• Tidak ada hasil yang ditemukan

- 1 - KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "- 1 - KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

NOMOR 220 TAHUN 2021 TENTANG

PEDOMAN UMUM PEMBUDIDAYAAN

LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN RAJUNGAN (Portunus spp.)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 5, Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (5) dan (6), Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (4), dan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia perlu melakukan penetapan Pedoman Umum Pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.);

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya tentang Pedoman Umum Pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus spp.);

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 (Lembaran Negara

(2)

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

2. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 111) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 5);

3. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 203);

4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 48/PERMEN-KP/2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1114);

5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 627);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBUDIDAYAAN LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN RAJUNGAN (Portunus spp).

KESATU : Menetapkan Pedoman Umum Pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini.

KEDUA : Pedoman Umum Pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) sebagaimana dimaksud diktum KESATU sebagai acuan dalam melakukan pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.).

KETIGA : Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, 1. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor

178/KEP-DJPB/2020 tentang Pengelolaan Usaha

(3)

Pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.); dan

2. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor 179/KEP-DJPB/2020 tentang Pedoman Umum Pembudidayaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.),

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KEEMPAT : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 9 Agustus 2021

DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA, ttd.

TB. HAERU RAHAYU

Salinan sesuai dengan aslinya

Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,

(4)

LAMPIRAN

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

NOMOR 220 TAHUN 2021 TENTANG

PEDOMAN UMUM PEMBUDIDAYAAN LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN RAJUNGAN (Portunus spp.)

PEDOMAN UMUM

PEMBUDIDAYAAN LOBSTER (Panulirus spp.), KEPITING (Scylla spp.), DAN RAJUNGAN (Portunus spp.)

BAB I

PETUNJUK TEKNIS PEMBUDIDAYAAN LOBSTER (Panulirus spp.)

A. Pembudidayaan Benih Bening Lobster (puerulus)

1. Pembudidayaan Benih Bening Lobster (puerulus) wajib dilakukan di wilayah provinsi yang sama dengan lokasi penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus).

2. Pembudidayaan Benih Bening Lobster (puerulus) untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengembangan, pengkajian, dan/atau penerapan harus dilengkapi dengan:

a. surat keterangan asal Benih Bening Lobster (puerulus) dari unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan tangkap, unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan budidaya, atau Dinas;

dan

b. surat keterangan dari badan yang menyelenggarakan tugas di bidang riset kelautan dan perikanan yang menyatakan pemohon berasal dari instansi yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengembangan, pengkajian, dan/atau penerapan.

B. Segmentasi Usaha Pembudidayaan Lobster

Segmentasi usaha pembudidayaan lobster terdiri atas 4 (empat) segmen yaitu:

1. Pendederan I dimulai dari Benih Bening Lobster (puerulus) sampai dengan ukuran 5 (lima) gram;

2. Pendederan II dengan ukuran diatas 5 (lima) gram sampai dengan ukuran 30 (tiga puluh) gram;

3. Pembesaran I dengan ukuran diatas 30 (tiga puluh) gram sampai dengan ukuran 150 (seratus lima puluh) gram; dan/atau

(5)

4. Pembesaran II dengan ukuran diatas 150 (seratus lima puluh) gram.

C. Usaha Pembudidayaan Lobster

1. Pembudi daya ikan skala Usaha pembudidaya lobster meliputi usaha mikro, kecil, menengah, dan besar.

2. Pembudi Daya Ikan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang akan melakukan Pembudidayaan lobster (Panulirus spp.) harus mengajukan pendaftaran kepada Lembaga OSS, baik secara langsung atau dapat difasilitasi oleh Dinas.

3. Pembudi Daya Ikan Usaha Menengah dan Usaha Besar yang akan melakukan Pembudidayaan lobster (Panulirus spp.) harus mengajukan permohonan perizinan berusaha kepada Lembaga OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

D. Pemilihan Lokasi Budidaya Lobster

Budidaya Benih Bening Lobster (budidaya lobster segmen pertama) hanya dapat dilakukan di provinsi yang sama dengan wilayah penangkapan.

Sedangkan untuk budidaya Lobster segmen kedua dan selanjutnya dapat dilakukan di luar wilayah penangkapan Benih Bening Lobster.

Pemilihan lokasi budidaya lobster dengan memperhatikan persyaratan sesuai dengan wadah budidaya yang digunakan, meliputi:

1. Budidaya lobster di keramba jaring apung

a. sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;

b. parameter kualitas air budidaya lobster:

1) suhu antara 25 – 32oC, suhu optimum 28-30 oC;

2) toleransi salinitas berkisar antara 25 – 37 ppt, salinitas optimum berkisar 30 – 35 ppt;

3) DO > 4 ppm;

4) pH antara 7,5-8,5;

5) kecerahan > 2 m;

6) amoniak <0,3 mg/L;

7) kecepatan arus air 5-100 cm/dtk; dan 8) kedalaman air > 6 (enam) meter;

c. terlindung dari badai dan gelombang besar;

d. tersedianya akses jalan produksi; dan

e. kemudahan dalam memperoleh pakan antara lain kekerangan, ikan rucah, atau yang lainnya.

(6)

2. Budidaya lobster di wadah terkontrol

Kegiatan budidaya lobster di wadah terkontrol dilakukan pada tahap pendederan I (ukuran bbl – 5 (lima) gram) dengan ketentuan:

a. lokasi sesuai dengan peruntukan pembenihan ikan laut yaitu rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota;

b. parameter kualitas air budidaya lobster:

1) suhu antara 25 – 32oC, suhu optimum 28-30 oC;

2) toleransi salinitas berkisar antara 25 – 37 ppt, salinitas optimum berkisar 30 – 35 ppt;

3) DO > 4 ppm;

4) pH antara 7,0-8,5;

5) alkalinitas antara 70 – 240 mg/L CaCO3;

6) kecerahan > 2 m;

7) amoniak <0,3 mg/L;

8) Nitrit <5 mg/L; dan

9) Kandungan logam berat maksimum Pb 0,008 mg/L; Cd 0,001 mg/L; dan Hg 0,001 mg/L;

c. tersedia sumber listrik yang kontinu (PLN/Genset) untuk pompa, blower, dan penerangan;

d. pengolahan air baku menggunakan sistem filtrasi minimal dengan penyaringan air baku;

e. wadah pemeliharaan dilengkapi aerasi; dan

f. kemudahan dalam memperoleh pakan, antara lain kekerangan dan ikan segar.

Gambar 1. Contoh Bak Pendederan Benih Bening Lobster

(7)

E. Daya Dukung Lingkungan Perairan

Usaha budidaya lobster dilakukan dilokasi yang ditetapkan kapasitas produksinya dengan mengikuti syarat minimum daya dukung lingkungan perairan. Kapasitas produksi budidaya lobster ditetapkan oleh Direktur Jenderal berdasarkan rekomendasi dari kepala badan yang menyelenggarakan tugas di bidang riset kelautan dan perikanan.

F. Fasilitas Prasarana dan Sarana 1. Benih

Sumber benih berasal dari nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih bening lobster (puerulus) dan/atau benih lobster hasil budidaya.

2. Pakan

Pakan yang digunakan dalam budidaya lobster berupa pakan alami dan/atau pakan buatan yang sesuai dengan nutrisi yang diperlukan.

Pakan alami adalah organisme hidup atau mati baik tumbuhan maupun hewan yang dapat dikonsumsi oleh lobster. Pakan alami yang diberikan dapat berupa ikan segar dan kekerangan. Kekerangan yang digunakan diutamakan berasal dari kegiatan budidaya. Sedangkan pakan buatan diutamakan menggunakan bahan baku lokal.

3. Obat ikan

Obat ikan yang digunakan adalah yang ditetapkan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya yaitu obat ikan yang telah mendapatkan nomor pendaftaran.

4. Wadah budidaya

a. Budidaya lobster di keramba jaring apung 1) keramba jaring apung (KJA)

KJA berfungsi untuk tempat mengikat pelampung dan menggantungkan jaring. Di atas rakit dimungkinkan untuk membuat titian dan rumah jaga. KJA dapat menggunakan bahan kayu, bambu atau High-density polyethylene (HDPE) yang dilengkapi dengan pelampung, jangkar, dan pemberat. Ukuran dan desain KJA dapat disesuaikan dengan kondisi di lapangan dengan mempertimbangkan keselamatan dan efektivitas usaha budidaya.

(8)

Gambar 2. Contoh Konstruksi Kerangka KJA

2) wadah pemeliharaan a) waring dan jaring

Budidaya lobster menggunakan waring dan jaring.

Pemeliharaan lobster untuk segmentasi pertama, menggunakan waring dengan mesh size 1-4 mm, sedangkan untuk segmen berikutnya menggunakan jaring dengan mesh size minimal 0,75 inchi. Pelindung (cover net) diperlukan apabila dasar wadah pemeliharaan kedalamannya kurang dari 3 meter.

b) kerangkeng tenggelam

1. kerangkeng bentuk tabung Gambar 3. Contoh Konstruksi KJA

(9)

Wadah pemeliharaan budidaya lobster yang berbentuk tabung, dapat menggunakan kerangkeng buatan sendiri atau pabrikan. Kerangkeng ini biasanya dipakai untuk pemeliharaan lobster segmentasi pendederan I.

Wadah pemeliharaan ini dapat dibuat dengan kerangka dari besi yang tahan karat, pipa PVC yang dilengkungkan dan dibentuk tabung dengan diameternya 80 cm–100 cm dan tinggi 90 cm–100 cm.

Semua sisi kerangkeng dilapisi waring dengan mesh size maksimal 4 (empat) mm dan dilengkapi pipa pemberian pakan.

Gambar 4. Contoh kerangkeng bentuk tabung

(10)

2. kerangkeng bentuk kotak

Wadah pemeliharaan berbentuk kotak dapat digunakan pada pemeliharaan lobster pada segmentasi pendederan II, pembesaran I, dan pembesaran II. Ukuran ideal untuk segmentasi pendederan II adalah ukuran ideal wadah 120 cm x 120 cm x 100 cm. Sedangkan untuk mesh size jaring penutup sebesar 0,75 inchi. Bagian atas dilengkapi dengan pintu kontrol dan pipa pemberian pakan.

Gambar 5. Contoh wadah pendederan II

Untuk segmentasi pembesaran I dan pembesaran II wadah yang digunakan sama seperti pendederan II dengan ukuran ideal 300 cm x 300 cm x 100 cm dan jaring penutup sisi mesh size antara 1 (satu)-1,5 (satu koma lima) inchi.

(11)

Gambar 6. Contoh Keramba untuk pembesaran I dan pembesaran II lobster

b. Budidaya lobster di wadah terkontrol

Wadah terkontrol untuk budidaya lobster dapat berbentuk persegi atau bulat dan dapat terbuat dari beton, fiberglass, plastik/terpal dan lainya. Wadah pemeliharaan dilengkapi dengan sistem aerasi, air mengalir serta Shelter.

G. Penanganan Penyakit 1. Penyakit pada lobster

Penyakit yang biasa ditemukan dalam budidaya lobster disebabkan oleh jamur, bakteri, dan parasit.

a. Penyakit akibat jamur

Penyebab penyakit jamur pada stadia larva disebabkan oleh Lagenidium, Sirolpidium, dan Haliphtoros. Sedangkan pada stadia juvenil disebabkan oleh Fusarium.

Penyakit dipicu oleh perubahan lingkungan seperti perubahan salinitas dan curah hujan yang tinggi yang dapat menyebabkan kematian lobster.

Gejala penyakit yang disebabkan oleh Fusarium sp. (black gill disease) ditandai dengan menjadi lemah, menunjukkan lethargic, pucat, kesulitan bernafas, dan selalu berenang di dekat permukaan air. Insang rusak dan berubah warna menjadi merah coklat hingga hitam.

Gambar 7. Black gill disease pada P. ornatus (A) dan P. longipes (B)

(12)

Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis terhadap hasil pembiakan jamur pada media Sabouraud dextrose agar (SDA).

Gambar 8. Isolat jamur yang diisolasi dari lobster. A) Permukaan atas koloni (10 hari setelah inokulasi. B) Permukaan bawah koloni. C) Konidia dengan 4 septa

b. Penyakit akibat bakteri

Penyebab Milky Hemolymph Disease of Spiny Lobsters (MHD-SL) disebabkan oleh Rickettsia-like Bacteria (RLB).

Penularan penyakit dapat terjadi melalui kontak langsung dengan lobster yang terinfeksi dalam jaring apung yang sama atau melalui air yang terkontaminasi di antara jaring apung yang terletak bersebelahan.

Gejala awal penyakit ini ditandai dengan lemah, tidak aktif bergerak, nafsu makan turun drastis. Lobster yang terinfeksi berat oleh MHD-SL ditandai dengan bagian perut (abdomen) yang membengkak dan berwarna putih susu, hemolimfa berwarna putih susu (milky hemolymph) dan tidak menggumpal. Insang, hepatopankreas, dan usus berwarna putih (Gambar 9) serta segera mengalami kematian. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan lobster yang sehat (Gambar 10).

Deteksi adanya infeksi MHD-SL dilakukan dengan metode polymerase chain reaction (PCR).

(13)

Gambar 9. Lobster yang terinfeksi berat MHD-SL. A) abdomen, b) cairan putih susu yang keluar dari abdomen dan rongga organ dalam, c) milky hemolymph, d) insang dan hepatopancreas berwarna putih, e) usus berwarna putih dan tidak berisi makanan dan daging putih pucat dengan tekstur lembek

Gambar 10. Lobster yang tidak terinfeksi MHD-SL. A) abdomen cerah dan segar, b) insang cerah dan segar, c) usus segar berisi makanan dan daging putih segar, d) hepatopankreas kuning cerah.

c. Penyakit akibat infestasi parasit

Infestasi parasit pada lamela insang yang sering ditemukan pada lobster adalah ektoparasit Octolasmis sp. Octolasmis lowei menginfestasi Lobster bambu (P. vesicolor), sedangkan Octolasmis angulata menginfestasi Lobster bambu dan Lobster pasir (P.

homarus). Parasit ini menghambat pertukaran oksigen dan karbondioksida, karena insang tertutup oleh akumulasi parasit dan kotoran.

Penyakit dipicu oleh perubahan lingkungan seperti cemaran limbah.

Diagnosa adanya infestasi parasit dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara visual.

2. Pencegahan

Pencegahan penyakit pada lobster dapat dilakukan melalui peningkatan kesehatan dan daya tahan tubuh lobster dengan pemberian imunostimulan (vitamin C) dan multi vitamin, serta penerapan biosekuriti sesuai standar.

3. Pengobatan

a. Pengobatan penyakit lobster akibat infeksi jamur

Pengobatan dilakukan dengan perendaman dalam air laut yang ditambahkan formalin (formaldehyde 38-40%) dengan dosis 100-

(14)

200 ppm. Perendaman dilakukan selama 10-15 menit setiap hari pada pagi atau sore hari selama 3-4 hari berturut-turut.

b. Pengobatan penyakit lobster akibat infeksi bakteri

Lobster yang terinfeksi Milky Hemolymph Disease of Spiny Lobsters (MHD-SL) dikarantina dan dilakukan pengobatan menggunakan antibiotik yang terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

c. Pengobatan penyakit lobster akibat infestasi parasit

Pengobatan lobster yang diinfestasi parasit dengan cara mengoleskan antiparasit yang terdaftar di KKP pada bagian yang ditempeli Octolasmis sebanyak1 (satu) kali sehari selama 3 (tiga) hari atau pengobatan dapat dilakukan dengan merendam lobster dalam larutan antiparasit dengan dosis 1 (satu) ppm, selama 10-30 menit/hari, selama 3 (tiga) hari berturut-turut.

4. Pemusnahan

Pemusnahan dilakukan terhadap lobster yang terserang penyakit infeksi berat, yang dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, pembakaran dan/atau penguburan.

5. Pemulihan lingkungan budidaya

Pemulihan lingkungan budidaya dilaksanakan terhadap unit usaha budidaya yang mengalami serangan penyakit dengan cara pembersihan dan desinfeksi.

H. Penanganan Limbah

Kegiatan penanganan limbah untuk budidaya lobster di KJA dan di wadah pemeliharaan lainnya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip CBIB.

I. Penebaran Kembali (restocking)

Penebaran Kembali dilakukan dengan mekanisme:

1. penebaran kembali benih lobster/lobster hasil budidaya dilakukan di sekitar lokasi budidaya yang sesuai dengan habitat alami lobster atau kawasan konservasi;

2. jumlah yang ditebarkan kembali paling sedikit 2% (dua persen) dari hasil panen dalam satuan ekor sesuai dengan Segmentasi Usaha, atau apabila kegiatan usaha dilakukan dengan segmentasi terpadu maka jumlah penebaran kembali dihitung berdasarkan hasil panen segmen terakhir;

3. penebaran yang baik dilakukan pada saat intensitas cahaya rendah dan pada saat air laut pasang;

4. pelaksanaan penebaran kembali disertai penandatanganan Berita

(15)

Acara Penebaran Kembali oleh penyuluh dan petugas Dinas yang membidangi perikanan setempat atau Unit Pelaksana Teknis. Format Berita Acara Penebaran Kembali Lobster Hasil Budidaya sebagaimana tercantum pada Formulir 1

J. Lalu lintas benih lobster hasil budidaya

1. Pembudi Daya Ikan dapat melakukan lalu lintas Benih Lobster dari lokasi budidaya dalam wilayah negara Republik Indonesia untuk dilakukan Pembudidayaan dengan ketentuan ukuran Benih Lobster hasil pembudidayaan diatas atau sama dengan 5 (lima) gram. Lalu lintas Benih Lobster harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal yang diterbitkan oleh UPT atau Dinas

2. Mekanisme Penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) Benih Lobster/

Lobster yaitu Pembudidaya ikan mengajukan surat permohonan penerbitan SKA kepada dinas atau unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan budidaya dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada Formulir 2. Surat permohonan memuat informasi pembudidayaan (jenis dan segmentasi), jumlah hasil pembudidayaan (ekor dan berat total dalam kilogram), waktu periode pembudidayaan (bulan), lokasi pembudidayaan, titik koordinat, dan tujuan akhir produk.

a. Selanjutnya, dinas atau unit pelaksana teknis melakukan verifikasi lapangan terhadap pengajuan yang disampaikan oleh pemohon.

Hasil verifikasi dituangkan dalam berita acara verifikasi lapangan sebagaimana tercantum pada Formulir 3.

b. Dinas atau unit pelaksana teknis menerbitkan SKA paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah permohonan SKA dinyatakan lengkap dan sesuai. Format SKA sebagaimana tercantum pada Formulir 4.

c. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian data yang disampaikan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, dinas atau unit pelaksana teknis menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Surat penolakan sebagaimana tercantum pada Formulir 5.

d. Proses penerbitan SKA mulai dari input permohonan pembudi daya ikan, verifikasi lapangan, penerbitan atau penolakan SKA, serta pelaporan hasil pembudidayaan menggunakan aplikasi ketelusuran ikan. Dalam hal aplikasi ketelusuran ikan belum siap digunakan, proses penerbitan SKA dilakukan secara manual.

K. Mekanisme Pelaporan Pembudidayaan Lobster (Panulirus Spp.)

1. Dinas provinsi/kabupaten/kota yang membidangi perikanan dan unit pelaksana teknis melaporkan:

(16)

a. rekapitulasi dokumen surat keterangan asal;

b. kegiatan usaha pembudidayaan lobster di wilayah kerja yang meliputi jumlah produksi lobster budidaya, jumlah pembudidaya lobster, jumlah kelompok pembudidaya lobster, jumlah keramba jaring apung atau wadah budidaya lainnya (unit); dan

c. rekapitulasi kegiatan penebaran kembali (restocking).

2. Pelaporan oleh Dinas provinsi/kabupaten/kota yang membidangi perikanan disampaikan kepada Direktur Jenderal secara berjenjang.

3. Pelaporan oleh unit pelaksana teknis disampaikan kepada Direktur Jenderal dan ditembuskan ke Dinas kabupaten/kota yang membidangi perikanan.

4. Pelaporan dilakukan setiap 6 (enam) bulan pada minggu pertama melalui aplikasi ketelusuran ikan. Dalam hal aplikasi ketelusuran belum siap digunakan, proses pelaporan dilakukan secara manual.

Format pelaporan sebagaimana tercantum pada Formulir 8.

(17)

BAB II

PETUNJUK TEKNIS PEMBUDIDAYAAN KEPITING (Scylla spp.)

A. Usaha pembudidayaan kepiting

1. Usaha pembenihan kepiting yang menggunakan induk kepiting hasil penangkapan harus dilengkapi:

a. surat keterangan asal kepiting (Scylla spp.) dari unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan tangkap, unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan budidaya, atau Dinas. Format sebagaimana tercantum dalam Formulir 4; dan

b. surat keterangan usaha pembenihan dari Dinas. Format sebagaimana tercantum dalam Formulir 7. Dalam hal untuk mendapatkan surat keterangan usaha pembenihan, pembudidaya mengajukan permohonan sesuai format sebagaimana tercantum dalam Formulir 6.

2. Mekanisme penerbitan Surat Keterangan Asal Kepiting

a. Pembudidaya kepiting mengajukan surat permohonan penerbitan SKA kepada dinas atau unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan budidaya dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada Formulir 2. Surat permohonan memuat informasi pembudi daya ikan, jumlah hasil pembudidayaan (ekor dan berat total dalam kilogram), waktu periode pembudidayaan (bulan), lokasi pembudidayaan, titik koordinat, dan tujuan akhir produk (lokasi budidaya).

b. Selanjutnya, dinas atau unit pelaksana teknis melakukan verifikasi lapangan terhadap pengajuan yang disampaikan oleh pemohon.

Hasil verifikasi dituangkan dalam berita acara verifikasi lapangan sebagaimana tercantum pada Formulir 3.

c. Dinas atau unit pelaksana teknis menerbitkan SKA paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah permohonan SKA dinyatakan lengkap dan sesuai. Format SKA sebagaimana tercantum pada Formulir 4.

d. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian data yang disampaikan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, dinas atau unit pelaksana teknis menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Surat penolakan sebagaimana tercantum pada Formulir 5.

e. Proses penerbitan SKA mulai dari input permohonan pembudi daya ikan, verifikasi lapangan, penerbitan atau penolakan SKA, serta pelaporan hasil pembudidayaan menggunakan aplikasi ketelusuran

(18)

ikan. Dalam hal aplikasi ketelusuran ikan belum siap digunakan, proses penerbitan SKA dilakukan secara manual.

3. Mekanisme Pelaporan Pembudidayaan kepiting (Scylla spp.)

a. Dinas provinsi/kabupaten/kota yang membidangi perikanan dan unit pelaksana teknis melaporkan:

1) rekapitulasi dokumen surat keterangan asal; dan

2) kegiatan usaha pembudidayaan kepiting di wilayah kerja yang meliputi jumlah produksi kepiting, jumlah pembudidaya kepiting, jumlah kelompok pembudidaya kepiting.

b. Pelaporan oleh Dinas provinsi/kabupaten/kota yang membidangi perikanan disampaikan kepada Direktur Jenderal secara berjenjang.

c. Pelaporan oleh unit pelaksana teknis disampaikan kepada Direktur Jenderal dan ditembuskan ke Dinas kabupaten/kota yang membidangi perikanan.

d. Pelaporan dilakukan setiap 6 (enam) bulan pada minggu pertama melalui aplikasi ketelusuran ikan. Dalam hal aplikasi ketelusuran belum siap digunakan, proses pelaporan dilakukan secara manual.

Format pelaporan sesuai dengan Formulir 8.

B. Usaha pembudidayaan kepiting

1. Pembudi daya ikan skala Usaha pembudidaya kepiting meliputi usaha mikro, kecil, menengah, dan besar

2. Pembudi Daya Ikan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang akan melakukan Pembudidayaan kepiting harus mengajukan pendaftaran kepada Lembaga OSS, baik secara langsung atau dapat difasilitasi oleh Dinas

3. Pembudi Daya Ikan Usaha Menengah dan Usaha Besar yang akan melakukan Pembudidayaan kepiting harus mengajukan permohonan perizinan berusaha kepada Lembaga OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Pemilihan Lokasi Budidaya Kepiting

Pemilihan lokasi budidaya kepiting dengan memperhatikan persyaratan sesuai dengan wadah budidaya yang digunakan, meliputi:

1. Pembenihan kepiting

a. Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.

b. Parameter kualitas air optimal untuk pembenihan kepiting

(19)

Tabel 1. Parameter kualitas air optimal untuk pembenihan kepiting Jenis

parameter satuan Kisaran

Induk Larva Kultur Pakan Alami

Salinitas ppt 28 – 30 25- 30 30-32

pH 6,5 – 8,5 7,5 - 8,5 7,8 – 8,2

Suhu oC 28 – 32 28-32 28-32

Oksigen ppm >4 >4 >4

Logam

berat/pestisida minimum minimum minimum Minimum

Besi ppm < 1 < 1 < 1

Ammoniak

(NH3) ppm <0,1 <0,1 <0,1

Nitrit (NO2) ppm <0,1 <0,1 <0,1 Nitrat (NO3) ppm <10 <10 <10 Hidrogen

sulfida (H2S) ppm <0,003 <0,003 <0,003

c. tersedia sumber listrik yang kontinyu (PLN/Genset) untuk pompa, blower, dan penerangan;

d. wadah pemeliharaan dilengkapi aerasi; dan

e. kemudahan dalam memperoleh pakan, antara lain kekerangan dan ikan segar.

2. Budidaya kepiting di tambak

a. Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.

b. parameter kualitas air budidaya kepiting:

1) suhu antara 25 – 32oC, suhu optimum 28-30 oC;

2) toleransi salinitas berkisar antara 20 – 35 ppt, salinitas optimum berkisar 20 – 33 ppt;

3) DO > 4 ppm;

4) pH antara 7,5-8,5;

5) kecerahan < 1 m;

6) amoniak <0,3 mg/L;

7) kedalaman 0,2-1,0 meter; dan

8) perbedaan pasang surut antara 1,5–2 meter;

c. tanah tambak berlumpur dengan tekstur liat berpasir atau lempung berliat;

d. tersedianya akses jalan produksi; dan

e. kemudahan dalam memperoleh pakan, antara lain kekerangan dan ikan segar.

D. Fasilitas Prasarana dan Sarana 1. Benih

Sumber benih berasal dari hasil pemijahan dari unit pembenihan kepiting yang menerapkan standar perbenihan.

(20)

2. Pakan

Pakan yang digunakan dalam budidaya kepiting berupa pakan alami dan/atau pakan buatan yang sesuai dengan nutrisi yang diperlukan.

Pakan alami adalah organisme hidup atau mati baik tumbuhan maupun hewan yang dapat dikonsumsi oleh kepiting. Pakan alami yang diberikan dapat berupa ikan segar dan kekerangan. Kekerangan yang digunakan diutamakan berasal dari kegiatan budidaya. Sedangkan pakan buatan diutamakan menggunakan bahan baku lokal.

3. Obat ikan

Obat ikan yang digunakan adalah yang ditetapkan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya yaitu obat ikan yang telah mendapatkan nomor pendaftaran.

4. Wadah budidaya

a. Pembenihan kepiting

1) wadah pemeliharaan induk

wadah pemeliharaan induk dapat terbuat dari kayu, bambu atau keranjang plastik yang dilengkapi sekat-sekat pemeliharaan dengan ukuran optimal 60x60x75 cm dengan kepadatan per sekat 1 (satu) ekor induk.

2) wadah pemeliharaan larva

a) wadah pemeliharaan stadia zoea dapat berupa bak fiber atau beton kapasitas 300-1000 liter dengan warna gelap dan disarankan berbentuk tabung; dan

b) wadah pemeliharaan stadia megalopa dan crablet berupa bak fiber atau beton dengan kapasitas minimal 5000 liter dengan kedalaman wadah minimal 1 meter dan dilengkapi dengan instalasi aerasi dan shelter sebagai tempat menempel megalopa dan crablet.

Gambar 11. Contoh wadah pemeliharaan megalopa yang dilengkapi instalasi aerasi dan shelter

(21)

3) wadah pembesaran kepiting a. Tambak

Pembesaran kepiting bakau dapat dilakukan di tambak berlumpur tekstur tanah liat berpasir (sandy clay) atau lempung berliat (silty loam), atau menggunakan tambak beton atau yang dilapisi plastik HDPE atau LDPE. Pada sisi pematang tambak tanah bagian dalam dipasang pagar bambu atau bahan lainnya, dengan ketinggian minimal 60 cm dan ditancapkan dengan kedalaman ±40 cm.

b. keramba tancap (pen culture)

merupakan jaring yang dipasang pada kerangka bambu atau kayu yang ditancapkan pada dasar perairan, dengan ukuran minimal 5x5m dan ditempatkan pada lokasi pasang surut.

c. kurungan

kurungan yang terbuat dari bambu/waring/jaring/atau bahan lainya yang berbentuk persegi yang diletakan pada tambak atau lokasi daerah pasang surut dengan ukuran maksimal 2x2x2m.

d. keranjang plastik (crab box) atau kurungan bambu

keranjang plastik (crab box) atau kurungan bambu biasa digunakan untuk pemeliharaan kepiting soka. Ukuran keranjang bambu yang biasa digunakan 40x100 cm2.

Sedangkan keranjang plastik berukuran 45x35cm2, tiap keranjang disekat menjadi 8 (delapan) bagian dengan tiap- tiap sekat berukuran 12x15 cm. Kepiting dipelihara secara individu satu ekor per kotak (sistem baterai)

Gambar 12. Contoh Budidaya Kepiting Sistem Kurungan Bambu E. Penanganan Penyakit

1. Penyakit pada kepiting

Penyakit yang biasa ditemukan dalam budidaya kepiting disebabkan oleh jamur, bakteri, dan parasit.

(22)

a. Penyakit akibat jamur

Penyakit yang disebabkan oleh jamur umumya menyerang pada telur dan larva yaitu Lagenidium sp. Penyakit dipicu oleh perubahan lingkungan. Telur dan larva yang terserang penyakit ditandai adanya selaput berwarna putih seperti kapas dan larva akan mengendap di dasar wadah pemeliharaan.

b. Penyakit akibat bakteri

Bakteri yang ditemukan pada kepiting umumnya adalah Leucothrix sp. dan Vibrio sp. Penyakit dipicu oleh perubahan lingkungan.

Bakteri Leucothrix sp. menyerang pada telur dan larva yang menyebabkan telur rontok dan tidak menetas serta kematian pada larva. Vibrio sp. menyerang telur, larva, dan kepiting dewasa. Vibrio sp. yang menyerang pada larva bila diperiksa secara mikroscopis hepatopankreasnya terlihat berwarna lebih gelap dan banyak menyebabkan kematian hingga 100%, sedangkan pada kepiting dewasa, selain menyebabkan hepatopankreas berwarna pucat, juga menyebabkan cangkangnya menjadi keropos dan/atau berbercak putih.

c. Penyakit akibat parasit

Parasit yang ditemukan pada kepiting umumnya adalah jenis protozoa (Zoothamnium sp., Epistylis sp., Vorticella sp.,) dan Octolacmis sp. Penyakit dipicu oleh perubahan lingkungan. Protozoa menyerang pada telur dan larva yang menyebabkan telur lebih lama menetas, sedangkan pada larva menyebabkan kesulitan berenang dan lambat moulting hingga memicu kematian. Octolacmis sp.

umumnya menyerang pleopod, insang atau badan kepiting dewasa.

Kepiting dewasa yang terserang Octolacmis sp. akan terlihat tidak tenang, sering berputar-putar pada wadah pemeliharaan, nafsu makan menurun dan tubuh berwarna kusam.

2. Pencegahan

Pencegahan penyakit pada kepiting dapat dilakukan melalui peningkatan kesehatan dan daya tahan tubuh kepiting dengan pemberian multi vitamin, serta penerapan biosekuriti sesuai standar.

3. Pengobatan

a. Pengobatan penyakit kepiting akibat infeksi jamur

Larva yang terserang penyakit jamur diobati dengan pemberian larutan formalin (formaldehyde 38-40%) dengan dosis 30-50 ppm, dalam media pemeliharaan larva.

(23)

b. Pengobatan penyakit kepiting akibat infeksi bakteri

Pengobatan pada telur dan larva kepiting yang terinfeksi bakteri diobati dengan pemberian Oxytetracycline dengan dosis 5 (lima) ppm dalam media pemeliharaan. Pengobatan kepiting yang terinfeksi bakteri dilakukan dengan perendaman dalam larutan formalin (formaldehyde 38-40%) dengan dosis 30-50 ppm selama 10-15 menit.

c. Pengobatan penyakit kepiting akibat infestasi parasit

Pengobatan induk kepiting yang terserang infestasi parasit dilakukan dengan perendaman dalam larutan formalin (formaldehyde 38– 40%) dengan dosis 150 ppm selama 5-10 menit.

4. Pemusnahan

Pemusnahan dilakukan terhadap kepiting yang terserang penyakit infeksi berat, yang dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, pembakaran dan/atau penguburan.

5. Pemulihan lingkungan budidaya

Pemulihan lingkungan budidaya dilaksanakan terhadap unit usaha budidaya yang mengalami serangan penyakit dengan cara pembersihan dan desinfeksi.

F. Penanganan Limbah

Kegiatan penanganan limbah untuk budidaya kepiting di tambak dan di wadah pemeliharaan lainnya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip CBIB.

(24)

BAB III

PETUNJUK TEKNIS PEMBUDIDAYAAN RAJUNGAN (Portunus spp.)

A. Usaha pembudidayaan rajungan (Portunus spp.)

1. Usaha pembenihan rajungan yang menggunakan induk rajungan hasil penangkapan harus dilengkapi:

a. surat keterangan asal rajungan dari unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan tangkap, unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan budidaya, atau Dinas, format sebagaimana tercantum dalam Formulir 4; dan

b. surat keterangan usaha pembenihan dari Dinas. Format sebagaimana tercantum dalam Formulir 7. Dalam hal untuk mendapatkan surat keterangan usaha pembenihan, pembudidaya mengajukan permohonan sesuai format sebagaimana tercantum dalam Formulir 6.

2. Mekanisme penerbitan Surat Keterangan Asal rajungan

a. Pembudidaya rajungan mengajukan surat permohonan penerbitan SKA kepada dinas atau unit pelaksana teknis yang membidangi perikanan budidaya dengan menggunakan format sebagaimana tercantum pada Formulir 2. Surat permohonan memuat informasi pembudi daya ikan, jumlah hasil pembudidayaan (ekor dan berat total dalam kilogram), waktu periode pembudidayaan (bulan), lokasi pembudidayaan, titik koordinat, dan tujuan akhir produk (lokasi budidaya).

b. Selanjutnya, dinas atau unit pelaksana teknis melakukan verifikasi lapangan terhadap pengajuan yang disampaikan oleh pemohon.

Hasil verifikasi dituangkan dalam berita acara verifikasi lapangan sebagaimana tercantum pada Formulir 3.

c. Dinas atau unit pelaksana teknis menerbitkan SKA paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah permohonan SKA dinyatakan lengkap dan sesuai. Format SKA sebagaimana tercantum pada Formulir 4.

d. Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian data yang disampaikan dengan kondisi sebenarnya di lapangan, dinas atau unit pelaksana teknis menolak permohonan yang diajukan oleh pemohon. Surat penolakan sebagaimana tercantum pada Formulir 5.

e. Proses penerbitan SKA mulai dari input permohonan pembudi daya ikan, verifikasi lapangan, penerbitan atau penolakan SKA, serta pelaporan hasil pembudidayaan menggunakan aplikasi ketelusuran

(25)

ikan. Dalam hal aplikasi ketelusuran ikan belum siap digunakan, proses penerbitan SKA dilakukan secara manual.

3. Mekanisme Pelaporan Pembudidayaan rajungan

a. Dinas provinsi/kabupaten/kota yang membidangi perikanan dan unit pelaksana teknis melaporkan:

1) rekapitulasi dokumen surat keterangan asal; dan

2) kegiatan usaha pembudidayaan rajungan di wilayah kerja yang meliputi jumlah produksi rajungan, jumlah pembudidaya rajungan, dan jumlah kelompok pembudidaya rajungan.

b. Pelaporan oleh Dinas provinsi/kabupaten/kota yang membidangi perikanan disampaikan kepada Direktur Jenderal secara berjenjang.

c. Pelaporan oleh unit pelaksana teknis disampaikan kepada Direktur Jenderal dan ditembuskan ke Dinas kabupaten/kota yang membidangi perikanan.

d. Pelaporan dilakukan setiap 6 (enam) bulan pada minggu pertama melalui aplikasi ketelusuran ikan. Dalam hal aplikasi ketelusuran belum siap digunakan, proses pelaporan dilakukan secara manual.

Format pelaporan sesuai dengan Formulir 8.

B. Usaha pembudidayaan rajungan

1. Pembudi daya ikan skala Usaha pembudidaya rajungan meliputi usaha mikro, kecil, menengah, dan besar

2. Pembudi Daya Ikan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang akan melakukan Pembudidayaan rajungan harus mengajukan pendaftaran kepada Lembaga OSS, baik secara langsung atau dapat difasilitasi oleh Dinas

3. pembudi Daya Ikan Usaha Menengah dan Usaha Besar yang akan melakukan Pembudidayaan rajungan harus mengajukan permohonan perizinan berusaha kepada Lembaga OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. Pemilihan Lokasi Budidaya rajungan

Pemilihan lokasi budidaya rajungan dengan memperhatikan persyaratan sesuai dengan wadah budidaya yang digunakan, meliputi:

1. Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.

2. Parameter kualitas air optimal untuk budidaya rajungan.

a. suhu antara 25 – 32 oC, suhu optimum 28-30 oC;

(26)

b. toleransi salinitas berkisar antara 25 – 35 ppt, salinitas optimum berkisar 30 – 33 ppt;

c. DO > 4 ppm;

d. pH antara 7,5-8,5;

e. kecerahan > 1 m;

f. amoniak < 0,1 mg/L;

g. kedalaman > 0,75 meter; dan

h. perbedaan pasang surut antara 1,5–2 meter,

dalam kegiatan pembenihan rajungan, parameter kecerahan dan perbedaan pasang surut tidak menjadi kriteria kualitas air karena wadah budidaya dilakukan di wadah terkontrol;

3. lokasi diutamakan dekat dengan sumber air laut atau pantai;

4. tersedia sumber listrik yang kontinyu (PLN/Genset) untuk pompa, blower, dan penerangan;

5. wadah pemeliharaan dilengkapi aerasi; dan

6. kemudahan dalam memperoleh pakan, antara lain kekerangan dan ikan segar.

D. Fasilitas Prasarana dan Sarana 1. Benih

Sumber benih berasal dari hasil pemijahan dari unit pembenihan rajungan yang menerapkan standar perbenihan.

2. Pakan

Pakan yang digunakan dalam budidaya rajungan berupa pakan alami dan/atau pakan buatan yang sesuai dengan nutrisi yang diperlukan.

Pakan alami adalah organisme hidup atau mati baik tumbuhan maupun hewan yang dapat dikonsumsi oleh rajungan. Pakan alami yang diberikan dapat berupa ikan segar dan kekerangan. Kekerangan yang digunakan diutamakan berasal dari kegiatan budidaya.

Sedangkan pakan buatan diutamakan menggunakan bahan baku lokal.

3. Obat ikan

Obat ikan yang digunakan adalah yang ditetapkan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya yaitu obat ikan yang telah mendapatkan nomor pendaftaran.

4. Wadah budidaya

a. Pembenihan rajungan

1) Wadah pemeliharaan induk

wadah pemeliharaan induk dapat terbuat dari kayu, bambu atau keranjang plastik yang dilengkapi sekat-sekat

(27)

pemeliharaan dengan ukuran optimal 60x60x75 cm dengan kepadatan per sekat 1 (satu) ekor induk.

2) Wadah pemeliharaan larva

a. wadah pemeliharaan stadia zoea dapat berupa bak fiber atau beton kapasitas 300-1000 liter dengan warna gelap dan disarankan berbentuk tabung; dan

b. wadah pemeliharaan stadia megalopa dan crablet berupa bak fiber atau beton dengan kapasitas minimal 5000 liter dengan kedalaman wadah minimal 1 meter dan dilengkapi dengan instalasi aerasi dan shelter sebagai tempat menempel megalopa dan crablet.

b. Pembesaran rajungan

Pembesaran rajungan dapat dilakukan di tambak tanah, beton atau yang dilapisi plastik HDPE atau LDPE. Sebaiknya memiliki satu petak tambak pendederan dan dua petak tambak pembesaran.

Apabila petak tambak yang digunakan terbatas dapat menggunakan waring sebagai sekat-sekat pemeliharaan.

Keterangan ; PP : Petak Pendederan (20% dari luasan pembesaran; PB1 : Petak Pembesaran 1 (untuk jantan) : PB2 : Petak Pembesaran 2 (untuk betina)

Gambar 13. Contoh Tata Letak Tambak Pembesaran Rajungan E. Penanganan Penyakit

1. Penyakit pada rajungan

Penyakit yang biasa ditemukan dalam budidaya rajungan disebabkan oleh jamur, bakteri, dan parasit.

a. Penyakit akibat jamur

Penyakit yang disebabkan oleh jamur umumya menyerang pada telur dan larva yaitu Lagenidium sp. Penyakit dipicu oleh perubahan lingkungan. Telur dan larva yang terserang penyakit ditandai adanya selaput berwarna putih seperti kapas, dan larva akan mengendap di dasar wadah pemeliharaan.

P P

PB1

PB2

(28)

b. Penyakit akibat bakteri

Bakteri yang ditemukan pada rajungan umumnya adalah Leucothrix sp. dan Vibrio sp. Penyakit dipicu oleh perubahan lingkungan.

Bakteri Leucothrix sp. menyerang pada telur dan larva yang menyebabkan telur rontok dan tidak menetas serta kematian pada larva. Vibrio sp. menyerang telur, larva, dan rajungan dewasa.

Vibrio sp. yang menyerang pada larva bila diperiksa secara mikroscopis hepatopankreasnya terlihat berwarna lebih gelap dan banyak menyebabkan kematian hingga 100%, sedangkan pada rajungan dewasa, selain menyebabkan hepatopankreas berwarna pucat, juga menyebabkan cangkangnya menjadi keropos dan/atau berbercak putih.

c. Penyakit akibat parasit

Parasit yang ditemukan pada rajungan umumnya adalah jenis protozoa (Zoothamnium sp., Epistylis sp., Vorticella sp.,) dan Octolacmis sp. Penyakit dipicu oleh perubahan lingkungan. Protozoa menyerang pada telur dan larva yang menyebabkan telur lebih lama menetas, sedangkan pada larva menyebabkan kesulitan berenang dan lambat moulting hingga memicu kematian. Octolacmis sp.

umumnya menyerang pleopod, insang atau badan rajungan dewasa.

Rajungan dewasa yang terserang Octolacmis sp. akan terlihat tidak tenang, sering berputar-putar pada wadah pemeliharaan, nafsu makan menurun dan tubuh berwarna kusam.

2. Pencegahan

Pencegahan penyakit pada rajungan dapat dilakukan melalui peningkatan kesehatan dan daya tahan tubuh rajungan dengan pemberian multi vitamin, serta penerapan biosekuriti sesuai standar.

3. Pengobatan

a. Pengobatan penyakit rajungan akibat infeksi jamur

Larva yang terserang penyakit jamur diobati dengan pemberian larutan formalin (formaldehyde 38-40%) dengan dosis 30-50 ppm, dalam media pemeliharaan larva.

b. Pengobatan penyakit rajungan akibat infeksi bakteri

Pengobatan pada telur dan larva rajungan yang terinfeksi bakteri diobati dengan pemberian Oxytetracycline dengan dosis 5 (lima) ppm dalam media pemeliharaan. Pengobatan rajungan yang terinfeksi bakteri dilakukan dengan perendaman dalam larutan

(29)

formalin (formaldehyde 38-40%) dengan dosis 30-50 ppm selama 10-15 menit.

c. Pengobatan penyakit rajungan akibat infestasi parasit

Pengobatan induk rajungan yang terserang infestasi parasit dilakukan dengan perendaman dalam larutan formalin (formaldehyde 38– 40%) dengan dosis 150 ppm selama 5-10 menit.

4. Pemusnahan

Pemusnahan dilakukan terhadap rajungan yang terserang penyakit infeksi berat, yang dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia, pembakaran dan/atau penguburan.

5. Pemulihan lingkungan budidaya

Pemulihan lingkungan budidaya dilaksanakan terhadap unit usaha budidaya yang mengalami serangan penyakit dengan cara pembersihan dan desinfeksi.

F. Penanganan Limbah

Kegiatan penanganan limbah untuk budidaya rajungan di tambak dan di wadah pemeliharaan lainnya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip CBIB.

DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA, ttd.

TB. HAERU RAHAYU

Salinan sesuai dengan aslinya

Sekretaris Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,

(30)

DAFTAR FORMULIR Formulir 1

BERITA ACARA PENEBARAN KEMBALI LOBSTER HASIL BUDIDAYA

Nomor : ...

Pada hari ini ………… tanggal ……… bulan ……….. tahun

………. yang bertanda tangan di bawah ini :

1. Nama : ………..

2. NIB : ………..

3. Jabatan : ...

4. Kelompok / Perusahaan : ………..

Dengan ini menyatakan bahwa telah dilakukan penebaran kembali berupa lobster hasil budidaya dengan ukuran ………gram sebanyak ………

ekor, yang berlokasi di Perairan ………., Desa/Kelurahan ………, Kecamatan

………, Kota/Kabupaten ……….., Provinsi ……….

Dengan disaksikan oleh (penyuluh perikanan, dinas provinsi/kabupaten/kota dan/atau petugas UPT) :

1. Nama : ………..

2. Jabatan : ………..

3. Alamat : ...

dan/atau

1. Nama : ………..

2. Jabatan : ………..

3. Alamat : ...

Demikian Berita Acara Penebaran Kembali Lobster Hasil Budidaya ini dibuat dengan sebenarnya dengan kondisi sadar serta disaksikan dan ditandangani oleh Para Pihak pada hari ini dan tanggal tersebut di atas, untuk dipergunakan sebaik – baiknya dengan penuh tanggung jawab.

Pelaksana Kegiatan

(………..) NIK. ………..

Menyaksikan

(………) (………..)

Jabatan ……… Jabatan …………

Mengetahui

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi/Kabupaten/Kota atau Kepala Unit Pelaksana Teknis KKP (………)

NIP. ………

Tembusan Yth:

1. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya 2. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap 3. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut

4. Direktur Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan

5. Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan 6. Kepala Dinas Provinsi yang membidangi Perikanan

(31)

Formulir 2

Surat Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) Benih Lobster /Lobster (Panulirus spp.)/Kepiting (Scylla spp.)/Rajungan

(Portunus spp.) Hasil Pembudidayaan

(Kop Pembudidaya/Kelompok Pembudidaya Lobster (Panulirus spp.)/Kepiting (Scylla spp.)/Rajungan (Portunus spp.)*) “….”/Instansi)

(tempat kedudukan, tanggal bulan tahun) Yth.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota/ Unit Pelaksana Teknis*).

di - Tempat

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : …….

NIK/SIM/NIP : …….

Pekerjaan : Peneliti/Perekayasa/Pembudidaya*) (lobster/kepiting/rajungan*)

Kelompok

/Perusahaan/Instansi:

Dengan ini mengajukan permohonan penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) benih lobster/lobster/kepiting/rajungan*) yang dilengkapi data:

1. informasi pembudidayaan : ………(jenis dan segmentasi) 2. jumlah hasil pembudidayaan : ………(ekor atau kilogram) 3. waktu periode pembudidayaan : ………(bulan)

4. lokasi pembudidayaan : ………(desa, kecamatan dan kabupaten) 5. titik koordinat : ……….

6. tujuan akhir produk :…..…(lokasi budidaya atau tujuan ekspor) Demikian permohonan ini disampaikan untuk dipertimbangkan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Peneliti/Perekayasa/Pembudidaya ttd

(Nama)

(32)

Formulir 3

Berita Acara Verifikasi Lapangan

Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) Benih Lobster/Lobster (Panulirus spp.)/Kepiting (Scylla spp.)/Rajungan (Portunus spp.)

Hasil Pembudidayaan

(Kop Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis)

BERITA ACARA VERIFIKASI NOMOR:

Pada hari ini …………, tanggal …..., bulan …………, tahun …………, telah dilakukan verifikasi lapangan terhadap permohonan penerbitan Surat Keterangan Asal yang diajukan oleh ………. di ………..

Dengan ini kami menyatakan bahwa telah dilakukan verifikasi jumlah benih lobster/lobster/kepiting/rajungan*) sebanyak …… ekor/kilogram*) yang dibudidayakan oleh ……dan tujuan akhir produk……….(lokasi budidaya atau tujuan ekspor). Detail informasi jumlah benih lobster /lobster/kepiting/rajungan*) sebagaimana terlampir.

Demikian Berita Acara ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

*) pilih yang sesuai.

Verifikator 1 Verifikator 2

………. ……….

NIP. ……… NIP. ………

(33)

Lampiran Berita Acara Verifikasi Lapangan Permohonan Surat Keterangan Asal Benih Lobster/ Lobster/Kepiting/ Rajungan Hasil Pembudidayaan

No. Nama Pembudidaya Lokasi Pembudidayaan Jenis Benih

Lobster/Lobster/Kepiting/Rajungan Jumlah (Ekor/Kilogram)

Dokumentasi

Rekomendasi dan Kesimpulan

Verifikator 1 Verifikator 2

………. ……….

NIP. ……… NIP. ………

(34)

Formulir 4

Surat Keterangan Asal (SKA) Benih Lobster/Lobster (Panulirus spp.)/Kepiting (Scylla spp.)/Rajungan (Portunus spp.) Hasil Pembudidayaan

(Kop Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis)

Surat Keterangan Asal

Benih Lobster /Lobster (Panurilus spp.)/Kepiting (Scylla spp.)/Rajungan (Portunus spp.)*)

Hasil Pembudidayaan Nomor: …………

Jenis :

Jumlah :

Lokasi Pembudidayaan :

Titik Koordinat :

Waktu Pembudidayaan :

Pembudidaya :

NIB :

Tujuan Akhir Produk :

(tempat kedudukan, tanggal bulan tahun) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis/

NIP……….

Tembusan:

1. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya.

2. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan danPerikanan.

3. Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan.

(35)

Formulir 5

Surat Penolakan Penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) Benih Lobster /Lobster (Panulirus spp.)/Kepiting (Scylla spp.)/Rajungan

(Portunus spp.) Hasil Pembudidayaan

(Kop Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis)

Yth.

(Pemohon SKA)

di - Tempat

Menindaklanjuti surat permohonan penerbitan Surat Keterangan Asal Benih Lobster/Lobster/Kepiting/Rajungan*) Hasil Pembudidayaan yang Saudara sampaikan pada tanggal ………, telah dilakukan verifikasi terhadap permohonan dimaksud. Bersama ini disampaikan bahwa permohonan Saudara untuk penerbitan Surat Keterangan Asal pada tanggal …… tidak dapat diproses lebih lanjut.

Demikian kami sampaikan untuk dapat dipergunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dikeluarkan di : ………….

Pada tanggal : ………….

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit

Pelaksana Teknis ……

……….

NIP……….

*) pilih yang sesuai

(36)

Formulir 6

Surat Permohonan Penerbitan Surat

Keterangan Usaha Pembenihan Kepiting/Rajungan

(Kop Pembudidaya)

(tempat kedudukan, tanggal bulan tahun)

Yth.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota *).

di - Tempat

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : …….

NIB : ……..

NIK/SIM/NIP : …….

Kelompok/Perusahaan :

Dengan ini mengajukan permohonan penerbitan Surat Keterangan Usaha Pembenihan Kepiting/Rajungan*) yang dilengkapi data:

1. informasi sarana pembenihan : ……… (jumlah wadah, luas bangunan) 2. jumlah produksi benih : ……… (ekor/siklus)

3. jumlah induk : ……… (ekor) 4. titik koordinat : ……….

Demikian permohonan ini disampaikan untuk dipertimbangkan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Pembudidaya ttd

(Nama)

(37)

Formulir 7

(Kop Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota) Surat Keterangan Usaha Pembenihan Kepiting/Rajungan

Nomor...

Sehubungan dengan permohonan dari ... Nomor ... tanggal .... hal ...

dan berdasarkan hasil verifikasi yang telah dilaksanakan, dengan ini memberikan Surat Keterangan Usaha Pembenihan Kepiting/Rajungan*) kepada:

Nama Pembudidaya :

NIB :

Alamat Usaha :

Dengan ketentuan sebagai berikut :

Surat Keterangan ini digunakan sebagai bukti telah melakukan usaha pembenihan Kepiting/Rajungan*).

Surat keterangan ini berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten /Kota …….

………..

(38)

Formulir 8

Pelaporan Hasil Pembudidayaan Benih Lobster/Lobster (Panulirus spp.)/Kepiting (Scylla spp.)/Rajungan (Portunus spp.)

(Kop Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis)

(tempat kedudukan, tanggal bulan tahun)

Yth.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis/Direktur Jenderal Perikanan Budidaya*)

di - Tempat

Sehubungan dengan usaha pembudidayaan benih lobster/lobster/kepiting/

rajungan*) di Kabupaten/Kota ……. Provinsi …….., bersama ini disampaikan laporan rekapitulasi Surat keterangan Asal, laporan hasil pembudidayaan, dan laporan penebaran kembali untuk benih lobster/lobster tersebut sebagaimana terlampir.

Demikian kami sampaikan. atas perhatian Bapak, diucapkan terima kasih.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis

ttd

………

NIP. ……….

*) pilih yang sesuai

(39)

Lampiran Rekapitulasi Surat Keterangan Asal

No. Nama Pemohon No SKA Tanggal SKA Tujuan Akhir Produk Keterangan

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis ttd

………

NIP. ……….

*) pilih yang sesuai

(40)

Lampiran Hasil Pembudidayaan Benih Lobster/Lobster/Kepiting/Rajungan

No. Nama Pembudidaya

Daerah Pembudidayaan

dan Titik Koordinat

Jumlah BBL yang dibudidayakan

(ekor)

Jumlah Benih Lobster/Lobster yang dihasilkan Jumlah Kepiting/Rajungan

yang dihasilkan (ekor/kilogram) *)

Jenis Benih Lobster/

Lobster/Kepiting/

Rajungan*)

Tujuan Akhir Produk (Budidaya/

Ekspor) Pendederan

I*) (ekor)

Pendederan II*) (ekor)

Pembesaran I*) (ekor dan kilogram)

Pembesaran II*) (ekor dan kilogram)

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis ttd

………

NIP. ……….

*) pilih yang sesuai

(41)

Lampiran Rekapitulasi Penebaran Kembali (Restocking) Benih Lobster/Lobster Hasil Pembudidayaan

No. Nama

Pelaksana

Nomor Berita Acara Penebaran

Kembali

Waktu Penebaran

Ukuran dan Jumlah yang

Ditebar Lokasi Penebaran Kembali

Keterangan (gram) (ekor) Perairan Koordinat

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

Provinsi/Kabupaten/Kota/Unit Pelaksana Teknis ttd

………

NIP. ……….

*) pilih yang sesuai

Gambar

Gambar 1. Contoh Bak Pendederan Benih Bening Lobster
Gambar 2.  Contoh Konstruksi Kerangka KJA
Gambar 4. Contoh kerangkeng bentuk tabung
Gambar 5. Contoh wadah pendederan II
+7

Referensi

Dokumen terkait

dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Pemerintah Sarana dan Prasarana

Sebagai produk pertanian, susu digolongkan sebagai produk yang sangat mudah rusak (perishable), sehingga dibutuhkan teknologi pengawetan untuk memperpanjang waktu, khususnya

Mekanisme penyaluran bantuan pembayaran premi APPIK mulai dari pengusulan/permohonan, penetapan Pembudi Daya Ikan Kecil Penerima Bantuan Pemerintah Premi APPIK,

100% sesuai dengan Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2017 dan menyerahkan kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA menerima dengan baik barang

bahwa dalam rangka mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan bantuan sarana dan prasarana berbasis kelembagaan, perlu meninjau kembali Peraturan Direktur Jenderal Perikanan

Telah menerima barang Bantuan Prasarana dan Sarana Budidaya Berbasis Kelembagaan Tahun Anggaran 2017 dari Satker Direktorat Produksi dan Usaha Budidaya, Direktorat Jenderal

Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor 29/PER- DJPB/2017 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Benih Ikan Oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Provinsi

Kegiatan prioritas bantuan benih merupakan kegiatan UPT kepada Kelompok Pembudidaya Ikan. Petunjuk teknis kegiatan bantuan benih ikan ini diharapkan mampu