SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Per syaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veteran” J awa Timur
Oleh :
PAULUS MICHAEL SITUMEANG 0971010038
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ J AWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Disusun Oleh :
PAULUS MICHAEL SITUMEANG NPM.0971010038
Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 02 Oktober 2014
PEMBIMBING
HARIYO SULISTIYANTORO, S.H., MM. NIP. 19620625 199103 1 001
TIM PENGUJ I : 1.
MAS ANIENDA TIEN FITRIYAH, S.H., MH. NPT. 37707090223
2.
YANA INDAWATI, S.H, MKn. NPT. 37901070224
3.
HARIYO SULISTIYANTORO, S.H., MM. NIP. 1960625 199103 1 001
Mengetahui, DEKAN
ii
AGAMA KATOLIK DI INDONESIA MENURUT UNDANG - UNDANG NO. 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Disusun Oleh :
PAULUS MICHAEL SITUMEANG NPM.0971010038
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi.
Menyetujui
Ketua Progran Studi :
Subani, S.H., M.Si.
NIP. 19510504 198303 1 001
Pembimbing :
Hariyo Sulistyantoro, S.H., MM. NIP. 19620625 199103 1 001
Mengetahui,
DEKAN
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Disusun Oleh :
PAULUS MICHAEL SITUMEANG NPM.0971010038
Telah diterima dan direvisi oleh Tim penguji Skripsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada tanggal 02 Oktober 2014
PEMBIMBING
HARIYO SULISTIYANTORO, S.H., MM. NIP. 19620625 199103 1 001
TIM PENGUJ I : 1.
MAS ANIENDA TIEN FITRIYAH, S.H., MH. NPT. 37707090223
2.
YANA INDAWATI, S.H., MKn. NPT. 37901070224
3.
HARIYO SULISTIYANTORO, S.H., MM. NIP. 1960625 199103 1 001
v KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam
menjalankan kehidupan ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi
ini dengan judul, “Tinja uan Yur id is Pelaksanaan Per kawinan Campur an Bagi
Agama K atolik Di Indonesia M enur ut Unda ng – Unda ng Nomor 1 T ahun 1974
T enta ng Per kawina n”.
Penyusunan Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai
kurikulum yang ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur. Disamping itu sebagai tahapan dalam pengajuan skripsi untuk
memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis bahwa penulisan
ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak dan sepatutnya
ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada semua pihak
dalam memberikan bantuan dalam segala bentuk.
Terima kasih dan hormat penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Har iyo Sulistiyantor o, S.H., M.M., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, yang
juga selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
2. Bapak Sutr isno, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
vi
3. Bapak Ir . Sigit Dwi Nugr oho, M.Si., selaku Wadek II Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Bapak Subani, S.H., M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
5. Romo Otong Setiawan, selaku Romo Paroki Gereja Katolik Santo
Yakobus yang bersedia memberikan waktunya untuk diwawancarai dalam
pengerjaan Skripsi ini.
6. Bapak Dwi Admoko, selaku Koordinator Bidang Perkawinan Gereja
Katolik Santo Aloysius Gonzaga yang bersedia memberikan ijin dan
arahan selama Penulis melakukan penelitian.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” JawaTimur, yang telah memberikan dedikasinya serta
ilmunya kepada saya sehingga berguna untuk masa depan saya serta bagi
nusa dan bangsa.
8. Bapak Sariyanto, S.Sos selaku Kepala Bagian Tata Usaha Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
9. Staf Tata Usaha Fakultas Hukum yang sudah banyak membantu dalam
kemudahan administrasi.
10.Kepada Keluarga tercinta, Bapak M. Situmeang dan Ibu Katarina A.S
serta adikku tersayang Ria Angelina yang telah memberikan dukungan
vii
11.Tak lupa kepada sahabat-sahabat yang banyak memberikan semangat
Indra, Rahman, Habibi, Sendy, Budi, Probo, Dito dan seluruh
Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
12.Dan kepada sahabat – sahabat yang banyak memberikan semangat dan
menemani saya di setiap waktu dan tempatnya Ardrian Goller, Ardian
Kurniawan, Dony Christianto, Leonardo Johanes, Sony Kristian, Rone
Soekarno, Yogi Dewantara dan seluruh teman satu angkatan 2006 SMA
Katolik Karitas III Surabaya. Beserta kekasihku Olivia Setiya yang
memberikan motivasi tersendiri dalam penyusunan skripsi ini.
Terakhir, tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari skrispsi ini banyak
kekurangannya. Oleh karena itu demi sempurnanya skrispsi ini dengan segala
keikhlasan dan kerendahan hati kritikan dan saran penulis terima hingga dapat
berguna. Semoga amal baik yang telah dilakukan mendapatkan restu dari Tuhan
Yang Maha Esa.Amin.
Surabaya, 09 Oktober 2014
ix
HALAMAN J UDUL ... i
HALAMAN PERSETUJ UAN MENGIKUTI UJ IAN SKRIPSI ... ii
HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI…… ... iii
HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI… iv KATA PENGANTAR ... v
SURAT PERNYATAAN ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
ABSTRAKSI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Tinjauan Tentang Perkawinan ... 5
1.5.1 Pengertian Tentang Perkawinan ... 5
1.5.2 Tujuan Perkawinan ... 6
1.5.3 Suarat sahnya Perkawinan ... 7
1.5.4 Asas-Asas Perkawinan ... 8
1.6 Perkawinan Campuran ... 9
1.6.1 Pengertian Perkawinan Campuran Menurut Agama Katolik ... 9
x
1.6.4 Syarat dan Pelangsungan Perkawinan Campuran
Di Indonesia ... 14
1.6.5 Akibat Perkawinan Campuran di Indonesia ... 15
1.7 Perkawinan ditinjau dari Hukum Perdata Internasional ... 15
1.7.1 Pengertian Perkawinan Campuran ... 15
1.7.2 Asas Hukum Perdata Internasional di Bidang Perkawinan ... 16
1.7.2.1 Validitas Esensial Perkawinan ... 16
1.7.2.2 Validitas Formal Perkawinan ... 17
1.7.3 Akibat-Akibat Perkawinan ... 17
1.8 Tinjauan Tentang Kewarganegaraan ... 18
1.8.1 Pengertian Kewarganegaraan ... 18
1.8.2 Perbedaan Ius Soli dan Ius Sanguinis ... 19
1.8.3 Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan ... 20
1.9 Metode Penelitian ... 22
1.9.1 Pendekatan Masalah ... 22
1.9.2 Sumber Data atau Bahan Hukum ... 22
1.9.2.1 Bahan Hukum Primer ... 23
1.9.2.2 Bahan Hukum Sekunder ... 23
1.9.2.2 Bahan Hukum Tersier ... 23
1.9.3 Metode Pengumpulan Data ... 24
xi
1.9.4 Metode Analisis Data ... 25
1.9.5 Sistematika Penulisan ... 25
BAB II PELAKSANAAN PERKAWINAN CAMPURAN BAGI AGAMA KATOLIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ... 27
2.1 Tata Cara dan Pelaksanaan Perkawinan Campuran di Indonesia ... 27
2.2 Perkawinan Campuran di Indonesia Secara Agama Katolik ... 33
2.2.1 Kesepakatan Nikah ... 35
2.2.2 Penataan Hukum ... 36
2.2.3 Dua Jenis Perkawinan Campur menurut Gereja Katolik ... 37
2.2.4 Syarat Untuk Melakukan Perkawinan beda agama di Gereja Katolik ... 37
BAB III AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN BAGI AGAMA KATOLIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ... 43
3.1 Akibat Hukum Perkawinan Campuran bagi Agama Katolik... 43
3.1.1 Keabsahan Perkawinan ... 43
3.1.2 Pencatatan Perkawinan ... 43
x
3.1.4.1 Pembatalan Perkawinan secara Agama Katolik ... 47
3.1.4.2 Masalah Harta bersama maupun Gono Gini ... 50
3.2 Hubungan Orang Tua dan Anak ... 51
3.2.1 Masalah Hak Asuh Anak ... 51
3.2.2 Masalah Waris ... 53
BAB IV PENUTUP ... 55
4.1 Kesimpulan ... 55
4.2 Saran ... 56
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM
Nama Mahasiswa : Paulus Michael Situmeang
NPM : 0971010038
Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 15 Maret 1991 Program Studi : Strata 1 (S1)
Judul Skripsi :
TINJ AUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERKAWINAN CAMPURAN BAGI AGAMA KATOLIK DI INDONESIA MENURUT UNDANG - UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN ABSTRAKSI
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Karena perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan dalam peraturan hukum. Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara orang tua dan anak – anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan, dan menimbulkan hubungan antara mereka dengan harta kekayaan tersebut.
Dasar – dasar dari perkawinan itu dibentuk oleh unsur – unsur alami dari kehidupan itu sendiri termasuk kebutuhan dan fungsi biologis, menurunkan, kebutuhan kasuh sayang dan persaudaraan, memlihara anak – anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak itu untuk menjadi anggota – anggota masyarakay yang sempurna ( berharga /
volwaardig ). Bentuk tertentu dari perkawinan tidak diberikan oleh alam : berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi sebagai lembaga / pranata.
campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan beda agama.1
Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran, perkawinan sejenis, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda.
Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan beda-agama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama. Pada saat sekarang ini masyarakat pada umumnya sudah tidak memperhatikan kaidah – kaidah yang berlaku serta norma – norma yang ada dan berlaku di masyarakat maupun negara.
Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya, realitas ini tidak cukup disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Sebagai sebuah instrumen hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan sandaran atau ukuran tingkah laku atau kesamaan sikap (standard of conduct), juga berfungsi sebagai suatu perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna (as a tool of social engineering) dan
1
sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu tingkah laku (as a tool of justification).
Fungsi tersebut ditegakkan dalam rangka memelihara hukum menuju kepada kepastian hukum dalam masyarakat. Dalam hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk melindungi serta melayani hajat hidup warga negaranya secara adil tanpa ada diskriminasi dan intervensi terhadap warganya berkaitan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum atas dasar ini negara harus memenuhi hak – hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama, ras, suku bangsa dan kepercayaan yang dianut oleh orang tersebut.
Menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1. Ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ), yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.2
Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang – undangan di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik menyusun tesis dengan judul: “ Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perkawinan Campuran Bagi Agama Katolik Di Indonesia
Menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diajukan dalam penulisan proposal skripsi ini adalah :
a. Bagaimana pelaksanaan perkawinan campuran antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang beragama katolik di Indonesia m e n u r u t Undang – Undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan?
b. Bagaimana akibat perkawinan campuran antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang beragama Katolik setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan?
1.3 TujuanPenelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan campuran antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing bagi yang beragaman Katolik d i I n d o n e s i a m e n u r u t Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
b. Untuk mengetahui akibat perkawinan campuran antar Warga Negara Warga Negara Asing bagi yang beragama Katolik Asing setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 1.4 KegunaanPenelitian
Manfaat yang hendak di capai penulis ini adalah : 1. Secara teoritis
meningkatkan khasanah pengetahuan bagi kalangan akademis dalam mempelajari hukum perkawinan campuran.
b. Penulis dapat mengetahui tentang akibat hukum dari perkawinan campuran bagi yang beragama Katolik di Indonesia menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2. Secara praktis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat serta dapat untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu pengetahuan bagi para pihak dibidang hukum perkawinan campuran.
b. Memberikan pemahaman serta kesadaran hukum bagi yang melaksanakan perkawinan campuran bagi yang beragama Katolik di Indonesia menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
1.5 Tinjauan Tentang Per kawinan
1.5.1 Pengertian Tentang Per kawinan
Dalam kondisi keberagaman seperti ini, bisa saja terjadi interaksi sosial di antara kelompok – kelompok masyarakat yang berbeda. Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan.
Menurut Wirjono Projodikoro ; Terlepas dari aspek kerohanian dan dasar ke Tuhanan dan sama sekali tidak memperhatikan faktor-faktor keagamaan, dan perkawinan tiada lebih dari semacam persetujuan perikatan seperti yang diatur dalam pasal 1338 B.W.3
Jika ditinjau pengertian perkawinan yang disebut dalam Undang – Undang ini dengan pengertian hukum Barat Amerika (you and the law A.P. Crabtree; hal 39) : Perkawinan adalah bentuk persetujuan (Marriage is a form of contract).4
1.5.2 Tujuan Per kawinan
Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1- 1974 bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasrakan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa “untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing – masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
3
Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm. 8
4
mencapai kesejahteraan spiritual dan material”5. Tujuan Perkawinan dalam bentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal. Jelas yang dimaksud berdasarkan ajaran agama Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu – Budha. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.6
1.5.3 Syar at Sahnya Perkawinan
Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam pasal 2 (1) UU No. 1- 1974, yang menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam segala agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu/Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”
Berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing , bukan berarti ”hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinan itu tidak sah.
Perkawinan yang dilakukan di Pengadilan atau di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu
5
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia.
6
berarti tidak sah.Perkawinan yang dilakukan oleh hukum adat atau oleh aliran kepercayaan yang bukan agama, berarti tidak sah.7
1.5.4 Asas – Asas Per kawinan
Di dalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip dari pelaksaan suatu perkawinan. Berikut ini akan diuraikan tentang asas - asas mengenai perkawinan yang diatur dalam penjelasasn umum dari Undang – Undang Perkawinan Nasional ( UU No. 1 Tahun 1974 ) :
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing – masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
b. Dalam Undang – Undang ini, dinyatakan bahwa suatu perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaanya itu dan di samping itu tiap – tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
c. Undang – Undang ini menganut azaz monogami. Hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkan, seorang suami dapat beristri lebih dsari seorang.
7
d. Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
e. Karena tujuan perkawinan adlah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang – undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.
f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.8
1.6 Per kawinan Campur an
Pengertian Perkawinan Campur an Menur ut Agama Katolik
Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile. Monogam
berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedang Indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian.
Ini dapat kita temukan dalam Hukum Gereja tahun 1983 (Kan. 1141). Yang dimaksud dengan perkawinan Katolik adalah perkawinan yang
8
mengikuti tata acara Gereja Katolik. Perkawinan semacam ini pada umumnya diadakan antara mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi dapat terjadi bila perkawinan antara mereka yang salah satunya dibaptis di Gereja lain non-Katolik atau Gereja Kristen.
Setiap perkawinan orang Katolik, meski hanya satu yang Katolik, diatur oleh ketiga hukum ini, yaitu
1. Hukum Ilahi
Hukum ilahi adalah hukum yang dipahami atau ditangkap atas dasar pewahyuan, atas dasar akal sehat manusia sebagai berasal dari Allah sendiri. Contohnya, sifat monogam, indissolubile, kesepakatan nikah sebagaipembuat perkawinan, dan halangan-halangan nikah. Hukum ini mengikat semua orang, tanpa kecuali (termasuk non-katolik).
2. Hukum kanonik atau hukum Gereja
Hukum Kanonik atau Hukum Gereja adalah norma yang tertulis yang disusun dan disahkan oleh Gereja, bersifat Gerejawi dan dengan demikian hanya mengikat orang-orang yang dibaptis Katolik saja (kan. 11).
3. Hukum Sipil
Karena perkawinan menyangkut kedua belah pihak bersama-sama, maka orang non-Katolik yang menikah dengan orang Katolik selalu terikat juga oleh hukum Gereja. Gereja mempunyai kuasa untuk mengatur perkawinan warganya, meski hanya salah satu dari pasangan yang beriman Katolik. Artinya, perkawinan mereka baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik (dan tentu ilahi).
Karena bersifat Gerejani, maka negara tidak mempunyai hak apapun untuk menyatakan sah/tidaknya perkawinan Katolik maupun perkara di antara pasangan yang menikah. Kantor Catatan Sipil di Indonesia mempunyai tugas hanya mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama, dan tidak bertugas melaksanakan perkawinan, dalam arti mengesahkan suatu perkawinan9
1.6.1 Pengertian Per kawinan Campuran
Sebelum diundangkannya UU 1-1974, perkawinan campuran itu diatur dengan Koninkklijk Besluit tanggal 29 Desember 1896 No. 23. Peraturan ini disebut Regeling op de Gemengde Huwelijken yang lebih terkenal dengan istilah Gemengde Huwelijken Regeling, dengan singkatan G.H.R yang sekarang biasa kita sebut dengan istilah Peraturan Perwakilan Campuran.
Arti perkawinan campuran menurut bunyi pasal 1 G.H.R adalah perkawinan antara “orang-orang” yang “di” Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Definisi ini sangat luas jangkauanya, tidak membatasi arti perkawinan campuran pada perkawinan – perkawinan
9
antar warga Negara Indonesia atau antar penduduk Indonesia ( “ antara orang – orang “ ) dan perkawinan – perkawinan yang dilanhsungkan di Indonesia, asalkan pihak – pihak yang melangsungkan perkawinan di indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran.
Dengan diundangkannya undang-undang tersebut, pembentuk undang-undang memberikan pengertian perkawinan capuran dalam arti hanya perkawinan campuran dalam arti hanya perkawinan antara warga Negara Indonesia dan warga Negara asing. Disamping itu UU 1/1974 juga tidak menentukan menurut hukum pihak mana perkawinan campuran itu harus dilangsungkan.
Pasal 59 ayat 2 undang-undang ini menentukan, bahwa : “Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang ini”. Dari kata-kata tersebut dapat ditarik kesimpulan seolah-olah ada atau akan ditiadakan tata cara perkawinan untuk perkawinan campuran yang berbeda dengan G.H.R. ( S 1898 No. 158 ) akan tetapi harapan ini tidak kunjung datang yang menimbulkan keragu-raguan atau tidak ketidakpastian, hukum manakah yang akan berlaku untuk perkawinan campuran.10
1.6.2 Bentuk Per kawinan Campuran
Perkawinan campuran dapat dijelaskan menjadi 3 bagian diantaranya adalah sebagai berikut :
10
a. Perkawinan Campuran Antar Kewarganegaraan :
Menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. b. Perkawinan Campuran Antar Adat Istiadat :
Perkawinan Campuran menurut pengertian hukum adat, yang sering menjadi bahan perbincangan dalam masyarakat hukum kekerabatan adat, ialah Perkawinan antar adat, yaitu perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang adat istiadatnya berlainan, baik dalam kesatuan masyarakat hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota masyarakat adat yang daerah asal / suku bangsanya berlainan.
c. Perkawinan Campuran Antar Agama :
Perkawinan Campuran Antar Agama terjadi apabila seorang pria dan seoarang wanita yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing.11
1.6.3 Syar at dan Pelangsungan Per kawinan Campur an
Seseorang yang akan melangsungkan perkawinan harus memenuh syarat – syarat yang ditentukan Undang - Undang. Berhubung syarat – syarat perkawinan telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pelaksana Nomor 9
11
Tahun 1975, maka syarat - syarat perkawinan yang diatur dalam ketentuan perundang – undangan lama dinyatakan tidak berlaku. Perkawinan yang akan dilangsungkan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasannya maksud dari ketentuan tersebut,agar suami dan isteri yang akan kawin itu kelak dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan Hak Asasi Manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut,tanpa ada paksaan dari pihak manapun.12
Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat - syarat perkawinan menurut hukum yang berlaku bagi masing – masing pihak ialah pegawai pencatat menurut hukum masing – masing pihak ( Pasal 60 ayat 2 UUP ). Apabila pejabat pencatat menolak memberikan surat keterangan itu, yang berkepentingan mengajukan permintaan kepada Pengadilan, dan Pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan Pengadilan itu menyatakan bahwa penolakan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat keterangan tersebut ( Pasal 60 ayat 3 UUP ). Setelah surat keterangan atau keputusan Pengadilan
12
diperoleh, maka perkawinan segera dilangsungkan.13 1.6.4 Akibat Per kawinan Campuran
Terhadap orang – orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami / isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraanya menurut B. Canouraba cara – cara yang ditentukan dalam undang – undang kewarganegaraan Indonesia yang berlaku. Kewarganegaraan yang diperoleh itu menentukan hukum yang berlaku baik publik maupun privat (status anak - anak yang terlahir dari perkawinan campuran diatur dengan ketentuan tersebut di atas)14
1.7 Per kawinan ditinjau dar i Hukum Per data Internasional 1.7.1 Pengertian Per kawinan Campuran
Secara teoritis dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua pandangan utama yang berusaha membatasi pengertian “ Perkawinan Campuran “, yaitu :
a. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan campuran adalah perkawinan yang berlangsung antara pihak-pihak yang yang berbeda domicile-nya sehingga terhadap masing-masing pihak berlaku kaidah-kaidah hukum intern dari dua sistem hukum yang berbeda.
b. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu perkawinan dianggap
13
Abdulkadir Muhammad, Op cit , hlm. 105
14
sebagai perkawinan campuran apabila para pihak berbeda kewarganegaraan / nasionalitasnya.
1.7.2 Asas Hukum Perdata Internasional di bidang Per kawinan 1.7.2.1 Validitas Esensial Per kawinan
Asas-asas utama yang berkembang dalam Hukum Perdata Internasional tentang hukum yang harus digunakan untuk mengatur validitas materiil suatu perkawinan adalah : a. Asas Lex loci celebrationis yang bermakna bahwa validitas materiil perkawinan harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum dari perkawinantempat di mana perkawinan diresmikan / dilangsungkan.
b. Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil suatu perkawinan ditentukan berdasarkan system hukum dari tempat masing-masing pihak menjadi warga Negara sebelum perkawinan dilangsungkan.
c. Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan system hukum dari tempat masing-masing pihak ber-domicile sebelum perkawinan dilangsungkan.
d. Asas yang menyatakan bahwa validitas materiil perkawinan harus ditentukan berdasarkan system hukum dari tempat dilangsungkannya perkawinan (Locus
perkawinan yang berlaku di dalam sistem hukum para pihak sebelum perkawinan dilangsungkan.15
1.7.2.2 Validitas For mal Per kawinan
Pada umumnya di berbagai system hukum, berdasarkan asas locus regitactum, diterima asas bahwa validitas / persyaratan formal suatu perkawinan ditentukan berdasarkan
Lex loci celbrationis.
1.7.3 Akibat – Akibat Per kawinan
Beberapa asas yang berkembang di dalam Hukum Perdata Internasional tentang akibat – akibat perkawinan (seperti masalah hak dan kewajiban suami istri, hubungan orang tua dan anak, kekuasaan orang tua, harta kekayaan perkawinan, dan sebagainya), adalah bahwa akibat – akibat perkawinan tunduk pada :
a. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan ( Lex Loci Celebrations)
b. Sistem hukum dari tempat suami isteri, bersama – sama menjadi warga Negara setelah perkawinan (gemeenschapelijke nationalitet / joint nationality ).
c. System hukum dari tempat suami isteri berkediaman teap bersama setelah perkawinan (gemeenschapelijke woonsplaats / joint residence) atau tempat suami isteri berdomisili tetap
15
setelah perkawinan16 1.8 Tinjauan Tentang Kewarganegaraan
1.8.1 Pengertian Kewarganegaraan
Istilah kewarganegaraan ( citizenship ) memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara Negara dengan warga Negara. Menurut memori penjelasan dari pasal II Peraturan Penutup Undang – Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewargaengaraan diartikan adanya kewajiban Negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan. Adapun menurut Undang – Undang Kearganegaraan Republik Indonesia, keawrganegraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan Negara. Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
A. Kewarganegaraan dalam arti Yuridis dan Sosiologis
1) Atau Kewarganegaraan dalam arti Yuridis ditandai dengan ikatan hukum antara orang-orang dengan Negara. Adanya ikatan hukum itu menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, yaitu orang tersebut berada dibawah kekuasaan Negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan, misalnya akta kelahiran, surat pernyataan, bukti kewaganegaraan, dan lain-lain.
2) Kewarganegaraan dalam arti arti Sosiologis, tidak ditandai
16
dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan kata lain, ikatan ini lahir dari pengahayatan warga Negara yang bersangkutan.
B. Kewarganegaraan dalam arti Formil dan Materiil
1) Kewaganegaraan dalam arti formil menunjuk pada tempat kewaganegaraan. Dalam sistematika hukum, masalah kewarganegaraan berada pada hukum publik.
2) Kewarganegaraan dalam arti materiil menunjuk pada akibat hukum dari status kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban warga Negara.17
1.8.2 Perbedaan Ius Soli dan Ius Sanguinis
Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan pada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan asas ius sangunis. Ius artinya dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negeri atau tanah.
Sanguinis berasal dari kata sanguinis yang artinya darah.
a. Asas Ius Soli
Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat di mana orang tersebut dilahirkan.
b. Asas Ius Sanguinis
Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang
17
ditentukan berdasarkan keturunan dari orang tersebut.18
1.8.3Penjelasan Undang – Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Undang – Undang ini pada dasarnya tidak menganut kewarganegaraan ganda ( bipatride ) ataupun tanpa kewargaengaraan (
apatride ) . Kewarganegraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang – Undang ini merupakan suatu pengecualian. Selain azas tersebut di atas, beberapa azas khusus juga mendasar penyusunan Undang – Undang tentang kewarganegaraan Republik Indonesia, yaitu :
1) Azas kepentingan nasional adalah azas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai Negara kesatuan yang memiliki cita – cita dan tujuannya sendiri.
2) Azas perlindungan maksimum adalah azas yang menentukan bahwa pemerintah wajin memberikan perlindungan penuh kepadaq setiap Negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun diluar negeri.
3) Azas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah azas yang menentukan bahwa setiap warga Negara indonesoa mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan
4) Azas kebenaran substansif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administrative tetapi juga disertai
18
substansi dan syarat – syarat permohonan yang dapat dipertanggung jawabkan.
5) Azas nondiskriminatif adalah azas yang tidak memberikan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhibingan dengan warga Negara atas dasar suku, ras agama, golongan, jenis kelamin, dan gender.
6) Azas pengakuan dan penghormatan terhadap hak azasi manusia adalah azas yang dalam segala hal ikhwal berubungan dengan warga Negara harus menjamin, melindungi dan memuliakan hal azasi manusia pada umumnya dan hak warga Negara pada khususnya.
7) Azas keterbukaan adalah azas yang menentukan bahwa dalam segala segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga Negara harus harus dilakukan secara terbuka.
8) Azas publisitas adalah azas yang menentukan bahwa seseorang yang seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia dimumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.
1.9Metode Penelitian
Sebelum mengkaji adanya suatu metode penelitian, terdapat istilah “metodologi” dimana istilah tersebut berasal dari kata “metode” yang berarti “jalam ke” namun demikian, mneurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan – kemungkinan, sebagai berikut :
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan. 3. Cara tertentu untuk melakukan prosedur.19
1.9.1 Pendekatan Masalah
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif.Hukum Normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, Uang terdiri dari : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bias melepaskan diri dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.20
1.9.2 Sumber Data Atau Bahan Hukum
Karena penulisan proposal skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, maka data yang akan digunakan dalam penulisan proposal ini adalah data sekunder. Data sekunder ini
Soerjono Soekonto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 5
20
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Mataram, 2003, hlm. 163
21
1.9.2.1Bahan Hukum Pr imer
Bahan – bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat terdiri dari ;22
1. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945 2. Peraturan Perundang – Undangan, yaitu :
Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan a. KUHPer (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) b. Undang – Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
1.9.2.2 Bahan Hukum Sekunder
Memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer ( buku ilmu hukum, jurnal, laporan hukum, dan media cetak atau elektronik ).23
1.9.2.3Bahan Hukum Ter sier
Bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, dansekunder, misalnya : kamus – kamus hukum dan sebagainya.24
1.9.3 Metode Pengumpulan Data
1.9.3.1Wawancara
Wawancara (interview) adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka (face to face) , ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden.25 Adapun prakteknya nanti penyusun akan melakukan wawancara langsung dengan Sekertariat Pengurus Gereja Katolik Sub Bagian Perkawinan Internasional di Gereja Katolik St. Aloysius Gonzaga Surabaya untuk memperoleh keterangan terkait mengenai pelaksanaan perkawinan campuran bagi yang beragama Katolik di Indonesia dan bagaimana kekuatan hukumnya menurut Undang – Undang Perkawinan.
1.9.3.2 Kepustakaan
Penelitian kepustakaan adalah bentuk penelitian dengan cara mengumpulkan atau menelusuri dokumen – dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan – keterangan yang dibutuhkan dalam penelitian. Adapun di dalam hal ini penulis menganalisa hukum, Undang – Undang, Internet, serta
25
semua bahan yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas nantinya.
1.9.4 Metode Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, artinya dapat mengungkapan adanya Undang – Undang dengan teori – teori hukum yang menjadi kajian akan diteliti nantinya. Adapun analisis data yang digunakan adalah pendekatan deskriprif kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. Analisis data dari pendekatan kualitatif tersebut merupakan analisis yang menggambarkan dari tinjauan yuridis mengenai adanya kekuatan hukum perkawinan campuran bagi yang beragama katolik.
1.9.5 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam pemahaman hasil penelitian. Penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang di antaranya terdiri dari sub bab. Judul dari proposal skripsi ini yaitu tentang “ Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perkawinan Campuran bagi agama Katolik di Indonesia
menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “. Di dalam pembahasan nantinya dibagi menjadi empat bab, sebagaimana akan diuraikan tentang permasalahan dalam proposal skripsi ini.
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, serta pertanggung jawaban sistematika.
Bab Kedua, penulis akan menjelaskan hal – hal yang berkaitan dengan perkawinan campuran di Indonesia. Dalam bab kedua ini penulis akan menjelaskan dalam 3 sub bab, yang terdiri atas : Sub bab pertama menjelaskan mengenai pelaksanaan perkawinan campuran di Indonesia. Sub bab yang kedua ini mengenai tata cara pelaksanaan perkawinan bagi yang beragama katolik di Indonesia. Dan sub bab ketiga ini mengenai aturan – aturan yang berlaku dalam perkawinan campuran bagi yang beragama katolik di Indonesia.
Bab Ketiga, penulis akan menguraikan tentang kekuatan hukum perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku.
2.1 Tat a Car a dan Pelaksanaa n Per kawinan Campur an Di Indon esia Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.26 Jalur perkenalan yang membawa pasangan beda kewarganegaan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja / bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah / kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam Perundang – Undangan di Indonesia.
Perkawinan campuran yang dilakukan di Indonesia dilaksanakan berdasarkan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. Untuk melaksanakan perkawinan campuran, terlebih dahulu harus dipenuhi syarat – syarat materiil dan syarat formil. Syarat formil ditentukan berdasarkan
26
hukum personal para pihak (sesuai Pasal 16 AB), misalnya kewenangan atau kemampuan untuk kawin (batas usia minimum untuk kawin, ijin orang tua dan sebagainya) untuk membuktikan semua syarat materiil untuk melaksanakan perkawinan campuran telah dipenuhi, maka para pihak harus memiliki surat ijin kawin dan surat keterangan tidak ada halangan untuk kawin dari kantor catatan sipil atau pengadilan dan negara yang bersangkutan.
Untuk syarat formal, formalitas perkawinan campuran di Indonesia dilakukan menurut ketentuan hukum perkawinan Indonesia (Pasal 59 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Untuk keabsahan perkawinan campuran yang dilakukan di luar wilayah Indonesia harus dilakukan menurut perkawinan yang berlaku di negara dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (sesuai Pasal 18 AB) dan bagi Warga Negara Indonesia tidak melanggar Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 56 ayat (2).27
Secara khusus tempat dan tata cara pencatatan Perkawinan campuran tidak ada diatur di dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, akan tetapi sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 1 ayat (1) AB, menegaskan bahwa bentuk suatu perbuatan hukum dilakukan menurut hukum dimana perbuatan hukum itu dilakukan. Oleh karena itu tata cara dan
27
pencatatan perkawinan campuran itu dilakukan menurut hukum Nasional Indonesia. Tata cara dari pada perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, termasuk di dalamnya perkawinan campuran menyangkut tata cara yang mendahului perkawinan dan tata cara pada saat pencatatan dan perkawinan dilangsungkan, tata cara ini harus didukung oleh syarat – syarat perkawinan yang diperlukan yang ditentukan agar perkawinan dapat dilangsungkan. Mengenai tempat pencatatan perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, sesuai dengan Pasal 59 ayat (2) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ialah dilakukan pada pegawai pencatatan perkawinan pada kantor Catatan Sipil di wilayah tingkat II dimana perkawinan itu dilangsungkan.
Pada umumnya mereka yang melangsungkan perkawinan campuran pertama – tama dilakukan adalah dengan upacara keagamaan dan adat istiadat yang mereka anut khususnya bagi masyarakat Bali, bagi mempelai yang beragama Hindu bahwa perkawinan dilakukan dengan upacara Mebeakala dan Widhi Widana, sedangkan mempelai yang beragama Kristen perkawinan mereka dilakukan secara Gerejani dengan upacara di Gereja, dan bagi mempelai yang beragama Islam perkawinan mereka dilakukan dihadapan penghulu.28 Setelah dilakukan upacara
28
agama barulah mereka mencatatkan perkawinan di kantor Catatan Sipil. Disamping itu sebagian lagi dalam melangsungkan perkawinan campuran prosedur yang lebih dahulu ditempuh adalah mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil, setelah itu barulah mereka melakukan upacara perkawinan sesuai dengan agamanya masing – masing berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (bagi mempelai yang berbeda agamanya) tetapi ada juga diantara mereka yang hanya melangsungkan perkawinan dan sekaligus mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil saja tanpa disertai dengan upacara keagamaan.
Dalam hal para mempelai melangsungkan dan mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil prosedur yang ditempuh mereka adalah:
1. Tahap Pertama :
Pemberitahuan kehendak kedua mempelai untuk melangsungkan perkawinan dengan cara bersama – sama datang menghadap ke kantor Catatan Sipil bagian pencatatan perkawinan, untuk memberitahukan maksudnya itu. Selanjutnya pegawai pencatatan perkawinan memberitahukan kepada kedua calon mempelai agar mengisi formulir yang telah disediakan oleh kantor Catatan Sipil, kemudian formulir yang telah diisi itu diserahkan kepada pegawai pencatat perkawinan disertai dengan syarat – syarat yang diperlukan yakni29
:
29
1. Surat permohonan dan pernyataan bersama kedua mempelai ; 2. Akte kelahiran / Paspor bagi Warga Negara Asing ;
3. Kartu Tanda Penduduk (identitas) atau surat keterangan domisili ; 4. Surat bukti kewarganegaraan bagi Warga Negara Indonesia Keturunan; 5. Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian ;
6. Surat ijin atau keterangan dari konsulat / kedutaannya yang dinamakan Certificate Of Ability to Marry ;
7. Surat keterangan tidak / belum kawin atau surat perceraian dari Pengadilan Negeri setempat (bagi mempelai yang sudah pernah kawin)
8. Surat keterangan / ijin orang tuanya bagi mempelai yang belum berumur 21 (duapuluh satu) tahun ;
9. Surat keterangan sehat dari dokter ; 10. pas photo
Adapun tujuan pemberitahuan di atas adalah dimaksudkan untuk mengetahui dan mengecek apakah syarat – syarat materiil perkawinan telah dipenuhi atau tidak. Cara pengawasan ini dilakukan antara lain dengan mengadakan penelitian terhadap surat – surat yang dilampirkan oleh para pihak pada waktu menyatakan pemberitahuan itu, dengan demikian dapat kiranya dihindarkan adanya perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan.
2. Tahap Kedua:
perkawinan oleh pejabat kantor Catatan Sipil agar diketahui oleh umum. Pengumuman ini untuk memberi kesempatan kepada pihak lain atau keluarganya untuk mencegah atau menghalangi dilangsungkannya perkawinan campuran tersebut. Apabila ternyata ada syarat – syarat yang dipalsukan oleh salah satu pihak yang akan melangsungkan perkawinan, maka pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dapat membatalkan perkawinan campuran tersebut dengan melaporkan kepada pejabat Catatan Sipil. Pengumuman dapat dilakukan di dua tempat yakni :
a. Di kantor Pencatatan perkawinan ditempat pernikahan akan dilangsungkan ;
b. Di kantor pencatatan perkawinan tempat kediaman masing – masing calon mempelai.30
3. Tahap Ketiga :
Jika dalam waktu 10 (sepuluh) hari sejak pengumuman itu ditempelkan dan diumumkan ternyata tidak ada sanggahan atau keberatan dari kalangan publik atau masyarakat, keluarga ataupun pihak lain, maka pejabat kantor Catatan Sipil memberikan ijin untuk melangsungkan perkawinan
4. Tahap Keempat :
Pada tahap ini merupakan tahap pelaksanaan atau dilangsungkan
30
perkawinan oleh calon mempelai sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya masing – masing. Dalam hal ini hukum adat dan kebiasaan adat masing – masing mempunyai peranan di dalam melangsungkan perkawinan khususnya perkawinan campuran di Indonesia.
5. Tahap Kelima :
Mengenai pencatatan / pendaftaran serta pembuatan akta perkawinan di kantor Catatan Sipil menurut ketentuan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagaimana pelaksanaan dari Pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu harus dicatatkan, masing – masing pihak (suami – isteri) harus menandatangani akta perkawinan dan dilanjutkan penandatanganan oleh saksi – saksi dan disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan.
Dengan dibuatnya akta perkawinan tersebut maka perkawinan yang mereka lakukan dianggap sah dan telah tercatat secara resmi, dengan demikian apa yang dikehendaki oleh Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terutama Pasal 2 baik ayat (1) dan (2) telah dipenuhi.
2.2 Per kawin an Ca mpur an Di Indonesia Secar a Agama K at olik
untuk membentuk kebersamaan hidup. Latar belakang definisi ini adalah dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes §48). GS dan Kitab Hukum Kanonik (KHK) tidak lagi mengartikan perkawinan sebagai kontrak.
Perkawinan mempunyai tiga tujuan yaitu: kesejahteraan suami-isteri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atau kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB).
Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan. Kita menyebutnya sifat Monogam dan Indissolubile.
Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedang
Indissolubile berarti, setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian. Ini dapat kita temukan dalam Hukum Gereja tahun 1983 (Kan. 1141). Yang dimaksud dengan perkawinan Katolik adalah perkawinan yang mengikuti tata acara Gereja Katolik. Perkawinan semacam ini pada umumnya diadakan antara mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik (keduanya Katolik), tetapi dapat terjadi bila perkawinan antara mereka yang salah satunya dibaptis di Gereja lain non-Katolik atau Gereja Kristen.
consummatum yang tidak dapat diputuskan atau dibatalkan oleh kuasa manapun, kecuali kematian (kan. 1141). Perkawinan yang ratum et non consummatum dapat diputuskan oleh Tahta suci oleh permintaan salah satu pasangan (kan. 1142).
2.2.1 K esep akat an Nikah
adalah kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae) yang terarah pada 3 tujuan perkawinan di atas.
2.2.2 Penataan Hukum
baru sah kalau dilangsungkan sesuai dengan norma-norma hukum kanonik (dan tentu ilahi).
Karena bersifat Gerejani, maka negara tidak mempunyai hak apapun untuk menyatakan sah/tidaknya perkawinan Katolik maupun perkara di antara pasangan yang menikah. Kantor Catatan Sipil di Indonesia mempunyai tugas hanya mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama, dan tidak bertugas melaksanakan perkawinan, dalam arti mengesahkan suatu perkawinan.31
2.2.3Dua jenis Per kawinan Campur menur ut Gereja Katolik
a.Perkawinan campur beda gereja (seorang baptis Katolik menikah dengan seorang baptis non-Katolik) perkawinan ini membutuhkan ijin.
b.Perkawinan campur beda agama (seorang dibaptis Katolik menikah dengan seorang yang tidak dibaptis) untuk sahnya dibutuhkan dispensasi. Dispensasi adalah: Ijin dari Gereja Katolik untuk pernikahan beda agama. Dispensasi utk Katolik non Kristiani (islam, buddha, hindu) adalah: Disparitas Cultus sedangkan untuk Katolik - Protestan/Orthodox adalah Mixta Religio.32
2.2.4 Syarat untuk melakukan per kawinan beda agama di Gereja Katolik:
1. Mengikuti KURSUS PERNIKAHAN ( sertifikat yang didapat sesudahnya berlaku 6 bulan)
31
Hasil Wawancara dengan Romo Otong Setiawan, 24 Juni 2014, 09.00 32
2. Mendapatkan surat DISPENSASI
Calon mempelai bersama-sama menghadap Pastor, untuk melakukan penyelidikan persiapan sebelum pernikahan sesuai hukum Gereja Katolik (Kanonik), sekaligus membawa dua orang terpercaya yang akan disumpah utk memberi kesaksian bahwa pihak non-Katolik berstatus bebas atau tidak terikat perkawinan. mempersiapkan foto 4x6 berduaan, fotocopy sertifikat kursus perkawinan, surat baptis terbaru paling lama 6 bulan & surat pengantar dari ketua lingkungan (bagi pihak katolik).
Surat Janji dan surat kesaksian status bebas akan dibuat bersama pastor ketika sudah ketemu. Pastor akan membantu mengirim surat permohonan dispensasi ke Keuskupan (terutama untuk KAJ). Surat DISPENSASI didapatkan biasanya paling cepat sekitar satu (1) bulan setelah dimohon. Dan untuk mendapatkan itu, harus dilampirkan sertifikat kursus pernikahan.
yang Islam memakai Muhammad atau orang tuanya sebagai model, atau yang budhis memakai Budha atau orang tuanya sebagai model. Yang berbeda antara upacara sakramen (calon mempelai keduanya Katolik) dengan pemberkatan (calon mempelai Katolik dan Non Katolik) adalah pertanyaan penyelidikan atas kesediaan pasangan, rumusan janji, doa dari imam, juga pihak non katolik tidak diwajibkan untuk berdoa secara katolik tentu saja.
Tata cara pemberkatan pernikahan akan dijelaskan dalam Kursus Persiapan Perkawinan. Tidak ada tatacara yang membuat orang non-katolik menjadi orang katolik secara tidak langsung, karena orang non-katolik bersama yang katolik akan menyusun teks upacara perkawinan dan pihak non-katolik tidak harus mengucapkan doa-doa orang katolik. Maka tata cara itu tidak akan mengganggu iman masing-masing. Untuk jadi orang katolik tidak mudah, harus pelajaran minimal sekitar setahun, harus ujian tertulis, tes wawancara dengan pastor, melakukan beberapa latihan, dan kalau dianggap tidak lulus ya tidak akan dibaptis.
Perkawinan adalah peristiwa sadar dan terencana, maka tidak ada yang disembunyikan dari pihak Katolik. Bahkan orang Katolik yang berjanji mendidik anak secara katolik pun janjinya diketahui pihak non-Katolik.33
33
Setelah menerima pemberkatan pernikahan, lalu Pencatatan Sipil (bisa dibantu koordinasinya dengan sekretariat Paroki Gereja dimana akan melangsungkan pemberkatan pernikahan, bisa juga utk mengurus sendiri dgn Catatan Sipil, tapi yg lazim adalah setelah pemberkatan di Gereja, prosesi dengan Catatan Sipil dilakukan di ruangan lain di lingkungan Gereja, jadi petugasnya datang). Agama yang akan tercantum di buku nikah akan tertulis sesuai kenyataan, yaitu Katolik dan Islam atau Buddha atau Kristen atau Hindu. Tidak keduanya katolik.
Yang hadir dalam pemberkatan pernikahan adalah34: (a) calon mempelai pria dan wanita (tidak boleh diwakilkan), (b) dua orang saksi. Saksi dalam pemberkatan perkawinan adalah orang yang menyaksikan berlangsungnya perkawinan yang diakui sebagai saksi kalau ada masalah hukum di kemudian hari, sekaligus yang berperan untuk menjadi penasehat (yang didengarkan dan dipercaya pasangan baru) jika ada masalah keluarga pada pasangan baru.
Kalau saksinya keluarga campur beda agama, sebaiknya juga pasangan yang memang berhasil mengatasi perbedaan agama dalam damai. Jadi saksi adalah suami istri, yang disetujui oleh pasangan baru yang mau menikah. Bersama-sama mencari saksi ini juga bisa menjadi latihan bagi pasangan baru untuk membiasakan
34
mencapai tujuan bersama: yaitu kesejahteraan suami istri sesuai dengan kehendak Tuhan yang maha kasih.
(c) seorang imam.
(d) orang tua pun tidak wajib hadir, karena dianggap sudah dewasa. Untuk konsultasi mengenai pencatatan sipil dengan petugas sekretariat Paroki Gereja dimana pemberkatan perkawinan akan berlangsung, sedangkan untuk pengurusan dispensasi dan pemberkatan pernikahan dengan Pastor.
Berikut ini adalah contoh kasus pernikahan beda warga Negara yang dilaksanakan secara agama katolik di Gereja Katolik Santo Yakobus, Keuskupan Surabya, Jalan Puri Widya Kencana Blok LL No. 1, Surabaya;
Sedangkan prosedur dan persyaratan untuk perkawinan beda warga Negara secara agama katolik di Gereja St. Aloysius Gonzaga adalah sebagai berikut:
1. Calon mempelai wajib mendaftarkan sendiri ke sekretariat (tidak diwakilkan orang tuanya), bagi pasangan non-Katolik 6 bulan sebelum perkawinan dan selambat-lambatnya 3 bulan bagi calon yang keduanya katolik.
2. Calon mengambil formulir dan menyerahkan kembali formulir pendaftaran yang sudah ditandatangani Ketua Lingkungan dan Ketua Wilayah masing-masing calon, dengan dilampiri:
a. Surat babtis TERBARU ASLI (tidak boleh lebih dari 6 bulan dari jadwal perkawinan) bagi calon beragama katolik
b. Fotocopy surat babtis bagi calon beragama Kristen
c. Pas photo berwarna dengan background sama, diri sendiri 4x6=3 lembar dan berdampingan 4x6=3 lembar
d. Fotocopy KTP, KK, dan Akta kelahiran (masing-masing 1 lembar)
e. 1 lembar fotocopy surat babtis dan surat perkawinan saksi (Pasangan Suami Istri Katolik)
f. Fotocopy KTP 2 orang saksi (yang benar-benar mengenal calon) dari calon non Katolik
3. Mengikuti kursus persiapan perkawinan setiap minggu mulai Minggu I, II, III, dan IV mulai jam 8.00 sampai jam 11.00 wib
4. Apabila salah satu keduanya pernah menikah, persyaratan ditambah: a. Fotocopy surat perceraian, bila terjadi bagi calon mempelai yang
beragama non Katolik
b. Menyerahkan fotocopy akte kematian (bila sudah pernah menikah dan terjadi kematian)
BAB III
AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN BAGI AGAMA KATOLIK MENURUT UNDANG – UNDANG NO MOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERK AWINAN
3.1 Akib at Hukum Per kawinan Campur an Bagi Aga ma Katolik
Bagi para pelaku perkawinan campuran, beberapa permasalahan yang dapat timbul antara lain sebagai berikut:
3.1.1 Keabsahan Per kawinan
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang - Undang Perkawinan. Hal ini berarti Undang - Undang Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing.
3.1.2 Pencatatan perkawinan
bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang – Undang Perkawinan maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan (Ketentuan Pasal 21 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan)35.
3.1.3 Status Kewarganegaraan
Menurut Ketentuan Pasal 58 Undang – Undang Perkawinan, bagi orang-orang yang berlainan kewarga-negaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Hal itu dapat dilihat dari Ketentuan Pasal 26 ayat (1) s.d ayat (4) Undang – Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang selanjutnya disingkat dengan Undang – Undang Kewarganegaraan sebagai berikut36:
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
35
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 24 Juni 2104. 13.30
36
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut.
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal perkawinannya berlangsung.
Selanjutnya perihal status kewarganegaraan anak, sebelum berlakunya Undang – Undang Kewarganegaraan yang baru, Undang – Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (yang lama) telah menggariskan bahwa asas kewarganegaraan Indonesia adalah Asas Ius Sanguinus Patriarkhal dan Asas Tunggal37. Namun setelah berlakunya Undang – Undang Kewarganegaraan yang baru, yakni Undang – Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, terdapat suatu kemajuan dalam rangka perlindungan terhadap hak anak terkait status kewarganegaraan karena di Undang – Undang Kewarganegaraan yang baru memperbolehkan seorang anak untuk memiliki kewarganegaraan ganda sesuai Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas (vide Ketentuan Pasal 4 huruf c, d, h, l dan Pasal 5 jo. Pasal 6 ayat (1) s.d ayat (3) Undang - Undang Kewarganegaraan.
3.1.4 Per ceraian dalam Per kawinan Campur an
Masalah kompetensi pengadilan bilamana pelaku hendak bercerai juga merupakan masalah penting mengingat Ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan menyebutkan bahwa, ”Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”38. Dengan demikian penting kiranya untuk mengetahui dapat tidaknya perceraian diajukan ke muka pengadilan atau dengan kata lain
37
UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. 24 Juni 2104. 14.30
38
mengetahui apakah perkara cerai yang diajukan oleh pelaku perkawinan campuran tadi menjadi yurisdiksi pengadilan yang bersangkutan atau tidak. Hal ini berguna agar permohonan atau gugatan cerai yang diajukan tidak dinyatakan Niet Onkelijk Verklard (NO) atau tidak dapat diterima. Oleh karena itu, kompetensi pengadilan ini menjadi terkait dengan masalah pencatatan perkawinan sebagaimana telah diijelaskan sebelumnya.
3.4.1 Pembatalan Per kawinan Secara Agama Katolik
perkawinan tersebut sudah sah, maka perkawinan itu tidak dapat dibatalkan ataupun diceraikan, sebab demikianlah yang diajarkan oleh Sabda Tuhan (Matius 19:5-6).
Berikut ini adalah penjabaran ketiga hal yang membatalkan perkawinan menurut hukum kanonik Gereja Katolik39:
a. Macam- macam halangan menikah adalah (Kitab Hukum Kanonik kann. 1083 1094):
1) kurangnya umur, 2) impotensi,
3) adanya ikatan perkawinan terdahulu,
4) disparitas cultus/ beda agama tanpa dispensasi, 5) tahbisan suci,
6) kaul kemurnian dalam tarekat religius, 7) penculikan dan penahanan,
8) kejahatan pembunuhan,
9) hubungan persaudaraan konsanguinitas, 10) hubungan semenda,
11) halangan kelayakan publik seperti konkubinat, 12) ada hubungan adopsi.
b. Cacat konsensus adalah (Kitab Hukum Kanonik kann. kann 1095-1107): 1) Kekurangan kemampuan menggunakan akal sehat,
39
2) Cacat yang parah dalam hal pertimbangan (grave defect of discretion of judgement),
3) Ketidakmampuan mengambil kewajiban esensial perkawinan, 4) Ketidaktahuan (ignorance) akan hakekat perkawinan,
5) Salah orang,
6) Salah dalam hal kualitas pasangan, yang menjadi syarat utama, 7) Penipuan/ dolus,
8) Simulasi total/ hanya sandiwara untuk keperluan tertentu seperti untuk mendapat ijin tinggal/ kewarganegaraan tertentu,
9) Simulasi sebagian, seperti:Contra bonum polis: dengan maksud dari awal untuk tidak mau mempunyai keturunan;Contra bonum fidei: tidak bersedia setia mempertahankan hubungan perkawinan yang eksklusif hanya untuk pasangan; Contra bonum sacramenti: tidak menghendaki hubungan yang permanen/ selamanya; Contra bonum coniugum: tidak menginginkan kebaikan pasangan, contoh menikahi agar pasangan dijadikan pelacur, dst, 10) Menikah dengan syarat kondisi tertentu,
11) Menikah karena paksaan,
12) Menikah karena ketakutan yang sangat akan ancaman tertentu.
mana perkawinan akan diteguhkan). Sedangkan pernikahan antara pihak yang dibaptis Katolik dengan pihak yang tidak dibaptis (non Katolik dan non- Kristen) memerlukan dispensasi dari pihak Ordinaris.
Jika terdapat satu hal atau lebih dari hal-hal yang membatalkan perkawinan ini, maka salah satu pihak pasangan tersebut dapat mengajukan surat permohonan pembatalan perkawinan kepada pihak Tribunal Keuskupan. Pihak Tribunal Keuskupan akan memeriksa kasus tersebut, dan jika ditemukan bukti-bukti yang kuat dan para saksi, maka Tribunal dapat meluluskan permohonan tersebut, kemudian jika sudah dikeluarkan surat persetujuan Tribunal, maka perkawinan tersebut dapat dinyatakan resmi tidak sah, dan dengan demikian kedua belah pihak berstatus bebas/ tidak lagi terikat perkawinan tersebut.
3.4.2 Masalah Harta Bersama maupun Gono-Gini