BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan yang serius terutama pada anak usia 1- 5 tahun dan merupakan penyebab kematian anak
di negara berkembang. ISPA yang tidak mendapatkan perawatan dan pengobatan yang baik akan menjadi infeksi saluran pernafasan bawah atau pneumonia sering
terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan kombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higiene dan merupakan penyebab kematian paling sering pada anak (Direktorat Jenderal P2M&PL, 2006).
Pneumonia merupakan salah satu bentuk infeksi saluran nafas bagian bawah akut (ISNBA) yang tersering. Pneumonia merupakan peradangan yang mengenai
parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran udara setempat ( Dahlan, 2007).
Berdasarkan data WHO proporsi penyebab kematian anak-balita di Negara berkembang adalah pneumonia 19%, diare 17%, malaria 8% dan campak 4%. Jika
digabungkan, di seluruh dunia pneumonia menyebabkan hampir satu pertiga atau 29% kematian anak dibawah usia 5 tahun (Said, M, 2010).
Di Indonesia menurut laporan survei mortalitas subdit ISPA pada tahun 2005 di 10
sebesar 23,8% dan pada anak balita sebesar 15,5%. Kedua data tersebut menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian balita utama di Indonesia (Direktorat
Jenderal P2PL, 2006).
Pada tahun 2006, cakupan penemuan pneumonia balita di Jawa Tengah
mencapai 26,62%. Angka tersebut mengalami penurunan pada tahun 2007 yaitu menjadi 24, 29% dan pada tahun 2008 juga mengalami penurunan menjadi 23,63%. Angka ini sangat jauh dari target SPM tahun 2010 sebesar 100% (Dinkes
Jawa Tengah,2008).
Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2010 jumlah
kasus pneumonia mencapai 14,40%, sementara pada tahun 2011 jumlah kasus pneumonia mencapai 10,67% (Dinkes Banjarnegara, 2011). Data tersebut diantaranya 35 Puskesmas yang ada di Kabupaten Banjarnegara. Tercatat di
Puskesmas Banjarmangu I tahun 2010 menyebutkan bahwa sebanyak 17,24% kasus pneumonia balita, tahun 2011 mencapai 18,57% kasus pneumonia balita
dan tahun 2012 pada bulan Januari sampai bulan April mencapai 9,22% kasus balita pneumonia ( Puskesmas Banjarmangu I, 2011).
Berdasarkan Lokakarya Nasional III tahun 1990, Program Pengendalian
Penyakit ISPA telah memfokuskan diri pada penanganan pneumonia pada anak dan membagi penatalaksanaan penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia
dan bukan pneumonia. Salah satu jenis ISPA yang menjadi pembunuh utama balita di dunia adalah pneumonia (Direktorat Jenderal P2PL, 2009).
Untuk mewujudkan perawatan secara optimal bagi penderita juga diperlukan
pada anak dan keluarganya (Nelson, 2002). Makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga banyak pula pengetahuan yang
dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap perubahan hidup sehat (Notoatmodjo, 2005), sedangkan
menurut Effendy (2002) dalam hal ini bila semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka ibu akan dapat memilih alternatif yang terbaik bagi anaknya dan cenderung memperhatikan hal-hal yang penting tentang perawatan anaknya.
Dampak bila ibu tidak memberikan perawatan yang baik pada balitanya akan memperberat penyakitnya yaitu menjadi pneumonia berat sehingga saat di bawa
ke rumah sakit keadaannya sudah semakin memburuk. Dampak lainnya yaitu berat badan balita menurun, demam tidak berkurang dan nafsu makan berkurang. Salah satu kriteria keberhasilan perawatan di rumah adalah bila saat 2 hari
kemudian pernafasannya membaik (melambat), demam berkurang dan nafsu makan membaik dan pemberian antibiotik selama 5 hari (WHO, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada 10 ibu yang berkunjung ke puskesmas tentang cara perawatan balita sakit, 4 ibu menjawab tidak memberikan kompres air hangat unuk menurunkan demam, 10 ibu tidak
tahu balita harus diberikan banyak minum, 2 ibu tidak tahu bahwa penyakit pneumonia menular sehingga tidak melakukan upaya pencegahan.
memberikan makanan bergizi, pemberian cairan, kompres saat demam dan membersihkan jalan nafas (Kemenkes, 2010).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan kejadian pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarmangu I Kabupaten Banjarnegara bahwa terdapat kasus pneumonia balita usia 1 – 5 tahun tercatat 222 kasus. Dari pemaparan informasi diatas bahwa kejadian pneumonia
merupakan penyakit yang sering menyerang pada balita. Maka peneliti tertarik untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kemampuan keluarga dalam
merawat balita dengan pneumonia.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
“Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kemampuan keluarga
dalam merawat balita dengan pneumonia di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarmangu I Kabupaten Banjarnegara.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang pendidikan, status ekonomi, pengetahuan, pekerjaan, perilaku keluarga, sikap, serta sikap dan dukungan petugas
kesehatan terhadap kemampuan keluarga dalam merawat balita dengan pneumonia.
b. Mengetahui hubungan antara faktor pendidikan, status ekonomi
kesehatan dengan kemampuan keluarga dalam merawat balita dengan pneumonia.
c. Menganalisis faktor dominan yang mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat balita dengan pneumonia.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti
Sebagai proses dalam menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dengan cara mengaplikasikan ilmu dan teori – teori yang diperolehnya dalam masa
perkuliahan serta mendapatkan pengalaman nyata dalam menganalisis sebagai penelitian pemula terhadap faktor yang mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat balita dengan pneumonia.
2. Bagi Instansi Pelayanan Kesehatan
Memberikan gambaran secara umum tentang faktor yang mempengaruhi
keluarga didalam merawat balita dengan pneumonia, sehingga pelayanan kesehatan dapat menentukan kebijakan kesehatan selanjutnya terhadap pelaksanaan kesehatan keluarga. Pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas
Banjarmangu I Kabupaten Banjarnegara diharapkan dapat melakukan pendekatan pada keluarga dengan balita pneumonia melalui penyuluhan
kesehatan dan pencegahan serta penanganan dan perawatan balita pneumonia. 3. Bagi Keluarga dan Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat terutama keluarga tentang faktor
pneumonia, sehingga keluarga dapat merubah perilakunya menjadi lebih sehat dan dapat mengambil keputusan dengan cepat apabila balitanya menderita
tanda gejala pneumonia serta meningkatkan status kesehatan keluarganya. 4. Bagi Ilmu Keperawatan
Meningkatkan khasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang keperawatan komunitas dan dapat dijadikan sumber penelitian selanjutnya.
E. Penelitian Terkait
Pada penelitian sebelumnya terdapat penelitian yang mendukung penelitian ini, Nurhidayah, Fatimah, & Rakhmawati (2008), dengan judul Upaya
Keluarga dalam pencegahan dan perawatan ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di rumah pada balita di Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya,
metode penelitian menggunakan deskriptif kuantitatif, sampel dalam penelitian ini adalah 42 responden dengan teknik pengambilan sampel dengan purposive
sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa (14,28%) responden memiliki
upaya yang buruk dalam melakukan pencegahan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Perbedaan dengan yang diteliti terletak pada tempat penelitian, jenis penelitian ini menggunakan deskriptif analitik dan desain penelitian cross
sectional, disini peneliti akan meneliti di daerah dataran tinggi yaitu di
Afifah, & Djaja (2001) Determinan perilaku pencarian pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita. Penelitian deskriptif
dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian ibu yang memilki anak balita penderita ISPA. Teknik pengambilan sampel secara accidental. Metode
analisis adalah deskriptif dan analitis dengan regresi logistik sederhana. Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 83.656 bayi dan anak dibawah lima tahun, 47, 1% melakukan perawatan diri, 66,3% pergi ke fasilitas kesehatan dan 0,7%
memilih penyembuhan tradisional (dukun). Hampir sepertiga (28,5%) dari ibu memilih pusat kesehatan (puskesmas), 14,7% memilih praktek swasta dokter
dan 14,5% memilih praktek paramedis swasta. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah lebih suka pergi ke dukun. Analisa regresi logistik ganda menunjukan bahwa perilaku pencarian pengobatan ISPA ibu dari bayi.
Perbedaannya terletak pada pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling. Variabel bebas dan terikatnya yang akan di teliti serta
tempat penelitian.
Machmud (2009) Pengaruh kemiskinan keluarga pada kejadian pneumonia Balita di Indonesia. Metode survei rumah tangga yang mengukur
berbagai faktor pada level rumah tangga dan level individu serta survei institusi yang mengatur faktor kinerja program pada level kabupaten. Perkiraan besar
sampel menggunakan Multistage Cluster dengan probabilitas proportionate to
the size dari populasi tiap cluster. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
pneumonia balita, yang berarti rumah tangga miskin akan lebih besar terkena pneumonia.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan pada variabel yang diteliti, penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian deskriptif analitik
dengan menggunakan pendekatan cross sectional dengan teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Analisa datanya menggunakan regresi logistik.
Yamin, Susanti, & Sulastri (2008) Kebiasaan ibu dalam pencegahan primer penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pada Balita Keluarga
Non Gakin di Desa Nanjung Mekar Wilayah Kerja Puskesmas Nanjung Mekar Kabupaten Bandung. Jenis penelitian ini deskriptif dengan teknik sampling yang digunakan Proportionate Stratified Random Sampling dengan jumlah
sampel 87 orang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kebiasaan ibu dalam pencegahan primer penyakit ISPA pada balita keluarga non gakin sebagian
besar (55,17%) memiliki kebiasaan baik, dan hampir setengahnya (44,83%) tidak baik. Pada subvariabel pemenuhan nutrisi dan istirahat sebagian besar responden (59,77%) memiliki kategori baik, menciptakan rumah yang sehat
setengahnya responden (50,57%) memiliki kategori tidak baik, kebersihan diri
(personal hygiene) sebagian besar responden (64,37%) memiliki kategori baik,
mencari informasi tentang ISPA sebagian besar responden (52,87%) memiliki kategori baik.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan ini terletak pada