• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Ratna Maharani BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Ratna Maharani BAB II"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Well Being

1. Pengertian

Penelitian mengenai psychological well being dipelopori oleh Ryff, Diener dan Jahoda mengatakan bahwa, penelitian mengenai psychological well being mulai berkembang sejak para ahli menyadari

bahwa selama ini ilmu psikologi lebih banyak memberikan perhatian kepada penderitaan atau ketidakbahagiaan seseorang daripada bagaimana seseorang dapat berfungsi secara positif.Psychological well being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi positif (Ryff, 1989 dalam Astuti 2011).

Psychological well being tidak hanya bagian dari kesehatan

(2)

yang positif tidak sekedar adanya penyakit fisik saja. Menurut Ryff (Papalia dkk, 2008), orang yang sehat secara psikologis memiliki sikap positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Individu membuat keputusannya sendiri dan mengatur perilakunya sendiri, dan memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya.Individu memiliki tujuan yang membuat hidupnya lebih bermakna, dan berjuang serta mengembangkan diri dengan semaksimal mungkin.

Ryff (dalam Astuti, 2011) menjelaskan bahwa psychological well beingyang kemudian disingkat PWB merupakan pencapaian penuh dari

potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dpat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang ada disekitarnya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan mandiri, mampu dan berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup dan merasa mampu untuk melalui perkembangan dalam kehidupannya.

Menurut Synder dan Lopez (dalam Tenggara, dkk, 2008), kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan hidup dan hubungan seseorang pada objek ataupun orang lain.

(3)

psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai

aktifitas hidup sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif misalnya, ketidakpuasan hidup, kecemasan, merasa tertekan, rasa percayadiri yang rendah, dan sering berperilaku agresif, sampai pada kondisi mental yang positif seperti, realisasi potensi dan aktualisasi diri (Bradburndalam Liwarti, 2013).

Psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan

keseimbangan antara afek positif dan afek negatif namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan sepanjang hidup (Keyes, Shmotkin & Ryff, dalam Liwarti, 2013). Individu dengan Psychological well-being yang baik akan memiliki kemampuan untuk

memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian di luar dirinya. Selain itu individu juga dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri sebagaimana adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan perilakunya sendiri.

(4)

meningkat. Robinson mendefinisikan PWB sebagai evaluasi terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu (misalnya evaluasi terhadap kehidupan keluarganya, pekerjaan, masyarakat) atau dengan kata lain seberapa baik seseorang dapat menjalankan peran-perannya dan dapat memberikan peramalan yang baik terhadap well being (Ramdhani, 2009).

Dari pengertian yang telah disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwapsychological well being merupakan kondisi individu yang memiliki kondisi mental positif, dimana individu tidak hanya memikirkan dirinya sendiri dan berusaha melakukan yang terbaik untuk dirinya tetapi juga orang lain,serta tidak adanya gejala-gejala depresi yang dialami, sehingga tercapai kepuasaan hidup dan merasa lebih bahagia.

2. Dimensi-dimensi

Carol Ryff dan beberapa koleganya (Keyes & Ryff, 1999; Ryff, 1995; ryff & Singer, 1998 dalam Papalia, dkk, 2008) menggunakan berbagai teori dari mulai Erikson sampai Maslow untuk mengembangkan model multidimensi yang mencakup enam dimensi kenyamanan dan skala self-report untuk melakukan pengukuran. Keenam dimensi tersebut, diantaranya:

a. Penerimaan diri

(5)

bagus dan yang buruk, merasa positif terhadap kehidupan yang sudah lalu.

Nilai yang rendah: merasa tidak puas dengan diri, merasa dikecewakan dengan apa yang telah terjadi dimasa lalu, merasa bermasalah dengan beberapa kualitas personal, serta ingin menjadi berbeda dari dirinya pada saat ini.

b. Relasi positif dengan orang lain

Nilai yang tinggi:memiliki kehangatan, kepuasan, hubungan terpercaya dengan orang lain, merasa peduli dengan kesejahteraan orang lain, memiliki kemampuan empati, afeksi dan intimasi yang kuat, mengerti member dan menerima dalam hubungan antar manusia.

Nilai yang rendah: memiliki sedikit hubungan dengan orang lain yang dekat dan dapat dipercaya, merasa sulit untuk bersikap hangat, terbuka, dan peduli terhadap orang lain, merasa terisolasi dan frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak berniat membuat kompromi untuk mempertahankan ikatan yang penting dengan orang lain.

c. Otonomi

(6)

Nilai yang rendah: peduli dengan perkiraan evaluasi orang lain, bergantung kepada penilaian orang lain untuk membuat keputusan yang penting, mengkonfirmasi tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu.

d. Penguasaan lingkungan

Nilai yang tinggi: memiliki perasaan bisa menguasai dan kompeten dalam menata lingkungan, mengontrol susunan kompleks aktifitas eksternal, membuat penggunaan yang efektif terhadap peluang yang ada, mampu membuat atau memilih konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai personal.

Nilai yang rendah: memiliki kesulitan mengelola tugas sehari-hari, hanya memiliki sedikit tujuan atau target, merasa tidak mampu mengubah atau meningkatkan konteks yang mengelilinginya, tidak dapat menyadari peluang yang ada disekelilingnya, kurang memiliki control terhadap duia luar.

e. Tujuan dalam hidup

Nilai yang tinggi: memiliki tujuan dalam hidup dan perasaan diarahkan, merasa adanya makna dalam kehidupan dimasa yang akan datang dan di masa lalu, memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup, memiliki tujuan dan objektifitas untuk hidup.

(7)

melihat adanya tujuan dalam kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau keyakinan yang memberikan makna kehidupan.

f. Pertumbuhan personal

Nilai yang tinggi: memiliki perasaan perkembangan yang berkensinambungan, melihat diri tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki kepekaan untuk menyadari potensinya, mencari peningkatan pada diri dan perilaku dari waktu ke waktu, memiliki perubahan dalam cara merefleksikan pengetahuan diri dan efektitas yang lebih banyak.

Nilai yang rendah: memiliki perasaan stagnan, kurang peka terhadap peningkatan atau perluasan dari waktu ke waktu, merasa bosan dan tidak tertarik kepada kehidupan, merasa tidak mampu mengembangkan sikap atau perilaku baru.

Dimensi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan Ryff mengacu pada teori positif functioning (Maslow, Rogers, Jung dan Alport), teori perkembangan (Erikson, Buhler, dan Neugarten), dan teori kesehatan mental (Jahoda). Ryff menyebutkan terdapat enam dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, tujuan hidup, dan pengembangan pribadi (Ramdhani, 2009).

(8)

a. Self acceptance (penerimaan diri)

Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya. Individu yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri sendiri menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnya dan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa adanya.

(9)

berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.

c. Otonomi (autonomy)

Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu. Kematangan dalam berfikir dan bertindak mempengaruhi otonomi seseorang.

(10)

akan bergantung kepada orang lain atas keputusan yang akan digunakan.

d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Merupakan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya.

e. Tujuan hidup (purpose of life)

(11)

dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi ini adalah individu yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup.

Sebaliknya individu yang rendah dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan.

f. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.

(12)

minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik.

Dari beberapa pernyataan di atas maka diambil kesimpulan, pada umumnya seseorang yang memiliki psychological well being yang baik adalah adanya penerimaan diri, adanya hubungan positif dengan orang lain, mampu mandiri, memiliki penguasaan lingkungan yang baik, memiliki tujuan hidup, dan dapat berkembang. Semua dimensi atau aspek di atas tentunya tidak langsung diperoleh dalam diri individu, melainkan diperoleh secara bertahap.Dimensi penerimaan diri diperoleh terlebih dahulu, melalui adaptasi terhadap diri sendiri sampai individu mampu menerima dengan baik setiap kondisi yang dialaminya.

(13)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Menurut Ryff dan Singer (dalam Astuti, 2011) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being, antara lain:

a. Usia

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang dilakukan Ryff (1989; Ryff & Keyes 1995; Ryff & Singer 1996), penguasaan lingkungan dan kemandirian menunjukan peningkatan seiring perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74). Tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi secara jelas menunjukan penurunan seiring bertambahnya usia. Skor dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain secara signifikan bervariasi berdasarkan usia.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa penelitian yang dilakukan Ryff (1989; Ryff 1995; Ryff & Singer 1996), faktor jenis kelamin menunjukan perbedaan yang signifikan pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi. Dari keseluruhan perbandingan usia (usia 25-39, usia 40-59, usia 60-74), wanita menunjukan angka yang lebih tinggi daripada pria. Sementara dimensi yang lain tidak menunjukan perbedaan yang signifikan.

(14)

Status pekerjaan yang tinggi atau tingginya pendidikan seseorang menunjukan bahwa individu memiliki faktor pengaman (uang, ilmu, keahlian) dalam hidupnya untuk menghadapi masalah, tekanan dan tantangan (Ryff & Singer, 1996).Hal ini dapat terkait dengan kesulitan ekonomi, dimna kesulitan ekonomi menyebabkan sulitnya individu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga menyebabkan menurunnya kesejahteraan psikologis.

d. Latar belakang budaya

Menurut Sugianto (2000), perbedaan budaya Barat dan Timur juga memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada diri(seperti penerimaan diri dan kemandirian) lebih menonjol dalam konteks budaya Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol pada budaya Timur.

Liwarti (2013) dari beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai psychological well being, terdapat perbedaan serta faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being.Faktor-faktor-faktor tersebut diantaranya:

a. Usia

Ryff dan Keyes (1995), Ryff at all.(2002), Ryff (1989, 1991, 1998), beranggapanusia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well being pada aspek penerimaan diri, otonomi,

(15)

Terdapat peningkatan psychological well being pada usia yang semakin dewasa. Sedangkan pada tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi menunjukan penurunan pada setiap periode kehidupan dewasa. Helsondan Srivastava, menemukan keterkaitan usia dengan pertumbuhan pribadi dan penguasaan lingkungan. Perbedaan usia ini terbagi menjadi tiga fase kehidupan dewasa yakni, dewasa muda, dewasa tengah dan dewasa akhir, dimana dewasa tengah memiliki tingkat psychological well being yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa awal dan dewasa akhir (Papalia, dkk, 2008).

b. Tingkat Pendidikan

Ryff, Magee, Kling & Wling, menyatakan tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well being.Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik

maka akan mempunyai kemampuan pengenalan lingkungan dan psychological well being yang lebih baik pula. Sedangkan Keyes, Ryff

dan Shmootkin, menyatakan tingkat pendidikan meletakan individu pada posisi tertentu disebuah struktur sosial.

c. Jenis Kelamin

(16)

aktivitas sosial yang yang dilakukan.Wanita cenderung memiliki hubungan interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki.

d. Faktor Status Sosial Ekonomi

Ryff, menyatakan bahwa faktor status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan psychological well being, bahwa tingkat keberhasilan pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, menunjukan tingkat psychological well being yang juga lebih baik. Ryan dan Deci menegaskan status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraan psikologis seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikian materi dan status sosial di masyarakat (Pinquart & Sorenson).

e. Dukungan Sosial

Lingkungan individu terutama keluarga sangat berpengaruh pada psychological well being seseorang. Dukungan sosial dari keluarga terdekat atau dari lingkungannya, menjadikan seseorang lebih dapat menerima, hubungan baik lebih terjagadan hal tersebut dapat berpengaruh pada peningkatan psychological well beingseseorang (Listwan, Colvin, Hanley, & Flannery).

(17)

psychological well being. Dimana individu yang pada masa kecilnya

memiliki hubungan yang baik dengan orang tua dan mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari orang tua memiliki psychological well being yang baik pada masa dewasa. Daalen, Sanders, dan Willemsen,

menyatakan bahwa wanita yang mendapat dukungan sosial yang baik dari keluarga melaporkan memilikikepuasan hidup dan psychological well beingyang lebih tinggi daripada laki-laki.

f. Kepribadian

Gutie`rrez, Jime`nez, Herna`ndez, dan Puente, menyatakan kepribadian merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kesejahteraan menemukan keterbukaan merupakan salah satu faktor yang secara signifikan mempengaruhi kesejahteraan terutama dimensi demografis.Schmutte dan Ryff (1997); Steel, Schmidt, dan Schultz (2008), Ryff at all. (2002) dalam penelitiannya mengenai hubungan lima tipe kepribadian (the big five traits) dengan dimensi-dimensi psychological well being menemukan bahwa sifat, low neurotikism, ekstrovert dan conscientiousness, berpengaruh pada psychological well being khususnya pada penerimaan diri, penguasaan

lingkungan dan tujuan hidup.

(18)

hubungan positif dengan orang lain dan dimensi otonomi berkorelasi dengan beberapa kepribadian namun yang paling menonjol dalamneurotik.

g. Spiritualitas

Spiritualitas juga berpengaruh pada psychological well being, Wink dan Dillon, menyatakan bahwa spiritualitas berkaitan dengan psychological well being terutama pada aspek pertumbuhan pribadi

dan hubungan positif dengan orang lain. Menurut Kirby, Coleman, dan Daley, menyatakan spiritualitas merupakan sumberdaya dalam mempertahankan psychological well being, dimana individu yang merasa mendapatkan dukungan spiritual cenderung memiliki psychological well being yang tinggi dan dapat mengurangi angka

kematian (McClain, Rosenfeld, & Breitbart).

(19)

Sedangkan menurut Huppert (2009) bahwasanya tingkat kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

a. Personality (kepribadian)

Berkaitan dengan gaya emosional yang positif sedangkan neurotisme dikaitkan dengan gaya emosional yang negatif.

b. Faktor Demografi

Pada jenis kelamin, tingkat kesejahteraan perempuan memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

c. Faktor SosialEkonomi

Pada umumnya, status sosial ekonomi dan tingkat pendapatan yang tinggi mempengaruhi tingkat kesejahteraan individu.

d. Faktor Lainnya (perilaku, kognisi dan motivasi)

Individu yang memiliki perilaku, kognisi dan motivasi yang baik untuk berjuang mencapai tujuannya mencerminkan nilai-nilai yang dipegang teguh dari dalam dirinya, sebagai langkah untuk mencapai kebahagiaan.

Dari beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well being adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, ekonomi, dukungan social, kepribadian dan spiritualitas.

(20)

Penerimaan diri merupakan sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri (Chaplin, 2011). Santrock (2007) menjelaskan penerimaan diri merupakan suatu kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya. Menurut Johnson (dalam Putri, 2012), penerimaan diridipandang sebagai suatu keadaan dimanaseseorang memiliki penghargaan yang tinggipada dirinya sendiri. Untuk mencapai suatukonsep diri maka seseorang harus dapatmenjalankan penerimaan atas dirinya. Jikaseseorang memiliki konsep diri yang positifmaka ia akan memiliki penerimaan diri yangpositif, dan jika ia memiliki konsep diri yangnegatif maka ia tidak akan memilikipenerimaan atas dirinya (Burns dalam Putri, 2012). Dengan kata lain, seseorang yang memilikipenerimaan diri yang baik adalah ketika individu sudah dapat memahami dan menerima segala kelebihan serta kekurangan yang dimilikinya.

(21)

sehatdan kuat, sedangkan orang yang tidak dapat menerima dirinya mengalami kesulitan dalam penerimaan diri tidak menyukai karateristik dirinya sendiri, merasa dirnya tidak berguna dan tidak percaya diri.

Sheerer (dalam Machdan dan Hartini, 2012) menjelaskan bahwa penerimaan diri adalah sikap dalam menilai diri dan keadaanya secara objektif, menerima kelebihan dan kelemahannya. Menerima diri berarti telah menyadari, memahami dan menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh tanggung jawab.

Definisi penerimaan diri menurut Sheerer yang kemudian dimodifikasi Berger adalah sebagai berikut yaitu yang pertama nilai-nilai dan standar diri tidak dipengaruhi lingkungan luar, keyakinan dalam menjalani hidup, bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan, mampu menerima kritik dan saran seobjektif mungkin, tidak menyalahkan diri atas perasaannya terhadap orang lain, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak ingin orang lain menolaknya dalam kondisi apapun, tidak menganggap dirinya berbeda dari orang lain, dan tidak mau atau rendah diri (Denmarkdalam Putri, dkk, 2013).

(22)

sisi negatif yang dimilikinya, selain itu individu yang dapat menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehat dan kuat, sebaliknya, orang yang mengalami kesulitan dalam penerimaan diri tidak menyukai karakteristik individu sendiri, merasa diri individutidak berguna dan tidak percaya diri (Ceyhan & Ceyhan dalam Putri, dkk, 2013).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penerimaan diri adalah kondisi dimana individu mampu menerima setiap kondisi baik fisik maupun non-fisik yang ada dalam dirinya, baik masa lalu maupun masa sekarang, serta mengetahui bagaimana membuat hidupnya bahagia melalui kekurangan dan kelebihannya.

2. Ciri-ciri Penerimaan Diri

Menurut Johnson (dalam Putri & Hamidah, 2012) menyebutkan ciri-ciri seseorang yang menerima dirinya adalah menerima diri sendiri apa adanya, tidak menolak diri sendiri, apabila memiliki kelemahan dan kekurangan memiliki keyakinan bahwa untuk mencintai diri sendiri, maka seseorang tidak harus dicintai oleh orang lain dan dihargai oleh oleh orang lain, seseorang merasa berharga, maka seseorang tidak perlu merasa benar-benar sempurna, memiliki keyakinan bahwa dia mampu untuk menghasilkan kerja yang berguna.

(23)

standar-standar dan prinsip-prinsip dirinya tanpa harus diperbudak oleh opini individu-individu lain, memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis tanpa harus menjadi malu akan keadaannya, mengenali kelebihan-kelebihan dirinya dan bebas memanfaatkannya, mengenali kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menyalahkan dirinya, memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam diri, menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi-kondisi yang berada di luar kontrol individu, tidak melihat diri individu sebagai individu yang harus dikuasai rasa marah atau takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan-keinginannya tapi dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat kesalahan, merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan-keinginan serta harapan-harapan tertentu, tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum individu raih.

Sedangkan Sheerer (dalam Machdan dan Hartini, 2012) menjelaskan bahwa ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah:

a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi persoalan

b. Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan sederajat dengan orang lain

c. Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang lain

(24)

f. Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objektif

g. Individu tidak menyalahkan diri atau keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya.

Untuk dapat melihat kemampuan seorang individu menerima dirinya dengan baik atau tidak adalah berdasarkan delapan ciri-ciri di atas.Memiliki kemampuan menghadapi persoalan, menganggap dirinya berharga, menganggap dirinya sama dengan orang lain, tidak merasa malu atau minder, mampu bertanggung jawab atas setiap perbuatan, objektif, dan bersyukur atau tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimiliki merupakan ciri-ciri atau karateristik dari individu yang memiliki penerimaan diri yang baik atas dirinya.

3. Aspek-Aspek Penerimaan Diri

Menurut Supratiknya (1995) aspek-aspek penerimaan diri berkaitan dengan:

a. Kerelaan

Kerelaan untuk membuka atau rnengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain. Membuka atau mengungkapkan aneka pikiran, perasaan, dan reaksi kita kepada orang lain, pertama-tama harus melihat bahwa diri kita tidak seperti apa yang dibayangkan, dan pembukaan diri yang akan kita lakukan tersebut diterima atau tidak oleh orang lain.

(25)

saja. Dalam penerimaan diri individu, terciptanya suatu penerimaan diri yang baik terhadap kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, dapat dilihat dari bagaimana ia mampu untuk menghargai dan menyayangi dirinya sendiri, serta terbuka pada orang lain.

b. Kesehatan psikologis

Kesehatan psikologis berkaitan erat dengan kualitas perasaan kita terhadap diri sendiri. Orang yang sehat secara psikologis rnemandang dirinya disenangi, mampu, berharga, dan diterima oleh orang lain. Orang yang menolak dirinya biasanya tidak bahagia dan tidak mampu rnembangun serta melestarikan hubungan baik dengan orang lain. Maka, agar kita tumbuh dan berkembang secara psikologis, kita harus menerima diri kita. Untuk rnenolong orang lain tumbuh dan berkernbang secara psikologis, kita harus menolongnya dengan cara memberikan pemahaman terhadap kesehatan psikologis, agar rnenjadi lebih bersikap menerima diri.

c. Penerimaan terhadap orang lain

Orang yang menerima diri biasanya lebih bisa menerima orang lain. Bila kita berpikiran positif tentang diri kita, maka kita pun akan berpikir positif tentang orang lain. Sebaliknya bila kita menolak diri kita, maka kita pun akan menolak orang lain.

(26)

kemampuan diri, bertanggung jawab, berorientasi keluar diri, berpendirian, menyadari keterbatasan, dan menerima sifat kemanusiaan.

KemudianSheerer (dalam Trimulyaningsih dan Rachmahana, 2008) menjelaskan aspek-aspek penerimaan diri yaitu:

a. Memiliki keyakinan penuh akan kemampuan diri dalam menjalankan kehidupannya.

Penerimaan diri akan beriringan dengan rasa aman pribadi. Rasa aman pribadi berkaitan dengan kemampuan untuk memandang sesuatu permasalahan dengan hati-hati dan melihat berbagai sudut pandang untuk mengukur resiko-resiko yang dihadapi serta untuk mengantisipasi kesulitan yang terjadi.

b. Berfikir bahwa dirinya berharga dan sederajat dengan orang lain. Individu dengan penerimaan diri akan menghargai dirinya meskipun hanya memiliki potensi kecil yang tersembunyi dan akan mampu menghargai kelebihan tersebut. Berbeda dengan individu yang tidak mampu menerima dirinya, individu tidak pernah merasa puas akan keberhasilannya, dan juga mengalami keputusaasaan walaupun derajatnya sama dengan individu yang percaya bahwa dirinya telah gagal.

c. Menyadari dan tidak merasa malu atas keadaan dirinya.

(27)

individu juga tidak bersembunyi karena kekurangan yang dimilikinya, serta tidak bersikap defensife dibalik topeng atau peranan sosial.

d. Menempatkan dirinya sebagaimana orang lain sebagaimana individu yang lain menempatkan dirinya.

Penerimaan diri berkaitan dengan penyesuaian dalam kehidupan. Tingkat individu menerima dirinya akan menentukan tingkat penyesuaiannya.

e. Bertanggung jawab atas segala perbuatannya

Salah satu manfaat yang didapat dari penerimaan diri adalah adanya perasaan percaya diri dan harga diri. Individu yang mampu menerima diri dengan baik, akan mampu menerima kritik dibandingkan dengan yang tidak mampu melakukan penerimaan diri. f. Yakin dan memahami terhadap pilihan dirinya sendiri dan tidak

diperbudak oleh opini-opini orang lain.

(28)

Individu dengan penerimaan diri tidak berfikir tentang kesempurnaan dirinya, serta mampu memndang diri dengan apa adanya. Individu juga dapat mengkompensasi keterbatasannya dengan memperbaiki dan meningkatkan karakter-karakter dirinya tanpa harus melarikan diri dari kenyataan yang ada.

h. Tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan-dorongan dan emosi-emosi pada dirinya.

Individu yang memiliki penerimaan diri memiliki kemampuan untuk mengekspresikan kehangatan dan perasaan secara spontan terhadap orang lain, begitu juga dengan pemberian kasih sayang, individu tidak pasif dan emosional.

C. Narapidana Remaja

1. Pengertian Narapidana

(29)

dalammasyarakat dan keluarga, tidak mampu bersosialisasi dengan baik akibat rasa minder dan putus harapan.

Menurut KUHP pasal 10 (dalam KUHAP dan KUHP, 2002) narapidana adalah predikat lazim diberikan kepada orang yang terhadapnya dikenakan pidana hilang kemerdekaan, yakni hukuman penjara (kurungan).Harsono (Siahaan, 2008) mengatakan bahwa narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh hukum dan harus menjalani hukuman atau sanksi, yang kemudian akan ditempatkan di dalam sebuah bangunan yang disebut rutan, penjara atau lembaga pemasyarakatan.

Menurut Petrus dan Pandapotan (dalam Fransiska, 2010) menyatakan bahwa “narapidana adalah orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertaubat yang keberadaannya perlu mendapat pembinaan”.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa narapidana merupakan individu yang mengalami hilang kebebasan dan harus menjalani masa hukuman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, agar setelah selesai masa hukuman dapat memperbaiki perilakunya dan dapat kembali hidup bermasyarakat dengan baik.

2. Pengertian Remaja

(30)

kematangan yang dimaksud meliputi kematangan fisik, psikis dan sosial. Remaja adalah suatu masa dimana individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak ke dewasa (Sarwono, 2004).

Sarwono (2011) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik itu.

Menurut Hurlock (1981) remaja adalah individu yang berada pada usia 12-18 tahun. Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja pada rentang usia 12-23 tahun.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis dalam rentang umur 12 – 23 tahun.

3. Tahap Perkembangan Remaja

(31)

Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Sarwono, 2004).

Sarwono juga menjelaskan tahap perkembangan remaja, masa remaja di bagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu:

a. Masa remaja awal (12-15 tahun) dengan ciri khas antara lain : 1) Lebih dekat dengan teman sebaya

2) Ingin bebas

3) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak

b. Masa remaja tengah (15-18 tahun) dengan ciri khas antara lain : 1) Mencari identitas diri

2) Timbulnya keinginan untuk kencan 3) Mempunyai rasa cinta yang mendalam

4) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak 5) Berkhayal tentang aktivitas seks

c. Masa remaja akhir (18-21 tahun) dengan ciri khas antara lain : 1) Pengungkapan identitas diri

2) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya 3) Mempunyai citra jasmani dirinya

(32)

Sarwono (2011) mengatakan bahwa konsekwensi dari adanya ketiga perkembangan yang dialami dimasa remaja menyebabkan perilaku remaja sering dianggap kurang dewasa.

a. Perkembangan fisik

Perubahan-perubahan fisik yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (yaitu badan menjadi panjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan adanya tanda-tanda seksual sekunder.

Adanya perubahan fisik menyebabkan kecanggungan bagi remaja. Hal tersebut dikarenakan remaja harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Pertumbuhan badan yang mencolok misalnya, atau pembesaran payudara yang cepat, membuat remaja merasa tersisih dari teman-temannya. Demikian pula dalam menghadapi haid dan ejakulasi pertama, remaja perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian tingkah laku yang tidak selalu bisa dilakukan dengan mulus, dan terutama apabila tidak mendapat dukungan dari orang tua (Sarwono, 2011).

b. Perkembangan Psikologis

(33)

emosi, remaja memerlukan status, kemandirian, prestasi dan falsafah hidup yang memuaskan.

Emosi atau perasaan meliputi rasa senang-tak senang, rasa benci-sayang, suka-tak suka dan sebagainya, dan semua itu relatif cepat berubah di dalam masa ini. Bentuk-bentuk emosi yang cepat berubah di dalam masa ini. Bentuk-bentuk emosi yang sering nampak pada masa remaja adalah marah, takut, cemas, malu, irihati, cemburu, sedih, gembira, kasih sayang, dan ingin tahu

c. Perkembangan Sosial

Pada perkembangan sosial remaja terjadi dua macam gerak pada remaja. Gerak tersebut berupa gerak memisahkan diri dari orang tua dan gerak menuju teman sebaya individu mencari teman sebaya. Individu mencari teman sebaya, karena individu berada pada nasib yang sama, yaitu berada dalam keadaan sementara. Sebagian besar kehidupan sosial remaja dengan orang tua ditinggalkan dan bergabung dengan sebaya atau anggota kelompok lain dalam usaha untuk mencari nilai-mlai baru. Remaja mulai meragukan kewajiban dan kebijaksanaan orang tua, maupun norma-norma yang ada.

(34)

usia 12-15 tahun, remaja tengah 15-18 tahun dan remaja akhir 18-21 tahun.

D. Kecanduan 1. Pengertian

Menurut Chaplin (2011) kecanduan merupakan keadaan bergantung secara fisik pada suatu obat bius.Pada umumnya, kecanduan tersebut menambah dosis (toleransi) terhadap suatu obat bius, ketergantungan fisik dan psikologis, dan menambah pula gejala-gejala pengasingan diri dari masyarakat, apabila pemberian obat bius tersebut dihentikan.

Beberapa derajat toleransi dapat melalui penggunaan secara berulang suatu obat bius.Toleransi tersebut menunjukan adanya bukti, bahwa reaksi individual terhadap obat bius tersebut cenderung semakin menurun atau berkurang dengan pengulangan dosisnya. Secara konsekuen, untuk memperoleh pengaruh yang sama kuat, maka individu yang memakai obat-obatan tersebut secara berangsur-angsur harus menambahkan dosisnya (Chaplin, 2011).

(35)

Menurut Baker et al (dalam Pinel, 2009) pecandu kadang-kadang memakai obat untuk mencegah atau mengurangi gejala-gejala putus zat (withdrawa)l, tetapi ini bukan faktor pendorong utama dalam adiksinya. Akan tetapi, kebanyakan pecandu memperbaharui pemakaian obatnya bahkan setelah berbulan-bulan.

Sedangkan menurut DSM-IV pengertian kecanduan adalah sebagai kumpulan gejala yang mengindikasikan bahwa seseorang memiliki kesulitan untuk mengontrol penggunaan suatu zat dan meneruskan penggunaanya tanpa memperdulikan akibatnya. Sedangkan pecandu NAPZA adalah seorang penyalahguna NAPZAyang telah mengalami ketergantungan terhadap satu atau lebih narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lain, baik secara fisik maupun psikis.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecanduan adalah kondisi ketergantungan inidividu terhadap sesuatu atau tehadap suatu zat tertentu, dimana jika tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kondisi putus zat.

E. NAPZA

1. Pengertian

(36)

dimasukan kedalam tubuh baik secara oral (diminum, dihisap, dishirup dan disedot) maupun disuntik, dapat mempengaruhi pikiran, suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang. Hal ini dapat menimbulkan gangguan keadaan sosial yang ditandai dengan indikasi negatif, waktu pemakaian yang panjang dan pemakaian yang berlebihan (Lumbantobing, 2007)

Napza pada dasarnya merupakan jenis obat atau zat yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kesehatan seperti terapi, contohnya adalah morfin, opium, sabu-sabu (amfetamina), PCP (halusinogen) dan lain-lain (Rozak & Sayitu, 2006).Menurut Budiarta (2000) Napza merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi bahkan menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Menurut UU RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan bahwa:

a. Narkotika adalah suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman maupun bukan tanaman baik sitesis maupun semi sintesis yang menyebabkan penurunan dan perubahan kesadaran, mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri serta dapat menimbulkan ketergantungan secara fisik maupun psikologis.

(37)

pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.

c. Zat adiktif yaitu bahan lain yang buka narkotika atau psikotropika yang merupakan inhalsi yang penggunannya apat menimbulkan ketergantungan, misalnya lem, aceton, eter, premix, thiner dan lain-lain.

Dari beberapa pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa NAPZA merupakan akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya yang dapat menggangku kesehatan dan kejiwaan seseorang.Obat-obatan tersebut dapat bermanfaat untuk bidang kesehatan, tetapi jika disalahgunakan dengan dosis yang tidak tepat menyebabkan perubahan perilaku dan perasaan seseorang.

2. Jenis-jenis NAPZA

(38)

bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung, maupun secara tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, korosif, dan iritasi.Bahan-bahan tersebut merupakan zat

adiktif yang bukan termasuk dalam narkotika dan psikotropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Martono & Joewana, 2008).

Sedangkan dalam UU No. 22 Tahun 1997 dan UU No. 5 Tahun 1997 tentang narkotika dan psikotropika dijelaskan pembagian obat-obatan jenis NAPZA sebagai berikut:

a. Narkotika

Menurut UU No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika, narkotika digolongkan kedalam tiga golongan, yaitu:

1) Narkotika golongan I adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh:heroin, kokain, dan ganja. 2) Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk

(39)

3) Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan yang banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan menyebabkan ketergatungan. Contoh: kodein, garam-garam narkotika dalam golongan tertentu.

b. Psikotropika

Menurut UU No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika yang dapat digolongkan menjadi empat golongan:

1) Golongan I adalah psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi yang sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Yang termasuk dalam golongan ini yaitu: MDMA, ekstasi, LSD, ST

2) Golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat menimbulkan ketergantungan. Contoh: amfetamin, fensiklidin, sekobarbital, metakualon, metilfenidat (Ritalin)

(40)

4) Golongan IV adalah psikotropika yang mempunyai khasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: diazepam, klobazam, bromazepam, klonazepam, khlordiazepoxiase, nitrazepam (BK,

DUM, MG). c. Zat Adiktif

Zat adiktif merupakan penghantar untuk memasuki dunia penyalahgunaan narkoba.Pada mulanya seseorang sekedar mencoba zat-zat adiktif ini sebelum menjadi pecandu aktif. Zat-zat adiktif yang banyak digunakan adalah nikotin dalam rokok dan etanol dalam minuman beralkohol dan pelarut lain yang mudah menguap seperti aseton, tiner dan lain-lain (Riadi, 2013).

Minuman alcohol dibagi menjadi tiga golongan sesuai dengan kadar alkoholnya, yaitu:

1) Golongan A adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 1%-5%. Contoh: bir, greend sand

2) Golongan B adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 5%-20%. Contoh: anggur kolesom.

3) Golongan C adalah minuman beralkohol dengan kadar etanol 20%-55%. Contoh: arak, wisky, vodka.

(41)

dan Narkotika jenis II, Psikotropika: Psikotropika jenis I, Psikotropika jenis II, Psikotropika jenis III, dan Psikotropika jenis IV serta Zat Adiktif lainnya: Golongan A, Golongan B, dan Golongan C.

F. Lembaga Pemasyarakatan

1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Pengertian Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS menurut Pasal 1 ke- 3 UU No. 12 Tahun 1995 (Lembaran Negara Nomor 77 tahun 1995) tentang Pemasyarakatan, adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Riyadi, 2012).Menurut Budiyono (2009) Lembaga Pemasyarakatan adalah temapt untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomer: 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa: Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

G. Pengaruh Penerimaan Diri terhadapPsychological Well BeingPada Narapidana Remaja

(42)

secara merata dari kalangan atas hingga anak jalanan terutama di kalangan remaja, pelajar dan mahasiswa.Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sampai ke tingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa 50% penghuni LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba (Eleanora, 2011).

Menurut Hutapea (2011) pada awal menjalani kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), seorang narapidana memasuki suatu dunia yang amat berbeda dengan kehidupan sebelumnya diluar Lembaga Permasyarakatan. Cohen dan Tylor (dalam Hutapea, 2011) bahkan menyebutnya sebagai keruntuhan hidup menyeluruh (“massive life disruption”).Remaja yang telah masuk dalam Lembaga Permasyarakatan

akan mendapatkan stereotip buruk dari masyarakat, selain itu kondisi yang penuh tekanan juga akan mempengaruhi kondisi mental para remaja (Holmes & Rahe, dalam Liwarti, 2013).

(43)

Penerimaan diri merupakan sikap yang pada dasarnya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri, dan pengakuan akan keterbatasam-keterbatasan sendiri (Chaplin, 2011). Santrock (2007) menjelaskan penerimaan diri merupakan suatu kesadaran untuk menerima diri sendiri apa adanya. Menurut Johnson (dalam Putri, 2012), penerimaan diridipandang sebagai suatu keadaan dimanaseseorang memiliki penghargaan yang tinggipada dirinya sendiri. Untuk mencapai suatukonsep diri maka seseorang harus dapatmenjalankan penerimaan atas dirinya. Ceyhan dan Ceyhan (dalam Ardila & Herdiana, 2013) individu yang dapat menerima keadaan dirinya dapat menghormati dirinya sendiri, dapat menyadari sisi negatif dalam dirinya, dan mengetahui bagaimana untuk hidup bahagia dengan sisi negatif yang dimilikinya, selain itu individu yang dapat menerima dirinya memiliki kepribadian yang sehatdan kuat, sedangkan orang yang tidak dapat menerima dirinya mengalami kesulitan dalam penerimaan diri tidak menyukai karateristik dirinya sendiri, merasa dirnya tidak berguna dan tidak percaya diri.

(44)

Ryff (dalam Astuti, 2011) menjelaskan bahwa psychological well being yang kemudian disingkat PWB merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dpat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya, menciptakan hubungan positif dengan orang lain yang ada disekitarnya, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan mandiri, mampu dan berkompetensi untuk mengatur lingkungan, memiliki tujuan hidup dan merasa mampu untuk melalui perkembangan dalam kehidupannya.

Robinson mendefinisikan PWB sebagai evaluasi terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu (misalnya evaluasi terhadap kehidupan keluarganya, pekerjaan, masyarakat) atau dengan kata lain seberapa baik seseorang dapat menjalankan peran-perannya dan dapat memberikan peramalan yang baik terhadap well being (Ramdhani, 2009).

H. Kerangka Pemikiran

Bagan I. Kerangka Berfikir Penelitian Pengaruh Penerimaan Diri Terhadap Psychological Well Being Pada Narapidana Remaja

Remaja Penyalahgunaan

Obat-obatan

(45)

I. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan adalah ada pengaruhpenerimaan diriterhadappsychological well being pada narapidana remaja pecandu NAPZA.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Untuk mengetahui macam- macam majas yang ditemukan pada lirik lagu terpilih dari Katy Perry, (2) Untuk mengetahui frekuensi

Bulu mata lentik dari pangkal hingga ujung* Efek lentik yang tahan lebih lama* Kuas super lengkung, membantu melentikkan & menarik setiap bulu mata.. BULU

Apakah Anda mengetahui perusahaan akan memberikan sanksi yang tegas jika terdapat pekerjanya yang bertindak tidak aman sehingga membahayakan diri sendiri dan

Taka Turbomachinery Indonesia tidak terlepas dari faktor bahaya yang ada di lingkungan kerja di Central Gas Turbine Area Duri seperti adanya bahaya fisik yaitu adanya

Toshibumi Gamo adalah sosok yang paling berpengaruh dalam bidang kampanye keselamatan di tempat kerja. Sebagai pelopor keselamatan kerja di zaman modern Jepang, Toshibumi Gamo

menentukan karakteristik gelembung renang (proporsi dan komposisi kimia) dan karakteristik kolagen (rendemen, komposisi asam amino, derajat pengembangan dan sifat termal)

Penelitian ini memperlihatkan bahwa muncak M1 yang berumur 4 tahun, berat badan 19.5 kg dan postur tubuh lebih besar, memiliki ukuran RV dan durasi pertumbuhan RV lebih

Persyaratan dan tata cara rekrutmen yang dilakukan Wawancara, kuesioner, pengamatan, internet • Pemilik Usaha • Staff Pengajar **) • Orangtua murid • Jarimatika, Kumon