• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUISI DIPONEGORO KARYA CHAIRIL ANWAR DENGAN PUISI BUNGA DAN TEMBOK KARYA WIJI THUKUL : ANALISIS INTERTEKSTUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PUISI DIPONEGORO KARYA CHAIRIL ANWAR DENGAN PUISI BUNGA DAN TEMBOK KARYA WIJI THUKUL : ANALISIS INTERTEKSTUAL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

INTERTEKSTUAL

Chairil Anwar’s Poem “Diponegoro” and Wiji Thukul’s Poem “Bunga dan Tembok”: An Intertextual Analysis

Ramlan Andi

Kantor Bahasa Provinsi Lampung

Jalan Beringin II No. 40 Kompleks Gubernur, Telukbetung, Bandarlampung Telepon (0721) 486408, Faksimile (0721) 486407 Hp: 081379653810

Pos-el: [email protected]

Diajukan: 16 Mei 2017, direvisi: 20 Agustus 2017

Abstract

The poem "Diponegoro" by Chairil Anwar and Wiji Thukul's poem "Bunga dan Tembok" are poems which talk about struggle. In this study, the researcher tries to find out the relationship of one to another between two literary works from two different generations through an intertextual approach. The method used is descriptive qualitative method which applies hermeneutic thinking strategy. Based on the results of the analysis, the poem "Diponegoro" by Chairil Anwar and the poem “Bunga dan Tembok" by Wiji Thukul show the similarity of themes and messages. The similarity reveals the struggle of people who were oppressed by the government. While the differences of both poems are the purpose of their struggle. In the poem "Diponegoro", the poet calls for resistance against other nations which colonized Indonesia. While in the poem "Bunga dan Tembok”, the poet invites the reader to fight his own government because it was considered that it had implemented an unjust governmental system.

Keywords: poem, intertextual, struggle

Abstrak

Puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar dengan puisi “Bunga dan Tembok” karya Wiji Thukul merupakan puisi yang berbicara tentang perjuangan. Dalam penelitian ini, penulis berupaya menemukan hubungan antara karya satu dan yang lainnya dari dua generasi yang berbeda melalui pendekatan intertekstual. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan strategi berpikir hermeneutik. Berdasarkan hasil analisis, Puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar dengan puisi “Bunga dan Tembok” karya Wiji Thukul menunjukan kesamaan tema dan pesan. Persamaan tersebut mengungkap perjuangan seorang rakyat kecil yang tertindas akan penguasa yang zalim. Sementara itu perbedaan yang tampak dalam kedua puisi tersebut adalah tujuan perjuangan yang mereka lakukan. Pada puisi “Diponegoro”, pengarang menyerukan perlawanan terhadap bangsa lain yang menjajah Indonesia. Sedangkan pada puisi “Bunga dan Tembok”, pengarang mengajak pembaca untuk melawan pemerintahnya sendiri karena dianggap telah menerapkan sistem pemerintahan yang tidak adil.

(2)

250

1. Pendahuluan

Puisi merupakan ungkapan pengarang terhadap keadaan dan pengalaman hidup yang menggunakan media bahasa sebagai perantara atau pengungkapan ekspresi. Oleh sebab itu, puisi pada umumnya berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Penciptaan puisi dilatarbelakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengekspresikan emosinya.

Melalui pendayagunaan diksi dan kekuatan majas yang terdapat dalam puisi pengarang tidak hanya mengekspresikan emosinya, tetapi hasil karyanya tersebut mampu memberikan pemahaman baru kepada pembaca yang menikmati hasil karyanya. Perkembangan puisi di Indonesia sangatlah pesat. Dalam sebuah puisi, terdapat beragam tema yang dapat disampaikan pengarang. Salah satu tema dalam puisi adalah tema perjuangan. Di antara pengarang yang menghasilkan karya puisi bertema perjuangan adalah Chairil Anwar dan Wiji Thukul. Meskipun kedua pengarang tersebut memiliki ruang dan waktu yang berbeda, tetapi

terdapat beberapa hal yang

menyatukan kedua pengarang

tersebut.

Puisi-puisi perjuangan karya Chairil Anwar adalah karya yang berisi luapan perasaan dan pemberontakkan jiwa pengarang. Chairil Anwar adalah pelopor Angkatan 1945 sekaligus pelopor puisi modern Indonesia.

Semangat kemerdekaan yang

diungkapkan sebetulnya juga mewakili semangat rakyat Indonesia yang

mendambakan kemerdekaan.

Penderitaan rakyat yang diakibatkan

dari penjajahan benar-benar

menginspirasi pengarang untuk mengkritik dan menentang tradisi dan

sistem pemerintahan yang

bertentangan dengan hati nurani rakyat Indonesia.

Setelah meraih kemerdekaan, apakah negeri ini telah sejahtera dan

makmur? Sepertinya belum.

Berdasarkan fakta sejarah,

ketidakadilan ternyata masih saja terjadi di negeri ini. Setelah Chairil Anwar, sepertinya tidak terdengar lagi puisi yang berbicara dengan sangat lugas tentang kesengsaraan rakyat, disertai dengan ajakan untuk melawan ketidakadilan. Mungkin pernah ada puisi-puisi W.S. Rendra, namun rasanya tidak sampai dibaca oleh kaum buruh dan menjadi mantra dalam setiap aksi turun ke jalan sebagaimana pekik puisi Thukul: Hanya ada satu kata, lawan!

Wiji Thukul adalah seorang sastrawan dan aktivis di era Presiden Soeharto atau Orde Baru. Karya-karya puisinya yang sangat kritis terhadap

kebijakan pemerintah telah

menyebabkan hidupnya sengsara karena ia dianggap sebagai ancaman pemerintah sehingga ia dijadikan buronan hingga tidak diketahui nasibnya atau dianggap mati karena keberadaannya hingga kini tidak diketahui. Sosok Wiji Thukul adalah figur yang tepat untuk mengantarkan anak-anak muda membaca ulang sejarah tentang negerinya. Membaca bait-bait puisinya adalah membaca narasi kegigihan anak-anak muda pada zaman yang terus bergerak untuk melakukan perubahan. Thukul adalah simbol dari betapa mahal harga yang harus dibayar dari perjuangan merebut demokrasi.

Meskipun kedua pengarang tersebut hidup pada zaman yang berbeda, tetapi seolah keduanya memiliki persamaan atau perbedaan yang khas. Selanjutnya, untuk

mengungkap persamaan dan

(3)

251

menggunakan pendekatan

intertekstual. 2. Metode

Kajian intertekstual

dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang mempunyai

bentuk-bentuk hubungan

tertentu. Misalnya, untuk menemukan

adanya hubungan unsur-unsur

intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya yang muncul kemudian (Nurgiantoro, 2009:50).

Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Karya sastra yang ditulis biasanya mendasarkan diri pada karya-karya yang lain yang telah ada sebelumnya baik secara langsung maupun tidak

langsung, baik dengan cara

meneruskan atau menyimpangi

(menolak atau memutarbalikan esensi) konvensi. Menurut Riffaterre (dalam Teeuw, 1984:51) mengatakan bahwa karya sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang terkandung

dalam perkembangan sastra

sebelumnya, yang secara konkret berupa sebuah atau sejumlah karya.

Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram diindonesiakan menjadi latar yaitu dasar, walaupun secara eksplisit tidak tampak bagi

penulisan karya yang lain. Jadi, hipogram pada dasarnya adalah karya sastra yang menjadi latar penciptaan karya lain. Setiap teks merupakan

mosaik kutipan-kutipan dan

penyerapan serta transformasi teks-teks lain. Maksudnya, tiap teks-teks itu mengambil hal-hal yang sesuai dari

teks lain, berdasarkan

tanggapannya dan diolah kembali dalam karyanya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Kristeva (Culler dalam Prodopo, 2007:66), setiap teks adalah mosaik kutipan-kutipan dan merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain. Dengan kata lain, setiap teks dari suatu karya sastra biasanya mengambil bentuk, intisari atau pokok-pokok yang baik dari teks lain dengan berlandaskan persepsi yang diolah kembali oleh pengarangnya.

Selanjutnya, yang menentukan ada tidaknya hubungan interteks dalam sebuah karya sastra khususnya puisi adalah pembaca itu sendiri. Selain itu intertekstual tidak hanya membicarakan adanya hubungan pertentangan antar pengarang tetapi juga persamaan atau kesejajaran makna yang ada dalam teks.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan membahas tentang bagaimana hubungan intertekstual puisi “Diponegoro” karya Chairil Anwar dengan puisi “Bunga dan Tembok” karya Wiji Thukul.

Prinsip intertektualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau tranformasi dari karya-karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh, ambilan atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain yang menjadi

(4)

252

hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi.

3. Hasil dan Analisis

3.1 Analisis Intertekstual Puisi “Diponegoro” dengan “Bunga dan Tembok”

Puisi yang berjudul

“Diponegoro” karya Chairil Anwar ini diambil dari buku kumpulan puisi Aku ini Binatang Jalang. Puisi ini merupakan puisi yang terkenal sejak pertama kali keluar sekitar bulan Februari 1943 sampai sekarang. Chairil Anwar sebagai pengarang ingin menumbuhkan jiwa kepahlawanan, sehingga beliau memilih Diponegoro sebagai judul puisinya. Semangat Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah pada saat itu ingin dihidupkan kembali oleh Chairil Anwar.

Puisi ini menggambarkan semangat perjuangan dalam jiwa pengarang. Hal ini tercantum dalam baris pertama dan kedua //Di masa pembangunan ini Tuan hidup kembali//, makna baris pertama dan

kedua tersebut pengarang

menggambarkan semangat perjuangan Diponegoro yang dimiliki oleh rakyat Indonesia saat itu (tahun 1943). Kemudian baris ketiga //dan bara kagum menjadi api// ini bermakna

semangat perjuangan yang

digambarkan oleh pengarang

sangatlah luar biasa. Hal tersebut terlihat pada pendyagunaan diksi bara dan api, bara dan api merupakan zat yang panas, sehingga tepat sekali untuk menggambarkan semangat

juang pengarang yang

memanas. Dilanjutkan dalam baris keempat dan kelima, yaitu //di depan sekali tuan menanti/tak gentar/ lawan banyaknya seratus kali//. Dengan

demikian semakin terlihat bahwa para pejuang yang betapa semangatnya sehingga menjadi pemberani dalam melawan penjajah. Mereka tidak memiliki keraguan apapun, yang ada hanya semangat berjuang dan berperang.

Lalu pada baris keenam /pedang di kanan keris di kiri/ mengandung arti bahwa dalam masa itu pejuang Indonesia melawan penjajah dengan senjata apapun yang dimilikinya, baik senjata yang bersifat modern ataupun tradisional atau senjata yang secara fisik terlihat maupun senjata yang hanya berupa harapan atau doa. Lalu baris ketujuh /berselempang semangat yang tak bisa mati/ pada baris ini menggambarkan betapa bergejolaknya semangat di jiwa mereka sehingga tidak ada yang bisa membunuh semangat tersebut hingga mati sekalipun. Kemudian baris kedelapan //MAJU// pendayagunaan diksi ini melukiskan sebuah seruan atau ajakan untuk maju melawan penjajah. Sedangkan baris kesembilan dan sepuluh /ini barisan tak bergendarang-berpalu, kepercayaan tanda menyerbu/ Hal ini bermakna bahwa seluruh pasukan pejuang Indonesia tidak memiliki senjata yang canggih seperti para penjajah, tetapi mereka hanya bermodalkan semangat dan kepercayaan satu sama lain

sehingga menumbuhkan rasa

persatuan dan kesatuan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Selanjutnya baris kesebelas dan dua belas //sekali berarti/sudah itu mati// Dalam hal ini pengarang mengungkapkan semangat pejuang

Indonesia yang suka rela

mempertaruhkan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa Indonesia, meskipun nantinya mereka mati oleh serangan penjajah. Baris ketiga belas //MAJU//, ini juga merupakan kata

(5)

253 seruan yang diungkapkan pengarang

untuk pejuang Indonesia agar tetap maju apapun yang terjadi. Lalu baris keempat belas dan kelima belas /bagimu negeri/menyediakan api/ berarti pengarang menyatakan bahwa bangsa Indonesia pun memberikan dukungan penuh berupa semangat kepada pejuang Indonesia. Dilanjutkan baris keenam belas dan ketujuh belas /punah di atas menghamba/binasa di atas ditindas//. Dalam petikan tersebut tergambar semangat juang seluruh rakyat melawan penjajah maka harapannya rakyat Indonesia akan berhenti menjadi budak penjajah dan berhenti ditindas oleh penjajah. Puisi baris kedelapan belas dan kesembilan belas //sungguhpun dalam ajal baru tercapai/jika hidup harus merasai// Pada baris kedua puluh ini, pengarang menggambarkan pejuang Indonesia saat itu memiliki paham bahwa mereka rela mati apabila hidupnya sudah berjuang dan memberikan persembahan bagi bangsa Indonesia. Kemudian pada bait terakhir

//Maju/Serbu//Serang//Terjang// bermakna seruan bagi pejuang Indonesia agar maju menyerbu, menyerang, dan menerjang penjajah.

Lain Chairil Anwar lain pula dengan Wiji Thukul. Dalam beberapa karya penciptaannya, Wiji Thukul acap menggunakan ekspresi sederhana dan lugas dalam menghasilkan karya sastra. Bahkan jika dibandingkan dengan puisi-puisi yang lain, kita tidak akan menemukan kata-kata yang mendayu-dayu. Seperti dalam puisi “Bunga dan Tembok” pembaca akan disuguhi ekspresi-ekspresi simile sekaligus sarkasme pada puisi tersebut. Puisi yang berjudul “Bunga

dan Tembok” karya Wiji Thukul ini

menggambarkan sebuah perlawanan terhadap sistem pemerintahan yang lalim. Melalui perumpamaaan sebuah

bunga, aku lirik mengidentifikasikan dirinya sebagai entitas rapuh yang mudah terkoyak oleh waktu. Bunga adalah simbol keindahan yang memiliki jenis beraneka ragam.

Keanekaragamannya mampu

menghipnosis setiap orang yang memandangnya. Namun apa jadinya jika keindahan tersebut ternyata tidak dikehendaki, sehingga pada akhirnya ia harus dipaksa mati oleh kekuatan

yang seharusnya menjadi

pengayomnya. Pada bait pertama //Seumpama bunga/Kami adalah bunga yang tak/Kau hendaki tumbuh/Engkau lebih suka membangun/Rumah dan merampas tanah//, bait tersebut menjelaskan

sepertinya pengarang sangat

menyadari jika kehadirannya sebagai rakyat kecil yang ingin hidup dan berkembang ternyata tidak diakui oleh negara. Keberadaannya sebagai warga yang harus dilindungi dan diayomi oleh pemerintah ternyata tidak dirasakan oleh pengarang. Rakyat terus tergusur hingga ke pelosok-pelosok negeri oleh gedung-gedung bertingkat yang terus diperluas bagi kesnangan kaum kaya. Keadaan seperti ini rupanya menimbulkan kekecewaan bagi pengarang. Gambaran tersebut

tertuang dalam bait kedua

//seumpama bunga/kami adalah bunga yang tak/kau kehendaki adanya//.

Selanjutnya dalam baris kelima dan keenam bait kedua, pengarang

semakin menegaskan betapa

pembangunan yang ada tidak memberi

manfaat bagi masyarakat.

Pembangunan yang seharusnya

mampu memfasilitasi kesejahteraan rakyat rupanya tidak dirasakan oleh pengarang. Kekecewaan pengarang tampak dalam baris //engkau lebih suka membangun/jalan raya dan pagar besi//. Pada baris tersebut nampak

(6)

254

terpisahnya jarak antara penguasa dan rakyat jelata.

Penguasa tetap terasa nyaman dibalik tembok, sementara disisi lainnya rakyat kecil semakin terhimpit oleh kemelaratan. Pendayagunaan diksi pagar besi jelas melukiskan sekat-sekat tinggi yang dibangun oleh pemerintah untuk menjadi pemisah antara rakyat dengan penguasanya.

Pembangunan jalan raya

seharusnya menjadi simbol

pergerakan ekonomi yang baik karena percepatan ekonomi tentu akan menaikkan taraf hidup orang banyak ternyata hanya mimpi belaka. Kemakmuran yang dinanti ternyata hanya milik segelintir orang yang memanfaatkan kekuatan pemerintah. Akses percepatan ekonomi tersebut rupanya tidak berdampak apapun bagi pengarang. Menurut pengarang,

penindasan dan

kesewenang-wenangan justru sedang

dipertontonkan di negeri sendiri sehingga menyebabkan mereka harus mengalah dan mati. Gambaran tersebut seperti terlukis dalam bait ketiga baris ketiga //seumpama bunga/kami adalah bunga yang/dirontokan di bumi kami sendiri//. Dalam baris tersebut pengarang merasa terusir dari negerinya sendiri, tak nampak kemerdekaan yang terlukis disana apatah lagi kesenangan atau

kebahagian karena adanya

pembangunan yang konon digalakan dan menyebar di seluruh negeri tetapi tidak mereka nikmati.

Dalam bait berikutnya, aku lirik menunjuk secara langsung bagaimana penguasa secara sewenang-wenang menindasnya. Hal tersebut tampak dalam bait keempat baris kesatu dan kedua //jika kami bunga/engkau adalah tembok itu//.

Dalam bait tersebut pengarang dengan dengan tegas melawan

kesewenang-wenangan yang

menimpanya. Meskipun hanya rakyat kecil, aku lirik berusaha menentang

kekuasaan yang membelenggu

kemerdekaannya //tapi ditubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji//. Dengan keberanian yang besar, aku lirik menantang penguasa, aku lirik juga membuat ancaman jika percik-percik api semangat telah ia gelorakan hingga keseluruh negeri sehingga percikan tersebut bisa berubah menjadi kobaran api yang akan meluluh lantakan kekuasaan yang ada. Dengan keyakinannya, aku lirik percaya bahwa suatu saat tirani tersebut akan hancur. Seperti tergambar dalam bait keempat, kelima, dan keenam //suatu saat kami akan tumbuh bersama/ dengan keyakinan: engkau harus hancur//. Kepercayaan tersebut juga dipertegas dalam dua baris terakhir puisinya //dalam keyakinan kami/dimanapun-tirani harus tumbang!//

Terakhir gambaran yang

diberikan aku lirik adalah keyakinan akan datangnya kemenangan. Kondisi sosial si aku lirik jelas menggambarkan penderitaan. Melalui baris terakhir bait kelima pengarang mengungkap jika kehidupan sosial masyarakatnya berada dibawah bayang-bayang kemiskinan. Karena pemerintahan yang tidak adil tersebut pengarang menyerukan perlawanan dan merasa harus menjatuhkan pemerintahan yang dianggapnya lalim.

3.2 Hubungan Intertekstual Puisi “Diponegoro” dengan “Bunga dan Tembok”

Intertekstual dalam puisi dapat

mencakup persamaan maupun

pertentangannya. Dalam penelitian ini penulis mencoba membandingkan, menyejajarkan, dan mengorganisasi antarkarya sebagai proses pemahaman

(7)

255 adanya kaitan antara teks dari masa

lampau dengan teks masa kini. 3.2.1 Persamaan

Puisi “Diponegoro” dan “Bunga dan Tembok” adalah karya kreatif yang lahir di zaman yang berbeda namun begitu keduanya memiliki tema yang sama yaitu mengungkap tentang perjuangan seorang rakyat kecil yang tertindas akan penguasa yang zalim. Suasana yang diciptakan kedua puisi tersebut melukiskan keadaan yang penuh dengan ketidakberdayaan sekaligus kemarahan. Kedua puisi tersebut sama-sama membandingkan situasi sosial yang lemah sehingga memunculkan perlawanan.

Pada puisi “Diponegoro”

pengarang menggunakan pilihan kata yang berapi-api dan penuh semangat. Pemilihan diksi Pahlawan Diponegoro

dimaksudkan agar pembaca

terinspirasi atas jiwa patriotisme sang

tokoh. Dalam bait terakhir

//Maju//Serbu//Serang//Terjang//, pengarang menegaskan seruannya agar pejuang Indonesia maju, menyerang, dan menerjang penjajah.

Sementara itu, puisi “Bunga dan Tembok” karya Wiji Thukul juga meneriakan perlawanan yang tidak kalah sengitnya. Aku lirik menantang sang penguasa dengan membuat ancaman-ancaman. Dengan semangat yang berapi-api aku lirik mengajak pembaca melawan kelaliman yang dilakukan oleh penguasa. Hal tersebut jelas terlukis dalam bait keempat //tapi ditubuh tembok itu/telah kami sebar biji-biji//.

Meskipun zaman telah berganti, ternyata permasalahan sosial yang terjadi pada era yang terpaut jauh itu, permasalahan yang sama tetap dijumpai. yaitu memperjuangkan hak-hak kemanusiaan dan kesejahteraan sosial. Puisi “Bunga dan Tembok”

karya Wiji Thukul ini adalah sebuah tonggak perjuangan masyarakat masa kini. Mungkin pembaca tidak mengalaminya secara langsung, namun membacanya di masa kini, akan menjadi sebuah mesin waktu yang membawa kita kepada suasana perjuangan kala itu.

3.2.2 Perbedaan

Puisi “Diponegoro” dan “Bunga

dan Tembok” adalah upaya

menyuarakan dan merekam gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Pada puisi “Diponegoro” Chairil Anwar memekikkan perjuangan menentang penjajahan yang dilakukan negara lain. Pada puisi “Bunga dan Tembok” justeru menggambarkan penindasan dan penjajahan yang dilakukan oleh pemerintahnya sendiri. Dalam puisi

tersebut pengarang mencoba

mengungkap kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya.

Pemerintah sebagai pengayom

masyarakat tidak melakukan

fungsinya. Hal tersebut menimbulkam perseteruan antara rakyat dan penyelenggara negara.

Meskipun kemerdekaan telah diraih hampir setengah abad namun ternyata penderitaan rakyat kecil sepertinya tak serta merta hilang. Dalam puisi “Bunga dan Tembok”

pengarang mengungkapkan

penderitaannya. Begitu juga dalam puisi “Diponegoro”. Pada puisi ini pengarang jelas menggambarkan penderitaan yang dialami rakyat akibat penjajahan negara lain. Kedua puisi tersebut mengusung tema yang sama namun menggunakan gaya bahasa

yang berbeda dalam

pengungkapannya.

Jika Chairil Anwar

mendayagunakan diksi pedang dan keris dalam merepresentasikan perlawanannya, maka Wiji Thukul

(8)

256

memberdayakan metafora bunga dan biji sebagai ancamannya. Perlawanan tersebut tampak nyata dalam kutipan-kutipan berikut: //Jika kami bunga/Engkau adalah tembok itu/Tapi di tubuh tembok itu/Telah kami sebar biji-biji/Suatu saat kami akan tumbuh bersama/Dengan keyakinan: engkau harus hancur!// (Bunga dan Tombak),

//Di depan sekali Tuan menanti/Tak gentar.//Lawan banyaknya seratus kali/Pedang di kanan, keris di kiri/Berselempang semangat yang tak bisa mati// (Diponegoro)”.

4. Simpulan

Puisi “Diponegoro” karya

Chairil Anwar dan puisi “Bunga dan

Tembok” karya Wiji Thukul

merupakan puisi yang berbicara tentang perjuangan. Kedua puisi tersebut, memperlihatkan semangat

dan kemarahan pengarang.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapatlah dikemukakan bahwa puisi “Bunga dan Tembok” menunjukkan kesejajaran tema dan amanat dengan puisi “Diponegoro”. Meskipun dalam penggunaan gaya bahasa yang berbeda namun keduannya memiliki intensitas dan hakikat yang sama. Wiji Thukul menggunakan diksi bunga dan biji sebagai simbol senjata. Melalui pendayagunaan diksi tersebut, pengarang mengobarkan semangat perlawanan pada penguasa yang kejam, sekaligus membuat ancaman bahwa ia tidak akan pernah mati. Begitu juga dengan Chairil Anwar dalam puisi “Diponegoro”, pengarang menggunakan diksi pedang dan keris sebagai simbol perlawanan.

Sementara itu perbedaan yang tampak dalam kedua puisi tersebut adalah tujuan perjuangan yang mereka lakukan. Pada puisi “Diponegoro”, pengarang menyerukan perlawanan

terhadap bangsa lain yang menjajah Indonesia. Sedangkan pada puisi “Bunga dan Tembok”, pengarang mengajak pembaca untuk melawan pemerintahnya sendiri hal ini tentu karena akumulasi kemarahan dan kekecewaan dari sistem pemerintahan yang tidak adil.

Daftar Acuan

Bell, Armin. 2013. Puisi-Puisi Wiji Thukul. http://kumpulanfiksi.wordpress.com. Diakses tanggal 9 Oktober 2016.

Chairil Anwar. 2011. Aku ini Binatang Jalan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rachmat Djoko Pradopo. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rachmat Djoko Pradopo. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

(9)

257 Lampiran:

DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti Tak gentar.

Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu negeri Menyediakan api.

Punah di atas menghamba Binasa di atas ditindas

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai.

Maju. Serbu. Serang. Terjang.

(Chairil Anwar – Februari 1943)

BUNGA DAN TEMBOK Seumpama bunga

Kami adalah bunga yang tak Kau hendaki tumbuh

Engkau lebih suka membangun Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga

Kami adalah bunga yang tak Kau kehendaki adanya

Engkau lebih suka membangun Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga Kami adalah bunga yang

Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga

Engkau adalah tembok itu Tapi di tubuh tembok itu Telah kami sebar biji-biji

Suatu saat kami akan tumbuh bersama Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami

Di manapun – tirani harus tumbang! (Wiji Thukul - Solo, 1987-1988)

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa mengapresiasikan tema, nada, rasa, dan amanat dari puisi “ Kepada Peminta- minta” karya Chairil

Permasalahan yang dibahas pada penelitian ini yaitu bagaimana representasi buruh di dalam puisi karya Wiji Thukul. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui representasi buruh

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna yang terkandung dalam puisi jika dilihat dengan menggunakan analisis semantik yang berfokus pada penganalisisan

Berdasarkan analisis medan makna dari kata bunga dengan kata-kata yang terdapat dalam puisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata bunga dalam puisi Sanyuhwa secara garis

Masalah yang peneliti kaji dalam buku kumpulan puisi “Tulisan pada Tembok” karya Acep Zamzam Noor dibatasi hanya pada masalah unsur batin saja yaitu tema, perasaan,

puisi “ Cintaku Jauh Di Pulau “ karya Chairil Anwar dengan pendekatan strata norma dapat diketahui bahwa Lapis suara (sound stratum) memiliki asonansi. a dan

Nilai pendidikan karakter terkandung di dalam buku Kumpulan puisi Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Terampas dan Yang Putus Karya Chairil Anwar ,Nilai

Namun, kita dapat mengambil hikmah dari kesalahan tersebut dan segera memohon ampun kepada Tuhan sedangkan amanat yang terkandung dalam puisi “Tuhanku” karya Herawati Mansur adalah