BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang- Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2015 sebagai perubahan UU
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah menjadi landasan utama Pemerintah Daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan otonomi
daerah. Pada hakekatnya hal tersebut memberikan peluang yang lebih besar
kepada daerah untuk lebih mengoptimalkan potensi yang dimiliki daerah,
baik menyangkut sumber daya manusia, dana, maupun sumber daya lain yang
merupakan kekayaan daerah. Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah
diharapkan semakin mandiri, mengurangi ketergantungan kepada pemerintah
pusat, baik dalam hal pembiayaan pembangunan maupun dalam hal
pengelolaan keuangan daerah.
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan
kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat yang
terbaik bagi daerah dapat dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun
pada kenyataan di Indonesia, pemerintah daerah masih sangat bergantung
pada dana bantuan pusat. Hal ini sering dijumpai bahwa dana bantuan pusat
Tabel 1.1
Pendapatan Asli daerah (PAD) dan Dana Perimbangan di beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah realisasi anggaran tahun 2016 sebagai berikut:
No Kab/kota PAD Dana Perimbangan
1 Kota Semarang 1.491.645.900.065 1.644.277.729.716
2 Kab Semarang 318.536.051.176 1.325.779.762.120
3 Kab Demak 287.457.500.571 1.266.900.747.202
4 Kab Kudus 279.239.106.717 1.290.967.072.066
5 Kab Jepara 322.509.753.285 1.383.615.805.500 6 Kab Rembang 234.168.365.750 935.943.695.312 7 Kab Wonogiri 218.604.854.595 1.470.168.336.258 8 Kab Grobogan 299.211.316.168 1.705.546.807.799 9 Kab Sragen 297.176.332.577 1.442.580.724.671 10 Kab Banyumas 541.418.386.912 1.869.079.347.790 11 Kab Tegal 316.051.189.733 1.493.483.951.400 12 Kota Tegal 287.343.889.954 688.199.236.193 13 Kota Salatiga 203.768.652.017 569.849.837.883
14 Kab Pati 314.921.084.791 1.579.434.897.397
15 Kota Surakarta 425.502.779.064 1.103.862.166.264 16 Kab Boyolali 292.310.032.226 1.358.444.509.320 17 Kab Klaten 224.197.408.481 1.573.615.108.481 18 Kab Sukoharjo 363.163.428.162 1.246.954.769.893
19 Kab Blora 171.277.522.706 1.331.611.361.558
20 Kab Karanganyar 301.307.800.956 1.390.153.333.367 21 Kab Banjarnegara 221.048.387.512 1.264.069.069.612 22 Kab Kebumen 291.016.321.703 1.779.771.732.786 23 Kab Cilacap 428.598.349.897 1.941.145.933.885 24 Kab Purbalingga 251.816.668.602 1.177.113.338.860 25 Kota Magelang 220.315.848.702 567.636.707.545 27 Kab Purworejo 255.599.240.424 1.315.706.156.856 28 Kab Temanggung 281.328.148.970 1.062.555.838.091 29 Kab Wonosobo 199.894.767.510 1.079.170.500.015 30 Kota Pekalongan 178.604.460.870 598.621.163.830 31 Kab Pekalongan 310.572.581.551 1.182.370.555.011 32 Kab Batang 209.957.559.449 1.031.465.973.389 33 Kab Kendal 265.074.406.548 1.263.993.235.657 34 Kab Brebes 339.156.063.168 1.747.009.661.841 35 Kab Pemalang 275.458.054.016 1.507.813.090.093
Tabel 1.1 menunjukkan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih kecil dari Dana
Perimbangan. Sedangkan menurut Kusumawardani (2012), berpendapat
bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah memiliki ketergantungan
kepada pemerintah pusat lebih tinggi. Ketergantungan tersebut menunjukkan
tingkat kemandirian yang rendah dimana rendahnya tingkat kemandirian
pemerintah daerah menggambarkan masih rendahnya kinerja keuangan
pemerintah daerah karena pemerintah daerah dalam membiayai kegiatan
operasional pemerintahan masih bergantung pada pihak eksternal. Kinerja
keuangan pemerintah daerah menjadi sorotan publik, hal ini mendukung
dengan pernyataan Mardiasmo (2009), yang berpendapat bahwa kinerja
pemerintah daerah merupakan suatu hal yang penting untuk menilai
akuntabilitas organisasi dan manajemen dalam menghasilkan pelayanan
publik yang lebih baik.
Kinerja keuangan daerah adalah gambaran pencapaian pelaksanaan
kegiatan kerja pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan, visi dan misi
daerah yang dinilai dengan aspek keuangan yang dilihat dari laporan
keuangan yang telah disusun oleh pemerintah daerah tersebut (Sari, 2016).
Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai
kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh
posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja
yang akan berlanjut (Nugroho, 2012). Oleh karena itu, kinerja keuangan
dan pihak eksternal. Kinerja keuangan merupakan salah satu ukuran yang
dapat digunakan untuk memastikan kemampuan daerah dalam melaksanakan
aturan pelaksanaan keuangan secara baik, dan benar untuk mempertahankan
layanan yang diinginkan, di mana penilaian yang lebih tinggi menjadi
tuntutan yang harus dipenuhi agar pihak eksternal memutuskan untuk
berinvestasi di dalam daerah. Data pengukuran kinerja keuangan yang
bersumber dari informasi finansial yang diukur berdasarkan pada anggaran
yang telah dibuat, dapat menjadi peningkatan program selanjutnya demi
menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik dan berkualitas.
Kinerja keuangan daerah juga dilihat dari hasil Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD). Dalam memberikan pelayanan dasar kepada
masyarakat, masalah pengelolaan keuangan daerah merupakan unsur yang
tidak terpisahkan dalam penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah (LPPD) suatu Pemda sehingga perlu dilakukan pengawasan dan
pemeriksaan (audit) yang baik agar tidak terjadi kesalahan (fraud). Undang-
Undang No. 24 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara berpendapat bahwa Pemeriksaan adalah proses
identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen,
obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai
kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hasil laporan keuangan
pemerintah daerah harus di audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI
opini laporan keuangan pemerintah daerah dari tahun 2008-2012
menunjukkan dari tahun 2008-2012 masih sedikit pemerintah daerah yang
mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Masih banyaknya
pemerintah daerah yang mendapatkan opini Tidak Memberikan Pendapat
(TMP) oleh BPK (Noviyanti dan Kiswanto, 2016).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah
daerah dalam hal ini ada dua faktor, antara lain karakteristik pemerintah
daerah dan temuan audit BPK. Karakteristik pemerintahan daerah dalam
penelitian ini diukur menggunakan proksi ukuran pemerintah, tingkat
ketergantungan pada pusat, belanja modal, dan ukuran legislatif.
Ukuran pemerintah daerah merupakan memberikan kemudahan
kegiatan operasional dalam memberi kelancaran dalam memperoleh
Pendapatn Asli Daerah (PAD) guna kemajuan daerah sebagai bukti
peningkatan kinerja (Kusumawardani, 2012). Sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mustikarini dan Fitriasari (2012) berpendapat bahwa ukuran
pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah. Sedangkan menurut Anzarsari (2014) ukuran pemerintah daerah tidak
berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2014) berpendapat bahwa ukuran
pemerintah daerah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja
keuangan daerah.
Tingkat kekayaan daerah dicerminkan dengan peningkatan
sangat berperan dalam kemandirian pemerintah daerah yang dapat dikatakan
sebagai kinerja pemerintah daerah. Hal ini dibuktikan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Surepno (2013) bahwa tingkat kekayaan daerah berpengaruh
positif terhadap kinerja keuangan daerah. Sedangkan pendapat tersebut
bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Marfiana dan
Kurniasih (2013) berpendapat bahwa tingkat kekayaan pemerintah tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti dan Kiswanto (2016)
berpendapat bahwa Semakin rendah tingkat kekayaan daerah maka akan
semakin rendah kinerja keuangan pemerintah daerah.
Selain tingkat kekayaan daerah terdapat faktor lain yang
mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah yaitu tingkat
ketergantungan pada pusat. Memiliki pendapat bahwa semakin tinggi tingkat
ketergantungan pada pusat maka semakin baik kinerja keuangan pemerintah
daerah menurut Noviyanti dan Kiswanto (2016). Hal ini sejalan dengan
penelitian Mustikarini dan Fitriasari (2012) berpendapat bahwa tingkat
ketergantungan pada pusat berpengaruh positif signifikan terahadap kinerja
keuangan daerah. penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sudarsana (2013) berpendapat bahwa tingkat
ketergantungan pada pusat tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja
pemerintah daerah kabupaten/kota.
Faktor lain yang mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah
cerminan dari banyaknya infrastruktur dan sarana yang dibangun. Semakin
banyak pembangunan yang dilakukan akan meningkatkan pertumbuhan
kinerja keuangan daerah, sesuai dengan logika, semakin banyak sumber yang
menghasilkan, maka hasilnyapun akan semakin banyak (Manik, 2015).
Namun bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suryaningsih dan Sisdiyani (2016) berpendapat bahwa belanja modal tidak
berpengaruh pada kinerja keuangan pemerintah daerah. Sejalan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Mangkunegara (2015) berpendapat bahwa
belanja modal berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah.
Ukuran legislatif juga berpengaruh terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah. Ukuran legislatif dalam penelitian ini ditunjukan dengan
jumlah anggota legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di
Indonesia. Semakin besar jumlah anggota legislatif diharapkan dapat
meningkatkan kinerja pemerintah daerah melalui adanya pengawasan
(Noviyanti dan Kiswanto, 2016). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Kusumawardani (2012) berpendapat bahwa semakin banyaknya
anggota legislatif yang melakukan pengawasan secara baik maka akan
semakin besar motivasi kinerja pemerintah daerah dalam melakukan
pelayanan terhadap masyarakat atau sebaliknya. Sedangkan menurut
penelitian dari Marfiana dan Kurniasih (2013) ukuran legislatif berpengaruh
Selain karakteristik pemerintahan daerah, peneliti menggunakan
variabel hasil temuan audit BPK. Ketidak patuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan dapat mengakibatkan kerugian daerah dan ketidak
efisienan. Semakin banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah
daerah menggambarkan semakin buruknya kinerja pemerintah daerah
tersebut. Menurut Kewo (2017) berpendapat bahwa pengembangan
akuntabilitas keuangan tercermin dalam Lapran Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) dari pendapat LKPD yang diberikan oleh BPK Republik Indonesia
beberapa masih menerima pendapat wajar tanpa pengecualian (WTP).
Menurut penelitian Mustikarini dan Fitriasari (2007) berpendapat bahwa hasil
penelitian temuan audit BPK berpengaruh signifikan terhadap kinerja
pemerintah daerah. Sebaliknya, menurut penelitian Noviyanti dan kiswanto
(2016) audit BPK tidak memberikan efek pada kinerja keuangan pemerintah
daerah. Sejalan dengan penelitian Utomo (2015) temuan audit BPK
berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
Uraian diatas menunjukan hasil penelitian mengenai kinerja keungan
pemerintah daerah masih beragam sehingga mendorong peneliti untuk
menguji kembali mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
keuangan pemerintah daerah.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada
periode dan objek penelitian serta variabel yang diteliti. Penelitian terdahulu
yang dilakukan Noviyanti dan Kiswanto (2016) menggunakan periode
ukuran pemerintah daerah, tingkat ketergantungan pada pusat, belanja daerah,
ukuran legislatif, dan temuan audit terhadap kinerja keungan pemerintah
daerah. Sedangkan penelitian ini menggunakan periode 2014-2016, karena
riset ini adalah riset sosial, dimana dinamika yang berekembang sangat pesat
sehingga, bisa jadi riset terdahulu sudah tidak relevan lagi.
Selain itu penelitian ini menggunakan variabel berupa ukuran
pemerintah daerah, tingkat ketergantungan pada pusat, belanja modal, ukuran
legislatif, dan temuan audit BPK terhadap kinerja keuangan pemerintah
daerah. Dengan pengambilan objek yang diteliti hanya Provinsi Jawa Tengah,
karena terdapat perbedaan dalam kinerja keuangan pemerintah daerah untuk
setiap Provinsi/Daerah di Indonesia terutama Jawa dana non Jawa yang
memiliki pengukuran yang berbeda-beda.
Selain perbedaan diatas penelitian ini juga menggunakan variabel
belanja modal sebagai pengganti belanja daerah karena struktur belanja modal
perlu mendapat perhatian khusus, hal ini dikarenakan tidak semua belanja
modal berefek pada pelayanan publik yang langsung menyentuh masyarakat
(keuda.kemendagri.go.id).
Pentingnya penelitian ini dilakukan untuk dapat menilai kemandirian
keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah dan
dapat melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan masalah yang dapat dirumuskan masalah yang akan dianalsis,
yaitu:
1. Apakah ukuran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap kinerja
keuangan pemerintah daerah?
2. Apakah tingkat kekayaan daerah berpengaruh positif terhadap kinerja
keuangan pemerintah daerah
3. Apakah tingkat ketergantungan pada pusat berpengaruh positif terhadap
kinerja keuangan pemerintah daerah?
4. Apakah belanja modal berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah?
5. Apakah ukuran legislatif berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah?
6. Apakah temuan audit BPK berpengaruh negatif terhadap kinerja
keuangan pemerintah daerah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. TujuanPenelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dalam
penelitian sebagai berikut :
a. Untuk mendapatkan bukti empiris ukuran pemerintah daerah
b. Untuk mendapatkan bukti empiris tingkat kekayaan daerah
berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
c. Untuk mendapatkan bukti empiris tingkat ketergantungan pada
pusat berpengaruh positif tehadap kinerja keuangan pemerintah
daerah.
d. Untuk mendapatkan bukti empiris belanja modal berpengaruh
positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
e. Untuk mendapatkan bukti empiris ukuran legislatif berpengaruh
positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
f. Untuk mendapatkan bukti empiris temuan audit BPK berpengaruh
negatif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah.
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut maka diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi berbagai pihak antara lain:
a. Bagi Penulis
Penelitian ini diharapkan dapat menambahkan gambaran,
wawasan dan pengetahuan mengenai kinerja keuangan pemerintah
daerah serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi adanya
kinerja keuangan pemerintah daerah.
b. Bagi Praktisi
1) Pihak Pemerintah
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat
kinerja keuangan pemerintah daerah agar dapat meningkatkan
kinerja keuangannya.
2) Pihak Masyarakat
Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi
masyarakat maupun stakeholder untuk mengetahui tingkat
kinerja keuangan pemerintah daerah sehingga dapat digunakan