• Tidak ada hasil yang ditemukan

9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Perilaku Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Perilaku Konsumen"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.1 Perilaku Konsumen

Dalam dunia bisnis, kita mengenal suatu perilaku masyarakat dalam

pembelian sebuah produk/penggunaan layanan jasa, dimana perilaku masyarakat

tersebut dapat dikatakan sebagai suatu perilaku konsumen. Untuk memahami

perilaku konsumen dalam membeli suatu barang/menggunakan suatu jasa tersebut

dibutuhkan studi tersendiri dikarenakan perilaku konsumen itu sendiri sangatlah

kompleks dan sulit untuk diprediksi.

Banyak yang telah perusahaan lakukan dalam melakukan

pendekatan-pendekatan untuk mengetahui sikap, minat, dan perilaku konsumen itu sendiri

dengan berbagai hal, seperti: Melakukan promosi, Survei langsung kepada

konsumen, pemberian stimulasi kepada para konsumen dan calon konsumen

tentang produk-produk yang perusahaan tersebut jual, dll. Semua itu dilakukan

hanya untuk mengetahui bahwa konsumen bersikap rasional dalam setiap

keputusan pembelian mereka. Adapun definisi perilaku konsumen yaitu, tindakan

langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk

dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini

(Engel dan Blackwell, 1997)

Menurut Sumarwan (2003), perilaku konsumen merupakan semua

kegiatan, tindakan serta proses psikologis yang mendorong tindakan tersebut pada

saat belum membeli ketika membeli, menggunakan, menghabiskan produk dan

(2)

American Marketing Association mendefinisikan perilaku konsumen sebagai interaksi dinamis antar pengaruh dan kognisi, perilaku dan kejadian

disekitar kita dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka.

Dari definisi diatas, maka muncul tiga ide penting, yaitu:

a) Perilaku konsumen adalah dinamis,

b) Interaksi antara pengaruh dan kognisi, dan kejadian disekitar, serta

c) Melibatkan pertukaran.

Perilaku konsumen adalah itndakan-tindakan individu yang secara

langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang dan jasa

termasuk proses pengambilan keputusan yang menentukan tindakan tersebut

(Engel et al, 1997).

A. Teori Perilaku Konsumen

Adapun tiga macam teori-teori perilaku konsumen, yaitu:

a) Teori Psikologis

Perilaku konsumen dipengaruhi oleh dorongan psikologis, ada beberapa

teori yang termasuk dalam golongan ini dan dapat digolongkan menjadi 2 bagian,

Simammora (2002: 4), yaitu:

1. Teori pembelanjaan

Teori ini menyatakan bahwa perilaku seseorang merupakan hasil belajar

dari akumulasi pengalaman dari hidupnya. Seorang konsumen pasti sering belajar

dari pengalamannya, bahkan ketika suatu toko mengecewakan, konsumen akan

(3)

Pilihan konsumen terkadang tidak bisa didasarkan pada hasil belajar dari

pengalamannya sendiri, namun manusia belajar dari pengalaman orang lain.

Selain itu, cara perusahaan agar dapat berbagi dengan para konsumennya adalah

dengan menjaga kepuasan serta memelihara hubungan dengan pelanggan, yang

menunjukan bahwa mereka peduli terhadap kesejahteraan sosial.

2. Teori Motivasi

Terdapat teori yang berkenaan dengan masalah perilaku konsumen dan

kedua-duanya bertolak belakang, yaitu teori Freud dan teori Moslow. Pada

dasarnya teori Freud mengatakan bahwa seseorang tidak bisa memahami motivasi

yang mendorong perilakunya secara pasti. Sebaliknya Moslow menyatakan bahwa

motivasi seseorang dapat dihubungkan dengan kebutuhannya.

b) Teori Sosiologis

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial, dimana seseorang

itu menjadi anggota dari kelompok-kelompok tertentu (perkumpulan antar teman

sekolah, kampus, dsb.) atau perkumpulan olah raga dan bahkan anggota dari suatu

organisasi. Pada dasarnya seseorang akan berusaha mengharmoniskan perilakunya

dengan apa yang dianggap pantas oleh lingkungan sosialnya. Dengan begitu,

seseorang akan membeli suatu produk jika produk tersebut diterima oleh

kelompoknya.

c) Teori Antropologis

Teori ini juga memandang bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh

lingkungan sosialnya, namun pada konteks yang lebih luas termasuk dalam

(4)

B. Model Perilaku Konsumen

Model perilaku konsumen dapat diartikan sebagai skema yang

disederhanakan untuk mengembangkan aktivitas-aktivitas konsumen. Model

perilaku konsumen dapat pula diartikan sebagai kerangka kerja atau sesuatu yang

mewakili apa yang di yakinkan konsumen yang sangat kompleks terutama karena

banyaknya variabel yang mempengaruhi dan kecenderungan untuk saling

berinteraksi.

Howard Sheth mengemukakan tiga model dalam proses pengambilan

keputusan, yaitu:

a. Pemecahan masalah yang luas, yaitu pengambilan keputusan dimana pembeli

belum mengembangkan kriteria pemilihan.

b. Pemecahan masalah yang terbatas, yaitu suatu situasi yang menunjukan bahwa

pembeli telah memakai kriteria pemilihan, tetapi belum memutuskan tempat

belanja yang akan dipilihnya.

c. Pemecahan masalah yang berulang kali, yaitu konsumen telah menggunakan

kriteria pemilihan dan telah menetapkan tempat belanjaannya.

Selain itu, Assael (1992) menyatakan bahwa, terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan pembelian, yaitu konsumen

individu, lingkungan dan penerapan strategi pemasaran.

1. Konsumen individual

Artinya bahwa pilihan untuk membeli barang/jasa dipengaruhi oleh hal-hal

yang ada pada diri konsumen seperti kebutuhan, persepsi, sikap, kondisi

(5)

2. lingkungan

Bahwa pilihan konsumen terhadap barang/jasa dipengaruhi oleh

lingkungan yang mengitarinya. Ketika konsumen membeli barang/jasa mereka

didasari oleh banyak pertimbangan misalnya karena meniru temannya, karena

tetangganya telah membeli lebih dulu, dan sebagainya. Dengan demikian,

interaksi sosial yang dilakukan oleh seseorang akan turut mempengaruhi pilihan

produk yang akan dibeli.

3. Penerapan strategi pemasaran

Faktor ini merupakan stimuli pemasaran yang dikendalikan oleh

pemasar/pelaku bisnis. Dalam hal ini pemasar berusaha mempengaruhi konsumen

dengan menggunakan stimuli pemasaran seperti iklan, dan sejenisnya agar

konsumen bersedia memilih produk yang ditawarkan. Strategi pemasaran yang

lazim dikembangkan oleh pemasar biasanya berhubungan dengan produk yang

ditawarkan, harga jual produknya, serta strategi pemasaran yang dilakukan dan

(6)

Konsumen Individu

Pengaruh Pembuatan

Lingkungan Keputusan Tanggapan

Konsumen Konsumen

Penerapan Strategi Pemasaran

Umpan balik bagi pemasar

Gambar 2.1 Model Perilaku Konsumen menurut Assael

(Sumber: Assael, 1992)

Dengan banyaknya faktor yang perlu diperhatikan perusahaan dalam

melakukan pemasaran, maka hal pertama yang wajib diperhatikan ialah perilaku

para konsumen. Pemasaran itu sendiri berfungsi sebagai pengantar suatu

perusahaan dalam mencapai salah satu tujuan mereka, oleh karenanya perusahaan

harus benar-benar cermat dalam memasarkan produk/jasanya. Teknik-teknik

pemasaran modern seperti riset pemasaran, metode statistik sebagai ramalan

omset penjualan serta aplikasi pengetahuan tentang tingkah laku manusia akan

sangat membantu manajemen dalam memaksimalkan kinerjanya dibidang

pemasaran, sehingga apa yang dibutuhkan perusahaan mengenai kebutuhan para

konsumennya akan terpenuhi. Oleh karena itu, studi tentang perilaku konsumen

akan menentukan terhadap produk yang akan dihasilkan untuk memuaskan

(7)

2.1.2. Shopping Life Style

Shopping lifestyle dapat diartikan juga dengan gaya hidup berbelanja. Banyak dari konsumen yang beranggapan bahwa Shopping lifestyle merupakan salah satu kebutuhan hidup yang dimana mereka memiliki tujuan untuk

menghabiskan waktu serta uang yang mereka miliki. Shopping lifestyle berada diluar kepribadian manusia yang tidak lain adalah konsep yang lebih

kontemporer, lebih komprehensif, dan lebih kuat dibandingkan dengan

kepribadian itu sendiri. Karena alasan inilah maka, perlu perhatian yang lebih

besar untuk memahami konsepsi atau memaknai kata yang disebut dengan gaya

hidup ini, bagaimana gaya hidup diukur, dan bagaimana gaya hidup digunakan,

apalagi gaya hidup yang berhubungan dengan berbelanja, yang merupakan salah

satu keinginan sekaligus kebutuhan hidup banyak masyarakat.

Menurut Betty Jackson (2004), bahwa shopping lifestyle merupakan ekspresi tentang lifestyle dalam berbelanja yang mencerminkan perbedaan status sosial. Cobb dan Hoyer (1986) dalam Japarianto (2008), mengemukakan bahwa

untuk mengetahui hubungan shopping lifestyle terhadap impulse buying behavior

adalah dengan menggunakan indikator:

1. Menanggapi untuk membeli seriap tawaran iklan mengenai produk fashion.

2. Membeli pakaian model terbaru ketika melihatnya di Mall

3. Berbelanja merk yang terkenal

4. Yakin bahwa merk (produk kategori) terkenal yang dibeli terbaik dalam hal kualitas

(8)

Dengan kata lain, shopping lifesytle merupakan pola yang diasumsikan dengan menghabiskan uang serta waktu untuk berbagai produk, hiburan, teknologi, dan

bahkan fashion. Tidak hanya itu, bahkan shopping lifestyle juga dipengaruhi oleh kepribadian dan merek yang ada pada produk tersebut.

2.1.3. Fashion Involvement

Fashion merupakan salah satu produk jenis pakaian yang disukai dan diminati oleh banyak konsumen. Beragam model yang terdapat pada jenis produk

ini, sehingga membuat para konsumen terus tertarik akan produk fashion. Sedangkan menurut O’cass involvement adalah minat atau bagian motivasional yang ditimbulkan oleh stimulus atau situasi tertentu, dan ditujukan melalui ciri

penampilan (O’cass, 2004 dalam Park 2005). Oleh karena itu, bisa dikatakan

bahwa fashion involvement menurut O’Cass (2004) dalam Park (2006) menemukan bahwa fashion involvement pada pakaian berhubungan sangat erat dengan karakteristik pribadi (yaitu wanita dan kaum muda) dan pengetahuan

fashion, yang dimana pada gilirannya mempengaruhi kepercayaan konsumen di dalam membuat keputusan pembelian.

Perilaku konsumen dalam membeli produk fashion sangat menarik untuk diteliti, karena hal itu dilandasi oleh berbagai faktor. Menurut beberapa ahli,

pembelian produk fashion dapat dikatakan sebagai pembelian high involvement

(Seo, Hatchote, wernry, 2001). Pakaian juga dikategorikan sebagai barang high involvement karena biasanya konsumen membeli karena arti simboliknya, image

(9)

Tigert et al. (1976) menemukan bahwa fashion involvement terdiri dari lima dimensi perilaku-adopsi yang terkait dengan fashion: a) mode inovasi dan saat pembelian, b) mode koneksi interpersonal, c) Minat terhadap fashion, d) berpengetahuan fashion, e) kesadaran fashion dan reaksi terhadap perubahan tren

fashion. Dengan kata lain, suatu kebutuhan yang dipenuhi melalui pembelian produk fashion dapat menjadi indikator yang merefleksikan faktor sosial, ekonomi, dan kecenderungan konsumsi konsumen.

Menurut Kim (2005) dalam Japarianto (2008), mengemukakan bahwa

untuk mengetahui hubungan fashion involvement terhadap impulse buying behavior adalah dengan menggunakan indikator:

1. Memiliki satu atau lebih pakaian dengan model yang terbaru (trend) 2. Fashion adalah satu hal penting yang mendukung aktivitas

3. Pakaian menunjukan karakteristik

4. Dapat mengetahui banyak tentang seseorang dengan pakaian yang digunakan

5. Mencoba produk fashion terlebih dahulu sebelum membelinya

Pada dasarnya, fashion involvement merupakan keterlibatan seseorang dengan suatu produk pakaian yang disebabkan karena kebutuhan, ketertarikan,

dan keinginan terhadap produk tersebut. Bahkan ketergantungan seseorang

terhadap fashion involvement yang diakibatkan oleh seringnya berbelanja, dapat menjadi indikator yang merefleksikan faktor sosial, ekonomi, dan kecenderungan

(10)

2.1.4. Brand

Brand atau yang kita kenal dengan sebutan merek adalah suatu nama, istilah, simbol, dan rancangan, atau kombinasi hal-hal tersebut, yang dimaksudkan

untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang atau kelompok penjual,

dan untuk membedakannya dari produk pesaing. Menurut Aaker (1997), merek

adalah nama atau simbol yang bersifat membedakan (seperti logo, cap, kemasan)

dengan demikian yang membedakannya dari barang atau jasa yang dihasilkan

oleh kompetitor, yang berusaha memberikan produk-produk yang tampak identik.

Menurut Rangkuti (2002), merek juga dapat dibagi dalam pengertian

lainnya, yaitu:

1. Brand name (nama merek). Sebagian dari merek, dan yang dapat diucapkan. Misalnya, Avon, Chevrolet, dsb.

2. Brand mark (tanda merek). Sebagian dari merek yang dapat dikenali namun tidak dapat diucapkan, seperti misalnya lambang, desain, huruf atau warna

khusus.

3. Trademark (tanda merek dagang). Merek atau sebagian dari merek yang dilindungi oleh hukum karena kemampuannya untuk menghasilkan sesuatu

yang istimewa.

4. Copyright (hak cipta). Hak istimewa yang dilindungi oleh undang-undang untuk memproduksi, menerbitkan, dan menjual karya tulis, karya musik, atau

(11)

A. Strategi Merek

Menurut Kotler (1997), perusahaan memiliki lima strategi merek, yaitu

sebagai berikut:

1. Perluasan lini (Lini Extention)

Perluasan lini terjadi jika perusahaan memperkenalkan unit produk

tambahan dalam kategori produk yang sama dengan merek yang sama,

biasanya dengan tampilan baru seperti rasa, bentuk, warna baru, tambahan,

ukuran kemasan, dan lainnya. Strategi ini dapat dilakukan apabila perusahaan

mengalami kelebihan kapasitas produksi atau perusahaan ingin memenuhi

selera konsumen terhadap tampilan baru.

2. Perluasan Merek (Brand Extention)

Perluasan merek terjadi jika perusahaan memutuskan untuk menggunakan

merek yang sudah ada pada produknya dalam satu kategori baru. Perluasan

merek memberikan keuntungan karena merek tersebut umumnya lebih cepat

diterima (karena sudah dikenal sebelumnya). Hal ini memudahkan perusahaan

memasuki pasar dengan kategori produk baru. Perluasan merek juga dapat

menghemat banyak biaya iklan yang biasanya diperlukan untuk membiasakan

konsumen dengan merek baru.

3. Multi Merek (Multy Brand)

Multy Brand dapat terjadi apabila perusahaan memperkenalkan berbagai merek tambahan dalam kategori produk yang sama. Tujuannya adalah untuk

membuat kesan, feature serta daya terik yang lain kepada konsumen sehingga lebih banyak pilihan. Strategi multi merek juga memungkinkan perusahaan

(12)

dengan menciptakan merek sampingan (flanker brand). Multy brand dapat terjadi juga akibat warisan merek dari perusahaan lain yang telah diakuisisi

oleh perusahaan tersebut.

4. Merek Baru (New Brand)

Merek baru dapat dilakukan apabila perusahaan tidak memiliki satupun

merek yang sesuai dengan produk yang akan dihasilkan atau citra dari merek

tersebut tidak membantu untuk produk baru tersebut. Kondisi inilah yang

menyebabkan perusahaan menciptakan merek yangs ama sekali baru dari pada

menggunakan merek lama. Namun demikian perusahaan harus berhati-hati,

karena peluncuran merek baru biasanya memerlukan biaya yang sangat besar,

terlebih lagi apabila sampai ke tahap brand loyalty yang tinggi. 5. Merek Bersama (Co-Brand)

Kecenderung yang terjadi saat ini adalah meningkatkan strategi co-branding. Strategi ini terjadi apabila dua merek terkenal atau lebih tergabung dalam satu penawaran dengan tujuan agar merek yang satu dapat memperkuat

merek yang lain, sehingga dapat menarik minat konsumen. Apabila co-branding dilakukan dalam bentuk kemasan bersama, maka setiap merek tersebut memiliki harapan dapat menjangkau konsumen baru dengan

mengaitkan pada merek lain.

B. Fungsi Merek

Menurut Noegroho (2009), menyatakan bahwa ada tiga fungsi merek yaitu:

a. Sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan

(13)

dengan produksi orang/beberapa orang atau badan hukum lain.

b. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup

dengan menyebut mereknya.

c. Sebagai jaminan atas mutu barangnya.

Menurut Ambadar et al, (2007) menyatakan bahwa ada dua fungsi merek yaitu: .

a. Merek memberikan identifikasi terhadap suatu produk sehingga konsumen

mengenali merek dagang yang berbeda dengan produk lain.

b. Merek membantu untuk menarik calon pembeli.

C. Loyalitas Merek

1. Definisi Loyalitas Merek

Loyalitas merek adalah ukuran dan kesetiaan konsumen terhadap

suatu merek. Apabila para konsumen beranggapan bahwa merek tertentu

secara fisik berbeda dari merek pesaing, citra merek tersebut akan melekat

secara terus-menerus sehingga dapat membentuk kesetiaan terhadap merek

tertentu, yang disebut dengan loyalitas merek (Rangkuti, 2002).

Menurut Durianto et al, (2001) brand loyalty (loyalitas merek) merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu

memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke

merek produk yang lain, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya

perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lain. Seorang pelanggan yang

sangat loyal kepada suatu merek tidak akan dengan mudah memindahkan

(14)

2. Fungsi Loyalitas Merek

Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, brand loyalty dapat menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang

dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan: (Durianto et al, 2001) 1. Reduced marketing costs (Mengurangi biaya pemasaran)

Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih murah

mempertahankan pelanggan dibandingkan dengan upaya untuk mendapatkan

pelanggan baru. Jadi, biaya pemasaran akan mengecil jika brand loyalty

meningkat. Ciri yang paling nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka

membeli suatu produk karena harganya murah.

2. Trade leverage (Meningkatkan perdagangan)

Loyalitas yang kuat terhadap. suatu merek akan menghasilkan

peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran.

Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek didasarkan

atas kebiasaan mereka selama ini.

3. Attracting new customers (Menarik pelanggan baru)

Dengan banyaknya pelanggan suatu merek yang merasa puas dan suka

pada merek tersebut akan menimbulkan perasaan yakin bagi calon pelanggan

untuk mengkonsumsi merek tersebut terutama jika pembelian yang mereka

lakukan mengandung risiko tinggi. Di samping itu, pelanggan yang puas

umumnya akan merekomendasikan merek tersebut kepada orang yang dekat

dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru.

(15)

Brand loyalty akan memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk m erespon gerakan pesai ng. Jika sal ah sat u pesai ng

mengembangkan produk yang unggul, pelanggan yang loyal akan

memberikan waktu pada perushaan tersebut untuk memperbaharui produknya

dengan cara menyesuaikan atau menetralisasikannya.

D. Kekuatan Merek (Power Branding)

Menurut Susanto & Wijanarko, (2004), menyakini bahwa merek yang kuat

merupakan aset tak berwujud (intangible asset) yang sangat berharga bagi perusahaan dan merupakan alat pemasaran strategis utama. Berikut ini

beberapa manfaat memiliki merek yang kuat:

1. Merek yang kuat akan membangun loyalitas, dan loyalitas akan mendorong

bisnis berulang kembali.

2. Merek yang kuat memungkinkan tercapainya harga premium, dan akhirnya

memberikan laba yang lebih tinggi.

3. Secara internal, merek yang kuat memberikan kejernihan fokus internal dan

eksekusi merek.

Merek merupakan salah satu bentuk yang tercantum dalam suatu produk

yang menunjukan suatu identitas dari produk tersebut. Merek juga merupakan

salah satu hal terpenting bagi sebuah produk karena hal tersebut yang membuat

produk tersebut terjual dan tidaknya. Bahkan seorang konsumen yang melakukan

impulse buying pun melihat produk dari merek yang terpasang pada produk tersebut. Oleh karena itu, merek merupakan salah satu faktor terpenting baik bagi

(16)

2.1.5. Impulse Buying Behavior

Impulse buying behavior atau pembelian tidak terencana (unplanned purchase) merupakan pembelian yang dilakukan oleh seseorang yang terjadi secara spontan karena munculnya dorongan yang kuat untuk membeli dengan

segera (Assael, 1998). Seorang konsumen yang tertarik terhadap shopping,

mereka akan cenderung banyak melakukan pembelian, mulai dari pembelian

secara rasional maupun pembelian yang bersifat emosional.

Penelitian yang dilakukan oleh Rock dan Gardner (Anggraini, 2011),

menunjukan efek dari impulse buying adalah suasana hati dan keadaan yang afektif. Selain itu hasil penelitian juga menemukan adanya indikasi bahwa

konsumen yang memiliki suasana hati (mood) akan lebih kondusif untuk berperilaku impulse buying dari pada konsumen yang tidak memiliki suasana hati. Solomon (2002) mengemukakan pendapatnya mengenai tiga faktor yang

mempengaruhi individu untuk melakukan pembelian impulsif, yaitu: tidak

terbiasa dengan tata ruang toko, berada dibawah tekanan waktu, dan individu

teringat untuk membeli sesuatu dengan melihat produk tersebut pada rak toko.

Proses emosi yang muncul akibat involvement itu sendiri pada diri seseorang, menyebabkan mereka yang bertindak sebagai konsumen langsung mengarah pada

perilaku membeli, tanpa konsumen memikirkannya terlebih dahulu bahkan

memperhitungkan konsekuensi yang diperolehnya.

Menurut Engel dan Blackwell (1995), unplanned buying atau impulse buying adalah suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan terlebih sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko.

(17)

hidup itu sendiri secara luas didefinisikan sebagai cara hidup yang

diidentifikasikan tentang bagaimana orang menghabiskan waktu mereka

(aktivitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (interest) dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia

disekelilingnya (opini) (Assael, 1998).

Menurut penelitian yang dilakukan Engel (1995), pembelian berdasarkan

impulse mungkin memiliki satu atau lebih karakteristik (Japarianto, 2011):

a. Spontanitas. Pembelian ini tidak diharapkan dan memotivasi konsumen untuk

membeli sekarang, sering sebagai respons terhadap stimulasi visualyang

langsung di tempat penjualan.

b. Kekuatan, kompulsi, dan intensitas. Mungkin ada motivasi untuk

mengesampingkan semua yang lain dan bertindak dengan seketika.

c. Kegairahan dan stimulasi. Desakan mendadak untuk membeli sering disertai

dengan emosi yang dicirikan sebagai “menggairahkan”, “menggetarkan,” atau

“liar.”

d. Ketidakpedulian akan akibat. Desakan untuk membeli dapat menjadi begitu

sulit ditolak sehingga akibat yang mungkin negatif diabaikan.

Berdasarkan beberapa penelitian dan pendapat para pakar diatas, telah

diketahui bahwa pembelian impulsif di landasi oleh beberapa faktor, seperti faktor

lifestyle yang kebanyakan masyarakat menganggap hal tersebut sebagai kebutuhan hidup, serta faktor psikologis, yaitu faktor emosional seseorang yang tinggi,

dimana mereka sebagai konsumen yang menyukai shopping khususnya produk

(18)

yang menarik, merek, kualitas, dan bahkan produk yang memiliki kualitas yang

langka (limited edition) hingga produk yang memiliki potongan harga (discount).

2.1.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian dari Japrianto dan Sugiharto (2008), yang berjudul: “Pengaruh

Shopping Life Style dan Fashion Involvment Terhadap Impulse Buying Behavior

Masyarakt High Income Surabaya”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa

shopping life style dan fashion involvement berpengaruh terhadap impulse buying behavior masyarakat high income Surabaya baik secara parsial maupun secara

simultan. Untuk penelitian yang dilakukan Tawarik (2014) dengan judul: “Merek

dan Fashion Involvement Pengaruhnya Terhadap Impulse Buying Behavior Pada

Konsumen”. Hasil penelitian menunjukan bahwa merek dan fashion involvement

berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap perilaku impulse buying.

(19)

2.2 KERANGKA PIKIRAN

Fashion merupakan salah satu kebutuhan banyak konsumen dari berbagai kalangan, dari kalangan masyarakat low class hingga high class. Produk fashion

pun kini telah banyak berkembang pesat di kota Purwokerto, bahkan banyak

shopping mall yang menjual produk fashion dengan berbagai model, sehingga masyarakat pun tidak bingung untuk mencari fashion yang sesuai dengan style

mereka sendiri. Maka dari itu, banyak konsumen yang hobi melakukan shopping,

bahkan tidak sedikit dari mereka yang memiliki shopping lifestyle nya sendiri yang sampai menimbulkan pembelian hedonik. Menurut Betty Jackson (2004),

bahwa shopping lifestyle merupakan ekspresi tentang lifestyle dalam berbelanja yang mencerminkan perbedaan status sosial.

Ketertarikan konsumen yang senang melakukan pembelian produk

khususnya fashion dengan lifestyle mereka sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, selain faktor pembelian dengan menggunakan emosi, mereka juga

dipengaruhi oleh fashion involvement. Fashion involvement ini terjadi karena adanya keterlibatan konsumen yang begitu erat terhadap produk fashion

(pakaian). Seperti yang dikatakan menurut O’cass, bahwa involvement adalah minat atau bagian motivasional yang ditimbulkan oleh stimulus atau situasi

tertentu, dan ditujukan melalui ciri penampilan (O’cass, 2004 dalam Park 2005).

(20)

semakin besar, karena mereka yang sering melakukan pembelanjaan khususnya di

bidang fashion akan merasakan kecenderungan atau ketagihan yang disebabkan oleh rasa kecintaannya terhadap produk fashion, sehingga mereka merasa bahwa

fashion adalah salah satu kebutuhan utama dan bukan lagi sebagai kebutuhan pelengkap.

Salah satu unsur atau prioritas perusahaan dalam mengembangkan sebuah

produk adalah dipengaruhi oleh faktor merek (brand). Dengan menciptakan merek yang kuat yang bahkan banyak para konsumen mengetahuimya, maka

semakin terkrnal pula produk tersebut. Apalagi jika banyak konsumen yang

menggunakan dan mempercayai merek tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh

Kotler dan Keller (2007), bahwa citra merek adalah persepsi dan keyakinan yang

dilakukan oleh konsumen, seperti tercermin dalam asosiasi yang terjadi dalam

memori konsumen.

Teori ini menunjukkan bahwa, apabila seorang konsumen semakin

mengenal dan semakin sering menggunakan suatu merek yang mereka percaya,

maka akan semakin besar pula kepercayaan mereka terhadap merek tersebut.

Ketika nereka memiliki kepercayaan yang begitu besar, maka loyalitas pun akan

muncul pada persepsi mereka yang memiliki peran sebagai konsumen, sehingga

ketika seorang konsumen yang tengah melewati mall yang menyukai shopping,

mereka akan tertarik bahkan melakukan pembelian ketika melihat fashion yang memiliki merek yang mereka suka, walaupun mereka tidak berencana melakukan

pembelian. Inilah kondisi dimana terjadi pembelian impulsif.

(21)

terhadap fashion. Hal itu terjadi karena mereka menyukai shopping lifestyle

mereka yang hedonik (terus-menerus), dan tidak hanya itu, dengan semakin

banyaknya merek (brand) dan model yang beragam mereka akan semakin terpengaruh. Bahkan mereka yang telah terbiasa dengan aktivitas shopping akan menimbulkan sikap involvement terhadap fashion yang akan membuat para konsumen yang menyukai shopping khususnya dibidang fashion akan terus dan terus melakukan pembelian pada suatu produk tersebut.

Berdasarkan uraian telaah pustaka diatas, berikut ini dikemukakan suatu

kerangka pemikiran yang berfungsi sebagai penuntun, sekaligus mencerminkan

alur berpikir dan merupakan dasar bagi perumusan hipotesis. Berikut kerangka

pemikiran teoritis yang ditampilkan dalam bentuk gambar, seperti dibawah ini.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Sumber penelitian:

1) Japarianto dan Sugiharto (2008)

2) Tawarik (2014)

Impulse Buying Behavior (Y)

1. Shopping Lifestyle

(X1)

3. Brand

(X3)

2. Fashion Involvement

(22)

2.3 HIPOTESIS

Adapun hipotesis yang dapat diambil dari penelitian ini, yaitu:

a. Terdapat pengaruh secara parsial antara Shopping Life style terhadap Impulse Buying Behavior Masyarakat Purwokerto.

b. Terdapat pengaruh secara parsial antara Fashion Involvement terhadap Impulse Buying Behavior Masyarakat Purwokerto.

c. Terdapat pengaruh secara parsial antara Brand terhadap Impulse Buying Behavior Masyarakat Purwokerto.

Gambar

Gambar 2.1 Model Perilaku Konsumen menurut Assael
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Peelotnau PcrrLrlisen Kur\ll Ilm[th l, PI ]t)l-l.. analisis data berupa laporan secara rinci tahaptahap analisis data, serta teknik yang dipakai dalam analisis data itu

Dalam studi manajemen, kehadiran konflik pendidikan tidak bisa terlepas dari permasalahan keseharian yang dirasakan oleh pengelola lembaga pendidikan. Konflik tersebut

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu (quasi experiment) dengan metode Posstest-Only Control Design. Dalam rancangan ini sampel dibagi menjadi dua kelompok

Setiap tanggal 22-30 setiap bulannya, Komisi Tugas Akhir akan menentukan usulan judul skripsi yang diterima beserta nama dosen pembimbing utama, kedua dan (dosen penguji menjelang

5. Meningkatkan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan; 6. Menerapkan konsep manajemen berdasarkan sasaran. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa

Pada diatas, dapat dilihat bahwa hasil fermentasi cincalok udang rebon yang dibuat dengan metode Backslopping berpengaruh nyata terhadap nilai kadar air, abu,

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)