• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKAIAN PRAANGGAPAN PADA TUTURAN WISATAWAN ASING DALAM BERINTERAKSI DENGAN PENDUDUK SETEMPAT DI UBUD BALI abstrak. TESIS LUSMIATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMAKAIAN PRAANGGAPAN PADA TUTURAN WISATAWAN ASING DALAM BERINTERAKSI DENGAN PENDUDUK SETEMPAT DI UBUD BALI abstrak. TESIS LUSMIATI"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAKAIAN PRAANGGAPAN PADA TUTURAN WISATAWAN ASING DALAM BERINTERAKSI DENGAN PENDUDUK

SETEMPAT DI UBUD BALI

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik

Minat Utama: Linguistik Deskriptif

Oleh:

S111308005

LUSMIATI SIAHAAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2015

(2)

i

PEMAKAIAN PRAANGGAPAN PADA TUTURAN WISATAWAN

ASING DALAM BERINTERAKSI DENGAN PENDUDUK

SETEMPAT DI UBUD BALI

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik

Minat Utama: Linguistik Deskriptif

Oleh:

S111308005

LUSMIATI SIAHAAN

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2015

(3)

iv

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya

Nama : Lusmiati Siahaan

NIM : S111308005

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa :

1. Tesis yang berjudul PEMAKAIAN PRAANGGAPAN PADA TUTURAN

WISATAWAN ASING DALAM BERINTERAKSI DENGAN PENDUDUK

SETEMPAT DI UBUD BALI ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak

terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar

akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis dengan acuan yang disebutkan

sumbernya, baik dalam naskah karangan dan daftar pustaka. Apabila ternyata

didalam naskah tesisi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, maka saya

bersedia menerima sangsi, baik Tesis beserta gelar magister saya dibatalkan serta

diproses sesuai dengan peraturan perundang-undanganan yang berlaku.

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah harus

menyertakan tim promotor sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya.

Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya

bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, Januari 2015

Lusmiati Siahaan

(4)

v

PERSEMBAHAN

Karya ini merupakan persembahan penuh kasih kepada

kedua orang tua saya dan kepada adik-adik saya di Medan.

(5)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat

dan tuntunannya yang begitu luar biasa sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis

yang berjudul PEMAKAIAN PRAANGGAPAN PADA TUTURAN WISATAWAN

ASING DALAM BERINTERAKSI DENGAN PENDUDUK SETEMPAT DI UBUD

BALI.

Dalam menyelesaikan tesis ini penulis banyak menerima bantuan, bimbingan,

dan dukungan yang luar biasa terutama dari :

1. Dra. Diah Kristina,M.A.,Ph.D selaku pembimbing pertama. Beliau tidak hanya

menjadi seorang pembimbing tesis dalam hidup sipenulis namun beliau mampu

menjadi seorang motivator dan sekaligus ibu yang memberikan saran dan

masukan-masukan yang luar biasa. Beliau mampu dengan sabar mengajari dan

memahami ketidak mampuan sipenulis untuk mengerti maksud dan tujuan yang

benar dalam menulis tesis ini. Terimaksih Ibu Diah, Tuhan Memberkati anda.

2. Prof. Dr. Sumarlam,M.S selaku pembimbing kedua. Beliau merupakan sosok

seorang dosen yang sabar dalam mengajari seluruh mahasiswanya. Banyak hal

yang sudah beliau berikan selama proses penulisan tesis ini seperti dukungan dan

saran yang luar biasa.

3. Prof. Drs. M.R.Nababan,M.Ed., M.A.,Ph.D selaku ketua Program Studi Linguistik

Program Pascasarjana UNS. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih atas

saran-saran yang telah beliau berikan sehingga terjetuslah judul tesis ini.

Kontribusi beliau yang begitu besar memampukan penulis menyelesaikan tulisan

ini dengan baik. Terimakasih Prof. Nababan, Tuhan beserta anda.

4. Direktur Program Pascasarjana UNS beserta staf yang telah memberikan

kesempatan san kebijaksanaan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

S-2 ini.

5. Bapak-Ibu dosen Program Studi Linguistik Deskriptif Program Pascasarjana UNS

yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam penulisan

tesis ini.

6. Abang dan kakak-kakak ELSHADAY CHOIR HKBP Yogjakarta yang senantiasa

memberikan dukungan rohani disaat penulisan tesis ini berlangsung.

(6)

vii

7. Iban Rainheart Radjagukguk selaku teman terdekat penulis yang memberikan

semangat, cinta kasih yang begitu besar dari awal hingga akhir dari kuliah

pascasarjana ini. Terimaksih untuk kesetiaan dan semua rasa yang telah kamu

berikan, Iban.

8. Doris, Dian, Siska dan Daniel selaku abang dan kakak yang begitu berperan disaat

mengahadapi kesulitan dalam penulisan tesis ini yang memberikan

motivasi-motivasi dan semangat yang besar.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu.

Atas segala bimbingan, pengarahan, bantuan, dan dukungan yang telah

diberikan, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Akhirnya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

yang bermanfaat bagi pecinta linguistik khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Januari 2015

Penulis

Lusmiati Siahaan

(7)

viii

DAFTAR ISI

JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS ii

PENGESAHAN PENGUJI TESIS iii

PERNYATAAN iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR vi

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR SINGKATAN xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

ABSTRAK xiv

ABSTRACT xv

BAB I PENDAHULUAN 1

A.Latar Belakang Masalah 1

B.Rumusan Masalah 8

C.Tujuan Penelitian 8

D.Manfaat Penelitian 9

E. Sistematika Penulisan Tesis 9

BAB II LANDASAN TEORI 11

A.Definisi Praanggapan 11

B.Jenis-jenis Praanggapan 15

1. Praanggapan Eksistensial 16

2. Praanggapan Faktual 16

3. Praanggapan Leksikal 17

4. Praanggapan Struktural 17

5. Praanggapan Non Faktual 18

6. Praanggapan Pengandaian 18

7. Praanggapan Iteratif 18

8. Praanggapan Implikatif 19

9. Praanggapan Temporal 19

(8)

ix

C.Pengetahuan Bersama, Partisipan, Konteks Situasi, Peristiwa Tutur dan Pero-

lehan Praanggapan 20

1. Pengetahuan Bersama 20

2. Partisipan (Penutur dan Mitra Tutur) 20

3. Konteks Situasi 21

4. Peristiwa Tutur 22

5. Perolehan Praanggapan 23

a. Prinsip Kehematan 23

b. Pemahaman Bersama 24

c. Pemahaman Bersama Lebih Jauh 24

d. Pemahaman Bersama dan Subordinatif 24

e. Fokus dan Praanggapan 25

f. Penekanan dan Praanggapan 25

g. Pengingkaran dan Praanggapan 25

D.Kerangka Pikir 26

BAB III METODE PENELITIAN 28

A.Jenis Penelitian 28

B.Lokasi Penelitian 29

C.Data dan Sumber Data 29

D.Sampling 31

E. Teknik Pengumpulan Data 32

1. Observasi Tidak Berperan 32

2. Teknik Rekam 32

3. Wawancara Mendalam 33

4. Mencatat Data danMentraskrip Data 34

F. Validitas Data 35

G.Analisis Data 36

1. Analisis Domain 36

2. Analisis Taksonomi 38

3. Analisis Komponensial 38

4. Temuan Tema Budaya 39

H.Prosedur Pelaksanaan Penelitian 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 40

A.Hasil Penelitian 41

1. Jenis Praanggapan 42

a. Praanggapan Eksistensial 42

b. Praanggapan Faktual 55

c. Praanggapan Leksikal 61

(9)

x

e. Praanggapan Pengandaian 85

f. Praanggapan Implikatif 88

g. Praanggapan Temporal 91

2. Rekapitulasi Pemakaian Praanggapan 94

a. Rekapitulasi Pemakaian Praanggapan Peristiwa Tutur I 94

b. Rekapitulasi Pemakaian Praanggapan Peristiwa Tutur II 95

c. Rekapitulasi Pemakaian Praanggapan Peristiwa Tutur III 96

d. Rekapitulasi Pemakaian Praanggapan Seluruh Peristiwa Tutur 96

B. Pembahasan 97

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 101

A.Simpulan 101

B.Saran 102

DAFTAR PUSTAKA 104

LAMPIRAN 106

(10)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1: Analisis Domain 37

Tabel 3.2: Analisis Taksonomi 38

Tabel 3.3: Analisis Komponensial 38

Tabel 4.1: Penggunaan Praanggapan Eksistensial 55

Tabel 4.2: Penggunaan Praanggapan Faktual 61

Tabel 4.3: Penggunaan Praanggapan Leksikal 70

Tabel 4.4: Penggunaan Praanggapan Struktural 84

Tabel 4.5: Penggunaan Praanggapan Pengandaian 88

Tabel 4.6: Penggunaan Praanggapan Implikatif 91

Tabel 4.7: Penggunaan Praanggapan Temporal 94

Tabel 4.8: Rekapitulasi Pemakaian Praanggapan Peristiwa Tutur I 94

Tabel 4.9: Rekapitulasi Pemakaian Praanggapan Peristiwa Tutur II 95

Tabel 4.10: Rekapitulasi Pemakaian Praanggapan Seluruh Peristiwa Tutur 96

(11)

xii

DAFTAR SINGKATAN

1. AM :Pasar Seni (Art Market)

2. PC :Praanggapan Tak Lengkap (Cleft Presupposition)

3. PCF :Praanggapan Pengandaian (Counter Factual Presupposition/Counter

Factual Conditional)

4. PE :Praanggapan Eksistensial (Existential Presupposition/Definite

Description)

5. PF :Praanggapan Faktual (Factive Presupposition/Factive Predicates)

6. PIM :Praanggapan Implikatif (Implicative Presupposition) 7. PIT :Praanggapan Iteratif/Perulangan (Iterative Presupposition)

8. PL :Praaggapan Leksikal (Lexical Presupposition/Aspectual/Change of state

predicates)

9. PNF :Praanggapan Nonfaktual (Nonfactive Presupposition)

10. PS :Pranggapan Struktural (Structural Presupposition)

11. PT :Praanggapan Klausa Waktu (Temporal Clauses Presupposition)

12. TA :Agen Perjalanan (Travel Agent)

13. TI :Pusat Penerangan Inforamsi Wisata (Tourism Information)

(12)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data 106

Lampiran 2. Transkrip 128

(13)

xiv

ABSTRAK

LUSMIATI SIAHAAN, S111308005, 2015. Pemakaian Praanggapan Pada Tuturan

Wisatawan Asing Dalam Berinteraksi Dengan Penduduk Setempat di Ubud, Bali. Dosen Pembimbing I: Dra. Diah Kristina, M.A., Ph.D., Pembimbing II: Prof. Sumarlam, M.S. Program Studi Linguistik Deskriptif, Program Paskasarjana, Universitas Sebelas Maret.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menggambarkan makna praanggapan dengan pemahaman bersama untuk memperoleh pemahaman yang utuh dalam sebuah komunikasi ataupun peristiwa tutur. Praanggapan merupakan sebuah ide atau gagasan sederhana yang mampu menggambarkan setiap jenis tanggapan dari sebuah tindakan, teori, ekspresi ataupun ujaran atau tuturan yang memiliki makna dan mampu diterima oleh akal (masuk akal).

Metode kualitatif deskriptif dalam penelitian ini mengarahkan pada tiga langkah dalam pemerolehan data, yakni pengumpulan data, analisis data dan pemaparan data. Data diklasifikasikan kedalam jenis-jenis praanggapan dan perolehan praanggapan. Data diperoleh dari sebuah peristiwa tutur natural antara wisatawan asing dengan penduduk setempat (orang Bali). Perhatian yang difokuskan dalam peristiwa tutur ini adalah tuturan yang mengandung praanggapan.

Sumber data dalam penelitian ini merupakan transkripsi dari 15 percakapan antara wisatawan asing dan penduduk setempat (orang Bali) yang diklasifikasikan kedalam tiga peristiwa tutur; Pusat Penerangan Kepariwisataan, agen perjalanan, dan pasar seni. Rekaman dan observasi ditambah dengan catatan digunakan dalam proses pengumpulan data.

Dari analisis penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat tujuh jenis praanggapan yang ditemukan dari 15 peristiwa tutur tersebut; praanggapan eksistensial, praanggapan faktual, praanggapan leksikal, praanggapan struktural, praanggapan pengandaian, praanggapan implikatif, dan praanggapan waktu. Praanggapan struktural merupakan praanggapan yang paling dominan berperan dalam peristiwa tutur ini. Penelitian ini juga menemukan sebuah pola pemakaian praanggapan dari ketiga variabel tersebut yakni praanggapan struktural diikuti dengan praanggapan eksistensial kemudian praanggapan leksikal. Pemahaman sebuah praanggapan dalam sebuah tuturan dapat dilihat dengan menerapkan teori perolehan praanggapan (pemahaman bersama) sehingga makna komunikasi yang sebenarnya dari si penutur dapat dimengerti oleh mitratutur.

Kata Kunci: praanggapan, pemahaman bersama, peristiwa tutur.

(14)

xv

ABSTRACT

LUSMIATI SIAHAAN, S111308005, 2015. The Using Of Presupposition On The

Foreign’s Utterance In Interacting With Local Inhabitant In Ubud, Bali. THESIS, Supervisor I: Dra. Diah Kristina, M.A., Ph.D., Supervisor II: Prof. Sumarlam,M.S. Linguistic Program, Post Graduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta.

This research is aimed at finding and describing presupposition with shared assumption to reach full comprehension in communication. The term of presupposition is the ordinary language notion of presupposition to describe any responts of action, theory, expression or utterance make sense or are acceptabel (rational).

This descriptive qualitative research was conducted under three steps, namely; data collection, data analysis, and data display.The data were drawn from the natural conversation between tourists and Balinese. The attention was focused on parts of the dialogues containing presupposition. Furthermore, the data were classified into kinds of presupposition and presupposition as shared assumptions.

The source of the data is the trancription of fifteen natural conversations between tourists and Balinese which are classified into three speech events; Tourism Information, travel agent and art Market. Recordings and observation (plus taking note) were used in collecting data.

The findings of the research show that there are seven kinds of presupposition which are found from fifteen conversations; existential presupposition, factive presupposition, lexical presupposition, structural presupposition, counter factual presupposition, implicative presupposition, and temporal presupposition. Structural presupposition is the most dominant figure in the speech event. This reseacrh also found the use of pattern of presupposition from three speech events. First is structural presupposition followed by existensial presupposition and lastly is lexical presupposition. Understanding a presupposition in an utterence can be performed by applying the presupposition as shared assumptions theory, so that the real meaning of the speaker can be understood by the hearer.

Key Words: presupposition, shared assumption, speech event.

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk

berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa tersebut dapat berupa rangkaian

kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan maupun tulis dan dapat bersifat

transaksional ataupun interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat

dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa. Wacana

lisan tersebut tidak hanya terpaku pada hal yang disampaikan oleh penutur, namun juga

konteks yang mengikuti dan bagaimana pengaruhnya. Terkadang makna wacana

menjadi sulit diterka karena pemahaman makna tersebut tidak hanya berasal dari tuturan

saja tetapi juga konteks yang meliputinya. Tindak tutur tersebut merupakan suatu kajian

pragmatik yang dapat diteliti makna dan praanggapannya.

Praanggapan merupakan bagian dari pragmatik, yang mengaitkan dua proposisi

untuk dapat dipahami maknanya. Praanggapan diperoleh dari pernyataan yang

disampaikan tanpa perlu ditentukan apakah praanggapan tersebut benar atau salah.

Pemahaman mengenai praanggapan ini melibatkan dua partisipan utama, yaitu dua

penutur atau yang menyampaikan suatu pernyataan atau tuturan dan lawan tutur dan

biasanya diasosiasikan dengan pemilihan kata atau diksi, frasa, dan struktur (Yule, 1996

: 26). Gagasan Yule tersebut memperlihatkan adanya indikasi terjadinya praanggapan

yang aktual ketika hal tersebut berkaitan dengan konteks dalam komunikasi.

Praanggapan dapat dikaji melalui tiga kajian ilmu, yaitu Semantik, Analisis Wacana,

dan Pragmatik. Semantik merupakan kajian yang memaknai suatu tuturan tanpa melihat

adanya konteks. Dalam kajian wacana, makna gagasan dalam sebuah tuturan dilihat dari

kohesi dan koherensinya. Pragmatik melihat tuturan secara lengkap beserta konteks

situasinya.

Praanggapan juga didefinisikan sebagai suatu hal yang dipercaya sebagai latar

belakang, kaitannya dengan tuturan yang dimiliki dan diketahui oleh penutur dan mitra

(16)

tutur sebagai tuturan yang sesuai dengan konteks (Levinson, 1993: 179). Oleh karena

itu penelitian ini akan menggunakan pendekatan pragmatik.

Penelitian mengenai praanggapan dapat menjadi sangat luas bergantung pada

data apa saja yang memungkinkan adanya praanggapan. Selama data tersebut

memenuhi komponen-komponen yang melibatkan tuturan dari partisipan, konteks

situasi, dan detail-detail yang membantu proses komunikasi, makna yang terkandung

dalam data tersebut memungkinkan untuk diteliti praanggapannya. Data-data yang

memuat konteks situasi tutur dalam berkomunikasi dalam ragam sosial masyarakat, baik

budaya atau adat yang berlaku dapat ditemukan dalam bentuk lisan maupun tulisan.

Setiap situasi sosial membutuhkan cara penyampaian tuturan dan bagaimana

tuturan tersebut dimaknai. Karakter dalam setiap ragam sosial membentuk pemahaman

dan anggapan yang ada dalam memaknai suatu gagasan (Grundy, 2000 : 197). Dalam

data lisan terkandung tuturan, latar, partisipan, dan pengetahuan bersama yang dapat

membantu peneliti dalam memahami makna di balik tuturan tersebut. Dalam data lisan

dan tulisan atau wacana yang memiliki banyak gagasan terdapat banyak ide yang

disampaikan melalui tuturan. Dalam wacana dipastikan terdapat pesan yang ingin

disampaikan pada target wacana tersebut. Melihat banyaknya bentuk wacana yang ada,

penelitian ini akan lebih fokus pada wacana berbentuk lisan.

Pragmatik dapat didefinisikan sebagai studi mengenai makna dalam hubunganya

dengan situasi ujar (Leech, 1993:8). Pemahaman dan pengkajian pragmatik di sini

cenderung lebih umum karena akan berpengaruh pada situasi budaya atau konteks

sosial. Kajian linguistik yang membahas makna lewat asumsi adalah praangapan yang

merupakan bagian dari pragmatik. Dalam konteks ini pembicara yang memiliki

praanggapan, bukan pernyataannya. Sebaliknya, pernyataannyalah yang memiliki

keterikutan bukan pembicaranya (Yule, 1996:25). Dalam penelitian ini pembahasan

hanya terbatas sampai praanggapannya saja tanpa masuk pada pembahasan keterikutan

lebih dalam. Penelitian mengenai praanggapan ini sudah pernah dilakukan oleh

beberapa ahli atau pakar bahasa. Tulisan-tulisan tersebut dimuat dalam berbagai bentuk

baik dalam buku, tesis, disertasi ataupun jurnal terkait seperti yang telah dituliskan oleh

Berliana Raharjo tahun 2012 dengan judul “Bahasa pada Dialog Iklan Produk–Produk

PT. Unilever Tbk di televisi Swasta Indonesia (Kajian Pragmatik)”. Penelitian ini

(17)

meneliti mengenai fungsi-fungsi bahasa pada dialog iklan produk-produk PT. Unilever

Tbk di televisi swasta Indonesia. Berliana memaparkan penerapan prinsip kerjasama

yang terjadi pada dialog iklan produk-produk PT. Unilever Tbk. Selain itu, dalam

penelitian ini menjabarkan wujud dari pengungkapan implikatur percakapan tersebut

dan alasan dari bahasa tersebut dapat mempengaruhi para konsumen melalui tayangan

iklannya di stasiun televisi. Dalam karya tulisan ini, Berliana telah mampu memaparkan

prinsip-prinsip kerja sama apa saja yang dapat terbangun dari proses tersebut.

Penelitian pragmatik juga dilakukan oleh Sri Haryanti pada tahun 2001 dengan

judul “Implikatur Percakapan Dalam Prosa Fiksi Bahasa Inggris (Suatu Kajian

Pragmatik)”. Pada tulisan ini disampaikan bahwa penelitian ini difokuskan pada bentuk

dan jenis tindak tutur bermuatan implikatur yang dapat direalisasikan dalam percakapan

prosa fiksi Bahasa Inggris tersebut. Peneliti membahas mengenai penerapan

maksim-maksim dalam prinsip kerja sama dan kesopanan dalam tindak tutur bermuatan

implikatur yang terkandung dalam prosa tersebut.

Penelitian lainnya mengenai praanggapan dalam konteks pragmatik yang

dilakukan oleh Dona Rivai tahun 2000 yang berjudul “Peranan Alat-Alat Kohesi dan

Praanggapan dalam Mengikat Tema Lagu Cinta Berbahasa Jerman”. Penelitian tersebut

mengkaji kohesi dan koherensi lagu yang bertemakan cinta dalam bahasa Jerman dari

artis Gaby Albrecht. Selain itu, penelitian ini menggunakan praanggapan untuk

membantu pemaknaan teks tersebut secara mendalam.

Penelitian praanggapan yang berkaitan dengan humor dilakukan pada tahun

2009 oleh Gaya Tri Nadya yang berjudul “Praanggapan Dalam Adegan Film Janji

Joni”. Penulis telah melakukan penelitian dengan kajian utama praanggapan dengan

pendekatan pragmatik. Penelitian ini dilakukan menggunakan data dari tuturan dalam

adegan film Janji Joni. Tuturan tersebut diteliti dengan melihat konteks situasi,

partisipaan tutur, dan pengetahuan bersama yang melatarbelakangi.

Benny P. H. Lee dari Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Singapura pada

tanggal 21 Oktober 1998 melakukan penelitian berjudul Mutual knowledge, background

knowledge and shared beliefs: Their roles in establishing common ground sebagai judul

(18)

peran dari pengetahuan bersama, pengetahuan mendasar dan keyakinan dalam

membangun atau membentuk dasar-dasar umum (common ground) pada sebuah

peristiwa tutur. Untuk memperoleh informasi ataupun data yang akurat maka digunakan

beberapa komponen terkait seperti shared knowledge, mutual knowledge, common

knowledge, back ground knowledge, common ground, mutual belief, shared belief,

mutual supposition, dan presupposition di mana kompenen-komponen ini digunakan

untuk memperlihatkan lancar atau tidaknya sebuah peristiwa tutur.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Hang-Jung Schmid dari Fakultas Bahasa

dan Sastra Universitas Bayreuth, Jerman pada tahun 2000 dengan judul Presupposition

can be a bluff: How abstract nouns can be used as presupposition triggers. Penelitian

ini bertujuan untuk memperoleh informasi khusus mengenai pengenalan kesatuan

wacana tidak khusus dengan kata benda abstrak di dalam sebuah klausa dan pengaruh

yang digambarkan oleh peran informasi dari konstruksi N-be-that dan fungsinya. Hal ini

dilakukan untuk memperoleh jenis praanggapan terbaru dari sebuah fakta-fakta yang

terkandung dalam sebuah peristiwa tutur.

Pada ulasan sebuah buku membahas mengenai Culuture, communication and

coorperation: Interpersonal relations and pronominal address in a Mexican

organization. Buku ini membahas mengenai hubungan antara budaya, komunikasi dan

kerjasama. Ulasan ini bertujuan mengetahui penggunaan pronominal dalam hubungan

antara perseorangan dan kelompok dalam sebuah organisasi di sebuah perusahan

Meksiko.

Selanjutnya, penelitian serupa dilakukan oleh Hye-Kyung Lee dari Fakultas

bahasa Inggris di Universitas Ajaou,Won Chandong, Korea Selatan pada tahun 2003

dengan judul Presupposition and Implicature Under Negation. Dalam tulisan ini,

Peneliti mengusulkan sebuah klasifikasi penyangkalan baru. Terdapat sebuah perbedaan

antara penyangkalan deskriptif (descriptive negation) dengan penyangkalan

metalingguistik (metalinguistic negation). Peneliti menyatakan bahwa ini merupakan

hal pembatalan praanggapan dan pembatalan implikatur yang biasanya diklasifikasikan

sebagai peniadaan metalinguistik.

(19)

Lalu penelitian lain yang terkait disusun oleh N. J. Enfield dari salah satu

institut bahasa dan psikolinguistik pada tahun 2007 dengan judul Relationship thingking

and human pragmatics. Penelitian ini difokuskan pada satu elemen dari interaksi sosial,

yang merupakan salah satu dari kesatuan hubungan dasar dari sebuah pendekatan

komperatif (relatif). Hal ini berpusat pada sebuah peristiwa tutur di sebuah pedesaan di

Laos.

Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan tersebut membantu peneliti

mendapat suatu celah untuk melakukan penelitian mengenai praanggapan dengan data

yang juga merupakan wacana namun dalam bentuk yang berbeda. Praanggapan tersebut

diperoleh dari percakapan wisatawan asing dan penduduk setempat. Praanggapan

tersebut kemudian dikelompokan sesuai dengan jenis-jenis praanggapan yang ada, lalu

dianalisis dengan memperhatikan konteks, situasi tutur dan lain sebagainya.

Praanggapan yang terdapat dalam tuturan wisatawan asing dan penduduk setempat

inilah yang merupakan kajian utama dalam penelitian ini. Seperti yang telah disinggung

sebelumnya, istilah praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre- suppose, yang

dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya). Dari

makna ini berarti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah

memiliki dugaan sebelumnya tentang suatu hal yang dibicarakan.

Selain definisi tersebut terdapat juga beberapa definisi–definisi lainnya dari para

ahli yang dapat memaparkan dengan jelas arti dari praanggapan yang sebenarnya.

Levinson (1983 : 168) menyatakan bahwa “the ordinary language notion of

presupposition to describe any kind of background assumption against which an action,

theory, expression or utterance makes sense or is rational”. Dalam pernyataan tersebut

jelas dikatakan bahwa praanggapan adalah sebuah ide atau gagasan biasa yang mampu

menggambarkan setiap jenis tanggapan dari sebuah tindakan, teori, ekspresi ataupun

ujaran atau tuturan yang memiliki makna dan mampu diterima oleh akal (masuk akal).

Selain itu Yule (1996 : 25) mengatakan bahwa “a presupposition is something

the speaker assumes to be the case prior to making utterance. Speakers, not sentences,

have presupposition”. Dalam hal ini Yule menyatakan bahwa praanggapan atau

presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum

(20)

kalimat. Pendapat selanjutnya dipaparkan oleh Cummings (1999 : 42) yang menyatakan

bahwa asumsi-asumi atau inferensi- inferensi yang tersirat dalam ungkapan – ungkapan

linguistik tertentu.

Pengertian praanggapan diperjelas kembali oleh Yan Huang dalam bukunya

Pragmatics (2007:65) sebagai berikut:

Presupposition can be informally defined as an inference or proposition whose truth is taken for granted in the utterance of a sentence. Its main function is to act as a precondition of some sort for the appropriate use of that sentence.

Yan Huang dalam pernyataan di atas mendeskripsikan bahwa praanggapan merupakan

sebuah kesimpulan atau gagasan di mana kebenaran didapatkan serta merta didalam

sebuah kalimat ujaran yang berfungsi sebagai prasyarat bagi sebagian kelayakan

pengunanan kalimat tersebut. Dari beberapa defenisi praanggapan di atas dapat

disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum

melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur;

sebagai contoh dasar yang sederhana dari pernyataan di atas adalah

(1) A. Mary’s dog is cute. ( = p )

B. Mary has a dog ( = q )

C. p >> q

( Yule, 1996 : 26 )

Dalam contoh sederhana di atas dapat dipahami dengan mudah bahwa terdapat sebuah

usulan yang jelas bahwa Marry’s dog is cute sebagai gagasan, usulan bahkan tuturan

yang ditranskripsikan dengan lambang (= p) dan kemudian melahirkan sebuah

praanggapan yang sederhana terhadap pernyataan di atas yaitu Mary has a dog yang

dilambangkan dengan (= q) . Sementara itu symbol (>>) ini melambangkan maksud

dari suatu pemisalan atau pengisyaratan dari sebuah hasil praanggapan.

(2) A. The king of France is bald. (= p)

B. There is a king of France. (= q)

C. p >> q

(Yan Huang, 2007 : 65 )

Contoh kedua di atas memiliki konsep penjelasan yang tidak jauh berbeda dengan

(21)

bald dan itu merupakan sebuah gagasan (= p) sedangkan There is a king of France

merupakan praanggapannya (= q). Dari beberapa penjelasan dan contoh praanggapan

yang sederhana tersebut dapat diketahui jika peran praanggapan dalam suatu

komunikasi sangat penting, sebab praanggapan dapat menentukan suatu komunikasi

berjalan lancar atau tidak. Inti dari permasalahannya adalah mencari keselarasan antara

praanggapan yang dimiliki penutur dan mitra tutur selama proses komunikasi tersebut.

Sejalan dengan pernyataan tersebut Peter Grundy pada bukunya “Doing Pragmatics

(2000: 119) menyatakan bahwa

... is about the existing knowledge common to speaker and hearer that the speaker does not therefore need to assert. This presupposed knowledge is then taken together with the propositions asserted in the utterence and the addresse’s knowledge of the world as the basis on which an inference is drawn as to implied meaning, or implicature, that the utterence conveys.

Grundy menjelaskan bahwa praanggapan merupakan adanya pengetahuan bersama

antara si penutur dan mitra tutur. Pada dasarnya si penutur tidak perlu atau tidak harus

menegaskan tuturanya. Pengetahuan atau ilmu untuk menduga atau mereka-reka

dibarengi oleh gagasan atau ide untuk menegaskan suatu tuturan dan tujuan

pengetahuan umum sebagai dasar dari sebuah inferensi yang digambarkan sebagai

makna tidak langsung atau tersembunyi yang disampaikan oleh tuturan tersebut.

(3) I enjoyed working with Anne when she was setting assignments.

Dari contoh tersebut diketahui bahwa praanggapan dari kalimat tersebut adalah I

supposed that there is a such a person as Anne and that she set assignments, assert that

it was at that time that I enjoyed working with her.

Penjelasan ini membantu peneliti melakukan penelitian dengan kajian utamanya

ialah praanggapan dengan pendekatan pragmatik. Penelitian yang dilakukan oleh

peniliti ini menggunakan data berupa tuturan wisatawan asing yang berkunjung ke

Ubud dan penduduk setempat. Tuturan tersebut terjadi di tiga lokasi yakni, Pusat

Penerangan Informasi Wisata (Tourism Information), Agen Perjalanan (Travel Agent),

Pasar Seni (Art Market), Bali. Alasan peneliti memilih ataupun memutuskan untuk

mengkaji data ini karena didasari oleh adanya keunikan yang khas yang terdapat pada

(22)

oleh penutur dan mitra tutur yang memiliki dua dasar bahasa berbeda. Adapun tujuan

utama dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui praanggapan yang dapat pahami

selama proses percakapan berlangsung.

Peneliti mengkaji data dengan melihat konteks situasi, partisipan tutur, dan

pengetahuan bersama yang melatarinya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi

praanggapan yang muncul dari tuturan-tuturan tersebut. Lalu praanggapan tersebut

dikelompokan berdasarkan jenis-jenis praanggapan sesuai dengan kerangka teori yang

ada. Penelitian ini berjudul Pemakaian Praanggapan Pada Tuturan Wisatawan Asing

Dalam Berinteraksi Dengan Penduduk Setempat di Ubud, Bali. Hasil dari penelitian ini

diharapkan bisa menambah dan memperluas kajian pragmatik, khususnya dalam

praanggapan itu sendiri.

B.Rumusan Masalah

Berdasarakan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di atas, rumusan

masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Jenis dan makna praanggapan apa sajakah yang dapat direalisasikan pada

setiap tuturan wisatawan asing dalam proses interaksinya dengan penduduk

setempat?

2. Jenis praanggapan manakah yang paling dominan berperan dalam tuturan

wisatawan asing tersebut yang dipahami oleh penduduk setempat dan

mengapa?

3. Pola seperti apakah yang dapat digambarkan dari setiap peristiwa tutur

maupun keseluruhan peristiwa tutur dalam hal penggunaan praanggapan

tersebut dan mengapa?

C.Tujuan Penelitian

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi jenis dan makna praanggapan yang dapat direalisasikan

pada setiap tuturan wisatawan asing dalam proses interaksi dengan penduduk

setempat.

2. Menemukan jenis praanggapan yang paling dominan berperan dalam

(23)

3. Menemukan pola dari setiap peristiwa tutur maupun keseluruhan dalam hal

penggunaan praanggapan tersebut.

D.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat bagi setiap lapisan-lapisan

masyarakat dan memberi sumbangan seperti kepada:

a. Peneliti

Penelitian ini dapat memberi petunjuk dalam menganalisis dan menafsirkan

tuturan-tuturan yang bermuatan praanggapan.

b. Lingkup linguistik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan arahan dalam menetukan dan

menafsirkan praanggapan–praanggapan yang terkandung dalam setiap

tuturan–tuturan yang diproduksi oleh setiap orang khususnya wisatawan

asing.

c. Pembaca

Hasil atau temuan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi penutur

dan mitra tutur untuk dapat memahami ujaran-ujaran yang akan dan telah di

produksikan.

d. Masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberi bantuan bagi masyarakat untuk

lebih memahami dan memiliki banyak asumsi-asumsi atau anggapan pada

setiap tuturan yang di produksi oleh lawan bicara khsusnya pada saat

berkomunikasi dengan warga asing ataupun dengan orang yang berbeda

suku dan kewarganegaran demi kelancaraan komunikasi tersebut.

E.Sistematika Penulisan Tesis

Sistematika penulisan diperlukan untuk mempermudah penguraian masalah pada

penelitian, agar cara kerja penelitian menjadi lebih terarah, terperinci, dan jelas.

Penulisan yang sistematis membantu pembaca dalam memahami hasil penelitian.

Sistematika tesis dalam penelitian ini tersusun dalam lima bab. Kelima bab tersebut

(24)

Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Bab II mengenai landasan teori yang berisikan

mengenai defenisi praanggapan, jenis-jenis praanggapan, pengetahuan bersama, konteks

situasi, partisipan, dan peristiwa tutur, perolehan praanggapan, dan kerangka pikir. Pada

Bab III yang terdiri dari jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data,

sampling, teknik pengumpulan data, validitas data, analisis data dan prosedur

pelaksanaan penelitian. Bab IV yang berisikan mengenai pembahasan dari data yang

telah diperoleh kemudian dikelola sesuai dengan teori yang akan digunakan. Adapun

Bab V yang merupakan bagian dari kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian,

kemudian dibarengi oleh saran-saran yang terkait.

(25)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Definisi Praanggapan (Presupposition)

Sebenarnya, praanggapan (presupposition) ini berasal dari perdebatan dalam ilmu

filsafat, khususnya tentang hakikat rujukan (benda, keadaan, dan sebagainya) yang

dirujuk oleh kata, frasa, atau kalimat dan ungkapan–ungkapan rujukan (Nababan, 1989:

48). Sebagaimana juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa praanggapan terbentuk dari

anggapan pembicara, lokasi, dan lain-lain.Praanggapan (presuposisi) telah diasosiasikan

dengan pemakaian bentuk kata, frasa, dan struktur (Yule, 2006: 46).

Ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat keajegan dibawah penyangkalan

(Yule: 2006: 26). Hal ini memiliki maksud bahwa praanggapan (preposisi) suatu

pernyataan akan tetap ajeg (benar) walaupun kalimat itu dijadikan kalimat negatif atau

dinegasikan.

(3). a. Rainheart’s sister is beautiful. (= p)

b. Rainheart has a sister . (= q)

c. p >> q

Dari contoh nomor 3 di atas menyatakan bahwa saudara perempuan si Rainheart cantik

dan diasumsikan pada kalimat positif tersebut memberikan informasi bahwa si

Rainheart pasti memiliki seorang saudara perempuan. Contoh ini merupakan kalimat

positif yang memiliki praanggapan yang jelas dan kesimpulannya dapat ditarik dengan

tepat.

(4). a. Rainheart’s sister is not beautiful. (= NOT p)

b. Rainheart has a sister. ( = q)

c. NOT p >> q

Disaat kita mengeluarkan suatu tuturan berbentuk negative atau kalimat negative yang

dilambangkan dengan (= NOT p) seperti pada contoh (4a), dapat dikatakan bahwa

hubungan antara kalimat tersebut dengan makna praanggapannya (= q) tidak berubah

sama sekali atau tidak mengalami perubahan. Kekaburan suatu pengertian pernyataan

tercermin pada contoh (4a) di atas dikarenakan kebenaran dari sebuah praanggapan

tidak tergantung darisebuah kalimat, tetapi dari pernyataan saja yang dapat disalahkan

ataupun dibenarkan.

(26)

Oleh sebab itu, dimungkinkan sebuah kalimat tersebut benar tetapi tidak

mempunyai kebenaran nilai. Praanggapan tersebut sebenarnya diketahui atau

diidentifikasi melalui ujian kebahasaan khususnya dengan ketetapan dalam peniadaan

(constancy under negation) tetap kebenarannya walau kalimat ditiadakan. Contoh dalam

bahasa Indonesia seperti di bawah ini.

(5) a. Kuliah Analisis Wacana diberikan di semester II.

Praanggapannya adalah :

a. Ada kuliah Analisis Wacana b. Ada semester II

Andaikata kalimat ini dinegatifkanakan berbunyi: Kuliah Analisis Wacana tidak

diberikan di semester II. Praanggapan yang dimiliki oleh kalimat di atas akan tetap

sama, yaitu:

a. Ada kuliahAnalisis Wacan b. Ada semester II

Strawon mengatakan sebagai berikut:

Suatu pernyataan A berpraangggapan B hanya:

a. Jika A benar, B benar b. Jika A tidak benar, B benar.

Teori praanggapan pragmatik biasanya menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran

(appropriateness atau felicity) dan penegetahuan bersama (mutual knowledge atau

common ground ataujoinassumption) seprti pada defenisi dibawah ini:

Suatu ungkapan A berpraanggapan suatu pernyataan B hanya jika: A adalah wajar dan

hanya kalau B sama-sama diketahui oleh pemeran serta.

An utterance A pragmatically presupposes proposition B if A is appropriate only if B is mutually known by participant (Lawrensen 1983: 205)

Telah banyak teori pragmatik yang selama ini telah ditelaah dan diterapkan untuk

mengkaji praanggapan dalam pendekatan pragmatik. McCawley (1975) misalnya, telah

(27)

dimiliki bahwa praanggapan–praanggapan tertentu dapat ditolak tanpa sebuah

kontradiksi. Menurut Mccawley, praanggapan tersebut dapat dijelaskan dengan

mencoraki kondisi peristiwa tutur pada kinerja kecocokan suatu tindakan ilokusi dan

kondisi ketulusan yang tidak menyebabkan kontradiksi. Sebagai contoh di bawah ini,

tak ada kontradiksi yang disebabkan oleh penolakan terhadap pranggapan x melakukan

y dari kata critiicise dalam ujaran berikut:

Sally critised Bill for leaving the children, although he did not leave them.

(Sally mengecam Bill karena meninggalkan anak-anak, meskipun dia tidak meninggalkan mereka)

(Cummings, 1999: 49)

Ujaran diatas lebih tepat merupakan kritik yang tidak tulus atau kritik yang salah

bukannya sebagai kontradiksi. Disamping itu, Grice (1981) telah menggunakan

maksim-maksim percakapan tertentu untuk menjelaskan bagaimana seorang penutur

menegaskan kalimat pertama dibawah ini sebenarnya tidak bermaksud setia terhadap

kebenaran kalimat yang kedua dibawah.

(6) The king of France is bald. (Raja Perancis itu botak)

Praanggapan : There is a King of France. (Ada seorang raja Perancis)

(Cummings, 1999: 50)

Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau

penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa)

yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi

pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya. Kemudian praanggapan membantu

pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk

mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Sejalan dengan hal tersebut,

Levinson (dalam Nababan, 1987: 48) juga memberikan konsep praanggapan yang

disejajarkan makna dengan praanggapannya sebagai suatu macam anggapan atau

(28)

pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan

mempunyai makna.

Selanjutnya, pendapat lain dikemukakan oleh Louise Cummings (1999: 42)

bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam

ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Menambahkan pendapat Levinson yang dikutip

oleh Louise Cummings (1999: 52), pengertian praanggapan secara teknis dibatasi pada

inferensi-inferensi pragmatik tertentu atau asumsi-asumsi yang tampaknya

sekurang-kurangnya dibangun dalam ungkapan-ungkapan linguistik dan yang dapat dipisahkan

dengan menggunakan tes-tes linguistik khusus (khususnya, secara tradisional dan

keteguhan di bawah penegasian). Kridalaksana (dalam Sarwidji, dkk. 1996: 40)

memberi batasan praanggapan sebagai syarat yang diperlukan bagi benar tidaknya suatu

kalimat.

Dari beberapa pendapat ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa

presupposition yang dalam bahasa Indonesia berarti praanggapan dimaknai secara

berbeda dari tiap-tiap ahli bahasa. Namun demikian, dapat dilihat bahwa para ahli

menampilkan beberapa kesamaan sudut pandang. Dari sekian pendapat yang ada,

penulis cenderung pada pendapat yang dikemukakan oleh Louise Cummings karena

lebih sederhana dan mudah dipahami, namun sudah menyeluruh. Dengan bahasa

sendiri, penulis dapat menyimpulkan bahwa praanggapan merupakan anggapan awal

yang secara tersirat dimiliki oleh sebuah ungkapan kebahasaan sebagai bentuk respon

awal pendengar dalam menghadapi ungkapan kebahasaan tersebut.

Setelah mengetahui pengertian praanggapan menurut beberapa ahli seperti yang

telah dikemukakan di atas, penulis berusaha memaparkan jenis-jenis praanggapan

menurut beberapa ahli bahasa. Menurut Nababan (1987: 60), mula-mula pengkajian

praanggapan dikerjakan oleh ahli-ahli falsafah dengan pendekatan semantik.

Belakangan ini, linguis dan ahli antropologi/sosiologi dan psikologi mengkaji

praanggapan ini dengan pendekatan pragmatik.

Pendapat senada diungkapkan oleh Louise Cummings (1999: 42) bahwa

memang ciri-ciri praanggapan itu sendirilah yang telah menyebabkan pokok

permasalahan ini diteliti baik dilihat dari perspektif semantik maupun perspektif

(29)

pragmatik. Selanjutnya, Marmaridou dalam Louise Cummings (1999: 52) mengatakan

bahwa perlakuan pragmatik didasarkan pada ketidakcukupan semantik yang bergantung

pada kebenaran untuk menerangkan banyak fenomena praanggapan. Adapun Sarwidji,

dkk. (1996: 51a) mengungkapkan hal yang sama. Praanggapan dibagi menjadi dua

jenis, yaitu praanggapan semantik dan praanggapan pragmatik. Praanggapan semantik

adalah praanggapan yang dihasilkan oleh pengetahuan leksikon, sedangkan

praanggapan pragmatik adalah praanggapan yang ditentukan oleh konteks kalimat atau

percakapan.

Dari beberapa pendapat di atas, tampak jelas bahwa tidak terdapat perbedaan

yang signifikan terhadap pendapat para ahli bahasa tersebut tentang jenis-jenis

praanggapan, hanya mungkin terdapat perbedaan istilah saja. Penulis dapat mengambil

simpulan bahwa jenis praanggapan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu praanggapan

yang ditinjau dari segi semantik dan praanggapan yang ditinjau dari segi pragmatik.

Perbedaan ini disebabkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Marmaridou (dalam

Louise Cummings, 1999: 52) di atas. Pada awalnya, praanggapan dikaji berdasarkan

ilmu semantik, jadi hanya berkutat pada makna leksikal dan gramatikal saja. Namun,

praanggapan semantik kurang dapat menjelaskan pada aspek tertentu sehingga muncul

pendapat baru ahli bahasa yaitu praanggapan pragmatik yang telah mengaitkan aspek

konteks bahasa di dalam ujaran atau kalimat tersebut. Sehingga pada penelitian ini akan

menggunakan kedua jenis praagapan pragmatik dan semantik dalam satu pembahsan

yang sama.

B.Jenis – Jenis Praanggapan

Membahas mengenai jenis-jenis praanggapan dalam kajian ini teori yang akan

digunakan adalah Levinson (1983). Levinson menyatakan adanya beberapa jenis-jenis

praanggapan yang masing-masing memiliki penanda dalam tuturan. Praanggapan

tersebut merupakan sesuatu yang diasumsikan oleh penutur dalam sebuah pernyataan

tuturan dan setelahnya akan ada keterikutan (entailment) yang memiliki makna dan

diasumsikan dalam sebuah tuturan. Praanggpan juga diperlukan layaknya dua proposisi

atau usulan dalam sebuah tuturan.

Levinson (1983)memaparkansepuluh jenis praanggapan, yaitu praanggapan

(30)

praanggapan leksikal (lexical presuppostion), praanggapan struktural (structural

presupposition), praanggapan tidak faktual (nonfactive presupposition) dan

praanggapan pengandaian (counter factual presuppostion), praanggapan iteratif

(iterative presupposition), praanggapan implikatif (implicative presupposition), dan

praanggapan waktu/temporal (temporal presupposition). Teori praanggapan Levinson di

atas akan dibantu oleh proses pemerolehan praanggapan, situasi dan konteksnya pula

demi memperoleh makna praanggapan yang sebenarnya.

1. Praanggapan Eksistensial (Existential Presupposition/Definite Description) Praanggapan yang tidak hanya diasumsikan keberadaannya dalam

kalimat-kalimat yang menunjukan kepemilikan, tetapi dapat lebih diperluas lagi dengan

kebenaran dari sebuah pernyataan dalam tuturan tersebut. Praanggapan eksistensial

menunjukan bagaimana keberadaan atas suatu hal yang dapat disampaikan lewat

praanggapan.

(7) The President of Indonesia is Susilo Bambang Yudoyono (Presiden Indonesia adalah Susilo Bambang Yodoyono)

Praanggapan : There is a president in Indonseia. (Ada seorang presiden di Indonesia) Susilo bambang yudoyono exists.

2. Praanggapan Faktual (Factive Presupposition/Factive Predicates)

Praangapan ini muncul dari informasi yang ingin disampaikan atau dinyatakan

dengan kata-kata yang menunjukan suatu fakta atau berita yang diyakini kebenarannya.

Dalam praggapan ini terdapat beberapa kata yang ditujukan untuk mengidentifikasi

bahwa tuturan tersebut adalah praanggapan faktual, seperti “realize, regret, be aware,

glad, know, be sorry that, be proud that, be indifferent that, be glad that, be sad that”.

(8) She didn’t realize he was ill. (He was ill) We regret telling him. (We told him)

(9) John knows/doesn’t know that Baird invented television ›› Baird invented television.

(31)

Pernyataan di atas menjadi faktual karena dalam tuturan tersebut terdapat satuan

lingual “realize, know dan regret” yang merupakan penanda yang mengisyaratkan

sebuah fakta dari sebuah tuturan. Jika dalam sebuah tuturan tidak terdapat kata–kata

tersebut, kefaktualan suatu tuturan yang muncul dalam praanggapan bisa dilihat dari

partisipan tutur, konteks situasi dan juga pengetahuan bersama.

3. Praaggapan Leksikal (Lexical PresuppostionAspectual/Change of state predicates)

Praangapan ini merupakan praanggapan yang didapat melalui tuturan yang

diinterpretasikan melalui penegasan dalam tuturan. Hal ini berbeda dengan factive

presupposition, tuturan yang merupakan lexical presupposition dinyatakan dengan cara

tersirat sehingga penegasan atas praanggapan dalam tuturan diperoleh setelah

pernyataan dari tuturan tersebut. Terdapat beberapa satuan lingual yang digunakan

sebagai penanda dalam praanggapan leksikal ini seperti “start,finish,carry on,cease,

take, leave,enter,come,go,arrive,stop,begin”.

(11) He stopped smoking. (He used to smoke)

They started complaining (They weren’t complaining before)

4. Pranggapan Struktural(Structural Presupposition)

Praanggapan ini adalah praanggapan yang dinyatakan melalui tuturan dalam

struktur kalimat yang jelas dan langsung dipahami tanpa melihat kata-kata yang

digunakan. Dalam bahasa inggris, penggunaan praanggapan struktural ini terlihat dalam

bentuk kalimat tanya “wh-question,alternative questiondanYes/No question”.

(12) The wh-question

When did he die? (He died)

Where did you buy the flowers?(She bought the flowers)

(13) Alternaite Question

Would you prefer coffe or tea?

Would you like chocolate, vanilla, or strawberry ice cream?

(14) Yes/No Question

Is there a professor of linguistics at MIT? Do you accept credit cards?

(32)

5. Praanggapan Nonfaktual (Nonfactive Presupposition)

Praanggapan ini adalah praanggapan yang masih memungkinkan adanya

pemahaman yang salah karena penggunaan kata-kata yang tidak pasti dan masih

ambigu. Hal ini digunakan untuk mengasumsikan suatu hal yang tidak benar atau nyata.

Terdapat beberapa satuan lingual penanda dalam praanggapan ini, sepertidream,

imagine, pretend.

(15) I dreamed

We

that I was rich (I was not rich )

imagined we were in Hawai (We were not in Hawai)

6. Praanggapan Pengandaian (Counter Factual Presupposition/Conter Factual Conditional)

Praanggapan ini menghasilkan pemahaman yang berkebalikan dari pernyataan

atau kontradiktif. Kondisi yang menghasilkan praanggapan seperti ini biasanya dalam

tuturan mengandung “ if-clause” dan hasil yang didapat menjadi kontradiktif dari

pernyataan sebelumnya.

(16) If you were my friend, you would have helped me. (You are not my

friend)

(17) If Hannibal had only had twelve more elephants, the Romance languages would/would not this day exists.

›› Hannibal didn’t have twelve more elephants. (Levinson,1983:184)

7. Praanggapan Iteratif/Perulangan (Iterative Presupposition)

Jenis praanggapan ini diuraikan oleh Levinson (1983) dan juga Yan Huang

(2007) yang menyatakan adanya jenis praanggapan iteratif atau dapat juga dikatakan

jenis praanggapan perulangan. Dengan adanya praanggapan ini dapat diketahui sebuah

perulangan dari kata kerja ataupun sebuah tindakan yang dilakukan seseorang. Iterative

is the acts of repeating a process with the aim of approaching a desired, goal, target or

result. Pernyataan ini memberi penjelasan bahwa iteratif tersebut merupakan suatu

tindakan perulangan dari sebuah proses yang memiliki tujuan untuk mencapai hasil

ataupun target. Namun pada dasarnya iteratif ini hanya berpusat pada suatu aksi ataupun

tindakan yang berulang seperti restore, return, again dan repeat.

(18) Carter returned/didn’t return ›› Carter held power before.

to power.

(33)

››The boy cried before.

8. Praanggapan Implikatif (Implicative Presupposition)

Jenis praanggapan ini memiliki ketentuan berdasarkan kata kerja implikatif.

Pada setiap kata kerja tersebut mengandung makna praanggapan yang dapat dipaparkan

dengan cara yang berbeda. Terdapat beberapa satuan lingual penanda praanggapan

implikatif seperti manage, remember, bother, get, dare, care, venture, condescend,

happen, see, fit, be careful, have the misfortune/sense, take the time/opportunity/

trouble, take it upon one self.

(20) John managed/didn’t manage ›› John tried to give up smoking.

to give up smoking.

(21) Rainheart forgot/didn’t forget

›› Rainheart ought to have locked the door. to lock the door.

9. Praanggapan Klausa Waktu (Temporal Clauses Presuppostion)

Dalam sebuah kalimat jika terdapat penanda waktu dalam sebuah tuturan

maupun dalam bentuk kalimat dapat dipastikan bahwa kalimat ataupun tuturan tersebut

juga memiliki sebuah praanggapan. Terdapat beberapa satuan lingual penanda pada

praanggapan ini seperti, when, after, before, as soon as, until/till, by the time, once, the

moment (that), immediatel, while.

(22) Before

›› Strawson was born

Strawson was even born, Frege noticed/didn’t notice presupposition.

(23) While

›› Chomsky was revolutionizing linguistics. (Levinson,1983:182) Chomsky was revolutionizing linguistics, the rest of social science was/wasn’t asleep.

10.Cleft Sentence

(24) What John lost/didn’t lose was his walllet. ›› John lost something

(25) Linguistics was/wasn’t invented by Chomsky! ›› Someone invented linguistics.

(Levinson,1983:183)

Dengan adanya satuan lingual penanda dari setiap praanggapan tersebut,

praanggapan yang adadapat diteliti lebih terfokus, yakni pada tuturan yang berkaitan

(34)

C.Pengetahuan Bersama, Partisipan, Konteks Situasi, Peristiwa Tutur dan Perolehan Praanggapan

Uraian Yule juga menyebutkan adanya unsur- unsur yang mendukung

pemahaman dan kemunculan praanggapan, yaitu pengetahuan bersama, konteks situasi

dan partisipan. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dan merupakam pembatas dalam

menganalisis data tuturan ini.

1. Pengetahuan Bersama

Dalam memahami suatu tuturan, secara otomatis terdapat suatu aturan tidak

tertulis yang mengharuskan mitra tutur memiliki pemahaman mengenai struktur

pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Fungsi struktural ini berguna untuk

melihat pola dalam tuturan sehingga pemahaman yanng didapat sesuai dengan yang

diinginkan penutur (Yule, 1996 : 85).

Salah satu unsur yang mendukung munculnya praanggapan adalah memahami

tuturan dalam adegan. Pengetahuan bersama ini juga digunakan sebagai struktur yang

membangun interpretasi yang tidak muncul dalam teks atau tuturan. Untuk

menyampaikan pesan yang sesuai dengan tujuan penutur, pengetahuan bersama menjadi

sangat penting terutama untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

Segala hal yang berhubungan dan yang terjadi selama tuturan berlangsung, bisa

diasumsikan sebagai pengetahuan bersama (Yule, 1996: 86 – 88).

2. Partisipan (Penutur dan Mitra tutur)

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila

tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang

berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang, sosial

ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya. Penutur adalah orang yang

bertutur, sementara mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran atau kawan penutur.

Peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti,penutur pada tahap

tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, begitu pula sebaliknya sehingga terwujud

interaksi dalam komunikasi. Konsep tersebut juga mencakup penulis dan pembaca

apabila tuturan tersebut dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek yang

(35)

sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban. Aspek-aspek tersebut

mempengaruhi daya tangkap mitra tutur, produksi tuturan serta pengungkapan maksud.

Penutur dan mitra tutur dapat saling memahami maksud tuturan apabila keduanya

mengetahui aspek-aspek tersebut.

3. Konteks situasi

Secara harfiah, konteks berarti “something accompanying text”, yang berarti:

sesuatu yang inheren dan hadir bersama teks. Konteks diungkapkan melalui

karakterisasi bahasa yang digunakan penutur (Halliday & Hasan, 1985). Di dalam teori

Halliday, pengertian harfiah itu diterjemahkan dalam batasan Saussure yang

menyatakan bahwa bahasa sebagai suatu fakta sosial. Oleh Halliday “something” di atas

diolah menjadi “sesuatu yang telah ada dan hadir dalam partisipan sebelum tindak

komunikasi dilakukan, karena itu konteks mengacu pada konteks kultural dan konteks

sosial (Halliday, 1978; Wirth, 1984). Aspek yang menggambarkan peristiwa apa yang

terjadi yang melibatkan para penutur atau partisipan sebagaimana dinyatakan atau

direalisasikan berupa unsur-unsur status, proses, pelaku, tujuan, lokasi, dan waktu.

Konteks adalah seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh

penutur dan pendengar sesuai dengan pengetahuannya tentang dunia. Konteks ini tidak

hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua

yang dapat terlibat dalam interpretasi, seperti harapan masa depan, hipotesis ilmiah,

kepercayaan terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang kebudayaan (faktor

sosial, norma sosial, dan sebagainya) dan kepercayaan terhadap penutur atau sebaliknya

(Sperber dan Wilson, 1998:15). Konteks ini mempengaruhi interpretasi pendengar

terhadap ujaran (wacana).

Ada dua peran penting konteks di dalam tindak tutur. Pertama, sebagai

pengetahuan abstrak yang mendasari bentuk tindak tutur. Kedua, suatu bentuk

lingkungan sosial di mana tuturan-tuturan dapat dihasilkan dan diinterpretasikan dalam

realitas yang nyata (Sciffrin, 1994:371). Pada sisi lain, Halliday dan Hasan (1992:

16:62) membagi konteks situasi menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana, (2)

sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana. Medan wacana menunjuk pada

sesuatu yang sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan sosial yang sedang

(36)

peristiwa tutur, sedangkan sarana tutur menunjuk kepada bagian yang diperankan oleh

bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan fungsi yang dimiliki, saluran yang

digunakan, serta model retorikanya.

Oleh karena itu, bahasa hanya memiliki makna jika berada dalam suatu konteks

situasi. Makna sebuah ujaran diinterpretasikan melalui sebuah ujaran dengan

memperhatikan konteks, sebab konteks yang akan menentukan makna sebuah ujaran

berdasarkan situasi. Artinya, konteks situasi sangat berpengaruh dalam berinteraksi.

Pilihan bahasa seseorang dapat berubah dari ragam baku menjadi ragam tidak baku atau

sebaliknya jika situasi yang melatarinya berubah.

4. Peristiwa Tutur

Menurut Chaer dan Agustina (2004:47) yang dimaksud dengan peristiwa tutur

(speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu

bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan mitra tutur,

dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dalam

pemakaian bahasanya, setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia

berbicara, di mana, mengenai masalah apa dan dalam suasana bagaimana. Dengan

demikian maka tempat berbicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur

demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna pula

terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung.

Menurut Suwito (1991:35-36) keseluruhan peristiwa pembicaraan dengan segala

komponen serta peranan komponen itu di dalam peristiwa tersebut dikenal dengan

sebutan peristiwa tutur (speech event). Komponen tutur tersebut di atas dalam rumusan

lain tidak berbeda dengan yang diutarakan oleh Fishman (dalam Chaer dan Agustina

2004:49), yang disebut sebagai pokok pembicaraan dalam bidang Sosiolinguistik, yaitu

who speak (siapa yang berbicara), what language (bahasa apa yang digunakan), to

whom (kepada siapa), when (kapan), dan what end (apa tujuannya).” Dell Hymes

(dalam Chaer dan Agustina 2004:48) dan Baylon (2002:279) menyatakan bahwa suatu

peristiwa tutur memiliki delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya

dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING.

(37)

5. Pemerolehan Praanggapan

Dalam penelitiannya, Grundy (2000) menguraikan kajian mengenai pragmatik

dan juga praanggapan. Dalam kajian pragmatik yang diuraikan Grundy, praanggapan

termasuk didalamnya dan kajian tersebut dipahami berdasarkan pengetahuan bersama

yang dimiliki penutur dan lawan tutur. Pengetahuan bersama yang diasumsikan ini akan

membantu pemahaman ide dalam tuturan atau ide dalam suatu ujaran serta pengetahuan

partisipan tutur atas dasar tuturan yang kemudian dipakai untuk menyampaikan makna

tuturan tersebut.

Grundy juga menyatakan cara lain dalam memandang sebuah praanggapan

adalah bagaimana melihat praanggapan sebagai cara untuk menyatakan pengetahuan

bersama atau pengetahuan yang sifatnya umum dan tidak kontroversial. Praanggapan

dianggap sebagai asumsi yang dipahami bersama. Grundy membagi asumsi ini kedalam

tujuh bagian yang masing- masing memiliki pemaknaan yang lebih mendalam dalam

memahami tuturan.

a. Prinsip Kehematan (Principle of Economy)

Maksud dari prinsip kehematanialah ketika tuturan terjadi, biasanya kita sudah

membuat suatu asumsi yang dilatari oleh informasi dasar yang kita anggap sebagai

suatu kesamaan sebelum tuturan itu terjadi. Latar belakang tersebut bisa dapat sebagai

praanggapan pragmatik karena jelas merupakan sesuatu yang dipahami secara alami.

Dengan adanya pemahaman secara alami dari kedua belah pihak, prinsip ini terpenuhi

dan keduanya bisa mendapatkan apa yang ingin dimengerti dalam tuturan.

(26) Tell Maddona I’m at lunch.

Presupposition : The speaker was expecting a visit from Madona, knew that the

addressee was going to be in when she arrived, expected Madona to appear in the near

future and assume that the addressee knew what she looked like and was willing to pass

the message on to her.

Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa ini merupakan suatu jenis asumsi

dasar dari praanggapan pragmatik dimana ini terjadi secara alamiah dan juga

berdasarkan dari felicity condition.

(38)

b. Pemahaman bersama : Deskriptif taktrif, Frekuentatif, Pertanyaan-pertanyaan (Shared Assumptions : definite description, iterative, questions).

Praanggapan pragmatik yang sudah dibahas sebelumnya berkaitan dengan

konteks yang dituturkan. Praanggapan juga memiliki kaitan dengan semantik yang lebih

banyak terkait dalam struktur gramatikal dalam sebuah tuturan. Dengan adanya definisi

atau deskrpisi yang jelas disampaikan melalui tuturan atau pernyataan yang

frekuensinya berulang, pengetahuan bersama dapat diperoleh dan akhirnya menguatkan

kemunculan suatu praanggapan.

(27) Can I ask another question ?

Presupposition : that the speaker or one or more earlier speakers had already asked at least one question before.

(28) Who said to tell Madona that he was at lunch ?

Presupposes : that someone said to tell Madona that he was at lunch.

(29) I wonder what you are thingking about.

Presupposes : that the addressee is thinking about something.

c. Pemahaman Bersama Lebih Jauh (More Shared Assumptions)

Selain melalui struktural gramatikal, praanggapan sebuah tuturan dapat dilihat

melalui penggunaan predikat yang berfungsi sebagai penanda mulai, selesai, atau

sedang berlangsungnya sesuatu, jika dalam bahasa Inggris seperti begin, continue,

stop,play on dan kemudian disandingkan dengan after dan before.

(30) I began jogging after a visit to the doctor.

Presupposes : (a) that I did not jog before and (b) that a visit was made to the doctor.

(31) I continued jogging after my son became a faster runner than me.

Presupposes : (a) that I was jogging before and (b) that my son became a faster runner

than me. Penanda dalam kedua tuturan tersebut menentukan adanya praanggapan.

Adanya penanda seperti “ began” dan “ continued” dan dilanjutkan dengan adanya

after” memunculkan praanggapan yang membutuhkan pemahaman mengenai waktu

terjadinya atau hal- hal yang berkaitan dengan waktu dalam tuturan.

d. Pemahaman Bersama dan Subordinatif (Shared assumptions and subordination) Praanggapan ini juga didukung oleh keterangan waktu yang dapat memberikan

makna yang berbeda pada setiap tuturannya. Klausa keterangan waktu yang akan

menjadi patokan utama pada latar belakang yang kemudian akan dipahami bersama. Hal

(39)

ini juga dapat direalisasikan dalam bentuk pengandaian yang disebut counter factual

conditional presuppose yang memiliki gagasan dalam bentukif – cluse.

(32) If you had sent me a Christmas card last year, I would have sent you one this year.

Presupposes: that you did not send me a christmas card last year.

(33) If you hadn’t sent me a Christmas card last year, I would still have sent you one this year.

Presupposes : that you did send me a christmas card last year.

e. Fokus dan Praanggapan (Focus and Presupposition)

Praanggapan terfokus pada inti dari tuturan yang disampaikan. Apabila suatu

tuturan memiliki struktur kalimat tanya (wh-Question), fokus dari praangapan tersebut

langsung menuju pada tanya tersebut. Selain struktur kata tanya,terdapat juga fokus

yang muncul dalam praanggapan dalam tuturan yang saling merespons (biasanya terjadi

dalam dialog). Dengan adanya kata tanya fokus dalam suatu tuturan langsung bisa

memunculkan praanggapan yang dituju dan berkaitan dengan konteks situasi

partisipannya.

(34) Why did Sue give Oxfam a donation ?

Presupposes : that Sue gave Oxfam a donation and asks for a reason.

f. Penekanan dan Praanggapan (Stress and Presupposition)

Praanggapan dalam sebuah tuturan dapat menghasilkan makna yang lebih jelas

dengan adanya penekanan dalam tuturan. Selain itu counter factual condition bisa

merujuk praanggapan menjadi bermakna kebalikan dari tuturan.

(35) John called Mary a Republican, and then SHE insulted HIM. Presupposes : that calling someone a Republican is an insult.

Contoh diatas menunjukan bahwa si penutur membuat suatu keputusan mengenai

makna pada tingkatan bunyi dan pada makna pragmatik yang tercermin pada bentuk

leksikalnya itu sendiri.

g. Pengingkaran dan Praanggapan (Negation and Presuppostion)

Praanggapan yang muncul dari tuturan penutur yang berasal dari kalimat

negasi tidak selalu bermakna negatif. Menentukan negatif atau tidaknya suatu tuturan

dilihat dari struktur pada saat tuturan itu terjadi sedangkan makna praanggapan tersebut

(40)

mempertahankan bentuk negatif dari sebuah tuturan, praanggapan yang mengandung

proposisi yang benar tersebutpun ikut menjadi benar.

(36) The Prime Minister didn’t remember/ forget to keep a record of her

instructions at the arms were exported to Iraq.

(37) Her successor managed to win the election that followed.

Dari kedua contoh diatas akan memiliki praanggapan yang sama dengan kalimat

dibawah ini.

(38) The Prime Minister remember/ forget to keep a record of her instructions at the arms were exported to Iraq.

Presupposes : that she should have kept a record, but now asserts that she did, so presupposition survive and the truth value of assertion is reversed.

(39) Her successor didn’t manage to win the election that followed.

Presupposes : that winning the election was not easy, but now asserts that he did not win it. So again the presupposition survives and the truth value of the assertion is reversed.

Berdasarkan uraian Grundy di atas, dapat dilihat bagaimana kemunculan sebuah

praanggapan dari tuturan dan unsur-unsur pengetahuan bersama yang melatarinya.

Uraian ini membantu penjelasan mengenai praanggapan berdasarkan klasifikasi

praanggapan yang telah dipaparkan oleh Levinson sebelumnya. Dengan menggunakan

dua teori ini diharapakan mampu memberikan hasil yang maksimal untuk meneliti

sebuah praanggapan yang terdapat dalam sebuah tuturan.

Pemerolehan sebuah praanggapan yang muncul melalui sebuah tuturan orang

asing di kawasan wisata di Jogjakarta akan diambil asumsinya yang terdekat dengan

konteks situasi, partisipan, pengetahuan bersama dan juga peristiwa tutur. Setiap

tuturan dimungkinkan memiliki sebuah praanggapan, tetapi penelitian ini akan

membatasi hanya pada keempat aspek yang telah di sebutkan di atas.

D.Kerangka Pikir

Secara umum kerangka berpikir analisis penelitian aspek pragmatik ini ditujukan

untuk menyoroti tanggapan penduduk setempat yang selalu berinteraksi dengan para

wisatwan asing. Tanggapan tersebut berkenaan dengan seperti apa konsep praanggapan

Gambar

Gambar 1. Triangulasi Sumber
Tabel 3.1:  Analisis Domain
Tabel 3.2:  Analisis Taksonomi
Tabel 3.3:  Analisis Komponensial
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga terkadang apa yang mereka pilih tidak sesuai yang diharapkan.Kecamatan Essang Selatan adalah Kecamatan di Kabupaten Talaud yang memiliki jumlah pemilih

Serbuk besi dari limbah bubut logam yang digunakan sebagai sampel mengandung unsur besi (Fe), hasil sintesis diperoleh empat pigmen merah besi(III) oksida dengan fasa hematit

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh interaksi antara Na- alginat dan isolat protein kacang hijau dalam pembuatan mie instan berbasis tepung komposit dari pati

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian doktrinal, dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan

Kursus ini memberi pengetahuan dan kemahiran asas yang perlu untuk mentafsir  sukatan pelajaran Pendidikan Moral sekolah rendah; penyediaan rancangan dan persediaan mengajar;

“ Seorang hamba memohon kepada Allah supaya diberikan bunga yang begitu indah, tetapi Allah memberikan sebuah ulat, hamba Allah marah kenapa diberi seekor hewan yang menjijikkan,

Dari hasil kegiatan ini diharapkan apabila terjadi reaktor scram, pengoperasi reaktor khususnya supervisor reaktor bisa memperoleh data masukan secara cepat,

Penelitian ini membahas tentang penanaman karakter religius yang dilakukan melalui pembiasan membaca Al-Qur‟an di SMP Negeri 2 Colomadu. Studi ini dilatarbelakangi