• Tidak ada hasil yang ditemukan

Disintegrasi Ekonomi. Pada masa awal pelaksanaan otonomi daerah banyak orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Disintegrasi Ekonomi. Pada masa awal pelaksanaan otonomi daerah banyak orang"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Edisi

Mei-Juni 2013

KPPOD

Membangun Indonesia dari Daerah

www.kppod.org

Merajut Kerjasama Daerah, Menghindari Disintegrasi Ekonomi

D

isintegrasi Ekonomi. Pada masa awal pelaksanaan otonomi daerah banyak orang pesimis kalau otonomi daerah akan berhasil. Sebagian pihak bahkan sampai berę kir extrim, jika otonomi daerah ini justru akan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Memang dalam masa awal pelaksanaan otonomi daerah, ada beberapa praktik negatif yang memperlihatkan gejala ke arah disintegrasi dalam arti ekonomi.

Beberapa kebħ akan daerah yang menghambat lalul intas perdagangan antar wilayah, dan maraknya pemekaran daerah, memang bisa dilihat sebagai salah satu bentuk egoisme daerah. Dari sini kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi muncul. Barangkali bukan disintegrasi dalam arti pemisahan diri dari wilayah NKRI, namun disintegrasi pada tataran kesatuan ekonomi nasional. Indonesia sebagai satu kesatuan ekonomi nasional, seolah-oleh kemudian terpecah-pecah ke dalam wilayah ekonomi yang kecil-kecil dan saling berdiri sendiri dalam bentuk daerah-daerah kabupaten/kota, atau propinsi.

Economic of Scale. Dilihat dari skala ekonomi (economic of scale), besaran wilayah administratif kabupaten dan kota di Indonesia secara umum tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri sebagai satu kekuatan ekonomi. Ekonomi tidak mengenal wilayah, tetapi ekonomi merupakan keterkaitan dari beberapa mata rantai yang melintasi batas wilayah administratif daerah, bahkan negara. Dalam konteks negara sekalipun tidak ada satupun negara yang bisa melepaskan diri dari ikatan mata rantai ekonomi negara- negara lain, terlebih dalam era globalisasi seperti sekarang.

Kerjasama antar negara dalam kawasan-kawasan tertentu, seperti terbentuknya EU, merupakan bentuk regionalisasi ekonomi yang mengarah pada globalisasi.

Memperbesar economic of scale akan menciptakan optimalisasi pertumbuhan ekonomi.

Terbukti bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, EU telah muncul sebagai satu kekuatan ekonomi yang luar biasa yang mampu mengimbangi kekuatan ekonomi Amerika. Lantas mengapa daerah kabupaten/kota di Indonesia - yang notabene adalah sub national economic area dengan economic of scale jauh lebih kecil dari sebuah negara malah berusaha secara sendiri-sendiri dalam melakukan aktivitas economi?

Co-opetition (competition-cooperation). Persaingan antar daerah adalah suatu keniscayaan, namun selain adanya persaingan (competition), daerah-daerah tersebut juga mesti bekerja sama (inter-regional cooperation). Inilah yang dinamakan gejala co-opetition di era otonomi. Inisiasi untuk co-opetition ditunjukkan oleh beberapa daerah yang menjalin kerjasama. Kesamaan historis dan keterkaitan ekonomi dimanfaatkan bukan untuk melakukan pemekaran dalam bentuk wilayah administratif baru melainkan untuk bekerja sama dan mejadi identitas bersama dan dħ adikan merek dagang, tanpa kehilangan identitas lama masing-masing daerah. Lepas dari mana munculnya, nampaknya telah muncul budaya corparated diantara pemda dalam membangun wilayahnya, dan menjaga keutuhan ekonomi nasional.

Komitmen Nasional. Kerjasama antar daerah diyakini bisa menjadi perekat perekonomian nasional dan mengaselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah. Pemerintah pusat harus mendorong kerjasama antar daerah sebagai pendekatan pembangunan ekonomi. Sayangnya, regulasi nasional justru dituding sebagai penyurut semangat kerjasama antar daerah. Lembaga-lembaga kerjasama antar daerah yang ada saat ini bisa dikatakan sedang mengalami mati suri. Penyebabnya justru karna ketidakjelasan dan ketidakberpihakan regulasi terkait dengan sumber dana sharing untuk kegiatan kerjasama antar daerah. Dari sini, layak untuk kita menggugat komitmen pemerintah

(2)

E DITORIAL

Tantangan Kerjasama antar Daerah DAFTAR ISI

Susunan Redaksi

Pemimpin Redaksi:

Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana:

Ig. Sigit Murwito Staff Redaksi:

Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda Illinia Ayudhia Riyadi

Distribusi:

Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiani

Agus Salim Tata Letak:

Rizqiah D Winantyo

Alamat Redaksi:

Permata Kuningan Building 10th Fl.

Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53

Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org

Ringkasan Studi ... 3

Review Regulasi ... 12

Opini ... 16

Laporan Diskusi Publik ... 20

Agenda KPPOD ... 22

Seputar Otonomi ... 23

Sekilas KPPOD ... 24

Pada era otonomi ini, pola interaksi antardaerah tidak saja berbentuk persaingan (competition) tetapi juga kerja sama (cooperation). Inilah yang dinamakan gejala inter regional co-opetition dalam arah arah baru regionalisasi yang niscaya dewasa ini. Banyak pihak meyakini: masa depan otonomi terletak pada keberhasilan merajut kedua pola relasi tersebut. Rasanya, tak ada perdebatan dan keraguan akan kebenaran pandangan tersebut.

Tantangannya sekarang: selain tetap menjaga dinamika persaingan, kita mesti lebih giat pula untuk merajut kerja sama dalam berbagai bidang. Ibarat korporasi bisnis, Indonesia adalah sebuah unit-gabungan banyak perusahaan. Hari ini, setidaknya tercatat 34 Propinsi dan sekitar 500 Kabupaten/Kota bernaung di dalamnya. Besaran jumlah, laju pertambahan, dan kebij akan pemekaran yang terjadi 13 belas tahun ini juga cenderung menghasilkan basis kapasitas lokal yang lemah.

Keberadaaan wilayah pemerintahan yang terlampau banyak dan berciri luasan daerah yang kecil-kecil boleh jadi ideal dari sisi pelayanan publik lantaran rentang kendali birokrasi menjadi lebih pendek dan terukur. Namun bagi upaya pembangunan daerah pada skala keseluruhan, skala wilayah yang terlampau kecil hampir pasti berkapasitas terbatas dan cenderung kalah bersaing. Apalagi di era otonomi saat ini, antar daerah cenderung melihat dirinya sebagai entitas otonom-individual, yang seakan terpisah dari relasi integral (misalnya sebagai satu kesatuan ekonomi nasional) dengan daerah-daerah lain. Pada titik ini, pilihan solusi yang efektif, terlembaga dan berjangka panjang mesti diambil:

jejaring kerja dan bahkan terbentuknya wadah kerja sama antar daerah.

Menyadari urgensi tersebut, KPPODBrief edisi ini menurunkan topik utama terkait kerja sama, khususnya dalam bidang perdagangan antardaerah. Sejumlah tulisan secara mendalam mengupas kompleksitas isu tersebut: arti penting, masalah dan tantangan ke depan. Kami mengangkat persoalan di tingkat nasional terkait kerangka kebij akan nasional, tetapi juga mengetengahkan kerumitan masalah di lapangan terkait kapasitas sumber daya dan komitmen pimpinan daerah.

Membaca profi l masalah yang diperoleh dari studi lapangan dan dari sumber sekunder lainnya, kami memperoleh gambaran betapa seriusnya tantangan perwujudan kerja sama di era otonomi ini.

Semua pihak kenyadari arti pentingnya, bahkan sepakat bahwa masa depan otonomi itu terletak pada keberhasilan merajut jejaring kerja bersama, namun jabaran di level kebij akan dan implementasi justru tak selalu selaras. Tidak heran, sejumlah wadah kerja sama hanya tinggal papan nama, terancam bubar, atau beraktivitas ala kadarnya.

Kami berharap, meski masih terbatas, KPPODBrief ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan menawarkan rekomendasi yang pas guna memandu kita mengupayakan realisasi agenda krusial tersebut.

Selamat membaca.

(3)

K erjasama Antar Daerah Bidang Perdagangan sebagai Alternatif Kebij akan Peningkatan Perekonomian Daerah

Oleh: Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD

Ringkasan Studi

Idealnya, untuk menghadapi keterbatasan sumberdaya daerah, diperukan ada kerjasama antar daerah (KAD). Beberapa bidang atau kegiatan yang dapat dikerjasamakan, antara lain infrastruktur pelayanan publik, pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan, serta perdagangan. Kerjasama di bidang infrastruktur, umumnya berfokus pada pembangunan jalan dan pembangunan batas wilayah seperti jembatan dan tugu. Di bidang perdagangan, misalnya dengan penyediaan pasar bersama, promosi, dan pemasaran bersama produk unggulan daerah.

Di bidang perdagangan daerah, sejak otonomi daerah diterapkan, praktik perdagangan yang seharusnya menjadi bagian dari pembangunan ekonomi daerah justru mengahapi berbagai kendala, seperti:

1) Inefi siensi perdagangan yang disebabkan oleh banyaknya perizinan yang harus diurus dan berbagai pungutan, baik pungutan legal maupun illegal. Dari review regulasi yang dilakukan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) selama ini menemukan adanya potensi hambatan perdagangan antar wilayah dari sebagian besar (50-60%) perda-perda yang terkait dengan perdagangan komoditi antar daerah. Hambatan perdagangan tersebut merupakan pelanggaran prinsip free internal trade yang mengancap keutuhan perekonomian nasional. Akar persoalannya adalah bahwa aktivitas perdagangan dipersepsikan sebagai hanya memberikan keuntungan bagi para pelakunya dan tidak mempunyai dampak bagi pembangunan daerah. Maka sejumlah pungutan resmi dan tidak resmi, oleh pemerintah mau pun pihak non- pemerintah, seringkali dianggap absah.

2) Volume perdagangan di suatu daerah masih kecil.

Implementasi otonomi daerah memunculkan praktik dan persepsi bahwa semua aktifi ktas ekonomi termasuk perdagangan dilakukan di masing- masing daerah. Akibat dari perdagangan yang dilakukan secara sendiri adalah volume produk yang diperdagangkan kecil.

3) Kurangnya informasi pasar bagi para pedagang. Hal ini terlihat dari hasil studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang dilakukan oleh KPPOD menyebutkan bahwa 17% pelaku usaha terkendala dalam proses pemasaran karena kurangnya informasi pasar.

Untuk mengatasi berbagai praktik dan kendala yang terjadi di bidang perdagangan, upaya yang dapat dilakukan oleh daerah adalah dengan melakukan KAD di bidang perdagangan. Salah satu bentuk KAD bidang perdagangan yakni promosi dan pemasaran bersama.

Dengan pemasaran bersama, penjual (produsen) akan berkumpul bersama di suatu tempat. Kondisi tersebut dapat menciptakan aglomerasi ekonomi dimana daerah akan mendapat keuntungan akibat dari adanya pemusatan tersebut. Keuntungan lain yang akan diperoleh adalah adanya peningkatan volume perdagangan yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian daerah.

Berpij ak dari kondisi di atas, KPPOD melakukan studi terkait KAD di bidang perdagangan sebagai alternatif kebij akan peningkatan perekonomian daerah. Studi ini fokus pada kerjasama di bidang perdagangan, dengan dua alasan Pertama, momentum penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) perdagangan dimana dalam rancangan tersebut. masih sangat sedikit mengatur perdagangan dalam negeri. Selama ini, konteks perdagangan dalam negeri hanya terfokus pada praktik perdagangan, namun kurang menyentuh aspek kelembagaan yang menangani bidang perdagangan di daerah.. Kedua, perdagangan dapat mempercepat pembangunan ekonomi melalui pengembangan produk unggulan daerah yang dapat menciptakan lapangan kerja.

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifi kasi faktor-faktor yang mendorong daerah melakukan kerjasama di bidang perdagangan dan menganalisis sejauhmana praktik KAD di bidang perdagangan. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan review regulasi dan dokumen terkait serta studi kualitatif di dua lembaga kerjasama antar daerah yakni RM Barlingmascakeb di Jawa Tengah dan RM Jonjok Batur di Nusa Tenggara Barat. Dua lembaga kerjasama ini dipilih karena memiliki fokus kerjasama di bidang perdagangan.

TEMUAN-TEMUAN UTAMA STUDI

FORMAT KELEMBAGAAN KAD DI INDONESIA Beberapa format kelembagaan yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut:

P

enerapan otonomi daerah selama 12 tahun belum mencapai hasil yang diharapakan, yang ada justru menimbulkan lemahnya koordinasi, egosentrisme, mengecilnya skala ekonomi wilayah. Otonomi telah memunculkan praktik dan persepsi bahwa semua aktifitas ekonomi harus ditentukan, dilakukan, dan tersedia di masing-masing daerah. Seolah-olah setiap daerah berjalan sendiri-sendiri, sehingga skala ekonomi daerah menjadi kecil karena terbagi-bagi ke dalam wilayah administratif. Akibatnya, daerah memiliki keterbatasan sumberdaya untuk pembangunan ekonomi.

(4)

1. Badan Kerjasama Antar Daerah

Amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 pasal 24 menjelaskan dalam rangka membantu kepala daerah melakukan kerja sama dengan daerah lain yang dilakukan secara terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat lima tahun, kepala daerah dapat membentuk Badan Kerja sama (BKAD).

Badan kerja sama sebagaimana dimaksud adalah bukan perangkat daerah. Salah satu contoh lembaga kerjasama ini adalah Subosukawonosraten. BKAD ini merupakan model KAD yang beranggota Kota Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Tujuan kerja sama ini adalah meningkatkan daya saing ekonomi wilayah melalui penguatan manajemen wilayah, peningkatan pemasaran wilayah, penciptaan iklim bisnis yang kondusif bagi investasi dan dunia usaha, serta memberikan dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah, pada sektor-sektor unggulan di wilayah Subosukawonosraten. Kerjasama ini memiliki fokus dalam pelayanan publik di bidang kesehatan, lingkungan hidup, pariwisata dan transportasi.

Pengelola BKAD Subosukawonosraten merupakan PNS dari SKPD terkait dan sumber pembiayaan pelaksanaan KAD berasal dari APBD daerah anggota dan swasta. Hal yang dapat dij adikan pembelajaran bersama adalah pada BKAD Subosukawonosraten melahirkan kesepakatan bersama untuk membentuk sebuah badan hukum, yang dikenal dengan PT Solo Raya, yang diharapkan badan hukum ini dapat memperkuat strategi pemasaran regional bagi daerah-daerah di wilayah eks Karisidenan Surakarta.

2. Sekretariat Bersama (Sekber)

Bentuk KAD ini pada umumnya bekerjasama di bidang pengelolaan prasarana dan sarana. Salah satu contohnya adalah Sekber Kertamantul di Yogyakarta, Sleman dan Bantul. Hingga kini, sektor yang menjadi fokus kerja sama ketiga daerah tersebut yaitu kerja sama sektor air bersih, jalan, transportasi, drainase, air limbah dan persampahan serta tata ruang. Pada model sekber, sumber daya manusia yang digunakan berasal dari PNS dan Staf Profesional. Koordinator Sekber berasal dari PNS yang biasanya diduduki oleh Sekretaris

Daerah yang berketempatan menjadi koordinator Sekber, sedangkan untuk menjalankan operasional sehari-sehari dilakukan oleh seorang staf profesional dengan posisi sebagai direktur. Sumber pembiayaan bagi lembaga Sekber adalah APBD dari daerah masing- masing dengan menggunakan pos hibah serta pos kegiatan program yang sudah ada dari masing-masing SKPD terkait.

3. Regional management (RM)

RM merupakan lembaga kerja sama antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan potensi yang dimiliki masing-masing daerah dengan tujuan untuk mensinergikan pelaksanaan pembangunan antar daerah serta meningkatkan efi siensi dan efektifi tas pemanfaatan sumber daya daerah. Contoh dari kerjasama antara daerah dengan bentuk lembaga ini adalah RM Barlingmascakeb di Jawa Tengah dan RM Jonjok Batur di Pulau Lombok. Pada struktur organisasi RM terdapat tiga komponen, yakni Forum Regional yang terdiri dari para Bupati daerah anggota, Dewan Eksekutif yang terdiri dari perwakilan SKPD dan Regional Manager yang diisi oleh tenaga professional. Forum Regional merupakan pemilik kerjasama dan pengambil kebij akan yang bersifat strategis dan memberikan arahan kepada dewan eksekutif. Selanjutnya, Dewan Eksekutif berfungsi sebagai kelompok pengarah atau steering commite yang menterjemahkan kebij akan forum regional menjadi program strategis. Dewan ini juga bertugas untuk melakukan penguatan internal organisasi agar kerjasama antar daerah bisa berjalan secara efektif dan efi sien. Regional Manager merupakan pelaksana harian (operasional) yang melaksanakan program dan kegiatan RM yang telah ditentukan oleh forum regional dan dewan eksekutif. Sumber pembiayaan lembaga ini berasal dari iuran anggota maupun donor.

FAKTOR PENDORONG TERBENTUKNYA KERJASAMA

KAD dibentuk daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Setiap daerah memiliki potensi sumber daya yang tidak selalu sama dengan daerah lainnya, sehingga tidak semua daerah mampu memenuhi kebutuhannya

Sumber: BPS Banyumas dan Purbalingga

(5)

Ringkasan Studi sendiri. Dengan keterbatasan skala ekonominya, daerah

memerlukan kerjasama dengan daerah lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya.

Sebagai ilustrasi, Purbalingga memiliki kelimpahan produksi jagung dengan rata-rata produksi sebesar 42.000 ton/tahun. Sementara Banyumas hanya memiliki rata-rata produksi sebesar 17.900 ton/tahun (BPS, 2005-2010). Dengan permintaan jagung di Banyumas yang lebih dari 17.900 ton/tahun, daerah tersebut tidak mampu memenuhi permintaan. Di sisi lain, Banyumas memiliki kelimpahan komoditas kacang tanah.

Produksinya mencapai 4.300 ton/tahun. Sedangkan rata- rata produksi kacang tanah di Purbalingga hanya 2.300 ton/tahun, padahal permintaan komoditas tersebut lebih tinggi. Untuk menjembatani perbedaan kondisi tersebut, diperlukan kerjasama antar kedua daerah khususnya di bidang perdagangan. Dengan adanya kerjasama, kedua daerah dapat melakukan perdagangan atas dua komoditas tersebut. Purbalingga dapat mengekspor jagung ke Banyumas. Sebaliknya Banyumas dapat mengekspor kacang tanah ke Purbalingga. Dengan demikian, kedua daerah tersebut mampu memenuhi permintaan di daerahnya masing-masing.

KAD dibentuk untuk memenuhi volume permintaan pasar. Kecilnya skala ekonomi daerah, menyebabkan terkadang tidak mampu untuk memenuhi permintaan pasar. Sebagai contoh, permintaan gula merah dari Desa Cilongok Kabupaten Banyumas sangat tinggi, lebih dari 60.000 ton/tahun. Namun, produksi gula dari daerah tersebut hanya ± 51.000 ton/tahun. Untuk mencukupi volume permintaan pasar tersebut, Banyumas bekerjasama dengan Purbalingga. Melalui pengambungan produksi gula merah Banyumas dan Purbalingga dapat memenuhi volume permintaan pasar.

KAD dibentuk untuk menciptakan aglomerasi produksi daerah melalui pemasaran bersama. Banyak daerah menghadapi kendala dalam pemasaran komuditi daerahnya. Hal tersebut terjadi karena para pedagang lokal menjual produknya secara individu. Akibatnya,

akses dan informasi pasar menjadi terbatas. Oleh karena itu, KAD diperlukan untuk pemasaran bersama para pedagang ldi daerah. RM Jonjok Batur menginisiasi pembangunan pabrik jagung di Lombok Tengah. Pemilihan lokasi pabrikdi Lombok Tengah karena posisi yang strategis (pertengahan) antara Lombok Barat dengan Lombok Timur. Pembangunan pabrik ini dimaksudkan untuk mempermudah petani dalam pemilahan dan pengeringan jagung. Selain itu, ditujukan untuk menampung/mengumpulkan produk jagung di suatu lokasi agar mempermudah proses pemasaran produk.

1. PROFIL KAD PERDAGANGAN DI DUA DAERAH STUDI

RM Barlingmascakeb

Barlingmascakep adalah kerjasama antara Kabupaten Banjarnegara, Kebupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kebumen. Kerjasama Barlingmascakeb lahir dari rendahnya investasi yang masuk ke kawasan tersebut, padahal daerah-daerah tersebut mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi. Fasilitas infrastruktur yang belum memadai di dareah-daerah anggotanya, seringkali dipandang menjadi penyebab utama rendahnya investasi yang masuk, Belum adanya kelembagaan yang mantap dan defi nitif yang menangani urusan investasi di daerah juga menjadi kendala. Dari sisi regulasi, perangkat aturan dan kebij akan yang menjadi pedoman dalam menangani urusan investasi di daerah belum kondusif dan belum ada sinkronisasi perkembangan kegiatan investasi antar daerah.

Kondisi tersebut disadari oleh Bupati Purbalingga, yang kemudian pada tahun 2000, berdialog dengan bupati- bupati lainnya menginisiasi kerjasama Barlingmascakeb.

Forum ini disahkan melalui penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Bupati Banjarnegara, Bupati Purbalingga, Bupati Banyumas, Bupati Cilacap dan Bupati Kebumen No.130 A. Tahun 2003 pada tanggal 28 Juni 2003 tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management (RM) Barlingmascakeb.

Pemilihan format kelembagaan RM ini diimaksudkan agar semua komitmen kesepakatan-kesepakatan antar daerah dapat terformulasikan dalam bentuk program/

kegiatan dan dapat diimplementasikan secara nyata serta dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Selain itu, mereka menganggap bahwal lembaga kerjasama yang dibangun harus dioperasionalkan oleh “kelompok kerja” yang bekerja secara full time, profesional, yang dilandasi kecerdasan IQ, EQ, dan SQ.

Lombok Barat

Pabrik Jagung

Lombok Timur Lombok

Tengah

Sumber: BPS Banyumas dan Purbalingga

(6)

Struktur organisasi RM Barlingmascakep terdiri dari tiga komponen, yakni Forum Regional, Dewan Eksekutif dan Regional Manager. Pelaksana harian (operasional) RM dilaksanakan oleh regional manager, dipimpin oleh seorang Manajer RM dan dibantu oleh tim ahli, yang terdiri daeri analisis perekonomian, analisis hukum dan perundang-undangan dan analisis pemasaran. Struktur organisasi RM Barlingmascakeb dapat dilhat pada Gambar 4.

Sumber utama pembiayaan lembaga kerjasama ini berasal dari sharing pendanaan dari APBD Kabupaten Anggota melaui dana hibah. Iuran yang dibayarkan sebesar Rp 100 juta per anggota pada tahun 2004 serta Rp 150 juta pada tahun-tahun selanjutnya. Namun, sharing pendanaan yang berasal dari dana hibah terkendala oleh ketentuan dari Pemerintah Pusat. Akibatnya, pada tahun 2011 RM Barlingmascakeb ini vakum.

Program RM Barlingmascakeb berupa promosi potensi daerah, pemasaran produk daerah dan mengupayakan terwujudnya kesepakatan bisnis dan investasi di daerah anggota. Bentuk kegiatannya antara lain pasar lelang forward agro, promosi investasi, promosi pariwisata melalui pengusunan wisata terpadu. Sejumlah capaian dari RM Barlingmascakeb diantaranya adalah pembentukan kelompok kerja (pokja) untuk membangun jejaring publik, yakni Pokja perdagangan dan investasi, Pokja pertanian, pokja pariwisata dan pokja infrastruktur. Dibidang perdagangan telah terselenggara pasar lelang forward komoditas agro sebanyak 19 kali dengan jumlah transaksi sebesar Rp 321 Milyar. Melalui kegiatan-kegiatan RM terjadi perluasan akses pasar bagi para UKM melalui penyelenggaraan gathering stakeholder (pertemuan bisnis).

Dalam pelaksanaannya, kerjasama antardaerah tersebut tidak terlepas dari beberapa kendala, seperti adanya benturan dengan regulasi pusat terkait dana hibah

daerah sebagai sumber pembiayaan RM serta rendahnya komitmen pemimpin daerah dan rendahnya koordinasi antara RM, Dewan Eksekutif maupun dengan SKPD terkait.

RM Jonjok Batur

RM Jonjok Batur adalah lembaga kerjasama antar daerah, yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur.

Menyusul masuknya Lombok Utara menjadi anggota RM Jonjok Batur pada tahun 2012.

Kerjasama Jonjok Batur lahir dari kesadaran akan bahaya persaingan yang tidak sehat dalam pembangunan ekonomi antara tiga kabupaten yang berdekatan, yang selanjutnya akan bekerjasama.. Ketiga daerah tersebut memiliki potensi yang sama, baik dalam sektor pertanian maupun pariwisata, namun tidak saling berkoordinasi. Akibatnya muncul persaingan yang tidak sehat, bahkan bisa saling mematikan. Alasan lain yang melatarbelakangi terbentuknya kerjsama adalah infrastruktur yang belum memadai di Pulau. Kendala infrastruktur tersebut sering menjadi alasan rendahnya investasi khususnya di sektor unggulan (pertanian dan pariwisata).

Kondisi ini disadari oleh Bappeda Lombok Barat, Lombok Timur dan Lombok Tengah, dan mulai tahun 2005, mereka mengadakan dialog yang dihadiri oleh para Bupati dari ketiga daerah. Selanjutnya forum ini disahkan dengan Peraturan Bersama Bupati Lombok Barat, Bupati Lombok Tengah dan Bupati Lombok Timur Tahun 2006 Tentang Pembentukan Lembaga Kerjasama Regional Management Antar Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur.

Sama seperti RM Barlingmascakeb, struktur organisasi RM Jonjok Batur juga terdiri dari 3 komponen, yakni forum regional, dewan eksekutif dan regional manager.

Pelaksana harian dipimpin oleh seorang manajer RM dengan dibantu oleh tim dari analisis pengelolaan dan investasi, analisis hukum dan perundangan dan analisis pemasaran. Struktur organisasi RM Jonjok Batur dapat dilhat pada Gambar 5.

Sumber pembiayaan lembaga kerjasama ini berasal dari sharing dana atas tugas setiap daerah, dukungan/

bantuan pembiayaan dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi serta dukungan anggaran dari pihak lain (lembaga swadaya/NGO). Sharing dana dilakukan saat awal pembentukan RM Jonjok Batur.

Selanjutnya, pembiayaan RM ini didukung oleh berbagai donor, yakni dari Pemerintah Pusat (Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal, Kementerian Koperasi), Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun pihak lain.

Ruang lingkup kerjasama RM Jonjok Batur ini meliputi kerjasama bidang infrastruktur, pengembangan dan perdagangan komoditi unggulan, penanganan

Sumber: Lekad.org

(7)

desa-desa perbatasan dan bidang lain sesuai dengan perkembangan kebutuhan daerah. Bentuk kegiatannya antara lain pemasaran produk unggulan daerah kepada para investor, promosi pariwisata, dan pemberdayaan petani tembakau.

Dalam pelaksanaannya, kerjasama antardaerah tersebut tidak terlepas dari beberapa kendala, seperti, rendahnya pemahaman kepala daerah mengenai kerjasama antar daerah yang menyebabkan komitmen yang masih rendah. Kendala lain adalah kurangnya koordinasi antara RM dengan Forum Regional, serta nuansa politis yang sangat kuat dalam pelaksanaan RM. Terlepas dari kendala yang dihadapi, sejumlah keberhasilan telah dicapai oleh RM Jonjok Batur diantaranya adalah terjadi perluasan akses pasar bagi para petani tembakau di Lombok; pembangunan pabrik jagung bersama di Lombok Tengah, dan pembentukan Himpunan Petani Lombok (Hipetal)

Pasar lelang bersama sebagai bentuk kerjasama peningkatan perdagangan antar daerah.

Penyelenggaraan pasar lelang komoditi agro merupakan sebuah upaya positif dalam memajukan sektor perdagangan dan pertanian antar daerah.

Tujuannya adalah menciptakan sistem perdagangan yang baik melalui transparansi mekanisme penentuan harga, meningkatan efi siensi dan efektivitas sistem perdagangan, menciptakan insentif bagi peningkatan produksi dan mutu serta meningkatkan pendapatan petani.

Sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan, pasar lelang yang dikembangkan dibangun dalam dua bentuk yaitu: Pasar lelang spot dan pasar lelang forward.

Dalam pasar lelang spot, penjual langsung penjual langsung membawa komoditas yang akan dij ual ke pasar lelang. Kelebihan pasar lelang spot adalah bentuk pasar lelang ini mampu terhindar dari gagal serah dan gagal bayar. Namun, kelemahannya adalah tidak

ada mekanisme standarisasi mutu produk. Di pasar lelang spot, pedagang membawa semua produk yang akan diperdagangkan dengan mutu dan kualitas yang berbeda-beda. Kondisi tersebut memungkinkan bahwa produk yang diperdagangkan tidak sesuai dengan kualitas yang diinginkan oleh pembeli.

1) Pasar lelang forward

Berbeda dengan pasar lelang spot, dalam pasar lelang forward , penjual cukup membawa contoh komoditas dengan spesipikasi produk yang akan dij ual ke pasar lelang, sementara penyerahan barang dan penyelesaian kemudian hari sesuai dengan kontrak jual beli yalngl disepakati. Beberapa kelebihan dalam bentuk pasar lelang forward dibandingkan dengan pasar lelang spot adalah Bagi produsen (petani), menjadi acuan harga sebelum tanam atau panen, sehingga memungkinkan bagi mereka merencanakan pola tanam. Sedangkan bagi kalangan industri pengolah, dapat memperoleh jaminan pasokan bahan baku sesuai kapasitas dan rencana produksi di masa mendatang.

Namun, pasar lelang forward juga memiliki kelembahan terutama pada tahap implementasi (problem implementasi), seperti rentan terjadinya kegagalan transaksi (gagal serah, gagal harga dan gagal kualitas).

Permasalahan ini terjadi akibat ketidakmampuan dari pihak yang terlibat untuk menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan waktu, harga dan kualitas yang telah disepakati. Gagal serah muncul dikarenakan faktor yang sifatnya alamiah seperti alam yang tidak kondusif dan terjadinya musibah, serta kesalahan para pihak yang bertransaksi dalam mengestimasi kondisi yang akan datang, ketidakmampuan untuk menyusun perencanaan dalam situasi ketidakpastian serta kegagalan yang disengaja lainnya. Gagal harga dapat muncul karena adanya pengingkaran kesepakatan terhadap harga yang telah disepakati. Misalnya, harga jual komoditas saat ini lebih tinggi dari harga jual sebelumnya yang tertera dalam kesepakatan. Oleh karena itu, produsen memutuskan untuk menjual produknya di pasar spot dengan harga saat ini dan mengingkari kontrak jual beli yang sudah disepakati. Sementar gagal kualitas dapat muncul karena kegagalan panen akibat kondisi cuaca dan iklim yang tidak mendukung serta adanya perbedaan persepsi antara penjual dan pembeli terhadap kualitas yang ditetapkan.

Di tingkat implementasi kelemahan lain dari pasar lelang forward adalah masih minimnya peran penyelenggara pasar lelang forward baik pemerintah maupun swasta sehingga tidak ada otoritas untuk memberikan sanksi atas wanprestasi para pihak. Akibat dari kegagalan transaksi dan tidak ada otoritas tersebut menyebabkan nilai transaksi yang dibukukan pada saat penyelenggaraan pasar lelang tidak sebesar realisasinya.

Kedua kerjasama antar daerah yang menjadi fokus studi ini memiliki program kegiatan di bidang perdagangan dengan membentuk pasar lelang bersama dengan menerapkan system pasar lelang forward. RM Barlingmascakeb memiliki satu kegiatan utama yakni pasar lelang forward komoditi agro. Sementara di Pulau

Ringkasan Studi

Sumber: Bappeda Lombok Tengah

(8)

Lombok, pasar lelang forward komoditi agro tersebut diselenggarakan oleh pemerintah provinsi NTB.

Mekanisme Pasar Lelang Forward di Dua Daerah Studi

Mekanisme pasar lelang forward pada prinsipnya terdiri dari dua tahapan, yakni tahapan persiapan dan proses lelang. Tahapan persiapan, yakni sosialisasi, identifi kasi dan fasilitasi calon pembeli dan calon penjual (pedagang) dilakukan oleh para penyelenggara. Selanjutnya adalah proses lelang yang dipimpin oleh juru lelang. Pada proses lelang, penjual membawa sampel barang yang dilelang. Kemudian juru lelang memandu jalannya pasar lelang hingga terjadi kesepakatan harga. Setelah harga dan jumlah disepakati, dilakukan penandanganan MoU antara penjual dengan pembeli. Mekanisme pasar lelang forward dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Perkembangan Nilai Transaksi Pasar Lelang RM.

Barlingmascakeb

Pasar lelang komoditas agro telah dilaksanakan RM Barlingmascakeb selama 19 kali dari tahun 2004 hingga tahun 2010. Nilai transaksi setiap kali penyelenggaraannya pun berbeda-beda. Di awal tahun penyelenggaraan (2004), nilai transaksi masih sangat kecil, yakni di bawah 9 M. Bahkan pada pasar lelang ke- VII, nilainya Rp 0. Hal ini dikarenakan tahun tersebut merupakan awal penyelenggaraan pasar lelang forward sehingga sosialisasi yang dilakukan masih sangat terbatas. Belum banyak pedagang maupun pembeli yang mengetahui keberadaan pasar lelang ini. Pihak RM dan dinas terkait pun belum memiliki akses yang luas kepada para pedagang dan pembeli. Akibatnya, peserta lelang masih sedikit dan nilai transaksi di tahun tersebut masih rendah.

Pada tahun 2006 hingga 2010, nilai transaksi lelang mulai meningkat, walaupun peningkatannya berfl uktuasi. Peningkatan tersebut terjadi karena persiapan pelaksanaan yang lebih matang, baik dari pihak penyelenggara (RM dan Dinas terkait) maupun dari peserta lelang. Pihak penyelenggara semakin aktif dalam mencari calon pembeli dan pedagang serta memperbanyak kegiatan sosialisasi. Peningkatan nilai transaksi ini menunjukkan semakin meningkatnya volume perdagangan di beberapa daerah anggota.

Dengan kata lain, pasar lelang bersama ini dapat meningkatkan skala ekonomi dari sisi pemasaran.

Perekembangan transaksi lelang forward RM Barlingmascakeb dapat dilihat pada Gambar 7.

Pasar lelang komoditi agro di Pulau Lombok sudah diselenggarakan sebanyak 48 kali sejak tahun 2005 hingga saat ini. Nilai transaksinya pun berfl uktuatif.

Peningkatan nilai transaksi terjadi pada akhir hingga awal tahun baru.

Hal ini mengindikasikan bahwa pada masa tersebut, terjadi musim panen sehingga volume meningkat.

Setelah musim panen, nilai transaksi menurun namun berlahan meningkat kembali. Perkembangan nilai transaksi pasar lelang forward Provinsi NTB dapat dilihat pada Gambar 8.

Penyelenggaraan pasar lelang sebagai bentuk kerjasama antar daerah di bidang perdagangan dapat diselenggarakan oleh lembaga kerjasama antar daerah (dalam kasus ini adalah RM) maupun pemerintah provinsi. Untuk melihat lebih lanjut, dilakukan analisis komparasi antara pasar lelang yang diselenggarakan oleh RM dan Provinsi dari sisi kelembagaan dan implementasi.

Kelembagaan Pasar Lelang

Penyelenggara utama pasar lelang RM dilaksanakan oleh personil dari RM. Namun, dalam pelaksanaannya dibantu oleh SKPD terkait dari setiap kabupaten anggota. SKPD berperan dalam identifi kasi calon pedagang masing-masing daerah. Sumber pembiayaan pasar lelang berasal dari iuran anggota melalui dana hibah APBD kabupaten.

RM masih belum memiliki otoritas untuk memberikan sanksi atas wanprestasi. Akibatnya, realisasi transaksi tidak sebesar nilai transaksi pada kesepakatan (MoU).

Untuk pasar lelang provinsi penyelenggaranya adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi. Untuk sosialisasi pelaksanaan kegiatan dan indentifi kasi calon peserta lelang (pedangan dan pembeli), Disperindag Provinsi bekerjasama dengan Disperindag Kabupaten/Kota. Sumber pembiayaan pasar lelang berasal dari dana dekonsentrasi dari Kementerian Perdagangan yang disalurkan melalui

Sumber: data primer (diolah)

(9)

Pemerintah Provinsi. Disperindag Provinsi memiliki otoritas yang lebih besar daripada RM dalam hal penetapan sanksi,jika terbukti melanggar MoU yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, berupa black list dan pihak yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti kegiatan pasar lelang.

Implementasi

Jadwal penyelenggaraan pasar lelang RM Barlingmascakeb setiap tahunnya berbeda-beda. Pada tahun 2004 dilaksanakan sebanyak tujuh kali, sementara pada tahun 2005 tidak diselenggarakan pelelangan, kemudian pada tahun 2006 dan 2007 dilaksanakan dua kali. Ketidakpastian jadwal penyelenggaraan tersebut menimbulkan ketidakpastian bagi penjual maupun pembeli, sehingga mereka tidak memiliki persiapan yang maksimal. Penegakan aturan yang dilaksanakan oleh RM sebagai penyelenggarapun masih lemah (belum efektif). Faktor hubungan kedekatan dengan peserta, memperlemah penerapan sanksi, sehingga jika peserta terbukti melanggar kesepakatan, pihak RM tidak menindaklanjuti pelanggaran tersebut. Keterbatasan akses pasar, mempersempit indentifi kasi calon pembeli yang dilakukan oleh RM sehingga penjual maupun pembeli yang hadir tidak bervariasi. Keuntungan dari pasar lelang yang diselenggarakan oleh RM adalah lebih

mudah dij angkau oleh para penjual ruang lingkup RM yang hanya menaungi beberapa daerah anggota yang berdekatan.

Jadwal kegiatan pasar lelang oleh provinsi, lebih teratur, yakni dua bulan sekali, memberikan kepastian bagi para peserta sehingga mereka memiliki persiapan yang matang untuk mengikuti pasar lelang.

Disperindag Provinsi mampu menegakan aturan yang berlaku karena sebagai institusi pemerintahan memiliki otoritas yang besar. Akses pasar pemerintah provinsi lebih luas sehingga mampu menghadirkan pembeli dari luar daerah.

Pembeli yang ikut dalam pasar lelang Provinsi NTB banyak berasal dari luar daerah, seperti Jawa Timur dan Bali. Namun, wilayah provinsi yang sangat luas juga menjadi kendala untuk dapat mengakses tempat penyelenggaran khususnya bagi para penjual yang berasal dari daerah yang jauh, terlebih jika infrastruktur jalan yang masih terbatas.

Terlepas dari segala kendala dan kegagalannya, sebagai sebuah inisiatif, pasar lelang besama tersebut mampu membuka akses pasar yang lebih luas bagi para pedagangang lokal. Sayangnya, hingga kini kedua kerjasama antar daerah yang menjadi fokus studi belum memiliki aturan bersama yang mendukung kegiatan pasar lelang tersebut.

Misalnya aturan bersama untuk pengurangan hambatan perdagangan tarif dan non tarif, standarisasi produk dan kualifi kasi peserta yang mengikuti pasar lelang. Hal ini sangat diperlukan guna mendukung pelaksanaan pasar lelang bersama sehingga perdagangan antar daerah lebih efi sien yang pada akhirnya mampu meningkatkan skala perekonomian di daerah.

Inkonsistensi Regulasi Pusat terkait mekanisme pendanaan justru menghambat perkembangan KAD di beberapa daerah. Keberlangsungan KAD sangat tergantung dari pola pendanaannya. Namun, inkonsistensi regulasi pusat dalam pendanaan KAD justru menjadi faktor penghambat perkembangan KAD di beberapa daerah. Contoh kasus adalah regulasi yang mengatur pendanaan kegiatan KAD.

Pasal 8, Permendagri No.22/2009 tentang Petunjuk Teknis Kerjasama Daerah menyebutkan bahwa KAD dapat didanai dari APBD melalui persetujuan DPRD.

Selanjutnya dalam poin 3, Permendagri No.37/2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA 2011 disebutkan bahwa KAD yang berbentuk badan dapat didanai dari dana hibah daerah. Namun, berdasarkan Permendagri No.32/2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial (Pasal 7) disebutkan bahwa dana hibah tidak diperbolehkan diberikan untuk keperluan diluar wilayah administratif daerah. Dana hibah hanya boleh diberikan kepada masyarakat atau lembaga yang berkedudukan dalam wilayah administrasi. Ketentuan pusat inilah yang mematikan perkembangan KAD di banyak daerah. Contoh kasus RM Barlingmascakeb yang vakum karena hambatan penggunaan APBD.

Ringkasan Studi

Sumber: RM Barlingmascakeb

Sumber: Disperindag Provinsi NTB

(10)

Catatan Penutup

Kesadaran akan keterbatasan skala ekonomi daerah dan inefi siensi perdagangan mendorong daerah- daerah untuk melakukan KAD di bidang perdagangan.

Terlepas dari segala kendala dan kegagalannya, sebagai sebuah inisiatif, pasar lelang besama di beberapa daerah terbukti relatif dapat membantu pedagang lokal untuk mengakses pasar lebih luas. Namun manajemen kerjasama dan program yang ditawarkan terkadang tidak mampu menjawab persoalan yang akan diselesaikan dengan kerjasama. Di sisi lain pemerintah daerah yang terlibat kerja sama belum melakukan hal yang harus menyertai proses kerjasama, yakni melakukan harmonisasi dan membuat regulasi bersama yang mengatur implementasi program di bidang perdagangan, seperti pengurangan hambatan perdagangan (tarif dan non tariff ) dan standarisasi mutu

--oo0oo--

produk perdagangan. Tanpa adanya regulasi bersama untuk mengurangi hambatan perdagangan antar daerah, sangat sulit KAD dapat menjawab persoalan perdagangan antar daerah

Studi ini juga menunjukkan bahwa dukungan politik, kelembagaan, pendanaan, dan konsistensi regulasi pusat, diperlukan untuk mendorong perkembangan KAD. Selama ini mekanisme pendanaan KAD belum mandiri, sehingga berpotensi mengakibatkan kegagalan dan keberlanjutan program KAD. Ketergantungan pembiayaan dari APBD dan program pemerintah pusat serta lembaga donor, terbukti tidak mampu menjamin keberlanjutan dari KAD. Hal lain adalah komintmen dan dukungan politik dari pimpinan daerah sangat penting. Tanpa dukungan dari pimpinan daerah, KAD tidak akan dapat terjadi dan berjalan dengan optimal sesuai yang diharapkan.

Pasar Lelang RM Pasar Lelang Provinsi

KELEMBAGAAN

Pengelola RM & SKPD terkait Disperindag Provinsi dan Disperindag Kabupaten/Kota

Pendanaan APBD Kabupaten Anggota APBN dan APBD Provinsi Otoritas RM : fasilitasi pelaksanaan lelang & identifi kasi

calon pembeli

Identifi kasi calon pembeli & penjual, menetapkan sanksi

Harmonisasi aturan Belum ada Belum ada

IMPLEMENTASI

Waktu Tidak teratur (tentative) Teratur

Penegakan aturan Lemah/tidak efektif Tegas/efektif

Pelibatan asosiasi Belum ada Ada (asosiasi, hotel, swalayan, dll) Aksesibilitas tempat

penyelenggaraan

Lebih terjangkau khususnya bagi daerah berkarakter khusus yang memiliki keterbatasan infrastruktur

Akses sulit dijangkau É kurang efi sien

Sumber: Data primer (diolah)

Tabel 1 Perbandingan Pasar Lelang Provinsi dengan Pasar Lelang RM

Saat ini KPPOD memiliki koleksi sekitar 20.000 Perda dalam versi elektronik menyangkut topik ekonomi/investasi di daerah (Pajak, Retribusi, Perijinan, dll).

Untuk melihat daftar koleksi tersebut, silahkan akses http://perda.kppod.org.

Bagi individu/korporasi/organisasi yang akan memesan koleksi kami, dapat menelusuri prosedur dan syarat pemesanan yang tertera pada menu layanan

submenu pemesanan perda.

Terima kasih

Bagian Keperpustakaan

(11)

K ajian Perda Sulawesi Tengah No. 3 tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha

Oleh: Boedi Rheza Peneliti KPPOD Review Regulasi

Pendahuluan

UU No. 28 tahun 2009 bertujuan untuk memberikan batasan yang jelas bagi daerah tentang pungutan yang boleh dipungut di daerah. Pungutan-pungutan tersebut terdiri dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Khusus untuk retribusi, ada tiga jenis retribusi yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perij inan tertentu. Dengan dikeluarkannya UU tersebut, maka daerah-daerah mulai menyesuaikan peraturan daerah (perda) tentang pungutan. Namun demikian pasca diberlakukannya UU No.28 tahun 2008, masih dij umpai beberapa daerah yang menerbitkan perda tentang pungutan masih belum sesuai dengan UU tersebut.

Salah satu daerah yang baru menerbitkan perda tentang retribusi adalah Provinsi Sulawesi Tengah, yakni Perda No.3 tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha.

Dalam perda tersebut diatur mengenai empat retribusi yang termasuk kedalam retribusi jasa usaha, yaitu:

retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi tempat pelelangan, retribusi pelayanan kepelabuhanan dan retribusi penjualan produksi usaha daerah.

Ringkasan isi

Salah satu retribusi dalam perda yang akan disoroti dalam review regulasi ini adalah retribusi pemakaian kekayaan daerah. Retribusi tersebut, bersinggungan langsung dengan komoditas utama Sulawesi Tengah, yaitu kakao. Persinggungan dengan komoditi kakao adalah penetapan retribusi terhadap pemakaian kekayaan daerah, khususnya uji mutu beberapa komoditas, termasuk kakao, yang dikenakan retribusi . Perda ini dapat dikatakan memiliki kelengkapan sebagai sebuah produk hukum. Sesuai UU No.28/2009,

sebuah perda yang mengatur tentang pungutan, harus memuat objek dan subjek retribusi, tujuan dari adanya retribusi, cara pengukuran dan lainnya. Selain itu juga diatur mengenai tata cara penagihan, pengenaan sanksi sampai pada insentif pemungutan.

Khusus retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi dikenakan pada setiap orang pribadi atau badan yang memakai kekayaan daerah. Kekayaan daerah yang dimaksud dalam perda tersebut adalah penggunaan sarana laboratories yang dimili oleh pemda untuk pengujian mutu komoditi (kakao). Tingkat penggunaan jasa pemakaian kekayaan daerah juga diukur berdasarkan jenis, luas harga satuan dan jangka waktu pemakaian kekayaan daerah. Struktur dan besaran tarif juga diatur di dalam perda ini. Sedangkan besaran retribusi dilandaasi pada tingkat penggunaan jasa berdasarkan jenis, luas, harga satuan dan jangka waktu pemakaian kekayaan daerah.

Dalam perda tersebut telah diatur mengenai formulasi tariff yang diatur pada Lampiran Perda ini.

Sementara yang dikecualikan dari retribusi adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut. Perda ini juga mengatur mengenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua perseratus) setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang bayar dan tagih dengan menggunakan STRD.

Analisa isi Perda

Dilihat dari jenis retribusi yang diatur dalam perda ini telah sesuai dengan jenis retribusi yang boleh dipungut oleh Pemerintah Propinsi, yakni sesuai dengan klasifi kasi retribusi jasa usaha. Sehingga dapat dikatakan bahwa perda ini tidak bertentangan dengan peraturan

Sumber: KPPOD

Review Regulasi

(12)

perundang-undangan diatasnya. Akan tetapi, setelah diperhatikan lebih mendalam, terdapat beberapa hal yang berpotensi menimbulkan permasalahan di dalam perda ini, khususnya bagi dunia usaha, yaitu:

1. Keharusan melakukan uji mutu bij i kakao berpotensi menambah mata rantai perdagangan.

Praktek uji mutu kakao sudah menjadi praktek umum yang dilakukan oleh pembeli bij i kakao pada setiap transaksinya. Artinya kebutuhan untuk melakukan pengujian mutu kakao yang diperdagangkan ada pada pihak pembeli (pedagang atau pabrik), dan mereka sudah memiliki kemampuan dan infrastruktur untuk itu. Dalam hal ini keharusan melakukan uji mutu dilaboratorium yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) akan menambah rantai nilai perdagangan bij i kakao, yang tentunya akan membuat perdagangan kakao menjadi tidak efi sien. Dengan tidak efi siennya rantai nilai perdagangan kakao, akan membuat posisi petani kakao menjadi semakin lemah.

Keharusan mengenai uji mutu ini juga berpotensi menghambat perdagangan karena disebutkan bahwa setiap perdagangan bij i kakao baik ekspor atau antar pulau harus melalui uji mutu. Jika tidak melalui uji mutu, maka bij i kakao tidak akan dapat diperjualbelikan keluar Sulawesi Tengah.

2. Ketidakjelasan mekanisme pelayanan pengujian mutu di laboratorium Pemprov. Di dalam Perda ini tidak disebutkan tentang mekanisme pelaksanaan uji mutu tersebut. Bagaimana melakukan uji mutu, institusi apa yang menangani, apa yang harus disiapkan, dan apa hasil dari uji mutu yang dilakukan. Seharusnya, dengan penetapan tariff retribusi, disebutkan juga secara jelas dan nyata apa saja yang di dapat oleh wajib pajak, termasuk hasil uji mutu.

3. Terdapat ketidakjelasan dalam hal klasifi kasi jenis barang yang dikenakan retribusi. Untuk uji laboratorium, biasanya yang diujikan adalah sejumlah sampel dari komoditas. Dalam perda ini tidak disebutkan secara eksplisit mengenai banyaknya barang yang akan diuji, apakah keseluruhan atau hanya sampel saja.

Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan celah penyimpangan dalam pelaksanaannya, karena dapat terjadi seharusnya yang diujikan hanya sampel, tapi ternyata pada prakteknya yang diujikan adalah seluruh volume barang yang akan diperdagangkan.

4. Tidak dij elaskan dasar penentuan tariff retribusi sebesar Rp. 100/kg. Seharusnya tarif retribusi berdasarkan penggunaan alat pengujian dan material apa yang digunakan dalam uji mutu tersebut. Dalam perda ini disebutkan adanya sertifi kasi mutu, namun tidak dij elaskan apakah biaya retribusi mencakup sertifi kasi dari uji mutu atau tidak. Perda juga tidak menyebukan kegunaan dari sertifi kasi dan seperti apa

bentuknya. Meskipun tujuannya adalah untuk menjamin kualitas bij i kakao, namun sertifi kasi tersebut membuka peluang bagi adanya pungutan diluar ketentuan.

5. Penetapan retribusi sebesar Rp. 100/kg untuk bij i kakao berpotensi memberatkan pelaku usaha kakao. Besaran retribusi ini memang terlihat kecil, namun jika dikalikan dengan volume yang besar, tentunya akan berdampak pada nilai keseluruhan. Contoh: Jika pedagang pengepul atau petani ingin melakukan penjualan beberapa ton bij i kakao, dengan adanya pungutan, untuk setiap per ton bij i kakao perlu mengeluarkan biaya sampai Rp. 100.000/ton. Angka ini tentu akan membengkak jika penjualan bij i kakao yang dilakukan volumenya diatas 1 ton. Dengan tambahan biaya ini, ada kemungkinan beban retribusi ini akan dialihkan kepada petani, mengingat posisi tawar petani yang masih lemah pada rantai perdagangan kakao.

6. Tidak ada batasan atau jangka waktu terhadap uji mutu. Jika uji mutu ini dikenakan setiap kali perdagangan dilakukan, maka beban yang harus ditanggung oleh petani kakao, pedagang pengepul sampai pada industri ketika melakukan perdagangan, tentu akan menjadi sangat besar.

Semakin besar volume perdagangan, tentunya akan semakin memberatkan para pelaku usaha perdagangan kakao.

Analisis Dampak penerapan perda Retribusi Jasa Usaha (Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah)

Dari identifi kasi awal terhadap potensi permasalahan yang mungkin timbul selanjutnya dilakukan suatu analisis untuk melihat dampak yang timbul dari penerapan perda tersebut. Analisis yang digunakan adalah analisis berbasis perbandingan manfaat-biaya.

Sebelum masuk ke dalam analisis manfaat-biaya, terlebih dahulu diidentifi kasi stakeholder yang terkena dampak langsung maupun tak langsung dari perda yang bersangkutan. Stakeholder utama dari yang menerima manfaat atupun yang akan terkena dampak dari perda tersebut, yakni antara lain:

1. Petani bij i kakao, yakni sebagai pelaku utama dari sektor perkebunan kakao di Sulawesi Tengah.

Petani kakao berperan dalam memproduksi dan melakukan penjualan bij i kakao.

2. Pedagang pengepul kakao/industri/pedagang besar/eksportir, yakni sebagai pedagang atau pemasaran hasil bij i kakao.

3. Konsumen/Industri bij i kakao, yakni sebagai pengguna hasil produksi bij i kakao

4. Dinas pendapatan daerah (dispenda), yang berfungsi sebagai tempat untuk penerimaan daerah

(13)

Review Regulasi 5. Dinas perkebunan dan kehutanan, yang berfungsi

melakukan pembinaan dan pemberdayaan terhadap petani kakao.

Ukuran dampak pemberlakuan perda dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni dampak yang terukur dan tidak terukur. Untuk dampak yang terukur dihitung dalam satuan nilai mata uang, atau kerugian waktu dan sebagainya. Karena keterbatasan data pendukung, khusus untuk analisis dampak Perda retribusi ini, tidak dihitung dampak terukur yang timbul dari penerapan perda tersebut. Sedangkan dampak tidak terukur dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu kecil, sedang dan besar. Sedangkan koefi sien untuk menentukan arah dari besaran dampak adalah:

(+) untuk manfaat dan (-) untuk biaya/kerugian. Dalam menentukan dampak juga dirumuskan berdasarkan besaran dampak yang akan diterima oleh para stakeholder dari setiap alternatif.alternatif tindakan yang dikembangkan terhadap keberadaan perda ini ada dua yakni:

1. Tidak melakukan intervensi apapun terhadap perda yang dimplementasikan, atau tetap memberlakukan perda tersebut.

2. Tidak memberlakukan aturan tentang retribusi pemakaian kekayaan daerah khususnya uji laboratorium

Kedua alternatif tersebut disusun dengan asumsi uji mutu ini sudah tersedia oleh pihak swasta.

yang ditunjukan oleh tabel I dibawah ini. Ada atau tidak ada perda, pada transaksi jual beli bij i kakao pihak perusahaan yang membeli akan melakukan uji mutu dari bij i kakao sebagai basis untuk menentukan harga beli.

Pemilihan alternatif kebij akan

Dari dua penilaian dampak berdasarkan manfaat-biaya diperoleh gambaran untuk analisis masing-masing alternatif kebij akan. Untuk alternatif pertama, jika tidak dilakukan intervensi apapun terhadap perda maka

No Pemangku

Kepentingan Manfaat/Kerugian Tetap

memberlakukan Perda

Tidak

memberlakukan perda

1 Petani kakao

Biaya uji mutu kakao (-) Besar (+) Besar

Harga biji kakao (-) Besar (+) Besar

Kepastian tarif retribusi yang dikenakan

untuk uji mutu (+) Besar (+) Besar

Standar mutu biji kakao (+) Besar (+) Besar

Kemudahan akses laboratorium (+) Besar (+) Besar

Dampak tak terukur bagi Petani Kakao (+) Besar 5 (+) Besar

2 Dinas Pendapatan Daerah

Biaya perawatan laboratorium uji mutu (-) Kecil (-) Kecil

Ketertiban administratif (+) Besar (+) Besar

Ketersediaan data penerimaan daerah

dari sektor perkebunan kakao (+) Besar (+) Besar

Biaya Pungut (-) Sedang (.) Netral

Laporan Penerimaan Retribusi (-) Besar (.) Netral

Dampak tak terukur bagi Dinas (+) Kecil (+) Besar, (+) Sedang, (+) Kecil

3 Dinas Pertanian dan Kehutanan

Tersedianya data mutu kakao (+) Besar (+) Besar Terjaminnya mutu produksi kakao (+) Besar (+) Besar

Ketertiban administratif (+) Besar (+) Besar

Dampak tak terukur bagi Dinas Pertanian dan Kehutanan 3 (+) Besar 3 (+) Besar

4 Pedagang Pengepul Harga Kakao (-) Besar (+) Besar

Terjaminnya mutu biji kakao (+) Besar (+) Besar Dampak tak terukur bagi Pedagang Pengepul (.) Netral 2 (+) Besar 5 Industri makanan/

olahan coklat

Harga Kakao (-) Besar (+) Besar

Terjaminnya mutu biji kakao (+) Besar (+) Besar Dampak tak terukur bagi Industri makanan/olahan coklat (.) Netral 2 (+) Besar

Total Dampak (Tidak terukur) 4 (+) Besar, (+) Kecil 13 (+) Besar, (+) Sedang, (+) Kecil

Tabel 1. Analisis Biaya dan Manfaat Perda Retribusi Jasa Usaha (Perda Provinsi Sulawesi Tengah No.3 tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah)

(14)

total dampak manfaat yang diterima oleh keseluruhan stakeholder cukup besar, meskipun masih ada biaya- biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing stakeholder.

Petani kakao menerima manfaat dari penerapan perda tersebut berupa kemudahan akses terhadap uji laboratorium, kepastian besaran retribusi dan dapat menjaga mutu dari bij i kakao. Sedangkan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani kakao adalah besaran retribusi dan dampaknya terhadap harga bij i kakao.

Bagi Pemerintah Propinsi (Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Pertanian dan Kehutanan), dengan adanya penerapan Perda ini akan mendapatkan tambahan pendapatan daerah, menjamin ketertiban administrasi dan ketersediaan data mutu kakao yang dihasilkan di Sulawesi Tengah. Dengan begitu, Pemerintah Propinsi dapat juga melakukan pemetaan masalah dan perencanaan bagi perkebunan kakao. Namun bagi industri kakao, terdapat penambahan biaya dari harga kakao, karena bisa saja pedagang pengepul akan membebankan retribusi tersebut ke dalam komponen harga kakao tersebut.

Untuk alternatif ke dua, yaitu tidak menerapkan retribusi untuk pemakaian kekayaan daerah, khususnya uji laboratorium, petani kakao tidak lagi mengeluarkan biaya untuk melakukan uji mutu bij i kakao. Selain itu, dengan tidak diterapkannya perda ini, maka manfaat lainnya adalah petani kakao dapat dengan mudah mengakses laboratorium uji mutu tersebut, apalagi dalam praktinya uji mutu kakao biasanya dilakukan oleh para pedagang/industry sendiri Dengan demikian kehadiran pemerintah dalam “bisnis” ini tidak terlalu diperlukan. Bagi Dispenda, memang tidak ada tambahan penerimaan, namun dengan tidak diberlakukannya retribusi, Dispenda tidak perlu mengeluarkan biaya pungut yang menjadi konsekuensi dari diberlakukannya

retribusi. Bagi pedagang pengepul dan Industri kakao, dengan tidak diberlakukannya retribusi ini, maupun uji mutu, maka rantai perdagangan tidak akan bertambah.

Selain itu, tidak diperlukan lagi biaya-biaya untuk melakukan uji mutu tersebut, karena pada hakikatnya, uji mutu merupakan satu proses dalam transaksi jual beli kakao.

Dengan memperhatikan keseluruhan total dampak terhadap masing-masing opsi, maka opsi ke tiga yaitu Tidak memberlakukan aturan tentang retribusi pemakaian kekayaan daerah khususnya uji laboratorium. Alternatif ke dua jelas memberikan manfaat yang lebih besar bagi para stakeholder kakao terutama petani kakao. Manfaat tersebut berupa tidak adanya lagi biaya untuk uji mutu yang berpotensi membebani petani kakao. Selain itu, dengan melakukan pembebasan retribusi ini, petani ataupun pedagang kakao dapat tertarik melakukan uji kakao. Dengan tidak diberlakukannya aturan ini, maka rantai perdagangan tidak perlu menjadi lebih panjang.

Penutup

Perda ini masih belum dapat memberikan aturan yang jelas dalam beberapa hal, seperti dasar penetapan tarif, batasan klasifi kasi jenis barang yang diujikan, potensi hambatan perdagangan dan menambah rantai nilai perdagangan. Sudah selayaknya perda ini di revisi untuk beberapa hal diatas atau bahkan dibatalkan karena berpotensi menghambat perdagangan. Dengan memperhatikan kondisi para stakeholder, retribusi tidak semata-mata hanya untuk meningkatkan penerimaan, namun juga perlu diingat ada kontraprestasi atau jasa yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah kepada wajib retribusi.

--oo0oo--

No. KETERANGAN

1 Pemesan memilih Perda yang dibutuhkan dengan terlebih dulu melihat koleksi Daftar Perda KPPOD pada menu regulasi É peraturan daerah;

2 Permintaan jenis dan jumlah Perda dapat dikirim via email kppod@kppod.org;

3 Setelah menerima email pemesan Perda, KPPOD akan mengirimkan konfirmasi terkait tindak lanjutnya, terutama menyangkut besaran biaya pemesanan dan teknis pengiriman;

A. Klasifikasi biaya berdasarkan jumlah pesanan;

l Jumlah perda 1 - 50 file, @ Rp. 30.000,-;

l Jumlah perda 51 - 100 file, @ Rp. 25.000,-;

l Jumlah perda diatas 100 file, @ Rp. 20.000,-;

Catatan: Pembayaran melalui transfer bank yang akan ditunjuk pihak KPPOD B. Teknis pengiriman perda;

l Dikirim via email bila memungkinkan dari sisi ukuran file dan/atau jumlah perda.

l Dikirim dalam bentuk CD/DVD (bila ukuran file dan/atau jumlah perda besar) yang akan dikenakan ongkos kirim..

PROSES PEMESANAN PERDA DI KPPOD

(15)

P asar Lelang Forward Sebagai Instrumen Penggerak Kerjasama antar Daerah di Bidang Perdagangan

Oleh: Illinia Ayudhia Riyadi Peneliti KPPOD

Opini

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) memiliki sebuah program pengembangan institusi pasar yang bertujuan untuk meningkatkan pemasaran, daya siang, pendapatan petani dan ketahanan pangan. Adapun salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan pasar lelang komoditi agro.

Pasar lelang penting untuk dikembangkan secara berkesinambungan karena memiliki peran yang besar dalam proses pemasaran komoditi pertanian. Adapun peranan pasar lelang tersebut antara lain memberikan kepastian pasokan komoditi, meningkatkan transparansi pembentukan harga, menyediakan sumber informasi harga yang akurat, memperluas akses pangan, meningkatkan mutu dan nilai tukar produk, memperkuat posisi tawar petani, dan menciptakan harga pasar yang wajar dan efi sien.

Pasar lelang sebagai salah satu instrumen dalam pemasaran produk pertanian memberikan beberapa peran dari sisi pengembangan ekonomi regional.

Pertama, sebagai sarana untuk meningkatkan aktivitas perdagangan, meningkatkan jasa perdagangan dalam penciptaan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Kedua, keberadaan pasar lelang dapat memacu kerjasama antar

daerah di bidang perdagangan. Hal ini disebabkan perkembangan ekonomi suatu daerah membutuhkan dukungan dari daerah lain sebagai dampak terbatasnya sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh daerah tersebut.

Keberadaan pasar lelang menjadi media penghubung dalam alokasi dan distribusi sumber daya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Ketiga, integrasi pasar lelang dapat memberikan keuntungan ekonomis sebagai dampak dari timbulnya economic of scope

Pasar Lelang Forwad vs Pasar Lelang Spot

Terdapat dua jenis pasar lelang komoditi agro yang secara intensif tengah digalakkan oleh Kemendag, yakni pasar lelang spot dan pasar lelang forward. Pada pelaksanaan pasar lelang spot, penyerahan komoditi agro dari pihak penjual kepada pembeli dilakukan segera setelah transaksi. Sementara itu, pada pelaksanaan pasar lelang forward, penyerahan komoditi agro dari pihak penjual kepada pembeli dilakukan dalam selang beberapa bulan setelah transaksi dilakukan. Periode waktu penyerahan komoditi tersebut ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli yang tercantum dalam kontrak jual-beli yang ditandatangai bersama.

Pada hakekatnya, pasar lelang komoditi agro dapat dilakukan baik melalui sistem pasar lelang spot maupun

P

e merintah Republik Indonesia melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) memiliki sebuah program pengembangan institusi pasar yang bertujuan untuk meningkatkan pemasaran, daya siang, pendapatan petani dan ketahanan pangan. Adapun salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan pasar lelang komoditi agro.

Sumber: KPPOD

(16)

pasar lelang forward. Namun, pemasaran komoditi agro melalui instrument pasar lelang spot memiliki kelemahan. Pada sistem pasar lelang spot, volume yang diperdagangkan terbatas sebanyak komoditi pertanian yang ditawarkan di pasar tersebut. Volume permintaan terhadap suatu komidiri pertanian tertentu melebihi jumlah penawaran yang ada akan sulit dipenuhi dari pasar lelang spot tersebut. Oleh karena itu, dalam pemasaran komoditi agro, pasar lelang forward dianggap lebih sesuai dengan diterapkan sebagai instrumen untuk mendistribusikan produk pertanian. Hal ini didasarkan pada karakteristik komoditi agro yang memiliki masa panen pada periode-periode tertentu, sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk memenuhi volume permintaan pasar yang cenderung besar.

Pasar lelang forward memungkinkan terpenuhinya volume permintaan dalam jumlah besar atas komoditi pertanian tertentu melalui pemasaran bersama produksi hasil beberapa petani yang berada di suatu kawasan tertentu. Dalam penyelenggaraan pasar lelang forward, para penjual cukup membawa contoh atau sampel yang dilengkapi dengan spesifi kasi dari komoditi yang akan dij ual. Selanjutnya, pertemuan dengan pihak pembeli dilakukan di kemudian hari untuk menyerahkan komoditi tersebut sekaligus melakukan pembayaran berdasarkan harga yang disepakati saat pasar lelang.

Dengan demikian, pasar lelang forward tepat dipilih sebagai suatu instrumen andalan untuk pemasaran bersama dan pemenuhan volume permintaan pasar terhadap suatu komoditi pertanian tertentu.

Pasar Lelang Forward Sebagai Sarana Pemasaran Bersama Komoditi Pertanian

Dalam kerangka kerja sama antar daerah, pasar lelang forward lebih tepat dipilih sebagai instrumen untuk aktivitas pemasaran bersama komoditi agro yang dihasilkan masing-masing daerah. Hal ini disebabkan karena pada pasar lelang forward, penyerahan komoditi agro yang diperdagangkan dilakukan dalam kurun waktu beberapa bulan setelah transaksi dilakukan.

Apabila pada saat ini kapasitas produksi suatu daerah terhadap komoditi agro tertentu terbatas sementara jumlah permintaan pasar begitu besar, maka kelebihan permintaan dapat diupayakan terpenuhi dalam kurun waktu beberapa bulan mendatang melalui pasokan produksi dari daerah-daerah lain. Dengan demikian, mekanisme pasar lelang forward memungkinkan terjadinya akumulasi produksi dan pemasaran bersama komoditi agro yang dihasilkan dari beberapa daerah.

Pemasaran bersama komoditi pertanian dengan menggunakan instrumen pasar lelang forward telah diterapkan dengan baik dalam kerangka kerja sama antar daerah di kawasan Barlingmascakeb. Kerja sama ini merupakan upaya bersama lima kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen, untuk meningkatkan perekonomian daerahnya masing-masing melalui tiga pilar utama, yaitu perdagangan, investasi dan pariwisata.

Begitu banyak kegiatan bersama yang dilakukan

untuk memajukan kerja sama antar daerah di bidang perdagangan, salah satunya melalui penyelenggaraan pasar lelang forward Barlingmascakeb.

Pasar lelang forward bersama merupakan instrumen efektif untuk meningkatkan aktivitas perdagangan. Adapun salah satu contoh baiknya adalah penyelenggaraan pasar lelang forward Barlingmascakeb. Pasar lelang forward tersebut mampu meningkatkan aktivitas perdagangan masing-masing kabupaten anggota. Hal ini direfl eksikan dengan nilai transaksi di tiap periodenya yang mencapai milyaran rupiah. Sebagai ilustrasi, tercatat nilai transaksi pada penyelenggaraan pasar lelang forward Barlingmascakeb pada periode XIII di tahun 2008 mencapai 46,5 milyar rupiah dengan tingkat realisasinya sebesar 60 persen.

Transaksi dengan nilai sebesar itu dapat tercapai sebagai hasil akumulasi dari volume perdagangan lima kabupaten anggota. Dengan demikian, pasar lelang forward berhasil menjadi instrumen yang baik untuk pemasaran bersama komoditi pertanian yang dihasilkan oleh masing-masing kabupaten.

Selain mampu meningkatkan volume komoditi yang diperdagangkan, keberadaan pasar lelang forward juga menjadi instrumen pendorong penciptaan nilai tambah dari komoditi pertanian yang dihasilkan oleh masing- masing kabupaten. Kasus di Barlingmascakeb, sebelum adanya pasar lelang forward ini, Kecamatan Cilongok merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Banyumas yang terkenal sebagai penghasil gula merah dengan kualitas baik. Tak heran, produk ini merupakan primadona dan menjadi incaran pembeli yang datang pada masa- masa awal penyelenggaraan pasar lelang forward Barlingmascakeb. Volume permintaan yang begitu tinggi terhadap produk gula merah ini tidak mampu dipenuhi sendiri oleh kecamatan Cilongok karena adanya keterbatasan sumber daya produksi yang dimiliki. Oleh karena itu, dalam kerangka kerja sama Barlingmascakeb, maka kabupaten-kabupaten lain sesama anggota didorong untuk memproduksi gula merah dengan kualitas sebaik gula merah Cilongok. Selanjutnya, gula merah yang diproduksi oleh kabupaten-kabupaten anggota tersebut dipasarkan bersamaan dengan gula merah Cilongok melalui pasar lelang forward Barlingmascakeb. Dengan demikian, terjadi peningkatan nilai tambah dan aktivitas ekonomi yang ditandai dengan penambahan penyerapan tenaga kerja di masing-masing kabupaten anggota melalui kegiatan produksi gula merah tersebut.

Pasar lelang forward merupakan instrumen tepat sebagai sarana pemasaran bersama komoditi pertanian maupun produk olahannya. Keberadaan pasar lelang ini secara efektif mampu meningkatkan volume perdagangan dan mendorong penciptaan nilai tambah masing-masing kabupaten anggota Barlingmascakeb.

Dengan demikian, integrasi pasar lelang ke dalam sebuah kerangka kerja sama antar daerah menjadi strategi tepat dalam mengembangkan perekonomian daerah masing-masing anggota.

Gambar

Tabel 1 Perbandingan Pasar Lelang Provinsi dengan Pasar Lelang RM
Tabel 1. Analisis Biaya dan Manfaat Perda Retribusi Jasa Usaha (Perda Provinsi Sulawesi Tengah  No.3 tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah)

Referensi

Dokumen terkait

,dalam manual mutu ini berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75 tahun 2014, tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sehingga

1) Game System, yaitu multimedia yang digunakan untuk permainan yang menggunakan grafis komputer. Contohnya yaitu playstation dan computer game. 2) Multimedia

Uji Pengolahan Validitas Item Penguasaan Keterampilan Attending Instrumen yang disusun untuk mengungkap penguasaan mahasiswa terhadap keterampilan attending dibuat tiga

SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA MALANG.. TAHUN

Judul Tesis : Pengembangan Protokol Diskusi Refleksi Kasus (DRK) di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara.. Nama Mahasiswa : Neiliel Fitriana Anies Program Studi

Hal ini juga akan berdampak pada prestasi belajar siswa dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Balim (2009) bahwa siswa yang belajar dengan model pem- belajaran

Penelitian ini dilakukan untuk menentukan akuifer dan lapisan litologi bawah permukaan daerah “x” Kabupaten Gorontalo dengan menggunakan metode Geolistrik

Sumber Elvinaro 2010:115.. Komunitas merupakan istilah yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari pada berbagai kalangan. Dalam memaknakan komunitas pun berbagai