• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK KAWASAN DUKUH ATAS SEBAGAI KAWASAN TOD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KARAKTERISTIK KAWASAN DUKUH ATAS SEBAGAI KAWASAN TOD"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK KAWASAN DUKUH ATAS SEBAGAI KAWASAN TOD

Annisa Nadhira Maudina1*, Imma Widyawati Agustin2, Budi Sugiarto Waluyo3 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya123

Jalan Mayjen Haryono 167 Malang 65145 -Telp (0341)567886 e-mail*: [email protected]

ABSTRAK

Dukuh Atas sebagai kawasan TOD direncanakan sebagai area interchange yang terletak di daerah strategis Segitiga Emas Jakarta yang berskala nasional-internasional. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik Kawasan Dukuh Atas sebagai salah satu dari delapan stasiun MRT yang dikembangkan menjadi kawasan TOD di DKI Jakarta. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari gabungan dari ITDP (2017) dengan parameter yang disesuaikan dengan Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2017. Hasil penelitian menujukkan bahwa karakteristik Kawasah Dukuh Atas masih terklasifikasi dalam kawasan TAD, alih-alih kawasan TOD. Hal ini ditunjukkan oleh tersedianya jaringan pejalan kaki, jaringan transportasi dan telah memiliki kawasan dengan 5 jenis campuran guna lahan, namun diantaranya belum memiliki keterkaitan.Karakteristik ini menggambarkan antara komponen “transit” dan “development” belum terintegrasi dan kawasan belum terkoneksi.

Kata Kunci : Integrasi-transit-development, Kawasan-TAD, Kawasan-TOD, Pusat-interchange.

ABSTRACT

Dukuh Atas as a TOD area is planned as an interchange area which is located in the Jakarta’s Golden Triangle with national-international scale. This study aims to identify the characteristics of the Dukuh Atas area as one of the eight MRT stations that were developed into a TOD area in DKI Jakarta. The variables used in this study consisted of ITDP (2017) with parameters adjusted to Permen ATR/BPN No. 16 of 2017. The results of the study showed that the characteristics of Dukuh Atas are still classified in the TAD area, instead of the TOD area. This is indicated by the availability of pedestrian, transportation network and has 5 mixed types of land use, but some of them do not have any linkages. This characteristic illustrates that the components of "transit" and

"development" are not yet integrated and the area is not yet connected.

Keywords: Interchange-center, Integrated-transit-development, TAD-area, TOD-area.

LATAR BELAKANG

Provinsi DKI Jakarta diarahkan sebagai kawasan metropolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depo, Tangerang dan Bekasi sebagai pusat distrik bisnis dan pusat pemerintahan (RTRW DKI Jakarta Tahun 2010-2030). Rata-rata pertumbuhan penduduk DKI Jakarta mencapai 0,94% per tahunnya (Provinsi DKI Jakarta Dalam Angka 2019) menyebabkan adanya kebutuhan transportasi untuk menunjang aktivitas perekonomian yang dapat dilihat melalui jumlah pergerakan orang atau jumlah komuter Jabodetabek tahun 2018 yang mencapai 3.566.178 orang (Statistik Transportasi DKI Jakarta 2018).

Terjadi beberapa permasalahan transportasi menurut Dorina (2015) berupa kemacetan, pemborosan energi dan pencemaran udara akibat peningkatan jumlah penggunaan kendaraan bermotor sebesar 6,48% (Statistik Transportasi DKI Jakarta 2018).

Perencanaan transportasi mempunyai peran penting dalam melayani kebutuhan penduduk

untuk melakukan kegiatan, dimana pembangunan perkotaan dan sistem transportasi dalam perencanaannya tidak dapat dipisahkan, apabila tidak terealisasi, maka terdapat permasalahan berupa kemacetan dan munculnya fenomena urban sprawl (Widyakusuma, 2019). Urban sprawl merupakan fenomena persebaran pembangunan tidak merata di perkotaan yang disebabkan oleh kesulitan mengakses fasilitas dan berdampak pada tingginya tingkat ketergantungan pada kendaraan pribadi (Arif, Nur & Manullang, 2017; Widyakusuma, 2019). Hal ini menyebabkan permasalahan di perkotaan yaitu karakteristik kota metropolitan akan cenderung bertumbuh dengan pola auto-oriented development (Priadmaha, Anisa, & Prayogi, 2017). Sehingga, permasalahan transportasi ini dapat terselesaikan salah satunya dengan meningkatkan kualitas transportasi publik dan hasil yang diharapkan membentuk kesatuan land use transport system melalui konsep Transit- oriented Development (Arif, Nur & Manullang, 2017; Ridhoni & Ridhani, 2017).

Konsep TOD merupakan kawasan yang memiliki guna lahan campuran, kompak dan dapat

(2)

dijangkau dalam 5 – 15 menit berjalan kaki pada pusat area transit stasiun yang dalam perencanaannya dilakukan dengan mengintegrasikan antara kebijakan transportasi, guna lahan dan faktor lingkungan untuk keberlanjutan (Priadmaja, Anis & Prayogi, 2017;

Ridhona & Ridhani, 2017). Perilaku manusia menjadi tolok ukur untuk memetakan kebutuhan dan kegiatan masyarakat dalam penyediaan fasilitas pejalan kaki (Prima & Prayogi, 2020), hal ini didukung oleh penciptaan konsep TOD dengan mengintegrasikan kawasan yang berorientasi pada stasiun transit dan penggunaan lahan campuran yang dikoneksikan dengan jalur pejalan untuk menimbulkan keinginan untuk menggunakan transportasi publik daripada kendaraan pribadi dan menunjang pergerakan menuju destinasi/

tujuan perjalanan (Mustofa, Widyawati &

Yuliasari, 2019; Dewi, Soedwiwahjono, &

Nurhadi, 2020; Prima & Prayogi, 2020). Selain itu, tujuan utama dari perencanaan TOD adalah mendorong orang-orang untuk berjalan kaki, bersepeda dan menggunakan transportasi publik daripada kendaraan pribadi. Hal ini dapat diraih dengan meningkatkan guna lahan campuran di sekitar titik transit dengan kepadatan rendah hingga tinggi serta lingkungan yang ramah berjalan kaki (Y.J. Singh et al., 2017). Tujuan lainnya yaitu menyeselesaikan permasalahan transportasi berupa berupa pengurangan penggunaan kendaraan pribadi yang berdampak pada pengurangan polusi, kemacetan dan emisi gas ERK, penciptaan lingkungan berjalan kaki untuk mengakomodir gaya hidup sehat dan aktif, peningkatan jumlah penumpang atau ridership, peningkatan nilai tambah proprerti, peningkatan aksesibilitas bagi pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah serta pengurangan biaya transportasi (Priadmaja, Anisa, & Prayogi, 2017).

Berdasarkan Cervero (2004), untuk mencapai keberhasilan penerapan TOD diperlukan adanya interaksi antara T (transit) dan D (development) dan tanpa adanya interaksi kedua hal tersebut akan mengembangkan “Transit Adjacent Development” (TAD) yang tidak diinginkan. Hal ini sejalan dengan TCRP (2002, p.

52) yang menyatakan kunci keberhasilan kawasan TOD adalah pencampuran guna lahan dan pengaturan kepadatan bangunan hunian ada kawasan transit. Renne (2009) membedakan TOD dan TAD, dimana TOD merupakan kawasan kompak yang dilengkapi dengan kegiatan campuran yang berorientasi transportasi publik, sedangkan TAD merupakan kawasan terbangun yang secara fisik dekat dengan stasiun transit (dalam radius 500 meter), namun gagal dalam memanfaatkan kedekatannya karena hanya

mengembangkan “development” dan bukan

“transit-oriented”.

Sejalan dengan gagasan integrasi transportasi dan guna lahan, salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi dominasi kendaraan pribadi adalah mengembangkan kawasan TOD. Penelitian ini memiliki fokus pada Kawasan Dukuh Atas—

salah satu dari 8 stasiun yang dikembangkan menjadi kawasan TOD di Jakarta—, dimana kawasan ini dikembangkan sebagai pilot project dan premium transit station yang dilayani oleh 6 moda transportasi, yaitu KRL, MRT, LRT, RaiLink, Transjakarta dan mini-Transjakarta (RPJMD DKI Jakarta 2018-2022). Namun, terdapat permasalahan, dimana penggunaan kendaraan pribadi masih tergolong tinggi yang mencapai 76,47% penggunaan sepeda motor dan 21,85% penggunaan mobil (Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta, 2019). Berdasarkan Singh et al., (2014) dalam mengidentifikasi karakteristik kawasan TOD, maka dapat ditemukan dua permasalahan, diantaranya kawasan perkotaan yang memiliki orientasi transit yang tinggi tapi memiliki akses yang buruk terhadap kualitas transitnya, dan (2) area yang memiliki kualitas transit yang baik namun orientasi transitnya masih memerlukan peningkatan. Sehingga, tindakan perbaikan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu ditingkatkan dari kondisi eksisting dengan mengukur tingkat kesesuaian TOD (Evans

& Pratt, 2007). Adapun tujuan dari penulisan ini adalah mengidentifikasi karakteristik kawasan TOD berdasarkan prinsip TOD yang dilansir dari literatur ITDP TOD Standar v.3.0 (2017), terdiri dari delapan prinsip diantaranya prinsip berjalan kaki/ walk, bersepeda/ cycle, menghubungkan/

connect, angkutan umum/ transit, pembauran/

mix, memadatkan/ densify dan merapatkan/

compact serta beralih/ shift. Parameter dalam prinsip ini kemudian disesuaikan dengan Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2017.

HUBUNGAN TRANSPORTASI DAN TATA GUNA LAHAN

Perubahan tata guna lahan berkaitan erat dengan tingkat aksesibilitas dari sistem transportasi untuk menunjang mobilitas dari suatu daerah menuju daerah lain yang mana hubungannya bersifat dinamis (Wibawa, 2015).

Berdasarkan L. Feudo (2014), fenomena perubahan tata guna lahan dan transportasi dikatakan saling mempengaruhi, terjadi di kedua arah secara terus menerus dan melingkar dengan interferensi dan kertergantungan timbal balik,

(3)

sehingga dibutuhkan pendekatan yang terkoordinasi dan terintegrasi. Zhang, et al. (2019) menyebutkan bahwa interaksi tata guna lahan dan transportasi yang terintegrasi merupakan dampak komprehensif dari struktur jaringan, struktur kegiatan dan struktur manusia. Kemudian, interkasi antar struktur ini dapat dibentuk melalui

penciptaan nilai, diantaranya node value, place value dan market potential value (IBI Group &

World Resources Institute (WRI) India, 2021).

Sehingga, dampak komprehensif dari interaksi tata guna lahan dan transportasi yang terintegrasi adalah pembangunan dan pengembangan kawasan TOD.

Gambar 1. Kerangka Integrasi Guna Lahan dan Transportasi

Sumber : L. Feudo, 2014; Zhang, et al., 2019; IBI Group & WRI India, 2021 (diolah)

TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT (TOD)

Kawasan TOD atau kawasan berorientasi transit menurut Pergub Provinsi DKI Jakarta No.

67 Tahun 2019 merupakan suatu kawasan yang mengintegrasikan antar angkatan umum massal guna mendorong pergerakan pejalan kaki, pesepeda, penggunaan angkutan umum massal dan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor dalam radius jarak 350m hingga 700m dari pusat kawasan yang memiliki prinsip-prinsip kawasan berorientasi transit. Penciptaan kawasan TOD perlu memenuhi kriteria “transit” berupa sistem transportasi publik yang memadai dan

“development” berupa kawasan terbangun yang kompak. Apabila hanya memenuhi salah satu atau tidak sama sekali, maka kawasan tersebut diklasifikaskan sebagai transit adjacent development atau TAD (Cervero, 2004). Terdapat perbedaan antara kawasan TOD dan TAD, dimana pada TOD merupakan kawasan kompak yang dilengkapi dengan kegiatan campuran yang berorientasi transit sedangkan TAD merupakan kawasan dengan bangunan yang berada di stasiun transit namun tidak memiliki keterkaitan (Renne, 2009). Adapun pembagian struktur kawasan TOD diklasifikasi oleh TCPRC (2012) sebagai berikut:

Gambar 2. Klasifikasi Struktur Kawasan TOD

Sumber: TCPRC (Treasure Coast Regional Planning Council), 2012

METODE Ruang Lingkup

Menurut ITDP (2017), kawasan TOD memiliki radius 400 meter - 800 meter dari titik transit yang dapat ditempuh selama 5-10 menit dengan berjalan kaki. Ruang lingkup penelitian pada Kawasan Transit Dukuh Atas memiliki radius 800 meter yang disesuaikan dengan RDTRK dan PZ DKI Jakarta, dimana terdapat area di b. Terdapat 5 blok yang ditentukan berdasarkan RDTRK DKI Jakarta dan TOD MRT Jakarta Tahap I yang dibagi berdasarkan klasifikasi dari TCPRC (2012) sebagai berikut:

(4)

Gambar 3. Peta Ruang Lingkup Wilayah Kawasan Dukuh Atas

Berdasarkan peta dapat dilihat bahwa terdapat area di blok 1 yang dipilih sebagai wilayah studi meskipun berada dalam radius 1600 meter dan terdapat Thamrin City yang merupakan pusat kegiatan sebagai tarikan pergerakan Kawasan Dukuh Atas. Selain itu, terdapat area di Kelurahan Menteng, Kelurahan Setia Budi dan

kelurahan Karet Tengsin yang termasuk radius 800 meter namun tidak dipilih dikarenakan batas area perencanaan Kawasan TOD Dukuh Atas telah ditetapkan pada kebijakan yang terlah disebutkan.

Variabel Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini diambil berdasarkan teori-teori konsep TOD dari ITDP (2017) dan Permen ATR/BPN No. 16/

2017. Data penelitian ini didapatkan dari observasi dan survei sekunder yang dapat dilihat melalui Tabel 1.

Teknik Analisis Data

Pengkajian karakteristik dan permasalahan kawasan TOD dengan melakukan analisis deskriptif berupa delineasi kawasan perencanaan TOD, data jalan, data pedestrian dan jalur sepeda, data guna lahan, data parkir serta data sarana dan prasarana transportasi. Berikut merupakan diagram alir dari penelitian ini (Gambar 4.).

Tabel 1. Variabel Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan Prinsip TOD

Variabel Sub Variabel Parameter Data yang dibutuhkan

Walk Jalur pejalan kaki Ketersediaan jalur pejalan kaki yang ramah bagi difabel sebesar 80%

1. Ketersediaan jumlah jalur pejalan kaki

2. Ketersediaan jumlah jalur pejalan kaki yang tacticle atau ramah bagi difabel

Penyebrangan pejalan kaki

Ketersediaan fasilitas jalur penyebrangan pejalan kaki pada persimpangan sebesar 80%

1. Jumlah persimpangan eksisting

2. Jumlah persimpangan yang memiliki fasilitas penyebrangan pedestrian

Muka bangunan yang aktif

Persentase jalur pedestrian yang memiliki muka bangunan yang dapat dilihat melalui jendela transparan sebesar 50%

Jumlah muka bangunan yang dapat dilihat melalui jendela transparan

Muka bangunan yang permeabel

Jumlah jalan masuk per 100 m muka blok minimal 3-5 jalan

1. Panjang muka blok

2. Jumlah jalan masuk per 100 m muka blok

Peneduh dan

pelindung

Ketersediaan

peneduh/pelindung pada pedestrian sebesar 75%

Jumlah pejalan kaki yang memiliki peneduh/pelindung

Cycle Jalur sepeda Jalur sepeda yang aman

sebesar 100% dengan ketentuan berupa cycle track pada 30 km/jam dan berupa shared-street/ tergabung dengan pedestrian jika 15 km/jam

Jumlah jalur sepeda berupa cycle track dan yang tergabung dengan pedestrian

Parkir sepeda di sekitar stasiun

Ketersediaan rak sepeda pada jarak 10 m dari stasiun

Jumlah rak sepeda outdoor dengan jarak 100 m dari stasiun Parkir sepeda pada

bangunan

Jumlah parkir sepeda pada gedung dengan luas >500 m2 sebesar 25%

Jumlah gedung dengan luas >500 m2 yang memiliki parkir sepeda

Aksesibilitas menuju gedung

Regulasi terkait akses parkir sepeda dalam gedung

Kebijakan yang mengatur aksesibilitas pesepeda menuju gedung

Connect Blok-blok kecil Panjang blok minimal 130- 150 m

1. Jumlah blok antara 2 persimpangan 2. Panjang dari setiap blok

Prioritas aspek konektivitas

Rasio konektivitas persimpangan minimal 1-1,5

1. Letak dan jumlah persimpangan kendaraan bermotor 2. Letak dan jumlah persimpangan pedestrian

Transit Angkutan umum

dapat ditempuh dengan berjalan kaki

Jarak tempuh terjauh dari jalan masuk gedung menuju stasiun 500-1000 m

1. Jarak tempuh dari jalan masuk gedung menuju stasiun 2. Jarak antar titik transit

(5)

Variabel Sub Variabel Parameter Data yang dibutuhkan

Mix Tata guna lahan

campuran

Persentase guna lahan yang dominan maksimal 71%-80%

Jenis dan luas guna lahan pada blok Aksesibilitas menuju

sarana sekitar

Memiliki minimal 1 tipe sumber makanan segar pada radius 500-1000 m

Jumlah tipe pelayanan lokal pada radius 500-1000 m (sumber makanan segar, sarana pendidikan dan sarana kesehatan) Aksesibilitas menuju

ruang terbuka

Persentase ruang publik terbuka yang dapat diakses dengan berjalan kaki sebesar 80%

Letak ruang terbuka yang memiliki luas 300 m2

Perumahan terjangkau

Persentase ketersediaan perumahan terjangkau minimal 1%-9%

1. Jumlah unit perumahan

2. Jumlah unit perumahan terjangkau Preservasi

perumahan

Persentase perumahan yang dipertahankan dan direlokasi dalam radius 500 m sebesar 100%

Jumlah perumahan yang dipertahankan dan direlokasi

Preservasi

perdagangan dan jasa serta perkantoran

Persentase perdagangan &

jasa serta perkantoran yang dipertahankan dan direlokasi dalam radius 500 m sebesar 100%

Jumlah perdagangan & jasa serta perkantoran yang dipertahankan dan direlokasi

Densify Tingkat kepadatan hunian

Min. 140 unit rumah/ha 1. Jumlah bangunan hunian 2. Jumlah bangunan non permukiman Tingkat kepadatan

pekerja

200 pekerja/ha Jumlah pekerja

Tingkat KLB Min 2.0 Jumlah lantai bangunan

Tingkat KDB 60-80% Luas lahan bangunan

Compact Area perkotaan Persentase luas area

terbangun minimal 61%-70%

Luas area terbangun per blok Ketersediaan pilihan

angkutan umum

Ketersediaan jalur reguler BRT dan non BRT

Jalur/rute angkutan umum reguler (BRT dan non BRT) serta sistem bike share

Shift Parkir off-street Persentase luas area parkir off-street dengan total luas lahan maksimal sebesar 31%- 40%

1. Letak dan luas parkir off-street 2. Luas blok

Tingkat kepadatan akses kendaraan bermotor

Memiliki driveway sebesar 2 atau lebih per 100 m muka blok

Jumlah driveway yang memotong pedestrian per 100 m muka blok

Luas ruang jalan untuk kendaraan bermotor

Persentase pebanding luas jalur lalu lintas dengan luas parkir on-street maksimal sebesar 16%-20%

1. Luas badan jalan

2. Letak dan luas parkir on-street

Metode Pengukuran Prinsip Walk

Metrik jalur jalan kaki diukur dengan menghitung total jalur pejalan kaki yang ramah bagi pengguna difabel dan terdapat penerangan untuk keamanan dan keselamatan dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑝𝑒𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑚𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑓𝑎𝑏𝑒𝑙

∑ 𝑝𝑒𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑒𝑘𝑠𝑖𝑠𝑡𝑖𝑛𝑔

Metrik penyebrangan pejalan kaki diukur dengan menghitung total persimpangan yang membutuhkan fasilitas jalur penyebrangan pejalan kaki dan menghitung total persimpangan yang memiliki fasilitas penyebrangan pejalan kaki sesuai klasifikasi dengan perhitungan sebagai berikut:.

% = ∑ 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛

𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑚𝑝. 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑒𝑘𝑠𝑖𝑠𝑡𝑖𝑛𝑔

Metrik muka bangunan yang aktif diukur dengan menghitung jumlah pedestrian yang

memiliki kualifikasi sebagai muka bangunan yang aktif dengan kriteria (1) muka bangunan dari lantai dasar hingga 2,5 meter di atas permukaan tanah dapat ditembus secara visual melalui jendela transparan dan (2) pintu masuk garasi dan jalur masuk khusus kendaraan tidak termasuk bangunan muka aktif dengan perhitungan sebagai berikut.

= ∑ 𝑝𝑒𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑚𝑢𝑘𝑎 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓

∑ 𝑝𝑒𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑒𝑘𝑠𝑖𝑠𝑡𝑖𝑛𝑔

Metrik muka bangunan yang permeabel diukur dengan menghitung panjang muka blok (pintu masuk etalase toko, testoran, kafe) dan dibagi 100 m dan menghitung jalan masuk pada bagian jalan pedestrian dengan perhitungan sebagai berikut.

𝑛 = ∑ 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑏𝑎𝑔. 𝑝𝑒𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑛 100 𝑚 𝑚𝑢𝑘𝑎 𝑏𝑙𝑜𝑘

Metrik peneduh dan pelindung diukur dengan menghitung perbandingan antara jalur

(6)

pejalan kaki yang memiliki peneduh/pelindung dengan total jalur pejalan kaki untuk mendapatkan persentase dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑝𝑒𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑙𝑖𝑛𝑑𝑢𝑛𝑔/𝑝𝑒𝑛𝑒𝑑𝑢ℎ

∑ 𝑝𝑒𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑒𝑘𝑠𝑖𝑠𝑡𝑖𝑛𝑔

Metode Pengukuran Prinsip Cycle

Metrik jalur sepeda diukur dengan mengidentifikasi jalur sepeda yang sesuai dengan kualifikasi berupa cycle track apabila kecepatan jalan 30 km/jam dan tergabung pada pedestrian apabila kecepatan 15 km/jam. Metrik parkir sepeda diukur dengan mengidentifikasi ketersediaan fasilitas parkir sepeda berupa rak outdoor dan berada di jarak 100 m dari pintu masuk stasiun.

Metrik parkir sepeda pada bangunan diukur dengan menghitung jumlah gedung yang memiliki luas lebih dari 500 m2 dan menghitung gedung yang menyediakan tempat parkir sepeda dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑔𝑒𝑑𝑢𝑛𝑔 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑝𝑎𝑟𝑘𝑖𝑟 𝑠𝑒𝑝𝑒𝑑𝑎

∑ 𝑔𝑒𝑑𝑢𝑛𝑔 > 500𝑚2

Metrik aksesibilitas menuju gedung diukur dengan meninjau peraturan yang mengatur tentang parkir sepeda di bangunan.

Metode Pengukuran Prinsip Connect

Metrik blok-blok kecil diukur dengan nenghitung jumlah blok yang dihitung dari muka bangunan dari sudut ke sudut antara dua persimpangan dan mengukur panjang dari setiap blok. Sedangkan, metrik prioritas aspek konektivitas diukur dengan mengidentifikasi persimpangan kendaraan bermotor dan persimpangan pedestrian, dimana dihitung 1 persimpangan apabila empat arah, 0,75 apabila tiga arah/ T dan 1,25 apabila lima arah dengan perhitungan sebagai berikut.

𝑛 = ∑ 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑚𝑝. 𝑝𝑒𝑑𝑒𝑠𝑡𝑟𝑖𝑎𝑛

∑ 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑖𝑚𝑝. 𝑘𝑒𝑛𝑑𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑚𝑜𝑡𝑜𝑟

Metode Pengukuran Prinsip Transit

Metrik angkutan umum dapat ditempuh dengan berjalan kaki diukur dengan menghitung jarak tempuh terjauh dari jalan masuk gedung menuju stasiun terdekat.

Metode Pengukuran Prinsip Mix

Metrik tata guna lahan campuran diukur dengan mengidentifikasi zona berdasarkan sampel blok dan menghitung presentase penggunaan lahan dominan tiap sampel dengan pehitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑔𝑢𝑛𝑎 𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛

∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑙𝑜𝑘

Metrik aksesibilitas menuju sarana sekitar diukur dengan memetakan dan menandakan sumber makanan segar (pasar/toko), sarana pendidikan dan sarana kesehatan yang berada dalam radius 500 m - 1000 m. Sedangkan metrik aksesibilitas menuju ruang terbuka diukur dengan mempresentasikan jumlah ruang publik dengan luas 300 m2 yang dapat diakses dengan berjalan kaki melalui jalan utama gedung dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑟𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘𝑎 𝑟𝑎𝑚𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑘𝑖

∑ 𝑟𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑢𝑘𝑎 ≥ 300 𝑚2

Metode Pengukuran Prinsip Densify

Metrik tingkat kepadatan hunian diukur dengan menghitung perbandingan antara total luas lantai seluruh bangunan permukiman dengan luas area lahan dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑢𝑘𝑖𝑚𝑎𝑛

∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑙𝑜𝑘

Metrik kepadatan pekerja diukur dengan menghitung jumlah pekerja per blok. Sedangkan metrik KLB diukur dengan menghitung perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai bangunan gedung terhadap luas kavling dengan perhitungan sebagai berikut.

𝑛 = ∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑎𝑛𝑡𝑎𝑖 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛

∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑘𝑎𝑣𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛

Metrik KDB dihitung dengan menghitung perbandingan antara seluruh luas lantai dasar bangunan gedung dengan luas blok dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑎𝑛𝑡𝑎𝑖 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛

∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑘𝑎𝑣𝑙𝑖𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛

Metode Pengukuran Prinsip Compact

Metrik area perkotaan diukur dengan mengitung luas total kawasan TOD dan

(7)

menghitung total area lahan terbangun dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛

∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑘𝑎𝑤𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑇𝑂𝐷

Metrik ketersediaan pilihan angkutan umum diukur dengan mengidentifikasi jalur atau rute angkutan umum reguler dan jalur tambahan serta sistem bike share.

Metode Pengukuran Prinsip Shift

Metrik parkir off-street diukur dengan membandingkan luas area parkir off-street dengan total luas lahan dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑎𝑟𝑘𝑖𝑟 𝑜𝑓𝑓 𝑠𝑡𝑟𝑒𝑒𝑡

∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑙𝑜𝑘

Metrik tingkat kepadatan akses kendaraan bermotor diukur dengan menghitung total driveway yang memotong pedestrian per 100 m muka blok. Sedangkan metrik luas ruang jalan untuk kendaraan bermotor diukur dengan menghitung total luas jalur lalu lintas (tidak termasuk ruang persimpangan) dan total area parkir on-street dengan perhitungan sebagai berikut.

% = ∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑎𝑟𝑘𝑖𝑟 𝑜𝑛 𝑠𝑡𝑟𝑒𝑒𝑡

∑ 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan Dukuh Atas terdiri atas 3 (tiga) kecamatan, yaitu Kecamatan Tanah Abang, Kecamatan Menteng dan Kecamatan Kuningan serta 4 (empat) kelurahan, yaitu Kelurahan Kebon Melati, Kelurahan Karet Tengsin, Kelurahan Menteng, dan Kelurahan Kuningan dengan luas wilayah perencanaan Kawasan Dukuh Atas adalah 133,41 ha.

Gambar 5. Peta Orientasi Kawasan Dukuh Atas Kawasan Dukuh Atas memiliki 2 area stasiun, yaitu area stasiun utama dan area stasiun pendukung. Area stasiun utama yang merupakan

(8)

transit core pada blok 2, 4 dan 5 yang memiliki radius 0 – 400 meter terdiri dari Stasiun MRT, Stasiun Sudirman dan Stasiun LRT. Sedangkan, area stasiun pendukung berupa Stasiun Karet yang mengakomodir transit neighbourhood pada blok 1, 2 dan 5 serta transit-supportive area pada blok 1. Selain Stasiun Karet, area pendukung pada radius 800 – 1600 meter dapat mengakses moda Transjakarta BRT dan Transjakarta non BRT.

Gambar 6. Peta Jaringan Transportasi Kawasan Dukuh Atas

Identifikasi Karakteristik Kawasan TOD Dukuh Atas

Karakteristik kawasan TOD dapat diidentifikasi melalui delapan prinsip TOD yang terangkum pada pembahasan ini, diantaranya prinsip walk, cycle, connect, transit, mix, densify, compact dan shift.

Pada prinsip walk, seluruh jalan yang dilewati oleh penghuni dan pekerja yang berada dan menuju ke titik transit dan guna lahan sekitar telah dilengkapi oleh jalur pejalan kaki, namun tidak disertai dengan tactile dan peneduh, sehingga belum dikategorikan sebagai jalur pejalan kaki yang nyaman dan aman. Meskipun terlah dilengkapi dengan JPK, namun belum dilengkapi dengan penyebrangan pejalan kaki di tiap persimpangan. Selain itu, bangunan dengan 2/3 bangunan yang dapat terlihat melalui jendela transparan hanya terdapat di blok 2 dan blok 4 dan rata-rata jalan masuk ke jalur pejalan kaki yaitu <

1 per 100 meter. Dapat disimpulkan bahwa jalur pejalan kaki hanya tersedia, namun belum memenuhi kategori nyaman, aman dan menarik serta belum memprioritaskan alternatif bagi pejalan kaki (Lihat Tabel 2.)

Pada prinsip cycle, jalur sepeda hanya tersedia di blok 4, tepatnya di Jl. Imam Bonjol berupa cycle lane dan shared-street pada jalan di

sekitar Stasiun Sudirman, namun belum dilengkapi dengan parkir sepeda. Sedangkan blok 2 sebaliknya, dilengkapi dengan parkir sepeda di sekitar Stasiun Sudirman namun tidak tersedia jalur sepeda. Terdapat permasalahan pada desain parkir sepeda, dimana ditemukan adanya kasus pencurian meskipun menggunakan kunci ganda, sehingga dibutuhkan adanya perencanaan parkir sepeda yang terproteksi. Adapun pesepeda masih bertujuan untuk berolahraga dan belum mengakomodir pengguna yang akan beralih dari moda transportasi lain ke sepeda (Lihat Tabel 3.)

Pada prinsip connect, rata-rata panjang muka blok di area permukiman, baik pada zona transit core maupun zona transit neighbourhood sudah memenuhi, yaitu 80 – 100 meter, sedangkan pada transit supportive area belum memenuhi dengan rata-rata 269,01 meter. Sedangkan, pada area non permukiman, panjang rata-rata muka blok belum memenuhi, yaitu 246,35 – 265,12 meter. Jika dilihat dari karakteristik persimpangan, maka rasio konektivitas jalur pejalan kaki sudah lebih tinggi daripada konektivitas kendaraan, namun lebih dari 50%

persimpangan di tiap blok belum dilengkapi oleh penyebrangan pejalan kaki, baik berupa rambu, zebra cross maupun JPO (Lihat Tabel 4.)

Gambar 7. Peta Konektivitas Kawasan Dukuh Atas

Pada prinsip transit, berdasarkan metrik

“Angkutan umum dapat ditempuh dengan berjalan kaki”, didapatkan bahwa seluruh blok di kawasan Dukuh Atas pada radius 350-500m, transit angkutan umum berupa halte bus BRT, bus stop non-BRT, stasiun commuter line dan stasiun MRT dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Rata-rata jarak antar titik transit yaitu 100-150m (Lihat Tabel 5.).

Pada prinsip mix, dominasi guna lahan antara 24,95% hingga 48,67%, dimana pada guna lahan ruang terbuka hijau (RTH) dan 3 tipe pelayanan lokal (sumber makanan segar, sarana

(9)

pendidikan dan sarana kesehatan) dapat dijangkau dalam radius 500 – 1000 meter melalui jalur pejalan kaki yang telah dilengkapi dengan tactile dan/atau peneduh. Namun, pencampuran guna lahan ini belum mendukung untuk memperpendek jarak berjalan kaki dari tempat tinggal ke tempat kerja karena belum tersedia hunian vertikal terjangkau (Lihat Tabel 6.)

Pada prinsip densify, kepadatan permukiman tertinggi berada pada blok 2 dan 4, namun tingkat KLB hanya berkisar 0,8 – 1,2 atau memiliki ketinggian sebesar 1 – 3 lantai. Hal ini dikarenakan pada blok 2 dan blok 4 diatur dalam RDTR termasuk ke dalam Kawasan Cagar Budaya Menteng berupa perkampungan Dukuh Atas, dimana area ini memiliki pembatasan pada kepadatan dan ketinggian bangunan meskipun secara ideal konsep TOD mengusungkan variasi kepadatan dan intensitas bangunan dengan kepadatan dan intensitas tersebut lebih tinggi pada pusat kawasan. Sehingga, dalam pengembangannya area perkampungan di blok 2 dan blok 4 bukan termasuk prioritas arahan peningkatan KLB dan KDB. Adapun, kepadatan

non permukiman di blok 2 dan 5 merupakan kepadatan tertinggi dan memiliki tingkat KLB lebih dari 5 atau sekitar 3,0 – 15,4 (Lihat Tabel 7.).

Pada prinsip compact, area terbangun di blok 1, 2, 4 dan 5 telah mencapai 70% serta blok 3 hanya sebesar 50% dikarenakan luas RTH yang mencapai 48%. Adapun area terbangun ini memiliki jaringan transportasi yang baik, dimana penumpang atau penduduk sekitar dapat memilih 6 moda transportasi massal yang tersedia. Dapat disimpulkan bahwa kawasan telah mendukung pembangunan, namun masih perlu mengintegrasikan antara pejalan kaki dan orientasi terhadap stasiun transit (Lihat Tabel 8.)

Pada prinsip shift, ketersediaan parkir off- street dan on-street belum memenuhi penumpang yang ingin beralih moda, dimana dalam perencanaannya luas parkir tersebut maksimal mencapai 10% dari total luas blok untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong masyarakat untuk beralih ke angkutan umum (Lihat Tabel 9.)

Tabel 2. Karakteristik Prinsip Walk

Blok

Metrik Jalur pejalan kaki Penyebrangan

pejalan kaki

Muka bangunan yang aktif

Muka bangunan yang

permeabel Peneduh dan pelindung

1 0 dari 5 JPK dilengkapi tactile

1 dari 2 persimpangan dilengkapi PPK

0 dari 5 JPK dilengkapi muka bangunan aktif

1 jalan masuk ke JPK per 129 m

4 dari 5 JPK dilengkapi peneduh

2 5 dari 10 JPK dilengkapi tactile

5 dari 11 persimpangan dilengkapi PPK

3 dari 10 JPK dilengkapi muka bangunan aktif

Tidak memiliki jalan masuk ke JPK

6 dari 10 JPK dilengkapi peneduh

3 4 dari 8 JPK dilengkapi tactile

7 dari 8 persimpangan dilengkapi PPK

0 dari 8 JPK dilengkapi muka bangunan aktif

Tidak memiliki jalan masuk ke JPK

8 dari 8 JPK dilengkapi peneduh

4 9 dari 10 JPK dilengkapi tactile

4 dari 15 persimpangan dilengkapi PPK

1 dari 10 JPK dilengkapi muka bangunan aktif

1 jalan masuk ke JPK per 639 m

9 dari 10 JPK dilengkapi peneduh

5 3 dari 6 JPK dilengkapi tactile

4 dari 6 persimpangan dilengkapi PPK

0 dari 6 JPK dilengkapi muka bangunan aktif

Tidak memiliki jalan masuk ke JPK

2 dari 6 JPK dilengkapi peneduh

Tabel 3. Karakteristik Prinsip Cycle

Blok

Metrik Jalur sepeda Parkir sepeda di sekitar

stasiun

Parkir sepeda pada bangunan

Aksesibilitas menuju gedung 1 Tidak ada jalur sepeda Tidak ada parkir sepeda di

sekitar St. Karet

Tidak ada parkir sepeda pada bangunan

Aksesibilitas sepeda menuju gedung diatur dalam Pergub DKI Jakarta No. 67 Tahun 2019

2 Jalur sepeda berupa cycle

lane Parkir sepeda di sekitar St. MRT

3 Tidak ada jalur sepeda -

4 Tidak ada jalur sepeda Tidak ada parkir sepeda di sekitar St. Sudirman

5 Tidak ada jalur sepeda -

Tabel 4. Identifikasi Prinsip Connect

Blok Metrik

Blok-blok kecil Prioritas aspek konektivitas

1 Panjang rata-rata muka blok 256,15 m Rasio persimpangan kendaraan bermotor dan pedestrian adalah 1,5 : 1,5

(10)

Blok Metrik

Blok-blok kecil Prioritas aspek konektivitas

2 Panjang rata-rata muka blok 147,54 m Rasio persimpangan kendaraan bermotor dan pedestrian adalah 8,25 : 8,25 3 Panjang rata-rata muka blok 234,82 m Rasio persimpangan kendaraan bermotor dan pedestrian adalah 7,5 : 7,25 4 Panjang rata-rata muka blok 166,88 m Rasio persimpangan kendaraan bermotor dan pedestrian adalah 5 : 11 5 Panjang rata-rata muka blok 187,34 m Rasio persimpangan kendaraan bermotor dan pedestrian adalah 4,75 : 3,75

Tabel 5. Karakteristik Prinsip Transit

Blok Metrik

Angkutan umum dapat ditempuh dengan berjalan kaki 1

Dalam radius 350-500m, titik transit Stasiun Karet, Bus Stop Kebon Kacang, Bus Stop Daarul Aitam, Bus Stop KPP Pratama Tanah Abang, Bus Stop Stasiun Karet dan Halte Awaluddin dapat mengakses gedung-gedung seperti Shangri-La Residence di blok 5, Thamrin City dan Thamrin Residence di blok 1 serta perumahan R-4 di blok 1.

2

Dalam radius 350-500m, titik transit Stasiun MRT Dukuh Atas BNI City, Hlate Blok M - Dukuh Atas, Halte Tosari ICBC dan Halte Tosari 2 dapat mengakses gedung-gedung seperti Thamrin Nine dan Grand Indonesia, BNI Life Tower dan The Landmark Center di blok 5, serta perumahan R-2, R-3 di blok 4 dan R-2 di blok 2.

3 Tidak terdapat titik transit di blok ini, namun dapat diakses dengan berjalan kaki melalui Halte Bus Imam Bonjol dan Halte BDD Imam Bonjol yang terletak di blok 4.

4

Dalam radius 350-500m, titik transit Halte Latu Harhari, Halte Tosari 3, Bus Stop Blora, Halte Bus Imam Bonjol, Halte BDD Imam Bonjol dan Stasiun Sudirman dapat mengakses gedung-gedung seperti Thamrin Nine dan Grand Indonesia di blok 2, Deutsche Bank dan Hotel Mandarin Oriental di blok 3, LEA Preschool di blok 4, BNI Life tower dan The Landmark Center di blok 5, serta perumahan R-2 di blok 2, R-2 dan R-3 di blok 4.

5

Dalam radius 350-500m, titik transit Halte Dukuh Atas 2, Halte Dukuh Atas 4, Halte LSPR dan Bus Stop Karet Pasar Baru Timur 1 dapat mengakses gedung-gedung seperti BNI Life Tower, The Landmark Center, Wisma 46, Shangri-La Residence dan PT.

Indoturbine di blok 5 serta perumahan R-3 di blok 4.

Tabel 6. Karakteristik Prinsip Mix

Blok

Metrik Tata guna

lahan campuran

Aksesibilitas menuju sarana sekitar

Aksesibilitas menuju ruang

terbuka

Perumahan terjangkau

Preservasi perumahan

Preservasi perdagangan &

jasa serta perkantoran

1

Dominasi jaringan jalan sebesar 24,95%

Terdapat 3 tipe pelayanan lokal, yaitu sumber makanan segar, sarana pendidikan dan kesehatan

Tidak terdapat ruang terbuka

sebesar 350 m2+ Perumahan MBR belum tersedia, hanya terdapat apartemen yang belum terjangkau di blok 1, 2 dan 5.

100% rumah dipertahankan dan tidak ada yang direlokasi

100% perdagangan

& jasa dan perkantoran dipertahankan dan tidak ada yang direlokasi 2

Dominasi permukiman sebesar 34,15%

Terdapat 2 tipe pelayanan lokal, yaitu sumber makanan segar dan sarana pendidikan

3 Dominasi RTH sebesar 48,70%

Tidak terdapat pelayanan lokal, namun dapat dijangkau dari blok 2 dan 4

4

Dominasi permukiman sebesar 30,02%

Terdapat 3 tipe pelayanan lokal, yaitu sumber makanan segar, sarana pendidikan dan kesehatan

Terdapat Taman Lawang, Taman Kudu dan Taman Vioduct

Latuharhari

5 Dominasi RTH sebesar 54,38%

Terdapat 3 tipe pelayanan lokal, yaitu sumber makanan segar, sarana pendidikan dan kesehatan

Terdapat Taman Dukuh Atas

Tabel 7. Karakteristik Prinsip Densify

Blok Metrik

Tingkat kepadatan hunian Tingkat kepadatan pekerja Tingkat KLB Tingkat KDB

1 396 unit rumah/ha 1.696 pekerja/ha

Permukiman:

0,8 – 25,7 Non-Permukiman:

0,5 – 20,7

Permukiman:

78%

Non-Permukiman:

61 – 70%

2 69 unit rumah/ha 1.738 pekerja/ha

Permukiman:

0,6 – 5,7

Non-Permukiman:

0,5 – 3,0

Permukiman:

69 – 79%

Non-Permukiman:

38 – 59%

3 - 6.612 pekerja/ha Non-Permukiman:

3,6 – 9,4

Non-Permukiman:

34 – 39%

4 111 unit rumah/ha 1.071 pekerja/ha

Permukiman:

1,0 – 1,2

Non-Permukiman:

1,4 – 3,9

Permukiman:

64 – 70%

Non-Permukiman:

61 – 67%

(11)

5 27 unit rumah/ha 1.718 pekerja/ha

Permukiman:

9,6

Non-Permukiman:

0,7 – 15,4

Permukiman:

21%

Non-Permukiman:

45 – 58%

Tabel 8. Karakteristik Prinsip Compact

Blok Metrik

Area Perkotaan Ketersediaan pilihan angkutan umum

1 Luas area terbangun 21,54 ha dari luas blok 27,97 ha

Memiliki 2 jalur angkutan umum reguler (non BRT) dan satu jalur reguler berkapasitas tinggi (KRL) namun tidak tersedia sistem bike share

2 Luas area terbangun 29,33 ha dari luas blok 38,33 ha

Memiliki 3 jalur angkutan umum reguler (non BRT) dan 6 jalur reguler berkapasitas tinggi (BRT dan MRT) serta tersedia sistem bike share

3 Luas area terbangun 6,28 ha dari luas blok 12,24 ha

Memiliki satu jalur angkutan umum reguler (non BRT) dan satu jalur reguler berkapasitas tinggi (MRT) namun tidak tersedia sistem bike share

4 Luas area terbangun 21,87 ha dari luas blok 72,31 ha

Memiliki 7 jalur angkutan umum reguler (non BRT) dan 2 jalur reguler berkapasitas tinggi (KRL dan MRT) serta tersedia sistem bike share

5 Luas area terbangun 17,51 ha dari luas blok 71,13 ha

Memiliki 1 jalur angkutan umu reguler (non BRT) dan 2 jalur reguler berkapasitas tinggi (BRT) serta tersedia sistem bike share

Tabel 9. Karakteristik Prinsip Shift

Blok

Metrik Parkir off-street Tingkat kepadatan akses kendaraan

bermotor Parkir on-street

1

Tidak terdapat parkir off-street

Memiliki rata-rata 1 driveway per 210

m Tidak terdapat parkir on-street

2 Memiliki rata-rata 1 driveway per 136

m

Luas parkir on-street sebesar 769,12 m2 dari luas badan jalan 35.280 m2 di Jl. Baturaja dan Jl. Kebon Kacang Raya

3 Memiliki rata-rata 1 driveway per 228

m

Luas parkir on-street sebesar 867,6 m2 dari luas badan jalan 9.953 m2 di Jl. Imam Bonjol dan Jl. Kebon Kacang Raya 4

Luas parkir off-street sebesar 3,66% dari luas blok sebesar 30,25 ha

Memiliki rata-rata 1 driveway per 400 m

Luas parkir on-street sebesar 826,93 m2 dari luas badan jalan 64.502 m2 di Jl. Blora, Jl. Sumenep dan Jl. Taman Lawang

5 Tidak terdapat parkir off-street

Memiliki rata-rata 1 driveway per 163

m Tidak terdapat parkir on-street

Gambar 8. Peta Nodes dan Simpul Transportasi Kawasan TOD Dukuh Atas

(12)

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kawasan Dukuh Atas 90% jaringan jalan telah dilengkapi dengan jalur pejalan kaki, pembangunan yang kompak dengan area pembangunan sebesar 70% dari luas blok dan pencampuran guna lahan yang terdiri dari 5 jenis guna lahan—permukiman, perdagangan dan jasa, fasilitas umum, perkantoran dan pemerintah—

serta enam moda transportasi dan titik transit yang bisa dijangkau dengan jarak berjalan kaki terjauh 500 meter. Namun terdapat permasalahan, dimana jalur pejalan kaki hanya tersedia dan tidak memenuhi kategori aman, nyaman dan menarik, sedangkan pada jalur dan parkir sepeda masih belum memadai yang artinya kawasan belum mendorong masyarakat untuk mengendarai sepeda pada jarak tertentu. Selain itu, pola jaringan jalan masih belum mendukung untuk memperpendek rute berjalan kaki dan bersepeda, dimana rata-rata panjang muka blok > 200 - 250 meter. Permasalahan lainnya yaitu ketersediaan parkir untuk pengguna kendaraan pribadi yang ingin beralih menggunakan transportasi publik masih belum memadai. Karakteristik ini menggambarkan bahwa antara komponen

“transit” dan “development” belum terintegrasi dan kawasan masih belum terkoneksi. Secara ideal, TOD mengintegrasikan antara “transit” dan

“development”, namun dalam konektivitas yang mengintegrasikan keduanya belum tercapai pada Kawasan Dukuh Atas, dimana antara blok 2 dan 5, antar blok 5 dan antara blok 4 dan 5 masih terpisah meskipun termasuk ke dalam premium transit station atau stasiun transit berada dalam satu titik transit. Selain masih terpisah, pembangunan pada area premium transit station masih belum berupa hunian vertikal yang terjangkau, dimana untuk dapat diklasifikasikan sebagai kawasan TOD, diperlukan adanya penyediaan hunian vertikal minimal 20% dari luas kawasan perencanaan.

Berdasarkan identifikasi karakteristik, diperlukan adanya kajian lebih lanjut mengenai evaluasi tingkat kesesuaian Kawasan Dukuh Atas berdasarkan konsep TOD untuk menemukan gap pada komponen-komponen yang belum sesuai.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, dalam hal ini, penulis mengucapkan syukur dan terima kasih kepada dosen pembimbing, dosen penguji dan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya dalam memfasilitasi

lingkungan penelitian. Tak lupa, kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu dalam penyediaan data untuk mendukung proses penelitian ini.

daftar PUSTAKA

Arif, Nur, F., & Manullang, O. R. (2017).

Kesesuaian Tata Guna Lahan Terhadap Penerapan Konsep Transit Oriented Development (TOD) di Kota Semarang.

Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota:

13 (3), 301-3011.

Cervero, R. (2004). Transit-Oriented Development in the United States:

Experiences, Challenges and Prospects.

Transportation Research Board of the National Academics.

Dewi, A. A., Soedwiwahjono, & Nurhadi, K.

(2020). Kesiapan Aksesibilitas Jalur Pedestrian Kawasan Transit Terminal Tirtonadi, Kota Surakarta Berdasarkan Konsep Transit Oriented Development (TOD). Desa-Kota: 2 (1), 31-44.

Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta.

(2019). Pendataan Volume Lalu Lintas di Provinsi DKI Jakarta. Jakarta.

Dorina P. D. S. (2015). Sustainable Urban Transport in the Developing World:

Beyond Megacities. MDPI Sustainability, 1-3.

Evans, J., & Pratt, R. (2007). Transit Oriented Development, Transit Cooperative Research Program (TCRP) Report 95:

Traveler Response to Transportation System Changes Handbook, 3 ed. Transport Research Board of the National Academies Vol. 17 No. 11, 138.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2012).

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 11 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2010-2030.

Jakarta.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2014).

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan PZ.

Jakarta.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2018).

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2018 tentang RPJMD DKI Jakarta 2018-2022. Jakarta.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2019).

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 67 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kawasan Berorientasi Transit. Jakarta.

(13)

IBI Group & World Resources Institute (WRI) India. (2021). Transit - Oriented Development Implementation Resources &

Tools : 2nd ed. New York: The World Bank.

ITDP. (2017). TOD Standard, 3rd ed. New York:

Institute For Transportation and Development Policy.

L. Feudo, F. (2014). How to build an alternative to sprawl and auto-centric development model through a TOD scenario fot the North-Pas- de-Calais region? Lessons from an integrated transportation-land use modelling. Transportation Research Procedia (4), 154-177.

Mustofa, Widyawati, K., & Yuliasari, I. (2019).

Perancangan Stasiun Tanah Abang dengan Metode Transit Oriented Development (TOD). LAKAR Jurnal Arsitektur: 2 (2), 85- 92.

Menteri ATR/BPN Republik Indonesia. (2017).

Peraturan Menteri ATR/BPN No. 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. Jakarta.

Pardosi, T., Hartanto, W., & Ritonga, H. (2018).

Statistik Transportasi DKI Jakarta 2018.

Jakarta: BPS DKI Jakarta.

Priadmaja, A. P., Anisa, & Prayogi, L. (2017).

Penerapan Konsep Transit Oriednted Development (TOD) Pada Penataan Kawasan di Kota Tangerang. Jurnal Arsitektur PARWARUPA: 1 (2), 53-60.

Prima, T. S., & Prayogi, L. (2020). Kajian Perilaku Pejalan Kaki pada Kawasan Transit Oriented Development (TOD). JAZ - Jurnal Arsitektur Zonasi: 3 (1), 1-10.

Provinsi DKI Jakarta Dalam Angka 2019. (2019).

Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta.

PT MRT Jakarta. (2019). Kawasan Berorientasi Transit (TOD). Retrieved from https://jakartamrt.co.id/id/kawasan-

berorientasi-transit-tod

Renne, J. L. (2009). From transit-adjacent to transit-oriented development. Local Environment: The International Journal of Justice and Sustainability 14 (1), 1-15.

Ridhoni, M., & Ridhani, M. Y. (2017). Evaluasi Keberlanjutan Terminal Berbasis Transit Oriented Development (TOD), Studi Kasus di Terminal Pal Enam Kota Banjarmasin.

Indonesia Green Technology Journal, 6-13.

Singh, Y. J., Fard, P., Zuidgeest, Brussel, M., &

Van Maarseven, M. (2014). Measuring transit oriented development: A spatial multi criteria assessment approach for the City Region Arnhem and Nijmegen.

Journal of Transport Geography: 35, 130- 143.

Singh, Y., Lukmana, A., Flacke, J., Zuidgeest, M.,

& Van Maarseveen, M. (2017). Measuring TOD around transit nodes - Towards TOD policy. Transport Policy: 56, 96-111.

TCPRC (Treasure Coast Regional Planning Council). (2012). Florida TOD Guidebook.

Tallahassee: Florida Department of Transportation.

Transit Cooperative Research Program (TCRP).

(2002). Estimating the Benefits and Costs of Public Transit Projects: A Guidebook for Practitioners. Washington D.C.: National Academy Press.

Wibawa, B. A. (2015). Tata Guna Lahan dan Transportasi dalam Pembangunan Berkelanjutan.

Widyakusuma, A. (2019). Inovasi Manajemen TOD (Transit Oriented Development) untuk Bandara dengan Mengambil Studi Kasus: Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno Hatta. Jurnal KaLIBRASI (Karya Lintas Ilmu Bidan Rekayasa Arsitektur, Sipil dan Industri): 2, 32-55.

Zhang, Y., Soang, R., van Nes, R., He, S., & Yin, W. (2019). Identifying Urban Structure Based on Transit-Oriented Development.

Sustainability: 11 (24), 7241.

(14)

Gambar

Gambar 1. Kerangka Integrasi Guna Lahan dan Transportasi
Tabel 1. Variabel Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan Prinsip TOD
Gambar 5. Peta Orientasi Kawasan Dukuh Atas  Kawasan  Dukuh  Atas  memiliki  2  area  stasiun, yaitu area stasiun utama dan area stasiun  pendukung
Gambar 7. Peta Konektivitas Kawasan Dukuh  Atas
+3

Referensi

Dokumen terkait

WILLINGNESS TO PAY PENGGUNA ANGKUTAN UMUM UNTUK PELAYANAN BUS RAPID TRANSIT (BRT) KORIDOR I DI KOTA SURAKARTA:.. APLIKASI METODE

BRT ( Bus Rapid Transit ) merupakan alat angkutan umum yang disediakan oleh Pemerintah Kota Semarang guna mengurangi kemacetan. Pemerintah Kota Semarang menunjuk DISHUBKOMINFO

Berdasarkan RTRW DKI Jakarta 2010- 2030 diarahkan sebagai kawasan Transit Oriented Development (TOD) untuk skala pelayan regional. Namun penerapan konsep TOD di kawasan

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa Kawasan Dukuh Atas masih memerlukan pengembangan penataan ruang berorientasi transit yang sesuai dengan 8 prinsip-prinsip TOD yang

Kawasan Dukuh Atas merupakan kawasan yang secara historis dikenal sebagai kawasan pusat hiburan malam. Segmentasi pertama adalah kelas menengah ke atas yang

Tujuan dari penyelenggaraan Sayembara Gagasan Desain Transport Hub di Kawasan Berorientasi Transit / Transit Oriented Developemnt (TOD) Dukuh Atas adalah untuk mendapatkan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui berapa besar pengguna angkutan umum bus rapid transit BRT trans Bandar Lampung dan Loading Profile dengan trayek Rajabasa – Sukaraja perlu

Faktor-faktor yang menyebabkan TOD di kawasan ini belum optimal meliputi kurangnya infrastruktur pejalan kaki dan bersepeda, konektivitas yang terbatas, jarak halte angkutan umum yang