• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kesehatan ISSN (Print) ISSN (Online)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Jurnal Kesehatan ISSN (Print) ISSN (Online)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Available online at : http://ejurnal.stikesprimanusantara.ac.id/

Jurnal Kesehatan

| ISSN (Print) 2085-7098 | ISSN (Online) 2657-1366 |

DOI: http://dx.doi.org/10.35730/jk.v12i1.810 Jurnal Kesehatan is licensed under CC BY-SA 4.0

© Jurnal Kesehatan Artikel Penelitian

DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP PELAKSANAAN PEMBERIAN SUPLEMENTASI KAPSUL VITAMIN A DI KOTA PEKANBARU

Fathia Maulida

1

, Asih Setiarini

2

1,2 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

INFORMASI ARTIKEL A B S T R A K

Received: February 03, 2021 Revised: February 11, 2021 Accpeted: March 01, 2021 Available online: March 05, 2021

Latar Belakang Masalah: Covid-19 merupakan penyakit yang menyerang sistem pernapasan disebabkan oleh virus bernama Coronavirus. Karena penyebarannya yang cepat dan penambahan kasus yang banyak, WHO kemudian mengumumkan penyakit ini sebagai pandemi di seluruh dunia.

Untuk menanggapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia menerapkan berbagai peraturan mengenai kedaruratan dan pembatasan sosial yang salah satunya adalah penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan covid-19.

Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran pelaksanaan suplementasi kapsul vitamin A di pelayanan kesehatan saat sebelum dan sesudah adanya pandemi covid-19 di Kota Pekanbaru.

Metode: Penelitian menggunakan metode kualitatif kemudian disajikan dengan naratif deskriptif.

Wawancara dilakukan dengan 4 orang petugas gizi dari 4 puskesmas yang berbeda di Kota Pekanbaru secara langsung dengan protokol kesehatan ketat. Data yang di hasilkan di buat transkrip kemudian di analisis konten berdasarkan analisis persepsi informan dalam memberikan pendapat dan pengalaman mengenai pelaksanaan suplementasi vitamin A.

Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan suplementasi kapsul vitamin A di puskesmas Kota Pekanbaru sebelum pandemi sudah berjalan dengan baik namun terjadi perubahan drastis dalam pelayanan kesehatan dan pelaksanaan suplementasi vitamin A saat pandemi covid-19 sehingga menyebabkan penurunan cakupan pencapaian keberhasilan yang signifikan jauh dibawah target nasional sebesar 82%. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya kebijakan pembatasan kegiatan (PSBB) sehingga berdampak pada pelaksanaannya dan juga rasa takut dari kader dan masyarakat untuk melaksanakan pelayanan kesehatan saat pandemi covid-19 ini.

Simpulan: Dibutuhkan penguatan kinerja tenaga kesehatan dan dukungan dari tokoh masyarakat dalam optimalisasi pelaksanaan suplementasi vitamin A saat pandemi covid-19 ini.

Background: Covid-19 is a respiratory disease caused by coronavirus. Due to its rapid spread and the addition of many cases, WHO declared as a worldwide pandemic. To response this situation, The Indonesian government has implemented various regulations regarding emergencies and social restrictions, which is the implementation of the Large-Scale Social Restrictions (PSBB) policy to accelerate the handling of Covid-19.

Purpose : This study was conducted to determine the description of the implementation of vitamin A supplementation in health services before and after the Covid-19 pandemic in Pekanbaru.

Methods: This research uses qualitative research approaches and presented with a descriptive narrative. Interviews were conducted with 4 nutrition workers from four different public health centers in Pekanbaru city directly with strict health protocols. The resulting data is transcribed and data were analyzed using content analysis based on the analysis of informant’s perceptions in providing opinions and experiences regarding the implementation of vitamin A supplementation during

Results: The results of this study indicate that the implementation of vitamin A supplementation in Pekanbaru City before pandemic has been going well, but there were drastic changes in health services and implementation of vitamin A supplementation during pandemic covid-19 and cause a significant reduction in the achievement of success below the national target of 82%. It is caused by the existence a policy of limiting activities (PSBB) and has an impact on its implementation and also the fear of health worker and community to get health services during the covid-19 pandemic Conclusion: It is necessary to strengthen the performance of health workers and support from community leaders in optimizing the implementation of vitamin A supplementation during the pandemic covid-19.

KATA KUNCI

Pandemi; Covid-19; Kebijakan; PSBB;

Vitamin A

KORESPONDENSI Fathia Maulida

E-mail: fathiamaulida01@gmail.com

PENDAHULUAN

Covid-19 merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus bernama Coronavirus. Penyakit ini pertama kali di laporkan muncul di Wuhan, China pada Bulan Desember 2019 yang kemudian dinyatakan sebagai pandemi dunia oleh World Health Organization (WHO) [1]. Kasus pertama dilaporkan di

Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020 dan kemudian karena penyebaran virus yang begitu cepat menyebabkan penambahan korban yang pesat sehingga menjadi fokus semua masyarakat dan pemerintah Indonesia. Data 18 Januari 2021 menunjukkan kasus terkonfirmasi di Indonesia berjumlah 917.015 kasus positif dengan kasus kematian sebesar 26,282 kasus [2]. Tingkat Positive Rate

(2)

Covid-19 Indonesia sebesar 33,2% per 24 Januari 2021, angka ini merupakan angka yang tertinggi di Asia Tenggara.

Menanggapi hal tersebut, pemerintah Indonesia menyatakan berbagai peraturan mengenai kedaruratan dan pembatasan sosial dalam rangka percepatan penanganan covid-19.

Adanya pembatasan sosial atau Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini berdampak pada terbatasnya mobilitas penduduk dan dikhawatirkan akan sangat berpengaruh terhadap penurunan akses pemenuhan pangan bergizi dan juga penurunan aksesibiltas pelayanan kesehatan [3]. Penelitian Rindam menyatakan bahwa pemerintah Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna memutus mata rantai penyebaran virus corona [4]. Pelayanan kesehatan merupakan hal yang terpenting pada masa pandemi ini, termasuk kebutuhan pelayanan upaya kesehatan masyarakat yang dilaksanakan di tingkat puskesmas. Kegiatan pelayanan kesehatan di puskesmas termasuk pelayanan gizi. Kegiatan yang termasuk dalam pelayanan gizi salah satunya adalah pelaksanaan suplementasi Vitamin A.

Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia cakupan pemberian vitamin A menurun dari tahun 2018 sebesar 86,18%

menjadi 76,68% di tahun 2019 dan hanya sebesar 53,5% cakupan yang sesuai standar [5]. Hasil penelitian Nora Maulina menyatakan data cakupan vitamin A di Indonesia tahun 2009 hingga 2013 mengalami penurunan dan masih dibawah target nasional. Untuk Provinsi Riau, cakupan pemberian vitamin A mengalami penurunan 4,39% dari 82,24% di tahun 2019 menjadi 77,85% di tahun 2020 [6]. Provinsi Riau merupakan provinsi dengan 12 kabupaten/kota dengan Kota Pekanbaru sebagai Ibukota. Data untuk Kota Pekanbaru juga terjadi penurunan sebesar 3,52% pada cakupan pemberian vitamin A dari 86,1% di tahun 2019 menjadi 82,58% di tahun 2020 [6]. Hasil penelitian Silvia Nora menyatakan tahun 2016 cakupan vitamin A di Kota Pekanbaru belum mencapai target standar nasional [7].

Sebelum pandemi Covid-19, kapsul vitamin A diberikan secara langsung melalui kegiatan posyandu kepada kelompok sasaran yaitu pada anak usia 6-59 bulan. Hasil penelitian Archa menyatakan bahwa kapsul vitamin A di distribusikan pada bulan Februari dan Agustus di posyandu sesuai dengan jadwal masing- masing dari posyandu [8]. Hasil penelitian Ridwan menyatakan posyandu masih menjadi tempat utama dalam pendistribusian kapsul vitamin A bersamaan dengan pemantauan pertumbuhan dengan penimbangan bulanan balita [9]. Berdasarkan studi awal penelitian, setelah pandemi Covid-19 terjadi, maka diterapkanlah pembatasan yang berdampak pada berbagai kegiatan bermasyarakat termasuk pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Rindam dan Islamul menyatakan setelah diterapkannya kebijakan pembatasan PSBB, hampir seluruh kegiatan dirumahkan dan

diharapkan dapat membantu mencegah virus corona menyebar ke suatu tempat wilayah, sehingga masyarakatnya terhindar dari virus [4]. Hal ini menyebabkan pelayanan kesehatan terkhusus pendistribusian kapsul vitamin A tidak dapat diberikan secara langsung melalui posyandu. Oleh sebab itu, pendistribusian kapsul vitamin A diberikan secara door to door oleh kader posyandu dan juga melalui penitipan dengan tokoh masyarakat seperti RT/RW untuk diberikan kepada kelompok sasaran. Belum ada peninjauan ulang terhadap pemberian kapsul vitamin A saat pandemi ini apakah benar sampai dan dikonsumsi oleh kelompok sasaran.

Pemaparan tersebut merupakan salah satu faktor penyebab terhambatnya aksesibiltasi pelayanan kesehatan terkhusus pada distribusi kapsul vitamin A yang kemudian menyebabkan penurunan yang signifikan pada cakupan indikator keberhasilan untuk vitamin A.

Kementerian Kesehatan memiliki target nasional untuk cakupan vitamin A sebesar 82%. Dilihat dari kondisi pandemi Covid-19 saat ini, cakupan vitamin A dikhawatirkan tidak mencapai angka target nasional. Belum adanya penelitian yang membahas mengenai dampak pandemi covid-19 terhadap pelaksanaan program kapsul vitamin A menarik peneliti untuk melakukan penelitian dengan membahas mengenai pelaksanaan suplementasi kapsul vitamin A sebelum adanya pandemi covid-19 dan bagaimana pelaksanaannya setelah adanya pandemi covid-19 serta penerapan kebijakan pembatasan yang berdampak terhadap pelaksanaan program suplementasi kapsul vitamin A di Puskesmas terkhusus di Kota Pekanbaru. Tujuan utama adalah untuk mendapatkan gambaran dari pemaparan dan pengalaman informan mengenai pelaksanaan program suplementasi kapsul vitamin A baik sebelum adanya pandemi covid-19 maupun sesudah adanya pandemi covid-19.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode studi kualitatif.

Penelitian dilakukan di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Penelitian dilakukan di wilayah kerja 4 puskesmas berbeda di Kota Pekanbaru dan dilakukan pada bulan Desember 2020 - Februari 2021.

Dilakukan wawancara mendalam dengan informan dimana masa pandemi covid-19 masih sedang terjadi dan menggunakan protokol kesehatan ketat. Informan pada penelitian ini adalah 4 orang petugas gizi yang bekerja di puskesmas yang dipilih dengan teknik pengambilan purposive sampling dengan menentukan kriteria informan sesuai dengan tujuan penelitian. Kriteria informan yang dipilih yaitu didasarkan pertimbangan pengetahuan, pemahaman pada pelaksanaan program pemberian kapsul vitamin A di Kota Pekanbaru, Riau. Identitas informan ditampilkan dengan diberikan

(3)

coding huruf P dan angka sesuai dengan urutan wawancara yaitu P1, P2, P3 dan P4.

Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara dengan informan dan disajikan secara deskriptif. Data sekunder diperoleh dengan cara observasi lapangan dan telaah dokumen, kebijakan, panduan dan peraturan terkait dengan penelitian. Kedua data diperlukan untuk tujuan triangulasi sumber untuk memperkuat hasil data yang diperoleh.

Data yang terkumpul kemudian ditranskrip kata demi kata dan pendekatan analisis isi digunakan untuk reduksi dan memperoleh data analitik. Kemudian hasil dari wawancara tersebut di kategorikan sesuai dengan pembahasan tema yang sudah disepakati [10]. Variabel yang akan di bahas pada penelitian ini adalah pemahaman informan mengenai vitamin A dan program suplementasi vitamin A, perencanaan hingga pelaporan program vitamin A, bagaimana pencapaian indikator keberhasilan, pemahaman informan mengenai covid-19, persepsi informan mengenai kebijakan PSBB, persepsi infoman mengenai pelaksanaan suplementasi vitamin A saat pandemi covid-19 dan persepsi informan mengenai peran tenaga kesehatan serta masyarakat dalam membantu mengoptimalkan suplementasi vitamin A saat pandemi covid-19.

Dilakukan pengolahan data menggunakan Prosedur Penilaian Cepat terhadap persepsi informan mengenai bagaimana pandemi covid-19 dan adanya kebijakan pembatasan kegiatan mempengaruhi pelaksanaan suplementasi kapsul vitamin A. Data yang terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data dan dianalisis isi (content analysis) terhadap data primer dan data sekunder.

Diharapkan dengan data ini didapatkan hasil yang objektif dan saling mendukung [10].

HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMAHAMAN MENGENAI VITAMIN A DAN PROGRAM SUPLEMENTASI KAPSUL VITAMIN A

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan panduan untuk pelaksanaan program suplementasi kapsul vitamin A pada tahun 2009. Mengingat program vitamin A sudah menjadi kegiatan rutin yang dilakukan di puskesmas setiap 2 kali dalam 1 tahun.

Menurut informan P1 Vitamin A merupakan masalah gizi yang masih menjadi masalah di Indonesia, sehingga program suplementasi vitamin A ini masih dilakukan di Indonesia.

Sedangkan menurut informan P2 dan P4, menyatakan bahwa fungsi dari vitamin A itu sendiri yang paling utama adalah untuk penglihatan, kemudian untuk ibu nifas untuk mencegah dan

mempercepat pendarahan selesai melahirkan. Untuk anak usia 0-6 bulan menjadi cadangan di dalam tubuh.

Informan P3 menyatakan hal yang sama : “ Vitamin A ada pemberian khusus contoh pada anak yang terkena penyakit campak ya sama juga untuk ibu nifas sebanyak 2 kapsul segera setelah melahirkan dan setelah 24 jam setelah pemberian pertama” (P3, Petugas gizi puskesmas)

Mengenai program suplementasi vitamin A, seluruh informan memahami maksud dan tujuan dari dilaksanakannya program suplementasi vitamin A selama dan bagaimana teknis pelaksanannya di puskesmas tempat informan bertugas sudah sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengenai suplementasi vitamin A.

Hasil penelitian Apriliana menyatakan bahwa responden tenaga kesehatan memiliki pemahaman yang baik mengenai pedoman pemberian kapsul vitamin A. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan hasil capaian angka pemberian kapsul vitamin A.

Pemahaman yang baik ini merupakan hal penting sebagai pelaksana program yang sudah ada [11].

“ Suplementasi vitamin A berdasarkan yang saya ketahui ya merupakan program pemberian kapsul vitamin A kepada balita usia 6 bulan sampai 59 bulan yang dilaksanakan 6 bulan sekali, jadi dilaksanakan 2 kali dalam setahun biasanya di bulan Februari dan bulan Agustus. Dan pelaksanaannya sudah sesuai dengan panduan dari Kemenkes. ” (P1, Petugas gizi puskesmas)

“ Nah vitamin A ini dia ada dua ya, ada kapsul yang biru dan yang merah, nah yang biru itu untuk balita usia 6-11 bulan dan yang merah itu untuk 12-59 bulan dan untuk ibu nifas dia juga menggunakan vitamin A yang tablet berwarna merah. Untuk balita dilakukan pada bulan Februari dan Agustus. “ (P2, Petugas gizi puskesmas).

Hasil penelitian Azrimaidaliza menyatakan bahwa vitamin A berfungsi dalam penglihatan [12]. Dalam fungsinya untuk penglihatan, diperlukan mata untuk mampu menyesuaikan terhadap perubahan dalam cahaya dan melindungi penglihatan warna di retina. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang [13].

Hasil penelitian Zhang menyatakan selain bermanfaat untuk penglihatan, vitamin A juga berperan dalam menjaga dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh untuk mencegah penyakit infeksi seperti penyakit campak, diare dan pneumonia pada anak.

Vitamin A merupakan immunodulator, dimana pada kejadian kekurangan vitamin A dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara pro-inflamasi dan anti-inflamasi yang kemudian dapat menyebabkan gangguan fungsi kekebalan [14]. Disamping itu, kekurangan vitamin A menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel-T (limfosit yang berperan pada kekebalan

(4)

selular). Bila vitamin A kurang, maka fungsi kekebalan tubuh menjadi menurun, sehingga mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru juga akan mengalami keratinisasi, berkurangnya sel goblet, sel silia dan produksi mukus sehingga mudah dimasuki mikroorganisme penyebab infeksi saluran pernapasan. Bila terjadi pada permukaan usus halus dapat terjadi diare [15].

PERENCANAAN, PELAKSANAAN DAN PELAPORAN PROGRAM SUPLEMENTASI VITAMIN A

Cara penentuan sasaran untuk vitamin A di puskesmas yaitu dengan pendataan sasaran riil balita, bayi dan anak balita yang ada di wilayah kerja puskesmas, kemudian pihak puskesmas mendapatkan data angka proyeksi dari dinas kesehatan. Angka data riil dan proyeksi di sesuaikan dan kemudian di rumuskan jumlah sasaran untuk mendapatkan kapsul vitamin A. Hasil penelitian Archa menyatakan pendataan sasaran riil balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Andalas, kemudian pihak puskesmas melaporkan ke dinas kesehatan dan data sasaran dicocokkan dengan data proyeksi dan di dapatkan jumlah sasaran [8].

Pada tahap proses program suplementasi vitamin A dimulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pencatatan dan pelaporan program pada umumnya dilakukan sendiri oleh petugas gizi di puskesmas. Hasil penelitian Archa menyatakan pada perencanaan program di puskesmas yang bertanggungjawab yaitu kordinator gizi mulai dari penentuan sasaran, ketersediaan vitamin A, distribusi vitamin A ke tempat-tempat pelayanan, distribusi sweeping hingga pencatatan dan pelaporan hasil capaian ke dinas kesehatan kota [8]. Perencanaan, pelaksanaan hingga pelaporan dilakukan oleh petugas gizi puskesmas sesuai dengan panduan mengenai suplementasi vitamin A yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan mengikuti kondisi wilayah kerja puskesmas masing-masing. Seperti yang disampaikan oleh informan P3 :

“ Semua gizi yang mengerjakan, mulai dari perhitungan kebutuhan, mulai dari buat surat permintaan ke dinkes gitu kita laporkan ke dinkes, terus abis itu sampai vitamin A itu kan datangnya ke logistik apotik nih, orang apotik kasih ke kita lalu mulailah kita distribusi, kita buka lalu dimasukan ke dalam plastik masing-masing, kita bikin per posyandunya, namanya posyandu sekian, kapsul vitamin A merahnya berapa kapsul vitamin A birunya berapa. “ (P3, Petugas gizi puskesmas).

Begitu pula dengan informan P1, P2 dan P4 yang menyatakan bahwa dimulai dari perencanaan hingga sampai ke tahap pelaporan semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program suplementasi vitamin A dilakukan oleh petugas gizi dan dibantu oleh bidan dan juga kader. Setelah mendapatkan data

jumlah sasaran, petugas gizi melaporkan kebutuhan kapsul vitamin A kepada atau petugas farmasi di puskesmas untuk pengadaan kapsul. Lalu petugas farmasi yang akan mengambil kebutuhan kapsul vitamin A ke gudang obat yang ada di Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru setelah diinfokan terlebih dahulu oleh petugas gudang obat. Setelah dropping di apotik puskesmas masing-masing, maka akan di infokan kembali ke petugas gizi untuk mengambil kebutuhan kapsul vitamin A untuk didistribusikan.

“ Kalau untuk permintaannya kan kita dari gizi, ini untuk yang balita ya. Yang kita minta dari gizi ke apotik, yang di apotik kita disini sesuai dengan jumlah balita kita, nah itu nanti apotik yang memintakan berapa kebutuhannya ke gudang obat. Nanti setelah dropping ke apotik, apotik info lagi ke kita. Penyimpanan tetap di gudang apotik.” (P2, Petugas gizi puskesmas).

Dari semua informan, tidak ada petugas gizi yang turut serta dalam pengambilan kapsul vitamin A ke gudang obat bersama dengan petugas farmasi. Untuk proses pengadaan kapsul diserahkan semua kepada petugas farmasi, sedangkan petugas gizi hanya memberikan data kebutuhan kapsul vitamin A dan menunggu informasi dari petugas farmasi. Berbeda dengan hasil penelitian Archa yang menyatakan bahwa petugas gizi yang langsung turun untuk mengambil persediaan kapsul vitamin A ke dinas kesehatan kota bersamaan dengan pengambilan obat Gudang farmasi [8].

Pada tahap pelaksanaan dan pendistribusian kapsul vitamin A, di dapatkan bahwa pelaksanaan program suplementasi vitamin A ini dilakukan setiap bulan Februari dan Agustus di setiap tempat pelayanan. Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa program suplementasi ini diperlukan sebagai bentuk untuk fungsi kesehatan mata dan untuk kesehatan tubuh seperti meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit campak atau infeksi lainnya.

Program suplementasi vitamin A dilakukan 2 kali dalam satu tahun yaitu pada bulan Februari dan bulan Agustus pada anak usia 6-11 bulan dengan pemberian dosis 100.000 IU (kapsul biru) dan anak usia 1-5 tahun dengan dosis 200.000 IU (kapsul merah).

Mekanisme pendistribusian vitamin A di distribusikan di posyandu sesuai dengan jadwalnya masing-masing. Lalu melalui PAUD, TK, klinik yang ada di wilayah kerja puskesmas dan klinik bersalin untuk ibu nifas. Kemudian apabila ada kelompok sasaran yang belum mendapatkan kapsul vitamin A pada bulan vitamin A, maka dilakukan sweeping pada bulan Maret dan September kerumah- rumah oleh kader atau ibu balita datang langsung ke puskesmas untuk menerima kapsul vitamin A. sebelum pendistribusian, petugas gizi melakukan sosialisasi kepada ibu-ibu kader dan pesan ini kemudian akan diteruskan kepada masyarakat. Hasil penelitian Archa menyatakan jika kader akan melakukan sweeping kerumah kelompok sasaran atau ibu balita yang datang ke puskesmas

(5)

langsung untuk menerima kapsul vitamin A jika tidak mendapatkannya dari posyandu [8].

“ Jadi kita kerja sama dengan kader posyandu dalam pendistribusian vitamin A. sebelum pendistribusian teknisnya kita mengadakan pertemuan dengan kader, ada juga pernah teknisnya sekalian dengan pembagian biskuit PMT dan pernah juga kita paketkan dengan Tablet Tambah Darah (TTD), itu kita minta tolong kader untuk langsung di bagikan pada saat posyandu. Kalau untuk di TPA, PAUD dan TK biasanya kita Kerjasama dengan program DDTK atau deteksi dini tumbuh kembang anak dan juga bekerja sama dengan guru-guru di PAUD atau TK nya untuk pendistribusian Ketika sweeping. “ (P1, Petugas gizi puskesmas)

“ distribusi untuk bayi dan balita kita lakukan di posyandu atau ibu balita bisa datang langsung ke puskesmas Ketika tidak sempat menghadiri posyandu. Di posyandu, kita minta tolong dengan kader, begitu pula Ketika sweeping kita minta tolong ke kader untuk distribusi ke rumah-rumah. Untuk ibu nifas, kita bukan ke kader tapi ke klinik bersalin atau rumah sakit bersalin yang ada di wilayah kerja puskesmas kita.” (P3, Petugas gzi puskesmas).

Hal ini sejalan dengan penelitian Silvia Nora yang menyatakan bahwa sikap ibu tentang vitamin A mempengaruhi pemberian vitamin A pada anak [7]. Berdasarkan pernyataan informan, bahwa masyarakat sangat antusias terhadap pemberian vitamin A ini melalui posyandu. Ketika bulan vitamin A, angka kunjungan masyarakat ke posyandu menjadi meningkat dibandingkan bulan lainnya. Hal ini juga di dukung dengan sikap dan dukungan dari kader yang selalu mengingatkan ibu balita dan bersosialisasi mengenai vitamin A agar tetap dikonsumsi [16].

Pada tahap pencatatan dan pelaporan program vitamin A, petugas gizi juga bertanggung jawab atas pengumpulan dan pembuatan laporan setelah distribusi program suplementasi vitamin A dilaksanakan.

“ Kalau pencatatan pelaporan ini memang gizi sendiri. Nanti untuk pencatatan di lapangan siapa siapa aja balita yang dapat vitamin A itu kita lebih ke kader. Jadi diminta kerjasama nya sama kader, beliau-beliau lah nanti yang mencatat misalnya si A dapat vitamin A beratnya sekian, nanti kan data itu dikumpulkan, nah untuk pencatatan perekapan berapanya itu di gizi. Nanti untuk pencatatan ndan pelaporan sisa stok vitamin A itu kita kerjasama dengan apotik. Yaa dari data-data apa namanya berapa jumlah yang terdistribusi di gizi itu sama nanti dengan jumlah pemakaian di apotik.” (P2, Petugas gizi puskesmas).

Hal ini sejalan dengan penelitian Archa Dwi Baka yang menyatakan bahwa perencanaan program gizi di puskesmas yang bertanggung jawab yaitu koordinator gizi dimulai dari penentuan sasaran, ketersediaan vitamin A, distribusi vitamin A ke tempat

pelayanan, distribusi sweeping hingga pencatatan dan pelaporan hasil capaian [8].

Pendistribusian vitamin A tidak bisa di berikan di luar vitamin A, kecuali dalam keadaan tertentu seperti terdapat pasien campak atau anak sakit seperti gizi buruk.

“ Itu kalau ada pasien campak. Kalau ada pasien campak itu paling dari apotik kasihnya.. Nanti saya tinggal minta pelaporannya saja.

“ (P4, Petugas gizi puskesmas)

“ … vitamin A juga diberikan untuk pengobatan pengobatan seperti penyakit campak, jadi penyakit campak biasanya nanti dari dokter juga meresepkan vitamin A ataupun diare itu juga dokter meresepkan vitamin A. “ (P1, Petugas gizi puskesmas).

Dalam pelaksanaan pendistribusian vitamin A, terdapat bebeapa faktor yang menjadi kendala atau menghambat. Kendala yang dihadapi bervariasi tergantung dari masing-masing puskesmas. Berdasarkan wawancara dengan informan, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendistribusian kapsul vitamin A seperti luasnya wilayah kerja puskesmas dan juga akses yang sulit untuk dijangkau. Hal tersebut di dukung dengan kurangnya petugas atau tenaga kesehatan untuk mejalankan program sehingga petugas gizi di puskesmas bekerja sama dengan kader untuk pendistribusian vitamin A agar tetap optimal. Hasil penelitian Vonhy Kreshna menyatakan rendahnya cakupan vitamin A dikarenakan tidak selalu petugas gizi memiliki akses yang baik untuk pendistribusian, sehingga membutuhkan kerjasama dengan kader [17]. Kendala lainnya yang dihadapi adalah semakin menurunnya tingkat kesadaran masyarakat untuk menghadiri kegiatan posyandu.

Menurut informan P1, wilayah kerja puskesmas yang berada di perkotaan dengan banyaknya fasilitas kesehatan selain puskesmas dan posyandu sehingga tingkat kehadiran di posyandu semakin menurun. Lalu kendala lain yang dirasakan adalah tingkat kesadaran dan kemauan kader dalam menjalankan program suplementasi vitamin A semakin berkurang. Kader yang memiliki jiwa sosial tinggi cenderung sudah berumur pra lansia sehingga kemauan nya untuk turun lapangan sudah mulai berkurang dan menyebabkan cakupan menjadi rendah. Hasil penelitian M.Zulfikar menyatakan bahwa peran petugas kesehatan merupakan hal terpenting dalam melindungi, meingkatkan dan mendukung usaha tatacara pemberian vitamin A pada balita [18]. Kendala lainnya adalah karena di wilayah kerja puskesmas memiliki beragam tingkat ekonomi sehingga kendala yang dirasakan adalah beberapa kalangan yang menolak untuk diberikan pelayanan kesehatan oleh puskesmas.

“ …Karena dengan wilayah sebesar ini kan, kalau kita tidak minta tolong kader itu tidak akan terjangkau Aksesnya sulit, beberapa akses, beberapa tempat aksesnya sulit. Tapi yang lebih ini sih kayaknya wilayahnya yang luas. Jadi tidak terjangkau sama kita

(6)

gak dan jumlah tenaga disini kan jumlah tenaga pegawainya kan Cuma 42...” (P2, Petugas gizi puskesmas)

“ hm kendalanya itu semakin kesini itu semakin tingkat kehadiran masyarakat berkurang ke posyandu, ini mungkin karena kami di perkotaan. Diperkotaan dengan fasilitas kesehatan yang lain banyak. Lalu, kemauan kader untuk melakukan sweeping itu juga sudah mulai menurun, banyak yang menjadi kader lansia juga jadi kemauan untuk turun untuk sweeping itu sudah mulai berkurang jadi terkadang cakupan kita juga jadi rendah. “ (P1, Petugas gizi puskesmas)

PENCAPAIAN INDIKATOR KEBERHASILAN CAKUPAN PROGRAM SUPLEMENTASI VITAMIN A

Dari tahapan pelaksanaan pendistribusian kapsul vitamin A, maka akan didapatkan capaian indikator keberhasilan apakah tercapai dari yang telah di tentukan ataupun tidak tercapai. Sebelum pandemi Covid-19, semua informan mengatakan bahwa puskesmas di wilayah kerjanya sudah tercapai dari indikator keberhasilan nasional yaitu 82%. Hasil capaian indikator didapatkan dari hasil wawancara informan dan juga telaah dokumen dari data puskesmas.

Informan P4 menyatakan bahwa pada bulan Februari 2020 indikator pencapaian kapsul vitamin A sudah tercapai dari yang ditentukan,namun setelah pandemi covid-19 muncul dan kegiatan dibatasi, maka pencapaian indikatornya tidak tercapai. Terdapat perbedaan yang signifikan pada cakupan keberhasilan program vitamin A dari bulan Februari 2020 dan bulan Agustus 2020. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

Table 1. Perbandingan Presentase Cakupan Kapsul Vitamin A Bulan Februari dan Agustus Tahun 2020

Kelompok Sasaran Februari Agustus Informan P1 :

Bayi (6-11 bulan) Balita (1-5 tahun) Informan P2 : Bayi (6-11 bulan) Balita (1-5 tahun) Informan P3 : Bayi (6-11 bulan) Balita (1-5 tahun) Informan P4 : Bayi (6-11 bulan) Balita (1-5 tahun)

98,1%

86,6%

87,96%

85,9%

86%

85%

90%

90%

64,2%

60,9%

25,07%

29,24%

66,3%

60,69%

62%

82%

Sumber : Informan Penelitian

Dilihat dari angka target nasional untuk vitamin A yaitu sebesar 82%, sebelum adanya pandemi, puskesmas mencapai target yang ditentukan namun setelah adanya pandemi angka capaian indikator keberhasilan puskesmas mengalami penurunan drastis

pada kegiatan vitamin A. Menurut informan, hal ini dikarenakan adanya pandemi Covid-19 dan juga pembatasan kegiatan serta pelayanan kesehatan masyarakat. Posyandu yang tidak diizinkan melakukan kegiatan menjadi salah satu penyebab mengapa rendahnya cakupan pencapaian untuk vitamin A. Penyebab lainnya adalah karena kurang optimalnya kinerja kader dalam distribusi vitamin A secara door to door kepada kelompok sasaran dikarenakan luasnya wilayah kerja puskesmas, akses yang sulit, dan kurangnya tenaga kesehatan untuk menjalankan program suplementasi vitamin A ini. Kader mengusahakan semampunya untuk tetap mendistribusikan vitamin A, namun dilihat tidak se- optimal saat pendistribusian langsung di posyandu. Hasil penelitian M.Zulfikar menyatakan peran kader mempengaruhi tercapainya pemberian vitamin A pada balita dan seorang kader sangat berperan dalam memberikan pelayanan serta nformasi yang baik mengenai pentingnya pemberian vitamin A pada bayi dan balita [18].

PEMAHAMAN MENGENAI COVID-19 DAN CORONAVIRUS

Untuk topik ini, informan yang terdiri dari petugas gizi di puskesmas menyatakan bagaimana persepsinya terhadap covid-19 atau coronavirus, baik apa yang diketahuinya mengenai penyebarannya atau maksud dari virus ini sendiri. Semua informan mengetahui dengan baik dan mampu menjelaskan mengenai covid- 19 atau coronavirus dan setuju bahwa virus ini benar-benar sangat parah dan menyebabkan banyak kematian.

“ Coronavirus disease-19 ya virus kalau saya liat sih covid-19 ini virus baru yang menjadi pandemic berarti yang sudah ada disemua negara yang cukup bikin heboh karena angka kematian yang diakibatkan terbilang tinggi. “ (P1, petugas gizi puskesmas)

“ Yang jelas virusnya ini kan berkaitan dengan daya tahan tubuh ya, jadi belum ada obatnya yang bisa menyembuhkan jadi ya tergantung daya tahan tubuh masing-masing. Dapat diperberat dengan adanya komorbit. Lalu penyebarannya melalui droplet dan masuk dari saluran lunak seperti mata, hidung dan mulut. “ (P2, Petugas gizi puskesmas)

“ Coronavirus yang saya tahu coronavirus itu kan virus baru, menyerang system pernapasan juga kan. Penyebarannya kita juga tahu seperti apa melalui droplet.” (P3, Petugas gizi puskesmas).

Hal ini sejalan dengan penelitian Susilo, yang menyatakan covid-19 merupakan penyakit pernapasan ringan hingga berat yang disebabkan oleh virus bernama coronavirus (sindrom pernapasan akut berat coronavirus 2 dari genus Betacoronavirus), ditularkan terutama melalui kontak dengan bahan infeksius dan ditandai terutama oleh demam, batuk, sesak napas dan dapat berkembang menjadi pneumonia dan gagal napas [1]. Secara umum, alur coronavirus dari hewan ke manusia dan dari manusia ke manusia

(7)

melalui transmisi kontak, transmisi droplet, rute feses dan oral.

Gejala yang paling umum pada awal penyakit covid-19 adalah demam, batuk, dan kelelahan, sementara gejala lainnya yaitu adanya dahak, sakit kepala, hemoptisis, diare, dyspnoea, dan limfopenia [19].

Sebuah penelitian terhadap 400 pasien yang dirawat di rumah sakit Wuhan, China, menemukan sekitar seperlima pasien dengan covid-19 mengembangkan penyakit jantung, yang meningkatkan tingkat kematian pada pasien. Peradangan parah pada otot jantung yang tiba-tiba menyebabkan aritmia dan merusak kemampuan jantung untuk efisien memompa darah. Oleh karena itu, pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskular dan tekanan darah tinggi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi daripada orang normal. Kekurangan oksigen akibat trauma di paru-paru merusak lapisan jantung dan pembuluh darah Beberapa gejala yang diamati termasuk kehilangan indra penciuman, rasa atau penglihatan, dan penurunan kewaspadaan. Juga kejang, stroke, dan nekrosis akut ensefalopati hemoragik telah dilaporkan pada pasien dengan infeksi covid-19 yang parah [20].

PERSEPSI INFORMAN MENGENAI KEBIJAKAN PSBB DI INDONESIA

Untuk mengurangi risiko penularan covid-19, WHO telah merekomendasikan beberapa praktik kebersihan untuk diadopsi.

Rekomendasi pertama adalah mencuci tangan secara teratur dengan sabun dan air mengalir setelah berkegiatan. WHO juga merekomendasikan praktik kebersihan pernapasan, yang mencakup, tetapi tidak terbatas pada, menutupi mulutnya sendiri saat batuk atau bersin [21]. WHO juga merekomendasikan penggunaan alat pelindung diri, khususnya bedah wajah masker atau respirator N95, sebagai strategi pengendalian infeksi untuk melindungi pemakainya dari cairan dan udara partikel. Karena adanya rekomendasi dari WHO mengenai menjaga jarak dan menjaga kontak fisik atau aktivitas kerumunan masa, maka Indonesia menerapkan rekomendasi Physical Distancing atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pengertian Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (COVID19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- I9).

Informan menyatakan persepsinya mengenai kebijakan PSBB yang dilakukan di Indonesia guna menangani percepatan penyebaran covid-19 di masyarakat. informan P1 menyatakan persepsi setujunya terhadap kebijakan PSBB untuk mencegah penyebaran pandemi :

“ Mengenai pembatasan ya mau tidak mau sih karena ada virus ini, suka ga suka memang harus kita membatasi segalanya ya supaya tidak semakin meningkat penularan dari virus ini. Saya setuju setuju saja kalau ada pembatasan, ya memang harus seperti itu caranya memutus rantainya kan.” (P1, Petugas gizi puskesmas).

Sedangkan informan P2 menyatakan bahwa kebijakan pembatasan ini memiliki sisi pro dan kontra, terdapat kelebihan dan kekurangan yang di alami di dalam penerapannya :

“ ..kalau menurut saya pro kontra ya. Punya kelemahan dan kelebihan, kelebihannya mungkin memang dengan pembatasan seperti itu kita lebih dapat untuk mengendalikan penyebarannya dan penularannya juga bisa lebih di kurangi. Tapi kelemahannya dengan adanya pembatasan ini, semua rencana kerja tahunan kita ya itu tidak bisa berjalan, terus capaian pelayanannya kita juga rendah, programnya tidak berjalan dengan maksimal.” (P2, Petugas gizi puskesmas).

Beberapa negara yang menjalani rekomendasi untuk mencegah penyebaran covid-19 akan berdampak pada banyak hal terutama berkaitan dengan kondisi perekonomian saat ini yang merosot drastis harus dapat menjamin dan memastikan terutama kepada kaum menengah ke bawah mampu memenuhi kebutuhannya. Sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut, kewajiban negara menjamin hak atas hidup masyarakatnya dan tidak terkurangi suatu apapun harkat martabat masyarakatnya [22].

Langkah PSBB adalah strategi yang efektif untuk memutuskan mata rantai penyebaran virus corona. Tentu saja hal ini harus didasari oleh kesadaran masyarakat untuk tidak berkumpul dan tetap mematuhi protokol yang ada ketika berada diluar rumah. Langkah PSBB lebih tepat jika dibandingkan dengan lockdwon, karena masyarakat sama sekali tidak diperbolehkan untuk keluar rumah, segala transportasi mulai dari mobil, motor, kereta api, hingga pesawat pun tidak dapat beroperasi, dan bahkan aktivitas perkantoran bisa dihentikan semuanya jika terjadi lockdown, maka dari itu langkah PSBB jauh lebih baik diterapkan [4]. Hasil penelitian Rindam dan Islamul menyatakan pemberlakuan kebijakan PSBB menuai berbagai reaksi yang beragam di masyarakat. Mayoritas masyarakat mengeluhkan dampak yang dialami seperti kesulitan dalam perekonomian.

Aktivitas fisik yang menurun akibat ruang gerak yang dibatasi serta efek psikologis akibat perasaan khawatir berlebihan terhadap virus ini. Masyarakat menjadi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari [4].

(8)

PERSEPSI INFORMAN MENGENAI KEBIJAKAN PSBB DI KOTA PEKANBARU

Informan menyatakan persepsinya bahwa walaupun diberlakukan kebijakan pembatasan, namun akan sulit untuk mengontrol kebiasaan masyarakat. namun sebaiknya masyarakat harus selalu mendukung untuk sementara ini hanya Kebijakan Pembatasan inilah yang bisa diterapkan pemerintah guna menangani penyebaran virus covid-19 :

“ Mungkin pekanbaru ini memang tidak seketat Jakarta. Mengurus orang aja susah banget, mengurus masyarakat untuk menggunakan masker aja susah banget, jadi kalau PSBB disini saya menanggap mungkin itu cara pemerintah untuk meminimalisir penambahan jumlah kasus. Jadi kita sebagai masyarakat ya dukung saja, kalau disuruh pakai masker ya pakai masker.” (P3, Petugas gizi puskesmas).

Menanggapi hal tersebut informan menyatakan kebijakan pembatasan yang dilakukan bermanfaat untuk mencegah percepatan penyebaran covid-19, namun dalam jangka waktu yang lama akan berdampak pada perekonomian masyarakat dan kota.

Hasil penelitian Rindam dan Islamul menyatakan PSBB menjadi persoalan ekonomi karena menurunnya pendapatan masyarakat.

Persoalan ekonomi jangka pendek yang harus disiapkan strategi mitigasinya oleh pemerintah daerah adalah kemampuan masyarakat untuk mengakses bahan pangan khususnya bahan pangan pokok [4]. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Kebijakan ini merupakan respon pemerintah pusat terhadap status kedaruratan masyarakat agar mencegah meluasnya penyebaran penyakit darurat yang terjadi antar orang di satu wilayah tertentu yang disebabkan oleh covid-19 (coronavirus), selain itu sebagai jawaban atas ketidak seragaman antara kebijakan yang dikeluarkan oleh pusat dan daerah. Namun, sebelum kebijakan ini dibuat, daerah melakukan inisiatif tersendiri dalam mengatasi penyebaran covid-19 diwilayahnya masing-masing [23].

Hasil penelitian Suherman menyatakan berdasarkan PP No.21 Tahun 2019 yang dimaksud Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi covid-19, sedemikian rupa dilakukan untuk mencegah kemungkinan penyebaran virus ini. Melalui persetujuan dari menteri yang mengatur urusan pemerintahan di bidang kesehatan, dimana Pemerintah Daerah bisa melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau membatasi pergerakan orang/manusia dan barang di satu Provinsi atau Kabupaten/Kota tertentu, yang didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Kebijakan ini paling sedikit meliputi

peliburan sekolah dan tempat kerja, pemabatasan kegiatan keagamaan, dan atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum [23].

Pemerintah pusat melalui Menteri Kesehatan sudah menyetujui beberapa daerah untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), adapun daerah-daerah yang dimaksud terdiri dari wilayah Jabodetabek yang terdiri 9 daerah di tiga Provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Kemudian, daerah lainnya yang mendapatkan izin adalah Kota Pekanbaru di Riau, Kota Makassar di Sulawesi Selatan, dan Kota Tegal di Jawa Tengah [23]. Dengan mengikuti kebijakan ini dan berdasarkan masih tingginya angka kasus covid-19, maka Kota Pekanbaru beberapa kali memberlakukan kebijakan pembatasan yang kemudian mempengaruhi berbagai aspek kegiatan termasuk pada pelayanan kesehatan.

PERSEPSI MENGENAI PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN DAN SUPLEMENTASI VITAMIN A SAAT PANDEMI COVID-19

Pandemi covid-19 telah merubah banyak kegiatan di dalam kehidupan bermasyarakat. Sejak kemunculan kasus pertama di Indonesia, pemerintah mulai mencanangkan beberapa alternatif kebijakan terkait dengan pembatasan agar penyebaran virus covid- 19 tidak semakin bertambah dan menyebar luas. Salah satu kegiatan yang terkena dampak dari pembatasan adalah pelayanan kesehatan.

Dikarenakan terbatasnya aksesiblitas untuk pelayanan kesehatan, maka hal ini dapat menimbulkan risiko gangguan pelayanan kesehatan termasuk pada balita yang berpotensi meningkatkan kesakitan dan kematian, seperti terganggunya aksesibilitas cakupan vitamin A [24].

Semua informan menyatakan bahwa perubahan drastis terjadi pada pelayanan kesehatan di puskesmas terkait dengan adanya kebijakan pembatasan dari covid-19 ini. Banyak cakupan yang tidak tercapai, kegiatan pelayanan masyarakat tidak optimal dan di tiadakannya kegiatan posyandu yang merupakan ujung tombak dari kegiatan pelayanan puskesmas, hal ini menjadi hambatan atau kendala dalam pelaksanannya:

“ Sangat berubah, berubah drastis. Tidak ada pencapaian yang mencapai 100%. Jadi memang kegiatan dikurangi dan dibatasi.

Kalau untuk vitamin A, karena posyandu tidak buka, maka kader yang mengantarkan langsung kerumah-rumah namun tidak dipaksakan juga karena ada beberapa kader yang tidak mau turun dengan alasan takut covid-19 sehingga pelaksanaannya pun tidak optimal.” (P4, Petugas gizi puskesmas).

“ banyak yang berubah, kunjungan drastis menurun, kunjungan puskesmas saat pandemic ini hanya sekitar 50% dan kegiatan banyak yang terhambat. Kalau untuk vitamin A, bulan Februari itu

(9)

kita masih buka, namun Agustus sudah tidak buka dan akhirnya bulan September posyandu di buka kembali dengan di sentralkan di kantor lurah selama 11 hari sesuai dengan pembagian wilayah posyandu, dan Alhamdulillah untuk vitamin A tetap terdistribusikan. “ (P1, Petugas gizi puskesmas).

Sedangkan informan P2 menyatakan mulai dari perencanaan, permintaan dan pendistribusian kapsul vitamin A mengalami perubahan. jumlah permintaan menurun, dan pendistribusian benar-benar bergantung terhadap kesanggupan dari kader.

“ untuk permintaan, perencanaan berubahnya dari jumlah yang diminta ya. Perencanaannya sama jumlah permintaannya menurun. Posyandu itu tidak dibuka cuma kadernya yang door to door mengantarkan jadi makanya kita hanya membagi posyandu yang bersedia saja.” (P2, Petugas gizi puskesmas).

Saat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan, banyak kegiatan yang dibatasi dan bahkan ditiadakan dalam pelaksanaannya. Hal ini turut dirasakan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. Di puskesmas, sejak diterapkan pembatasan kegiatan, teknis untuk datang berobat di puskesmas dibatasi dan skrining awal terlebih dahulu sebelum memasuki puskesmas.

Tenaga kesehatan menghimbau kepada masyarakat untuk mengurangi kunjungan ke puskesmas apabila tidak dengan gejala sakit yang terlalu parah untuk menghindari kontak dengan banyak orang.

Sejak bulan Maret 2020, Posyandu ditutup untuk menghindari kerumunan masyarakat sehingga kegiatan penimbangan dan pemantauan pertumbuhan anak, pemberian tablet tambah darah, pemeriksaan kehamilan ibu, imunisasi dan suplementasi kapsul vitamin A mengalami kendala dalam pelaksanaan dan juga sasarannya. Petugas gizi dan kader memiliki usaha yang lebih besar lagi dalam melaksanakan pelayanan kegiatan agar tetap optimal. Berbagai usaha seperti kunjungan langsung kerumah masyarakat secara door to door dilakukan untuk melakukan penimbangan, melakukan cek kehamilan dan pemberian imunisasi serta suplementasi oleh kader. Dilakukan dengan benar-benar semampunya dikarenakan masih banyak kader dan masyarakat yang merasa takut dengan kondisi pandemi saat ini.

Walaupun pelayanan kesehatan tetap dilakukan dengan cara kunjungan door to door oleh kader, namun monitoring lanjutan setelahnya tidak di lakukan.

Berdasarkan observasi peneliti, saat pandemi covid-19, petugas gizi membagikan kapsul vitamin A kepada kader 1-2 bulan sebelum pelaksanaan program vitamin A. Lalu data dari kader di berikan ke petugas gizi untuk di rekap dalam pemberian kapsul vitamin A. Kader diberikan Alat Pelindung Diri (APD) untuk turun lapangan. Kemudian petugas gizi memastikan kembali kesiapan

kader untuk membuka posyandu atau tetap melakukan kunjungan door to door kerumah kelompok sasaran dalam pendistribusian vitamin A.

Informan menyatakan bahwa masyarakat cenderung merasa takut dengan petugas kesehatan karena beranggapan petugas kesehatan dapat membawa dan menyebarkan virus corona.

Hal inilah yang menyebabkan optimalisasi dan cakupan dari pelayanan kesehatan masyarakat menurun drastis saat pandemi terjadi, dibutuhkan edukasi yang lebih baik lagi kepada masyarakat agar tetap mengikuti protokol kesehatan dan tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan benar dari petugas kesehatan.

Hasil penelitian Aprista menyatakan kebijakan PSBB masih kurang efektif karena masyarakat merasa bahwa belum mendapatkan pengetahuan cukup dan perlindungan hukum yang dibuat terkait dengan kesehatan masyarakat. Banyaknya kebijakan terkait PSBB yang tumpeng tindih disebabkan kurangnya koordinasi sehingga informasi yang diterima oleh masyarakat menjadi tidak jelas [22].

PERSEPSI INFORMAN MENGENAI PERAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP OPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM VITAMIN A SAAT PANDEMI COVID-19

Tenaga kesehatan merupakan sosok terpenting saat pandemi ini, tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. namun, mengingat kondisi pandemi saat ini, banyak alternatif kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan guna tetap mengoptimalkan pelayanan kesehatan. Untuk itu, informan menyampaikan persepsi nya mengenai apa yang sebaiknya dilakukan tenaga kesehatan guna tetap mengoptimalkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

“ mau melakukan seperti apa saya juga masih bingung, prinsip saya walaupun banyak yang ditiadakan, tetap mengusahakan kegiatan tersebut semampunya.” (P1, Petugas gizi puskesmas)

“ Kalau saya, kalau awal itu kan memang permasalahannya masih sasaran ya. Kalau bisa kita tentukan dulu sasaran dari kita apa, terus kalau bisa tenaga kesehatan di puskesmas ini lebih banyak promosi kesehatannya dibanding pengobatannya.” (P2, Petugas gizi puskesmas).

“ Kalau pandemi susah juga kenapa, karena kan atas kemauan mereka. Kalau saya gimana gampangnya, kumpulin aja di satu tempat jadi enak untuk menggapainya. Cuma tadi itu kan karna pandemic jangan jangan mereka takut sama kita karna kita petugas Kesehatan. (P4, Petugas gizi puskesmas).

Menurut informan, selama pandemi covid-19 ini segala upaya telah dilakukan agar pelayanan kesehatan tetap berjalan dengan optimal, namun tetap dirasakan kurang dalam kinerja dan capaiannya. Jika dilihat kembali dari sisi masyarakat, masih

(10)

terdapat rasa takut dan enggan dari masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Terbatasnya aksesiblitas menjadi kendala tenaga kesehatan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.

Tenaga kesehatan mengharapkan inovasi yang baru dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan agar tetap optimal walaupun pembatasan pandemi Covid-19 ini masih ada. Hasil penelitian Apriliana menyatakan komitmen implementor dapat dilihat dari sikap para pelaksana program terhadap tugasnya dalam pelaksanaan program. Pelaksana program sudah baik dan tidak pernah jenuh dalam melaksanakan tugas dalam memberikan kapsul vitamin A kepada kelompok sasaran [11].

PERSEPSI INFORMAN MENGENAI PERAN MASYARAKAT TERHADAP OPTIMALISASI PELAKSANAAN PROGRAM VITAMIN A SAAT PANDEMI COVID-19

Selain besarnya peran tenaga kesehatan, ternyata masyarakat juga sangat berperan penting dalam mengoptimalisasi pelayanan kesehatan. Pentingnya dukungan dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan pihak kader dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ini.

“ Kalau saya inginnya pak lurah, RT, RW itu ikut serta di posyandu itu, jadi dia yang tau, dia yang hapal warganya itu siapa. Kalau kami mungkin kurang hapal dengan wilayahnya mereka. Kader yang lebih dekat dengan masyarakat.” (P4, Petugas gizi masyarakat).

“ Harusnya masyarakat itu sendiri yang memang dia yang sadar, jadi kalau sama kader tu memang kerja sama memang mau dia.

ada pak RW nya mungkin yang bisa membantu memfasilitasi kadernya. “ (P3, Petugas gizi puskesmas).

“ Kalau masyarakatnya sendiri sebenarnya yang kita butuhkan itu dukungan pejabat sama tokoh setempat yah, nah sejauh ini memang kalau saya rasa kader, lurah sangat-sangat care dengan program kita dan mau membantu, seperti itu jadi sepertinya tidak ada yang terlalu kendala. Kendala itu paling kita hanya di masalah koordinasi karena wilayahnya luas dan yang harus dikoordinasikan banyak seperti itu sih.” (P2, Petugas gizi puskesmas).

“Sebenarnya sangat berpengaruh ketika masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat itu berperan dalam memobilisasi masyarakat kader posyandu sangat berperan, karena masyarakat kita itu apa kalau udah kata pak RW atau pak lurah biasanya mereka baru antusias, tapi kalau baru kata kader mereka belum antusias mereka.” (P1, Petugas gizi puskesmas).

Hasil penelitian A.A Kompiang menyatakan menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan perilaku individu maupun

kelompok [25]. Salah satunya adalah faktor penguat (Reinforcing Factors), dimana factor ini meliputi faktor sikap dan perilaku dari Tokoh Masyarakat (TOMA), Tokoh Agama (TOGA), sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku, contoh (acuan) dari para Toma, Toga, para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Disamping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut [25].

Dibutuhkan pemberian edukasi lebih baik lagi mengenai covid-19 dan coronavirus kepada masyarakat, edukasi mengenai pentingnya pelayanan kesehatan di dapatkan terlebih saat pandemi ini. Pelayanan kesehatan yang diberikan, akan membantu masyarakat dalam mencegah virus corona. selain itu, peran tokoh masyarakat juga sangat penting, karena masyarakat cenderung lebih tertarik untuk mendengarkan informasi jika di dengar dan didukung oleh sosok yang dipercayai oleh masyarakat. Fasilitas kesehatan membutuhkan dukungan yang baik dari tokoh masyarakat agar pelayanan kesehatan tetap optimal saat pandemi ini.

SIMPULAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pendistribusian kapsul vitamin A sebelum adanya pandemi covid- 19 di Kota Pekanbaru berjalan dengan baik walaupun masih terdapat beberapa kendala seperti luasnya wilayah kerja puskesmas dan akses yang sulit, masih kurangnya tenaga kesehatan dalam menjalankan program pendistribusian kapsul vitamin A, menurunnya tingkat kesadaran masyarakat dalam mengunjungi posyandu, menurunnya tingkat kesadaran dan kemauan kader dalam menjalankan program serta pada wilayah kerja puskesmas memiliki beragam tingkat ekonomi sehingga ada kecenderungan untuk menolak kapsul vitamin A. Secara keseluruhan pelaksanaannya sudah sesuai dengan anjuran manajemen suplementasi vitamin A yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan sudah mencapai indikator target nasional yang ditetapkan yaitu 82%. Dikarenakan adanya pandemi Covid-19 dan juga adanya kebijakan pembatasan dalam pelayanan kesehatan masyarakat sehingga pelaksanaan suplementasi vitamin A menjadi terhambat. Untuk mengantisipasi agar pelayanan kesehatan tetap berjalan, petugas gizi dan kader melakukan distribusi langsung door to door kerumah kelompok sasaran.

Namun tetap saja jika dibandingkan angkanya dari bulan Februari

(11)

2020 dengan bulan Agustus 2020 maka terlihat bahwa terjadi penurunan yang sangat signifikan. Penurunan cakupan indikator keberhasilan dalam distribusi vitamin A yaitu mencapai angka 60,9%, 62%, 60,69%, 29,24% untuk balita dan 64,2%, 66,3% dan 25,07% untuk bayi. Penurunan angka cakupan ini disebabkan karena beberapa hal seperti : posyandu yang tidak buka, tidak optimalnya kinerja kader dalam pendistribusian vitamin A secara door to door, beberapa kader yang masih enggan untuk turun lapangan dikarenakan takut pada pandemic Covid-19 dan juga masih banyak masyarakat yang merasa takut untuk diberikan kunjungan pelayanan kesehatan secara langsung oleh petugas kesehatan. Disarankan pihak puskesmas memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat mengenai Covid-19 dan menjalin kerja sama dengan tokoh masyarakat agar pelaksanaan pelayanan kesehatan terkhusus vitamin A dapat berjalan dengan optimal.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang telah berperan dalam pengambilan data untuk penelitian ini terkait pelaksanaan program suplementasi kapsul vitamin A di beberapa puskesmas di Kota Pekanbaru, Proviinsi Riau. Sehingga gambaran mengenai pelaksanaannya dapat dituangkan dalam bentuk tulisan dan di informasikan kepada tenaga kesehatan dan masyarakat di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

[1] A. Susilo et al., “Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini,” J. Penyakit Dalam Indones., vol. 7, no.

1, p. 45, 2020. [Online]. Available : http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/

view/415. [Diakses pada tanggal 20 Desember 2020] . DOI : 10.7454/jpdi.v7i1.415

[2] Satgas Covid-19, “Data Covid-19 Indonesia,” 2021.

[Online]. Available:

https://covid19.go.id/p/berita/analisis-data-covid-19- indonesia-update-18-januari-2021. [Diakses pada tanggal 19 Januari 2021]

[3] Peraturan Pemerintah, “Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019/COVID-19,” 2020. [Online]. Available : https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/135059/pp-no- 21-tahun-2020. [Diakses pada tanggal 23 Oktober 2020] . [4] R. Nasruddin and I. Haq, “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Masyarakat Berpenghasilan Rendah,”

SALAM J. Sos. dan Budaya Syar-i, vol. 7, no. 7, 2020.

[Online] . Available :

http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/15 569 . [Diakses pada tanggal 23 Oktober 2020]. DOI : 10.15408/sjsbs.v7i7.15569.

[5] Kemenkes RI, Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile 2018]. 2018. [Online].

Available :

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/pr ofil-kesehatan-indonesia/Data-dan-Informasi_Profil- Kesehatan-Indonesia-2018.pdf. [Diakses pada tanggal 22 September 2020] .

[6] Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, “LAPORAN CAKUPAN VITAMIN A PROVINSI RIAU.” 2020.

[7] N. Silvia, “Gambaran Sikap Ibu Tentang Vitamin A Pada Balita Usia 12-59 Bulan Di Puskesmas Senapelan Pekanbaru Tahun 2017,” J. Ilmu Kebidanan, vol. 7, no. 2, pp. 30–33, 2018. [Online]. Available : https://jurnal.stikesalinsyirah.ac.id/index.php/kebidanan/a rticle/view/71. [Diakses pada tanggal 20 September 2020]

.

[8] A. D. Baka, D. M. Dachlan, and A. Salam, “Studi Pelaksanaan Program Suplementasi Kapsul Vitamin A pada Balita di Puskesmas Andalas,” pp. 1–10, 2014.

[Online]. Available :

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/

10593/ARCHA DWI BAKA

K21110289.pdf?sequence=1. [Diakses pada tanggal : 15 Februari 2021]

[9] E. Ridwan, “Cakupan Suplementasi Kapsul Vitamin a Dalam Hubungannya Dengan Karakteristik Rumah Tangga Dan Akses Pelayanan Kesehatan Pada Anak Balita Di Indonesia Analisis Data Riskesdas 2010,” Bul. Penelit.

Sist. Kesehat., vol. 16, no. 1, pp. 1–9, 2013. [Online].

Available :

https://www.persagi.org/ejournal/index.php/Gizi_Indon/a rticle/view/104 . [Diakses pada tanggal 15 Februari 2021].

DOI : 10.22435/bpsk.v16i1.

[10] M. Rahnama, M. F. Khoshknab, S. S. B. Maddah, and F.

Ahmadi, “Iranian cancer patients’ perception of spirituality: a qualitative content analysis study,” BMC Nurs., vol. 11, 2012. [Online]. Available : https://link.springer.com/article/10.1186/1472-6955-11- 19. [Diakses pada tanggal 18 September 2020]. DOI : 10.1186/1472-6955-11-19

[11] S. Arso, A. Sriatmi, and A. Susilowati, “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Program Pemberian Kapsul Vitamin a Pada Ibu Nifas Oleh Bidan Desa Di Wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman,” J. Kesehat. Masy., vol. 3, no. 2, pp. 30–40, 2015.[Online]. Available : https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/downl oad/11866/11521. [Diakses pada tanggal 15 Februari 2021] .

[12] Azrimaidaliza, “Vitamin A, imunitas dan kaitannya dengan penyakit infeksi,” J. Kesehat. Masy., vol. 1, no. 2, pp. 90–96, 2007. [Online]. Available : http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view /15. [Diaksespada tanggal 15September 2020] . DOI : https://doi.org/10.24893/jkma.v1i2.15.

[13] S. Gropper, Advanced nutrition and human metabolism, vol. 20, no. 1. 2009.

[14] X. Zhang et al., “Vitamin A deficiency in critically ill children with sepsis,” Crit. Care, vol. 23, no. 1, pp. 1–9,

2019. [Online] . Available :

https://ccforum.biomedcentral.com/articles/10.1186/s130 54-019-2548-9. [Diakses pada tanggal 20 September 2020]. DOI : 10.1186/s13054-019-2548-9.

(12)

[15] R. Sanif and R. Nurwany, “Vitamin A dan Perannya dalam Siklus Sel,” J. Kedokt., vol. 4, no. 2, pp. 83–88, 2017.

[Online]. Available :

https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jkk/article/downloa d/6100/3291. [Diakses pada tanggal 21 September 2020].

[16] I. N. Hasanah, “Hubungan Antara Sikap Bidan dan Dukungan Kader terhadap Perilaku Bidan dalam Pemberian Vitamin A Ibu Nifas di Wilayah Puskesmas Kabupaten Klaten,” Sains Med., vol. 5, no. 2, pp. 110–112,

2013. [Online]. Available :

http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/sainsmedika/article/

download/351/290. [Diakses pada tanggal 23 September 2020]. DOI : https://doi.org/10.36419/jkebin.v5i2.88.

[17] V. K. Dewi, M. Hakimi, and A. Suhadi, “Peran Bidan Di Desa Dan Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin a Pada Ibu Nifas,” Ber. Kedokt. Masy., vol. 26, no. 2, pp. 63–70,

2010. [Online]. Available :

https://media.neliti.com/media/publications/163918-ID- peran-bidan-di-desa-dan-cakupan-pemberia.pdf. [Diakses pada tanggal 15 Februari 2021] . DOI : https://doi.org/10.22146/bkm.3470.

[18] D. Setiawan and M. Zulfikar, “Pengaruh Pengetahuan , Sikap , Dan Peran Tenaga Kesehatan Terhadap Pemberian Vitamin A The Influence of Knowledge , Attitude , and Role of Health Personnel to Giving Vitamin A,” Nutr. J.

Gizi, Pangan dan Kesehat., vol. 1, no. 22, pp. 60–65, 2020.

[Online] . Available :

file:///C:/Users/USER/Downloads/976-Article Text-4265- 1-10-20201127.pdf. [Diakses pada tanggal 15 Februari 2021] .

[19] H. A. Rothan and S. N. Byrareddy, “The epidemeology and pathogensis of coronavirus (Covid-19) outbreak,”

J.Autoimmun., vol. 109, no. January, pp. 1–4, 2020.

[Online]. Available :

https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32113704/. [Diakses pada tanggal 21 September 2020]. DOI : 10.1016/j.jaut.2020.102433.

[20] H. Esakandari, M. Nabi-afjadi, J. Fakkari-afjadi, N.

Farahmandian, S. Miresmaeili, and E. Bahreini, “A comprehensive review of COVID-19 characteristics,” vol.

2, pp. 1–10, 2020. [Online] . Available : https://biologicalproceduresonline.biomedcentral.com/art icles/10.1186/s12575-020-00128-2. [Diakses pada tanggal 12 Januari 2021] . DOI : https://doi.org/10.1186/s12575- 020-00128-2.

[21] Y. Yan et al., “The first 75 days of novel coronavirus (SARS-CoV-2) outbreak: Recent advances, prevention, and treatment,” Int. J. Environ. Res. Public Health, vol.

17, no. 7, 2020. [Online] . Available : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7177691 /. [Diakses pada tanggal 22 September 2020]. DOI : 10.3390/ijerph17072323.

[22] A. Ristyawati, “Efektifitas Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Masa Pandemi Corona Virus 2019 oleh Pemerintah Sesuai Amanat UUD NRI Tahun 1945,”

Adm. Law Gov. J., vol. 3, no. 2, pp. 240–249, 2020.

[Online]. Available :

https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/alj/article/view/79 89. [Diakses pada tanggal 22 September 2020]. DOI : 10.14710/alj.v3i2.240-249.

[23] D. Suherman, “Peran Aktor Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Mengatasi Penyebaran COVID-19 Di Indonesia,” Minist. J. Birokrasi dan Pemerintah. Drh., vol. 2, no. 2, pp. 51–62, 2020. [Online]. Available : https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/ministrate/article/vi ew/9383/pdf. [Diakses pada tanggal 11 Januari 2021].

DOI : 10.15575/jbpd.v2i2.9383.

[24] Kementrian Kesehatan RI, “Kesehatan Balita Pada Masa Tanggap Darurat COVID-19,” 2020. [Online]. Available :https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8 cd98f00/files/Panduan-Yankes-Balita-COVID19_1574.p.

[Diakses pada tanggal 30 Agustus 2020].

[25] A. A. K. N. Darmawan, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kunjungan Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Posyandu di Desa Pemecutan Kelod Kecamatan Denpasar Barat,” J. Dunia Kesehat., vol. 5, no. 2, pp. 29–39, 2015. [Online]. Available : https://www.neliti.com/publications/76442/faktor-faktor- yang-mempengaruhi-perilaku-kunjungan-masyarakat- terhadap-pemanfaat. [Diakses pada tanggal 22 September 2020].

Gambar

Table  1.  Perbandingan  Presentase  Cakupan  Kapsul  Vitamin  A  Bulan Februari dan Agustus Tahun 2020

Referensi

Dokumen terkait

Pada tabel 3 menunjukan bahwa hasil penilitian bivariat menunjukan selisih rata-rata nyeri dismenorea sebelum dan sesudah diberikan coklat hitam jus wortel yaitu 2.8 dengan

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dari beberapa informan, dan observasi tentang faktor-faktor penyebab kedisiplinan dan ketidakdisiplinan PNS terhadap absensi

Ibu berusia >18 tahun, mampu membaca dan menulis, tidak memiliki nak yang pernah dirawat NICU sebelumnya, tidak memiliki ganggguan fisik yang mengganggu

Penenilitian ini menyimpulkan masih kurangnya SDM dari segi kuantitas, keterlambatan dalam penurunan dana, sarana dan prasarana di posyandu masih belum

Satu-satunya obat yang disetujui Badan obat dan makanan (FDA) Amerika Serikat untuk pengobatan pneumonia virus pada orang dewasa adalah inhibitor neuraminidase

ISSN Cetak 1978 4880 ISSN Online 2580 2186 Volume 14(2) November 2021 Analisis Konten Instagram Arsip UGM Masa Pandemi Covid 19 Peluang dan Tantangan Thoriq Tri Prabowo Digitisasi Arsip

Wanita dengan pernikahan yang tidak diinginkan, maka tidak memiliki bijaksana atau kurang memiliki prinsip dalam menjalankan rumah tangganya sehingga menyumbang

maka dapat disimpulkan dari hasil yang diperoleh penelitian terdapat hubungan antara durasi penggunaan gadget terhadap interaksi sosial pada anak usia pra sekolah di