• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keberhasilan konservasi keanekaragaman hayati Taman Nasional Wakatobi (TNW) sangat ditentukan pengakuan kepemilikan masyarakat atas sumberdaya oleh pengelola sehingga masyarakat tidak merasa menjadi bagian terpisah dari pengelolaan. Hasil kegiatan outreach joint program TNC, WWF dan TNW dari tahun 2003-2008 pada 64 desa (sekarang mekar menjadi 100 desa) semua menunjukkan aspirasi yang sama yakni masyarakat harus ikut dalam pengelolaan.

Dapat dikatakan bahwa konservasi keanekaragaan hayati pada kasus seperti TNW (kawasan konservasi disekitar pemukiman penduduk) harus paralel dengan konservasi keanekaragaman komunitas sebab melalui kearifan tradisinya komunitas

masyarakat adat memiliki beragam pengalaman dalam pengelolaan lingkungannya.

Jadi kehadiran norma baru sejatinya adalah menguatkan konsep operasional yang telah ada dalam komunitas-komunitas tersebut.

Keanekaragaman hayati perairan Wakatobi penting dilestarikan karena merupakan sumber layanan ekologi pelestarian perwakilan ekosistem wilayah ekologi laut Banda-Flores dan keberlangsungan sumber pangan masyarakat dalam kawasan.

Wilayah ini berada pada coral triangle center dunia meliputi negara Indonesia, Malaysia, Brunai, Philipina dan Kepulauan Solomon, dengan keanekaragaman terumbu karang dan biota laut tertinggi di dunia (TNW 2008).

Tahun 1996 pemerintah menunjuk kawasan seluas 1,3 juta hektar tersebut sebagai Taman Nasional Wakatobi dan bulan Desember tahun 2003 menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton. Dengan demikian dalam satu hamparan kawasan dengan luas dan batas yang sama (berhimpit) menjadi wilayah taman nasional dan daerah kabupaten. Selain itu bagian-bagian wilayahnya baik di laut maupun darat menjadi wilayah adat dari kampung-kampung yang telah ada jauh

(2)

Untuk menyeimbangkan kepentingan pembangunan daerah, pemanfaatan oleh masyarakat dan konservasi, maka tahun 2007 dilakukan revisi zonasi taman nasional.

Kendati begitu persoalan dalam kawasan tidak berarti berhenti. Praktek penangkapan ikan secara ilegal menyebabkan terjadinya overfishing. Praktek-praktek yang bersifat merusak juga terjadi dengan menggunakan bom, bius dan penambangan karang. Hasil penelitian Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Pesisir tahun 2003, menyebutkan penambangan karang oleh masyarakat Bajo berlangsung sejak tahun 1960an.

Luasnya kawasan perairan Wakatobi menyulitkan pemerintah melakukan pengamanan. Penggunaan bius (potasium cianida) juga sulit dibuktikan jika pelaku tidak ditangkap langsung. Sementara itu partisipasi masyarakat cenderung pasif dan menyerahkan persoalan sebagai urusan pemerintah. Survey perception monitoring oleh TNC, WWF bekerjasama dengan Balai TNW tahun 2009 menunjukkan 23 % masyarakat menaruh kepercayaan pada pemerintah nasional untuk menjaga kawasan, 22 % kepada kepala desa dan 21 % kepada TNW. Definisi pemerintah nasional dalam dokumen survey adalah Pemda, Polisi, Angkatan Laut dan Dinas Kelautan dan Perikanan (TNC dan WWF Wakatobi 2009). Ketiga subjek yakni pemerintah nasional, kades dan TNW adalah unsur pemerintah, artinya ketergantungan pada pemerintah sangat tinggi.

Jika dirunut secara kronologis kurangnya partsisipasi masyarakat merupakan akibat dari perubahan pengelolaan sumbedaya laut dari sistem tradisional menjadi sistem formal ditandai berakhirnya sistem sara di tahun 1960 (bubarnya Kesultanan Buton) sampai berlakunya penyeragaman pemerintahan lokal menjadi desa melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1979 (Nababan 2003). Dalam masa transisi dari kuasa adat ke desa (baca : negara), pemerintah menetapkan Kepulauan Wakatobi sebagai taman nasional laut, sebuah instrumen baru yang secara langsung bersentuhan dengan perihal pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya laut melalui sistem formal menyulitkan proses adaptasi masyarakat yang sudah terbiasa mengelola sumberdaya laut berdasarkan pengetahuan tradisional yang dipelajari secara turun-

(3)

temurun. Sistem baru berada di luar pengalaman, pengetahuan, kuasa dan sejarah hidup masyarakat (Arafah dan Manan, 2000).

Ancaman lain adalah masih adanya masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap taman nasional sebagai pengusiran masyarakat dari wilayah kelola serta anggapan bahwa konservasi bertentangan dengan pembangunan daerah yang dimaknai sebagai aksi eksploitasi hasil untuk PAD. Potensi konflik juga terjadi horisontal, misalnya perbedaan orientasi antara nelayan lokal Wakatobi dengan menambang karang dari komunitas Bajo.

Dengan demikian diperlukan sistem pengelolaan yang menghamoniskan pelestarian keanekaragaman hayati dan pelestarian keanekaragaman komunitas sehingga menekan konflik, sebab pengelolaan lingkungan tidak lain merupakan pengelolaan konflik dari masyarakat yang tersusun dari nilai-nilai, kepentingan, keinginan, harapan yang berbeda-beda baik secara individu maupun kelompok (Mitchell B. et al 2007).

Laut di Kepulauan Wakatobi adalah milik kampung, dikelola oleh sara kadie, suatu lembaga masyarakat hukum adat kampung yang diberi kewenangan mengurus rumah tangga sendiri oleh Sara Kesultanan Buton. Desentralisasi semacam itu adalah sebagaimana yang dikatakan Solihin et al (2005) sebagai bentuk pengakuan negara kepada masyarakat yang menghasilkan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan karena terciptanya rasa memiliki pada masyarakat. Kejelasan ruang pengelolaan dalam sistem kadie memudahkan sistem pengawasan sehingga menghindari konflik sesama nelayan (Widodo dan Suadi 2006) dan menghindari laut sebagai wilayah bebas (open access) yang dapat dieksploitasi oleh siapapun, kapanpun dan dengan menggunakan peralatan apapun (Satria 2009b). Bentuk kearifan pengelolaan yaitu sistem adat penting diadopsi guna mengatasi mahalnya teknologi, keterbatasan kemampuan masyarakat memahami sistem baru dan juga untuk menghindari dampak negatif dari teknologi baru (Arafah dan Manan 2000).

Pengelolaan sumberdaya laut dengan kearifan tradisional bukanlah berarti

(4)

sistem tradisional selaku ‘tuan rumah’ dalam kawasan dengan cara : (1) tidak menghilangkan eksistensi sistem tradisional, dan (2) Kesesuaian antara sistem formal dan sistem tradisional dalam pengelolaan kawasan. Baik sistem tradisional maupun formal memiliki kesamaan tujuan yakni pelestarian keanekaragaman hayati untuk kelangsungan kehidupan.Peran pemerintah tetap penting sebagai fasilitator regulasi dan sistem formal dapat beroperasi pada pengelolaan wilayah-wilayah di luar teritorial masyarakat adat atau untuk menjalankan kewajibannya memenuhi hak masyarakat atas kawasan yang aman dari pelanggaran hukum dan hak atas lingkungan yang lestari.

Kedua sistem dapat dielaborasi dalam skema kolaborasi sistem, lebih dari sekedar kolaborasi manajemen yang memandang masyarakat sebagai participan stakeholders pada event pemerintah. Kolaborasi sistem adalah dekonstruksi dari

sistem pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik berbasis masyarakat dimana sistem yang hidup dalam masyarakat diselaraskan dengan sistem formal, bentuknya bisa pembagian ruang mana yang diatur pemerintah dan ruang mana yang diatur sistem lokal. Peluang pemulihan kearifan tradisional dalam kawasan TNW sangat terbuka mengingat fakta bahwa seluruh wilayah kelola adat sara kadie pada sistem tradisional, di dalam skema zonasi TNW telah disepakati masyarakat dan pemerintah sebagai zona pemanfaatan lokal yang mengandung arti hanya dapat dikelola masyarakat lokal Wakatobi. Tentunya untuk menciptakan kesetaraan pengetahuan mengenai sistem tradisional yang ada dalam masyarakat diperlukan langkah awal yakni penggalian nilai-nilai tradisional tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Konservasi keanekaragaman hayati di TNW belum berjalan optimal ditandai dengan rendahnya partisipasi masyarakat dan masih berlangsungnya kegiatan destruktif fishing seperti pemboman, pembiusan dan penambangan karang, terutama di perairan Pulau Wangi-Wangi. Sistem formal konservasi taman nasional berada

(5)

diluar pengalaman hidup dan pengetahuan alami masyarakat sehingga tujuan konservasi sulit terwujud.

Sementara itu terdapat kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya yang operasional karena terbentuk dan berkembang dari pengalaman masyarakat selama turun-temurun mengelola kawasan tetapi tidak menjadi bagian dari sistem pengelolaan kawasan saat ini. Melemahnya sistem tradisional yang mengurus sumberdaya secara lokal dan menguatnya peran pemerintah memiliki andil besar pada degradasi sumberdaya alam (Satria 2009b).

Degradasi sumberdaya laut dapat diketahui berdasarkan hasil Rapid Ecological Assasement (REA) tahun 2003 di perairan Wakatobi menemukan

sebanyak 30 daerah pemijahan ikan, namun hasil monitoring joint program TNC, WWF dan BTNW tahun 2007 tersisa 4 lokasi pemijahan masih dalam kondisi baik.

Kerusakan disebabkan penggunaan alat tangkap potasium cianyda. Demikian juga di pesisir Liya, Mandati dan Kapota, aktivitas penambangan karang masih terjadi.

Tahun 2005 secara partisipatif nelayan Liya menangkap 24 penambang karang dan menahan 22 perahu berkapasitas 2 – 3 kubik karang. Masyarakat Liya kemudian bermusayawarah menetapkan sanksi adat dalam bentuk denda terhadap para pelaku penambangan dan pernyataan tidak akan mengulangi kegiatan penambangan karang, namun DPRD Kabupaten Wakatobi membebaskan semua pelaku penambangan dari sanksi dengan pertimbangan bahwa kegiatan penangkapan oleh masyarakat tidak memiliki dasar hukum. Dampaknya aktivitas penambangan karang di pesisir Liya, pesisir Usuno desa Kolo Liya, pantai barat Pulau Kapota serta pesisir barat Mandati terus terjadi tanpa tindakan pencegahan dari masyarakat lagi.

Bahkan di pesisir desa Waelumu dan Waetuno penambangan mulai dilakukan masyarakat lokal desa.

Hasil penelitian Pride Campaign TNC/WWF, RARE di Pulau Wangi-Wangi dan Pulau Kapota tahun 2008 menunjukkan pengetahuan masyarakat yang tinggi terhadap kegiatan perusakan (68%) dan dampak perusakan (87%). Tetapi hasil survey

(6)

menghentikan kegiatan perusakan (60%). Kesulitan ini bisa disebabkan sistem pengelolaan yang ada tidak memberikan kuasa pada masyarakat dan tidak dipahami masyarakat. Untuk sekedar melaporkan kegiatan perusakanpun masyarakat mengalami kesulitan. Masyarakat sulit membuat keputusan dan instansi pembuatan keputusan berada pada jarak sosial dan fisik yang jauh dari kenyataan hidup masyarakat. Keadaan ini menyebabkan tujuan-tujuan konservasi seperti pelestarian keanekaragaman hayati sulit terwujud. Dalam pengelolaan dengan sistem adat pengambilan keputusan berada di tengah kampung. Sara yang merupakan lembaga hukum adat berada di tengah-tengah masyarakat dan anggotanya merupakan bagian dari penduduk kampung.

Berdasarkan uraian di atas penelitian ini menjelaskan bagaimana mengadaptasikan kesenjangan pengelolaan antara sistem tradisional dan sistem formal TNW sebagai strategi konservasi TNW. Fokus kajian adalah sistem tradisional pengelolaan laut dalam pengelolaan zonasi TNW apakah memiliki kesesuaian atau tidak memiliki kesesuaian.

Dengan demikian pertanyaan-pertanyaan awal yang harus terjawab dalam penelitian ini adalah :

1. Apa saja kearifan tradisional dalam mengelola sumberdaya laut?

2. Bagaimana pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem zonasi TNW, kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional.

3. Apa wujud persamaan dan perbedaan sistem formal dan sistem tradisional dalam mengelola sumberdaya laut di Wakatobi?

1.3 Kerangka Pemikiran

Untuk menyusun rumusan pengelolaan TNW yang adaptif terhadap pengelolaan tradisional masyarakat dalam kawasan harus dimulai dari langkah-langka klarifikasi atas kearifan tradisional dan sistem formal yang berlaku. Kearifan tradisional sebagai hasil karya masyarakat yang timbul dari pengalaman secara teratur berinteraksi dengan alam dalam suatu wilayah kelola yang dikuasainya sebagai hak

(7)

ulayat telah mengilhami pengelolaan sumber daya laut secara ramah dan berkelanjutan sehingga laut Wakatobi dianggap layak menjadi taman nasional dalam prespektif pelestarian oleh pemerintah. Secara tidak langsung hal tersebut merupakan suatu bentuk pengakuan negara atas pengaruh positif kearifan masyarakat secara turun-temurun.

Pengakuan atas wujud perilaku konservasi yang lahir dalam masyarakat akan bermakna sebagai suatu penghormatan terhadap norma atau adat istiadat dalam pengelolaan dengan menjadikan nilai tradisional tersebut sebagai bagian dari instrumen konservasi kawasan taman nasional. Akomodasi terhadap kearifan lokal akan meningkatkan partisipasi masyarakat karena nilai tersebut dapat dengan mudah dikenali, dipahami dan dijalankan sebab telah menjadi pengalaman dan sejarah hidup masyarakat. Konsep pemikiran tersebut melatarbelakangi gagasan penelitian ini sebagaimana disajikan pada gambar 1.

Gambar 1 : Alur pemikiran penelitian

(8)

Gambar 1 menunjukkan kondisi faktual pengelolaan sumberdaya laut kepulauan Wakatobi berada dalam kewenangan institusi pemerintah yakni pemerintah daerah dan taman nasional. Dilain pihak, terdapat masyarakat lokal yang memiliki hak ulayat. Antara pengelolaan oleh pemerintah daerah dan taman nasional terdapat prinsip-prinsip yang memiliki kesamaan yakni pelestarian keanekaragaman hayati untuk menunjang penyediaan bahan baku bagi pembangunan berkelanjutan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Namun demikian terdapat kesenjangan pengelolaan yang harus dirumuskan bersama oleh kedua institusi sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih. Kedua sistem memiliki kesamaan dan kesenjangan sehingga diperlukan kesepakatan-kesepakatan sebagai sistem pengelolaan bersama dan menjadi landasan bagi pengelolaan bersama (colaboration management).

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kolaborasi pengelolaan bukan hanya kolaborasi dalam perspektif partisipasi stakeholder (manusia) pada event pemerintah tetapi kolaborasi sistem antara sistem formal pemerintah dan sistem tradisional milik masyarakat. Konsensus yang akan dihasilkan dari kolaborasi tersebut nantinya menjadi sistem konservasi taman nasional.

1.4 Tujuan penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan utama yakni merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat yang serasi (compatible) dengan peraturan pengelolaan TNW. Untuk mencapai tujuan tersebut maka tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi kearifan tradisional pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat adat Wakatobi.

2. Mengkaji sistem zonasi TNW dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya laut dalam sistem tradisional.

3. Menganalisis kesenjangan dalam pengelolaan sumberdaya laut antara sistem formal oleh Balai TNW dengan sistem tradisional oleh masyarakat adat Wakatobi.

(9)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengkaji strategi pengelolaan sumber daya laut di wilayah TNW. Hasil kajian dalam penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi proses yang dibangun para pihak dalam TNW untuk mewujudkan kolaborasi pengelolaan dalam rangka mewujudkan ‘taman nasional untuk rakyat’

yaitu kawasan konservasi yang memberikan layanan ekologis bagi pelestarian ekosistem, mempertahankan sumber pangan masyarakat dan memberi penghormatan pada masyarakat adat yang berada dalam kawasan.

Gambar

Gambar 1 : Alur pemikiran penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Karena biasanya sebuah mesin mempunyai lebih dari satu frekuensi getaran yang ditimbulkan, frekuensi getaran yang timbul tersebut akan sesuai dengan kerusakan yang

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

Dengan berpindahnya kedudukan titik tekan sebuah kapal sebagai akibat menyengetnya kapal tersebut akan membawa akibat berubah-ubahnya kemampuan kapal untuk menegak

Responden adalah seluruh penderita leptospirosis yang tercatat dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Demak pada periode 1 Januari hingga 1 April tahun 2008 (total

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP),

Pemodelan penyelesaian permasalahan penjadwalan ujian Program Studi S1 Sistem Mayor-Minor IPB menggunakan ASP efektif dan efisien untuk data per fakultas dengan mata

Sebagai tambahan, Anda akan membuat sebuah ObjectDataSource yang berparameter sehingga dapat melewatkan item yang yang terpilih pada DropDownList ke data komponen untuk

• Script tidak bisa dilihat oleh pengguna, sehingga tidak dapat di-copy-paste • Cocok untuk akses data atau aplikasi database. • Untuk membuat fitur-fitur tertentu yang