• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Sains

IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam adalah sebuah rumpun ilmu yang berkaitan langsung dengan fenomena-fenomena alam serta materiil yang runtut yang merupakan gabungan hasil eksperimen dan observasi para ilmuwan.

Dengan kata lain, ilmu sains bukan semata perkumpulan dari zat, dan materi dari benda hidup melainkan tentang sistematik, cara berpikir, serta pemecahan permasalahan yang ada (Jumhana, 2009).

Asas/hakikat ilmu sains merupakan suatu pijakan untuk mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam itu sendiri (Tursinawati, 2016). Metode mencari informasi mengenai fenomena-fenomena alam semesta secara runtut bukan hanya menguasai tentang gabungan ilmu kasat mata, konsep, prinsip, melainkan sebuah prosedur menemukan sesuatu (BSNP, Laporan Badan Standar Nasional Pendidikan Tahun 2010, 2011). Pandangan mengenai metode sains, prosesi terbentuknya sains, serta sikap yakin yang terarah demi mengembangkan sains juga merupakan hakikat dari sains itu sendiri (Abd-El-Khalick, M, & Le, 2008).

Secara umum, sains terbagi menjadi 3 bidang, yang pertama adalah ilmu fisika, yang kedua adalah ilmu biologi, dan yang ketiga adalah ilmu kimia. Asas utama dari Ilmu Pengetahuan Alam adalah sebuah produk, proses, dan juga sebuah aplikasi atau penerapan. Sains sebagai produk memiliki arti bahwa IPA adalah gabungan dari pengetahuan-pengetahuan dan sekumpulan konsep serta bagan konsep. Sains sebagai proses dimana IPA adalah suatu proses yang digunakan untuk melakukan observasi terhadap suatu objek, melakukan penemuan, dan melakukan pengembangan dari produk-produk sains itu sendiri.

Sains sebagai aplikasi atau penerapan, dimana diharapkan bahwa teori-teori yang terdapat di dalam rumpun ilmu IPA akan dapat mewujudkan teknologi- teknologi yang bisa memberikan kemudahan kehidupan dunia (Trianto, 2010).

(2)

2. Pembelajaran IPA

Pendidikan IPA adalah hal yang sangat krusial di dalam kehidupan, yang merupakan suatu mata pembelajaran yang sekaligus mampu meningkatkan ilmu pengetahuan umum, keberanian, keterampilan dalam berpikir, dan melalui permasalahan-permasalahan yang ada di dalam mata pelajaran IPA, maka para siswa mampu melatih kemampuan berpikir mereka secara kritis melalui gejala- gejala dan fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Siswa-siswi dapat turut serta secara langsung di dalam proses belajar mengajar sehingga mereka tidak hanya terpancang pada hafalan saja tetapi bisa memahami secara langsung sehingga para peserta didik semakin tertarik dalam menggali informasi dan banyak hal, keadaan tersebut termasuk ke dalam asas ipa sebagai suatu proses (Nuriyana, 2017).

Ilmu pembelajaran IPA sangat berkaitan dengan alam dan lingkungan sekitar, diajarkan untuk mencerna suatu teori berdasarkan fakta yang riil melalui metode yang ilmiah. Pembelajaran di tingkat Sekolah Menengah Pertama harus dilakukan secara mendasar agar para peserta didik dapat melibatkannya dengan kehidupannya sehari-hari karena dasar dari ilmu IPA adalah kondisi yang alami dari kehidupan nyata para peserta didik. Pembelajaran IPA memprioritaskan kepada hubungan materi yang diajarkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh para peserta didik sebelumnya (Rahmatiah, 2014).

Berkaitan dengan hal tersebut, sejauh ini pengajaran IPA belum mencapai standar yang diinginkan. Hal ini dikarenakan pembelajaran IPA masih sebatas membekali siswa dengan ilmu pengetahuan, bahkan guru yang hanya berbicara tentang IPA, bukan pelajaran IPA. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilakukan perbaikan proses pembelajaran untuk menumbuhkan minat dan motivasi siswa .

3. Model Problem Based Learning (PBL)

a. Pengertian Model Problem Based Learning (PBL)

Pada masa sekarang ini dimana kemajuan teknologi dan pendidikan sangat pesat, pembelajaran yang sifatnya tradisional sudah tertinggal dan

(3)

kurang efektif apabila diajarkan kepada para peserta didik. Pada pendidikan sekarang ini, para guru sudah bukan lagi sebagai aktor utama di dalam kelas, melainkan sebagai fasilitator dan juga stimulator, dan pembelajarannya harus terpusat kepada para peserta didik, jadi guru hanya membantu berjalannya kegiatan belajar mengajar di kelas. Salah satu model pembelajaran yang mendukung hal tersebut adalah model pembelajaran PBL atau problem based learning, yang menekankan siswa terhadap pemberian kasus atau permasalahan yang harus dituntaskan (Trianto, 2010).

Pembelajaran yang berbasis kepada permasalahan di awal kegiatan belajar ini sangat berkaitan dengan kurikulum dan juga proses belajar, yang memiliki arti bahwa kurikulumnya dirancang berdasarkan dari masalah- masalah yang memang dibutuhkan oleh para peserta didik untuk memicu siswa dalam berpikir secara kritis dan mendorong siswa untuk belajar memecahkan suatu masalah secara efektif. Menurut Rusman, sistem belajar yang ditekankan pada permasalahan secara individu maupun team adalah inovasi dalam kegiatan belajar mengajar dikarenakan hal ini dapat menstimulasi pemberdayaan kinerja otak mereka untuk mengembangkan kemampuan berpikir, menguji, dan mengasah otak mereka (Rusman, 2011).

Problem Based Learning membantu mendukung pengembangan kemampuan para peserta didik guna memecahkan masalah-masalah yang memiliki orientasi terhadap masalah kehidupan nyata para peserta didik untuk menstimulasi kemampuannya dalam berpikir tingkat tinggi. Para peserta didik sudah di desain untuk melaksanakan penyelidikan di dalam penemuan solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh mereka sehingga menjadi peserta didik yang mandiri dalam kegiatan belajar. Fokus dari sistem pembelajaran ini terletak pada konsepnya yang dipilih, para peserta didik tidak hanya mengetahui konsep-konsep yang dihubungkan dengan masalah tapi metode ilmiah juga guna menangani masalah tersebut (Richard &

Arends, 2015).

Menurut beberapa teori yang telah dikemukakan diatas, maka kesimpulannya problem based learning adalah pembelajaran yang

(4)

dihadapkan dengan masalah yang menstimulasi para peserta didik untuk tidak pasif dalam proses kegiatan belajar mengajar. Para peserta didik bukan hanyalah menerima suatu konsep maupun bahan ajar saja, tetapi mereka dapat menyelesaikan suatu permasalahan dan mencari informasi seluas- luasnya secara mandiri lalu melakukan analisis dan dapat menemukan suatu solusi untuk permasalahan tersebut sehingga kemampuan berpikir kritis para peserta didik juga akan terasah.

b. Sintaks Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Menurut (Arends, 2012), sistem belajar yang menekankan pada permasalahan hendaknya disesuaikan dengan dengan langkah pembelajaran.

Berikut tahap-tahap pelaksanaan model problem based learning menurut Arends :

1) Mengorientasikan peserta didik terhadap permasalahan.

Pada tahap orientasi ini, Bapak/Ibu guru memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran, memberikan penjelasan mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh para peserta didik, serta memberikan motivasi kepada peserta didik agar terlibat secara langsung di dalam kegiatan pemecahan permasalahan yang akan disajikan.

2) Mengorganisasikan peserta didik menjadi kelompok-kelompok

Tahap organisasi peserta didik ini, Bapak/Ibu guru memerintahkan para peserta untuk membentuk beberapa kelompok, kemudian guru memberikan arahan-arahan dan petunjuk tentang kasus yang akan diberikan

3) Melakukan pembimbingan penyelidikan kepada peserta didik

Guru membantu mendorong siswa untuk mencari data-data yang dibutuhkan, melakukan penyelidikan demi mendapat pemecahan masalah dan juga solusi dari permasalahan

4) Pengembangan dan penyajian hasil kasus

Guru mengamati para siswa pada saat perencanaan dan penyiapan kesimpulan permasalahan sambil menjawab pertanyaan apabila ada siswa yang kesusahan

(5)

5) Analisis dan evaluasi hasil pemecahan masalah

Guru memberikan bantuan kepada para siswa dalam merefleksi dan mengevaluasi proses maupun hasil akhir dari pemecahan masalah yang sudah dilaksanakan oleh para siswa.

Tabel 2. 1 Sintaks Pembelajaran PBL

Fase Deskripsi

Fase 1.

Review dan penyajian permasalahan Bapak/Ibu guru memberikan review terhadap informasi yang diperlukan oleh siswa untuk proses pemecahan masalah kemudian memberikan permasalahan yang spesifik untuk dipecahkan oleh para peserta didik

1. Guru harus mampu untuk membuat para peserta didik tertarik ke dalam proses kegiatan belajar

2. Guru memberikan penilaian terhadap pengetahuan awal siswa

3. Guru mengajak siswa untuk terfokus kepada kegiatan belajar yang akan dilaksanakan Fase 2.

Penyusunan strategi

Para peserta didik melakukan penyusunan cara-cara pemecahan permasalahan, kemudian Bapak/ Ibu guru membantu mereka berupa pemberian feedback terhadap cara/strategi yang sudah mereka buat

Guru memonitor para peserta didik agar sudah benar dalam penggunaan metode pembelajaran yang berfungsi untuk pemecahan masalah (problem solving).

Fase 3

Penerapan strategi

Para peserta didik melakukan penerapan terhadap strategi yang telah mereka buat, kemudian guru mengawasi kinerja mereka

Guru memberikan pengalaman belajar kepada para peserta didik untuk pemecahan permasalahan yang disajikan

Fase 4

Pembahasan dan evaluasi hasil

Guru melakukan diskusi terhadap hasil kerja para peserta didik

Guru memberikan feedback kepada para peserta didik mengenai hasil mereka

Sumber (Eggen & Kauchak, 2012).

(6)

c. Karakteristik Berpikir Kritis

Karakteristik berpikir kritis menurut (Ennis R. H., 2011), acuannya mempunyai kriteria-kriteria dasar yang biasa dikenal dengan istilah FRISCO, antara lain :

Tabel 1. 1 Kriteria dan Indikator Berpikir Kritis Siswa Kriteria Berpikir Kritis Indikator

“Focus” atau fokus Para siswa mampu menguasai/mengetahui persoalan terhadap kasus-kasus yang diberi oleh Bapak/Ibu guru

“Reason” atau alasan Para siswa mampu menjelaskan argumen berdasar pada kenyataan yang berkaitan erat dengan pokok masalah dalam pengambilan kesimpulan maupun keputusan.

“Inference” atau kesimpulan 1. Para siswa dapat menyimpulkan permasalahan yang diberikan oleh guru dengan benar.

2. Para siswa dapat memilih alasan yang mampu menunjang kesimpulan-kesimpulan yang sudah dilakukan sebelumnya.

“Situation” atau situasi Para siswa dapat memanfaatkan segala informasi/data yang searah dengan kasus yang diberikan oleh Bapak/Ibu guru.

“Clarity” atau kejelasan 1) Para siswa menjelaskan lebih jauh mengenai hal yang telah disimpulkan sebelumnya.

2) Apabila ada beberapa istilah-istilah atau bahasa asing yang terdapat pada kasus atau persoalan yang diberikan guru, maka para siswa mampu menguraikan atau mengartikan maksud dari istilah-istilah itu.

3) Para siswa mampu memberikan permasalahan yang serupa dengan soal/kasus yang telah diberikan oleh guru.

“Overview” atau gambaran Para siswa menelaah dan mempelajari ulang tentang kasus yang diberikan oleh guru secara keseluruhan (yang dihasilkan FRISCO).

Menurut (Arends, 2012), ia mengemukakan bahwa kegiatan belajar mengajar yang dibasiskan permasalahan atau PBL mempunyai karakteristik utama, yakni pada awal proses kegiatan belajar kemunculan permasalahannya diberikan di awal dan permasalahan yang diberikan adalah

(7)

permasalahan nyata yang benar-benar ada di dalam kehidupan peserta didik.

Berdasarkan pendapat Arends, ciri-ciri dari pembelajaran berbasis Problem Based Learning memiliki ciri-ciri khusus, yaitu :

1) Menyajikan kasus atau permasalahan

Ketika kegiatan belajar menggunakan Problem Based Learning, Bapak/Ibu guru menyusun beberapa pertanyaan-pertanyaan dan permasalahan yang mendukung kemampuan peserta didik dalam berpikir, kemudian permasalahannya dikaitkan dengan keadaan pada kehidupan para peserta didik yang riil sehingga dimungkinkan terdapat berbagai solusi-solusi untuk permasalahan yang disajikan tersebut.

2) Fokus terhadap keterkaitan antara rumpun-rumpun ilmu yang lain Permasalahan yang baik untuk dipecahkan adalah permasalahan yang nyata, yang bisa dilihat dari beberapa segi kehidupan maupun rumpun ilmu yang lain (IPS, IPA, Matematika, dan lain-lain).

3) Penyelidikan permasalahan secara autentik

Pembelajaran Problem Based Learning mengharuskan para peserta didik untuk menyelidiki permasalahannya secara autentik/absah, kemudian penyelesaiannya dilakukan secara nyata atau rasional. Para siswa diharapkan mampu melakukan analisis dan menemukan solusi dari permasalahan yang disajikan tersebut dengan cara melakukan hipotesis maupun memprediksi hasil, mencari informasi yang dibutuhkan, serta menarik kesimpulan.

4) Mempresentasikan hasil akhir

Pembelajaran Problem Based Learning atau PBL ini mengharuskan para peserta didik dalam menghasilkan suatu produk, kemudian produk tersebut dipresentasikan agar para siswa-siswi yang lain dapat mengetahui hasil produk tersebut.

5) Bekerja sama.

Selain yang sudah diterangkan di atas, pembelajaran PBL juga memiliki kriteria yaitu terdapat kerja sama kelompok maupun antar individu untuk pemecahan suatu permasalahan yang dihadapi. Manfaat dari saling

(8)

bekerja sama antar siswa bisa menambah antusias siswa dalam penyelesaian masalah serta dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam bersosialisasi.

d. Prinsip Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Proses belajar adalah point yang paling penting dan diutamakan di dalam kegiatan belajar menggunakan PBL, yang mana para Bapak/Ibu guru memiliki peran penting yaitu sebagai fasilitator, melakukan tanya jawab, melakukan percakapan-percakapan penting, memberikan bantuan kepada peserta didik untuk menemukan solusi dari permasalahan, serta Bapak/Ibu guru harus bisa memberikan fasilitas yang dibutuhkan di dalam proses kegiatan belajar berlangsung. Pada prinsip pembelajaran menggunakan PBL bukan hanyalah menyuruh siswa untuk mendengar, menulis kembali, lalu dihafalkan saja, melainkan pembelajaran problem based learning ini harus menstimulasi keaktifan berpikir para peserta didik, melatih dalam komunikasi antar peserta didik, melakukan pencarian informasi yang dibutuhkan seluas-luasnya, mengolah informasi yang didapatkan, dan melakukan penarikan kesimpulan. Apabila tidak terdapat masalah dalam pembelajaran, maka proses kegiatan belajar menggunakan PBL tidak dapat dilaksanakan, dikarenakan segala bentuk kegiatan belajarnya menekankan pada penyelesaian terhadap suatu permasalahan atau kasus (Sanjaya, 2005).

Permasalahan-permasalahan yang diangkat di dalam pembelajaran Problem Based Learning (PBL) merupakan kasus-kasus yang sifatnya terbuka, yang memiliki arti bahwa masalah yang disajikan tersebut belum pasti, semua peserta didik serta Bapak/Ibu guru masih bisa mengembangkan serta mengeksplorasi beberapa jawaban terhadap permasalahan tersebut.

e. Tujuan Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Kegiatan pembelajaran berbasis masalah ini memiliki tujuan bahwa para peserta didik harus bisa belajar secara mandiri. Searah dengan Arends yang mengemukakan bahwa tujuan PBL adalah menstimulasi para peserta didik

(9)

untuk meningkatkan kemampuannya dalam berpikir secara kritis serta mampu memecahkan masalah seperti individu yang telah dewasa dan melatih kemandirian mereka (Arends, 2012).

Tiga tujuan dari pembelajaran PBL dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak saling memiliki hubungan yang erat, antara lain : tujuan pertama yaitu kemampuan penyelidikan para peserta didik secara terstruktur dan runtut terhadap suatu kasus atau permasalahan dapat dikembangkan melalui pembelajaran PBL ini. Tujuan yang kedua yaitu PBL diharapkan mampu meningkatkan pembelajaran secara mandiri dan terarah. Kemudian yang ketiga yaitu siswa harus mampu menguasai suatu materi yang telah diberikan pada saat proses kegiatan belajar tersebut berlangsung (Eggen & Kauchak, 2012).

Berdasar pada pernyataan para ahli yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan apabila proses pembelajaran PBL ini memiliki tujuan guna menstimulasi kemampuan para peserta didik untuk berpikir secara kritis serta mendorong siswa untuk terbiasa dalam memecahkan suatu kasus sehingga diharapkan bahwa para peserta didik dapat lebih kreatif dan mandiri di dalam kegiatan belajar mengajar.

f. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

Segala jenis penerapan aspek pembelajaran pasti terdapat plus dan minus tersendiri, begitu pula dengan penerapan kegiatan belajar yang bermodelkan permasalahan juga mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Sesuai dengan pendapat dari (Nurmala, 2015), bahwa kelebihan dan kekurangan dari pembelajaran menggunakan model pembelajaran berbasis permasalahan atau Problem Based Learning adalah :

1) Kelebihan pembelajaran menggunakan model PBL

a) Para peserta didik sudah biasa dihadapkan dengan berbagai jenis permasalahan-permasalahan sehingga akan tertantang untuk segera menyelesaikan permasalahan yang disajikan, bukan hanya di dalam

(10)

proses pembelajaran di kelas saja tetapi juga di dalam kehidupan mereka sehari-hari.

b) Melalui diskusi dengan kelompok maupun individu akan menumbuhkan kekompakan dengan kawan-kawan sekelasnya serta dapat menumbuhkan kemampuan dalam bersosialisasi

c) Interaksi yang terjadi di dalam proses pembelajaran berbasis masalah ini juga mampu mendekatkan guru dengan para peserta didik, sehingga akan menumbuhkan keberanian dalam penyampaian pendapat mereka d) Melalui pembelajaran berbasis pada permasalahan ini dapat mengurangi penggunaan metode pembelajaran ceramah sehingga kelas tidak pasif dan para peserta didik terbiasa dengan praktek maupun student centered

2) Kekurangan Model Pembelajaran PBL

a) Kurangnya kemampuan guru pada saat ini yang dapat menstimulasi siswa dalam pemecahan permasalahan

b) Model pembelajaran menggunakan PBL memiliki persiapan waktu dan juga biaya yang lebih banyak.

c) Apabila dilakukan di luar kelas maupun secara mandiri, para Bapak/Ibu guru sedikit sulit untuk memonitor aktivitas dan kinerja para peserta didik

4. Zat Aditif dan Zat Adiktif

Materi zat aditif dan zat adiktif merupakan salah satu materi IPA kelas VIII pada KD 3.6 yaitu “menjelaskan berbagai zat aditif dalam makanan dan minuman, zat adiktif, serta dampaknya terhadap kesehatan”. Materi zat aditif dan zat adiktif ini merupakan salah satu materi konten sains yang sangat dekat dengan konteks dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan zat aditif sintetis dalam jumlah sedikit tidak berbahaya, akan tetapi jika penggunaannya telah melebihi batas aman konsumsi yang diizinkan maka dapat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki dan merusak makanan itu sendiri, bahkan berbahaya untuk dikonsumsi manusia. Berdasarkan fungsinya jenis zat adiktif

(11)

yang boleh digunakan untuk makanan terdiri dari pemberi aroma, penyedap rasa, pengawet, termasuk pemanis dan pewarna (Emilia, et al., 2020). Akan tetapi, penggunaan zat aditif yang tidak sewajarnya akhir-akhir ini telah menjadi sorotan masyarakat umum dan ramai dibicarakan. Berdasarkan hal tersebut, agar siswa dapat menguasai materi dengan baik maka dalam pembelajarannya peserta didik harus dihadapkan dengan permasalahan, sehingga dapat berargumentasi pada suatu fakta. (Rostikawati & Permanasari, 2016).

Seiring berjalannya waktu, zat aditif dan adiktif yang berbahaya pada makanan semakin berkembang. Hal ini dikarenakan para siswa banyak yang tidak mengetahui dan menyadari bahaya dan perkembangan dari zat aditif dan adiktif di Indonesia, yang lebih berbahaya lagi jika zat aditif berbahaya tersebut beredar di lingkungan sekolah (Sukmawati, 2018).

Salah satu objek yang dapat digunakan sebagai sumber belajar dari materi zat aditif dan zat adiktif adalah makanan, minuman atau jajanan yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya yaitu ditambahkannya zat pewarna sintetis dan zat pemanis buatan ke dalam makanan atau minuman yang biasa dikonsumsi oleh para siswa-siswi, setelah mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut, mereka merasakan tidak enak pada tenggorokan atau mengalami masalah pencernaan, hal tersebut tentunya sangat membahayakan para siswa sehingga diperlukan adanya himbauan untuk menghindari makanan dan minuman yang mengandung zat pewarna maupun pemanis sintetis. Siswa harus dibiasakan untuk mengenal makanan yang berbahaya bagi tubuh mereka.

(Tyas, Wilujeng, & Suyanta, 2020).

Selain zat aditif yang banyak membahayakan kesehatan para siswa, Masalah penyalahgunaan narkoba di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan.

Salah satu kelompok yang sangat rentan untuk ikut terbawa arus adalah remaja, penyalahgunaan zat adiktif secara terus menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan fisik dan psikologis, serta dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf dan organ penting lainnya. Penyalahgunaan zat atau obat yang dari hari ke hari semakin meningkat, walaupun telah banyak usaha untuk menanggulangi (Ningrum, Sutarni, & Gofi, 2017).

(12)

Penyalahgunaan tidak terbatas pada orang dewasa saja tetapi telah terjadi pada para siswa sekolah menengah. Untuk itu sebagai pendidik harus mengetahui apa itu penyalahgunaan zat/obat dan apa dampaknya bagi kesehatan dan kehidupan sosial. Pengetahuan narkoba yang mumpuni dan kuat dipercaya dapat mencegah dan menghindari para siswa untuk memakai narkoba. Untuk itu, berbagai upaya telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan pengetahuan siswa mengenai narkoba, salah satunya melalui pembelajaran IPA (Dwitiyanti, Efendi, & Supandi, 2019).

Faktor penyebab penyalahgunaan narkoba dapat dibagi menjadi dua faktor, pertama Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu seperti kepribadian, kecemasan, dan depresi serta kurangnya religiusitas. Kebanyakan penyalahgunaan narkotika dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan untuk menyalahgunakan obat-obat terlarang ini. Anak atau remaja dengan ciri-ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna narkoba. Kedua Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar individu atau lingkungan seperti keberadaan zat, kondisi keluarga, lemahnya hukum serta pengaruh lingkungan (Bachtiar, 2020). Hal ini mengindikasikan bahwa pembelajaran pada materi zat adiktif dan psikotropika perlu adanya inovasi pembelajaran materi zat adiktif dan psikotropika yang dapat menumbuhkan keterampilan berpikir dengan perangkat pembelajaran.

Sesungguhnya siswa menuntut perubahan makna dalam pembelajaran.

Pembelajaran tidak diartikan sebagai proses menyampaikan materi pembelajaran, atau hanya memberikan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, tetapi pembelajaran sebagai proses mengatur lingkungan agar siswa belajar sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki (Suharia, Lisdianab, & Widiyaningrum, 2017).

5. E-Modul

a. Pengertian e-Modul

(13)

Guru harus memiliki banyak sekali kemampuan atau biasa disebut dengan kompetensi guru dalam kegiatan belajar mengajar, kompetensi yang sangat penting dipunyai oleh seorang tenaga pendidik adalah mampu melakukan pengembangan bahan ajar yang akan mendukung proses kegiatan belajar agar kegiatan belajar tersebut menjadi menarik antusias para peserta didik, lebih efisien, dan lebih efektif lagi, sesuai dengan kompetensi siswa yang akan dicapai (Sungkono, 2003).

Salah satu dari media pembelajaran yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber dari kegiatan belajar dalam rumpun ilmu IPA adalah modul ajar, atau modul cetak atau buku pegangan siswa yang sudah dibuat secara runtut dan teratur menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh para peserta didik serta kalimatnya aktif agar para peserta didik antusias dan mampu melakukan pembelajaran secara mandiri seperti saat diterangkan oleh Bapak/Ibu guru di ruang kelas.

Kegiatan belajar mengajar menggunakan modul mampu membantu para peserta didik untuk mengukur secara mandiri seberapa besar mereka dapat memahami materi pembelajaran yang sedang diajarkan oleh Bapak/Ibu guru pada saat itu sesuai dengan satu satuan modul, apabila para peserta didik sudah memahaminya maka dapat lanjut pada satuan bab lainnya tetapi apabila para peserta didik masih kurang paham akan diminta oleh guru untuk mempelajari lagi agar benar-benar menguasai bab tersebut (Prastowo, 2014).

Modul ajar bukan hanya harus menarik perhatian para peserta didik melainkan pula harus dapat memotivasi peserta didik dalam menimbulkan perasaan penasaran yang tinggi kepada materi yang diajarkan saat itu, seiring dengan hal tersebut maka kemampuan mereka dalam berpikir kritis juga meningkat.

Di dalam modul terdapat seperangkat petunjuk atau tata cara penggunaan modul untuk pembelajaran yang mandiri/individual, lengkap dan terstruktur, artinya modul tersebut tetap dapat digunakan walaupun tanpa adanya Bapak/Ibu guru yang mendampingi pada saat itu sehingga juga dapat melakukan pembelajaran sendiri dirumah seolah-olah seperti pada saat

(14)

didampingi di sekolah, selain itu bahasa dan polanya juga sudah diatur dengan baik agar para peserta didik tidak mengalami kebingungan dalam proses belajar (Departemen Pendidikan Nasional, 2008).

Pada zaman yang sudah sangat maju di bidang teknologi maupun bidang pendidikan saat ini, bentuk modul pembelajaran sudah tidak terpaku pada bentuk cetak dalam wujud kertas saja, tetapi dapat dikemas lebih baik lagi dalam format yang terbaru yaitu digital/elektronik yang dapat disebut dengan modul elektronik atau lebih mudah disingkat dengan e-modul. E-modul ini merupakan suatu bentuk bahan ajar yang mandiri yang sudah disusun secara terstruktur sesuai dengan tujuan dari suatu pembelajaran, kemudian dikemas dalam bentuk elektronik yang mampu dengan mudahnya diakses melalui perangkat-perangkat digital dimanapun dan kapanpun.

Para peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang lebih tinggi dalam memperhatikan pembelajaran, apabila mengikuti pembelajaran dengan memanfaatkan e-modul kemungkinan akan lebih cepat selesai dalam satu KD (Kompetensi Dasar) dibandingkan peserta didik yang lain. KI (Kompetensi Inti) dan KD (Kompetensi Dasar) yang terdapat di dalam e- modul harus disajikan dalam pola bahasa yang santun, menarik, dan memotivasi siswa agar rasa ingin tahunya muncul dan tertarik untuk belajar (BSNP, Laporan Badan Standar Nasional Pendidikan Tahun 2010, 2011).

Pada dasarnya, e-modul dan juga modul cetak sebenarnya memiliki persamaan yang signifikan, komponen-komponen penyusunan modulnya juga hampir sama, hanya perbedaannya terletak pada visual penyajiannya dan juga penyajian secara fisiknya e-modul aksesnya membutuhkan perangkat-perangkat digital seperti handphone atau komputer yang saat ini sudah pasti dimiliki oleh sebagian besar siswa.

6. Perbedaan Modul Cetak dan E-modul

Tabel 2. 2 Perbedaan Modul Cetak dan E-modul

Modul Cetak E-Modul

(15)

Memiliki bentuk fisik berupa kertas-kertas yang disatukan secara berurutan dan teratur dan diberi sampul

Ditampilkan secara visual melalui perangkat-perangkat

digital/virtual Kurang fleksibel saat digunakan dengan

pembelajaran daring/pembelajaran mandiri.

Selain itu juga memiliki ukuran yang besar apabila materinya semakin banyak

Fleksibel, efisien, serta praktis karena sudah terdapat di perangkat digital

Tidak mendukung penyimpanan di dalam flashdisk, handphone, USB, maupun penyimpanan digital lainnya

Didukung oleh penyimpanan melalui handphone, laptop, data USB, flashdisk

Memerlukan biaya yang lebih besar karena dicetak dalam bentuk print out

Memerlukan biaya yang lebih sedikit daripada modul cetak karena bisa diakses secara virtual Modul cetak terbentuk dari kertas yang disusun

sehingga tidak memerlukan daya listrik atau baterai

Perangkat digital seperti handphone, pc/laptop, dan lain- lain dioperasikan memerlukan daya listrik

Ilustrasinya hanya berupa gambar dan teks saja e-modul dapat merangkap video, audio, gambar, teks, soal-soal dan penilaian dalam penyajiannya

7. Karakteristik e-Modul

Menurut pernyataan dari (Juliantini & Darmawiguna, 2015), modul memiliki karakteristiknya sendiri, berikut ini beberapa karakteristik dari modul yakni : 1) diawali tentang tujuan dari pembelajaran. 2) informasi-informasi di dalam modul didesain agar dapat menstimulasi siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. 3) sistem penilaiannya berdasarkan pada sejauh mana kemampuan para peserta didik dalam memahami materi yang diajarkan. 4) di dalam modul sudah tercantum unsur-unsur bahan pembelajaran yang dibutuhkan serta tugas-tugas dan pekerjaan yang harus dikerjakan oleh para peserta didik. 5) semua aspek yang ada di dalam modul mengarah kepada tujuan pembelajaran itu sendiri.

Sesuai dengan yang dimuat di (Departemen Pendidikan Nasional, 2008), menjelaskan jika e-modul dapat dikategorikan menarik perhatian siswa serta baik untuk digunakan di dalam pembelajaran jika memuat unsur-unsur, seperti:

(16)

1. Self Instructional, yang memiliki arti bahwa para peserta didik mampu untuk melakukan pembelajaran secara sendiri tanpa perlu didampingi oleh guru atau orang lain. Supaya modul tersebut bisa dikategorikan sebagai self instructional, terdapat beberapa poin yang harus dipenuhi, antara lain : a) Tujuan e-modul sudah disusun sejelas-jelasnya.

b) Materi pembelajaran yang digunakan telah dibuat seruntut mungkin dari bab yang besar hingga poin terkecil.

c) Terdapat contoh-contoh berupa audio atau video yang menunjang penjelasan materi yang digunakan dalam e-modul

d) Terdapat kuis, soal, uji kompetensi, rangkuman, dan sebagainya untuk mendukung siswa mengetahui sejauh mana mereka paham akan materi tersebut

e) Para peserta didik menjawab pertanyaan-pertanyaan atau kuis untuk menilai sebagaimana ia paham materi ajarnya

f) Materi yang dikemas di dalam e-modul sudah sesuai dengan lingkungan para peserta didik

g) Penggunaan tata bahasa yang aktif dan menarik maka akan memudahkan pemahaman siswa

h) Dilengkapi dengan rangkuman dari setiap materi ajar yang digunakan, selain itu juga masih terdapat instrumen-instrumen yang dibutuhkan untuk penilaian.

i) Evaluasi para peserta didik dapat diukur melalui instrumen yang telah disediakan

j) Para peserta didik mendapatkan feedback tentang penilaian kinerja mereka, maka para peserta didik mengetahui sampai dimana mereka menguasai materi

k) Untuk mendukung materi ajar yang digunakan, maka terdapat pula data- data tentang referensi atau daftar pustaka yang digunakan

2. Self Contained, yang memiliki arti bahwa dalam sebuah e-modul sudah terdiri dari satu kompetensi belajar sekaligus secara lengkap.yang bertujuan

(17)

untuk memberi peluang kepada peserta didik dalam mempelajari suatu bahan ajar yang disusun secara lengkap dalam satu wadah.

3. Stand Alone atau dapat diartikan berdiri sendiri, yang di definisikan bahwa suatu e-modul dapat berdiri sendiri dan tidak tergantung oleh media pembelajaran yang lainnya sehingga dalam penggunaannya pun tidak harus berbarengan dengan media pembelajaran yang lain.

4. Adaptive, salah satu karakteristik penting yang harus dimiliki oleh suatu media pembelajaran khususnya pada e-modul adalah memiliki daya adaptif yang beriringan dengan perkembangan zaman dan juga teknologi khususnya di dalam ranah pendidikan. Suatu e-modul dapat disebut adaptif apabila bisa mengikuti berkembangnya teknologi pendidikan.

5. User Friendly, atau bisa diartikan dengan mudah digunakan. Sebuah e- modul harusnya memiliki kemudahan dalam pengaplikasiannya, instruksi- instruksi yang digunakan harus jelas dan mudah dipahami agar dapat digunakan tanpa kesulitan.

8. Prosedur Penyusunan e-Modul

Sistematika dari penyusunan e-modul menurut (Departemen Pendidikan Nasional, 2008), terdiri dari tiga langkah, langkah pertama adalah pembukaan yang berisikan pendahuluan, kemudian terdapat bagian isi, dan yang terakhir adalah bagian penutup, yang akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Pendahuluan

Pada bagian pendahuluan ini terdiri dari beberapa aspek, yakni : a) Judul e-modul pembelajaran

Judul dari e-modul pembelajaran haruslah menarik perhatian para peserta didik agar semakin antusias dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.

b) Instruksi lengkap penggunaan modul c) Peta konsep

d) Kompetensi inti dan kompetensi dasar 2. Inti

(18)

Di bagian inti dari e-modul terdapat beberapa aspek, antara lain : tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan, penjabaran dari materi ajar, tes pilihan ganda maupun essay, pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan, serta dilengkapi juga dengan rangkuman materi.

3. Penutup

Pada bagian penutup juga terdapat beberapa aspek yang penting di dalam pembuatan e-modul, diantaranya :

a) Glosarium b) Post test c) Kunci jawaban d) Indeks.

Ketika proses penyusunan e-modul yang digunakan untuk bahan ajar, standar penilaian yang ada di Indonesia juga harus sangat diperhatikan agar tidak menyalahi aturan yang ada. Buku teks pelajaran yang ada di Indonesia sudah memiliki persyaratan kriterianya sendiri dari Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP, Laporan Badan Standar Nasional Pendidikan Tahun 2010, 2011), yang mencakup antara lain :

1) Layak atau tidaknya isi e-modul harus sesuai dengan standar kompetensi siswa, materi ajar, KI, KD, serta tujuan dari pembelajaran.

2) Layak atau tidaknya bentuk penyajian dari e-modul tersebut, harus sudah tepat dengan kelengkapan pembelajaran.

3) Layak atau tidaknya bahasa yang digunakan dalam e-modul. Bahasa yang digunakan harus sopan dan mudah dipahami, apabila menggunakan bahasa asing hendaknya diberi penjelasan atau arti.

4) Layak atau tidaknya grafik yang digunakan, berfokus pada tampilan, tata letak, serta desain modul.

9. Kelebihan dan Kekurangan e-Modul

(19)

Menurut (M.Suarsana & Mahayukti, 2013), e-modul berbasis PBL

memiliki plus dan minusnya tersendiri, hal tersebut akan dijabarkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. 3 Kelebihan dan Kekurangan e-modul PBL

Kelebihan Kekurangan

1. Penyusunan e-modul berbasis PBL ini dilakukan dengan pendekatan yang ditekankan pada pemberian masalah dan harus dipecahkan.

2. Lingkungan belajar online dan e-modul yang diakses melalui handphone maupun laptop yang memungkinkan peserta didik mengeksplorasi informasi lebih banyak dari berbagai sumber dengan cepat dan mudah.

3. Terdapat banyak forum-forum online untuk mendukung para peserta didik dalam berdiskusi, mereka dapat dengan mudah menanggapi suatu pendapat sesuai dengan pengetahuan mereka.

Kelemahan E-modul berbasis problem based learning, yaitu interaktivas peserta didik belum disimpan dalam database dan sedikit sulit untuk diamati oleh guru.

Menurut (M.Suarsana & Mahayukti, 2013), terdapat beberapa kelebihan dari kegiatan belajar mengajar menggunakan e-Modul berbasis problem based learning ini, yaitu :

1) Penyusunan E-modul memanfaatkan suatu pendekatan berupa pemecahan suatu permasalahan yang kemudian diharapkan mampu mengarahkan peserta didik dalam berpikir secara kritis.

2) Ketika kegiatan belajar mengajar secara online, hal tersebut bisa memudahkan para peserta didik mengeksplorasi pengetahuan dari mana saja dan seluas-luasnya dengan sangat mudah sehingga keadaan tersebut bisa memicu peserta didik untuk berpikir secara kritis dan semakin teliti dalam memilah-milah informasi penting dan kurang penting bagi pemecahan masalahnya.

3) Terdapat banyak forum-forum online untuk mendukung para peserta didik dalam berdiskusi, mereka dapat dengan mudah menanggapi suatu pendapat

(20)

sesuai dengan pengetahuan mereka sehingga para peserta didik akan terlatih untuk berpendapat secara kritis.

Sedangkan menurut (Nasution, 2011), E-modul berbasis problem based learning yang sudah tersusun sedemikian rupa bisa memberi manfaat kepada para peserta didik, meliputi :

a) Feedback / umpan balik

E-modul pembelajaran yang berbasis PBL ini memberi umpan balik yang cukup banyak serta dalam waktu singkat sehingga para peserta didik segera mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa.

b) Penguasaan materi

Kegiatan belajar mengajar menggunakan e-modul tidak memerlukan kurva yang normal yang berfungsi sebagai dasar dari pendistribusian angka yang tertinggi tetapi melalui penguasaan bahan ajar yang lengkap.

c) Tujuan e-modul

Penyusunan e-modul ini tujuannya harus jelas, terstruktur, dan bisa dicapai oleh para peserta didik.

d) Fleksibilitas

Teknik pembelajaran e-modul bisa disinkronkan dengan similaritas peserta didik, seperti contohnya kecepatannya dalam memahami sesuatu, caranya dalam belajar, serta materi pembelajaran yang digunakan.

e) Kerjasama

Pengajaran modul dapat disesuaikan dengan perbedaan peserta didik antara lain mengenai kecepatan belajar, cara belajar, dan bahan pelajaran

f) Kerjasama

Kegiatan belajar menggunakan media e-modul dapat meminimalisir rasa bersaing antar peserta didik dikarenakan semua peserta didik bisa mencapai nilai tertinggi.

g) Pengajaran remedial

Kegiatan belajar mengajar menggunakan e-modul bisa memberikan peluang untuk melakukan remedial, yang dimaksud dengan remedial adalah

(21)

mengulangi untuk memperbaiki kurangnya nilai, ataupun kesalahan siswa yang diketahui melalui evaluasi.

Kelemahan E-modul berbasis problem based learning yaitu, terkadang masih terjadi miskonsepsi atau kesalahpahaman terhadap materi pembelajaran, terkadang susah untuk mencari permasalahan yang relevan, dan persiapan pembelajarannya sedikit lebih lama dibandingkan modul cetak yang hanya tinggal membuka lembaran kertas saja (Trianto, 2010).

10. Kemampuan Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir kritis siswa adalah dengan membiasakan siswa-siswa untuk menilai atau mengevaluasi benar atau tidaknya suatu informasi yang didapatkan. Mengevaluasi suatu informasi ataupun permasalahan dapat membuat peserta didik melakukan aktivitas-aktivitas dalam membentuk suatu kegiatan yang mengasah kemampuannya dalam berpikir kritis. Namun, berpikir kritis ini tidak dapat muncul dengan sendirinya, apabila terbiasa tidak digunakan dan juga tidak dilatih dengan baik maka kemampuan siswa dalam berpikir secara kritis akan rendah, searah dengan tinjauan dari (Lambertus,2009), ia mengemukakan bahwa kemampuan siswa dalam berpikir secara kritis merupakan suatu kemampuan yang sudah dipunyai oleh semua individu. Semua individu mampu mengukur, melatih, dan juga mengembangkan kemampuan tersebut untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Penerapan model pembelajaran ceramah atau teacher center kurang mampu meningkatkan kemampuan berpikir siswa secara kritis karena di dalam pelaksanaannya tidak terdapat kegiatan serta partisipasi peserta didik secara aktif pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung.

Salah satu dari beberapa model pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan dalam berpikir kritis yaitu model pembelajaran Problem Based Learning atau PBL. Pembelajaran berbasis Problem Based Learning dapat melatih kemampuan siswa dalam berpikir secara kritis dikarenakan penuh oleh aktivitas-aktivitas evaluasi, analisis, dan pemecahan

(22)

masalah-masalah yang ada sehingga akan melatih kemampuan berpikir kritis siswa agar lebih terasah sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Kecakapan kehidupan atau biasa disebut dengan life skill memang harus selalu berkembang bagi seorang individu, salah satu life skill yang sangat penting untuk dikembangkan adalah kecakapan dalam berpikir secara kritis yang bisa dikembangkan melalui sebuah proses dalam pendidikan, lewat kecakapan dalam berpikir kritis maka individu bisa dengan mudahnya menemukan solusi tentang permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan mereka. Selain itu, perkembangan teknologi pendidikan dan ilmu pengetahuan juga memacu para peserta didik untuk harus bisa berpikir secara kritis agar para peserta didik bisa dengan cakap melakukan observasi maupun pengambilan informasi dan data-data yang bermanfaat bagi kehidupan mereka sebagaimana suatu proses mencari, lalu mengolah, kemudian menilai, dan akhirnya pengambilan informasi. Seiring dengan pernyataan dari (Johnson, 2007), beliau mengemukakan jika kecakapan dalam berpikir secara kritis adalah suatu prosedur yang terstruktur yang dapat mendukung kegiatan mental mereka dengan cara melakukan pemecahan terhadap suatu permasalahan yang dihadapi, pengambilan sebuah keputusan yang tepat, membuat hipotesis, melakukan asumsi, dan melaksanakan penelitian secara ilmiah.

Kecakapan para peserta didik di dalam berpikir secara kritis merupakan metode berpikir tentang suatu permasalahan yang nyata guna menumbuhkan kualitas mereka dalam berpikir, melalui beberapa cara yang sudah terstruktur dan sudah tertanam di dalam pemikiran (Fisher, 2009). Seorang individu yang telah terbiasa untuk berpikir secara kritis pasti akan terampil di dalam pemanfaatan informasi guna mencari data-data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalahnya, salah satu langkah untuk yang terdapat di pendekatan scientific adalah aktivitas tanya jawab, dikarenakan melalui aktivitas tanya jawab akan membentuk kecakapan dalam berpikir tingkat tinggi secara sistematis, rasional, dan tentunya kritis (Rosana, 2014). Terdapat beberapa indikator kemampuan berpikir kritis sesuai dengan yang dikemukakan oleh

(23)

(Fascione, 2015) dalam The Delphi Research Method di California, yaitu mengemukakan pendapat atau menginterpretasi, menganalisis, mengeksplanasi, menginferensi, mengevaluasi, dan juga meregulasi diri.

Kecakapan dalam berpikir secara kritis adalah suatu kemampuan dalam berpikir secara tingkat tinggi yang termasuk di dalam kemampuan seseorang di dalam kemampuan memecahkan permasalahan yang di dalamnya sudah termasuk membuat alasan-alasan yang dibuat secara efektif dan rasional, kemudian sudah terbiasa untuk mengemukakan beberapa pertanyaan- pertanyaan yang dapat membantu penyelesaian permasalahan, serta melakukan analisis dan evaluasi, sehingga mampu dalam melakukan pencerminan keputusan dan menarik kesimpulan secara kritis.

Keterampilan dalam berpikir secara kritis memiliki kaitan sangat erat dengan kemampuan pemecahan permasalahan serta kemampuan dalam berpikir secara kritis. Seiring dengan pernyataan dari Enis, beliau mengemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis “the reasonable and reflective thinking focused on deciding what to believe or to do” (Yalcın, 2017). Arti dari kalimat tersebut adalah melalui kemampuannya seorang individu dalam berpikir kritis, individu tersebut bisa menilai pernyataan seseorang dapat dipercaya atau tidak karena ia mampu berpikir secara logis dan rasional.

Berdasar pada pendapat-pendapat para ahli yang sudah dicantumkan di atas, dapat ditarik kesimpulan apabila kecakapan seseorang dalam berpikir secara kritis adalah sekumpulan tahapan untuk berpikir secara produktif, reflektif, melakukan evaluasi, dan melakukan pemecahan permasalahan di kehidupan sehari-hari. Siswa harus meyakini dan mencari kebenaran terhadap suatu kenyataan maupun pernyataan yang menjadi landasan dalam berpikir kritis untuk mencapai suatu kesimpulan.

a. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis

Di dalam penelitian ini menggunakan indikator kemampuan berpikir kritis menurut Ennis yang sudah dimodifikasi pada penelitian (Siska Baharizki, 2021), di dalam penelitian tersebut Indikator dalam berpikir kritis akan dijelaskan di dalam tabel dibawah ini :

(24)

Tabel 2. 4 Indikator Kemampuan Berpikir Kritis No. Aspek Kemampuan

Berpikir Kritis

Indikator Kemampuan Berpikir Kritis 1 Menjelaskan secara

sederhana

Melakukan analisis terhadap suatu kenyataan

2 Membangun keterampilan- keterampilan dasar

Melakukan observasi terhadap suatu

masalah dan memberikan argumen terhadap permasalahan tersebut

3 Memberi kesimpulan Membuat induksi atau menyimpulkan suatu masalah dan meninjaunya kembali

4 Menjelaskan lebih lanjut Membangun argumen-argumen dan memberi klarifikasi lebih lanjut 5 Mengatur strategi Mencari solusi yang paling tepat untuk

dilakukan dalam pemecahan permasalahan.

Karakteristik berpikir kritis menurut (Ennis R. H., 2011), acuannya mempunyai kriteria-kriteria dasar yang biasa dikenal dengan istilah FRISCO, antara lain :

Kriteria Berpikir Kritis

Indikator

“Focus” atau fokus Para siswa mampu menguasai/mengetahui persoalan terhadap kasus-kasus yang diberi oleh Bapak/Ibu guru

“Reason” atau alasan Para siswa mampu menjelaskan argumen berdasar pada kenyataan yang berkaitan erat dengan pokok masalah dalam pengambilan kesimpulan ataupun keputusan.

“Inference” atau kesimpulan

1. Para siswa dapat menyimpulkan permasalahan yang diberikan oleh guru dengan benar.

2. Para siswa dapat memilih alasan yang mampu menunjang kesimpulan-kesimpulan yang sudah dilakukan sebelumnya.

“Situation” atau situasi

Para siswa dapat memanfaatkan segala informasi/data yang searah dengan kasus yang diberikan oleh Bapak/Ibu guru.

(25)

Kriteria Berpikir Kritis

Indikator

“Clarity” atau kejelasan

1) Para siswa menjelaskan lebih jauh mengenai hal yang telah disimpulkan sebelumnya.

2) Apabila ada beberapa istilah-istilah atau bahasa asing yang terdapat pada kasus atau persoalan yang diberikan guru, maka para siswa mampu menguraikan atau mengartikan maksud dari istilah- istilah itu.

3) Para siswa mampu memberikan permasalahan yang serupa dengan soal/kasus yang telah diberikan oleh guru.

“Overview” atau gambaran

Para siswa menelaah dan mempelajari ulang tentang kasus yang diberikan oleh guru secara keseluruhan (yang dihasilkan FRISCO).

11. Pengaruh Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis

Problem Based Learning adalah salah satu model pembelajaran yang memang direncanakan untuk menumbuhkan keterampilan para peserta didik dalam berpikir kritis, model pembelajaran PBL ini mengikuti paradigma konstruktivistik yang didukung dengan strategi pembelajaran berbasis siswa yang aktif atau student centered. Strategi pembelajaran yang berbasis pada para peserta didik yang aktif di dalam kegiatan belajar akan memacu para siswa untuk menemukan permasalahan sekaligus menemukan solusi yang tepat untuk melakukan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Ketika strategi belajar ini dilaksanakan, guru bertugas sebagai fasilitator, dimana para peserta didik akan terbimbing dalam membentuk sebuah pengetahuan mereka secara mandiri baik berkelompok maupun individu. Beberapa ahli-ahli di dalam bidang pendidikan setuju bahwa model PBL ini mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis para peserta didik karena tujuan pembelajaran PBL adalah menuntun para peserta didik untuk mengasah kemampuan intelektualnya melalui pemecahan-pemecahannya dalam permasalahan yang ada.

Menurut pendapat dari (Kuswara, 2015), kegiatan belajar mengajar menggunakan model problem based learning bisa memberikan tantangan

(26)

kepada para peserta didik dalam menemukan ilmu-ilmu dan informasi baru yang belum mereka ketahui sebelumnya, juga dapat menumbuhkan kegiatan belajar peserta didik yang aktif dan asyik, selain itu juga mampu meningkatkan kecakapan para peserta didik untuk berpikir secara kritis. Hal tersebut juga senada dengan penelitian dari (Chayatun & Gunansyah, 2016), mengemukakan jika lewat model pembelajaran yang berbasis masalah ini, para peserta didik disertakan secara langsung dalam proses kegiatan belajar mengajar yang tidak pasif, kooperatif, dan tentunya student centered dimana kegiatan belajarnya dipusatkan kepada para peserta didik dan guru bertugas sebagai fasilitator saja yang memantau jalannya pembelajaran yang kondusif.

Berdasar pada pernyataan-pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulannya apabila model pembelajaran problem based learning memiliki keterkaitan dengan peningkatan kemampuan para peserta didik dalam berpikir kritis, pernyataan tersebut dapat dikatakan rasional karena sintak dari pembelajaran problem based learning diorientasikan kepada permasalahan dan kasus-kasus yang terjadi tidak jauh dari kehidupan sehari- hari.

B. Kerangka Berpikir

Ada beberapa kecakapan-kecakapan pada abad 21 yang harus dimiliki oleh para peserta didik pada era teknologi pendidikan yang sangat maju ini. Salah satu dari beberapa kecakapan tersebut yaitu kecakapan para peserta didik dalam berpikir secara kritis. Hal tersebut sangat penting untuk membentuk karakter individu yang dapat bersaing serta peduli dengan lingkungan sekitar yang berhubungan dengan ilmu sains. Pada era ini, masyarakat membutuhkan para pemuda yang sangat cerdas untuk pemecahan permasalahan-permasalahan yang dihadapi pada era ini sehingga dapat melakukan inovasi-inovasi yang mendukung berkembangnya teknologi dalam bidang pendidikan yang dapat memenuhi target global.

Berdasar pada tinjauan-tinjauan para ahli yang sudah dijelaskan di atas, maka dapat dikatakan bahwa faktor model pembelajaran yang dipilih oleh pendidik di dalam kegiatan belajar sangat mempengaruhi keterampilan para peserta didik dalam

(27)

berpikir secara kritis, apabila model yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar kurang tepat maka akan menyebabkan para peserta didik pasif dan hanya mendengarkan saja tanpa memahami apa makna dari pembelajaran tersebut.

Setelah melaksanakan pengamatan serta wawancara kepada para Bapak/Ibu guru, maka didapatkan hasil apabila kegiatan belajar mengajar di sekolah masih kurang maksimal di dalam penerapan-penerapan teknologi melalui kegiatan belajar mengajar. Para peserta didik masih termasuk pasif dalam proses pembelajaran dikarenakan di sekolah juga belum memaksimalkan dalam penerapan penggunaan salah satu model ajar yang telah direkomendasikan dengan baik oleh Kementerian Pendidikan, model pembelajaran tersebut adalah model problem based learning atau biasa disingkat dengan PBL yang menempatkan para peserta didik pada suatu permasalahan yang harus dipecahkan. Kecakapan para peserta didik di dalam berpikir kritis tergolong lemah dikarenakan sumber belajar IPA atau media pembelajaran IPA yang dapat membantu menumbuhkan kecakapan berpikir kritis masih tergolong sangat terbatas dan belum bervariasi sehingga para peserta didik juga kurang tertarik dalam belajar. Selain itu pula, berdasar pada hasil analisis yang tercantum pada RPP atau Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran, pendidik meminta para peserta didik untuk mencari pengetahuan yang lebih luas melalui internet, keadaan-keadaan seperti ini harus dimaksimalkan agar penerapan teknologi informasi di bidang pendidikan semakin baik dalam kegiatan belajar mengajar.

Setelah melaksanakan analisis permasalahan di lapangan dan juga analisis RPP atau Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran, sehingga dapat ditemukan solusi untuk meningkatkan penerapan teknologi di dalam bidang pendidikan yang berbentuk sebuah media pembelajaran modul elektronik atau e-modul yang bisa diakses menggunakan perangkat-perangkat digital secara offline maupun online.

Media pembelajaran ini dikembangkan dengan basis pemberian masalah dan pemecahan masalahnya, yaitu problem based learning yang mendukung berkembangnya kemampuan berpikir kritis para peserta didik yang bekerja secara team maupun individu, senada dengan hal tersebut didukung oleh penelitian dari (Rokhim, Suparmi, & Prayitno, 2018), di dalam penelitian tersebut dijelaskan jika e-modul IPA berbasis problem based learning mampu meningkatkan kemampuan

(28)

para peserta didik dalam berpikir secara kritis karena memiliki ciri-ciri yaitu perumusan permasalahan di awal, melakukan hipotesis dugaan-dugaan yang terjadi, pengumpulan informasi, pengujian hipotesis, serta para peserta didik mampu menentukan penyelesaian masalah.

Penelitian dari (Qomariah, Saptari, Sudiarditha, & Ketut, 2016), beliau mengemukakan jika model pembelajaran menggunakan problem based learning memprioritaskan pada permasalahan-permasalahan yang menumbuhkan pengetahuan para peserta didik secara mandiri, mampu mengembangkan keberaniannya dalam bertanya jawab. Para peserta didik harus dapat mencari jawaban dari suatu permasalahan secara kritis, sehingga akan menumbuhkan kecerdasan dan berpikir tingkat tinggi. Pernyataan ini senada dengan gagasan yang disampaikan dari (Puspitasari, 2016), beliau mengemukakan jika kegiatan belajar mengajar menggunakan model problem based learning merupakan suatu model belajar yang menggunakan permasalahan-permasalahan riil yang ada di dalam kehidupan dan lingkungan sekitar yang dituntut untuk diselesaikan para peserta didik agar menstimulasi kecakapan mereka, salah satunya yaitu kemampuan para peserta didik dalam berpikir secara kritis.

Sesuai dengan pernyataan dari (Wulandari & Sholihin, 2016), juga mengemukakan apabila kegiatan belajar mengajar menggunakan PBL dapat menstimulasi kemampuan para peserta didik untuk berpikir secara kritis dikarenakan model pembelajaran ini bisa menarik perhatian para peserta didik terhadap isu-isu ilmiah yang berhubungan dengan ilmu sains, serta menumbuhkan rasa tanggung jawab para peserta didik kepada lingkungan sekitar mereka, sehingga melalui pengembangan media pembelajaran berupa e-modul yang berbasis problem based learning (PBL) khususnya dalam materi Zat Aditif dan Zat Adiktif ini mampu menumbuhkan serta meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis.

Di bawah ini merupakan bagan dari kerangka berpikir dari penelitian ini :

(29)

Studi Pendahuluan (Analisis Kebutuhan)

Diperlukan E-modul berbasis Problem Based learning untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi zat aditif

dan zat adiktif.

Pengembangan elektronik E-modul berbasis Problem Based learning untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa pada materi zat

aditif dan zat adiktif.

Kelayakan Keefektifan

- Uji Coba Skala Terbatas

- Uji Coba Lapangan Operasional

Uji N-gain

Produk akhir e-modul berbasis problem based learning pada materi zat aditif dan zat adiktif untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis siswa.

Gambar 1 1 Kerangka Berpikir Pengembangan

- Validasi Ahli Media, Bahasa, Materi, Pembelajaran

- Angket Respon Siswa

Hasil nilai pretest dan posttest

Gambar

Gambar 1 1 Kerangka Berpikir Pengembangan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat dipergunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada

Penerapan media poster untuk meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Sertifikasi Bidang Studi NRG

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian