• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Narapidana

1. Pengertian Narapidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tertulis dalam pasal 1 angka 32, terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (7) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menerangkan bahwa narapidana adalah terpidana yang sedang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan, menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, terpidana adalah seseorang yang di pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas mengenai narapidana dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah seseorang yang sebagian kemerdekaannya hilang sementara dan sedang menjalani suatu hukuman di Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan putusan Pengadilan.

(2)

2. Kewajiban Narapidana

Seorang narapidana yang sedang menjalani suatu hukuman di Lembaga Pemasyarakatan karena telah melakukan suatu tindak pidana mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan, kewajiban dari narapidana

ini tercantum pada Pasal 23 Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang

Tentang Pemasyarakatan yakni1:

a. Mengikuti program pembinaan yang meliputi kegiatan perawatan jasmani dan rohani, serta kegiatan tertentu lainnya dengan tertib.

b. Mengikuti bimbingan dan pendidikan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

c. Mengikuti kegiatan latihan kerja yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) jam dalam sehari.

d. Mematuhi peraturan tata tertib lapas selama mengikuti program kegiatan.

e. Memelihara sopan santun, bersikap hormat dan berlaku jujur dalam segala perilakunya, baik terhadap sesama penghuni dan lebih khusus terhadap seluruh petugas.

1 B Mardjono Reksodiputro, 2009. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Lembaga Pemasyarakatan. Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI. Hlm 90.

(3)

f. Menjaga keamanan dan ketertiban dalam hubungan interaksi sesama penghuni.

g. Melaporkan kepada petugas segala permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pembinaan narapidana, lebih khusus terhadap masalah yang dapat memicu terjadinya gangguan kamtib.

h. Menghindari segala bentuk permusuhan, pertikaian, perkelahian, pencurian, dan pembentukan kelompok-kelompok solidaritas di antara penghuni di dalam lapas.

i. Menjaga dan memelihara segala barang inventaris yang diterima dan seluruh sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pembinaan narapidana.

j. Menjaga kebersihan badan dan lingkungan dalam lapas.

3. Hak Narapidana

Selain mempunyai kewajiban di dalam Lembaga Pemasyarakatan, seorang narapidana juga mempunyai hak. Seperti halnya manusia pada umumnya, seorang narapidana tetap mempunyai hak yang sama meskipun sebagian dari hak-haknya sementara dirampas oleh negara. Hak narapidana juga telah dijabarkan dalam pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan;

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaan;

(4)

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makananyang layak;

e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya;

i. Mendapat pengurangan masa pidana (remisi);

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat;

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas;

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pemerintah Indonesia yang batinnya menghormati dan mengikuti HAM, komitmen terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM pada tahap pelaksanaan putusan. Wujud komitmen tersebut adalah institusi Hakim Pengawas dan Pengamat (WASMAT) sebagaimana yang telah diatur dalam

Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 KUHAP, serta diundangkannya Undang-Undang Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995 adalah kegiatan

(5)

untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari

sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.2

4. Larangan Bagi Narapidana

Dalam Peraturan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara disebutkan dalam Pasal 4 adanya beberapa larangan yang tidak boleh dilakukan oleh narapidana, bahwa setiap narapidana atau tahanan dilarang:

a. Mempunyai hubungan keuangan dengan Narapidana atau Tahanan lain maupun dengan Petugas Pemasyarakatan;

b. Melakukan perbuatan asusila dan/atau penyimpangan seksual;

c. Melakukan upaya melarikan diri atau membantu pelarian;

d. Memasuki Steril Area atau tempat tertentu yang ditetapkan Kepala Lapas atau Rutan tanpa izin dari Petugas pemasyarakatan yang berwenang;

e. Melawan atau menghalangi Petugas Pemasyarakatan dalam menjalankan tugas;

2 Jurnal dari Erepo Unud, 2016. Tinjauan Umum tentang Hak Narapidana.

http://erepo.unud.ac.id. Universitas Udayana. Hlm 3. Diakses pada 23 Februari 2022.

(6)

f. Membawa dan/atau menyimpan uang secara tidak sah dan barang berharga lainnya;

g. Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika dan/atau prekursor narkotika serta obat- obatan lain yang berbahaya;

h. Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol;

i. Melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas angin, televisi, dan/atau alat elektronik lainnya;

j. Memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat elektronik, seperti laptop atau komputer, kamera, alat perekam, telepon genggam, pager, dan sejenisnya;

k. Melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian;

l. Membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;

m. Membawa dan/atau menyimpan barang-barang yang dapat menimbulkan ledakan dan/atau kebakaran;

n. Melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis, terhadap sesama Narapidana, Tahanan, Petugas Pemasyarakatan, atau tamu/pengunjung;

o. Mengeluarkan perkataan yang bersifat provokatif yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban;

(7)

p. Membuat tato, memanjangkan rambut bagi Narapidana atau Tahanan Laki-laki, membuat tindik, mengenakan anting, atau lainnya yang sejenis;

q. Memasuki blok dan/atau kamar hunian lain tanpa izin Petugas Pemasyarakatan;

r. Melakukan aktifitas yang dapat mengganggu atau membahayakan keselamatan pribadi atau Narapidana, Tahanan, Petugas Pemasyarakatan, pengunjung, atau tamu;

s. Melakukan perusakan terhadap fasilitas Lapas atau Rutan;

t. Melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan;

u. Menyebarkan ajaran sesat; dan

v. Melakukanaktifitas lain yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban Lapas atau Rutan.

B. Tinjauan Pasal 1 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Unsur-unsur yang terkadung dalam pasal 1 ayat (2) KUHP diantaraya adalah sebagai berikut:

1. Unsur Terdakwa

Subjek hukum dalam pasal 1 ayat (2) KUHP adalah ―terdakwa‖. Kata

―terdakwa‖ dalam Pasal ini merupakan terjemahan dari kata ―verdachte‖.

Tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana kata ―verdachte‖ harus diterjemahkan: apakah sebagai terdakwa atau tersangka. Dalam tulisan ini,

(8)

kata ―verdachte‖ diterjemahkan sebagai ―terdakwa‖. Kendatipun demikian, bagian ini akan mendiskusikan bagaimana penerapan Pasal 1 ayat (2) KUHP ketika ―verdachte‖ dimaknai sebagai ―terdakwa‖ maupun sebagai ―tersangka‖. Dalam konteks hukum acara pidana, terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Hukum acara pidana di Indonesia yang terkodifikasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan jawaban lugas terhadap pertanyaan tersebut. Dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP—yang mengatur mengenai syarat dari surat dakwaan dinyatakan bahwa bagian dari surat dakwaan adalah: a) nama lengkap tersangka; b) tempat lahir tersangka; c) umur atau tanggal lahir tersangka; d) jenis kelamin tersangka; e) kebangsaan tersangka; f) tempat tinggal tersangka; g)agama tersangka; h) dan pekerjaan tersangka. Artinya, ketika surat dakwaan dibuat, ―terdakwa‖ belum ditetapkan. Selanjutnya dalam Pasal 145 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai panggilan sidang dinyatakan bahwa pemberitahuan untuk datang ke sidang disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa. Dengan demikian, saat panggilan dilayangkan, ―terdakwa‖ telah ditetapkan. Merujuk pada kedua ketentuan di atas, bisa disimpulkan bahwa status ―terdakwa‖ muncul setelah surat dakwaan dibuat dan sebelum surat panggilan dibuat. Artinya, status

―terdakwa‖ muncul ketika perkara didaftarkan di pengadilan. Pasal 1

(9)

angka 12 KUHAP menyatakan: ―Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali...‖ Berdasarkan ketentuan ini dan memperhatikan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bisa disimpulkan bahwa status ―terdakwa‖ melekat sampai sebelum putusan pidana memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketika putusan pidana telah memiliki kekuatan hukum mengikat, maka statusnya berubah menjadi

―terpidana‖. Dengan asumsi bahwa yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah terdakwa, maka ketentuan dimaksud hanya bisa diterapkan dalam proses persidangan saja. Dengan kata lain, hanya hakim yang bisa menerapkannya. Ironisnya, keadaan ini justru memunculkan permasalahan dalam implementasinya.

2. Unsur “Perubahan Perundang-Undangan”

Dalam konteks ―perubahan perundang-undangan‖, yang pertama perlu diperhatikan adalah terminologi ―perubahan‖. Dengan merujuk pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (―UU No. 12/2011‖), perubahan dilakukan dengan cara: a) menyisip atau menambah materi ke dalam peraturan perundangundangan; atau b) menghapus atau mengganti sebagian materi peraturan perundangundangan. Perubahan dapat dilakukan terhadap: a) seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf,

(10)

pasal dan/atau ayat; atau b) kata, frasa, istilah, kalimat, angka dan/atau tanda baca.3

Setidaknya ada 5 cara bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyebabkan terjadinya perubahan undang-undang, yaitu: a) dengan mengeluarkan putusan yang membatalkan keseluruhan undang-undang; b) dengan mengeluarkan putusan yang membatalkan pasal/ayat dalam undang- undang; c) dengan mengeluarkan putusan yang membatalkan bagian dari pasal/ayat dalam undang-undang; d) dengan mengeluarkan putusan yang memaknai ulang bagian dalam undang-undang; e) dengan mengeluarkan putusan yang membatalkan keseluruhan undangundang dan memberlakukan kembali undang-undang sebagai pengganti.

Pembahasan sehubungan perubahan dalam ketentuan pidana administrasi dilakukan karena keunikan dari pidana administrasi. Pemenuhan unsur pidana dalam pidana administrasi bergantung pada penilaian aspek administrasi dalam ketentuan pidana yang bersangkutan. Dengan kata lain, ketika terjadi perubahan perundang-undangan, bisa saja rumusan pasalnya sama, namun aspek administrasinya berbeda.

3. Unsur “Ketentuan yang Paling Menguntungkan”

3 Indonesia (c), Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU

No. 12 Tahun 2011, (LN No. 82 Tahun 2011, TLN No. 5234), Lampiran II Bab II huruf D angka 230.

(11)

Penerapan Pasal 1 ayat (2) KUHP harus memperhatikan keadaan-keadaan faktual yang ada dalam tiap perkara. Hal yang selanjutnya akan dibahas sehubungan dengan unsur ―ketentuan yang paling menguntungkan‖ dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah: pihak yang berwenang untuk menentukan ketentuan mana yang paling menguntungkan dan standar yang digunakan untuk menentukan ketentuan mana yang paling menguntungkan. Secara logis bisa dinyatakan bahwa pihak yang berwenang untuk menentukan ketentuan mana yang paling menguntungkan adalah negara, yang direpresentasikan melalui penyelidik, penyidik, penuntut umum maupun hakim. Mengenai subjek hukum dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP belum mendapatkan jawaban yang definit. Bergantung pada status yang dilekatkan pada subjek hukum dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, apakah sebagai tersangka atau terdakwa atau yang lainnya, representasi negara yang bisa menentukan mana ketentuan yang paling menguntungkan akan berbeda-beda. Untuk menentukan standar siapa yang harus digunakan untuk menentukan ketentuan mana yang paling menguntungkan, maka perlu kembali mengingat rumusan dari Pasal 1 ayat (2) KUHP, yang menyatakan ―...terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya‖. Kata ganti ―-nya‖ yang melekat pada kata

―menguntungkannya‖ merujuk pada subjek dalam kalimat, yaitu terdakwa.

Artinya, standar yang harus digunakan untuk menentukan ketentuan mana yang paling menguntungkan adalah standar terdakwa.

(12)

C. Tinjauan Tentang Dekriminalisasi

1. Pengertian Dekriminalisasi

Pengertian dekriminalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan penggolongan suatu perbuatan yang pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku biasa.

Dekriminalisasi merupakan suatu pembaharuan pidana, dan yang dimaksud dekriminalisasi adalah suatu yang dulunya dianggap kejahatan dan ada peraturannya yang bukan lagi kejahatan. Jadi proses ini biasanya diselesaikan dengan undang-undang atau keputusan pengadilan Ancaman kriminal yang disebabkan oleh perilaku tersebut.4

Selain itu dekriminalisasi adalah sebuah pengakuan Negara terhadap perubahan tindak pidana yang dulu dianggap sebagai delik tindak pidana sekarang menjadi bukan delik tindak pidana. Dekriminalisasi ini berkaitan dengan strafbaar feit dimana menurut Simons, strafbaar feit bermakna sebagai

peristiwa pidana. Ialah seseorang yang perbuatanya melawan hokum maka berkaitan dengan kesalahan (schuld) sehingga seseorang itu harus mampu bertanggungjawab. Kesalahan yang dimaksud Simons sangatlah berarti luas dimana meliputi dolus (sengaja) dan culpa (lalai). Simons

4 Duwi Handoko,2016 Dekriminalisasi Terhadap Delik-Delik Dalam KUHP ,Pekanbaru: Hawa dan AHWA

(13)

memberikan memasukan rumusan tersebut terhadap unsur-unsur pidana (criminal act) dikarenakan perbuatannya bersifat melawan hokum dengan pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

Sehingga menurut pandangan penulis makna dari dekriminalisasi adalah adanya perubahan delik. Delik tersebut dahulu dianggap sebagai suatu tindak pidana dan segarang menjadi bukan lagi suatu bentuk tindak pidana.

2. Pola atau Klasifikasi Dekriminalisasi Macam-macam dekriminalisasi, antara lain

a. Dekriminalisasi bukan murni merupakan dekriminaliasi berkenaan mengenai suatu delik (peristiwa pidana) dalam peraturan perundang- undangan, dimana suatu ketentuan tersebut diatur kembali dalam peraturan perundang-undangan yang baru. Oleh karena itu, dalam aspek dekriminalisasi bukan murni, seingga suatu delik masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum (legal).

b. Dekriminalisasi murni merupakan dekriminalisasi berkenanaan tentang suatu delik (peristiwa pidana) dalam peraturan perundang undangan yang berlaku, dengan ketentuan peristiwa pidana ini sudah dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan putusan pengadilan atau peraturan perundang-undangan yang yang baru.

Sehinga yang termasuk dalam aspek dekriminalisasi murni yaitu ,

(14)

suatu delik yang sudah tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum (tidak legal atau tidak sah).

c. Dekriminalisasi murni sebagian merupakan dekriminalisasi bekenaan tentang suatu unsur pidana tertentu terhadap suatu delik dalam peraturan perundang-undangan, ketentuan delikini tidak dicabut atau bahkan tidak berlaku lagi berdasarkan putusan pengadilan atau peraturan perundangundangan yang baru.

d. Dekriminalisasi bersyarat adalah dekriminalisasi yang berkeenaan mengenai suatu delik dalam undang-undang dan/atau peraturan daerah dengan menegaskan syarat tertentu dalam hal berlakunya suatu delik secara legal;

Tindakan kriminalisasi dan dekriminalisasi menurut Bassiouni sendiri harusmempertimbangkanbeberapa faktor, diantaranya5

a) Menciptakaan keseimbangan terhadap segala sarana yang digunakan dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;

b) Biaya yang efisien dengan hasil yang diperoleh nantinya;

c) Menilai tujuan yang diinginya sehingga akan erat kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;

5 Uning Pratimaratri, ―Kriminalisasi Akibat Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi dari Perspektif Moral Pancasila‖, Jurnal Ilmiah Hukum & Pembangunan, Vol. II, No. 1, hlm. 8

(15)

d) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi untuk menjadi pengaruh yang sekunder.

D. Tinjauan Umum Pertanggungjawaban

1. Pengertian Tanggungjawab Hukum

Pengertian Tanggung jawab berdasarkan kamus Bahasa Indonesia adalah sebuah kewajiban yang menanggung segalanya, artinya jikalau terjadi apa-apa terhadap seseorang boleh dituntut, dipersalahkan,

diperkirakan, dan sebagainya. Sedangkan tanggung jawab hukum terjadi karena ada sebuah kewajiban yang tidak dilakukan oleh salah satu pihak yang telah melakukan perjanjian, hal tersebut juga harus membuat pihak yang lain mengalami kerugian.6

Dengan demikian tanggungjawab hukum diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang wajib menanggung segala akibat dari tindakannya yang sudah melanggar ketentuan yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Orang yang melanggar tersebut wajib bertanggung jawab dan mengganti kerugian yang telah diperbuatnya.

Umumnya konsep tanggung jawab hukum (liability) akan merujuk kepada tanggung jawab dalam bidang hukum publik (mencakup tanggung jawab

6 Sudut Hukum. Tanggung Jawab Hukum.

https://suduthukum.com/2017/02/tanggungjawab-hukum.html. Diakses Tanggal 26 Februari 2022.

(16)

hukum administrasi negara dan tanggung jawab hukum pidana), dan tanggung jawab dalam bidang hukum privat (perdata).7

2. Teori Tanggungjawab Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. Menurut hukum, tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan. Tanggung jawab berdasarkan definisi secara harfiah dari responsibility adalah kewajiban bertanggungjawab atas undang-undang yang dilaksanakannya dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya.8

Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung

7 Ibid

8 Vina Akfa Dyani, 2017, Pertanggungjawaban Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Notaris dalam Membuat Party Acte, Yogyakarta, Lex Renaissance, No.1,Vol.2, hal. 165.

(17)

jawab mutlak (strick liabiliy). Abdulkadir Muhammad dalam bukunya menentukan teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, antara lain sebagai berikut:9

1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability).

2. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena adanya suatu kelalaian (negligence tort lilability).

3. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability).

3. Jenis-Jenis Tanggungjawab Hukum a. Pertanggungjawaban Perdata

Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang-undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu. Hal tersebut diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, yaitu:

―Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian padaorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian tersebut‖.

9 Аbdulkаdir Muhаmmаd, 2010, Hukum Perusаhааn Indonesiа, Bandung, Citrа Аdityа Bаkti, 2010, hal. 503.

(18)

Tanggung jawab hukum jika dalam hukum perdata merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum seseorang. PMH mempunyai cakupan ruang lingkup yang sangat luas. Perbuatan ini mencakup seluruh perbuatan yang bertentangan dengan UU Pidana, UU adminisitrasi dan bahkan UU lainnya yang tidak tertulis maupun yang tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Beberapa model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:10

1) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimanapun terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata, yaitu sebagai berikut ―tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut‖.

2) Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 1366 KUHPerdata yaitu yang menyatakan bahwa ―setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi

10 Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Revisi Keempat, Nuansa Aulia, Bandung, 2014, Hal. 188.

(19)

juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hatihatinya.‖

3) Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal 1367 KUHPerdata yaitu:

(1) Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugain yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barangbarang yang berada dibawah pengawasannya;

(2) Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua dan wali;

(3) Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya;

(4) Guru-guru sekolah dan kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka;

(20)

(5) Tanggung jawab tersebut berkahir, jika orangtua, wali, guru sekolah dan kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.‖

b. Pertanggungjawaban Pidana

Prinsip pertanggungjawaban pidana didasarkan pada asas kesalahan (asas culpabilitas) yang secara tegas menyatakan, bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Artinya, seseorang baru dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana karena telah melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum apabila dalam diri orang itu terdapat "kesalahan". Apabila dalam diri orang itu tidak ada

"kesalahan", maka terhadap orang itu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Salah satu syarat untuk adanya

"kesalahan" dalam arti seluas-luasnya adalah adanya "kemampuan bertanggungjawab" yang hakikatnya merupakan "keadaan batin" si pembuat yaitu "keadaan batin" yang sedemikian rupa sehingga menjadi "pembenar" untuk dijatuhkannya pidana. Dengan demikian dapat juga dikemukakan, bahwa salah satu syarat untuk adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah adanya "kemampuan bertanggungjawab". Artinya, seseorang barulah dapat dimintai pertanggungjawaban dalam Hukum pidana manakala orang itu dianggap "mampu bertanggung jawab". Perumusan secara "negatif‖

(21)

tentang persoalan "kemampuan bertanggungjawab" ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 44 KUHP yang menyatakan bahwa:

1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena terdapat adanya suatu penyakit, tidak dipidana;

2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai percobaan.

c. Tanggungjawab Administrasi

Tanggungjawab administratif adalah tanggungjawab yang harus dilakukan baik oleh perorangan maupun badan hukum apabila tidak melakukan kewajibannya secara administrasi dengan baik dan mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain akibat perbuatannya tersebut. Dengan demikian tanggungjawab administratif hanya dapat dibebankan kepada individu secara perorangan maupun kepada badan hukum tertentu yang telah mengakibatkan kerugian bagi pihak lain akibat tidak menjalankan kewajiban dalam bidang administrasi.

Logemann mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan ―de staat is ambtenorganisatie‖ dan dalam suatu Negara itu ada jabatan

(22)

pemerintahan, yakni lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undangundang dan peradilan,‖elke werkzaamheid van de overhead, welke niet als wetgwving of als rechtspraak is aan te merken‖.11

Setiap penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggungjawab, sesuai dengan prinsip ―deen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid‖ (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada jabatan, namun dalam implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan, maka siapa yang harus memikul tanggungjawab hukum ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan dan dapat pula berupa tanggung jawab dan tanggung gugat pribadi.12

E. Tinjauan Teori Keadilan

1. Pengertian Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah. Adil

11 Julista, Mustamu, 2011, Diskresi dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan, Ambon, Jurnal Sasi, No.2, Vol.17, hal. 6

12 Ibid

(23)

terutama mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama, adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui.

Di Indonesia keadilan digambarkan dalam Pancasila sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila lima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama.Adapun keadilan tersebut didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungannya manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, bangsa, dan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.13 Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bersama kenegaraan untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya.

Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa didunia dan prinsip-prinsip ingin menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antarbangsa di dunia

13 Ibid

(24)

dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian abadi, serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).14 2. Keadilan Menurut Filsuf

a. Teori Keadilan Menurut Aristoteles

Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan pemikiran pemikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles, keutamaan, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang, dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya,

14 Ibid

(25)

sesuai kemampuan dan prestasinya.15 Selain itu Aristoteles juga membedakan antara keadilan distributif dengan keadilan korektif.

Keadilan distributif menurutnya adalah keadilan yang berlaku dalam hukum publik, yaitu berfokus pada distribusi, honor kekayaan, dan barang-barang lain yang diperoleh oleh anggota masyarakat.

Kemudian keadilan korektif berhubungan dengan pembetulan sesuatu yang salah, memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan atau hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan. Sehingga dapat disebutkan bahwa ganti rugi dan sanksi merupakan keadilan akorektif menurut Aristoteles. Teori keadilan menurut Arsitoteles yang dikemukakan oleh Theo Huijbers adalah sebagai berikut:16

1) Keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda publik. Disini berlaku kesamaan geometris. Misalnya seorang Bupati jabatannya dua kali lebih penting dibandingkan dengan Camat, maka Bupati harus mendapatkan kehormatan dua kali lebih banyak daripada Camat. Kepada yang sama penting diberikan yang sama, dan yang tidak sama penting diberikan yang tidak sama.

2) Keadilan dalam jual-beli. Menurutnya harga barang tergantung kedudukan dari para pihak. Ini sekarang tidak mungkin diterima.

15 Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), Ctk. Kelima, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2015, hlm. 241.

16 Ibid

(26)

3) Keadilan sebagai kesamaan aritmatis dalam bidang privat dan juga publik. Kalau seorang mencuri, maka ia harus dihukum, tanpa mempedulikan kedudukan orang yang bersangkutan. Sekarang, kalau pejabat terbukti secara sah melakukan korupsi, maka pejabat itu harus dihukum tidak peduli bahwa ia adalah pejabat.

4) Keadilan dalam bidang penafsiran hukum. Karena Undang- Undang itu bersifat umum, tidak meliputi semua persoalan konkret, maka hakim harus menafsirkannya seolah-olah ia sendiri terlibat dalam peristiwa konkret tersebut. Menurut Aristoteles, hakim tersebut harus memiliki epikeia, yaitu ―suatu rasa tentang apa yang pantas‖.

b. Teori Keadilan John Rawls

Menurut John Rawls, keadilan adalah fairness (justice as fairness).

Pendapat John Rawls ini berakar pada teori kontrak sosial Locke dan Rousseau serta ajaran deontologi dari Imanuel Kant. Beberapa pendapatnya mengenai keadilan adalah sebagai berikut:17

1) Keadilan ini juga merupakan suatu hasil dari pilihan yang adil. Ini berasal dari anggapan Rawls bahwa sebenarnya manusia dalam masyarakat itu tidak tahu posisinya yang asli, tidak tahu tujuan dan rencana hidup mereka, dan mereka juga tidak tahu mereka milik dari masyarakat apa dan dari generasi mana (veil of ignorance).

17 Ibid

(27)

Dengan kata lain, individu dalam masyarakat itu adalah entitas yang tidak jelas. Karena itu orang lalu memilih prinsip keadilan.

2) Keadilan sebagai fairness menghasilkan keadilan prosedural murni. Dalam keadilan prosedural murni tidak ada standar untuk menentukan apa yang disebut ―adil‖ terpisah dari prosedur itu sendiri. Keadilan tidak dilihat dari hasilnya, melainkan dari sistem (atau juga proses) itu sendiri.

3) Dua prinsip keadilan. Pertama, adalah prinsip kebebasan yang sama sebesar- besarnya (principle of greatest equal liberty). Prinsip ini mencakup:18

a. Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan);

b. Kebebasan berbicara ( termasuk kebebasan pers);

c. Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama);

d. Kebebasan menjadi diri sendiri (person);

e. Hak untuk mempertahankan milik pribadi.

Kedua, prinsip keduanya ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip perbedaan (the difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity).

18 Damanhuri Fattah, ― Teori Keadilan Menurut John Rawls‖, terdapat dalam

http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/TAPIs/article/view/1589 , Diakses terakhir tanggal 23 Februari 2022.

(28)

Inti prinsip pertama adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosio- ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sedang istilah yang paling kurang beruntung (paling kurang diuntungkan) menunjuk pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas. Dengan demikian prinsip perbedaan menurut diaturnya struktur dasar masyarakat adalah sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang diuntungkan.

c. Teori Keadilan Thomas Hobbes

Menurut Thomas Hobbes keadilan ialah suatu perbuatan dapat dikatakan adil apabila telah didasarkan pada perjanjian yang telah disepakati. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keadilan atau rasa keadilan baru dapat tercapai saat adanya kesepakatan antara dua pihak yang berjanji. Perjanjian disini diartikan dalam wujud yang luas tidak hanya sebatas perjanjian dua pihak yang

(29)

sedang mengadakan kontrak bisnis, sewa-menyewa, dan lain-lain.

Melainkan perjanjian disini juga perjanjian jatuhan putusan antara hakim dan terdakwa, peraturan perundang- undangan yang tidak memihak pada satu pihak saja tetapi saling mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan publik.19

d. Teori Keadilan Roscoe Pound

Roscoe Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang bisa diberikannya kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan yang sekecil- kecilnya.

Pound sendiri mengatakan, bahwa ia sendiri senang melihat ―semakin meluasnya pengakuan dan pemuasan terhadap kebutuhan, tuntutan atau keinginan-keinginan manusia melalui pengendalian sosial;

semakin meluas dan efektifnya jaminan terhadap kepentingan sosial;

suatu usaha untuk menghapuskan pemborosan yang terus-menerus dan semakin efektif dan menghindari perbenturan antara manusia dalam menikmati sumber-sumber daya, singkatnya social engineering semakin efektif‖.20

e. Teori Keadilan Hans Kelsen

19 Muhammad Syukri Albani Nasution, Hukum dalam Pendekatan Filsafat, Ctk.

Kedua, Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 217-218.

20 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Ctk. Kedelapan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 174.

(30)

Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang dibawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang dan subur. Karena keadilan menurutnya adalah keadilan kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi – keadilan toleransi.21

21 Ibid

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta dan kejadian tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa alasan hukum yang diajukan oleh Penggugat telah sesuai dengan maksud

Courses yang sudah terunduh akan masuk ke repository dan juga akan ditampilkan pada aplikasi. Di sisi kanan antarmuka terdapat TextArea yang akan menampilkan summary

Rata rata perubahan harga lahan pada radius <1 Km adalah 447% dari tahun 2000 hingga 2012.Beberapa faktor yang mendukung peningkatan harga lahan di radius

Hasil yang terlihat dari parameter pertumbuhan berupa tinggi tanaman, diameter umbi, berat basah, dan biomassa, menunjukkan bahwa porang tumbuh dengan baik pada tegakan

Kucing sudah ada sejak jaman dahulu serta kucing sangat berkaitan dengan mitos- mitos maupun mistik seperti di Mesir kucing dianggap sebagai hewan suci serta

Penelitian ini hanya mengeksplorasi sedikit tentang larangan meminum khamar yang menunjukan pelarangan Islam tersebut tidak bertentangan dengan HAM karena menyangkut

Jumlah buku pedoman tentang Norma, Standar dan Prosedur yang Baku dalam melakukan Perencanaan Penanaman Modal di Pusat dan di Daerah di Sektor Agribisnis & Sumber Daya

Analisis kesesuaian lahan habitat bertelur Penyu Lekang di pesisir Pantai Pelangi, Kabupaten Bantul dilakukan terhadap parameter fisik yang berpengaruh, yaitu