• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PERSEPSI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PEKERJA BANGUNAN PODOMORO CITY DELI MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN PERSEPSI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PEKERJA BANGUNAN PODOMORO CITY DELI MEDAN SKRIPSI"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

BANGUNAN PODOMORO CITY DELI MEDAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RIZKA AINI HASIBUAN 1 0 1 3 0 1 0 8 7

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016

(2)
(3)
(4)

Rizka Aini Hasibuan dan Emmy Mariatin ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan persepsi keselamatan dan kesehatan kerja dengan psychological well-being. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah skala persepsi keselamatan dan kesehatan kerja menurut Miner (1992) dan skala psychological well-being menurut Ryff (1989).

Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 90 pekerja bangunan Podomoro City Deli Medan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Data yang didapat dianalisa dengan menggunakan korelasi pearson product momen. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dengan psychological well-being sebesar (r=0.751).

Kata Kunci : Psychological well-being, Persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, Pekerja bangunan

(5)

Rizka Aini Hasibuan and Emmy Mariatin ABSTRACT

This research aims to look at the relationship of safety and occupational health perception with psychological well-being. Measuring instrument used in this research is the scale of the perception of safety and occupational health according to Miner (1992) and the scale of psychological well- being according to Ryff (1989).

This research was conducted by involving building workers 90 Podomoro City Medan Deli. Sampling technique used was accidental sampling. The data obtained were analyzed using pearson product moment correlation. The results showed that there was a significant positive relationship between the perception of safety and occupational health with psychological well- being of (r = 0.751).

Keywords : Psychological well-being, safety and occupational health perception, building workers

(6)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Psychological Well-Being pada Pekerja Bangunan Podomoro City Deli Medan”

untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Pada penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari beberapa pihak dalam penyelesaiannya. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi ini, antara lain :

1. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakutas Psikologi USU.

2. Ibu Dr. Emmy Mariatin.,M.A., PhD., psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih atas waktu, arahan, bimbingan, saran dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Dosen penguji Abangda Fahmi Ananda M.Psi, psikolog dan Kakanda Sherry, Hadiyani, M.Psi. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk menguji, membimbing serta mengkritik agar penelitian ini menjadi lebih baik.

4. Kak Arliza Juairiani Lubis, M.si., psi selaku dosen Pembimbing Akademis, terima kasih kak atas segala arahan, bimbingan, cokelat dan motivasi yang tiada henti selama masa kuliah.

(7)

skripsi.

6. Kepada Ayah dan Mama penulis yang merupakan sosok orang tua yang paling berharga dalam hidup penulis. Penulis merasa tidak cukup untuk mengucapkan terima kasih atas setiap doa, kasih sayang, cinta, dukungan dan perhatian yang telah diberikan. Namun, penulis tetap mengucapkan ribuan terima kasih kepada Ayah dan Mama sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini

7. Adik-Adik saya tercinta Reza Ansyari Hasibuan dan Rizky Ananda Hasibuan yang rela meluangkan waktunya untuk nemani kekampus, untuk motivasi tak terhingga, untuk segala hal yang tak bisa penulis sebutkan. Terima kasih atas segala dukungan dan kasih sayang kalian.

8. Buat bg Iam dan Om Dino terima kasih sudah nemani ambil data malam- malam dalam kondisi hujan. Walau badai menghadang semangat terus, rela nungguin berjam-jam dan meluangkan waktu ditengah kesibukan abang- abang. Terima kasih banyak bang.

9. Dan tak lupa buat seluruh keluarga yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis, terimakasih atas doa yang tak henti.

10. Tim Bridesmaid Kika hahaha. Kalian luar biasa memotivasi. Terima kasih buat Elda Yulia Mamora Siregar S.Farm.,Apt, Pratiwi Widya Utami S.Pd, Siti Moriza Tania S.Kom, Korry Wulandara Lubis S.Pd, Devi Khairani Amd. dan Meida Putri Hasibuan Amkep. Semoga tim bridesmaid ini cepat terwujud yaa.

(8)

dalam pengerjaan skripsi ini serta semangat dan motivasi yang diberikan.

12. Buat adik-adik tak sedarah yang selalu memotivasi dan merusuhi selama masa skripsi Nita, Mida, Nanda, Nisa. Terima kasih semuanya uda mewarnai dan menambah keceriaan kehidupan selama dikampus.

13. Tak lupa buat yang selalu ngasih semangat dan mewujudkan self reward setiap minggunya dr. Khairul Anwar, terima kasih rulll buat semangat dan motivasinya dalam mengerjakan skripsi ini.

14. Teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara angkatan 2010, 2011, 2012, 2013 yang telah menemani dan memberikan semangat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

15. Dan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini tapi tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis sungguh menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata yang sempurna ataupun mendekati sempurna, karena kesempurnaan hanya milik- Nya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dan berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi berbagai pihak.

Medan, November 2016

Rizka Aini Hasibuan

(9)

COVER ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK INDONESIA ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

A. Defenisi Psychological Well-Being ... 12

1. Dimensi Psychological Well-Being... 13

2.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological well-Being ... 18

B. Persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) ... 21

1. Pengertian Persepsi ... 21

(10)

4. Aspek-aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ... 25

5. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) ... 27

6. Alasan Pentingnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) .... 28

C. Pekerja Bangunan ... 30

D. Hubungan Persepsi terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Psychological Well-Being ... 30

E. Hipotesa Penelitian ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

A. Metode Penelitian yang Digunakan... 33

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 33

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 33

1. Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja ... 33

2. Psychological Well-Being... 34

D. Populasi, dan Metode Pengambilan Sampel ... 35

1. Populasi ... 35

2. Metode Pengambilan Sampel ... 35

3. Jumlah Sampel Penelitian ... 35

E. Metode Pengumpulan Data ... 36

1.Skala Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ... 37

2.Skala Psychological Well-Being ... 38

(11)

2. Uji Daya Beda Aitem ... 41

3. Reabilitas Alat Ukur. ... 42

G. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 42

1. Hasil Uji Coba Skala Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja ... 42

2. Hasil Uji Coba Skala Psychological Well-Being ... 43

H. Prosedur Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan ... 45

2. Tahap Pelaksanaan ... 46

3. Tahap Pengolahan Data ... 46

I. Metode Analisis Data ... 47

1.Uji Normalitas ... 47

2.Uji Linieritas ... 47

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 48

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 48

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 49

B. Hasil Penelitian ... 49

1. Uji Asumsi ... 49

(12)

C. Hasil Utama Penelitian ... 52

D. Kategorisasi ... 53

1. Kategorisasi Skor Skala Persepsi terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ... 53

2. Kategorisasi Skor Skala Psychological Well-Being ... 56

E. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 61

1. Saran Metodologis ... 61

2. Saran Praktis ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 67

(13)

Tabel 1 Blue print skala persepsi K3 sebelum uji coba 37 Tabel 2 Penilaian skala persepsi K3 38 Tabel 3 Blue print skala psychological well-being sebelum uji coba 39 Tabel 4 Penilaian skala psychological well-being 40 Tabel 5 Blue print skala persepsi K3 setelah uji coba 43 Tabel 6 Blue print skala psychological well-being setelah uji coba 44 Tabel 7 Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia 49 Tabel 8 Gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan 50 Tabel 9 Hasil uji normalitas Kolmogorov-smirnov test 51 Tabel 10 Hasil uji linearitas persepsi keselamatan dan kesehatan

kerja (K3) dengan psychological well-being 52 Tabel 11 Hasil perhitungan analisis pearson correlation 54 Tabel 12 Nilai empirik dan hipotetik persepsi terhadap K3 55 Tabel 13 Norma kategorisasi data penelitian 55 Tabel 14 Kategorisasi Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) 56 Tabel 15 Nilai Empirik dan Hipotetik Psychological Well-Being 57 Tabel 16 Kategorisasi psychological well-being 57

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kemajuan industrialisasi saat ini selalu diikuti oleh penerapan teknologi yang tinggi, penggunaan bahan dan peralatan yang semakin rumit dan kompleks.

Namun seringkali penerapan teknologi yang tinggi ini diikuti oleh ketidaksiapan sumber daya manusia. Faktor penentu yang seringkali menjadi penyebab kecelakaan kerja adalah pekerja itu sendiri. Kecelakaan kerja yang terjadi diantaranya adalah kebakaran, peledakan dan timbulnya penyakit akibat kerja.

Kondisi seperti ini banyak menyebabkan kerugian-kerugian terutama kerugian jiwa dan material, baik bagi pengusaha, tenaga kerja, pemerintah, bahkan masyarakat luas. Untuk mencegah dan mengendalikan kerugian-kerugian yang lebih besar, maka diperlukan langkah-langkah mendasar dan prinsip yang dimulai dari tahap perencanaan dengan tujuan agar tenaga kerja mampu mencegah dan mengendalikan berbagai dampak negatif yang timbul sehingga tercipta lingkungan kerja yang aman, nyaman dan produktif (Tarwaka, 2004 ).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja seperti faktor fisik (kebisingan, penerangan,dan getaran), faktor kimia (gas, uap, debu), faktor biologis (bakteri, virus) dan faktor psikologis seperti suasana kerja, hubungan antara pekerja dan atasan, dan kesejahteraan psikologis (Tarwaka, 2004).

(15)

Kesejahteraan psikologis (psychological well-being) merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan,dan terus bertumbuh secara personal (Ryff, 2013). Psychological well-being juga merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan- perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Menurut Ryff (1989) manusia dapat dikatakan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah bukan sekedar bebas dari indikator kesehatan mental negatif, seperti terbebas dari kecemasan, tercapainya kebahagiaan dan lain-lain, tetapi hal yang perlu diperhatikan adalah kepemilikan penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, kemampuan untuk memiliki rasa akan pertumbuhan dan perkembangan pribadi secara berkelanjutan.

Ryff (1989) juga menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis menggambarkan sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi-potensi mereka.

Ryff (1989) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi psychological well-being yaitu usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, budaya, dukungan sosial, pengalaman hidup, kesehatan fisik dan kepribadian.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Carmelo (2009) yang berjudul Psychological Well-Being and Health Contributions of Positive Psychology

(16)

menyatakan bahwa kesejahteraan bukan hanya diasosiasikan dengan kepuasan psikologis yang tinggi tetapi juga implikasi penting dari kesehatan fisik.

Penelitian Horn (2004) menjelaskan bahwa bila tingkat kesejahteraan psikologis diaplikasikan dalam bidang pekerjaan maka akan berguna untuk meningkatkan komitmen individu, produktivitas kerja, pencapaian target-target dalam bekerja, hubungan dengan rekan kerja serta penguasaan lingkungan kerja.

Nitisemito (1982) menyatakan lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Lingkungan kerja yang baik dan kondusif akan membuat para pekerja nyaman dan produktif dalam bekerja.

Pekerja yang menyadari dan merasakan bahwa lingkungan kerjanya cukup aman dan menyenangkan mengembangkan sikap positif terhadap berbagai komponen pekerjaan yang kemudian menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi (Srivastava, 2008). Kepuasan kerja yang tinggi akan berdampak pada kesejahteraan psikologis pekerja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tanujaya (2014) menyatakan pekerja yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi juga.

Kesejahteraan psikologis para pekerja haruslah menjadi prioritas perusahaan.

Pekerja yang terjamin kesejahteraan psikologisnya akan berdampak baik pada kemajuan perusahaan.

Warr (1988) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan keadaan yang dirasakan individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Menurut Warr kesejahteraan psikologis ini merupakan pembahasan keberadaan mental negatif seperti ketidakpuasan, ketidakbahagiaan, kecemasan dan lain-lain sampai

(17)

dengan pandangan positif seperti ketiadaan dari ketidakbahagiaan itu yang disebut juga sebagai mental positif. Warr juga menyebutkan bahwa pekerja dengan kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi lebih mempunyai performa kerja yang baik. Lebih lanjut War (dalam Lestari, 2009) menyatakan bahwa aspek-aspek dalam lingkungan bekerja seperti terlindungnya keselamatan pekerja akan berhubungan dengan well-being seseorang. Penelitian Zohar (1980) menunjukkan bahwa perusahaan dengan iklim keselamatan akan menciptakan lingkugan kerja yang aman dibandingkan dengan perusahaan tanpa iklim keselamatan.

Selanjutnya Ramli (2010) menyatakan bahwa keselamatan berhubungan erat dengan tingkat kesejahteraan dan kehidupan manusia.

Cara yang dilakukan perusahaan untuk melindungi serta memelihara keselamatan dan kesehatan pekerja di lingkungan kerja adalah dengan mengadakan sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER.05/MEN/1996 yang dimaksud dengan sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembang. Penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (Sastrohadiwiryo, 2005).

Menurut data Depnakertrans pada tahun 2007 jumlah perusahaan yang terdaftar dalam Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebanyak 190.267, tetapi yang sudah memenuhi kriteria Sistem Manjemen Keselamatan dan

(18)

Kesehatan Kerja (SMK3) menurut Permenaker 05/Men/1996 baru mencapai 643 perusahaan (Ramli, 2010). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa hanya sedikit perusahaan yang menyadari pentingnya K3. Salah satu perusahaan yang telah terdaftar dan mengaplikasikan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah Podomoro Group.

PT. Sunter Agung merupakan perusahaan pengembang real estate yang juga perusahaan induk dari Agung Podomoro Group, yang telah terjun dalam bisnis properti selama lebih dari 40 tahun. Perusahaan ini berdiri pada tahun 1969.

PT Agung Podomoro Land Tbk. memiliki 34 (tiga puluh empat) anak usaha, 11 (sebelas) entitas dengan kepemilikan tidak langsung melalui anak usaha, serta 3 (tiga) entitas asosiasi di bidang properti di Jakarta, Karawang, Bandung, Bali, Balikpapan, Batam, Makassar dan Medan. Baik perusahaan maupun semua anak perusahaan memiliki kepentingan besar dalam pengembangan real estate dan properti seperti hunian (perumahan, apartemen, townhouse), komersial (mall, ruko), perkantoran, dan pengembangan superblok inovatif multifungsi di daerah- daerah bisnis yang strategis. Salah satu pengembangan superblok yang saat ini sedang dibangun adalah di kota Medan. Podomoro City Deli Medan ini rencananya terdiri dari delapan lantai mall, tiga menara apartemen berjumlah 12 lantai di atas mall, dua menara kondominium berjumlah 40 lantai, satu menara perkantoran berjumlah 50 lantai di atas mall, dan hotel bintang lima.

Pembangunan proyek ini terbilang cukup besar dan banyak melibatkan pekerja konstruksi bangunan. Industri jasa kontruksi merupakan salah satu sektor industri yang memiliki resiko kecelakaan cukup tinggi sehingga kegiatan konstruksi bangunan seringkali menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja (BPKSDM, 2009).

(19)

Menurut Occupational Health an Safety Assesment Series 18001 (OHSAS) kesehatan dan keselamatan kerja yaitu kondisi-kondisi dan faktor-faktor yang berdampak, atau dapat berdampak pada kesehatan dan keselamatan karyawan atau pekerja lain (termasuk pekerja kontrak dan personel kontraktor, atau orang lain di tempat kerja). Kecelakaan kerja biasanya timbul sebagai gabungan dari beberapa faktor, seperti faktor peralatan, lingkungan kerja, dan pekerja itu sendiri.

Pada kasus Podomoro City Deli Medan berdasarkan Indopos (2015) “Wali Kota Medan, Randiman Tarigan mengatakan, insiden yang terjadi di Podomoro City merupakan kecelakaan kerja. Menurutnya, ada kelalaian yang dilakukan pekerja sampai pada akhirnya ada bangunan rubuh dan menewaskan 3 orang pekerja.” Lebih lanjut Heinrich (1930) (dalam Ramli, 2010) menyatakan bahwa 85% dari sebab-sebab kecelakaan adalah faktor manusia dengan tindakan tidak aman. Berikut ini wawancara personal terhadap salah satu subjek :

“Kadang kalo uda kepanasan kali ditempat kerja mau juga buka helm proyek. Kalo nampak mandor ya dimarahi, tapi kalo gak nampak ya gakpapa.”

(Komunikasi Personal, September 2016)

Persepsi tentang program keselamatan dan kesehatan kerja adalah proses psikologis yang memungkinkan individu untuk menginterpretasikan, menilai dan mendiskriminasikan tentang suatu program yang terdapat dilingkungan kerja atau tempat kerja dimana penerapan program tersebut dapat mencegah timbulnya penyakit akibat kerja, kerusakan atau kerugian, kejadian yang tak diduga dan tidak dikehendaki sehingga dapat mengacaukan proses yang telah diatur dari

(20)

suatu aktivitas kerja (Fauzia, 2011). Budiono (2003) menyatakan persepsi terhadap Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah pandangan pekerja terhadap apa yang diberikan perusahaan yang bertujuan supaya pekerja terjaga dan terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya. Persepsi disini tidak lepas dari respon kognitif yang mana suatu bentuk usaha untuk memahami pertama apa yang dipikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada stimulus persuasif, dan bagaimana fikiran serta proses kognitif yang berkaitan menentukan apakah mereka mengalami perubahan sikap dan sejauh mana perubahan itu terjadi.

Setiap pekerja mempersepsikan apa yang ditangkap dari lingkungan melalui alat indera. Akan tetapi ada perbedaan persepsi antara individu satu dan lainnya. Sehingga, dengan adanya perbedaan persepsi ini perilaku yang di tampilkan oleh tiap pekerja akan berbeda. Menurut Saksono (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), meliputi persepsi tentang 1. Tata Ruang Kerja, 2. Pakaian kerja, 3. Alat Pelindung Diri (APD), meliputi (a) Pelindung mata, (b) Sepatu pengaman, (c) Sarung tangan, dan (d) Pelindung hidung (masker), 4. Lingkungan Kerja yang meliputi (a) Udara, (b) Suara dan (c) Pencahayaan.

Persepsi pekerja terhadap lingkungan kerja dapat mempengaruhi kepuasan kerja para pekerja(Srivasta, 2008). Begitu pun persepsi pekerja dengan keselamatan dan kesehatan kerja akan memiliki hubngan dengan kepuasan kerja.

Pekerja yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi akan mempersepsikan keselamatan dan kesehatan kerja dengan positif(Ngo & Mathies, 2010). Kepuasan

(21)

kerja juga memiliki hubungan dengan psychological well-being. semakin tinggi kepuasan kerja, maka akan semakin tinggi kesejahteraan psikologisnya (Tanujaya, 2014).

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dan psychological well-being pada pekerja bangunan Podomoro City Deli Medan

B. RUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu apakah ada hubungan positif antara persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dengan psychological well-being pada pekerja bangunan di Podomoro City Deli Medan ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dengan Psychological Well-Being pada pekerja bangunan Podomoro City Deli Medan.

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat mememberikan manfaat untuk pengembangan ilmu psikologi, khususnya dalam Psikologi Industri dan Organisasi dalam aplikasinya terutama mengenai hubungan persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan

(22)

kerja dengan psychological well-being pekerja bangunan Podomoro City Deli Medan. Sehingga dapat dijadikan sumber informasi untuk penelitian-penelitian berikutnya yang sama atau berhubungan dengan hubungan persepsi terhadap keselamtan dan kesehatan kerja dan psychological well-being.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan pada perusahaan tentang persepsi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dan psychological well-being pekerja khususnya perusahaan Podomoro City Deli Medan, agar menjadi bahan pertimbangan untuk kemajuan perusahaan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi kepada pembaca yang akan melakukan penelitian berkaitan dengan persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dan psychologicall well being pekerja.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

(23)

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang digunakan sebagai landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian.

Landasan teori yang diuraikan adalah mengenai psychological well-being, persepsi keselamatan dan kesehatan kerja, dan hubungan persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dengan psychological well-being serta hipotesis penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian yaitu identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, jenis penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, metode analisis data, uji daya beda item, dan hasil uji coba alat ukur.

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai laporan hasil penelitian yang meliputi uji asumsi yaitu uji normalitas dan linearitas, hasil utama penelitian, dan pembahasan mengenai hasil penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memuat jawaban atas masalah yang diajukan. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisa dan interpretasi data, dan saran dibuat dengan mempertimbangkan hasil penelitian yang diperoleh.

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. DEFENISI PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

Carol D Ryff merupakan penggagas teori Psychological Well-Being yang selanjutnya disingkat dengan PWB. Ryff (2013) menjelaskan PWB sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar dengan tiadanya kesehatan fisik saja.

Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis. PWB juga merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas apa yang dirasakan oleh individu sebagai hasil pengalaman hidupnya. Lawton (dalam Keyes 2003), mendefinisikan Psychological Well-Being sebagai tingkat evaluasi mengenai kompetensi dan diri seseorang, yang ditekankan pada hirarki tujuan individu.

Psychological Well-Being bukan hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan afek negatif, namun juga melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup (Keyes, Shmotkin dan Ryff, 2002).

Menurut Ryff (2013), gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang

(25)

berfungsi secara penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan Jung tentang individuasi, konsep kesehatan mental dari Jahoda, konsep Erickson mengenai pengembangan pribadi dan konsep Allport mengenai kematangan.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Psychological Well-Being (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, memiliki kepuasan hidup dan realisasi diri dan sejauh mana individu memiliki tujuan-tujuan dalam hidupnya. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan kemandirian.

1. Dimensi Psychological Well-Being

Ryff (1989), mengemukakan bahwa pondasi untuk diperolehnya kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi secara positif (positive psychological functioning). Pondasi tersebut terdiri atas enam dimensi pendukung dimana masing-masing dimensi menjelaskan tantangan- tantangan yang dapat dihadapi individu untuk berfungsi secara penuh dan positif.

Dimensi-dimensi tersebut yaitu :

1) Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Penerimaan diri merupakan suatu ciri utama dari kesehatan mental yang sama dengan karakteristik individu yang dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal dan memiliki kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani.

(26)

Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yan baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada didalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan yang positif terhadap masa lalu. Sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik akan memunculkan rasa tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa terhadap pengalaman masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini atau menimbulkan perasaan ingin menjadi orang lain (Ryff, 1989).

2) Hubungan positif dengan orang lain (Positive Relations With Others)

Dimensi penting lain dari Psychological Well-Being adalah kemampuan individu untuk membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang matang digambarkan sebagai individu yang mampu untuk mencintai dan membina hubungan interpersonal yang dibangun atas dasar saling percaya. Individu juga memiliki perasaan empati dan kasih sayang yang kuat terhadap sesama manusia dan mampu memberikan cinta, memiliki persahabatan yang mendalam, dan mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi orang lain dengan baik. Selain itu, menurut teori perkembangan masa dewasa, individu juga perlu untuk memiliki kedekatan (intimacy) dengan orang lain dan mampu memberikan bimbingan dan arahan kepada orang lain (generativity). Semua ciri yang ditekankan di atas merupakan karakteristik penting dari konsep Psychological Well-Being.

Menurut Ryff (1995), semakin besar kemampuan individu dalam membina hubungan interpersonal, akan menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, mampu berempati, menyayangi,

(27)

menjalin keintiman dengan orang lain, memahami konsep memberi dan menerima dalam sebuah hubungan. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain akan sulit bersikap hangat dan tidak mau memiliki ikatan dengan orang lain, tidak bersedia berkompromi untuk mempertahankan hubungan yang penting dengan orang lain.

3) Kemandirian (Autonomy)

Dimensi ini menjelaskan tentang kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku sendiri tanpa adanya kendali dari orang lain atau tidak mencari persetujuan orang lain.

Seseorang yang mampu menahan tekanan sosial untuk berpikir serta bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, menandakan bahwa individu tersebut baik dalam dimensi ini.

Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan memperhatikan harapan dan evaluasi orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersifat konformis (Ryff, 1995).

4) Penguasaan Terhadap Lingkungan (Enviromental Mastery)

Dimensi ini menjelaskan tentang kemampuan individu untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai kondisi psikisnya. Penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memilih atau menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi psikisnya. Menurut Ryff (1995) individu dengan PWB yang baik memiliki penguasaan lingkungan yang tinggi, memiliki rasa menguasai, berkompetensi dalam mengatur lingkungan, mampu mengontrol kegiatan eksternal yang kompleks, menggunakan kesempatan yang ditawarkan lingkungan secara efektif dan mampu memilih dan menciptakan konteks lingkungan yang

(28)

sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadinya. Sebaliknya, individu yang kurang baik pada dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, sulit mengembangkan lingkungan sekitar, kurang menyadari kesempatan yang ditawarkan di lingkungan dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

5) Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Adanya tujuan hidup yang jelas merupakan bagian penting dari karakteristik individu yang memiliki Psychological Well-Being. Individu yang berada dalam kondisi ini diasumsikan memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dan arah bagi hidupnya. Individu yang memiliki Psychological Well-Being perlu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalaninya, Pandangan Frankl (Koeswara, 1992) tentang kesehatan psikologis menekankan pada keinginan atau kehendak untuk bermakna (the will to meaning). Individu yang merasa kehilangan makna hidup (meaningless), tanpa tujuan dan arah akan membuat individu tersebut merasa bosan dalam menjalani kehidupannya. Perasaaan tidak bermakna merupakan perasaan dimana individu tidak berhasil menyadari arti hidup yang bermanfaat bagi dirinya.

Individu yang memiliki rasa keterarahan dalam hidup memiliki rasa keberartian pada kehidupan saat ini dan masa lalu, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam

(29)

masa lalu kehidupannya, dan tidak memiliki kepercayaan yang membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefinisikan kesehatan mental (Ryff, 1995).

6) Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Dimensi pertumbuhan pribadi menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani (Ryff, 1995).

(30)

2. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being Beberapa faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being pada diri seseorang yaitu :

a. Usia

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat Psychological Well-Being pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.

Individu yang berada dalam usia dewasa akhir memiliki skor Psychological Well-Being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu yang berada dalam usia dewasa madya memiliki skor Psychological Well-Being yang lebih tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor Psychological Well-Being yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan usia (Ryff, 1989).

(31)

b. Jenis kelamin

Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotipe gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia dkk., 2009). Tidaklah mengherankan bahwa sifat- sifat stereotipe ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain.

c. Status sosial ekonomi

Ryff (1989) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya.

d. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme- kolektivisme memberi dampak terhadap Psychological Well-Being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam

(32)

dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.

e. Dukungan Sosial

Dukungan sosial memiliki hubungan yang signifikan dengan kondisi well-being (Ryff, 1989). Dukungan sosial adalah hal yang berkaitan dengan rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan, hal tersebut didapatkan dari orang-orang yang ada di sekeliling kita seperti pasangan, keluarga, teman, tetangga, atau komunitas masyarakat. Dukungan sosial dapat menimbulkan perasaan dicintai, dihargai, diperhatikan, dan sebagai bagian dari suatu jaringan sosial seperti organisasi masyarakat dalam individu.

f. Pengalaman Hidup

Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa pengalaman hidup yang ditemui sehari-hari dan interpretasi terhadap pengalaman tersebut merupakan pengaruh utama dalam pertumbuhan dan perkembangan Psychological Well-Being. Pengalaman ini berbeda-beda berdasarkan posisi dalam perjalanan kehidupan karena sifat tantangan atau tugas yang ditimbulkan maupun kekhasan masing-masing orang dalam merespon setiap pengalaman.

g. Kesehatan Fisik

Ryff dan Keyes (2013) menemukan bahwa tingkat well-being individu yang lebih rendah berhubungan dengan kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan untuk memperbaiki kondisinya. Gangguan

(33)

kesehatan fisik jangka panjang diasosiasikan dengan penurunan tingkat psychological well-being yang signifikan (Shields & Price, 2011).

h. Kepribadian

Schumutte & Ryff (1995) menemukan bahwa terdapat hubungan antara personality yang diukur dengan NEO Five Fcator Inventory dari Costa dan Mc Crae dengan psychological well-being yang diukur dengan PWB inventory dari Ryff. Hasilnya didapatkan bahwa dimensi self acceptance, environmental mastery, dan purpose in life berhubungan dengan extraversion, conscientious, dan neuroticism; dimensi personal growth berhubungan dengan openness to experience; dimensi positive relations with others berhubungan dengan agreeableness dan extraversion; dan dimensi autonomy berhubungan dengan neuroticsm.

B. PERSEPSI TERHADAP KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)

1. Pengertian Persepsi

Persepsi dalam pengertian psikologi menurut Sarwono (1997) adalah proses penerimaan informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, atau peraba), sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Menurut Walgito (1994) persepsi merupakan suatu proses yang didahului penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Individu kemudian melakukan pengorganisasian dan interpretasi terhadap stimulus yang diindera tersebut, sehingga dapat disadari dan dimengerti.

(34)

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Gibson (1988) bahwa persepsi mencakup kognisi (pengetahuan). Persepsi mencakup penerimaan stimulus, pengorganisasian stimulus, dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap. Menurut Robbins (1998) persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna pada lingkungan. Lebih lanjut Robbins (2002) menyatakan bahwa persepsi adalah cara individu atau kelompok dalam memandang sesuatu.

Aspek-aspek persepsi menurut Mc Dowwell & Newel (1996) adalah :

a. Kognisi : cara berpikir, mengenali, memaknai dan memberi arti suatu rangsang yaitu pandangan individu berdasarkan informasi yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam kehidupan sehari- hari.

b. Afeksi : cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi terhadap rangsang berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian mempengaruh persepsinya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses mengorganisasikan, menafsirkan dan memandang kesan indera agar memberi makna pada lingkungan dan kemudian dapat mempengaruhi perilaku yang muncul.

2. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Pasal 9 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Mengenai Tenaga Kerja menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja berhak mendapat

(35)

perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan moral agama”.

Untuk mewujudkan perlindungan tenaga kerja tersebut maka pemerintah melakukan upaya pembinaan norma di bidang ketenagakerjaan. Dalam pengertian pembinaan norma ini sudah mencakup pengertian pembentukan, penerapan, dan pengawasan norma itu sendiri. Hal ini secara tegas dinyatakan pada pasal 10 Undang-Undang No. 14 tahun 1969.

Atas dasar itu maka dikeluarkanlah Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, sebagai pengganti peraturan perundangan di bidang keselamatan kerja yang telah ada sebelumnya yaitu Veilegheids Reglement Stbl.

No. 406 tahun 1910, yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan perkembangan masalah ketenagakerjaan. Walaupun namanya Undang-Undang tentang keselamatan kerja, namun cakupan materinya termasuk pula masalah kesehatan kerja, karena keduanya tidak dapat dipisahkan, jika keselamatan kerja sudah terlaksana dengan baik maka kesehatan kerja pun akan tercapai (Husni, 2001).

Menurut Suma’mur (1989) keselamatan kerja adalah suatu keadaan yang menunjukkan pada suatu kondisi yang aman, selamat dari bahaya, kerusakan dan kerugian di tempat kerja. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan dengan mesin, alat kerja, bahan kerja, lingkungan tempat bekerja, serta proses atau cara melakukan pekerjaan. Menurut Budiono (2003) keselamatan kerja adalah ilmu pengetahuan dan penerapannya yang mempelajari tentang tata cara penanggulangan kecelakaan di tempat kerja, yang tertuju pada kesejahteraan manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya.

(36)

Husni (2001) menyatakan kesehatan kerja merupakan bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar tenaga kerja memperoleh keadaan kesehatan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial sehingga memungkinkan dapat bekerja secara optimal. Menurut UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23 Kesehatan Kerja adalah suatu upaya penyesuaian antara kapasitas kerja dan lingkungan kerja,agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat sekelilingnya sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal. Husni (2001) menyatakan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat kerja (perusahaan).

Kesehatan dan Keselamatan Kerja atau K3 adalah suatu sistem yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian (Yusra, 2005).

Dari Uraian diatas maka dapat ditarik pengertian, bahwa Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah bagian dari suatu sistem manajemen yang penerapannya berguna untuk mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan fisik.

(37)

3. Persepsi terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Indrawijaya (2000) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana manusia dalam mengorganisasikan, menafsirkan, dan memberi arti kepada suatu rangsangan selalu menggunakan inderanya, yaitu melalui mendengar, melihat, merasa, meraba, dan mencium, yang dapat terjadi terpisah-pisah atau serentak. Menurut Siagian (1995) menyatakan persepsi merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan sensori dalam usaha memberikan sesuatu makna tertentu kepada lingkungan.

Persepsi terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah pandangan pekerja terhadap apa yang diberikan perusahaan yang bertujuan supaya pekerja terjaga dan terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya. Persepsi disini tidak lepas dari respon kognitif yang mana suatu bentuk usaha untuk memahami pertama apa yang dipikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada stimulus persuasif, dan kedua bagaimana pikiran serta proses kognitif yang berkaitan menentukan apakah mereka mengalami perubahan sikap dan sejauh mana perubahan itu terjadi. (Greenwald, 1968; Petty, Ostrom & Brock, 1981; Baron &

Byne) dalam (Azwar, 2002).

4. Aspek‐aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Miner (1992) mengemukakan beberapa aspek keselamatan kerja, yaitu : 1. Pelatihan Keselamatan Kerja

Program pelatihan untuk karyawan baru dan tidak terbiasa melakukan hal- hal yang termasuk dalam isi program keselamatan yang dipertimbangkan. Teknik yang digunakan untuk pelatihan keselamatan misalnya ceramah, peragaan, film dan simulasi kecelakaan.

(38)

2. Kontes dan Publisitas Keselamatan

Publisitas keselamatan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, yakni poster, buklet, nota khusus, dan artikel terbitan perusahaan. Selain itu, juga dapat dilakukan kontes untuk membantu perkembangan keselamatan. Misalnya dengan melakukan pertandingan antar departemen yang memiliki potensi kecelakaan yang sama.

3. Pengontrolan Lingkungan Kerja

Perancangan tempat kerja dan peralatan yang digunakan merupakan pendekatan utama untuk mencegah kecelakaan dan yang paling efektif.

Peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal Protective Equipment (PPE) yang wajib disediakan oleh perusahaan kontraktor untuk semua pekerja : pakaian kerja, sepatu kerja, kacamata kerja, penutup telinga, sarung tangan, helm, masker, jas hujan, sabuk pengaman, tangga, dan P3K. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan konstruksi, yaitu lokasi pekerjaan dan merokok saat bekerja. Kebersihan tempat bekerja di kantor maupun di lokasi pekerjaan ikut menentukan hasil kerja bagi pekerja konstruksi. Perilaku merokok di lokasi pekerjaan beresiko mengakibatkan terjadinya kebakaran dan juga merugikan kesehatan (Ervianto, 2005).

4. Pemeriksaan dan Disiplin

Beberapa bentuk pemeriksaan misalnya dengan menyediakan peringatan awal terhadap kecelakaan dan menyediakan surat panggilan OSHA (Occupational Safety and Health Administration). Pemeriksaan dilakukan oleh pengawas, anggota komite keselamatan, atau diwakilkan oleh pihak asuransi yang menangani kebijakan kompensasi pegawai perusahaan.

(39)

5. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Menurut Suma’mur (1989) tujuan kesehatan dan keselamatan kerja adalah

sebagai berikut :

a. Melindungi karyawan atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja c. Pemeliharaan sumber produksi dan mempergunakannya secara aman dan

efisien.

Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja disebutkan tujuan keselamatan kerja, yakni :

a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan

b. Mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran c. Mencegah dan mengurangi bahaya peledakan

d. Memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya

e. Memberi pertolongan pada kecelakaan

f. Memberi alat-alat perlindungan diri pada pekerja

g. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluaskan suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembuan angin, cuaca, sinar radiasi, suara dan getaran

h. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan

i. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai

(40)

j. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik k. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup

l. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban

m. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya

n. Mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang

o. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan

p. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat, perlakuan dan penyimpanan barang

q. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya

r. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

6. Alasan Pentingnya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Ada beberapa alasan pentingnya memperhatikan masalah kesehatan dan keselamatan pekerja dalam bekerja, yaitu :

1) Kemanusiaan

Karena dengan membiarkan terjadinya kecelakaan kerja, tanpa berusaha melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan merupakan suatu tindakan yang tidak manusiawi. Hal ini dikarenakan kecelakaan kerja yang terjadi tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi korbannya, misalnya kematian, luka/cedera berat maupun ringan, tetapi juga mengakibatkan penderitaan bagi keluarga korban jika korban meninggal atau cacat. Oleh karena itu, perusahaan mempunyai kewajiban

(41)

untuk melindungi pekerjanya dengan cara menyediakan lapangan kerja yang aman,serta jaminan kesehatan bagi pekerjanya (Ridley, 2008).

2) Ekonomi

Setiap kecelakaan kerja yang terjadi akan menimbulkan kerugian ekonomi seperti kerusakan mesin, peralatan, bahan dan bangunan, biaya pengobatan, biaya santunan kecelakaan dan sebagainya. Oleh karena itu, dengan melakukan langkah- langkah pencegahan kecelakaan kerja, maka selain dapat mencegah terjadinya cedera pada pekerja, perusahaan juga dapat menghemat biaya yang harus dikeluarkan (Suma’mur, 1989).

3) UU dan Peraturan

Dengan adanya Undang Undang tentang pencegahan Kecelakaan Kerja, yaitu Undang-Undang No 1 tahun 1970, perusahaan diharapkan dapat menaati peraturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah, dan menerapkan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), sehingga dapat meminimalisir kecelakaan kerja yang terjadi.

4) Nama Baik Perusahaan

Suatu perusahaan yang mempunyai reputasi yang baik, dapat mempengaruhi kemampuannya dalam bersaing dengan perusahaan lain. Menurut Barrie & Paulson (1984) menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai reputasi atau nama baik, akan dapat memberikan keuntungan baik langsung,maupun tidak langsung bagi perusahaan tersebut.

(42)

C. PEKERJA BANGUNAN

Pengertian pekerja berdasarkan pasal 1 angka 3 UU No. 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan. Tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan (Wijayanti A, 2004).

Pekerja bangunan adalah individu yang bekerja dalam bidang pembangunan fisik (konstruksi) yang membutuhkan tenaga fisik, dan menerima upah atau imbalan atas apa yang telah dikerjakannya ( Qomaria R, 2015).

D. HUBUNGAN PERSEPSI TERHADAP KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

Siagian (1995) menyatakan persepsi merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan sensori dalam usaha memberikan sesuatu makna tertentu kepada lingkungan.MenurutRobbins (1998) persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna pada lingkungan. Dalam persepsi, apa yang ingin dilihat oleh seseorang belum tentu sama dengan fakta yang sebenarnya. Keinginan seseorang itulah yang menyebabkan mengapa dua orang yang melihat atau mengalami hal yang sama memberikan interpretasi yang berbeda tentang apa yang dilihat atau dialaminya. Interpretasi seseorang tentang kesan sensorinya mengenai lingkungannya akan sangat berpengaruh pada perilaku (dalam Siagian, 1995).

(43)

Nitisemito (1982) menyatakan lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Ramli (2010) menyatakan bahwa salah satu kondisi kerja adalah keamanan dalam bekerja. Penggunaan mesin, alat kerja, material, dan proses produksi telah menjadi sumber bahaya yang dapat mencelakakan. Karena itu, di abad modern ini, aspek keselamatan telah menjadi tuntutan dan kebutuhan.

Pekerja yang menyadari dan merasakan bahwa lingkungan kerjanya cukup aman dan menyenangkan mengembangkan sikap positif terhadap berbagai komponen pekerjaan yang kemudian menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi (Srivastava, 2008). Persepsi pekerja terhadap lingkungan kesehatan kerja dibentuk oleh kondisi kerja yang sebenarnya yang kemudian akan mempengaruhi kepuasan kerja, dimana pekerja yang merasa bahwa lingkungan kerjanya lebih sehat mempunyai kepuasan kerja yang lebih tinggi pula (Lowe, dkk, 2003). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Lee (2006) yaitu rasa puas terhadap lingkungan kerja berhubungan dengan kepuasan kerja.

Persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja juga mempengaruhi kepuasan kerja yang akhirnya mempengaruhi kinerja, dimana pekerja yang mempunyai persepsi positif terhadap keselamatan dan kesehatan kerja menujukkan kepuasan kerja yang lebih tinggi yang kemudian meningkatkan kinerjanya (Ngo & Mathies, 2010). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Tanujaya (2014) menyatakan bahwa ada hubungan positif antara kepuasan kerja dengan psychological well-being. Hal ini menunjukkan bahwa semakin pekerja merasakan kepuasan kerja maka akan semakin tinggi kesejahteraan psikologis

(44)

(psychological well-being). Sebaliknya, semakin pekerja merasakan ketidakpuasan kerja maka kesejahteraan psikologis (psychological well-being) semakin rendah.

Dari uraian-uraian di atas dapat dilihat hubungan yang positif antara persepsi terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dengan psychological well-being. Ketika persepsi terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (K3) tinggi maka akan meningkatkan kepuasan kerjanya yang kemudian akan meningkatkan psychological well-being.

E. HIPOTESA PENELITIAN

Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesa sebagai jawaban sementara.

Adapun hipotesa dalam penelitian ini yaitu : ada hubungan positif antara persepsi terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dengan psychological well-being yaitu semakin positif persepsi subjek terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) maka psychological well-being semakin tinggi, begitu sebaliknya semakin negatif persepsi subjek terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) maka psychological well-being semakin rendah.

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian, defenisi operasional, subjek penelitian, prosedur penelitian, dan metode penelitian (Hadi, 2000).

A. METODE PENELITIAN YANG DIGUNAKAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Tujuan dari metode penelitian korelasional ini adalah untuk melihat hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Dimana peneliti ingin mengetahui hubungan antara persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dengan Psychological Well-Being pada pekerja bangunan Podomoro City Deli Medan.

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN Variabel- variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel tergantung : Psychological Well-Being

2. Variabel bebas : Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

C. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN 1. Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Persepsi terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah pandangan pekerja terhadap apa yang diberikan perusahaan yang bertujuan supaya pekerja terjaga dan terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya. Persepsi K3 ini

(46)

akan diukur dengan skala keselamatan dan kesehatan kerja berdasarkan aspek- aspek yang dikemukakan oleh Miner (1992) yaitu pelatihan keselamatan kerja, kontes dan publisitas keselamatan, pengontrolan lingkungan kerja, pemeriksaan dan disiplin.

Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja dapat dilihat dari skor yang diperoleh individu skala tersebut. Skor skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor total yang dimiliki subjek maka semakin positif persepsi keselamatan dan kesehatan kerja, dan sebaliknya semakin rendah skor total yang diperoleh subjek maka menunjukkan semakin negatif pesepsi subjek terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

2. Psychological Well-Being

Psychological Well-Being (kesejahteraan psikologis) adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, memiliki kepuasan hidup dan realisasi diri dan sejauh mana individu memiliki tujuan-tujuan dalam hidupnya. Psychological well-being ini akan diukur dengan menggunakan skala psychological well-being berdasarkan konsep Ryff (1989) yaitu penerimaan diri (Self-Acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positif relation with other), kemandirian (Autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Psychological well-being individu dapat dilihat dari skor yang diperoleh individu dari skala tersebut. Skor skala ini menunjukkan bahwa semakin tinggi skor total yang dimiliki subjek maka semakin tinggi tingkat PWB dan sebaliknya,

(47)

semakin rendah skor total yang diperoleh subjek maka menunjukkan semakin rendah juga tingkat PWB .

D. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/ subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011). Populasi pada penelitian ini adalah pekerja bangunan Podomoro City Deli Medan.

2. Metode Pengambilan Sampel

Metode maupun teknik pengambilan sampel adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi (Hadi, 2000). Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental Sampling. Menurut Hadi (1992) accidental sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang dilakukan terhadap responden yang secara kebetulan ditemui pada obyek penelitian ketika observasi sedang berlangsung.

3. Jumlah Sampel Penelitian

Azwar (2007) menyatakan bahwa secara tradisional, statistik menganggap jumlah sampel yang lebih dari 60 orang sudah cukup banyak. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka jumlah sampel yang direncanakan dalam penelitian ini adalah 90 orang. Kekuatan tes statistik meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah sampel (Siegel, 1997).

(48)

E. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode penelitian hendaknya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan bentuk data yang akan diambil dan diukur (Hadi, 2000). Pada penelitian ini peneliti menggunakan skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi sesorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial (Kothari, 2004).

Azwar (2007) mengatakan bahwa skala adalah suatu prosedur pengambilan data yang merupakan suatu alat ukur aspek afektif yang merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu. Azwar (2007) juga mengatakan bahwa karakteristik dari skala psikologi, yaitu : (a) stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan; (b) dikarenakan atribut psikologis diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu banyak berisi aitem-aitem; (c) respon subjek tidak diklarifikasikan sebagai jaminan benar atau salah, semua jawaban dapat diterima asal sepanjang diberikan secara jujur dan sunguh-sungguh. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan dua skala, yaitu: skala psychological well-being dan skala persepsi keselamatan dan kesehatan kerja.

1. Skala Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Skala persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Miner (1992) yang disusun atas 4 aspek yaitu pelatihan keselamatan kerja, kontes dan publisitas keselamatan,

(49)

pengontrolan lingkungan kerja, dan pemeriksaan dan disiplin. Skala ini digunakan dengan model likert. Setiap aspek akan diuraikan dalam sejumlah pernyataan favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung). Adapun blueprint dalam penyusunan skala yang mengukur persepsi K3 adalah sebagai berikut :

Tabel 1.

Blue Print Skala Persepsi K3 Sebelum Uji Coba

Aspek Indikator Favorable Unfavorable Jumlah Pelatihan

keselamatan kerja

 Pemberian ceramah

tentang K3 15, 28 17 3

 Pengetahuan pekerja

tentang bahaya K3 9, 18, 20 12, 22, 30 6 Kontes dan

publisitas keselamatan

 Adanya nota khusus

tentang K3 11, 24 26 3

 Adanya gambar- gambar tentang K3 daitempat kerja

6 27, 29 3

Pengontrolan lingkungan kerja

 Penggunaan Alat

pelindung diri 13, 25 3 3

 Memahami cara mengoperasikan mesin

4 19, 23 3

 Kebersihan tempat

bekerja 10 14, 21 3

Pemeriksaan dan disiplin

 Mematuhi peraturan

penggunaan peralatan 1, 7 5 3

 Peneguran pekerja yang tidak memakai APD

2, 8 16 3

TOTAL 30

Skala ini terdiri dari 30 aitem yang terdiri dari 16 aitem favorable dan 14 aitem unfavorable. Model skala yang akan digunakan untuk skala persepsi terhadap keselamatan dan kesehatan terdiri dalam lima alternatif jawaban.

Pernyataan favourable diberi skor sebagai berikut: yaitu: Sangat Tidak Sesuai (STS) = 1, Tidak Sesuai (TS) = 2, Netral (N) = 3 Sesuai (S) = 4, dan Sangat

(50)

Sesuai (SS) = 5. Sedangkan pernyataan unfavourable diberi skor sebagai berikut:

Sangat Tidak Sesuai (STS) = 5, Tidak Sesuai (TS) = 4, Netral (N) = 3, Sesuai (S)

= 2, dan Sangat Sesuai (SS) = 1.

Tabel 2.

Penilaian Skala Persepsi K3

Alternatif Jawaban Favorable Unfavorable

Sangat Setuju (SS) 5 1

Setuju (S) 4 2

Netral (N) 3 3

Tidak Setuju (TS) 2 4

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 5

2. Skala Psychological Well-Being

Peneliti menggunakan kuesioner Skala Psychological Well-Being (SPWB) berdasarkan teori Ryff (1989) yang disusun dari 6 dimensi yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Adapun blueprint dari instrumen Psychological Well-Being (PWB) adalah :

Tabel 3.

Blue Print Skala Psychological well-being Sebelum Uji Coba

Dimensi Indikator Favorable Unfavorable Jumlah Penerimaan

diri (Self- acceptance)

 Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri.

7 43, 54 3

 Mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk kualitas baik dan buruk dalam dirinya.

3, 16 6 3

 Perasaan positif tentang kehidupan yang sedang dijalani sekarang.

1 4,8 3

Hubungan positif dengan orang lain (positif relation

 Bersikap hangat dan

percaya dalam

berhubungan dengan orang lain.

9, 18 17 3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam psychological well being Ryff (1989) menyebutkan ada enam dimensi yang membangun psychological well being yaitu 1) dimensi penerimaan diri ( self Acceptance), yang mengacu

Ryff (1989) mendefinisikan happiness sebagai psychological well being (kesejahteraan psikologis), yang berarti suatu keadaan individu yang dapat menerima kekuatan

Menurut Ryff (1989), psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan

Psychological well-being merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, dimana individu tersebut dapat menerima kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya,

Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu pencapaian penuh dari potensi psikologis dan suatu kondisi individu yang dapat menerima

Menurut Ryff (dalam , psychological well ‐ being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi

Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa

Psychological well-being adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis individu dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan serta diri apa adanya, memiliki tujuan