tingkat pusat maupun daerah berdasarkan tingkat pendidikan dapat dijelaskan pada tabel 1.12 di bawah ini ::

Tabel 1.1

.1 Profil Ppegawai BPOM Bberdasarkan tTingkat Ppendidikan Ttahun 20143

Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan

Inspektorat 1.1. Biro Perencanaan dan Keuangan

2. Biro Kerjasama Luar Negeri 3. Biro Hukum dan Hubungan

Masyarakat 4. Biro Umum SekretariatUtama Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Pusat Riset Obat dan Makanan Pusat Informasi Obat dan Makanan Deputi I

Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza

1.Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi

2.Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan PKRT 3.Direktorat Pengawasan

Produksi Produk Terapetik dan PKRT

4.Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT

5.Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan zat Adiktif

Deputi II Bidang Pengawasan Obat

Tradisional,

Kosmetik dan Produk Komplemen 1.Direktorat Penilaian Obat

Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik 2.Direktorat Standardisasi Obat

Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen 3.Direktorat Inspeksi dan

Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika dan Produk Komplemen

4.Direktorat Obat Asli Indonesia

Deputi III

Bidang Pengawasan Keamanan Pangan Dan Bahan Berbahaya

1.Direktorat Penilaian Keamanan Pangan

2.Direktorat Standardisasi Produk Pangan 3.Direktorat Inspeksi dan

Sertifikasi Produk Pangan 4.Direktorat Surveilan dan

Penyuluhan Keamanan Pangan 5.Direktorat Pengawasan Produk

dan Bahan Berbahaya

(10)

10 No Unit KerjaSubdit S2 S1 Pr o fesi NON S1 sarj an a No n sarj an a Juml ah 1 BPOM di PusatSubdit

Standardisasi dan Pengaturan PT dan PKRT 16 13 2354 229 1.004 7 2

Subdit Standardisasi dan Penilaian BABE ObatBalai Besar POM di Banda Aceh

13

2 96 293 5 7716

3

Subdit Bimbingan Industri FarmasiBalai Besar POM di Medan

72 173 612 1 1268

4 Balai Besar POM di Pekanbaru 4 11 47 1.190 92

5 Balai POM di Jambi 0 9 30 66

6 Balai Besar POM di Padang 9 13 40 89

7 Balai POM di Bengkulu 6 9 29 61

8 Balai Besar POM di Palembang 7 20 31 82

9 BalaiBesar POM di Bandar

Lampung 6 12 50 99

10 Balai Besar POM di Jakarta 5 11 38 102

11 Balai Besar POM di Bandung 8 19 53 136

12 Balai Besar POM di Semarang 7 39 46 134

13 Balai Besar POM di Surabaya 1 47 28 137

14 Balai Besar POM di Yogyakarta 9 29 42 117

15 Balai Besar POM di Mataram 4 13 35 75

16 Balai POM di Kupang 6 15 21 63

17 Balai Besar POM di Denpasar 7 35 28 96

18 Balai POM di Ambon 2 8 28 54

19 Balai Besar POM di Samarinda 1 16 22 70

20 Balai Besar POM di Pontianak 3 11 34 80

21 Balai Besar POM di

Banjarmasin 4 11 37 78

22 Balai POM di Palangkaraya 2 11 24 60

23 Balai Besar POM di Makassar 16 21 38 125

24 Balai Besar POM di Manado 5 20 24 82

25 Balai POM di Kendari 5 16 22 63

26 Balai POM di Palu 4 8 21 55

27 BalaiBesar POM di Jayapura 0 17 28 73

28 Balai POM di Serang 1 13 19 53

29 Balai POM di Batam 1 8 19 46

30 Balai POM di Pangkal Pinang 1 7 17 41

31 Balai POM di Gorontalo 1 9 17 41

32 Balai POM Manokwari 1 2 3 21

TOTAL 73 07 13722 51.1 90 6 313.4 98

(11)

11

Dari Tabel 1.12 tergambar bahwa di atas dapat diketahui bahwa 34,02% pegawai BPOM adalah non sarjana. Tiga Balai Besar/Balai POM dengan persentase SDM non sarjana terbesar berturut-turut adalah BPOM di Ambon (51,85%), BBPOM di Pekanbaru (51,09%) dan BBPOM di Bandar Lampung (50,51%). Di bawah ini gambar 1.23: grafik komposisi persentase SDM BPOM menurut pendidikan.

Gambar 1.2

Profil pegawai BPOM berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2013

Dari komposisi SDM BPOM sampai dengan tahun 2014 sesuai dengan tabel 1.1 2dan gambar 1.32 di atas, dirasakan bahwa untuk menghadapi perubahan lingkungan strategis yang semakin dinamis, khususnya perubahan lingkungan strategis eksternal, maka perlu dilakukan peningkatan kuantitas maupun kualitas SDM Direktorat Standardisasi PT dan PKRTBPOM, agar dapat mengantisipasi perubahan lingkungan strategis tersebut sehingga bisa mewujudkan tujuan organisasi dalam lima tahun kedepan.

Pada tahun 2014, Direktorat Standardisasi PT dan PKRT belum didukung dengan SDM yang memadai dan masih kekurangan SDM sejumlah 31 orang, dihitung berdasarkan analisis beban kerja, dari target yang ditetapkan. Berikut ini adalah profil kebutuhan pegawai berdasarkan analisa beban kerja.

*) Tahun 2015 s.d. 2019 asumsi tidak ada penambahan pegawai

Gambar 1.2 Kebutuhan SDM Direktorat Standardisasi PT dan PKRT Tahun 2015-2019 Berdasarkan Analisa Beban Kerja

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% S3 S2 Apoteker / Profesi S1 NON 0,09% 8,78% 36,48% 20,64% 34,02% 0 10 20 30 40 50 60 70 2015 2016 2017 2018 2019 Standar kebutuhan SDM (berdasarkan ABK 2015) 61 61 61 62 62 SDM yg tersedia 31 31 31 31 31 SDM Pensiun, pindah dll 1 1 1 0 0 Kekurangan SDM 31 31 31 31 31

(12)

12 C. Hasil Capaian Kinerja BPOMDirektorat Standardisasi PT dan PKRT pPeriode

2010-2014

SsSesuai dengan peran dan kewenangannyatugas dan fungsinya, dalam penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, standar, kriteria, dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang pengaturan dan standardisasi produk terapetik, Direktorat Standardisasi PT dan PKRT telah memberikan konstribusi melalui pencapaian indikator utama yang tertuang pada Renstra 2010-2014 pada tabel dibawah iniBPOM mempunyai tugas mengawasi peredaran Obat dan Makanan di wilayah Indonesia. Dalam rangka menjalankan tugas tersebut, maka terdapat beberapa tujuan yang akan dicapai dalam Renstra BPOM 2010-2014, yaitu: 1) Mewujudkan standar, peraturan dan regulasi; 2) Rekomendasi dalam rangka perizinan dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan cara-cara produksi yang baik; 3) Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar; 4) Post-marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum; 5) Pre-reviu dan pasca-audit iklan dan promosi produk; 6) Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan Obat dan Makanan; 7) Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.

Adapun pencapaian keberhasilan pelaksanaan tugas dan kewenangan BPOM tersebut dapat dilihat sesuai dengan pencapaian indikator kinerja utama sesuai sasaran strategis pada tabel 1.2 di bawah ini.

.

Tabel 1.1.2. Capaian Kinerja Direktorat Standardisasi PT dan PKRTBPOMpPeriode 2010-2014

No. Indikator Target Realisasi

2010 2011 2012 2013 2014 2010 2011 2012 2013 2014 1 Persentase

kecukupan standar obat yang dimiliki dengan yang dibutuhkan 20% 40% 60% 80% 94% 28% (dari target 20% x 22 std) 90,91% (dari target 40% x 22 std) 84.38% (dari target 60% x 32 std) 84.09 % (dari target 80% x 44std) 104.88% (dari target 94% x 44 std) 2 Jumlah Pedoman Inspeksi Uji BE sesuai Standar Internasional - - - 2 2 - - - 100% 90%

Sebagaimana target yang tertuang pada Renstra 2010-2014, Direktorat Standardisasi PT dan PKRT telah melakukan 2 kali kaji ulang terhadap jumlah kebutuhan standar per tahun dan telah dilakukan revisi denominator dari semula 22 standar menjadi 32 standar (tahun 2012) dan direvisi kembali menjadi 44 standar (tahun 2014). Hal ini menunjukan perubahan yang dinamis dari organisasi dimana kebutuhan standar menunjukkan trend meningkat setiap tahun. Sejak tahun 2010, standar yang berhasil disusun rata-rata 7-8 standar pertahun, sehingga di akhir RPJMN 2010-2014 mampu menyelesaikan 431 standar (94% dari 44 standar). Keberhasilan ini merupakan upaya kerjasama tim yang konsisten dalam melakukan penyusunan standar baru, pemutakhiran (revisi) standar yang ada dan melakukan kajian-kajian peraturan yang dibutuhkan stakeholder yang terus meningkat.

Berikut ini adalah Milestone yang telah dihasilkan selama rentang waktu 5 tahun periode renstra 2010 – 2014 :

1. Farmakope Indonesia Ed. V tahun 2014

2. Website Forkomta 2014

(13)

13 4. Pedoman Uji Disolusi 2014

5. Pedoman ATM (anti retroviral, tuberkulosis, malaria) 2012-2014 Dana Hibah Global Fund

6. Penyusunan dan Penyiapan Database bahan baku obat 2014 7. Revisi Informasi Obat Batuk dan Flu

8. Peningkatan kapasitas SDM BPOM dan pemangku kepentingan dari industri farmasi melalui “2nd Indonesia-Japan Symposium on Ensuring and Enhancing Quality Assurance of Medical Products

9. Asistensi Lab Uji BE (dalam rangka PQ WHO) lihat data 2011 C. I.2. POTENSI DAN PERMASALAHAN

Sebagaimana tabel 1.2 terkait pencapaian kinerja pada Renstra tahun 2010-2014 tersebut di atas, kinerja BPOM telah menunjukkan perbaikan yang semakin signifikan. Hal ini bisa dilihat dari seluruh kinerja BPOM sesuai dengan tugas utamanya melakukan pengawasan Obat dan Makanan. Adapun penjelasan pencapaian masing-masing indikator tersebut adalah sebagai berikut: Untuk indikator kinerja Obat yang beredar telah memenuhi syarat tercapai sebesar 99,43%, sedangkan Obat Tradisional beredar telah tercapai memenuhi syarat 80,20%, untuk kinerja Kosmetik beredar telah memenuhi syarat sebesar 98,84%, dan kinerja Suplemen Makanan tercapai sebesar 99,23%, dan Makanan beredar yang memenuhi syarat sebesar 83,94%. Berdasarkan hasil tersebut, pengawasan Obat dan Makanan tetap menjadi mainstreaming di Renstra 2015-2019. Di bawah ini pada gambar 2.2 dapat dilihat secara grafik pencapaian kinerja BPOM dari tahun 2010-2014.

Gambar 1.3 Rasio pencapaian kinerja BPOM periode 2010-2014

Berdasarkan capaian kinerja utama BPOM sesuai dengan tablel 1.2 dan gambar 1.3 di atas, terlihat bahwa kinerja BPOM telah menunjukkan hasil yang baik sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Namun hal ini tidak menjadikan peran BPOM selesai. Bahkan dengan adanya perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis diharapkan peran BPOM pada masa yang akan datang dapat lebih ditingkatkan. BPOM diharapkan terus menjaga kinerja yang telah dicapai saat ini sesuai harapan masyarakat, yaitu agar pengawasan Obat dan Makanan terus lebih dimaksimalkan untuk melindungi kesehatan masyarakat.

Isu-Iisu Strategis Ssesuai dengan Tupoksi dan Kewenangan BPOM

Selama periode 2010-2014, pelaksanaan peran dan fungsi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM tersebut di atas telah diupayakan secara optimal sesuai dengan target hasil pencapaian kinerjanya. Namun demikian, masih terdapat

(14)

14

beberapa kendala dan permasalahan terkait penyusunan dan pemutakhiran standar upaya tersebut masih menyisakan permasalahan yang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan masyarakat, antara lain: (1) beberapa rancangan standar/ peraturan/pedoman yang disusun oleh Direktorat Standardisasi PT dan PKRT perlu penetapan untuk pemberlakuannya oleh kementerian/lembaga lainya seperti KEMENKES, BSN, (2) Tupoksi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT tidak sepenuhnya menyusun standar/peraturan/pedoman standar seperti Direktorat Standardisasi di Kedeputian lain. Tupoksi yang tidak termasuk cakupan Direktorat Standardisasi PT dan PKRT adalah penilaian BA/BE Obat dan Bimbingan Teknis Industri Farmasi. dan sebagainya, belum sepenuhnya tercapai penapisan produk dalam rangka pengawasan Obat dan Makanan sebelum beredar (pre-market), (2) ...belum optimalnya pengawasan Obat dan Makanan pasca beredar di masyarakat (post-market) dan (3) belum efektifnya pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi Informasi dan Edukasi dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan. Dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas terdapat beberapa penyebab yang dianggap sangat krusial dan strategis bagi peran BPOM dalam melakukan pembenahan di masa mendatang, sehingga diharapkan pencapaian kinerja berikutnya akan lebih optimal. Di bawah ini pada gambar 1.4 terdapat diagram yang menunjukkan analisa permasalahan pokok dan isu-isu strategis sesuai dengan tupoksi dan kewenangan BPOM sebagai berikut:

Gambar 1.4: Diagram permasalahan dan isu strategis, kondisi saat ini dan dampaknya

B erdasa rkan kondis

i obyektif yang dipaparkan di atas, kapasitas BPOM Direktorat Standardisasi PT dan PKRT sebagai unit kerja yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan standar di bidang PT dan PKRT lembaga pengawasan Obat dan Makanan masih perlu terus dilakukan penguatan, baik secara teknis kelembagaan maupun dari sisi manajemen sumber daya manusianya dan kelembagaan. Dengan penguatan tersebut diharapkan p, agar pencapaian kinerja di masa datang semakin membaik dan dapat memastikan berjalannya proses pengawasan oObat dan Makanan sesuai standar ketentuan untuk yang lebih ketat dalam menjaga keamanan, khasiat dan mutu mutu serta khasiat/manfaat oObat dan Makanan tersebut. P, yang pada akhirnya diharapkan Direktorat Standardisasi PT dan PKRT dapat memberikan kontribusi yang maksimal bagikhususnya bagi Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA dan tercapainya visi dan misi Badan POM.pembangunan kesehatan masyarakat.

1. Untuk itu, ada 23 (duatiga) isu strategis dari permasalahan pokok yang dihadapi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM sesuai dengan peran dan

PERAN BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN Penguatan kebijakan teknis

pengawasan (RegulatorySystem)

Pembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan BELUM OPTIMALNYA PERAN

BPOM DALAM MELAKSANAKAN PENGAWASAN OBAT DAN

MAKANAN

Belum optimalnya sistem pengawasan

Obat dan Makanan

Belum optimalnyapembinaan dan bimbingan kepada pemangku kepentingan melalui Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan

Edukasi Publik

Masih terbatasnya kapasitas kelembagaan

(15)

15

kewenangannya agar lebih optimal, yang perlu terus diperkuat dalam peningkatan kinerja di masa yang akan datang sebagai berikut:

1. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam pengesahan rancangan standar/peraturan/pedoman

Penguatan sistem dalam pengawasan Obat dan Makanan,

Peningkatan pembinaan dan bimbingan melalui Kerjasama, Komunikasi, Informasi dan Edukasi Publik dalam rangka mendorong kemandirian pelaku usaha dalam memberikan jaminan keamanan Obat dan Makanan serta mendorong peningkatan kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan,

2. Penguatan kapasitas Direktorat Standardisasi PT dan PKRT melalui restrukturisasi kelembagaan BPOM, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya.

Untuk memperkuat peran dan kewenangan tersebut secara efektif, Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM perlu terus melakukan perbaikan dan penataan orgaagnisasi gembangan secara kelembagaan serta penguatan regulasi, khususnya peraturan perundang-undangan yang menyangkut peran dan tugas pokok dan fungsinya. Di samping itu, kondisi lingkungan strategis dengan dinamika perubahan yang sangat cepat, menuntut Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM dapat melakukan evaluasi dan mampu beradaptasi dalam pelaksanaan peran-perannya secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan zzaman. Dengan etos tersebut, diharapkan Direktorat Standardisasi PT dan PKRT mampu menjadi katalisator dalam proses pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional.

I.2. POTENSI DAN PERMASALAHAN

Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, baik nasional maupun global, permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin kompleks. Arus besar globalisasi membawa keleluasaan informasi, fleksibilitas distribusi barang dan jasa yang berdampak pada munculnya isu-isu yang berdimensi lintas bidang. Percepatan arus informasi dan modal juga berdampak pada meningkatnya pemanfaatan berbagai sumber daya alam yang memunculkan isu perubahan iklim (climate change), ketegangan lintas-batas antarnegara, serta percepatan penyebaran wabah penyakit, mencerminkan rumitnya tantangan yang harus dihadapi oleh Direktorat Standardisasi PT dan PKRTBPOM. Hal ini menuntut peningkatan peran dan kapasitas instansi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM dalam mengawasi peredaran produk Obat dan Makanan. Konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan serta kemampuan mengoptimalkan partisipasi masyarakat, akan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.

Secara garis besar, lingkungan strategis yang bersifat eksternal yang dihadapi oleh Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM terdiri atas 2 (dua) isu mendasar, yaitu kesehatan dan globalisasi. Isu kesehatan yang akan diulas disini adalah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sedangkan terkait globalisasi, akan diulas tentang perdagangan bebas, komitmen internasional, post

MDGs 2015, perubahan iklim dan demografi. Isu-isu tersebut saling terkait satu dengan yang lain. Adapun lingkungan strategis yang mempengaruhi peran Direktorat

(16)

16

Standardisasi PT dan PKRT BPOM baik internal maupun eskternal adalah sebagai berikut:

1.2.1. Sistem Kesehatan Nasional (SKN)

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) merupakan wujud dan sekaligus metode penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan.

Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai sistem kemasyarakatan. SKN merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan yang dipergunakan sebagai acuan utama dalam mengembangkan perilaku dan lingkungan sehat serta menuntut peran aktif masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan tersebut.

Upaya pelayanan kesehatan masyarakat diselenggarakan oleh semua pihak (pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat) melalui peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan kesehatan. Bentuk pelayanan kesehatan tersebut berupa layanan Rumah Sakit, Puskesmas dan kegiatan peran serta masyarakat melalui Posyandu.

Di sisi lain, menjamurnya sistem dan model serta klinik-klinik kesehatan dan pengobatan alternatif juga makin menambah beban dan daya jangkau BPOM untuk makin melebarkan sayap dan menajamkan matanya dalam melakukan pengawasan yang lebih komprehensif.

Semakin banyak pelayanan kesehatan yang disediakan, maka akan semakin mempengaruhi kebutuhan pelayanan pendukung untukkepada kesehatan masyarakat tersebut, yang antara lain tentunya adalah kebutuhan akan obat semakin meningkat. Penjaminan mutu obat merupakan bagian yang tidak terpisahkan juga dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Hal ini merupakan tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM dalam penyediaan standar mutu obat sesuai standar internasional sehingga dapat berdaya saing di tingkat nasional dan internasional. .obat-obatan yang aman dan bermutu.

Penjaminan mutu obat tidak terlepas dari kualitas obat tersebut. Beberapa permasalahan lainnya yang juga memerlukan perhatian dalam penjaminan mutu obat adalah semakin meluasnya penggunaan jamu dan obat-obat tradisional, serta pengobatan secara tradisional di masyarakat yang memerlukan peningkatan penelitian ilmiah lebih lanjut.

Di samping itu juga munculnya bibit penyakit baru atau bibit penyakit yang dulu pernah ada dan sudah langka kasusnya sekarang, namun kini berjangkit kembali. Penyakit ini, baik menular maupun yang tidak menular sebagai akibat dari adanya perubahan iklim secara global, fluktuasi ekonomi, model perdagangan bebas dan kemajuan teknologi maupun transisi dari demografi, juga turut mengubah pola dan gaya hidup dari masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi oObat. dan Makanan.

Untuk itu, permasalahan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM untuk dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam mengkonsumsi obat yang beredar di pasaran. Dalam menciptakan rasa aman bagi masyarakat, Direktorat Standardisasi PT dan PKRT turut serta mendukung program global memberantas penyakit menular BPOM selama ini myaitu melakukan penyusunan/pemutakhiran standar sehingga kontrol dalam bentuk penilaian sebelum dapat menjadi acuan pada pengawasan pre dan post market produk obat yanag beredar di pasar yang dan pengawasan secara ketat terhadap produk yang sudah beredar luas di masyarakat. Selain itu, BPOM juga dapat memberikan informasi dan edukasi pada masyarakat mengenai produk obat yang aman , bermutuberkhasiat, dan bermutukhasiat.

(17)

17 1.2.2. Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang minimal layak menuju terwujudnya kesejahteraan sosial yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sistem ini merupakan program negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui pendekatan sistem. Sistem ini diharapkan dapat menanggulangi risiko ekonomi karena sakit, PHK, pensiun usia lanjut dan risiko lainnya dan merupakan cara (means), sekaligus tujuan (ends) dalam mewujudkan kesejahteraan. Untuk itu, dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional juga diberlakukan penjaminan mutu obat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan juga dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

1.2.3. Agenda Sustainable Development Goals (SDGs)

Dengan akan berakhirnya agenda Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, banyak negara mengakui keberhasilan dari MDGs sebagai pendorong tindakan-tindakan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pembangunan masyarakat. Khususnya dalam bentuk dukungan politik. Kelanjutan program ini disebut

Sustainable Development Goals (SDGs), yang meliputi 17 goals. Dalam bidang kesehatan, faktanya individu yang sehat akan memiliki kemampuan fisik dan daya pikir yang lebih kuat, sehingga dapat berkontribusi secara produktif dalam pembangunan masyarakatnya.

Terkait Goal 3.Ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages, salah satu kondisi yang harus tercipta adalah pencapaian JKN, termasuk di dalamnya akses masyarakat terhadap obat dan vaksin yang aman, efektif, dan bermutu. Kontribusi untuk mencapai kondisi ini adalah ketersediaan obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu di sarana pelayanan kesehatan. Direktorat Standardisasi PT dan PKRT berperan dalam mengawal mutu obat JKN. Tantangan bagi BPOM ke depan adalah intensifikasi pengawasan pre-market dan post-market, serta pembinaan pelaku usaha agar secara mandiri menjamin mutu produknya.

Implementasi SJSN dapat membawa dampak secara langsung dan tidak langsung terhadap pengawasan Obat dan Makanan. Dampak langsung adalah meningkatnya jumlah permohonan pendaftaran produk obat, baik dari dalam maupun luar negeri karena perusahaan/industri obat akan berusaha menjadi supplier obat untuk program pemerintah tersebut. Selain peningkatan jumlah obat yang akan diregistrasi, jenis obat pun akan sangat bervariasi. Hal ini, disebabkan adanya peningkatan demand terhadap obat sebagai salah satu produk yang dibutuhkan. Sementara dampak tidak langsungnya diasumsikan adalah terjadinya peningkatan konsumsi obat, baik jumlah maupun jenisnya. Selain itu diperkirakan permintaan sertifikasi dan resertifikasi CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) juga akan mengalami peningkatan secara signifikan. Dampak tersebut akan menuntut peran BPOM semakin besar, salah satunya adalah intensifikasi pengawasan obat pasca beredar.

Dengan penerapan SJSN, maka akan banyak industri farmasi yang harus melakukan resertifikasi CPOB yang berlaku 5 (lima) tahun. Sampai dengan tahun 2014, industri farmasi yang melakukan sertifikasi CPOB baru sekitar 207 sarana. Selain itu, dengan meningkatnya variasi obat sebagai implikasi penerapan SJSN, BPOM juga dituntut harus lebih intensif dalam melaksanakan farmakovigilan, utamanya Monitoring Efek Samping Obat (MESO). 1.2.4. Globalisasi, Perdagangan Bebas dan Komitmen Internasional

Globalisasi merupakan suatu perubahan interaksi manusia secara luas, yang mencakup ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi dan lingkungan. Proses ini dipicu dan dipercepat dengan berkembangnya teknologi, informasi dan transportasi yang sangat cepat dan masif akhir-akhir ini dan berkonsekuensi pada fungsi suatu negara dalam sistem pengelolaannya. Era globalisasi dapat menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan kesehatan, khususnya dalam rangka mengurangi

(18)

18

dampak yang merugikan, sehingga mengharuskan adanya suatu antisipasi dengan kebijakan yang responsif.

Dampak dari pengaruh lingkungan eksternal khususnya globalisasi tersebut telah mengakibatkan Indonesia masuk dalam perjanjian-perjanjian internasional, bidang khususnya ekonomi yang menghendaki adanya area perdagangan bebas (Free Trade Area). Ini dimulai dari perjanjian ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand), Free Trade Area, ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP), ASEAN-Korea Free Trade Agreement (AKFTA), ASEAN-India Free Trade Agreement (AIFTA)dan

ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Dalam hal ini, memungkinkan negara-negara tersebut membentuk suatu kawasan bebas perdagangan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional dan berpeluang besar menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional. Hal ini membuka peluang peningkatan nilai ekonomi sektor barang dan jasa serta memungkinkan sejumlah produk Obat dan Makanan Indonesia akan lebih mudah memasuki pasaran domestik negara-negara yang tergabung dalam perjanjian pasar regional tersebut. Dalam menghadapi FTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir tahun 2015, diharapkan industri farmasi, obat tradisional, kosmetika, suplemen kesehatan dan makanan dalam negeri mampu untuk menjaga daya saing terhadap produk luar negeri.

Dalam kaitan dengan globalisasi dan perjanjian-perjanjian internasional khususnya di sektor ekonomi tersebut, harusnya yang menjadi dasar pijakan dan harus ditekankan dari awal adalah soal kedaulatan bangsa, negara dan rakyat kita dalam menghadapi persaingan dengan perusahaan-perusahaan trans-nasional dan negara-negara lain tersebut. HalDan ini sangat sejalan dengan 9 (sembilan) agenda prioritas pembangunan (Nawa Cita), khususnya pada butir 1: Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara (dengan memperkuat peran dalam kerjasama global dan regional), juga pada butir 6: Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, serta pada butir 7: Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Dengan masuknya produk perdagangan bebas tersebut yang diantaranya lain adalah obat, kosmetik, suplemen kesehatan, dan makanan, termasuk jamu dari negara lain, merupakan persoalan krusial yang perlu segera diantisipasi. Realitas menunjukkan bahwa saat ini Indonesia telah menjadi pasar bagi produk Obat dan Makanan dariobat dari luar negeri yang belum tentu terjamin keamanan dan mutunya untuk dikonsumsi. Untuk itu, masyarakat membutuhkan proteksi yang kuat dan rasa aman dalam mengkonsumsi oObat dan Makanan tersebut.

Perdagangan bebas juga membawa dampak tidak hanya terkait isu-isu ekonomi saja, namun juga merambah pada isu-isu kesehatan. Terkait isu kesehatan, masalah yang akan muncul adalah menurunnya derajat kesehatan yang dipicu oleh perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat tanpa diimbangi dengan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan. Permasalahan ini akan semakin kompleks dengan sulitnya pemerintah dalam membuka akses kesehatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat, khususnya untuk masyarakat yang berada di pelosok desa dan perbatasan. Sebagai contoh, saat ini akses masyarakat untuk mendapatkan obat legal dari apotek masih terbatas sehingga menyebabkan harga obat menjadi lebih mahal. Secara nasional, jumlah apotek yang ada masih kurang, belum semua kecamatan terjangkau dengan layanan apotek.

Perdagangan bebas membuat kepekaan “berbisnis” menjadi sangat tinggi. Kebutuhan obat yang tinggi dengan ketersediaan yang rendah ditambah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum membuat masih ditemukan obat-obat yang tidak memenuhi ijin edar dan mengandung bahan baku yang berbahaya. Hal ini jelas akan

(19)

19

sangat merugikan masyarakat. Berdasarkan data WHO (World Health Organization), praktik pemalsuan produk obat di dunia rata-rata mencapai 10%, dan mencapai 20-40% untuk negara berkembang termasuk Indonesia. Tentunya hal ini menjadi tantangan yang sangat serius bagi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab terkait dalam penyediaan standar obat. dengan pengawasan atas produk Obat dan Makanan yang beredar di masyarakat.

Menurut data BPOM tahun 2014, jumlah perusahaan farmasi di Indonesia mencapai 207 perusahaan, sebanyak 39 di antaranya merupakan perusahaan multinasional. Rata-rata penjualan obat di tingkat nasional selalu tumbuh 12-13% setiap tahun dan lebih dari 70% total pasar obat di Indonesia merupakan perusahaan nasional. Namun, ketergantungan impor bahan baku obat masih sangat tinggi, bahkan 95-96% diimpor dari China, India dan Eropa.

Produksi domestik untuk bahan baku obat juga masih sangat kecil. Meskipun Indonesia mampu memproduksinya, sampai saat ini kebanyakan masih belum dapat bersaing dengan produk impor. Jumlah industri farmasi nasional cukup besar dengan kapasitas produksi sebesar 3% dari kapasitas total dunia. Namun, disisi lain, pasar farmasi Indonesia relatif kecil yaitu sekitar 0,2% dari total pasar dunia (Kardono, 2004). Apabila terjadi kenaikan drastis harga obat yang berakibat menurunnya daya beli masyarakat, hal ini akan membuat masyarakat lebih sulit untuk mendapatkan obat, yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Selain produsen farmasi, Indonesia juga memiliki pasar pengobatan tradisional yang cukup besar. Saat ini terdapat sekitar 900 industri skala kecil dan 130 industri skala menengah obat tradisional, namun baru 69 yang memiliki sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik. Padahal Indonesia memiliki sekitar 9.600 tumbuhan yang memiliki potensi untuk dijadikan bahan obat. Setidaknya terdapat sekitar 300 jenis tumbuhan yang telah digunakan sebagai bahan dasar industri obat. Dengan melihat besarnya potensi dan permasalahan yang dihadapi Indonesia, maka pemerintah harus selalu mendukung dan melindungi industri farmasi di Indonesia. Dengan adanya Free Trade Area (FTA), maka pemerintah harus mengembangkan kesiapan industri farmasi untuk dapat mendukung pemerataan, keterjangkauan dan ketersediaan obat yang bermutu, aman dan berkhasiat sehingga mampu bersaing dengan produk obat dari luar negeri.

1.2.5. Perubahan Iklim

Ancaman perubahan iklim dunia, akan semakin dirasakan oleh sektor pertanian khususnya produk bahan pangan di Indonesia. Perubahan iklim dapat mengakibatkan berkurangnya ketersediaan pangan yang berkualitas, sehat, bermanfaat, dengan harga yang kompetitif. Dari sisi ekonomi makro, industri makanan dan minuman di masa yang akan datang perannya akan semakin penting sebagai pemasok pangan dunia.

MMenurut Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) tahun 2013, yang melaksanakan kajian dan pemetaan model kerentanan penyakit infeksi akibat perubahan iklim, Indonesia merupakan wilayah endemik untuk beberapa penyakit yang perkembangannya terkait dengan pertumbuhan vektor pada lingkungan, misalnya demam berdarah daengue dan m Malaria. Jadi di Indonesia ada, terdapat tiga penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus terkait perubahan iklim dan perkembangan vector yaitu Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Diare. Selain dari ketiga jenis penyakit tersebut, masih ada lagi penyakit yang banyak ditemukan akibat adanya perubahan iklim seperti, Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) dan penyakit batu ginjal.

Dengan adanya potensi permasalahan serta peluang dari proses perubahan iklim, diperlukan peranan dari BPOM BPOM dalam mengawasi peredaran varian

(20)

20 produk obat yang baru dari jenis penyakit tersebut, baik yang diproduksi di dalam negeri, maupun yang berasal dari luar negeri. Selain dari obat, varian obat baru ini juga diikuti pula dengan jenis obat herbal tradisional Indonesia dan Cina yang paling banyak beredar di pasar. Kondisi ini menuntut kerja keras dari BPOM melakukan pengawasan terhadap perkembangan produksi dan peredaran obat tersebut saehingga. Jadi peran dan fungsi dari Direktorat Standardisasi PT dan PKRT akan semakin berat dan sangat dibutuhkan dalam upaya pemutakhiran - standar obat mengikuti perkembangan teknologi dan standar internasional yang berkembang sangat pesat.

Semakin besarnya kontribusi industri pengolahan, dengan sub-sektor makanan, minuman dan tembakau serta sub-sektor pupuk, kimia dan barang dari karet terhadap output nasional, maka akan semakin besar juga tugas dari BPOM untuk mengawasi dan menjamin keamanan proses produksi produk makanan dari hulu hingga hilir. Selain produk makanan yang termasuk didalamnya, terdapat industri obat-obatan, yakni obat kimia, maupun suplemen yang berbahan baku dari herbal. Ekonom Faisal Basri dalam Kompasiana, Nopember 2010, menyatakan bahwa industri makanan dan minuman berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini terlihat dari hasil ekspor-impor produk makanan dan minuman serta peringkat pertumbuhan industri. Namun hasil peningkatan ini masih perlu didukung dengan peran teknologi (inovasi produk, kemasan dan lainnya), infrastruktur (logistik kebutuhan industri), institusi (peraturan yang terkait industri makanan dan minuman), health and primary education (sumber daya manusia Indonesia). Jadi peran dan fungsi dari BPOM akan semakin berat dan sangat dibutuhkan dalam upaya mencegah obat dan makanan mengandung bahan berbahaya bagi tubuh.

Selain dari sisi pangan, perubahan iklim juga dapat mengakibatkan munculnya bibit penyakit baru hasil mutasi gen dari beragam virus. Bibit penyakit baru tersebut diantaranya virus influenza yang variannya sekarang menjadi cukup banyak dan mudah tersebar dari satu negara ke negara lain.

Menurut Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI) tahun 2013, yang melaksanakan kajian dan pemetaan model kerentanan penyakit infeksi akibat perubahan iklim, Indonesia merupakan wilayah endemik untuk beberapa penyakit yang perkembangannya terkait dengan pertumbuhan vektor pada lingkungan, misalnya Demam Berdarah Dengue dan Malaria. Jadi di Indonesia, terdapat tiga penyakit yang perlu mendapat perhatian khusus terkait perubahan iklim dan perkembangan vector yaitu Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Diare. Selain dari ketiga jenis penyakit tersebut, masih ada lagi penyakit yang banyak ditemukan akibat adanya perubahan iklim seperti, Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) dan penyakit batu ginjal.

Dengan adanya potensi permasalahan serta peluang dari proses perubahan iklim, diperlukan peranan dari BPOM dalam mengawasi peredaran varian produk obat yang baru dari jenis penyakit tersebut, baik yang diproduksi di dalam negeri, maupun yang berasal dari luar negeri. Selain dari obat, varian obat baru ini juga diikuti pula dengan jenis obat herbal tradisional Indonesia dan Cina yang paling banyak beredar di pasar. Kondisi ini menuntut kerja keras dari BPOM melakukan pengawasan terhadap perkembangan produksi dan peredaran obat tersebut.

1.2.6. Perubahan Ekonomi dan Sosial Masyarakat

Kemajuan dari ekonomi Indonesia dapat dilihat dari indikator makro-ekonomi, yakni pendapatan perkapita sebesar USD 3000 tahun 2010 dan diproyeksikan pada tahun 2025 mencapai USD 14.250–15.500 (Bappenas; 2012) dan telah menjadi 10 (sepuluh) besar negara yang mendominasi kekuatan ekonomi dunia. Indikator ini menunjukan besarnya daya beli yang ada pada masyarakat Indonesia. Secara teori dan fakta, bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin besar pula konsumsi masyarakat terhadap oObat dan Makanan yang memiliki standar dan kualitas.

(21)

21

Berdasarkan data konsumsi obat yang dilakukan masyarakat Indonesia pada Gambar 4.12, sebagian besar penduduk masih banyak yang mengkonsumsi obat modern dibandingkan dengan obat tradisional. Konsumsi obat modern pada tahun 2012 mencapai 91,40%, sedangkan obat tradisional hanya sebanyak 24,33%. Beberapa penyakit degeneratif, yakni penyakit yang dimiliki para kaum lanjut usia justru banyak menggunakan obat-obatan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama.

Gambar 1.2.5

Persentase pPenduduk yang mMengkonsumsi oObat mModern dan tTradisional

Sumber: Susenas BPS 2009-2012

Untuk itu, dengan banyaknya konsumsi obat modern yang dilakukan masyarakat, maka perlu mendapatkan perhatian dan pengawasan yang serius dari BPOM. 1.2.7. Demografi dan Perubahan Komposisi Penduduk

Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurut sensus penduduk tahun 2010, dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir sebesar 32,5 juta jiwa (sebesar 1,49% pertahun). Dengan laju pertumbuhan sebesar itu, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 akan mencapai 450 juta jiwa. Dari gambar 5.13 di bawah ini,dapat dilihat bahwa jumlah populasi terbesar berada pada kelompok umur remaja 15-19 tahun, namun menunjukan trendtren penurunan. Sementara usia produktif antara 30-54 tahun justru menunjukkan trendtren meningkat dari waktu ke waktu. Sedangkan usia 55-64 tahun dan usia di atas 65 tahun menunjukan trendtren yang meningkat tetapi dengan jumlah yang berbeda. Semakin meningkat usia harapan hidup, artinya tingkat kesehatan masyarakat juga semakin meningkat.

Gambar 1.3 1.3.6

Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 2009-2013 91,63% 90,76% 90,96% 91,40% 22,24% 27,57% 23,63% 24,33% 0,00% 30,00% 60,00% 90,00% 2009 2010 2011 2012 Obat Modern Obat Tradisional

(22)

22

Sumber: BPS Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 2000-2013

Indonesia sebagai negara ke-4 dengan populasi lanjut usia tertinggi, yakni 9,079 juta tahun 2010 dan akan naik pada tahun 2020 menjadi 29,047 juta (BPS Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2010). Maka perubahan pola beban penyakit untuk kaum lansia dengan beban yang lebih kronik dan membutuhkan layanan kesehatan pada jangka panjang yang lebih berkualitas. Secara umum, bahwa transisi demografi juga akan menimbulkan efek pada transisi kesehatan di masyarakat, sehingga terjadi peningkatan dalam penggunaan layanan kesehatan baik secara personal, korporat maupun masyarakat luas. Efek ini akan dapat mempengaruhi besarnya beban fasilitas kesehatan dan sistem jaminan kesehatan masyarakat Indonesia, dan sekaligus akan menambah beban kerja dari BPOM sebagai pengawas di bidang Obat dan Makanan.

Konsumsi obat baik farmasi maupun herbal serta bahan makanan akan cukup besar pada kelompok usia produktif, karena pola hidup dan orientasi konsumsi yangjuga akan mengarah pada kesehatan pada jangka panjang dan juga penampilan, sehingga vitamin dan suplemen kesehatan menjadi komponen obat yang cukup besar konsumsinya. Hal ini menjadi tambahan tugas bagi Badan POM untuk melakukan penilaian dan pengawasan terhadap berbagai jenis obat dan suplemen makanan yang semakin bervariasi dan meningkat jumlahnya.

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, maka permintaan terhadap produk Obat dan Makanan juga akan semakin meningkat. Jika permintaan terhadap produk Obat dan Makanan semakin meningkat maka penawaran dari produk Obat dan Makanan juga akan meningkat. Adanya potensi pasar membuat para produsen baik lokal maupun internasional memproduksi Obat dan Makanan. Bertambahnya jumlah produsen ini tentunya menuntut semakin besarnya peran BPOM dalam proses penilaian dan pengawasannya. Kurangnya pemenuhan GMP (Good Manufacturing Practice) oleh produsen dalam memproduksi Obat dan Makanan menjadi tantangan BPOM dalam melakukan pengawasan.

Peningkatan jumlah penduduk jika ditata dengan baik akan menjadi potensi berupa sumber daya manusia bagi pembangunan ekonomi (yaitu dengan adanya bonus demografi). Kondisi ini menjadi tantangan dan peluang bagi pemerintah untuk dapat memanfaatkan fase Bonus Demografi di Indonesia untuk menciptakan aktivitas ekonomi yang sangat besar dan mampu memberikan kontribusi yang besar juga dalam APBN.

Berdasarkan peta demografi, penduduk Indonesia dalam usia produktif telah mencapai 80%. Penduduk ini telah memiliki daya beli lebih tinggi ditambah dengan kenaikan jumlah penduduk kelas menengah (middle class) yang terjadi pada tahun 2040. Laporan Mc Kinsey (2012) menunjukkan bahwa kelompok middle class atau

consuming class Indonesia naik dari waktu ke waktu, yakni tahun 2010 hanya 45 juta orang, maka proyeksi tahun 2020 naik menjadi 85 juta orang dan pada tahun 2030

0 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 ju mlah p e n d u d u k (dala m 0 00 ) Kelompok Umur 2009 2010 2011 2012 2013

(23)

23

akansudah mencapai 135 juta orang. Kelompok ini akan banyak mempengaruhi pola konsumsi Obat dan Makananobat serta gaya hidup masyarakat Indonesia.

Syarat agar Bonus Demografi dapat dimanfaatkan dengan baik adalah dengan mempersiapkannya dari mulai perencanaan sampai dengan implementasinya di tingkat lapangan. Persiapan ini antara lain melalui: a) Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat termasuk jaminan mutu Obat; b) Peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan; c) Pengendalian jumlah penduduk; d) Kebijakan ekonomi yang mendukung fleksibilitas tenaga kerja dan pasar, serta keterbukaan perdagangan dan tabungan nasional.

Di samping menyiapkan pemanfaatan Bonus Demografi, juga sudah harus mulai dipikirkan permasalahan-permasalahan yang timbul pasca berakhirnya masa Bonus Demografi, dimana jumlah lansia meningkat.

1.2.8. Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Desentralisasi bidang kesehatan dan komitmen pemerintah belum dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Kerjasama lintas sektor dan dukungan peraturan perundangan merupakan tantangan yang sangat penting dalam mensinergikan kebijakan kesehatan khususnya dalam pengawasan obat dan makanan. Desentralisasi di bidang kesehatan belum dapat berjalan sesuai yang diharapkan sehingga belum secara optimal memberikan perlindungan bagi masyarakat.

Dengan perubahan paradigma sistem penyelenggaraan pemerintah yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi atau otonomi daerah, maka urusan kesehatan menjadi salah satu kewenangan yang diselenggarakan secara konkuren antara pusat dan daerah. Desentralisasi di bidang kesehatan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu kerjasama lintas sektor dan dukungan peraturan perundang-undangan merupakan tantangan yang sangat penting. Hal ini berdampak pada pengawasan obat dan makanan yang tetap bersifat sentralistik dan tidak mengenal batas wilayah (borderless) sehingga perlu adanya one line command (satu komando), apabila terdapat suatu produk oObat dan Makanan yang tidak memenuhi syarat maka dapat segera ditindaklanjuti.

Desentralisasi dapat menimbulkan beberapa permasalahan di bidang pengawasan oObat dan Makanan di antaranya kurangnya dukungan dan kerjasama dari pemangku kepentingan di daerah sehingga tindaklanjut hasil pengawasan oObat dan Makanan belum optimal.

Untuk itu, agar tugas pokok dan fungsi BPOM berjalan dengan baik, diperlukan komitmen yang tinggi, dukungan dan kerjasama yang baik dari para pelaku untuk menghasilkan tata penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang baik (sound governance). Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan menggalang kemitraan yang dinamis dan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, antara pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing. Dengan berlakunya Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, merupakan tantangan bagi Direktorat Standardisasi PT dan PKRT BPOM untuk menyiapkan Norma, Standar, Pedoman dan Kriteria bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kegiatan terkait oObat dan Makanan yang dilimpahkan ke daerah.

1.2.9. 1.2.98. Perkembangan Teknologi

Pasar sediaan farmasi masih didominasi oleh produksi domestik, namun penyediaan bahan baku obat yang diperoleh dari impor mencapai 96% dari kebutuhan. Padahal Indonesia memiliki 9.600 jenis tanaman berpotensi mempunyai efek pengobatan, dan baru 300 jenis tanaman yang telah digunakan sebagai bahan baku. Dengan kemajuan teknologi dan besarnya kebutuhan produk obat, BPOM dapat mendorong industri farmasi untuk mengoptimalkan penggunaan bahan baku obat dalam negeri.

(24)

24

Selain teknologi produksi juga didukung dengan teknologi transportasi. Perkembangan industri transportasi baik darat, laut dan udara maupun jasa pengiriman barang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sehingga distribusi oObat dan Makanan secara masal dapat dilakukan lebih efisien. Untuk itu, dampak pengawasan atas peredaran oObat dan Makanan semakin tinggi, dikarenakan distribusi oObat dan Makanan ke tempat tujuan di seluruh wilayah Indonesia semakin cepat, sehingga antipasi pengawasan obat dan makanan juga harus sama cepatnya.

Selain Disamping itu, teknologi pangan juga semakin berkembang. Dan dengan aAdanya perubahan iklim juga ikut mendorong berbagai inovasi dari perkembangan teknologi IPTEKtersebut, yang menjadikanmenciptakan varian bahan makanan yang sama dapat diproduksi secara berbeda, misalnya melalui rekayasa genetika dan varian makanan yang terkadang tingkat keamanannya belum teruji. Hal ini harus menjadi perhatian dan antisipasi BPOM dalam menghadapi hal tersebut.

PerkembanganUntuk itu, dengan meningkatnya perkembangan teknologi informasi juga dapat menjadi potensi bagi Badan POM untuk dapat melakukan pelayanan secara online, yang dapat memudahkan akses dan jangkauan masyarakat yang ada di Indonesia. Namun diDi sisi lain, teknologi informasi juga dapat menjadi tantangan bagi Badan POM terkait trenakan banyaknya pemasaran dan transaksi produk Makanan dan oObat secara online, yang tentu saja juga perlu mendapatkan pengawasan dengan berbasis pada teknologi.

1.2.10. Jejaring kerja

Direktorat standardisasi PT dan PKRT menyadari dalam pengawasan obat tidak dapat menjadi single player. Untuk itu Direktorat standardisasi PT dan PKRT mengembangkan kerjasama dengan lembaga-lembaga, baik di pusat, daerah, maupun internasional. Jaringan yang luas ini sangat strategis posisinya dalam mendukung tugas-tugas Direktorat standardisasi PT dan PKRT maupun pemangku kepentingan. Beberapa jejaring kerja yang sudah dimiliki kedeputian I di tingkat regional maupun internasional BPOM memiliki jejaring kerja dengan World Health Organization (WHO), Forum Kerjasama Asia Pasifik dalam harmonisasi regulasi bidang obat (RHSC), Pharmaceutical Inspection Convention and Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S).

1.2.11. Komitmen dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi

Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, Direktorat standardisasi PT dan PKRT sebagai salah satu satuan kerja di lingkungan BPOM, melaksanakan reformasi birokrasi (RB) sesuai PP Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design RB 2010-2025. Upaya atau proses RB yang dilakukan Direktorat standardisasi PT dan PKRT berkontribusi dalam pencapaian sasaran sebagai hasil yang diharapkan dari pelaksanaan RB di BPOM. Pola pikir pelaksanaan RB sebagaimana Gambar 1.10 di bawah ini:

Gambar

Gambar 1.1  STRUKTUR ORGANISASI
Gambar 1.2 Kebutuhan SDM Direktorat Standardisasi PT dan PKRT Tahun 2015- 2015-2019 Berdasarkan Analisa Beban Kerja
Tabel 1. 1. 2 .  Capaian Kinerja Direktorat Standardisasi PT dan PKRTBPOM  pP eriode  2010-2014
Gambar 1.3 Rasio pencapaian kinerja BPOM periode 2010-2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi dan pengenalan penyakit HIV/AIDS pada remaja di lingkungan Bina Keluarga Remaja dan Posyandu Aster Tangerang dirasakan bisa

Melakukan suatu perbaikan atau menetapkan kebijakan tentang aturan-aturan kerja yang diarahkan pada peningkatan kinerja pegawai, dengan cara memperhatikan pengaruh dari

Setelah pengolahan data melalui program komputer Eviews 5.1, maka diperoleh hasil yaitu bahwa variabel tingkat inflasi, PMDN tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pemahaman konsep IPA yang menggunakan metode kooperatif tipe NHT dengan pemahaman konsep IPA yang tidak menggunakan metode

Pada gambar tersebut terlihat bahwa konsentrasi BOT dari awal hingga minggu keempat mengalami peningkatan dan selanjutnya cenderung stabil hingga minggu ke-12

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur antara udang windu (Penaeus monodon), rumput laut

Dari intensitas komunikasi yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan tersebutlah terbentuk kohesivitas kelompok, yang mengikat setiap anggota untuk tetap bertahan

Setelah melakukan penelitian terhadap identifikasi permasalan sosial dan penanganannya pada anak usia dini kelompok A ditiga TK di desa Torjun kabupaten Sampang,