• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Makalah Tafsir Hadits Al Qur an Sebagai Sumber Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contoh Makalah Tafsir Hadits Al Qur an Sebagai Sumber Hukum Islam"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Contoh Maklah Tafsir Hadits

Al-qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Abdul Wahab Khallaf, kata adillah syar’iyyah (sumber hukum Islam), bersinonim dengan istilah adillah al-ahkam, ushul al-al-ahkam, al-mashadir al-tasyri’iyyah lil-al-ahkam.[1]

Para ulama’ membagi dalil hukum syara’ menjadi dua, 1) dalil yang disepakati (muttafaq), dan 2) dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil yang disepakati dibagi menjadi 4, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Mareka juga menyepakati bahwa keempatnya harus digunakan secara berurutan dan tidak melompat-lompat. Jika terjadi suatu peristiwa, maka dilihat lebih dulu hukumnya dalam al-Qur’an, jika tidak ditemukan dilihat hukumnya di dalam hadits, jika di dalam hadits belum juga ditemukan atau kurang jelas, maka mencari hukumnya dalam ijma’, jika belum ditemukan juga di dalam ijma’, maka berijtihad untuk mendapatkan hukumnya dengan menggunakan qiyas[2]. Allah SWT berfirman:

(2)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika

kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah

ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu

benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang

demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.

An-Nisa/4:59)

Selanjutnya dalil yang tidak disepakati (mukhtalaf), menurut Wahbah Zuhaili dibagi menjadi tujuh, yaitu istihsan, maslahah mursalah (istislah), istishab, urf, mazhab sahabi, syar’u man qoblana, dan saddu al-zariah[3]. Tetapi, menurut Abdul Wahab Khallaf hanya ada enam, dengan menghilangkan saddu al-zariah, maka menurutnya keseluruhan adillah syar’iyyah berjumlah 10 macam[4].

(3)

Dan pada makalah ini, penulis akan memaparkan makna al-Qur’an, bagaimana kehujjahannya, dalalah al-Qur’an, serta isi kandungan dan hukum-hukum yang dimuat di dalamnya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah pengertian al-Qur’an itu?

2. Apa bukti kehujjahan al-Qur’an?

3. Apa saja kandungan isi al-Qur’an?

4. Apa saja dalalah dari ayat-ayat al-Qur’an itu?

5. Apa saja hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an?

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Qur’an

(4)

kataghafara (رققفغ). Dikatakan qira’a, yaqra’u, qira’atan dan qur’anan ( ](-ةأرق -ؤرقي -أرق6 ]. Diantaranya adalah firman Allah SWT:

Dan dalam Kamus Ilmu Ushul Fikih, dikatakan bahwa lafadz al-Qur’an merupakan bentuk mashdar dari qara’a(أرققق) yang sepadan dengan kata fu’lan. Ada dua pengertian al-Qur’an dalam bahasa Arab, yaitu qur’an (نآرق) berarti bacaan, dan apa yang tertulis padanya, maqru (ؤرقم), isim fa’il (subjek)dari qara’a (al-Qiyamah (75) ayat 17-18)[7].

Secara terminologi, ada beberapa definisi dari pengertian al-Qur’an, antara lain:

1. Menurut ahli Ushul, al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang berbahasa Arab, telah dinukilkan (dipindahkan) kepada kita dengan jalan mutawatir, dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan Surah An-Nas, yang kita beribadah dengan membacanya.

(5)

3. Menurut Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dengan lafadz berbahasa Arab dangan makna yang benar sebagai hujjah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri oleh surat an-Nas serta dijamin keasliannya [9].

Dari beberapa pengertian al-Qur’an di atas, secara umum al-Qur’an adalah wahyu atau firman Allah swt yang diturunkan kepada Rasulullah saw melalui perantaraan malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab, untuk pedoman bagi umat manusia, merupakan mukjizat Nabi Muhammad saw yang terbesar, dinukilkan kepada kita secara mutawatir dan dinilai ibadah bagi yang membacanya.

B. Bukti Kehujjahan al-Qur’an

(6)

membuat orang-orang tidak mampu membuat atau mendatangkan sesuatu seperti Qur’an (kemukjizatan al-Qur’an).[10]”

Bukti dari kemukjizatan al-Qur’an tidak dilihat dari segi lafadznya saja, tetapi juga makna dan isinya. Di dalamnya berisi rahasia-rahasia alam yang hingga kini masih banyak yang belum terungkap. Ayat-ayat di dalamnya merupakan kalam Allah yang indah yang tak dapat ditandingi oleh siapapun (lihat QS (2):23, (28):49-50 ).

I’jaz, maksudnya menetapkan ketidakmampuan orang lain, tidak akan terealisir kecuali apabila tiga hal terpenuhi:

a. Adanya tantangan, maksudnya permintaan untuk beradu, saling menjatuhkan, dan berlawanan.

b. Adanya motivasi yang mendorong kepada penantang untuk mengajukan tantangan dan perlawanan.

c. Tidak ada penghalang yang menghalanginya dari perlawanan ini [11].

Al-Qur’an telah lengkap dalam melakukan tantangan, dan terdapat pula motivasi bagi orang yang menantangnya untuk melawan, dan tidak suatu penghalang bagi mereka. Kendati demikian, mereka tidak sanggup melawannya dan juga mendatangkan yang semisal al-Qur’an [12].

(7)

a. Keharmonisan struktur redaksinya, maknanya, hukum-hukumnya, dan teori-teorinya (Q.S, an-Nisa’: 82).

b. Persesuaian ayat al-Qur’an dengan teori ilmiah yang dikemukakan ilmu pengetahuan (Q.S, Fushshilat: 52-53).

c. Pemberitahuan al-Qur’an terhadap berbagai peristiwa yang hanya diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui terhadap hal-hal yang gaib (Q.S, Hud : 49).

d. Kefasihan lafadz al-Qur’an, kepetahan redaksinya, dan kuatnya pengaruhnya[13].

C. Isi Kandungan al-Qur’an

Berdasarkan terjemahan Departemen Agama RI, al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.

Kandungan pokok dalam al-Qur’an antara lain sebagai berikut:

 Masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala kepercayaan terhadap yang ghaib. Manusia diajak kepada kepercayaan yang benar, yaitu mentauhidkan Allah swt.

 Ibadat, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan yang

(8)

 Janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), yaitu janji dengan balasan yang baik/pahala bagi mereka yang berbuat baik, dan ancaman, yaitu siksa bagi mereka yang berbuat kejelekan. Janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka.

 Riwayat, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik

itu sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh, maupun nabi-nabi utusan Allah swt.

 Akhlak, yaitu perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf dengan menjalankan hal-hal yang utama dan menghindarkan diri dari hal-hal yang menghinakan.

 Muamalah, yaitu hukum-hukum yang termasuk di dalamnya hukum badan pribadi, perdata, pidana,, hukum acara, hukum tata Negara, hukum internasional, hukum ekonomi, dan keuangan.

Berdasarkan turunnya, ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu;

Pertama: Makiyyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan pada

masa sebelum Rasul hijrah ke Madinah. Ayat makiyyah ini mempunyai cirri-ciri yang menonjol, yaitu;

(9)

نودبعاف انأ لإ هلإ ل هنأ هيلإ يحون لإ لوسر نم كلبق نم انلسرأ امو

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak

ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu

sekalian akan Aku.”

2. Begitu pun ayat-ayat yang berbicara tentang kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW.

Kedua, Madaniyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan pada

masa setelah hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Ayat-ayat Madaniyah mempunyai ciri yaitu berupa masalah hukum dengan berbagai aspeknya. Contohnya sebagai berikut:

- Perintah membayar zakat (Q.S. al-Baqarah : 43)

نيعكارلا عم اوعكراو ةاكزلا اوتآو ةلصلا اوميقأو

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”

- Perintah puasa (Q.S. al-Baqarah: 183)

مكلعل مكلبق نم نيذلا ىلع بتك امك مايصلا مكيلع بتك اونمآ نيذلا اهيأ اي نوقتت

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

(10)

هلل ةرمعلاو جحلا اومتأو…

Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…”

- Larangan memakan harta orang lain dengan bathil (QS. al-Baqarah: 188):

نققم اقققيرف اولكأققتل ماققكحلا ىققلإ اهب اولدتو لطابلاب مكنيب مكلاومأ اولكأت لو نوملعت متنأو مإثلاب سانلا لاومأ

Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

- Talak (QS. at-Talak: 1)

هققللا اوقققتاو ةدعلا اوصحأو نهتدعل نهوقلطف ءاسنلا متقلط اذإ يبنلا اهيأ اي هققللا دودققح كلتو ةنيبم ةشحافب نيتأي نأ لإ نجرخي لو نهتويب نم نهوجرخت ل مكبر ارمأ كلذ دعب ثدحي هللا لعل يردت ل هسفن ملظ دقف هللا دودح دعتي نمو

(11)

yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

- Tentang warisan (QS. an-Nisa’: 11-12)

- Cara pembagian harta rampasan perang[14] (QS. al-Anfal: 1):

تاذ اوحلققصأو هققللا اوقتاققف لوققسرلاو هققلل لاققفنلا لق لافنلا نع كنولأسي نينمؤم متنك نإ هلوسرو هللا اوعيطأو مكنيب

Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.”

D. Dalalah Ayat al-Qur’an

Dalil dalam bahasa Arab ad-dalil (ليلدلا) jamaknya al-adillah (ةلدلا), dan secara terminologi berarti:

“petunjuk kepada sesuatu baik yang bersifat material maupun non material (maknawi).”

(12)

“Sesuatu yang dapat (mungkin) kita sampai dengan mempergunakan yang benar kepada sesuatu hasil yang bersifat khabar (hukum).”

Wahbah az-Zuhaili, dalam Ushul al-Fiqh al-Islami, memberikan batasan dengan:

“Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang statusnya qath’I (pasti) maupun zhanni (relatif).[15]”

Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita[16]. Artinya, semua ayat al-Qur’an yang kita baca adalah pada hakikatnya nash yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Rasulullah saw., karena apabila surat atau ayat turun, maka Rasulullah saw. membacakan kemudian ditulis oleh para sahabat yang ditugaskan untuk menuliskannya, dan dihafal serta dibaca ketika shalat.

Adapun nash-nash al-Qur’an itu dari segi dalalahnya terhadap hukum-hukum yang dikandungnya, maka ia terbagi menjadi dua bagian:

a. Nash yang qath’i dalalahnya terhadap hukumnya,

b. Nash yang zhanni dalalahnya terhadap hukumnya.

(13)

telah tertentu dan tidak mengandung takwil serta tidak ada peluang untuk memahami makna lainnya dari nash itu.

Misalnya firman Allah swt.:

دلو نهل نكي مل نإ مكجاوزأ كرت ام فصن مكلو…

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak.” (Q.S an-Nisaa: 12)

Ayat ini menjelaskan bahwa bagian suami dalam kondisi seperti ini adalah seperdua (qath’i).

Sedangkan nash yang zhanni dalalahnya adalah nash yang menunjukkan atas suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna ini dan makna lainnya dimaksudkan darinya. Seperti firman Allah swt.:

ءورق ةإثلإث نهسفنأب نصبرتي تاقلطملاو …

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru’…” (QS. al-Baqarah: 228)

Kata quru’ dalam bahasa Arab disebut lafadz musytaraq yaitu satu kata yang memiliki dua makna atau lebih. Maka kataquru’ bermakna suci dan haid[17].

(14)

Hukum yang dikandung oleh al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu[18];

Pertama: hukum-hukumI’tiqadiyah, yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf, yaitu mempercayai Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir.

Kedua: hukum moralitas, yang berhubungan dengan sesuatu yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf, berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal yang hina.

Ketiga: hukum amaliyyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf, baik berupa perbuatan, perkataan, perjanjian hukum, dan pembelanjaan. Macam yang ketiga ini adalah fiqh al-Qur’an. Dan inilah yang dimaksud dengan sampai kepadanya dengan ilmu ushul fiqh.

Hukum-hukum amaliyyah di dalam al-Qur’an terdiri dari dua macam, yaitu;

- Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dan ibadah-ibadah lainnya yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (habluminallah).

(15)

ibadah dan dimaksudkan untuk mengatur hubungan antar sesama mukallaf, baik sebagai

individu, bangsa, atau kelompok

(habluminannas).

Menurut istilah modern, hukum muamalat telah dibagi menurut sesuatu yang berkaitan dengannya dan maksud yang dikehendakinya menjadi beberapa macam;

1. Hukum keluarga, yaitu hukum yang berhubungan dengan keluarga, mulai dari pembentukannya, dan ia dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara suami istri dan kerabat satu sama lain.

2. Hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian dengan perhubungan hukum antara individu-individu dan pertukaran mereka, baik berupa jual-beli, penggadaian, jaminan, persekutuan, utang piutang, dan memenuhi janji dengan disiplin. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan harta kekayaan individu dan memelihara hak masing-masing yang berhak.

(16)

hak-hak mereka, serta menentukan hubungan antara pelakunya, korban tindak kriminal, dan umat.

4. Hukum acara, yaitu hukum yang berkaitan dengan pengadilan, kesaksian, dan sumpah. Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan di antara manusia.

5. Hukum perundang-undangan, yaitu hukum yang berhubungan dengan pengaturan pemerintahan dan pokok-pokoknya. Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan penguasa dan rakyat, dan menetapkan hak-hak individu dan masyarakat.

6. Hukum tata Negara, yaitu hukum yang bersangkutan dengan hubungan antara Negara Islam dengan negara lainnya, hubungan dengan orang-orang non-Islam yang berada di Negara non-Islam. Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan hubungan Negara Islam dengan Negara non-Islam, baik dalam keadaan damai maupun dalam suasana peperangan, serta menentukan hubungan antara umat Islam dengan non-Islam di berbagai Negara Islam.

(17)

orang-orang dan orang-orang-orang-orang kafir, dan antar Negara dan rakyat.

Menurut Muhammad Khuderi Bek dalam bukunya “Tarikh Tasyri’ al-Islami”, ada tiga prinsip yang melandasi hukum dalam al-Qur’an [19];

a. Tidak memberatkan (جرحتلا مدع)

Prinsip ini mengandung arti bahwa hukum al-Qur’an itu bersifat memudahkan. Pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan manusia. Sehingga hukum itu tidak menjadi beban. Prinsip ini didasari oleh banyak ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surat al-Baqarah ayat 185:

…رسعلا مكب ديري لو رسيلا مكب هللا ديري ….

Artinya: “… Allah menghendaki kemudahan darimu dan tidak menghendaki kesulitan…”

Contoh prinsip yang pertama ini antara lain hukum kebolehan berbuka puasa bagi orang yang sedang dalam perjalanan, dan hukum boleh melaksanakan shalat sesuai kemampuan.

b. Menyedikitkan beban

(18)

pengurangan, seperti dalam firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 102:

Artinya: “janganlah kamu bertanya tentang sesuatu yang jika dia diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.”

Contoh dari prinsip kedua ini adalah kewajiban haji hanya satu kali seumur hidup bagi yang mampu.

c. Berangsur-angsur

Salah satu keutamaan hukum Islam adalah cara penetapannya yang tidak sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dan bertahap, sehingga tidak memberatkan dan lebih memberikan kelonggaran. Karena al-Qur’an sangat memperhatikan proses perubahan sosial budaya yang berkembang di masyarakat. Contohnya dalam tahapan pengharaman khamr[20].

PENUTUP

A. KESIMPULAN

(19)

jika membacanya dihukumi ibadah, dan diawali dengan Surat Al-Fatihah dan diakhiri Surat an-Naas.

2. Bukti kehujjahan Al-Qur’an adalah, al-Qur’an diturunkan dari Allah swt., disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan manusia dalam penyusunannya. Hal ini mengandung arti bahwa al-Qur’an merupakan mukjizat yang membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan yang semisalnya.

3. al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf. Kandungan isi dalam al-Qur’an yang utama yaitu;

a. Tauhid, adalah tentang kepercayaan yang benar, yaitu pentauhidan terhadap keesaan Allah swt.

b. Ibadat, berisi amalan-amalan yang memperkokoh keimanan seseorang.

c. Janji dan ancaman, yaitu janji dengan pahala/balasan terhadap amalan yang baik yang dilakukan oleh seorang mukallaf, dan ancaman yang berupa peringatan bagi seseorang yang berbuat maksiat, berupa balasan dengan siksa/adzab.

d. Riwayat, yaitu kisah-kisah umat terdahulu yang berisi hikmah.

e. Akhlaq, adalah perilaku yang harus dijadikan perhiasan oleh seorang mukallaf.

(20)

Berdasarkan turunnya, kandungan isi al-Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu;

a. Makiyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Qur’an yang turun selama periode sebelum hijrahnya Nabi ke Madinnah. Berisi tentang ketauhidan kepada pengesaan Allah swt.

b. Madaniyyah, yaitu ayat-ayat atau surat-surat dalam al-Qur’an yang turun selama periode setelah hijrahnya Nabi ke Madinnah. Berisi tentang hukum-hukum yang berlaku sampai saat ini.

4. Nash-nash al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i dari segi kehadirannya dan ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada kita[21]. Nash-nash al-Qur’an dari segi dalalahnya dibagi menjadi dua;

a. Nash-nash yang qath’I dalalahnya, yaitu jika suatu ayat dalam al-Qur’an yang maknanya qath’I (pasti) dan tidak memerlukan penjelasan dari sumber lain (missal: as-Sunnah).

b. Nash-nash yang zhanni dalalahnya, adalah jika suatu ayat dalam al-Qur’an itu lafadznya pasti, tapi masih memerlukan penjelasan, karena merupakan kalimat yang masih memungkinkan untuk ditakwil.

5. Hukum-hukum dalam al-Qur’an di antaranya;

(21)

2. Akhlaq dan moral, yaitu sesuatu yang harus dijadikan perhiasan mukallaf dan menghindari hal-hal yang hina.

3. Hukum-hukum amaliyyah, yaitu hukum-hukum yang bersangkutan dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf (fiqh al-Qur’an)

Tiga prinsip yang melandasi hukum al-Qur’an;

a. Tidak memberatkan: hukum-hukum dalam al-Qur’an bersifat memudahkan, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan seseorang.

b. Menyedikitkan beban: dalam al-Qur’an, hukum-hukumnya memperhatikan objek dan tidak melakukan penambahan dan pengurangan.

c. Berangsur-angsur: cara penetapan hukum-hukum dalam Islam tidak sekaligus, tapi berangsur-angsur dan bertahap.

B. PENUTUP

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Mutholib Al Jabali Abdul, Al-Fiqhu wa Ushuluhu, Maktab Idarah as-Syu’un ad-Diniyyah, Jawa Tengah 2011

Prof. Wahhab Khallaf Abdul (terj. Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl. TAFL, dkk), Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang 1994

Drs. Shidiq Sapiudin, M.A., Ushul Fiqh, Kencana Predana Media Group, Jakarta 2011

Drs. Jumantoro Totok, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Penerbit Amzah, Jakarta 2009

Drs. Umar Muin, Dkk., Ushul Fiqh I, Departemen Agama RI, Jakarta 1986

Daftar Catatan Kaki

[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 20.

[2] Ibid, hlm. 21.

(23)

[4] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 22.

[5] Abdul wahhab Khallaf, terj., Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 18.

[6] Ibid, hlm. 18

[7] Drs. Totok Jumantoro, M.A., Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Penerbit Amzah 2009, hlm. 6

[8] Ibid, hlm. 7

[9] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt., hlm. 23

[10] Drs. Muin Umar, Dkk., Ushul Fiqh I, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986, hlm. 70

[11] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 21

[12] Ibid, hlm.21

[13] Ibid, hlm. 26-33

[14] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009, Cet. ke-3, hlm. 84-92

(24)

[16] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994, hlm. 36

[17] Ibid, hlm. 37-39

[18] Ibid, hlm. 34-36

[19] Drs. Sapiudin Shidiq, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Predana Media Group, cet. ke-1 2011, hlm. 49-52

[20] Lihat Q.S. Baqarah: 219, Q.S. an-Nisaa: 43, Q.S. al-Maidah: 90

Referensi

Dokumen terkait

Dalam dunia penafsiran al- Qur‟an ada sebuah corak yang bernama corak sufi yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan pemahaman atau pemberian pengertian

Implementasi mata pelajaran Al-Qur‟an Hadits terhadap bacaan al- Qur‟an siswa kelas X Madrasah Aliyah Muhammadiyah Limbung Kabupaten Gowa sangat berperan selama

Untuk menjaga keaslian cara baca Al-Qur‟an Allah mengutus malaikat Jibril untuk mengajarkan secara talaqqi musyafahah (bertatap muka langsung) cara membaca Al-Qur‟an yang

Al-Qur’an merupakan Firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagiaan lahir

dirinya tetap dalam kegelapan maka hanya akan menambah penyakit jiwa mereka karena mereka tidak berobat dengan al-Qur‟an yang telah diturunkan Allah sebagai obat dan

Keraguan ini bisa diatasi dengan argumentasi bahwa meskipun al-Qur’an diyakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai wahyu Allah yang verbatim, sementara Bibel

Tafsir al-Jabiri didasarkan pada sumber konteks situasi dan budaya saat mana suatu ayat diturunkan. Hal itu didasarkan pada prinsip bahwa pemaknaan ayat-ayat al-Qur`an harus

Maksud dari ayat ini adalah, andai mereka benar-benar beriman kepada Allah Swt, para Rasul dan Al- Qur‟an, pasti mereka tidak akan mengerjakan apa yang telah mereka perbuat itu,