• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG

NOMOR 3 TAHUN 2012

TENTANG

PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA SERANG,

Menimbang : a. bahwa pembangunan dan berbagai kegiatan manusia yang makin meningkat mengandung resiko terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, rusaknya sumber daya alam dan ruang terbuka hijau yang dapat mengakibatkan menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

b. bahwa perkembangan dan pertumbuhan Kota atau perkotaan disertai dengan alih fungsi lahan yang pesat dapat menimbulkan kerusakan lahan, menurunkan daya dukung dan daya tampung lahan dalam menopang kehidupan masyarakat dikawasan perkotaan sehingga perlu dilakukan upaya untuk pengendalian;

c. bahwa dalam rangka mengelola kegiatan pembangunan di Kota Serang dengan kondisi sumber daya alam yang terbatas, serta untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup perlu dilakukan pengendalian lingkungan hidup secara komprehensif, taat asas, terpadu, dan berwawasan ke depan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

(2)

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4377);

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4748);

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

8 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3910);

(3)

10. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaiaan Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3982);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 267, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4068);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3409);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5230);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);

18. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Kota Serang (Lembaran Daerah Kota Serang Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Serang Nomor 7);

(4)

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA SERANG dan

WALIKOTA SERANG MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I

Ketentuan Umum Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kota Serang.

2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

3. Walikota adalah Walikota Serang.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Serang.

5. Badan Lingkungan Hidup Daerah yang selanjutnya disingkat BLHD, adalah Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Serang.

6. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

7. Pengendalian pencemaran adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran serta pemulihan mutu lingkungan hidup agar sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup.

8. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

9. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.

10. Daya Dukung Lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain.

11. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

12. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

(5)

13. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.

14. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang.

15. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. 16. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

19. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat AMDAL, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 20. Kerangka Acuan adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai

dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan. 21. Analisis Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat

ANDAL adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. 22. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat

RKL, adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.

23. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat RPL, adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha dan /atau kegiatan.

24. Upaya Pengelolaan Lingkungan, yang selanjutnya disingkat UKL, adalah dokumen yang mengandung upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.

(6)

25. Upaya Pemantauan Lingkungan, yang selanjutnya disingkat UPL, adalah dokumen yang mengandung upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan.

26. Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan, yang selanjutnya disingkat SPPL adalah, surat yang dibuat dan ditandatangani oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang berisi pernyataan kesanggupan untuk memenuhi segala ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan.

27. Air limbah, yang dapat juga disebut limbah cair, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang tidak dimanfaatkan lagi dalam proses produksi atau barang buangan sebagai sampah dalam bentuk cair.

28. Limbah padat adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang tidak dimanfaatkan lagi dalam proses produksi atau barang buangan sebagai sampah, sisa pengapalan (shipping) bahan baku dan bahan penolong atau jenis limbah padat lainnya yang bernilai ekonomis tidak berbahaya atau residu yang tidak diperhitungkan sebagai limbah yang dihasilkan industri tetapi dimungkinkan untuk dipergunakan kembali (re-use) atau didaur ulang (re-cycling).

29. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

30. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi,dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

31. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.

32. Air adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber air, yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil.

33. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, Sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara.

34. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung didalam media lingkungan hidup.

(7)

35. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan media lingkungan hidup, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan media lingkungan hidup tersebut menjadi cemar.

36. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaanya dalam air limbah atau limbah cair yang akan dibuang atau dilepas dari suatu usaha dan /atau kegiatan.

37. Sumur resapan air hujan adalah sarana untuk penampungan air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah.

38. Konservasi air adalah segala upaya untuk pelestarian dan/atau pengawetan sumber daya air, agar air tetap tersedia dalam jumlah yang cukup secara berkesinambungan dan terjaga kualitasnya . Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.

39. Ruang terbuka hijau adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan/atau sarana kota/lingkungan, dan atau pengaman jaringan prasarana, dan/atau budidaya pertanian.

40. Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana, dan atau program.

41. Izin Pembuangan Air Limbah, adalah izin yang diberikan terhadap kegiatan pembuangan air limbah yang sudah diolah terlebih dahulu sehingga sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan.

42. Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai persyaratan untuk memperoleh izin usaha atau kegiatan.

43. Indeks Standar Pencemar Udara yang selanjutnya disingkat ISPU adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambient di lokasi tertentu, yang didasarkan pada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya.

44. Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS, adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah.

(8)

BAB II

ASAS, TUJUAN DAN SASARAN Bagian Kesatu

Asas Pasal 2

Pengendalian dampak lingkungan hidup diselenggarakan berdasarkan asas:

a. kelestarian dan keberlanjutan; b. keserasian dan keseimbangan; c. keterpaduan; d. manfaat; e. kehati-hatian; f. keadilan; g. ekoregion; h. keanekaragaman hayati; i. pencemar membayar; j. partisipatif; k. kearifan lokal;dan

l. tata kelola pemerintahan yang baik dan transparansi. Bagian Kedua

Tujuan Pasal 3

Pengendalian dampak lingkungan hidup bertujuan:

a. melindungi daerah dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. menjamin kelangsungan kehidupan mahluk hidup dan kelestarian ekosistem;

c. meningkatkan kesadaran, tanggung jawab, partisipasi Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam upaya menjaga, mengembangkan, serta melestarikan fungsi lingkungan hidup;

d. mewujudkan pembangunan daerah yang berkelanjutan. Bagian Ketiga

Sasaran Pasal 4

Sasaran Pengendalian dampak lingkungan hidup meliputi:

a. tercapainya keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup;

b. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup dan terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;

(9)

c. terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; d. terjaminnya keseimbangan antara pelaksanaan pembangunan

dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. terciptanya kebijakan Pemerintah Daerah yang berwawasan lingkungan;

f. meningkatnya peran serta masyarakat dalam pengendalian lingkungan hidup; dan

g. meningkatnya kesadaran masyarakat pada hukum lingkungan dalam melaksanakan usaha dan kegiatannya.

BAB III RUANG LINGKUP

Pasal 5

Ruang lingkup pengendalian dampak lingkungan hidup meliputi: a. Perencanaan; b. Pemanfaatan; c. Pengendalian; d. Pemeliharaan;dan e. Pengawasan. BAB IV PERENCANAAN Pasal 6

Perencanaan pengendalian dampak lingkungan hidup daerah dilaksanakan melalui tahapan:

a. inventarisasi lingkungan hidup; b. penetapan wilayah ekoregion;dan

c. penyusunan rencana pengendalian dampak lingkungan hidup. Bagian Kesatu

Inventarisasi lingkungan hidup Pasal 7

(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana pada pasal 6 huruf a dan huruf b mencakup inventarisasi pada wilayah daerah dan/atau wilayah ekoregion.

(2) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana pada ayat (1) dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi:

a.potensi dan ketersediaan; b.jenis yang dimanfaatkan; c. bentuk penguasaan;

d.pengetahuan pengelolaan; e. bentuk kerusakan; dan

f. konflik dan penyebab konflik yang ditimbulkan akibat pengelolaan. Bagian Kedua ...

(10)

Bagian Kedua

Penetapan wilayah ekoregion Pasal 8

(1) Inventarisasi lingkungan hidup pada wilayah daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 merupakan dasar dalam penetapan wilayah ekoregion.

(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:

a.karakteristik bentang alam; b.daerah aliran sungai;

c. iklim;

d.flora dan fauna; e. sosial budaya; f. ekonomi;

g. kelembagaan masyarakat; dan

h.hasil inventarisasi lingkungan hidup.

(3) Inventarisasi lingkungan hidup dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.

Bagian Ketiga Penyusunan RPPLH

Pasal 9

(1) Penyusunan RPPLH dilaksanakan dengan memperhatikan: a.Keragaman karakter dan fungsi ekologis;

b.Sebaran penduduk;

c. Sebaran potensi sumber daya alam; d.Kearifan lokal;

e. Aspirasi masyarakat; dan f. Perubahan iklim.

(2) RPPLH memuat rencana tentang :

a. Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;

b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;

c. Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan

d. Adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

(3) RPPLH yang disusun dijadikan sebagai dasar penyusunan dalam rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah Kota Serang.

(4) RPPLH disusun berdasarkan RPPLH Provinsi dan Inventarisasi tingkat ekoregion.

(11)

BAB V PEMANFAATAN

Pasal 10

(1)Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH daerah.

(2)Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan :

a. Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. Keberlanjutan produktifitas lingkungan hidup; dan

c. Keselamatan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat.

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan peraturan walikota.

BAB VI

PENGENDALIAN Bagian Kesatu

Umum Pasal 11

(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.

(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan,peran dan tanggung jawab masing-masing.

Bagian Kedua Pencegahan

Pasal 12

(1)

Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas :

a. KLHS; b. Tata ruang;

c. Baku mutu lingkungan hidup;

d. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; e. Amdal;

f. UKL-UPL; g. Perizinan;

h. Instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; j. Anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. Analisis resiko lingkungan hidup; l. Audit lingkungan hidup;

m.Instrumen lain sesuai kebutuhan; dan n. perkembangan ilmu pengetahuan.

(12)

(2) ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan walikota.

Bagian Ketiga Penanggulangan

Pasal 13

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan

hidup; dan

c. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.

Bagian Keempat Pemulihan

Pasal 14

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:

a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar; b. remediasi;

c. rehabilitasi; d. restorasi; dan

e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota.

(13)

BAB VII PEMELIHARAAN

Bagian Kesatu Umum Pasal 15

(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya: a. Konservasi sumber daya alam;

b. Pencadangan sumber daya alam; dan c. Pelestarian fungsi atmosfer.

(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan :

a. Perlindungan sumber daya alam; b. Pengawetan sumber daya alam; dan

c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.

(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi;

a. Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. Upaya perlindungan lapisan ozon, dan

c. Upaya perlindungan terhadap hujan asam.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi, pencadangan sumber daya alam dan pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan peraturan walikota.

Bagian Kedua

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal16

(1)Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.

(2)Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.

(3)Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Walikota.

(4)walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yangharus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.

(5)Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan.

Bagian Ketiga DUMPING

Pasal 17

(1) Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

(2) Dumping sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan izin Walikota sesuai dengan kewenangannya.

(14)

(3) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB VIII

SISTEM INFORMASI Pasal 18

(1) Pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.

(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Walikota.

BAB IX

TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH Pasal 19

Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah meliputi: a. menetapkan kebijakan;

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS ;

c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH;

d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;

e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca;

f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;

i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;

j. melaksanakan standar pelayanan minimal;

k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

l. mengelola informasi lingkungan hidup;

m.mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup;

n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; o. menerbitkan izin lingkungan; dan

p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.

q. Melakukan kordinasi dengan instansi yang terkait dalam hal perijinan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(15)

BAB X PERIZINAN

Pasal 20 (1) Walikota menerbitkan perizinan, meliputi :

a. Izin lingkungan;

b.Izin pembuangan limbah; c. Izin dumping; dan

d.Izin pengelolaan limbah B3

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara dan persyaratan perizinan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 21

(1) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) huruf a, wajib dimiliki oleh setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL, dan mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup.

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan wajib Amdal atau rekomendasi UKL-UPL yang dinilai oleh komisi penilai Amdal atau tim teknis UKL-UPL.

(3) Walikota wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan dokumen Amdal atau UKL-UPL.

(4) Walikota wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan dengan cara yang mudah diketahui masyarakat.

(5) Izin lingkungan dapat dibatalkan apabila :

a.Persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;

b.Penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup;

c. Kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan; dan

d.Adanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 22

(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

(2) Sebelum persyaratan yang tercantum dalam izin lingkungan dipenuhi, perusahaan dilarang melaksanakan kegiatan operasional.

(3) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.

(4) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

(16)

Pasal 23

Izin pembuangan limbah ke media lingkungan diterbitkan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pembuangan limbah baik cair, padat, maupun udara, dengan ketentuan :

a. Memiliki izin usaha dan/atau kegiatan;

b. Memiliki sarana dan fasilitas pengelolaan limbah; dan c. Memenuhi baku mutu lingkungan.

Pasal 24

Izin dumping bahan atau limbah ke media lingkungan diterbitkan terhadap usaha dan/atau kegiatan dengan ketentuan:

a. Memiliki izin usaha dan/atau kegiatan;

b. Teridentifikasi jenis dan kualitas bahan atauu limbah yang akan di dumping;

c. Lokasi dumping berada pada koordinat yang telah ditetapkan dan aman; dan

d. Membuat kajian lingkungan terkait tata cara dumping, dampak dan upaya yang harus dilakukan.

Pasal 25 (1) Izin pengelolaan limbah B3 meliputi :

a. Izin penyimpanan sementara limbah B3; dan

b.Izin pengumpulan limbah B3 di luar limbah oli dan pelumas bekas. (2) Izin pengelolaan limbah B3 diterbitkan dengan ketentuan :

a. Memiliki izin usaha dan/atau kegiatan;

b.Teridentifikasi jenis dan kapasitas limbah B3 yang akan disimpan dan/atau dikumpulkan;

c. Memiliki sarana dan fasilitas penyimpanan dan/atau pengumpulan sesuai jenis limbah B3 yang dikelola; dan

d.Hal lain yang dipersyaratkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI

HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN Bagian Kesatu

Hak Pasal 26

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(17)

(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Walikota.

Pasal 27

Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 28

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup Serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Bagian Ketiga Larangan

Pasal 29 (1) Setiap orang dilarang:

a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;

b. memasukkan limbah yang berasal dari luar daerah ke media lingkungan hidup daerah;

c. memasukkan limbah B3 yang berasal dari luar daerah ke media lingkungan hidup daerah;

d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Kota Serang; e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;

f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;

g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;

h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan

j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal daerah.

(18)

BAB XII PENDANAAN

Pasal 30

(1) Pendanaan bagi penyelenggaraan pengelolan lingkungan hidup dibebankan pada APBD untuk kegiatan pemantauan pengawasan, penataan dan konservasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. (2) Pendanaan bagi penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup

dibebankan kepada penangung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk pelaksanaan pencegahan penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup.

BAB XIII PENGAWASAN

Pasal 31

(1) Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawas terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan, walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.

(4) Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 32

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) berwenang:

a.melakukan pemantauan; b.meminta keterangan;

c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan;

d.memasuki tempat tertentu; e. memotret;

f. membuat rekaman audio visual; g. mengambil sampel;

h.memeriksa peralatan;

i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan j. menghentikan pelanggaran tertentu.

(19)

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.

(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.

BAB XIV

SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 33

(1) Setiap orang atau badan yang melanggar Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. teguran tertulis;

b. paksaan pemerintah daerah; c. pembekuan izin lingkungan; dan d. pencabutan izin lingkungan.

(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:

a. pemanggilan;

b. pemberian teguran tertulis pertama;

c. pemberian teguran tertulis kedua disertai pemanggilan; d. pemberian teguran tertulis ketiga; dan

e. pencabutan izin.

Pasal 34

(1) Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.

(2) Walikota dapat menerapkan sanksi administratif terhadap

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap pelanggaran.

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.

(4) Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan

izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah daerah.

Pasal 35

(1) Paksaan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b berupa:

a. penghentian sementara kegiatan produksi; b. pemindahan sarana produksi;

c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; d. pembongkaran;

(20)

e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;

f. penghentian sementara seluruh kegiatan; dan

g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

(2) Pengenaan paksaan pemerintah daerah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau

c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.

Pasal 36

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah daerah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah daerah.

Pasal 37

(1) Walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.

(2) Walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

BAB XV

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN Bagian Kesatu

Umum Pasal 38

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

(21)

Bagian Kedua

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan Pasal 39

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:

a. bentuk dan besarnya ganti rugi;

b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;

c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau

d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam peraturan ini.

(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Pasal 40

(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak. (2) Pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga

penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan

Pasal 41

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

(2) Setiap orang yang melakukan pemindah tanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.

(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.

(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(22)

Bagian Keempat Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 42

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Bagian Kelima

Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan Pasal 43

(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3.

Bagian Keenam

Hak Gugat Pemerintah Daerah Pasal 44

Instansi pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh Hak Gugat Masyarakat

Pasal 45

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(23)

Bagian Kedelapan

Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup Pasal 46

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:

a. berbentuk badan hukum;

b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Bagian Kesembilan Gugatan Administratif

Pasal 47

(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila:

a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;

b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL;dan/atau

c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan. (2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara

mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. BAB XVI

PENYIDIKAN Pasal 48

(1)Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintahan Kota diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(24)

(2)Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau

berkenaan dengan pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang lingkungan hidup agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;

b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana lingkungan hidup;

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana dibidang lingkungan hidup; d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen

lain berkenaan dengan tindak pidana dibidang lingkungan hidup; e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti

pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang lingkungan hidup;

g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas seseorang atau dokumen yang dibawa sebagaimana maksud pada huruf e;

h. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

i. Menghentikan penyidikan;

j. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang hukum.

BAB XVII

KETENTUAN PIDANA Pasal 49

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan kerusakan lingkungan diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.

Pasal 50

Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana sebagaimana dalam pasal 102 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Pasal 51

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipidana dengan pidana sebagaimana dalam pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

(25)

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 52

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Serang.

Ditetapkan di Serang pada tanggal 4 April 2012 WALIKOTA SERANG,

T

Tbb..HHAAEERRUULLJJAAMMAANN Diundangkan di Serang

pada tanggal 9 April 2012 SEKRETARIS DAERAH KOTA SERANG,

SS UU LL HH II

L E M B A R A N D A E R A H K O T A S E R A N G T A H U N 2 0 1 2 N O M O R 3

(26)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 3 TAHUN 2012

TENTANG

PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

I. UMUM

Sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 10 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi “RPPLH diatur dengan Peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota.” Secara tegas ayat tersebut mencantumkan bahwa setiap kabupaten/kota harus memiliki peraturan daerah tentang rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal tersebut menjadi selaras dengan Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tercantum “penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas Perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi.” Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yaitu “Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” Selain itu selaras dengan materi muatan raperda berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang berbunyi “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.” Sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yaitu “Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi pengendalian lingkungan hidup.”

Salah satu leading sektor (terkuat) yang memacu pertumbuhan dan perkembangan perekonomian di Kota Serang, adalah kegiatan industri. Jenis industri yang ada di Kota Serang dapat dikelompokkan dalam : industri rumah tangga (home industri), industri ringan, dan industri bahan bangunan. Industri bahan bangunan merupakan jenis industri terbanyak di Kota Serang. Industri ini berupa industri yang memproduksi bata, tegel dan internit.

(27)

Industri ini akan berpotensi pada perusakan lingkungan khususnya tanah dan air. Industri rumah tangga yang ada di Kota Serang berupa industri pembuatan tempe, kerupuk, roti, dan industri pengolahan kelapa. Industri rumah juga berpotensi pada pencemaran dan pengrusakan lingkungan apabila tidak dikelola dengan benar dan tepat. Selain industri ada juga kegiatan di sektor jasa, yaitu pariwisata dan kesehatan. Kegiatan industri dan jasa tersebut memberikan dampak terhadap lingkungan yang semuanya berada dibawah kewenangan Badan Lingkungan Hidup Kota Serang dan memerlukan penanganan yang serius agar jangan memberikan dampak pencemaran lingkungan di masa yang akan datang, lebih baik mencegah lingkungan jangan sampai tercemar daripada menangani

permasalahan pencemaran lingkungan yang akan mengakibatkan dampak yang buruk terhadap lingkungan seperti banjir, erosi, keracunan udara, kesulitan air bersih dan sebagainya. OLeh karena itu sangat diperlukan peraturan daerah tentang pengendalian dampak lingkungan hidup.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.

(28)

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Huruf

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap masyarakat.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.

Huruf i

Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.

Huruf j

Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Huruf k

Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

Huruf l

Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.

Pasal 3

Cukup jelas

(29)

Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 ……….

(30)

Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup Jelas Huruf b

Yang dimaksud dengan paksaan pemerintah daerah adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk memperbaiki keadaan lingkungan karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam Peraturan ini.

Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Cukup jelas Pasal 49 Cukup jelas Pasal 50 ………

(31)

Pasal 50 Cukup jelas Pasal 51 Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 55

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan dan

Pada penelitian ini difokuskan pada bagaimana menentukan nilai setting yang optimal pada kedalaman akhir potong, laju keausan elektroda, kekasaran permukaan benda kerja dan

dengan tidak adanya dukungan dari sistem infromasi yang baik, PT Mahakam Prima Lintas beberapa kali mengalami kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan dalam estimasi

Fibrosis nampak pada semua kelompok periakuan, namun lebih ringan terjadinya pada kelompok yang menerima antioksidan (larutan teh hijau ataupun asam askorbat). Walaupun larutan

Pada AC Window ini memiliki bentuk yang berbeda dengan bentuk lainnya, yaitu antara indoor dan outdoornya memiliki tempat yang sama (menyatu), sehingga tidak

Banyaknya jumlah sulur rata-rata untuk penderita Diabetes mellitus 123,14 tidak berbeda nyata dengan kelompok normal yang berjumlah 115,38 dengan rata-rata jumlah sulur

Mahir : Langkah-langkah dilakukan benar, sesuai dengan urutannya dan efisien TS Tidak Sesuai : Langkah tidak perlu dikerjakan karena tidak sesuai dengan keadaan. PENUNTUN

“Padatnya kegiatan itu justru memotivasi saya untuk belajar agar meraih prestasi,” kata Rizky yang berhasil menjadi wisudawan terbaik S1 FH UNAIR dengan IPK 3,