NILAI CURIOSITY (RASA INGIN TAHU)
DALAM PANDANGAN IBNU KHALDUN DAN IBNUL QAYYIM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh:
Siti Za’iimah
NIM: 111-14-156
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
NILAI CURIOSITY (RASA INGIN TAHU)
DALAM PANDANGAN IBNU KHALDUN DAN IBNUL QAYYIM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh:
Siti Za’iimah
NIM: 111-14-156
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
MOTTO
ْمِهِسُفْ نَأِب اَم ْاوُرِّ يَغُ ي ىَّتَح ٍمْوَقِب اَم ُرِّ يَغُ ي َلا َهّللا َّنِإ
-١١
-
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Asrori dan Ibu Masruroh, yang selalu memberikan kasih sayang, mendidik dan membimbingku, do‟a restu yang selalu dipanjatkan, nasihat-nasihat yang membangun, dan terima kasih selalu menyemangati untuk mengerjakan karya ini.
2. Kakak dan adikku tersayang, Mas Muhammad Kholilurrohman dan Muhammad Ulul Azmi, yang selalu memberikan dukungan moral maupun materiil, dan memberikan semangat.
3. Keluarga besarku yang selalu memotivasi.
4. Almaghfurllah pengasuh Pondok Pesantren Al-Hasan K.H. Ichsanuddin dan Ibu Nyai Rosilah yang saya ta‟dzimi.
5. Bapak Drs. Budi Raharjo dan Ibu Nyai Kamalah Isom, S. E., Bapak Kyai
Ma‟arif dan Ibu Nyai Hanik, serta para ustadz-ustadz dan keluarga ndalem
yang senantiasa mendo‟akan dan membimbing dalam menuntut ilmu.
6. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag., yang telah sabar membimbing dan
mendo‟akan dalam penyusunan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabatku, Tutik, Lina, Mbak Kholis, Nia, Zizah, Vani, Safira, Aca, Tia, Ervy, Refta yang selalu menemani, memotivasi, dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Keluarga besar FK-WaMa (Forum Komunikasi Mahasiswa Magelang), semoga bisa menjadi tauladan yang baik, khususnya bagi masyarakat Magelang dan sekitarnya.
10.Anggota Keluarga Bercanda yang senantiasa memberikan semangat dan dukungan terbaiknya, semoga silaturrahim kita tetap terjaga hingga masa-masa yang akan datang.
11.Teman-teman seperjuangan yang sedang berjuang menyelesaikan skripsi. 12.Boy group iKON yang telah menemani saat-saat berjuang saya kapanpun dan
dimanapun, dan yang telah mengajarkan pentingnya perjuangan. Khususnya kepada Kim Hanbin yang telah memberikan motivasi dan kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini.
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikut setiaNya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. 3. Ibu Siti Rukhayati M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI). 4. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag., sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas ini.
5. Bapak Prof. Zakiyuddin, M.Ag., selaku pembimbing akademik.
7. Bapak, ibu, kakak, dan adik di rumah, yang telah mendoakan dan mendukung penulis dalam menyelesaikan studi di IAIN Salatiga dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
8. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini
Harapan penulis, semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan dan mendapatkan ridho Allah SWT. Akhirnya, dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Salatiga, 5 Agustus 2018
Penulis,
SITI ZA‟IIMAH
DAFTAR ISI
SAMPUL ... i
LEMBAR BERLOGO ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
ABSTRAK ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Signifikansi Penelitian ... 6
2. Manfaat Penelitian ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
1. Penelitian Terdahulu ... 8
2. Penegasan Istilah ... 13
E. Metode Penelitian ... 18
1. Jenis Penelitian ... 19
2. Pendekatan Penelitian ... 19
3. Sumber Data ... 19
4. Pengumpulan Data ... 20
5. Analisis Data ... 21
F. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II BIOGRAFI TOKOH ... 23
A. Biografi Ibnu Khaldun ... 23
1. Kelahiran ... 23
2. Karir dalam Pemerintahan ... 25
3. Pendidikan ... 28
4. Guru-guru ... 28
5. Murid-murid ... 31
6. Masa Mengarang Kitab ... 32
7. Karya-karya ... 33
8. Wafat ... 38
1. Nama dan Kelahiran ... 39
2. Kondisi Sosio-Epistemologis ... 40
3. Sanjungan Ulama terhadapnya ... 42
4. Ibadah dan Akhlaknya ... 44
5. Perjalanan Mencari Ilmu ... 45
6. Guru dan Murid ... 46
7. Karangan-karangan yang telah Dicetak ... 47
8. Meninggalnya ... 48
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN IBNU KHALDUN DAN IBNUL QAYYIM ... 50
A. Nilai Curiosity Menurut Ibnu Khaldun ... 50
1. Hakikat Ilmu pengetahuan ... 50
2. Pendidikan ... 53
3. Metode Pendidikan ... 55
4. Sumber Ilmu Pengetahuan ... 58
5. Guru dan Siswa Pembelajar ... 59
6. Urgensi Ilmu Pengetahuan ... 63
B. Nilai Curiosity Menurut Ibnul Qayyim ... 65
1. Hakikat Ilmu Pengetahuan ... 65
2. Pendidikan ... 66
3. Metode Pendidikan ... 69
5. Guru dan Siswa Pembelajar ... 75
6. Urgensi Ilmu Pengetahuan ... 78
KEBERMANFAATAN ILMU ... 86
A. Keutamaan Ilmu ... 86
B. Peran Ilmu dalam Penyucian Jiwa ... 88
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF PANDANGAN IBNU KHALDUN DAN IBNUL QAYYIM ... 92
A. Persamaan Pemikiran Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim ... 92
1. Hakikat Ilmu Pengetahuan ... 92
2. Pendidikan ... 92
3. Metode Pendidikan ... 93
4. Sumber Ilmu Pengetahuan ... 94
5. Guru dan Siswa Pembelajar ... 94
6. Urgensi Ilmu Pengetahuan ... 95
B. Perbedaan Pemikiran Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim ... 95
1. Hakikat Ilmu Pengetahuan ... 95
2. Pendidikan ... 96
3. Metode Pendidikan ... 97
4. Sumber Ilmu Pengetahuan ... 98
5. Guru dan Siswa Pembelajar ... 99
6. Urgensi Ilmu Pengetahuan ... 100
BAB V PENUTUP ... 105 A. Kesimpulan ... 105 B. Saran-saran ... 107 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN A. Daftar Riwayat Hidup B. Daftar Nilai SKK
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Daftar Nilai SKK
Lampiran 3 Surat Pembimbing dan Asisten Pembimbing
ABSTRAK
Za‟iimah, Siti. 2018. Nilai Curiosity (Rasa Ingin Tahu) dalam Pandangan Ibnu
Khaldun dan Ibnul Qayyim. Skripsi, Salatiga: Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Imam Sutomo, M.Ag.
Kata kunci: Nilai curiosity, Ibnu Khaldun, dan Ibnul Qayyim.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana nilai curiosity (rasa ingin tahu) menurut Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim, serta bagaimana persamaan dan perbedaannya.
Jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian library research dan bersifat deskriptif analisis. Sumber data primer yakni buku karya Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim. Sumber sekunder yang digunakan yaitu berbagai macam literatur yang mendukung. Pengumpulan data ini menggunakan media dokumentasi.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan moral atau karakter menjadi trend utama kurikulum 2013. Pendidikan karakter menjadi sesuatu yang penting untuk membentuk generasi yang berkualitas. Pendidikan karakter merupakan salah satu alat untuk membimbing seseorang menjadi orang baik, sehingga mampu memfilter pengaruh yang tidak baik.
Era Jokowi diproklamirkan tentang Nawa Cita yang ditindaklanjuti dengan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) melalui Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Dalam Perpres ini disebutkan, Penguatan Pendidikan Karakter yang selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).
generasi muda untuk menjadi cerdas dan memiliki perilaku berbudi (Lickona, 2016:7).
Karakter menurut pengamatan seorang filsuf kontemporer bernama Michael Novak, merupakan “campuran kompatibel dari seluruh kebaikan
yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.” Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Novak, tidak ada seorangpun yang memiliki semua kebaikan itu, dan setiap orang memiliki beberapa kelemahan. Orang-orang dengan karakter yang sering dipuji bisa jadi sangat berbeda antara satu dengan lainnya (Lickona, 2016:81).
Karakter individu secara psikologis dimaknai sebagai hasil keterpaduan dari empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olahraga, olah rasa dan karsa (Samani, dkk, 2012:24). Olah hati berkenaan dengan perasaan, sikap dan keyakinan atau keimanan. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif. Olahraga berkenaan dengan proses presepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan, motivasi dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, citra dan penciptaan kebaruan. Rasa ingin tahu merupakan karakter yang bersumber dari olah pikir (Samani, dkk, 2012:25).
siswa dalam belajar. Dengan adanya rasa ingin tahu, siswa akan mencari hal-hal yang tidak ada dalam materi pembelajarannya. Guru tidak memberikan semua hal tentang yang ada di kehidupan siswa. Guru hanya mengajarkan apa yang sudah ditentukan dalam materi pembelajaran. Maka siswa dituntut untuk memiliki nilai ini demi menunjang daya berpikirnya yang akan berguna dalam kehidupan sehari-hari, serta yang akan menentukan masa depannya. Siswa dituntut untuk mencari dan mempelajari apa yang tidak diajarkan oleh gurunya.
Proses mencari ini menjadikan siswa semakin berkembang, pola pikir yang terbuka, pengetahuan dan wawasan yang semakin luas, dan akan menumbuhkan sikap kritis siswa. Berawal dari rasa ingin tahu, siswa akan semakin menggali potensi yang ada pada dirinya, berusaha mengembangkan, dan memanfaatkan sebagaimana mestinya.
emosi yang dihubungkan dengan perilaku mengorek secara alamiah seperti eksplorasi, investigasi, dan belajar.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa rasa ingin tahu merupakan kemampuan bawaan makhluk hidup, mewakili kehendak untuk mengetahui hal-hal baru dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan anak didik. Mengembangkan rasa ingin tahu akan membentuk watak setiap siswa menjadi pribadi yang selalu haus akan ilmu. Sehingga, senantiasa mempelajari hal-hal yang baru untuk memperdalam ilmu pengetahuannya.
Pengetahuan adalah elemen yang sangat penting. Dengan pengetahuanlah anak-anak akan mampu mengenal dunianya. Dengan demikian akan tahu keberadaannya di dunia dan materi-material dunia yang saling berhubungan/berkaitan (dialektis). Jika anak mengetahui hubungan-hubungan yang saling menunjukkan sebab akibat, ia akan dapat memahami bahwa suatu kejadian tidak semata-mata terjadi dengan sendirinya—tetapi disebabkan oleh suatu hal. Dengan berpikir semacam ini, anak-anak akan berusaha mencari tahu kenapa sesuatu terjadi (Mu‟in, 2016:379).
membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Lebih lanjut Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kemanapun manusia untuk berpikir baru diperolehnya setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan di dalam dirinya. Itu dimulai dari kemampuan membedakan (tamyiz). Sebelum manusia memiliki tamyiz, dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan. Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan, dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya, karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya.
Makna tarbiyah menurut Ibnu Qayyim, terlihat dari komentar beliau tentang kata Rabbani yang ditafsirkan dengan makna tarbiyah. Kata Rabbani diartikan dengan makna yang seperti itu dikarenakan ia adalah pecahan dari
kata kerja (fi‟il) Rabba-Yarabbu-Rubban yang artinya adalah pendidik
Berdasarkan kajian penulis, pemikiran kedua tokoh tersebut memiliki relevansi dengan kehidupan sekarang. Penulis berusaha untuk mengkaji lebih dalam melalui penelitian dengan judul “Nilai Curiosity (Rasa Ingin Tahu)
dalam Pandangan Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah nilai curiosity (rasa ingin tahu) menurut Ibnu Khaldun? 2. Bagaimanakah nilai curiosity (rasa ingin tahu) menurut Ibnul Qayyim? 3. Bagaimana titik persamaan dan perbedaan nilai curiosity antara
pandangan Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim?
C. Signifikansi Penelitian 1. Tujuan penelitian
a. Mengetahui nilai curiosity (rasa ingin tahu) menurut Ibnu Khaldun. b. Mengetahui nilai curiosity (rasa ingin tahu) menurut Ibnul Qayyim. c. Mengetahui titik persamaan dan perbedaan nilai curiosity antara
pandangan Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretik dan praktis.
a. Secara teoretik yaitu:
1) Untuk ikut menyumbang terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan karakter, dimana hasil pembahasan ini dapat berfungsi sebagai tambahan referensi untuk kajian berikutnya tentang nilai secara khusus dalam pendidikan Islam.
2) Dapat menjadi pijakan atau pertimbangan dalam mempelajari dan membenahi pendidikan karakter, terutama yang terkait dengan problematika penumbuhan rasa ingin tahu anak, serta sebagai sebuah tawaran solusi bagi maraknya problem pendidikan sekarang dengan menggunakan konsep nilai rasa ingin tahu Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim.
3) Sebagai sumbangan data ilmiah dalam bidang pendidikan dan dalam disiplin ilmu yang lainnya untuk khazanah keilmuan pendidikan di IAIN Salatiga.
b. Secara praktis, yaitu:
2) Untuk menambah keilmuan dan pengetahuan bagi para pembaca dan bagi penulis khususnya berkenaan dengan konsep nilai rasa ingin tahu (curiosity) menurut Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim.
D. Kajian Pustaka
1. Penelitian terdahulu
Pembahasan mengenai pendidikan karakter telah banyak dilakukan oleh beberapa pengamat. Sejauh penelusuran terhadap kajian-kajian terdahulu terdapat beberapa kajian yang relevan dengan penelitian ini, di antaranya:
Hendra Saputra (Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) dalam skripsinya yang berjudul Studi Komparasi Pendidikan Akhlak Bagi Anak Menurut Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah dan Al-Qabisi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
library research atau penelitian kepustakaan, penelitian ini
dilatarbelakangi oleh persoalan degradasi akhlak yang rentan terjadi dalam pergaulan, jika anak dalam proses pendewasaan terbiasa dengan hal yang buruk maka sifat buruk tersebut akan sulit dihilangkan sampai anak tersebut kelak menjadi orang dewasa. Hasil penelitian ini antara lain, (1) Konsep pendidikan akhlak yang dibangun Ibnu Qayyim bersumber pada
anak didik dan metode menghafal yang lebih dominan diterapkan dalam pembelajaran. Sementara Al-Qabisi dalam membangun pendidikan akhlak selain bersumber pada Al-Qur‟an dan Sunnah, ia juga menggunakan literature fiqih, metode yang dipakai adalah anak lebih aktif atau berpusat
pada anak didik (student centered). (2) Komparasi konsep pendidikan akhlak bagi anak adalah pentingnya akhlak kepada Allah dan sesama manusia. Alam ranah pembelajaran Ibnul Qayyim cenderung mengarahkan peserta didik dalam pengetahuan berfikir yang bersikap, Al-Qabisi lebih pada pendidikan akhlak yang terintegrasi pada kehidupan anak sehari-hari. (3) Penerapan konsep pendidikan akhlak bagi anak dalam keluarga Islam meliputi mendidik akhlak tauhid dan moral dengan metode keteladanan dan pembiasaan. Metode hukuman diperlukan ketika anak melakukan perbuatan maksiat dan dosa.
kontemporer di Indonesia adalah konsep pendidikan perspektif Ibnu Khaldun dapat diterapkan pada pendidikan Islam kontemporer, karena hakikat pendidikan Islam yang sebenarnya sudah mulai hilang dan sudah berbeda materi, kurikulum, dan metode pengajarannya, dan konsep dasar dari Ibnu Khaldun dapat memperbaiki pendidikan Islam Indonesia.
dan berkembang tergantung orang yang mendidiknya serta lingkungan yang membentuk anak tersebut. Konsep pendidikan Ibnu Khaldun menyatakan seseorang terbetuk bukan dari nenek moyangnya, melainkan terbentuk berdasarkan lingkungan sosial, alam dan adat istiadat. Keduanya memiliki persamaan yakni sama-sama berpaham empiris dan mengutamakan keteladanan guru sebagai metode pendidikan serta syarat sebagai seorang pendidik. Adapun perbedaannya adalah secara keseluruhan Al-Ghazali lebih spesifik dalam menerangkan tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan dan metode pendidikan dibandingkan dengan Ibnu Khaldun.
Kesimpulan, pendidikan merupakan sarana untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berwawasan keilmuan, kemampuan mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi, serta mempunyai semangat yang tinggi untuk terus maju dalam menghadapi gejolak hidup yang akan terus datang.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, penulis belum menemukan penelitian mengenai nilai dalam pendidikan karakter secara spesifik. Untuk itu penulis bermaksud melakukan penelitian mengenai nilai dalam pendidikan karakter secara lebih spesifik yaitu dengan mengkomparasikan nilai curiosity (rasa ingin tahu) dalam pandangan Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah.
2. Penegasan Istilah
Penegasan istilah ini untuk mendapatkan kejelasan supaya tidak terjadi kesalahpahaman maka penulis perlu memberikan batasan-batasan dan penegasan beberapa istilah yang ada di dalamnya, yaitu:
a. Nilai
Nilai adalah perasaan-perasaan tentang apa yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, atau tentang apa yang boleh dan tidak boleh. Bidang yang berhubungan dengan nilai adalah etika (penyelidikan nilai dalam tingkah laku manusia) dan estetika (penyelidikan tentang nilai dan seni). Nilai dalam masyarakat tercakup dalam adat kebiasaan dan tradisi yang secara tidak sadar diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat (Hakim, 2001:22-23).
b. Rasa ingin tahu
terus mencari dan mengetahui hal-hal yang baru sehingga akan memperbanyak ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam kegiatan belajar.
Rasa ingin tahu merupakan salah satu bagian dari 18 nilai karakter bangsa yang terkandung dalam pendidikan karakter yang di dalamnya terkandung pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Nilai-nilai karakter tersebut merupakan sejumlah nilai pembentuk karakter yang merupakan hasil kajian empirik Pusat Kurikulum (Samani, dkk, 2012:52) nilai-nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Rasa ingin tahu menjadi salah satu bagian dari nilai-nilai karakter bangsa yang perlu untuk dikembangkan dalam proses pendidikan karekter.
pada anak. Dalam psikologi tradisional curiosity (ingin tahu) mengajarkan anak menjadi penurut, sedangkan dalam psikologi transformatif menggugah kesadaran anak untuk selalu menggali hal yang baru.
Menuntut ilmu merupakan bagian besar dari isi pendidikan Islam, posisi ini terlihat dari kedudukan Al-Qur‟an sebagai referensi paling penting tentang ilmu bagi kaum muslimin: individu, keluarga, masyarakat, dan umat. Ilmu merupakan buah Islam yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan serta membuat hidup dan kehidupan menjadi baik. Ilmu merupakan alat kontrol psikis dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa ilmu, masyarakat manusia tidak akan berbeda dari kumpulan binatang (Munzier, 2008:89).
Sebagaimana dalam firman Allah SWT, QS. Al-„Alaq: 1-5
َقَلَخ يِذَّلا َكِّبَر ِنْساِب ْأَزْقا
Menciptakan, Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha Mulia. Yang
Mengajar (manusia) dengan pena. Dia Mengajarkan manusia
Dari ayat di atas, dapat dijelaskan bahwa Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca. Dimana tulis dan baca itu adalah kunci dari ilmu pengetahuan. Manusia mendapat pendidikan untuk menjadikan dirinya dari tidak tahu menjadi tahu. Membaca dan menulis digunakan sebagai cara untuk membuka begitu banyak wawasan pengetahuan mengenai alam semesta ini.
Dalam Al-Qur‟an pun Allah telah menjelaskan demikian, berarti manusia memang dituntut untuk mencari tahu tentang ilmu pengetahuan, perantaranya bermacam-macam. Jika dalam ayat tersebut Allah mengajarkan manusia melalui perantara tulis baca dengan kata ayat pertama surat tersebut yakni “bacalah”, maka selanjutnya manusia belajar untuk mencari tahu cara membaca satu tulisan yang tercantum dalam surah Al-„Alaq ayat pertama tersebut, sehingga bukan hanya sekedar mengira-ira namun benar-benar belajar bagaimana cara membaca tulisan tersebut.
kepribadian, dan lain sebagainya. Rasa ingin tahu ini merupakan pendorong utama dibalik disiplin ilmu lain dari studi manusia.
Dengan sifat manusia yang selalu ingin tahu dengan berbagai hal, manusia tentu akan bertanya mengenai kehidupannya di masa sekarang begitu juga pada masa yang akan datang. Banyak hal yang akan mereka pikirkan dan akan cari tahu bagaimana mereka akan menghadapi kehidupannya pada masa sekarang ini yang dilengkapi dengan berbagai kondisi, dan mengatasi kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Manusia akan memikirkan bagaimana mengatasi kehidupan di masa datang dengan kondisi yang berbeda dengan masa sekarang, bagaimana mereka akan memikirkan tentang karir, pendidikan, kehidupan bermasyarakat, kondisi pemerintahan, bahkan untuk menemukan pasangan hidup.
Pemikiran mereka melalui pertanyaan-pertanyaan dalam menghadapi kehidupan mereka ini merupakan langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Setelah manusia mendapatkan ilmu pengetahuan maka mereka mampu memikirkan cara atau usaha bagaimana yang harus mereka tempuh untuk memenuhi kebutuhan dalam kelangsungan hidup.
Nama aslinya adalah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin
Sa‟d Al-Zar‟i Al-Dimashqi atau lebih dikenal dengan nama Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah. Dinamakan karena ayahnya berada atau menjadi penjaga (qayyim) di sebuah sekolah lokal yang bernama Al-Jauziyyah. Ia dilahirkan pada tahun 691 H/1292 M di Damaskus dan wafat pada tahun 751 H/1349 M.
d. Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Abdullah Abd al-Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun. Ia dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M, dari keluarga ilmuwan dan terhormat yang telah berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Suatu jabatan yang jarang dijumpai dan mampu diraih orang pada masa itu. Sebelum menyebrang ke Afrika, keluarganya adalah para pemimpin politik di Moorish (Spanyol) selama beberapa abad. Dengan latar belakang keluarganya yang demikian, Ibn Khaldun memperoleh dua orientasi yang kuat: pertama, cinta belajar dan ilmu pengetahuan; kedua, cinta jabatan dan pangkat. Kedua faktor tersebut sangat menentukan dalam perkembangan pemikirannya (Ramayulis, dkk, 2005: 17).
Metode penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan dalam sebuah penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Metode penelitian atau sering disebut juga metodologi penelitian adalah sebuah desain atau rancangan penelitian. Rancangan ini berisi rumusan tentang objek atau subjek yang akan diteliti, teknik-teknik pengumpulan data, prosedur pengumpulan dan analisis data berkenaan dengan fokus masalah tertentu. Metode penelitian (research methods) adalah “cara-cara yang digunakan oleh peneliti dalam merancang, melaksanakan, pengolah data, dan menarik kesimpulan berkenaan dengan masalah penelitian tertentu” (Sukmadinata, 2008:371). Penelitian ini menggunakan beberapa metode antara lain sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan peneliti ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang pengumpulan datanya dengan menghimpun data dari berbagai literature. Maka dalam hal ini, peneliti mengadakan pengumpulan data dengan mengkaji buku-buku, majalah, dan jurnal, yang mempunyai relevansi dengan tema kajian peneliti.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini yang dikaji yaitu salah satu nilai yang termaksud dalam 18 nilai pendidikan karakter, yaitu nilai curiosity (rasa ingin tahu) menurut Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah.
3. Sumber Data
Sumber data merupakan komponen utama dalam penelitian, tanpa sumber data penelitian tidak akan dapat berjalan. Dalam penelitian ini ada dua sumber data yang digunakan, yaitu:
a. Sumber Data Primer
1) Ibnu Khaldun. Al-Muqaddimah Lil „Alamah Ibn Khaldun Juz Awal Min Al-I‟bar wa Diwan al-Mubtada‟ wa al-Khabar fi Ayyam
al-„Arab wa al-„Ajam wa al-Babar wa man Asharum min Dzawi
as-Sulthani al-Akbar.
2) Ibnu Khaldun. 1986. Muqaddimah. Terj. Ahmadie Thoha. Pustaka Firdaus.
3) Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah. 2001. Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim. Terj. Muzaidi Hasbullah. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar. b. Sumber Data Sekunder
4. Pengumpulan Data
Sebagaimana penelitian literatur, dalam pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan media dokumentasi. Sumber-sumber data yang telah terkumpul seperti telah disebutkan di atas, kemudian dijadikan dokumen. Kemudian dokumen-dokumen tersebut dibaca dan dipahami untuk menemukan data-data yang ditemukan sesuai dengan rumusan masalah. Dalam proses ini, data-data yang telah ditemukan sekaligus pengelompokan ke dalam beberapa kelompok. Setelah data yang diperlukan cukup, kemudian dilakukan sistematisasi masing-masing data tersebut untuk selanjutnya dilakukan analisis komparatif.
5. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif Analisis yaitu penyidikan yang kritis terhadap obyek atau data yang membuat gambaran atau deskripsi secara sistematis, faktual, akurat tentang fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. Dalam konteks ini terhadap pemikiran Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim mengenai nilai rasa ingin tahu (curiosity) lebih mendalam.
F. Sistematika Penelitian
menjelaskan bab-bab itu sendiri. Adapun rumusan sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab I, berisi pendahuluan yang merupakan di dalamnya latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
Bab II, pada bab ini peneliti menguraikan gambaran umum dari profil Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim meliputi: riwayat hidup, latar belakang pendidikan, guru-guru, murid-murid, serta karya-karyanya.
Bab III, yaitu berisi tentang pemikiran dan teori dari Ibnu Khaldun dan Ibnul Qayyim mengenai nilai rasa ingin tahu yang terdapat dalam pendidikan karakter.
Bab IV, berisi tentang pemaparan komparasi atau perbedaan dan persamaan antara pemikiran Ibnu Khaldun dan pemikiran Ibnul Qayyim mengenai nilai rasa ingin tahu dalam pendidikan karakter.
BAB II
BIOGRAFI TOKOH
A. Biografi Ibnu Khaldun 1. Kelahiran Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun berasal dari Yaman Hadramaut dengan nama Kholid bin Al Khottob, tinggal di Carmona, sebuah kota kecil terletak di antara Kordova, Sevilla dan Granada. Lahir pada tanggal 27 Mei 1332 M, atau 1 Ramadhan 723 H, di Tunisia. Ia berasal dari keluarga terpelajar dari pemimpin politik di Sevilla dan pada waktu itu keilmuan dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi pemimpin.
Pada waktu itu yang menjadi pemimpin politik di Sevilla berada di tangan keluarga Ibnu Khaldun, dan semua kekuasaan ada di tangan Ibnu Khaldun. Tetapi pada saat Spanyol diserbu oleh Kristen, Ibnu Khaldun mengambil keputusan untuk meninggalkan Sevilla dan menuju ke barat laut Afrika (Siregar, 1998:16-18).
Khaldun, pada abad ke-14 ditandai oleh kemandekan pemikiran dan kekacauan politik. Kekuasaan muslim Arab telah jatuh sehingga banyak negara bagian melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Pertentangan, intrik, perpecahan, dan kericuhan meluas dalam kehidupan politik, dan setiap orang berusaha meraih kesuksesan.
Pada masa inilah Ibnu Khaldun dilahirkan. Beliau lahir dari keluarga terkemuka baik dalam ilmu pengetahuan maupun politik. Pada usia 20 tahun beliau sudah terjun dalam kehidupan politik yang penuh pergolakan mewarnai Maghrib ketika itu. Dengan kejeniusannya dalam berpolitik dan berdiplomasi, namanya cepat dikenal dan disegani oleh banyak kawan maupun lawan politiknya.
Selain sebagai praktisi politik, Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai sosok intelektual muslim yang berkualitas. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun lebih dikenal sebagai filosof, sosiolog dan sejarawan. Hal ini berangkat dari kebesaran teori sosialnya yang terdapat dalam magnum opus-nya, yaitu Muqaddimah.
P.A Sorokin — seperti yang dikutip oleh Fuad Baali dan Ali Wardi — percaya kalau Ibnu Khaldun dapat disebut sebagai “pendiri sosiologi”.
Sementara Toynbee, yang juga dikutip oleh Fuad Baali, menuliskan dalam bukunya A Study of History sebagai berikut.
“Dalam bidang kegiatan intelektual yang dipilihnya, Ibnu Khaldun
tidak mudah mendapatkan penggantinya; di dalam “Muqaddimah”
dan “Sejarah Umum”-nya, beliau telah menyusun dan merumuskan
filsafat sejarah yang tentu merupakan sebuah karya terbesar untuk jenisnya yang belum pernah diciptakan orang lain kapan pun dan
di mana pun sebelumnya.”
Dalam Ensiklopedi Islam juga disebutkan bahwa Muqaddimah membuka jalan menuju pembahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh karenanya, dalam sejarah Islam, Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam.
Dengan demikian, Ibnu Khaldun lebih dikenal sebagai seorang sosiolog, ahli sejarah, dan politisi. Meskipun Ibnu Khaldun dikenal dengan keahlian tersebut, tetapi beliau juga layak disebut sebagai tokoh pendidikan Islam. Hal ini dapat dibuktikan dalam kitab Muqaddimah-nya yang tidak hanya membahas kajian sejarah dan sosiologi an sich, tetapi juga mengkaji persoalan pendidikan. Bahkan hampir sepertiga dari buku atau kitab tersebut membahas tentang pendidikan (Kosim, 2012:3-5).
Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa latar belakang kehidupan sosial seseorang dapat menentukan pola pemikiran, cita-cita, bahkan karir masa depan seseorang.
2. Karir dalam Pemerintahan
Pada saat wabah pes telah menyerang belahan dunia Barat dan yang paling menyedihkan telah menyebabkan orang tuanya dan sebagian guru-gurunya meninggal dunia, dan yang masih ada menguasai ke Kota Fez di Maroko. Untuk mengurangi beban dalam hatinya inilah Ibnu Khaldun mengalihkan perhatiannya dengan menghentikan belajarnya dan mengalihkan perhatiannya pada bidang pemerintahan.
Karir pertama yang dilakukan adalah sebagai Shahahib al-„Allamah (penyimpanan tanda tangan) pada pemerintahan Abu Muhammad Ibn Tafrakin di Tunisia dalam usia mendekati 20 tahun. Pekerjaan ini hanya dijalani selama 2 tahun. Ibnu Khaldun kemudian berkelana menuju Biskara pada tahun 1352 M. Di kota inilah pada tahun 1353 M Ibnu Khaldun menikah dengan putri seorang panglima perang dari Bani Hafs, Jenderal Muhammad Ibn al-Hakim.
Keadaan ini semakin memojokkan Ibnu Khaldun dan masih dicurigai, maka demi mempertahankan karirnya sebagai pengamat dan politikus ia berangkat ke Spanyol dan sampai Granadaa pada 26 Desember 1362.
Pada saat itu Granada dipimpin oleh Muhammad Yusuf bin Ismail bin al-Ahmar, sedangkan wazirnya adalah seorang sastrawan yang terkenal yaitu Lisanuddin bin al-Khatib. Di Granada, sebagai sekretaris Sultan Abu Salim, Ibnu Khaldun mendapat sambutan yang sangat baik dari Sultan dan wazir Granada. Ia dipercayai menduduki jabatan sebagai sekretaris dan penulis pidato-pidato Sultan.
Pada tahun 765 H (1362 M) Ibnu Khaldun ditunjuk Sultan menjadi Pedro El Cruel si bengis, untuk mengadakan berbagai perundingan damai antara Granada dan Sevilla, misi ini pun dilaksanakan dengan sukses. Penguasa Kristen bahkan berusaha mengjaknya untuk membuka kembali lahan perkebunan yang dulu milik keluarganya di Sevilla, namun ia menolaknya. Keberhasilan Ibnu Khaldun ini membuat Raja Muhammad menyenanginya dan sang Sultan pun memberikan tempat dan kedudukan di Granada. Sehingga menimbulkan banyak kecemburuan luar biasa di kalangan perdana menteri Ibn al-Khatib.
Sampai akhirnya al-Khatib terbunuh di Fez pada tahun 1374 M, sehingga Ibnu Khaldun berkali-kali mendapatkan tawaran untuk menduduki jabatan politik dari para Amir (Gubernur), dan untuk kesekian kali Ibnu Khaldun berpindah dari penguasa yang satu kepada penguasa yang lain (Iqbal, 2015:521-522).
3. Pendidikan Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun memperoleh gelar tambahan yaitu Waliuddin At Tunisi Al Hadrowi, merupakan gelar yang diberikan sewaktu dia memangku jabatan hakim (qodli) di Mesir, pada masa pemerintahan Dzahir Burquq, salah seorang sultan Mamluk di Mesir, sedangkan tambahan Al Hadrowi berkaitan dengan nama negara asalnya yaitu Hadromaut. Disamping gelar di belakang namanya masih banyak lagi nama panggilan yang menyatakan tugas dan kedudukan ilmiah dan status sosial, antara lain: Al Wazir, Al Rois, Al Hajib, Al Shadrul Kabir, Al Faqihul Jalil. „Allamatul Ummah,
dan Jamalul Islam Wal Muslimin.
Dari nama-nama tambahan di belakang namanya, nampaklah bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang ilmuwan terkemuka pada zamannya yang telah memperoleh pengakuan dari berbagai kalangan keilmuan, termasuk ilmuwan non muslim (Siregar, 1999:18-20).
Ibnu Khaldun sejak kecil sudah menghafal Al-Qur‟an dan mempelajari tajwid secara baik. Gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri yang mempunyai kemahiran dalam bidang syar‟i, retorika sya‟ir, dan filsafat.
Ayahnya yang hidup di Tunisia yang pada waktu itu merupakan pusat perkumpulan para ulama dan sastrawan dari Negara-negara Maghribi yang hijrah dari Andalusia. Di antara para ulama tersebut ada yang menjadi guru Ibnu Khaldun, sebagaimana dikemukakan oleh Fathiyyah Hasan Sulaiman: dia belajar Al-Qur‟an dari mereka, mempelajari dan mendalami
ketujuh macam Qiro‟at Ya‟kub. Penciptanya adalah Ya‟kub Ishak bin
Zaid bin Abdillah Al Hadromi Al Bashri (118-205 H). Qiro‟at ini diriwayatkan dengan dua cara. Pertama, riwayat Muhammad bin Al Mutawakkil yang dikenal dengan Barwis.
Kedua, dari Ruh bin Abdil Mu‟min Al Hudzali. Dia juga mempelajari
ilmu syari‟at, yaitu ilmu tafsir, hadits, ushul, tauhid, dan fiqh bermadzhab
Imam Maliki (madzhab yang masih dan tetap diikuti sebagian kaum muslimin di Maghribi). Selain itu dia juga mempelajari ilmu bahasa, nahwu, shorf, balaghoh, dan kesusastraan. Kemudian ia juga mempelajari logika, filsafat, serta ilmu fisika dan matematika.
Dalam berbagai karyanya, Ibnu Khaldun mencatat nama-nama gurunya, menuliskan riwayat hidupnya, meneliti kedudukan mereka dalam dunia keilmuan dan karya-karya mereka. Guru-gurunya yaitu: Muhammad
Muhammad bin Syawas Al Zarzaly, Ahmad bin Al Qosyar, Muhammad bin Bahr, Muhammad bin Jabir Al Qoisy, Muhammad bin „Abdil Salam,
Muhammad bin Sulaiman Al Syathy, Ahmad Al Zawwy, „Abdullah bin
Yusuf bin Ridwan Al Maki, Abu Muhammad „Abdillah Muhaimin bin
„Abdil Muhsimin Al Hadromiy, dan Abdil Muhammad bin Muhammad Al
Aliby.
Dari sekian banyak guru-gurunya, ada dua orang yang sangat berpengaruh bagi Ibnu Khaldun, yaitu dalam bidang keilmuan syari‟at, bahasa, dan filsafat. Mereka adalah Muhammad bin „Abdillah Muhaimin
bin „Abdil Muhaimin Al Hadromy, seorang imam Muhadditsin dan ahli nahwu di Maghribi. Kemudian Abu „Abdillah Muhammad bin Ibrahim Al
Aliby dalam bidang ilmu rasional yang disebut juga ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu hukum, logika, metafisika, fisika, ilmu falaq, dan musik.
Buku-buku yang pernah dipelajari Ibnu Khaldun yaitu: Al Lami‟ah fil Qiro‟at, Al Roiyah fi Rosmil Mushaf, keduanya adalah karangan Al
Syatiby, kemudian Al Tashil fi „Ilmi An Nahwy karangan Abu Al Farj Asfahany, Al Mu‟allaqot, Kitabul Khamsah lil „Alam, Ontology, puisi
Mudawwurrohmah karangan Al Munafiqh madzhab Maliki. Ibnil Hajib tentang Fiqh dan Ushl, serta Sairu karangan Ibnu Ishaq.
Dari sekian banyak guru-gurunya dalam menimba ilmu, serta begitu banyak buku-buku yang sudah pernah dipelajarinya, membuktikan ia adalah seorang pecinta berbagai ilmu pengetahuan, sehingga ia mendapat perhatian di kalangan penguasa pada masa itu (Siregar, 1999:20-24).
5. Murid-murid Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mempunyai banyak murid, baik pada waktu ia mengajar di Universitas Al Qasbah Tunisia maupun pada waktu mengajar di Kairo. Murid-murid yang ternama antara lain:
a. Sejarawan ulung Taqiyyuddin Ahmad Ibnu Ali Al Maqrizi pengarang buku Al Suluk Li Ma‟rifah Duwal Al Muluk. Pada buku ini, Al Maqrizi mengungkapkan bahwa guru kami Abu Zaid Abd Al Rahman ibnu Khaldun datang dari Negeri Maghribi dan mengajar di Al Azhar serta mendapat sambutan baik dari masyarakat.
b. Ibnu Hajar Al „Asqalani, seorang ahli hadits dan sejarawan terkenal
(wafat 852 H). Dikabarkan bahwa ia sering mengadakan pertemuan dengan Ibnu Khaldun untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran yang berharga tentang karya-karya Ibnu Khaldun terutama tentang sejarah.
Dengan banyaknya persoalan yang bermunculan, Ibnu Khaldun telah jenuh dan lelah untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak dan tantangan ini, naluri kerjasamanya memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak dan tantangan ini.
Dalam kondisi demikian Ibnu Khaldun memasuki suatu tahapan dari kehidupannya yang biasa disebut dengan Khalwat. Masa yang sangat menentukan keberhasilan Ibnu Khaldun dalam bidang keintelektualan, yang dilalui Ibnu Khaldun selama 4 tahun dari 776-780 H/1374-1378 M. Masa Khalwat ini dilakukan di sebuah desa kecil yang bernama Qal‟at Ibn Salamah di rumah Bani Arif. Di tempat inilah Ibnu Khaldun menghabiskan waktunya untuk studi dan mengarang kitan al-I‟bar atau Tarikh Ibnu Khaldun yang volume pertamanya diberi judul Muqaddimah, yang pada keluaran pertama sangatlah digandrungi para ahli sejarah, sosiolog, filosof, dan juga dalam dunia pendidikan karena ide-ide pemikirannya dinilai orisinil dan komprehensif. Menurut beberapa keterangan Ibnu Khaldun telah melakukan percobaan dengan menggabungkan antara agama yang konvensional dengan filsafat yang rasional.
Pada tahun 780 H/1378 M Ibnu Khaldun dan keluarganya meninggalkan Qal‟at Ibn Salamah menuju Tunisia. Di Tunisia ia terus
perpustakaannya. Naskah tersebut terdiri dari kata pengantar, pendahuluan, dan Muqaddimah Ibnu Khaldun, serta sejarah Maghribi (Babar dan Zanatah), Negara-negara Arab, sejarah orang-orang Arab sebelum dan sesudah kedatangannya, serta sejarah Negara-negara Islam. Naskah ini dikenal dengan Naskah Tunisia (Iqbal, 2015:522-523).
7. Karya-karya Ibnu Khaldun
Karya-karya Ibnu Khaldun yang banyak dibahas para ahli samai saat ini ialah Al-I‟bar, Muqaddimah, dan Al-Ta‟rif. Sebenarnya kitab Muqaddimah dan Al-Ta‟rif adalah bagian dari kitab Al-I‟bar yang terdiri dari tujuh jilid. Muqaddimah merupakan pengantar Al-I‟bar, dan Al-Ta‟rif merupakan bagian penutupnya. Adapun penjelasan mengenai kitab
Al-I‟bar yang terdiri dari tujuh jilid besar tersebut ialah sebagai berikut:
a. Jilid pertama disebut dengan kitab Muqaddimah
Muqaddimah ialah bagian pertama dari kitab Al-I‟bar yang membahas tentang masyarakat dan gejala-gejalanya, seperti: pemerintahan, kedaulatan, kekuasaan, otoritas, pencaharian, penghidupan, perdagangan, keahlian, ilmu-ilmu pengetahuan, dan sebab-sebab, serta alasan-alasan untuk memilikinya. Kitab pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan yang terdapat dalam kitab
Al-I‟bar. Sehingga karya ini dikenal sebagai karya yang monumental
Muqaddimah merupakan kekayaan yang tidak terkira dalam warisan intelektual sastra Arab karena pemikiran dan penelitiannya yang sangat luar biasa serta memuat berbagai metode gejala-gejala sosial dan sejarahnya, memuat berbagai aspek kehidupan dan juga ilmu pengetahuan. hal tersebut membuat pemikiran Ibnu Khaldun tetap dibicarakan hingga kini sebagaimana pemikir-pemikir besar lainnya sepanjang masa.
Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan kitab Muqaddimah hanya dalam waktu lima bulan di Benteng Salamah pada pertengahan 779 H/1377 M, untuk kemudian direvisi, serta melengkapinya dengan berbagai sejarah bangsa-bangsa. Kitab ini menjadi kajian dan teori canggih yang menempati posisi tertinggi di antara hasil-hasil pemikiran manusia.
Pokok-pokok pembahasan di dalam kitab Muqaddimah dibagi menjadi enam bab. Bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:
1) Bab pertama membahas peradaban dan kebudayaan umat manusia secara umum.
2) Bab kedua membahas tentang kebudayaan Badui dan suku-suku yang lebih beradab, peradaban masyarakat pengembara, bangsa dan kabilah-kabilah liar, serta kehidupan mereka.
menekankan filsafat sejarah untuk mengetahui sebab-sebab munculnya kekuasaan dan sebab-sebab runtuhnya suatu negara. 4) Bab keempat membahas berbagai hal tentang wilayah-wilayah
pedesaan dan perkotaan, kondisi yang ada, berbagai peristiwa yang terjadi, dan hal-hal utama yang harus diperhatikan.
5) Bab kelima membahas berbagai hal tentang sisi perekonomian negara, mata pencaharian, ekonomi, perdagangan, dan industri.
6) Bab keenam membahas berbagai jenis ilmu pengetahuan,
pengajaran dan metode-metodenya, serta berbagai aspek yang berkaitan dengan masalah tersebut dalam tradisi Arab.
Dari pembagian-pembagian bab di atas, terlihat jelas betapa luas dan beragamnya bidang kajian yang dihasilkan oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, yang ditujukan untuk mengkritik sejarah dalam upaya menemukan hukum-hukum sejarah yang terkait dengan kehidupan sosial-politik.
b. Jilid ke-2 hingga ke-5 disebut dengan kitab Al-I‟bar
Al-I‟bar merupakan karya utama bagi Ibnu Khaldun. Adapun
judul asli dari kitab Al-I‟bar yaitu Kitab Al-I‟bar wa Diwan al
-Mubtada‟ wa al-Khabar fi Ayyam al-„Arab wa al-„Ajam wa al-Babar
wa man Asharum min Dzawi as-Sulthani al-Akbar (kitab pelajaran dan
serta raja-raja besar yang semasa dengan mereka). Karena judul kitab tersebut terlalu panjang, sehingga dalam berbagai referensi pada umumnya sering disebut dengan kitab al-I‟bar atau Tarikh Ibnu Khaldun.
Kitab al-I‟bar diselesaikan Ibnu Khaldun ketika bermukim di
Qal‟ah Ibn Salamah, daerah Al-Jazair. Beliau memulai hidup baru di
tengah kesunyian padang pasir tersebut dengan menghabiskan waktu selama empat tahun (776-780 H) dan berkonsentrasi dalam menulis
Al-I‟bar sebagai suatu karya sosio-historis yang terkenal.
Kitab kedua yang terdiri dari empat jilid ini menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi dan dinasti-dinastinya sejak kelahiran Ibnu Khaldun. Di samping itu juga berisi tentang sejarah beberapa bangsa yang terkenal pada saat itu dan orang-orang besar beserta dinasti-dinastinya, seperti Bangsa Pontian, Syria, Persia, Yahudi (Israel), Koptik (Mesir), Yunani, Romawi, Turki, dan Franka (orang-orang Eropa) hingga abad ke-8 H/14 M.
c. Jilid ke-6 dan ke-7 disebut dengan kitab Al-Ta‟rif
Bani „Abdul Wadd, dan Dinasti Bani Marin (Mariyin). Pembahasan
terakhir dari kitab ini adalah tentang Ibnu Khaldun yang berbicara tentang dirinya sendiri. Beliau menyelesaikan penulisan kitab ini pada awal tahun 797 H. Kitab ini berjudul Al-Ta‟rif bi Ibn Khaldun, Muallif Hadza Al-Kitab (perkenalan dengan Ibnu Khaldun, pengarang kitab ini). Kitab ini kemudian direvisi dan dilengkapi dengan hal-hal baru hingga akhir 808 H, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Dengan demikian, karya itu menjadi lebih tebal dan berganti judul menjadi
Al-Ta‟rif bi Ibn Khaldun Muallif Hadza al-Kitab wa Rihlatuh Gharban
wa Syarqan (perkenalan dengan Ibnu Khaldun, pengarang kitab ini dan perjalanannya ke Timur dan Barat).
Tiga karya di atas (terutama Muqaddimah) menjadikan Ibnu Khaldun sebagai salah satu ilmuan dunia, yang pemikirannya terus mengembara dan berpengaruh hingga kini. Di samping ketiga karya tersebut, beberapa referensi menyebutkan bahwa Ibnu Khaldun memiliki karya-karya lain, seperti:
a. Lubab al-Muhashshal fi Ushul al-Din, yaitu ikhtisar terhadap
al-Muhashshal Imam Fakhruddin al- Razi (534-606 H) yang
berbicara tentang teologi skolastik.
b. Syifa‟ al-Sail li Tahzib al-Masail, yang ditulis oleh Ibnu Khaldun
tasawuf dan hubungannya dengan ilmu jiwa serta masalah syariat (fiqh).
c. Burdah al-Bushairi.
d. Buku kecil sekitar 12 halaman yang berisikan keterangan tentang negeri Maghribi atas permintaan Timur Lenk ketika bertemu di Syria.
8. Wafatnya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai tulisan-tulisan yang ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan ia perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang diadaptasi oleh situasi dan kondisi.
umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh karena itu pendidikan Al-Qur‟an dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran
Al-Qur‟an pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu yang lain.
Ibnu Khaldun wafat di Kairo, Mesir pada saat bulan suci Ramadhan, tepatnya pada tanggal 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M (Iqbal, 2015:519).
B. Biografi Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah 1. Nama dan Kelahirannya
Namanya adalah Muhammad bin Abi Bakar bin Ayyub bin Sa‟d bin
Hariz bin Makki, Zainuddin Az-Zur‟i Ad-Dimasqi Al-Hambali. Nama kuniyah atau panggilannya adalah Abu Abdillah, sedang nama laqob atau julukan atau gelarnya adalah Syamsuddin. Dia terkenal dengan nama Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah yang diringkas dengan sebutan Ibnul Qayyim, dan nama inilah yang lebih dikenal daripada sebutan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
Adapun Al-Jauzi adalah nisbat kepada sebuah nama tempat di Bashrah. Dan ada yang mengatakan bahwa nama ini dinisbatkan kepada kepompong (ulat sutera) dan penjualannya.
Kelahirannya:
Dr. Bakar Abu Zaid mengatakan, “Kitab-kitab Tarajum (biografi)
sepakat mengatakan bahwa kelahiran Ibnul Qayyim adalah pada tahun 691
Hijriyah.” Muridnya yang bernama Ash-Shafadi menuturkan bahwa
kelahirannya secara tepat adalah pada hari ke tujuh di bulan Shafar tahun 691 Hijriyah.
Para ulama dalam menyebutkan biografi Ibnul Qayyim dan ayahnya adalah bahwa mereka berdua berkebangsaan Az-Zar‟i dan kemudian pindah ke Damaskus.
Dari sini dapat diketahui bahwa istilah ini (berkebangsaan Az-Zar‟i dan kemudian pindah ke Damaskus) digunakan dengan maksud bahwa tempat kelahiran adalah tempat yang pertama sedang tempat kedua adalah tempat tempat pindah mereka.
2. Kondisi Sosio-Epistemologis di Zaman Ibnul Qayyim
Dekade kelahiran Ibnul Qayyim pada tahun 691-751 H/1292-1350 M, hanya berselang 35 tahun dan tragedi runtuhnya kerajaan Baghdad di tangan tentara Mongol dan dunia Islam ketika itu masih dalam kondisi berkabung yang sangat mendalam. Bencana yang traumatis akibat serangan Hulagu Khan pada tahun 1258 M itu tidak hanya menghancurkan dominasi sosio-politik dunia Islam, tetapi juga membumihanguskan sebagian khazanah ilmiah (epistemologis) umat Islam dengan cara membunuh para ulama, pembakaran dan pemusnahan karya-karya monumental cendekiawan Islam yang ada di Baghdad. Sebagaimana diketahui dalam kajian sejarah, Baghdad sebelum ditaklukan Hulagu Khan merupakan gudang epistemologis (berbagai disiplin ilmu pengetahuan) dan tempat berkumpulnya para ulama.
Jatuhnya Baghdad oleh Hulagu tidak menghambat perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Jauh sebelumnya, di dunia Islam, telah lahir daerah-daerah lain sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Kota Syam ataupun Mesir yang tidak terikat dengan kekhilafahan Baghdad, tidak terpengaruh dengan jatuhnya Baghdad, dan telah mengambil alih peran penting itu. Kota tersebut sebagai pusat ilmu keislaman dan menjadi tempat persinggahan ilmuwan. Syam dan Mesir bukan hanya menjadi tempat perkembangan berbagai bentuk pemikiran dan ideologi, tetapi juga merupakan tempat perkembangan dan pertumbuhan berbagai bentuk golongan kalam, aliran tasawuf, dan filsafat. Suasana lingkungan ilmiah begitu kondusif ini telah menjadi lahan yang subur dan nyaman bagi pembentukan kepribadian ilmuwan cemerlang seperti Ibnul Qayyim dan gurunya, Ibnu Taimiyah, serta tokoh-tokoh ulama lainnya.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika Ibnul Qayyim hanya menuntut ilmu di Syam dan Mesir, karena suasana ilmiah yang begitu semarak di Baghdad sebelum dihancurkan Hulagu Khan, telah berpindah ke Mesir dan Syam di bawah pemerintahan Dinasti Mamluk. Namun sangat disayangkan, perkembangannya hanya sebatas bahasa Arab, indoktrinasi sunni dan kelangsungan fiqh madzhab, tetapi tidak merembes ke pengetahuan umum (Supriyatno, 2011:28).
Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Ibnul Qayyim adalah seseorang yang pandai dalam masalah madzhab, seorang brilian, sering memberikan fatwa, selalu bersama dengan Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyah, pandai dalam ilmu-ilmu keislaman, menguasai tentang tafsir yang tiada bandingannya, pandai dalam bidang Ushuluddin, hadits, makna dan fikihnya serta rahasia pengambilan hukumnya.
Dia juga mahir dalam bidang fikih dan Ushul fikihnya, pandai dalam bidang bahasa Arab, ilmu kalam, nahwu. Ia juga pandai dalam ilmu biografi, pandai dalam mencerna perkataan para ahli sufi, isyarat dan rahasia-rahasianya. Dalam bidang ilmu-ilmu di atas, dia sangat menguasainya.”
Ibnu Katsir mengatakan, “Dia belajar hadits, konsen menuntut ilmu
dan pandai dalam beragam bidang ilmu, terutama dalam bidang tafsir, hadits, dan Ushul. Dan ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kembali dari Mesir pada tahun 712 H, dialah orang yang selalu menyertainya sampai Syaikh wafat. Dari Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim menyerap ilmu, menggantikan sang guru mengajar sehingga dia mendapatkan tambahan ilmu yang luar biasa banyaknya, sehingga murid-muridnya pun semakin banyak yang keluar masuk dari rumahnya siang maupun malam.”
4. Ibadah dan Akhlaknya
Ibnu Rajab Al-Hambali mengatakan, “Ibnul Qayyim adalah seorang yang banyak beribadah dan melakukan tahajud, seorang yang sholatnya panjang, banyak berdzikir, dan yang sangat mahabbah (kecintaan kepada Allah).”
Dia adalah seorang yang benar-benar bertaubat kepada Allah, banyak istighfar, yang sangat merasa butuh kepada Allah, dan yang tangannya terkepal karena banyak beribadah kepada Allah. Saya tidak pernah melihat dan mendengar orang yang lebih tinggi ilmunya darinya, tidak ada yang lebih tahu tentang makna Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan hakikat iman.
Dia bukanlah seorang yang maksum (terbebas dari dosa), namun saya tidak pernah melihat orang seperti dia. Dia banyak mendapatkan ujian, disiksa beberapa kali, dipenjara bersama dengan Syaikh Taqiyuddin di
Qal‟ah, dan tidak sudi keluar meninggalkan Syaikh Taqiyuddin hingga dia
meninggal.
Di penjara, dia banyak membaca Al-Qur‟an dan menyelami artinya, banyak bertafakkur hingga dari situlah dia banyak merengkuh kebaikan. Dengan itu pula, dia dapat merasakan hidup yang sebenarnya. Dengan sebab dipenjara itu pula dia dapat menguasai ilmu makrifat, menyelaminya, dan banyak mengarang buku dalam bidang ini.
Ibnu Katsir pernah berkata, “Di zaman kami, saya tidak pernah
Ibadahnya (sholatnya) dapat ditandai yaitu dengan memanjangkannya,
memperlama ruku‟ dan sujudnya, sampai terkadang teman-temannya
mencelanya, namun dia tetap tidak merubahnya.”
Ibnu Hajar mengatakan, “Usai selesai shalat subuh, Ibnul Qayyim
biasanya tidak meninggalkan tempatnya, dia berdzikir kepada Allah sampai datang waktu siang, sambil berkata, “Ini adalah bagian waktu
pagiku. Jika aku tidak menggunakannya untuk duduk berdzikir, maka kekuatanku akan melemah.”
Dia juga berkata, “Dengan kesabaran dan kefakiran, maka
memperoleh keutamaan dalam agama.” Dan dia juga berkata, “Seorang
yang berjalan haruslah mempunyai tujuan dalam perjalanannya itu, harus pula mempunyai ilmu yang memberitahukan dan menunjukkannya.”
5. Perjalanannya Mencari Ilmu
Dr. Bakar bin Abdullah Abu Zaid mengatakan, “Orang yang membaca
biografi Ibnul Qayyim, akan mengetahui bahwa dia adalah seorang yang haus akan ilmu pengetahuan. seorang yang bersungguh-sungguh dalam belajar, merenung dan berguru dari para syaikh yang bermadzhab Hambali maupun yang tidak.
Salah seorang guru Ibnul Qayyim adalah Asy-Syihab Al-„Abir yang meninggal pada tahun 697 H. Dari dialah Ibnul Qayyim mulai belajar dengan cara sima‟ (memperdengarkan bacaan di hadapan sang guru), yaitu pada usia tujuh tahun. Ibnul Qayyim sangat menghormatinya. Disebutkannya dalam kitabnya Zad Al-Ma‟ad, “Aku memperdengarkan beberpa juz kepada Asy-Syihab, namun dia kurang setuju dengan apa yang aku lakukan dikarenakan umurku yang masih sangat belia.”
Walaupun dia mempunyai umur yang relatif singkat yaitu berkisar enam puluhan tahun namun waktu yang sesingkat itu dia telah membuktikan bahwa dia adalah penuntut ilmu yang berhasil.
6. Guru dan Murid-muridnya
Guru-gurunya adalah: Ayahnya sendiri Abu Bakar bin Ayyub Qayyim Jauzi, Ibnu Abiddaim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Asy-Syihab Al-Abir, Ibnu Asy-Syirazi, Al-Majd Al-Harrani, Ibnu Maktum, Al-Kuhhali,
Al-Baha‟ bin Asakir, Al-Hakim Sulaiman Taqiyuddin Abu Fadl bin
Hamzah.
Juga, Syarafuddin bin Taimiyah saudara Syaikhul Islam,
Al-Mutha‟im, Fatimah binti Jauhar, Majduddin At-Tunisi, Al-Badar bin
Jama‟ah, Abu Al-Fath Al-Ba‟labaki, Ash-Shaf Al-Hindi, Az-Zamlakani,
Ibnu Muflih, dan Al-Mizzi.
Al-Qayyim, anaknya bernama Abdullah bin Muhammad, As-Subki, Ali bin Abdulkafi bin Tamam As-Subki, Adz-Dzahabi, Ibnu Abdulhadi, An-Nablusi, Al-Ghazi dan Al-Fairuz Abadi Al-Muqri.
7. Karangan-karangannya yang telah Dicetak
a. Dalam bidang ilmu fiqih dan ushul fiqih:
1) I‟lam al-Muwaqqi‟in „an-Arabbi al-„Alamin
2) Ath-Thuruq al-Hukmiyah fi as-Siyasah asy-Syari‟ah
3) Tuhfah al-Maulud fi Ahkam al-Maulud
4) Al-Furusiyah
b. Dalam bidang ilmu kalam:
1) Al-Kafiyah al-Syafiah fi al-Inthishar li al-Faruq al-Najiyah 2) Al-Syifa al-„Aqil fi Masail al-Qadha wa al-Hikmah
c. Dalam bidang hadits dan sirah:
1) Tahdzib Sunan Abi Daud wa Idhah „Ilaihi wa Musyakilatihi
2) Zad al-Ma‟ad fi Hadyi Khair al-Ibad d. Dalam bidang akidah:
1) Ijtima‟ al-Juyusy al-Islamiyah ala Ghazwi al-Mu‟atilah wa al
-Jahmiyah
2) Ash-Shawaqi al-Mursalah „ala Jahmiyah wa al-Mu‟athilah
3) Syifa‟ al-„Alil fi Masa‟il al-Qadha wa al-Qadar wa al-Hikmah wa
at-Ta‟lil
5) Had al-Arwah ila Bilad al-Afrah
6) Ar-Ruh
e. Dalam bidang akhlak dan tasawuf:
1) Madarij as-Salikin Baina Manazil Iyyaka Na‟budu wa Iyyaka
Nasta‟in
2) Uddah ash-Shabirin wa Dzakhirah asy-Sya‟irin
3) Ad-Da‟ wa ad-Dawa‟
4) Al-Wabil ash-Shayyib min al-Kalim ath-Thayib
5) Raudhah al-Muhibbin wa Nuzat al-Mustaqin
f. Dalam bidang ilmu yang lain: 1) At-Tibyan fi al-Aqsam al-Qur‟an
2) Badai‟i al-Fawa‟id
3) Jala‟ al-Afham fi Shalati wa as-Salam „ala Khair al-Anam
4) Raudhah al-Muhibbin
5) Thariq al-Hijratain wa Bab as-Sa‟adatain
6) Miftah Dar as-Sa‟adah
8. Meninggalnya
Ibnu Katsir berkata, “Yang mengiringi jenazahnya membludak. Diikuti oleh para qadhi, para pejabat, orang-orang shalih, baik yang khusus maupun yang umum. Dan, orang-orang berebutan mengangkat peti jenazahnya.”
Ia dimakamkan di Damaskus di perkuburan Al-Bab Ash-Shaghir di samping makam kedua orang tuanya. Disebutkan oleh sebagian murid-muridnya, bahwa sebelum meninggal dia bermimpi bertemu dengan Syaikh Taqiyuddin.
Dalam mimpinya itu ia bertanya kepada sang syaikh tentang tempatnya nanti. Dan sang syaikh memberikan isyarat akan ketinggian tempatnya nanti di atas tempat para pembesar ulama. Syaikh Taqiyuddin lalu berkata kepadanya, “Dan kamu sebentar lagi menyusul kami. Akan tetapi sekarang kamu berada setingkat dengan Ibnu Khuzaimah.” (Farid,
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
IBNU KHALDUN DAN IBNUL QAYYIM
A. Nilai Curiosity (Rasa Ingin Tahu) menurut Ibnu Khaldun 9. Hakikat Ilmu Pengetahuan
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga macam, yaitu: a. Ilmu Lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra
atau bahasa yang tersusun secara puitis (sya‟ir).
b. Ilmu Naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah Nabi, sanad dan hadits yang pentashihannya (pembenarannya) serta pengambilan keputusan tentang kaidah-kaidah fiqih. Dengan ilmu, manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia. Dari Al-Qur‟an itulah akan didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara pengambilan keputusan.
(perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggap sebagai ilmu fasid, karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Hal itu merupakan sesuatu yang batil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa setiap ilmu naqli dari agama-agama sebelum Islam telah dihapuskan dan usaha untuk mengkajinya dilarang. Dasar yang digunakan oleh Ibnu Khaldun untuk melarang tersebut adalah hadits Nabi yang artinya: “Janganlah kalian benarkan ahli kitab dan
jangan kalian bohongi mereka dan katakan, sesungguhnya kami beriman kepada (Kitab) yang diturunkan kepada kami dan Tuhan kalian adalah satu. Pernah Nabi melihat sehelai lembaran Kitab Taurat di tangan Umar RA, Nabi marah lalu berkata; Tidaklah aku telah datang pada kalian dengan membawa (Kitab Taurat itu) dalam keadaan putih bersih? Demi Allah seandainya Musa masih hidup, tak lapang ia kecuali menjadi pengikutku.” (Sulaiman, 1987:546).
Dari beberapa uraian tersebut, maka pemikiran Ibnu Khaldun mengenai ilmu pengetahuan, berorientasi kepada:
adalah buah dari suatu aktivitas; intelektual fisik, di dalam suatu waktu. Dengan demikian pandangannya sejalan dengan pandangan yang mengatakan bahwa belajar harus melibatkan akal dan fisik secara serempak dan belajar tidak akan bisa benar apabila hal tersebut tidak terjadi.
b. Orientasi kepada keseimbangan ilmu agama dengan ilmu aqliyah. Walaupun Ibnu Khaldun meletakkan ilmu agama pada tempat pertama jika dilihat dari segi keguruan bagi murid karena membantu untuk lebih baik.
c. Orientasi pada pendapat bahwa tugas mengajar adalah alat terpuji untuk memperoleh rizki.
d. Orientasi menjadikan pengajaran yang lebih bersifat umum yang mencakup berbagai aspek dari ilmu pengetahuan (Siregar, 1999:56-57).
10.Pendidikan
Pendidikan sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sifatnya mutlak, baik dalam kehidupan seseorang, maupun bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu. Pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Sudirman, dkk, 1989:3-4).
Dalam kitab Muqaddimah (Thoha, 1986:527), Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberi gambaran-gambaran secara umum, seperti:
“Barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik
oleh zaman”. Maksudnya, barang siapa tidak terdidik oleh tata karma
sejarah, dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita.
Jadi pendidikan menurut Ibnu Khaldun tidak hanya proses belajar mengajar di dalam ruangan (formal) tetapi pendidikan juga dapat terjadi pada suatu kebiasaan, pengalaman, dan lingkungan di sekitarnya.
Pendapat Ibnu Khaldun mengenai pendidikan ini sejalan dengan pendapat para ahli (pendidikan). Menurut Langeveld, sebagaimana yang dikutip oleh Maunah (2009:4), “pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh,
perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.”
Sedangkan Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, dalam arti, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Hisbullah, 2009:4).
11.Metode Pendidikan
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan bisa diperoleh dengan cara:
a. Berpikir (Tafakur)
Yakni aplikasi akal untuk membuat analisa dan sintesa melalui alat indera (pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perasaan). Proses berpikir ini sebagai af‟idah (jama‟ fu‟ad). Adapun tingkatan berpikir:
1) Manusia adalah makhluk yang berbeda dengan makhluk lainnya, manusia diberi akal agar mampu berpikir, sehingga dapat mengatur tindakan-tindakannya secara tertib, bentuk pemikiran semacam ini adalah presepsi yang bisa membedakan manusia tentang segala sesuatu yang bermanfaat baginya dan yang mencelakai dirinya (al-aql at-tamyizi/pembeda).