• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PASAL 341 KUHP TENTANG PEMBUNUH PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PASAL 341 KUHP TENTANG PEMBUNUH PENDAHULUAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PASAL 341 KUHP TENTANG PEMBUNUH PENDAHULUAN

Oleh

Hanifah dan Samuji Ilmu Hukum UNSURI Sidoarjo

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan aspek-aspek yuridis normative yang berkaitan dengan pelanggaran pasal 341 KUHP tentang pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya dan keterkaitannya dengan pasal-pasal lain yang terdapat pada KUHP.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif atau yuridis dogmatig.

Sedangkan yang dikaji adalah hukum pidana dengan bertitik tolak dari asas-asas hukum pidana dengan segala konsekuensinya. Penelaahan dilakukan dengan pembahasan deskriptif analitik yang berarti bahwa penelaahan dilakukan secara cermat dan sistematik untuk dianalitik secara mendalam dengan bertumpuh pada asas-asas hukum pidana.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan dan berkas-berkas di Pengadilan Negeri Surabaya dan Sidoarjo.

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembunuhan anak atau kiderdoodslag yang diatur dalam pasal 341 KUHP pada dasarnya ada sedikit perbedaan dengan pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu atau kidermoord yang diatur dalam pasal 342 KUHP

Kata Kunci: Pembunuhan pendahuluan, Anak bayi, Ibu kandung

PENDAHULUAN

Hukum merupakan suatu peraturan yang digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Tingkah laku masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari senantiasa dibatasi dengan hukum yang berlaku. Tindakan masyarakat yang sewenang-wenang dan melampaui batas akan mendapat sanksi yang tegas dari hukum yang berlaku.

Perbuatan yang dilakukan oleh seorang ibu untuk membunuh anak kandungnya sendiri merupakan perbuatan pidana yang sangat keji. Perbuatan pidana yang tidak berperikemanusiaan tersebut sama halnya dengan perbuatan yang dilakukan oleh Fir’aun. Bedanya dalam perbuatan tersebut adalah bahwa Fir’aun melakukan pembunuhan terhadap bayi yang dilahirkan secara terang-terangan, sedangkan ibu-ibu jaman sekarang melakukan pembunuhan terhadap anak kandungnya secara sembunyi-sembunyi.

Pada dasarnya kasus-kasus tersebut sama kejinya, sehingga perlu diselesaikan secara hukum yang berlaku. Fir’aun tidak bisa dihukum karena tindakannya merupakan hukum.

Penyelesaian kasus untuk pembunuhan anak yang dilakukan oleh Fir’aun tidak bisa disamakan dengan penyelesaian kasus untuk pembunuhan yang dilakukan oleh seorang Ibu terhadap anak yang dilahirkannya. Ibu yang melakukan pembunuhan anak tersebut akan diberikan hukuman.

Hukum tidak memandang status sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Meskipun yang melakukan perbuatan pembunuhan anak tersebut adalah seorang presiden, ia akan tetap dikenakan hukuman. Hal tersebut tidak ada pengecualian bagi siapapun juga. Dari peraturan- peraturan yang dikeluarkan, maka setiap orang yang dianggap telah mengetahui peraturan- peraturan tersebut sepenuhnya. Jika masih ada orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak tahu mengenai peraturan yang telah dikeluarkan, sehinga dengan semaunya sendiri melakukan pidana, maka alasan tidak tahu mengenai peraturan yang telah dikeluarkan adalah alasan yang tidak benar.

(2)

Perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang Ibu terhadap anak yang dilahirkannya sudah sepantasnya untuk diberikan hukuman. Ibu yang membunuh anak tersebut harus bertanggung jawab dihadapan hukum yang berlaku. Kodratnya seorang Ibu bukan berarti menghentikan tindakan hakim untuk menghukumnya. Hukum tidak memandang kodrat seorang manusia.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka timbul permasalahan sebagai berikut :

1) Apa yang dimaksud dengan pembunuhan menurut KUHP dan bagaimanakah pengaturannya?

2) Apa yang dimaksud dengan pembunuhan anak dan apa saja macam-macamnya ?

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif atau yuridis dogmatig.

Sedangkan yang dikaji adalah hukum pidana dengan bertitik tolak dari asas-asas hukum pidana dengan segala konsekuensinya. Penelaahan dilakukan dengan pembahasan deskriptif analitik yang berarti bahwa penelaahan dilakukan secara cermat dan sistematik untuk dianalitik secara mendalam dengan bertumpuh pada asas-asas hukum pidana.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh melalui studi kepustakaan dan berkas-berkas di Pengadilan Negeri Surabaya dan Sidoarjo.

Pengumpulan data dilakukan melalui prosedur identifikasi dan infentarisasi dari data sekunder. Dan selanjutnya melalui prosedur klasifikasi secara logis sistematis yang sesuai dengan masalah tersebut.

Analisis data dilakukan dengan cara mengkaitkan beberapa pasal yang ada hubungannya dengan materi penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembunuhan Di KUHP Dan Pengaturannya

Kejahatan terhadap nyawa manusia yang dilakukan dengan sengaja pada dasarnya diatur dalam Bab XIX buku II. Kejahatan terhadap nyawa manusia dengan sengaja diatur dalam pasal 338, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, 348, 349, dan 350 KUHP.

Dari pasal-pasal yang telah disebutkan diatas, saya akan menjelaskan pembunuhan pada umumnya yang dilakukan dengan sengaja yaitu terletak pada pasal 338 dan 340 KUHP. Kedua pasal tersebut memiliki pengertian yang berbeda bila dilihat dari segi unsurnya. Istilah pembunuhan tersebut terdiri dari:

a. Pembunuhan dengan sengaja/doodslag (pasal 338 KUHP)

b. Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu/moord (pasal 340 KUHP)

Mengenai kedua pasal tersebut, saya akan menjelaskan lebih jauh maksud dari pasal 338 dan 340 KUHP agar didapatkan perbedaan pengertian dari kedua pasal tersebut.

c. Pembunuhan dengan sengaja/doodslag (pasal 338 KUHP)

Kejahatan ini disebut pembunuhan. Dalam peristiwa ini perlu dibuktikan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain.

Sedangakan kematian yang dimaksud adalah kematian yang disengaja. Apabila kematian itu tidak disengaja, maka perbuatan tersebut tidak dikenakan pasal 338 KUHP, akan tetapi kemungkinan besar dapat dikenakan pasal 359 (karena kurang hati-hatinya menyebabkan orang lain mati), atau pasal 353 sub 3 (penganiayaan berat mengakibatkan matinya orang lain), atau pasal 355 sub 2 (penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu mengakibatkan matinya orang lain).

Untuk dapat dituntut dengan pasal ini (338 KUHP), maka pembunuhan itu harus

(3)

dilakukan setelah timbul maksud, dan tidak dipikir lebih lama. Yang dapat digolongkan dengan pembunuhan dalam pasal 338 KUHP misalnya: Seorang suami yang datang mendadak di rumahnya mengetahui istrinya sedang berzina dengan orang lain, kemudian ia langsung membunuh istrinya dan orang yang melakukan zina dengan istrinya tersebut. Apabila jarak waktu antara timbulnya maksud dan pelaksanaannya itu masih ada waktu bagi orang tersebut untuk berpikir dengan tenang untuk merumuskan cara bagaimana akan melakukan pembunuhan itu, maka orang tersebut dikenakan pasal 340 KUHP (pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu). Akan tetapi bila pembunuhan itu dilakukan atas permintaan si korban, maka diancam hukuman yang lebih ringan menurut pasal 344 KUHP.

Dari uraian diatas, maka peneliti akan menjelaskan unsur-unsur yang terdapat pada pasal 338 KUHP. Secara keseluruhan, pasal 338 KUHP tersebut berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena pembunuhan biasa, dipidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.3

Dari bunyi pasal tersebut, maka akan didapatkan unsur-unsur sebagai berikut:

1. Dengan sengaja

2. Menghilangkan nyawa orang lain 1).Dengan sengaja

Kebanyakan perbuatan pidana mempunyai unsure kesengajaan atau “opzet”. Ini adalah layak oleh karena biasanya yang pantas mendapat hukuman ialah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.

Dalam pergaulan hidup masyarakat sehari-hari, seringkali sseorang dengan suatu perbuatan mengakibatkan suatu kerusakan, kalau ia akan menghindarkan diri dari suatu celaan, hampir selalu berkata: “tidak saya sengaja”. Dan biasanya apabila kerusakan itu tidak begitu berarti, perbuatan itu dimanfaatkan oleh pihak yang menderita kerugian.

Pada dasarnya kesengajaan tersebut harus mengenai tiga unsur tindak pidana antara lain:

a. Perbuatan yang dilarang.

b. Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu.

c. Perbuatan itu melanggar hukum.

Pertama-tama yang perlu diketahui bahwa KUHP sendiri tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan opzet. Walaupun demikian, pengertian opzet ini sangat penting, oleh karena dijadikan unsur sebagian besar perbuatan pidana. Dengan demikian, opzet diartikan sebagai suatu niat yang diwarnai sifat melawan hukum, kemudian diwujudkan dalam sikap perbuatan, maka menjadilah suatu kesengajaan.

Dalam kesengajaan bentuk pertama, bahwa dengan sengaja yang bersifat tujuan (oogmerk), si pelaku dapat dipertanggungjawabkan, sudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai.

Maka apabila kesengajaan ini ada pada tindak pidana, maka tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenakan hukuman. Ini lebih nampak apabila dikemukakan bahwa dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman.

Dalam kesengajaan bentuk yang kedua, yaitu kesengajaan yang bukan mengandung suatu tujuan, melainkan disertai keinsyafan bahwa suatu akibat akan terjadi, maka dapat dikatakan bahwa kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari perbuatan pidana, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu akan mengikuti perbuatan itu.

Kesengajaan dalam bentuk yang ketiga merupakan kesengajaan yang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan dibayangkan akan kemungkinan belaka akan akibat itu. Kalau masih dapat dikatakan bahwa kesengajaan bentuk yang ketiga tidaklah sama dengan kesengajaan bentuk yang pertama dan yang kedua. Dalam kesengajaan bentuk yang ketiga, dapat dikatakan bahwa apabila gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju, maka harus

(4)

ditinjau seandainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan, maka apakah perbuatan itu akan dilakukan oleh si pelaku. Kalau ini terjadi maka dapat dikatakan, bahwa akibat yang terang tidak dikehendaki dan hanya mungkin akan terjadi itu.

Lain halnya apabila ada tiga alternatif yaitu: perbuatan dengan sengaja akan mendapat hukuman, perbuatan dengan culpa juga akan mendapat hukuman, sedangkan perbuatan tanpa kesengajaan dan tanpa culpa tidak dihukum. Ini misalnya dalam hal mengakibatkan matinya orang lain. Kalau ada kesengajaan, maka berlakulah pasal 338 KUHP, dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 15 tahun. Kalau hanya ada culpa, maka berlakulah pasal 359 KUHP, dengan hukuman yang lebih ringan yaitu setinggi-tingginya 5 tahun penjara.

Kecenderungan untuk menganggap adanya kesengajaan, pada dasarnya terletak pada perasaan pelaku itu sendiri. Suatu perbuatan yang menyebabkan kematian orang lain, meskipun hanya dilakukan dengan lupa, pelaku itu harus dihukum dengan seberat-beratnya.

2. Menghilangkan nyawa orang

Para sarjana hukum dalam penggunaan istilah mengenai perbuatan pidana yang terdapat dalam pasal 338 KUHP terutama mengenai unsur menghilangkan nyawa terdapat perbedaan pendapat antara yang satu dengan yang lainnya. Istilah menghilangkan nyawa orang, biasanya sering kita jumpai pada KUHP yang ditulis oleh R. Sugandhi.6 Pendapat yang ditulis oleh R.

Sugandhi tentunya tidak sama dengan pendapat dari sarjana lain yaitu Moeljatno maupun R.

Soesilo. Dalam KUHP yang ditulis oleh R. Soesilo sarjana tersebut menggunakan istilah

“menghilangkan jiwa”.Sedangkan Moeljatno sendiri dalam KUHP yang ditulisnya menggunakan istilah “merampas nyawa”. Dalam penggunaan istilah yang beraneka ragam tersebut pada dasarnya mempunyai kesamaan maksud yaitu untuk membuat seseorang tidak bisa hidup lagi.

Sedangkan yang perlu diketahui dalam “hilang nyawa” tersebut adalah sejak kapan seseorang itu dikatakan hilang nyawanya atau tidak hidup kembali. Apakah sejak tidak bernafas lagi, apakah sejak denyut jantungnya

Dengan adanya kemajuan di bidang teknologi kedokteran, maka berhentinya pernafasan secara otonom yang sekaligus juga mempengaruhi berhenti denyut jantung bisa “ditunda”. Yakni melalui alat yang disebut sebagai respirator yang memungkinkan pernafasan seseorang yang akan terhenti dapat berjalan terus, dan hal ini otomatis menjadikan jantung dapat terus berfungsi.

Keadaan ini tentunya secara medik akan mempengaruhi tertundanya saat kematian bila kematian itu dikaitkan dengan berhentinya pernafasan seseorang.

Perkembangan selanjutnya arti kematian sendiri tidak sekedar dikaitkan berhentinya pernafasan dan denyut jantung, tetapi juga dihubungkan dengan bagaimana bekerjanya otak manusia. Bilamana “recording” otak dilihat dari “Electro Encephalogram” (disingkat EEG) datar berarti otak sudah tidak mengahasilkan “tenaga listrik” lagi.

Atas dasar tersebut diatas, maka mati baru terjadi bilamana:

a. Berhentinya pernafasan otonom b. Berhentinya denyut jantung (otonom) c. EEG datar

Hermin Hadiati Koeswadji menyatakan bahwa mati dihitung sejak saat semua bagian otak tidak lagi memberikan reaksi terhadap semua rangsangan dari luar. Sedangkan Mahar Mardjono menyatakan bahwa kematian telah ada bila batang otak tidak berfungsi lagi, jadi biar nafas dan jantung masih jalan, bila batang otak berhenti maka dia telah mati.

Ikatan Dokter Indonesia (selanjutnya disingkat IDI), didalam fatwanya menyatakan seseorang dinyatakan mati bilamana:

a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible, atau b. Bila terjadi telah terjadi kematian batang otak.

Beranjak dari pendapat-pendapat dan definisi-definisi “mati” diatas, dapatlah dikelompokkan menjadi tiga pendapat:

Pendapat yang pertama menekankan bahwa kematian telah terjadi bila pernafasan dan

(5)

detak atau denyut jantung telah berhenti secara otonom. Pendapat yang kedua, menekankan pada berhentinya pernafasan, denyut jantung dan fungsi otak. Sedang pendapat ketiga cukup mendasarkan kepada bagaimana keadaan fungsi otaknya. Bilamana tidak berfungsi lagi, biar nafas dan jantungnya masih dapat dijalankan, penderita sudah dapat dinyatakan mati.

Pengertian mati menurut kelompok pertama dan kedua adalah yang lebih tepat untuk dipakai dalam menentukan seseorang telah hilang nyawanya. Ini berarti bahwa bila seseorang yang jantungnya masih berdenyut entah secara mandiri atau dengan bantuan respirator, harus dinyatakan masih dalam keadaan hidup. Hal ini disebabkan secara faktual denyutnya masih berjalan, meskipun dengan menggunakan respirator. Dengan demikian secara formal, yang bersangkutan wajib dinyatakan dalam kondisi hidup.

Pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu/moord (pasal 340 KUHP) Bunyi dari pasal 340 KUHP, secara keseluruhan adalah sebagai berikut:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.

Adapun yang menjadi unsure-unsur dari kejahatan “moord” adalah sebagai berikut:

1. Perbuatan dengan sengaja

2. Perbuatan itu harus direncanakan terlebih dahulu (“metvoorbedachte rade”) 3. Perbuatan tersebut dimaksudkan untuk menyebabkan matinya orang lain

Sebagaimana nampak dari unsur-unsur tersebut diatas, maka nampaklah dalam kejahatan

“moord” ini juga memiliki unsur kesengajaan dan unsur tersebut dalam perumusannya diletakkan di muka. Hal tersebut berarti ahwa cara menempatkan unsur “opzet” atau kesengajaan dimuka itu berarti bahwa lain-lain unsur yang letaknya dibelakang opzet tersebut semuanya diliputi oleh opzet. Yang dimaksud dengan “opzet” disini adalah diketahui dan dikehendaki (“willens enwetens”).

Dalam KUHP tidak dijelaskan tentang apa yang dimaksud “direncanakan terlebih dahulu”. Sedangkan di dalam MvT dapat dijumpai penjelasan sebagai berikut: istilah “met voorbedachte rade” itu sendiri tanpa rumusan apa-apa telah menunjukkan dengan jelas apa yang diperlukan yaitu suatu “tijdstip” (saat) untuk menimbang dengan tenang. Istilah ini adalah kebalikan dari “pertumbuhan kehendak dengan tiba-tiba” (ogenblik kelijk gemoedsopwelling).

Menurut Tirtaamidjaya, suatu jangka waktu yang panjang atau pendek antara keputusan dan pelaksanaannya bukan merupakan suatu kriterium bagi “direncanakan terlebih dahulu”, tetapi jangka waktu itu harus ada untuk menetapkan apakah orang yang melakukan kejahatan itu setelah ada dalam keadaan berfikir telah memikirkan arti dan akibat-akibat dari perbuatan yang dimaksud itu. (Tirtaamidjaja : Pokok-pokok Hukum Pidana )

Suatu contoh mengenai hal ini misalnya, pada suatu saat timbul kehendak A untuk Membunuh B, ia sudah merencanakannya bahwa ia akan menikamnya pada suatu malam yang sunyi dua hari yang akan datang. Akan tetapi pada suatu hari yang pertama sekonyong-konyong berjumpa dengan B, dan oleh karena A dihinggapi rasa marah yang besar, maka pada saat itu juga A melaksanakan kehendaknya yaitu menikam B.

Dalam kasus tersebut diatas, A sudah merencanakan kehendaknya terlebih dahulu, pada waktu ia dalam keadaan tenang, namun pada saat melaksanakannya ia tidak dalam keadaan tenang, yaitu ketika A menikam B, A dalam keadaan gelisah. Sehingga pada saat itu justru telah terjadi pembentukan kehendak yang baru, jadi bukan pelaksanaan kehendak yang telah direncanakannya semula, yaitu dari dua hari sesudahnya tetapi satu hari sesudahnya. Didalam hal ini maka terhadap A harus dipersalahkan terhadap pembunuha biasa sebagaimana yang diatur didalam pasal 338 KUHP dan bukan dipersalahkan terhadap pembunuhan biasa sebagaimana yang dirumuskan didalam pasal 340 KUHP.

Dalam pada itu perlu kiranya dikemukakan disisi bahwa “doodslag” sebagaimana diatur

(6)

dalam pasal 338 KUHP diancam dengan hukuman penjara paling tinggi lima belas tahun. Sedang

“moord” diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling tinggi dua puluh tahun. Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam perbuatan pidana pada pasal 340 KUHP selain unsur yang sama dengan doodslag, masih ditambah dengan unsur “met voorbedachte rade”.

2. Macam-macam Pembunuhan Menurut KUHP

Kejahatan terhadap nyawa manusia yang dilakukan dengan sengaja diatur dalam pasal 338 KUHP s/d 350 KUHP. Kejahatan terhadap nyawa manusia dapat diperinci berdasarkan sistematik KUHP menjadi tiga golongan yang mendasarkan diri pada obyeknya yang merupakan kepentingan hukum yang dilanggar, yaitu:

1. Kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa manusia pada umumnya (pasal 338, 339 dan 340 KUHP)

2. Kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa seorang anak yang sedang atau tidak antara lama dilahirkan (pasal 341, 342 dan 343 KUHP)

3. Kejahatan terhadap nyawa seorang anak yang masih dalam kandungan si ibu (pasal 346, 347 dan 348 KUHP)

Dari uraian kejahatan nyawa tersebut diatas, maka perlu juga dibahas kejahatan terhadap nyawa yang sesuai dengan pasal 344 KUHP (“euthanasia”) dan pasal 345 KUHP.

Pasal 344 KUHP pada dasarnya mengatur mengenai pembunuhan yang dilakukan atas pemintaan yangtegas dari si korban. Jenis kejahatan ini memiliki unsur yang khusus yaitu atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh. Dari adanya unsur tersebut rasanya mustahil apabila ada orang yang meminta agar dirinya dibunuh oleh orang lain.

Jadi, pada dasarnya pernyataan yang diucapkan oleh anak kecil maupun orang yang berpenyakit jiwa dianggap tidak tegas dan tidak sungguh-sungguh.

Pembunuhan Anak Dan Macam-Macamnya 1. Macam-macam Pembunuhan Anak

Pembunuhan terhadap nyawa seorang anak dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:

a. Pembunuhan anak (kinderdoodslag)

b. Pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu (kindermoord) c. Keturutsertaan dalam pembunuhan anak

Untuk mendapatkan kejelasan dari ketiga macam pembunuhan anak tersebut, maka saya akan menguraikannya lebih lanjut.

a. Pembunuhan anak (kinderdoodslag)

Pembunuhan jenis ini diatur dalam pasal 341 KUHP, yang secara keseluruhan isinya adalah sebagai berikut:

“Seorang ibu yang karena takut akan diketahui ia sudah melahirkan anak, pada ketika anak itu dilahirkan atau tiada beberapa lama sesudah dilahirkan, dengan sengaja menghilangkan nyawa anak itu, dipidana karena bersalah melakukan pembunuhan anak, dengan pidana penjara selama- lamanya tujuh tahun”.

Yang diancam dalam pasal 341 adalah seorang ibu yang dengan sengaja membunuh anak kandungnya yang pada waktu atau segera setelah anak itu dilahirkan. Apabila si pelaku bukan ibu kandung dari si korban, maka si pelaku akan diberikan hukuman sesuai dengan pasal 338 KUHP.

Jadi, pelaku pembunuhan anak pada pasal 341 harus ibu kandung si korban agar bisa dihukum sesuai dengan pasal 341 KUHP.

Pembunuhan anak / kinderdoodslag harus didasari dengan syarat yang terpenting yaitu bahwa seorang ibu yang melakukan pembunuhan terhadap anaknya tersebut terdorong “rasa

(7)

takut” apabila kelahiran anaknya tersebut diketahui oleh orang lain. Sedangkan yang perlu dijelaskan disini adalah pengertian mengenai “takut diketahui telah melahirkan anak”.

Dari sejarah dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “takut diketahui telah melahirkan anak”. Itu sebenarnya adalah “kekhawatiran akan mendapat malu” atau “angst voor schande”, karena pelaku telah melahirkan anak diluar pernikahan. Rasa takut dari si ibu muncul ketika anak itu dilahirkan. Biasanya rasa takut tersebut muncul karena anak yang dilahirkannya tersebut adalah hasil hubungan gelap yaitu hubungan diluar perkawinan. Seorang ibu akan merasa malu karena melahirkan anak tanpa ada suaminya. Sehingga dengan tega ia membunuh bayi yang tidak berdosa tersebut. Syarat adanya rasa takut dari si pelaku kejahatan pada pasal 341 KUHP harus mutlak ada. Apabila syarat itu tidak ada, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan pasal 341 KUHP, akan tetapi perbuatan tersebut dikenakan pasal 338 KUHP.

Pembunuhan anak atau “kinderdoodslag” seperti yang diatu dalam pasal 341 KUHP harus dilakukan “pada waktu” atau “segera setelah” anaknya itu dilahirkan. Ini berarti bahwa pembunuhan terhadap nyawa seorang anak yang sedang dalam proses kelahirannya itu bukan lagi merupakan pengguguran atau suatu “afdrijving” melainkan telah merupakan pembunuhan anak atau sudah kinderdoodslag.

Sedangkan apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup, kemudian si ibu membuangnya agar dirinya bebas dari tanggung jawab, maka berlakulah ketentuan pasal 308 KUHP yaitu menelantarkan anak yang baru dilahirkan dengan maksud untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.

Perbuatan yang dilakukan oleh seorang ibu atas anaknya sendiri yang baru dilahirkan, karena merasa takut diketahui oleh orang lain dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawab dari padanya, apabila perbuatan itu tidak membawa akibat kematian, maka patutlah kalau si pelaku dikenakan ketentuan pasal 308 KUHP. Sedangkan apabila perbuatan tersebut membawa akibat pada kematian, dimana perbuatan menghilangkan nyawa anaknya tersebut dilakukan karena takut diketahui orang lain, maka si pelaku tidak dapat dikenakan pasal 308 KUHP, sebab dalam ketentuan pasal 308 KUHP tidak diisyaratkan adanya “kematian”. Pasal 306 ayat (2) yang mengatur penelantaran anak yang dapat yang dapat membawa akibat kematian juga tidak mengisyaratkan bahwa anak yang ditelantarkan itu adalah “tidak lama sesudah dilahirkan” dan pelakunya tidak harus ibunya sendiri. Jadi yang lebih cocok adalah melanggar ketentuan pasal 341 KUHP. Dalam pasal 341 KUHP terdapat suatu unsur yaitu bahwa perbuatan pembunuhan anak itu membawa akibat kematian. Tidak dipersoalkan bagaimana cara perbuatan itu dialkukan, yang penting adalah akibatnya, yaitu menyebabkan kematian.

Pembunuhan anak itu dapat dilakukan dengan cara bermacam-macam, baik dengan jalan melakukan suatu perbuatan maupun dengan mengabaikan suatu perbuatan, misalnya dengan sengaja beberapa lama meninggalkan anak itu dengan tidak dipelihara.( Dalih Mutiara : 1962)

Untuk dapat dijatuhi pembunuhan menurut pasal 341 KUHP, maka bayi yang dilahirkan tersebut harus dalam keadaan “hidup”. Apabila bayi tersebut dalam keadaan mati, sedangkan si ibu mengira bahwa bayi yang dilahirkannya tersebut masih hidup, maka tetap saja si ibu tidak dapat dikenakan pasal 341 KUHP.

Hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku pembunuhan anak atau “kinderdoodslag”

adalah lebih ringan bila dibandingkan dengan pembunuhan pada umumnya (pasal 338 KUHP).

Hal ini terjadi karena perbuatan pembunuhan anak itu pada umumnya dilakukan oleh seorang ibu dengan motif yang tersendiri dan dilakukan dalam keadaan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan sebagai akibat dari goncangan jiwanya. Didalam MvT, kegoncangan jiwa dari seorang ibu yang tidak menikah dalam hal itu telah melahirkan anak diluar pernikahan karena khawatir mendapat malu jika diketahui oleh orang lain itu disebut suatu dasar yang menurut ilmu pengetahuan hukum yang meringankan pidana “rechskundigen grond voor de lichtere strafbaarheid”.(Smidht, Geschiedenis II, h. 461)

(8)

b. Pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu (kindermoord)

Ketentuan pasal 342 KUHP mengatur tentang “kindermoord” yang pada pokoknya dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Seorang ibu yang untuk menjalankan keputusan yang diambilnya karena takut diketahui orang bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, pada ketika dilahirkan atau tidak lama dilahirkan, dengan sengaja menghilangkan nyawaanak berencana, dipidana karena bersalah melakukan pembunuhan anak berencana, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun”.

Perbuatan “kindermoord” pada dasarnya memiliki kesamaan unsur dengan

“kinderdoodslag” yaitu kejahatan yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang sedang atau tidak lama dilahirkannya. Namun demikian, dari kesamaan tersebut juga ada perbedaan yang sangat dominan, yaitu kehendak untuk membunuh anaknya (pada pasal 342) telah ada ketika si ibu masih mengandung meskipun pada hakekatnya pembunuhan tersebut dilakukannya pada saat atau tidak lama setelah anak tersebut dilahirkan. Sedangkan kehendak untuk membunuh anaknya (pasal 341) muncul pada saat atau tidak lama setelah anaknya tersebut dilahirkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “opzet” nya pada pasal 342 itu timbul pada si ibu sebelum ia melahirkan anak, sedangkan pada pasal 341, “opzet” nya timbul pada saat si ibu sedang atau tidak lama setelah melahirkan.

Pasal 342 KUHP mempunyai unsur direncanakan terlebih dahulu yaitu mengandung pengertian sebelum ada pelaksanaannya pembunuh anak, perbuatan tersebut dipikir terlebih dahulu. Akan tetapi “unsur direncanakan terlebih pada pasal 342” tidak sama dengan “unsur direncanakan terlebih dahulu pada pasal 340”. Dengan kata lain bahwa kehendak untuk membunuh anaknya (pasal 342) dalam keadaan yang tidak tenang, justru karena didorong oleh rasa takut bahwa ia akan melahirkan seorang anak. Sedangkan pada pasal 340, kehendak untuk membunuh tidak ada alasan takut.

c. Keturutsertaan dalam pembunuhan anak

Jenis kejahatan ini diatur dalam pasal 343 KUHP. Secara keseluruhan isi dari pasal 343 KUHP adalah sebagai berikut:

“Bagi orang lainyang turut serta kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342, dianggap sebagai pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana”.

Dari bunyi pasal 343 tersebut, maka hukuman bagi pelaku pembunuhan anak (pasal 341) atau pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu (pasal 342) “tidak diberlakukan terhadap mereka yang turut serta dalam perbuatan pidana pada pasal 341 maupun pasal 342”.

Perbuatan “turut serta” dalam pembunuhan pasal atau kinderdoodslag seperti yang diatur dalam pasal 343 KUHP akan mendapatkan hukuman sesuai pasal 338 KUHP yaitu dianggap telah tururt serta dalam tindak pidana pembunuhan biasa atau doodslag. Orang untuk turut serta tersebut diancam dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun yakni pidana tertinggi dari perbuatan pidana pembunuhan biasa atau doodslag.

Perbuatan “turut serta dalam kindermoord” akan mendapatkan hukuman sesuai pasal 340 KUHP, karena dipandang telah “lahirkan” dalam tindak pidana pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu atau tinak pidana “moord”, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun seperti yang ditentukan dalam pasal 340 KUHP.

Pasal 343 KUHP hanya berlaku bagi orang yang turut serta, sedangkan orang yang hanya

“membantu melakukan” tidak dapat dikenakan pasal 343 KUHP.

Dari ketentuan pasal 343 KUHP tersebut, maka perlu untuk diketahui pendapat dari van Bemmelen yang menyatakan bahwa orang yang turut serta dalam pembunuhan anak atau dalam pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu, akan dipidana sebagai orang yang turut serta dalam pembunuhan biasa atau pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu.. (van

(9)

Bemmelen, Ons Strafrecht I, h. 297)

Jadi pada dasarnya orang yang “turut serta” dalam pembunuhan anak atau pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu itu dikualifikasikan dan dipidana sebagai “turut sertaan” (deelneming) dalam pembunuhan biasa atau pembunuhan direncanakan terlebih dahulu. Bukan

dikualifikasikan dan dipidana sebagai “pelaku” dari perbuatan pidana pembunuhan biasa atau pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu.

Dari uraian diatas mengenai macam-macam pembunuhan anak, maka perlu juga dibahas pasal-pasal mengenai “pengguguran kandungan atau pembunuhan janin dalam kandungan”.

Ketentuan dari kejahatan “pengguguran kandungan atau pembunuhan janin” diatur dalam pasal 346 s/d 349 KUHP. Bunyi dari pasal 346 KUHP adalah sebagai berikut: “Wanita yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya, atau menyuruh orang lain menyebabkan itu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun”.

Dari pasal 346 KUHP tersebut, maka yang mempunyai inisiatif untuk menggugurkan kandungan itu adalah wanita pemilik janin itu sendiri. Sedangkan mengenai pelaksanaan pembunuhan janin itu berbeda. Kelompok yang pertama sudah jelas bahwa wanita itu sendiri yang membunuh janin dalam kandungannya. Pasal 346 hanya menghukum wanita yang memiliki janin tersebut. Sedangkan orang lain yang “disuruh” dapat dikenakan pasal 348 KUHP yaitu menyebabkan matinya janin pada kandungan seorang wanita dengan izin wanita itu.

Janin yang ada dalam kandungan wanita tersebut harus dalam keadaan “hidup” agar si pelaku dapat dituntut menurut pasal 346, 347, 348, ataupun 349 KUHP. Sianturi mengatakan bahwa dari sudut ilmu kebidanan, janin itu menurut S.A. Gulam baru berbentuk manusia sempurna dan dketahui jenis kelaminnya setelah kandungan itu berumur tiga bulan. (Sianturi, Tindak Pidana di KUHP)

Menurut Imron Hamzah (Rois Syuriah PWNU Jawa Timur), menyatakan bahwa pembunuhan janin dalam kandungan adalah dosa besar dan tergolong alam kategori “abortus provocatus” atau kesengajaan menggugurkan kandungan yang sesuai dengan pasal 346 KUHP, bila usia kandungan lebih dari empat bulan.

Dari pendapat yang dikemukakan Sianturi, maka saya berpendapat bahwa pengguguran kandungan atau abortus provocatus pada janin yang belum berumur 3 bulan adalah tidak melanggar ketentuan pasal 346, 347, 348, maupun 349 KUHP. Alasannya adalah janin belum berbentuk “manusia yang bernyawa”.

Pasal 347 mempunyai isi yang tidak jauh berbeda dengan pasal 346. Hanya saja ada sedikit perbedaan mengenai pelakunya yaitu, pada pasal 346 pelakunya bisa wanita itu sendiri (yang memiliki janin) atau bisa juga orang lain yang disuruh oleh si wanita pemilik janin..

Unsur “zonder hare toestemming” (tanpa izin) dalam pasal 348 harus timbul dari pelaku itu sendiri. Dengan demikian pembunuhan janin dalam kandungan dapat disebut telah dilakukan

“tanpa izin”. Jika wanita yang mengandung itu “menolak” atau “tidak meminta” agar kandungannya digugurkan atau agar janin yang berada dalam kandungannya dibunuh.

Unsur “tanpa izin” dalam pasal 347 dan unsur “dengan izin” dalam pasal 348 harus diketahui oleh si pelaku bahwa wanita yang mengandung tersebut dengan tegas “telah memberikan izinnya”, atau telah menyatakan penolakannya, maka apabila tidak terbukti bahwa wanita yang mengandung itu “dengan tegas” telah menolaknya, perbuatan menggugurkan kandungan itu dipandang sebagai telah dilakukan oleh pelaku “tanpa seizin wanita yang bersangkutan”.

Wanita hamil yang memberikan izin kepada orang lain untuk menggugurkan kandungannya tersebut (pasal 348) tidak dapat dituntut telah melakukan sesuatu “bentuk keturutsertaan” seperti yang diatur dalam pasal 55 KUHP, melainkan ia dapat dituntut pasal 346 KUHP yaitu menyuruh orang lain untuk menggugurkan kandungannya.

(10)

Dari pasal 346, 347, dan 348, maka perlu juga untuk dibahas mengenai pasal 349 yaitu menyatakan keterlibatan seorang dokter, bidan atau ahli meramu obat-obatan dalam tindak pidana pengguguran kandungan atau menyebabkan matinya janin yang berada dalam kandungan.

Dengan sengaja telah memberikan bantuan mereka pada waktu orang lain menyebabkan gugurnya kandungan atau menyebabkan matinya janin yang berada dalam kandungan seorang wanita ataupun dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan kepada orang lain untuk melakukan perbuatannya dengan seizin maupun tanpa izin dari wanita yang bersangkutan. (Lamintang : 1985)

Dari ketentuan Pasal 15 (UU No. 23/1992) tersebut, maka tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tidak boleh bertentangan dengan ketentuan pasal 15 (UU No. 23/1992). Apabila tindakan medis untuk menggugurkan janin tersebut bertentangan dengan pasal 15 (UU No.

23/1992), maka si pelaku dapat dikenakan pasal 80 (UU N0. 23/1992) yaitu yang berbunyi sebagai berikut: (pasal 80 ayat (1))

“Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.

Dari ketentuan pasal 80 ayat (1) (UU No. 23/1992) dan pasal 349 pada dasarnya mempunyai kesamaan maksud. Pasal 80 ayat (1) menghukum si pelaku yang melakukan tindakan medis terhadap ibu hamil yang tidak sesuai dengan pasal 15 (UU No. 23/1992) dengan kata lain yaitu melakukan “abortus provocatus”. Demikian juga halnya dengan pasal 349 KUHP, yaitu si pelaku bersalah melakukan atau membantu “abortus provocatus”.

Dari pasal 349 KUHP dan pasal 80 ayat (1) (UU No. 23/1992) maka kesamaan maksud dari pasal tersebut apabila ada si pelaku yang melanggar, maka hanya salah satu pasal yang dipakai untuk menghukum si pelaku. Dari hal tersebut maka berlakulah asas “lex spacialis derogat legi generali” yang artinya undang-undang hukum khusus untuk meniadakan undang- undang umum. Sebagaimana ketentuan pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa “kalau bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan”.

Dalam uraian tersebut, maka yang berlaku apabila ada kasus abortus provocatus adalah pasal 80 ayat (1) (UU No. 23/1992) karena Undang-Undang No. 23/1992 merupakan ketentuan pidana yang lebih khusus dibandingkan dengan KUHP.

2. Subyek Hukum yang Dapat Diadili dalam Pembunuhan Anak

Subyek hukum adalah pelaku yang dapat dimintai pertanggung jawaban atas kejahatan yang dilakukannya. Dalam hukum pidana, subyek hukum yang dapat diadili adalah orang per orang, sedangkan badan hukum yang tidak dapat diadili atas perbuatan pidana. Akan tetapi oknum yang berada didalam suatu badan hukum dapat diadili atas perbuatan yang dilakukannya.

Dari uraian tersebut, maka peneliti akan menjelaskan subyek hukum yang dapat diadili khususnya pada perbuatan pembunuhan anak. Dari isi pasal 341, maka akan didapat bahwa subyek hukum dari kejahatan tersebut adalah seorang ibu. Sedangkan pengertian mengenai hal tersebut adalah bahwa ibu yang dimaksud merupakan ibu kandung dari si korban. Orang lain yang bukan ibu kandung dari si korban tidak dapat dimintai pertanggung jawaban, sebagai subyek hukum dikhususkan untuk ibu kandung korban.

Bila ditinjau lebih jauh mengenai status dari ibu kandung tersebut, apakah ia sudah mempunyai suami atau belum dengan pengertian sudah kawin secara syah atau belum, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Sebagaimana pendapat Langemeijer yang menyatakan bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 341 KUHP itu juga dapat diberlakukan bagi wanita yang telah menikah, jika wanita tersebut memang mempunyai alasan untuk merasa takut akan diketahui orang lain bahwa ia telah melahirkan seorang anak. (Noyon-Langemeijer, Het Wetboek

(11)

catatan I pada pasal 290)

Subyek hukum pada pasal 341 adalah sama dengan subyek hukum pada pasal 342, yaitu ibu kandung dari si korban. Sedangkan subyek hukum pada pasal 343 adalah tidak sama dengan subyek hukum pada pasal 341 dan 342 walaupun pada dasarnya pasal 341, 342, dan 343 adalah pasal-pasal yang mengatur tentang pembunuhan anak. Subyek hukum dalam pasal 343 adalah orang lain selain dari ibu kandung si korban.

Apabila dalam pembunuhan anak pada pasal 341 dan 342 adalah ibu kandung sendiri yang bisa dikatakan sebagai subyek hukum, maka yang timbul masalah, apakah ayah dalam keadaan yang serupa bisa dihukum sesuai pasal 341 atau 342 ?

Secara jelas pada pasal 341 dan 342 subyek hukumnya tidak bisa ditafsirkan lain. Jadi apabila ada ayah dari si korban melakukan pembunuhan pada bayi yang “pada saat” atau “tidak lama setelah dilahirkan”, maka ia dikenakan perbuatan pembunuhan yang sesuai dengan pasal 338 atau pasal 340 KUHP. Sebagaimana yang dikatakan Hermin Hadiati Koeswadji yaitu bahwa ayah dalam keadaan yang serupa tidak terkena oleh ketentuan pasal 341 maupun 342, hanya ibu kandung yang dapat diadili sesuai pasal 341 maupun pasal 342.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa subyek hukum dalam pasal 341 dan 342 adalah ibu kandung si korban, sedangkan subyek hukum pada pasal 343 adalah orang lain “yang turut serta” dalam pembunuhan anak.

Kasus dan Pembahasan 1. Duduk Perkara

Sariyem lahir di Nganjuk, umur 20 tahun, jenis kelamin perempuan, tempat tinggal di Desa Jatisari Kecamatan Wilangan Kabupaten Nganjuk, agama Islam, pekerjaan pembantu rumah tangga, pendidikan SD.

Sariyem pada hari Rabu, tanggal 12 Juli 1989, di rumah majikannya jalan Sawangi nomor 12 kompleks TNI AL Pulungan Kecamatan Sedati, telah melahirkan anak dari hubungan gelap dengan orang lain, karena Sariyem takut diketahui melahirkan anak, maka pada saat anak itu dilahirkan atau tidak beberapa lama dilahirkan dengan sengaja menghilangkan nyawa anak tersebut yaitu dengan cara Sariyem sewaktu melahirkan anak didalam kamar mandi majikannya, anak yang lahir tersebut dicekik lehernya sampai meninggal, kemudian anak tersebut dibuang ke sumur yang tidak terpakai sehingga anak tersebut meninggal dunia, baik setelah tercekik atau dibuang ke dalam sumur.

Sariyem berada didalam tahanan Polres Sidoarjo sejak tanggal 17 Juli 1989 karena telah membunuh bayi yang dilahirkannya dengan perasaan takut diketahui orang bahwa Sariyem telah melahirkan seorang anak. Perbuatan Sariyem melanggar ketentuan pasal 341 KUHP.

2. Pertimbangan Hukum

Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo ketika akan menjatuhkan hukuman kepada Sariyem, terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman bagi Sariyem. Hal-hal yang memberatkan hukuman tidak ada. Sedangkan hal-hal yang meringankan hukuman antara lain: Sariyem belum pernah dihukum, Sariyem masih muda dan diharapkan bisa memperbaiki kelakuannya, Sariyem menyesal atas perbuatannya.

Unsur direncanakan terlebih dahulu pada perbuatan yang dilakukan Sariyem tidak terbukti ketika perbuatan tersebut disidangkan. Sariyem terbukti secara syah melakukan pembunuhan anak dengan tidak direncanakan terlebih dahulu.

Dalam sidang pengadilan, didengar tujuh orang saksi yang memberikan keterangan dibawah sumpah sebagai berikut:

Saksi pertama adalah Nyonya Rurien yang mengatakan bahwa Sariyem bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahnya baru ikut selama 19 hari. Rurien mengambilkan obat ketika

(12)

mengetahui Sariyem sakit perut pada jam 18.00 WIB, tanggal 12 Juli 1989. Akan tetapi obat yang diberikan Rurien tersebut tidak diminum oleh Sariyem. Rurien diberi tahu oleh saudaranya yaitu yang bernama Wuryaning bahwa di got kamar mandinya ada darah, akhirnya Rurien tahu bahwa darah itu berasal dari Sariyem yang tadinya masuk kamar mandi cukup lama. Rurien membawa Sariyem ke rumah bersalin Waru untuk memeriksakan Sariyem. Sariyem menolak ketika diperiksa “dalam” (vagina).

Saksi yang kedua adalah Wuryaning yang menyatakan bahwa saat menjelang maghrib ia mengetahui bahwa Sariyem sakit perut, kemudian masuk kamar mandi cukup lama dan tidak menjawab ketika dipanggil. Wuryaning mendengar suara “klekek” dari dalam kamar mandi dan suara siraman air yang banyak. Wuryaning akhirnya mengetahui bahwa dalam got kamar mandi ada darah. Empat hari setelah Sariyem pulang ke Nganjuk, Wuryaning menemukan bayi yang sudah meninggal di dalam sumur tetangganya sewaktu Wuryaning mencari ayam.

Saksi ketiga adalah Prasmini (Ibu Bambang) yang menyatakan bahwa ia ikut mengantar Sariyem ke rumah bersalin Waru karena Sariyem sakit perut dan banyak mengeluarkan banyak darah. Prasmini juga mengetahui bahwa Sariyem pulang ke Nganjuk pada keesokan harinya.

Saksi yang keempat adalah Sumiati yang menyatakan bahwa sebagai bidan di rumah bersalinWaru mengetahui Sariyem pernah diperiksa di tempat tersebut setelah Sumiati membaca di buku terima pasien.

Saksi yang kelima adalah Sri Utami yang menyatakan bahwa ia memeriksa Sariyem pada perut dan payudaranya, karena Sariyem menyatakan sakit perut dan pendarahan. Ketika diperiksa, payudara Sariyem mengeluarkan air susu. Akan tetapi Sariyem tidak mau diperiksa “dalam”

(vagina), sehingga Sri Utami akhirnya hanya memberikan obat untuk mengurangi pendarahan.

Saksi yang keenam adalah Sugiyanto yang mengetahui bahwa Rurien (istrinya) bersama dengan Prasmini memeriksa Sariyem ke rumah bersalin Waru. Kemudian pada keesokan harinya Sugiyanto mengantarkan Sariyem ke Nganjuk.

Saksi yang ketujuh adalah Muntoliah yang bertugas sebagai perawat di rumah bersalin Waru bersama-sama dengan Sri Utami memeriksa Sariyem. Ternyata Sariyem tidak mau diperiksa “dalam” (vagina), sehingga Sariyem akhirnya hanya diberi obat untuk mengurangi pendarahan.

Tuntutan jaksa penuntut umum yaitu Syamsudin Yusuf, jaksa pada kejaksaan negeri Sodoarjo tertanggal 11 Nopember 1989 yang berkesimpulan Sariyem telah bersalah melakukan perbuatan pidana yang telah didakwakan kepadanya yaitu telah terbukti dengan syah dan meyakinkan melanggar pasal 341 KUHP yaitu dengan sengaja menghilangkan nyawa anak kandung.

“Menuntut agar terdakwa: dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun dipotong selama berada di dalam tahanan sementara. Barang bukti berupa satu lembar kain panjang (jarit) warna coklat dirampas untuk dimusnahkan dan menetapkan pula agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 500,- (lima ratus rupiah)”.

Dari tuntutan jaksa Syamsudin Yusuf, maka hukum pengadilan negeri Sidoarjo yang diketuai Bambang Chatiarso, dengan keputusannya tanggal 2 Nopember 1989 No.

175/Pidana/B/1989/Pengadilan Negeri Sidoarjo.

Memutuskan

“Menyatakan terdakwa Sariyem, bersalah melakukan tindak pidana pasal 341 KUHP (dengan sengaja membunuh anak sendiri sesaat setelah dilahirkan)”.

“Menghukum terdakwa oleh karenanya dengan hukuman penjara selama dua tahun enam bulan dengan ketentuan bahwa hukuman itu akan dikurangi waktunya selama terdakwa berada dalam tahanan sementara sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum pasti”.

“Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan “.

“Memerintahkan mengembalikan barang bukti berupa sebuah kain panjang (jarit) warna coklat kepada terdakwa”.

(13)

“Menghukum supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 500,- (lima ratus rupiah)”.

Pembahasan

Putusan yang dijatuhkan oleh hakim Bambang Chatiarso tanggal 27 Nopember 1989 No.

175/Pidana/B/1989/Pengadilan Negeri Sidoarjo, putusan tersebut sesuai dengan pasal 341 KUHP, yaitu secara terperinci, isinya sebagai berikut:

1. Seorang ibu

2. Karena takut akan melahirkan anak

3. Pada saat anaknya lahir atau tidak lama kemudian 4. Dengan sengaja

5. Merampas nyawa 6. Anaknya

Saya setuju dengan keputusan yang dijatuhkan oleh Bambang Chatiarso, karena perbuatan yang dilakukan oleh Sariyem sesuai dengan pasal 341 KUHP yaitu dengan sengaja membunuh anak kandungnya yang ketika dilahirkan atau tidak lama dilahirkan.

Pasal 341 KUHP isinya memuat bahwa pembunuhan anak tersebut harus dilakukan oleh seorang ibu, hal tersebut terbukti bahwa Sariyem memang ketahuan melahirkan anak, meskipun pada dasarnya belum bersuami, namun karena Sariyem telah melahirkan seorang anak, maka statusnya berubah yaitu dari gadis menjadi seorang ibu.

Unsur karena takut akan melahirkan anak sehingga orang ini akan mengetahui juga sudah jelas yaitu dengan adanya bukti-bukti dari keterangan Sariyem yang menerangkan bahwa Sariyem, membunuh anak tersebut karena takut dan malu ketahuan telah melahirkan anak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Simons yang mengatakan bahwa tindak pidana pembunuhan anak itu dilakukan oleh seorang ibu dengan motif yang tersendiri dan dilakukan dalam keadaan yang kurang dapat dipertanggung jawabkan sebagai akibat dari kegoncangan jiwa.

Kegoncangan dari seorang ibu itu yang tidak menikah seperti kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh Sariyem karena khawatir mendapat malu jika kelahiran anaknya diketahui orang lain, padahal Sariyem belum bersuami.

Unsur pada saat anaknya lahir atau tidak lama kemudian dapat dibuktikan melalui visum et repertum yang menyebutkan bahwa bayi yang dibunuh tersebut meninggal pada saat dilahirkan atau tidak lama dilahirkan. Dalam kasus pembunuhan anak tersebut, Sariyem melakukan pembunuhan dengan mencekik leher anaknya setelah anaknya tersebut lahir dalam keadaan hidup. Pembunuhan anak tersebut dilakukan “segera setelah anak itu dilahirkan”. Jangka waktu tersebut telah menunjukkan bahwa Sariyem telah membunuh anaknya sebelum pengaruh dari kelahiran tersebut menjadi terputus, hingga tertutuplah pula kemungkinan dijatuhkannya pidana yang lebih ringan dari pembunuhan tersebut berdasarkan alasan takut diketahui orang bahwa Sariyem telah melahirkan anak dan dengan sengaja membunuhnya.

Kasus yang tersebut diatas yaitu dengan sengaja melakukan pembunuhan anak didapatkan pula adanya kesengajaan dari Sariyem untuk membunuh anaknya, yaitu dengan cara mencekik leher anaknya kemudian membuangnya ke sumur tetangga yang tidak terpakai.

Kesenagjaan tersebut dilakukan pada saat anak tersebut dilahirkan. Niat membunuh anaknya timbul setelah anaknya terlahir, maka sudah sepantasnya bila Sariyem melanggar pasal 341 KUHP. Bila niat membunuh anaknya tersebut timbul sebelum Sariyem melahirkan, maka Sariyem dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan pasal 342 KUHP.

Adanya unsur merampas nyawa pada kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh Sariyem juga sudah jelas dengan adanya visum et repertum dari dokter yang menyatakan bahwa anak tersebut masih dalam keadaan hidup ketika dilahirkan.

Mengenai status dari anak itu sendiri juga sudah jelas yaitu dari keterangan terdakwa sendiri yaitu terdakwa Sariyem telah melahirkan anak perempuan, dan keterangan dari dokter

(14)

yang mengatakan bahwa Sariyem telah melahirkan antara tujuh sampai dua belas hari yang lalu.

Dari pembahasan kasus diatas, yaitu pembunuhan anak yang dilakukan dengan sengaja oleh Sariyem, maka jelaslah di sini bahwa terdakwa Sariyem secara syah melanggar pasal 341 KUHP. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 341 KUHP telah termuat seluruhnya dalam perbuatan pembunuhan anak yang dilakukan oleh Sariyem.

KESIMPULAN

Pembunuhan anak atau kiderdoodslag yang diatur dalam pasal 341 KUHP pada dasarnya ada sedikit perbedaan dengan pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu atau kidermoord yang diatur dalam pasal 342 KUHP. Perbedaan tersebut yaitu bahwa kiderdoodslag

“tidak ada unsur direncanakan” sedangkan kidermoord “ada unsur direncanakan terlebih dahulu”.

Pembunuhan anak atau kiderdoodslag mempunyai sedikit perbedaan dengan pengguguran kandungan atau abortus provocatus yaitu dalam kiderdoodslag yang dibunuh adalah seorang bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, sedangkan dalam abortus provocatus yang dibunuh adalah janin yang masih ada dalam kandungan.

DAFTAR PUSTAKA

Hermien Hadiati Koeswadji, 1984. Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-Asas, Kasus dan Permasalahannya, Sinar Wijaya, Surabaya.

J. M. van Bemmelen, 1979. Hukum Pidana 3 (Bagian khusus delik-delik khusus), Bina Cipta.

Lamintang,1985. Delik-Delik Khusus, Kejahatan terhadap nyawa tubuh dan kesehatan serta kejahatan yang membahayakan bagi nyawa, tubuh dan kesehatan, Bandung.

Moeljatno, 1971. KUHP dan Terjemahannya, Cet. ke-7, Minerva, Madiun, 1971.

R. Soesilo, 1986 KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Poleteia, Bogor, Cet. ke-9.

R. Sugandhi, 1981 KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981.

Tresna, 1959. Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. ke-1, Jakarta, 1959.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

WJS. Poerwadarminta, 1966 Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta.

Wirjono Prodjodikiro, 1981. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. ke-3, PT. Eresco Jakarta, Bandung, 1981

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penulisan menunjukkan bahwa: (1) Seorang sekretaris mempunyai peranan penting dalam suatu organisasi dituntut untuk menjadi sekretaris yang profesional

Pengendalian intern akuntansi pembelian mempunyai tujuan untuk menjaga alur informasi dari kas yang digunakan perusahaan untuk aktifitas perusahaan. Pengendalian intern

Metode naïve bayes telah banyak digunakan dalam hal klasifikasi.Dengan menggunakan metode naïve bayes tingkat akurasi yang dihasilkan dalam mengklasifikasikan

Hasibuan (2013) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi kompensasi yaitu kemampuan dan kesediaan perusahaan yaitu kemampuan dan kesediaan perusahaan

 Sel mikroba secara kontinyu berpropagasi menggunakan media segar yang masuk, dan pada saat yang bersamaan produk, produk samping metabolisme dan sel dikeluarkan dari

Hal inilah yang membuat bahan ajar berbasis nilai-nilai karakter bangsa menjadi penting dan dibutuhkan, karena dengan adanya bahan ajar tersebut, diharapkan dapat

ƞ ij g jt = Komponen spesifik wilayah yang dapat terkait dengan kesamaan struktur ekonomi, kondisi pasar tenaga kerja, kebijakan fiskal daerah, kondisi geografis, dan

menentukan mutu kegiatan belajar secara menyeluruh, menentukan mutu kegiatan belajar secara menyeluruh, yang dalam hal ini disebut skor. yang dalam hal ini