1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi penjelasan tentang latar belakang dilakukannya penelitian terkait isu diversifikasi korporasi dan biaya modal, dan alasan pentingnya penelitian tersebut khususnya dalam konteks Indonesia. Selain itu, bab ini juga memaparkan rumusan masalah, tujuan, dan kontribusi yang ingin dihasilkan dari penelitian ini.
1.1 Latar Belakang
Pada berbagai penelitian sebelumnya disebutkan bahwa konsep diversifikasi korporasi muncul pertama kali pada tahun 1950-an di Eropa dan Amerika yang kemudian berkembang pesat pada tahun 1960-an dengan adanya gelombang merger. Namun sebenarnya strategi ini merupakan konsekuensi logis dari konsep transaction costs economics yang dimunculkan oleh Coase (1937) dan kemudian dikembangkan oleh Williamson (1975) dalam konsep integrasi vertikal. Di dalam konsep tersebut Coase (1937) menjelaskan bahwa ada biaya yang cukup tinggi yang harus ditanggung perusahaan ketika melakukan transaksi dengan pihak eksternal akibat ketidakpastian pasar, sehingga pilihan untuk melakukan transaksi dengan pihak internal menjadi alternatif yang lebih murah.
Selain ketidakpastian pasar, terjadinya kegagalan pasar (market failure) juga
menyebabkan transaksi dengan pihak internal menjadi lebih efisien. Konsep
kegagalan pasar yang dikemukakan oleh Penrose (1959) dan Teece (1982)
menjelaskan bahwa ketidakmampuan pasar dalam menyediakan sumber daya
yang dibutuhkan perusahaan akan mendorong perusahaan untuk melakukan
2
strategi diversifikasi agar dapat memanfaatkan kelebihan kapasitas faktor produksi yang dimiliki. Kecenderungan untuk terus memperbesar ukuran perusahaan melalui kegiatan integrasi vertikal dan horizontal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah diversifikasi yang diharapkan akan menghasilkan sinergi dalam kegiatan operasional perusahaan.
Isu terkait diversifikasi usaha sudah banyak diteliti, diawali oleh Wernerfelt dan Montgomery pada tahun 1988. Namun hingga saat ini berbagai kajian dan pendapat masih banyak yang memperdebatkan apakah diversifikasi usaha membawa manfaat atau biaya bagi perusahaan. Oweis (2012) mengklasifikasikan penelitian tentang diversifikasi usaha ke dalam 4 gelombang. Gelombang pertama dimulai sejak akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an menemukan bahwa diversifikasi menurunkan nilai perusahaan. Hal ini didukung oleh temuan Wernerfelt dan Montgomery (1988), Lang dan Stulz (1994), dan Berger dan Ofek (1995) yang menunjukkan bahwa perusahaan tidak terdiversifikasi memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan perusahaan terdiversifikasi.
Gelombang kedua menjelaskan pengaruh negatif diversifikasi usaha
terhadap nilai perusahaan dengan dua teori utama, yaitu teori keagenan dan pasar
pendanaan internal yang diantaranya diteliti oleh May (1995), Denis, Denis, dan
Sarin (1997), dan Scharfstein (1999). Berdasarkan perspektif keagenan
sebagaimana dijelaskan oleh Scharfstein (1999), pengaruh negatif diversifikasi
usaha terhadap nilai perusahaan disebabkan oleh perilaku rent-seeking dari para
manajer. Tujuan utama dari keputusan diversifikasi bagi para manajer yang
berperilaku rent-seeking adalah pencapaian kepentingannya pribadi, seperti
3
meningkatkan posisi tawar dan kompensasi, bukan didasari oleh penciptaan nilai bagi perusahaan.
Temuan lainnya dari Scharfstein (1999) adalah adanya paham sosialis dalam hal keputusan alokasi modal internal pada perusahaan yang menerapkan strategi diversifikasi usaha. Paham tersebut berkembang melalui praktik subsidi silang sumber daya yang ditransfer dari unit bisnis yang memiliki kinerja bagus ke unit bisnis yang kinerjanya buruk. Praktik subsidi silang yang tidak tepat pada akhirnya akan menyebabkan inefisiensi dalam alokasi pendanaan sehingga menurunkan nilai perusahaan.
Pada gelombang ketiga mulai muncul pertentangan. Sebagian peneliti
menemukan diversifikasi usaha tidak mengurangi nilai perusahaan. Penurunan
nilai yang terjadi lebih disebabkan oleh perbedaan karakteristik perusahaan,
seperti ukuran perusahaan, laba operasi, dan tingkat pertumbuhan industri (Campa
dan Kedia, 2002), likuiditas dan gaji eksekutif (Hyland dan Diltz, 2002), serta
kinerja perusahaan sebelum melakukan diversifikasi (Graham, Lemon, dan Wolf,
2002). Temuan ini kemudian diperkuat oleh kelompok terakhir yang menyebutkan
bahwa sebenarnya pengaruh negatif diversifikasi usaha terhadap nilai perusahaan
tidak pernah benar-benar terjadi. Berbagai hasil penelitian sebelumnya yang
menunjukkan pengaruh negatif lebih disebabkan oleh pemilihan sampel yang bias,
serta penggunaan instrumen pengukuran dan teknik ekonometrika yang kurang
tepat (Mansi dan Reeb, 2002; Schoar, 2002).
4
Walaupun Berger dan Ofek (1995) menemukan adanya pengaruh negatif diversifikasi usaha terhadap nilai perusahaan, namun mereka menjelaskan bahwa kegiatan diversifikasi usaha memang memiliki dampak ganda. Di satu sisi bisa meningkatkan nilai perusahaan, dan di sisi lain juga dapat menurunkannya.
Manfaat potensial yang bisa didapat dari diversifikasi usaha diantaranya, kesempatan untuk mengeksploitasi aset tertentu yang dimiliki perusahaan sehingga bisa dimanfaatkan di pasar yang baru (Wernerfelt dan Montgomery, 1988), efisiensi alokasi sumber daya internal (Weston, 1970), meningkatkan kapasitas utang (Lewellen, 1971), serta meningkatkan economies of scale dan economies of scope (Teece, 1980) yang merupakan upaya perusahaan untuk menurunkan biaya produksi rata-rata melalui peningkatan volume atau jenis produk yang dihasilkan.
Di sisi lain juga ada biaya yang harus ditanggung perusahaan akibat diversifikasi usaha, seperti semakin tingginya asimetri informasi antara manajer pusat dengan manajer divisi yang meningkatkan biaya operasional (Harris, Kriebel, dan Raviv, 1982), peluang terjadi over investment semakin besar karena diskresi yang dimiliki manajer semakin tinggi (Jensen, 1986), inefisiensi alokasi modal antar divisi (Stulz, 1990), serta adanya insentif terhadap munculnya perilaku rent-seeking, yaitu perilaku manajer yang fokus pada pencapaian tujuan pribadi dengan mengorbankan nilai perusahaan (Scharfstein dan Stein, 2000).
Dengan adanya dampak ganda tersebut, maka menurut Campa dan Kedia (2002)
perusahaan sebaiknya melakukan diversifikasi jika manfaat yang dihasilkan lebih
5
besar dari biaya yang harus ditanggung perusahaan. Sebaliknya, jika biaya yang dihasilkan lebih besar maka sebaiknya perusahaan tetap fokus pada satu segmen.
Mengacu pada berbagai hasil penelitian di atas yang cenderung menemukan adanya pengaruh negatif diversifikasi usaha terhadap kinerja, peneliti tertarik untuk mengidentifikasi alasan lain yang mungkin menjadi salah satu motivasi perusahaan dalam melakukan strategi diversifikasi usaha. Berangkat dari hasil penelitian Lewellen (1971), Amihud dan Lev (1981), Franco, Urcan, dan Vasvari (2010), serta Hann, Ogneva, dan Ozbas (2013) yang menemukan bahwa korelasi arus kas yang tidak sempurna pada perusahaan terdiversifikasi dapat menurunkan risiko kebangkrutan melalui mekanisme coinsurance, penelitian ini mencoba melihat hubungan antara diversifikasi usaha dengan biaya modal. Sebagaimana diketahui bahwa biaya modal berkorelasi positif dengan risiko perusahaan.
Semakin rendah risiko suatu perusahaan, maka biaya modal yang ditanggung juga akan semakin rendah.
Hann et. al., (2013) menjelaskan bahwa pandangan yang berkembang di
berbagai penelitian sebelumnya menganggap bentuk perusahaan apakah itu
bersifat segmen tunggal (tidak terdiversifikasi) atau multi-segmen
(terdiversifikasi) tidak berpengaruh terhadap biaya modal. Hal ini dikarenakan
para peneliti sebelumnya menggunakan konsep merger dan akuisisi dalam
menjelaskan pengaruh diversifikasi usaha terhadap risiko perusahaan. Salah
satunya dijelaskan oleh Jensen dan Meckling (1976) bahwa secara umum
perusahaan dikatakan mengalami kebangkrutan jika tidak mampu memenuhi
kewajibannya terhadap para kreditur. Semakin tinggi probabilitas kebangkrutan,
6
maka risiko yang dihadapi perusahaan juga akan semakin tinggi. Salah satu cara mengurangi risiko kebangkrutan adalah dengan melakukan merger. Ketika unit bisnis sebelumnya mengalami gagal bayar, maka dengan merger unit usaha yang baru diharapkan dapat melunasi seluruh kewajiban perusahaan sebelumnya.
Berdasarkan perspektif merger, diversifikasi usaha dianggap tidak berpengaruh terhadap biaya modal karena perusahaan tetap dipandang sebagai entitas tunggal (perusahaan tidak terdiversifikasi) sehingga korelasi arus kas yang tidak sempurna antar unit bisnis dianggap hanya mampu mengurangi risiko yang bersifat idiosyncratic, sedangkan risiko sistematisnya tetap sama. Hal ini dikarenakan kegiatan subsidi silang dan mekanisme pasar pendanaan internal tidak bisa dilakukan. Hal tersebut dijelaskan oleh Ross, Westerfield, dan Jaffe (2008) dalam Hann et. al., (2013) bahwa risiko sistematis tidak bisa dikurangi dengan merger.
Dengan menggunakan pandangan yang berbeda, Hann et. al., (2013)
menemukan bahwa perusahaan terdiversifikasi memiliki biaya modal yang lebih
rendah dibanding perusahaan tidak terdiversifikasi. Risiko sistematis perusahaan
yang melakukan diversifikasi usaha dapat dikurangi melalui mekanisme
coinsurance yang diperkenalkan pertama kali oleh Lewellen (1971). Lewellen
(1971) menjelaskan bahwa korelasi arus kas yang tidak sempurna antar unit bisnis
dapat menurunkan risiko kebangkrutan perusahaan. Dalam perspektif coinsurance
setiap unit bisnis dipandang sebagai stand-alone firm (perusahaan dengan segmen
tunggal), sehingga perusahaan yang terdiversifikasi merupakan kumpulan dari
berbagai perusahaan dengan segmen tunggal.
7
Berdasarkan pandangan tersebut, perusahaan dimungkinkan untuk melakukan transfer sumber daya atau subsidi silang dari unit usaha yang mengalami surplus (cash-rich units) ke unit usaha yang mengalami defisit (cash- poor units) sehingga perusahaan bisa terhindar dari financial distress. Platt dan Platt (2002) mendefinisikan financial distress sebagai suatu kondisi di mana perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan terancam bangkrut yang disebabkan oleh ketidakmampuan hasil operasi dalam menutupi kewajiban perusahaan (insolvency). Financial distress berkorelasi positif dengan biaya kebangkrutan yang akan meningkat ketika tingkat arus kas masuk rendah. Hal ini biasanya terjadi pada kondisi ekonomi yang tidak stabil atau krisis.
Dengan adanya mekanisme coinsurance, arus kas perusahaan terdiversifikasi diharapkan memiliki risiko sistematis lebih rendah dibandingkan dengan arus kas perusahaan tidak terdiversifikasi. Penurunan risiko perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha tersebut diharapkan akan menghasilkan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas utang atau menurunkan biaya utang pada kapasitas utang yang sama. Hal ini dikarenakan tingkat keuntungan yang disyaratkan kreditur berkorelasi positif dengan risiko perusahaan. Semakin rendah risiko, maka biaya utang yang disyaratkan juga akan semakin rendah.
Penelitian Stulz (1990) menunjukkan bahwa perusahaan terdiversifikasi
juga memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan sumber
pendanaan internal, sehingga biaya modalnya diharapkan lebih rendah dibanding
dengan perusahaan tidak terdiversifikasi. Selain itu, diversifikasi usaha juga dapat
mengurangi terjadinya under investment melalui penciptaan pasar modal internal
8
yang lebih luas. Stein (1997) dan Matsusaka dan Nanda (2002) juga menemukan bahwa diversifikasi usaha menjadi sumber pendanaan internal baru yang dapat meningkatkan efisiensi dalam kegiatan investasi.
Di sisi lain mekanisme pendanaan internal juga juga dapat meningkatkan risiko perusahaan akibat konflik keagenan dan kegiatan subsidi silang atau alokasi modal internal yang tidak tepat yang akan meningkatkan biaya modal perusahaan sebagaimana dijelaskan oleh Scharfstein dan Stein (1999). Potensi konflik yang terjadi antar manajer divisi bisa mempengaruhi keputusan transfer sumber daya yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan kinerja namun bisa jadi faktor lain seperti kedekatan hubungan antar manajer divisi, dan lain sebagainya. Hal selaras ditemukan oleh Shin dan Stulz (1998) dan Scharfstein dan Stein (2000) bahwa adanya perilaku rent-seeking dari para manajer dan politik internal perusahaan juga dapat menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam hal alokasi modal internal yang dapat meningkatkan risiko perusahaan. Menurut Shin dan Stulz (1998) dan Rajan et. al., (2000) idealnya prioritas utama dari manajer dalam pengalokasian dana adalah untuk unit bisnis dengan tingkat pertumbuhan tinggi.
Hasil penelitian Mansi dan Reeb (2002) menunjukkan adanya pengaruh
yang kontradiktif dari strategi diversifikasi usaha terhadap dua komponen utama
biaya modal, yaitu biaya utang dan biaya ekuitas. Temuannya menunjukkan
bahwa penurunan risiko kebangkrutan pada perusahaan terdiversifikasi di satu sisi
akan meningkatkan nilai debtholder, dan di sisi lain juga menurunkan nilai
shareholder akibat peningkatan leverage. Besaran penurunan nilai yang dialami
shareholder bergantung pada seberapa besar peningkatan leverage yang terjadi.
9
Oleh karena itu, asumsi utama yang dibangun dalam penelitian ini bahwa diversifikasi korporasi dapat menurunkan risiko kebangkrutan perusahaan yang akan berdampak terhadap peningkatan kapasitas utang atau penurunan biaya utang. Peningkatan kapasitas utang yang terjadi akan meningkatkan risiko pemegang saham sehingga biaya ekuitas yang disyaratkan juga akan meningkat.
Franco et. al., (2010) menjelaskan bahwa manfaat diversifikasi usaha lebih
banyak dirasakan oleh pemegang obligasi dibanding pemilik ekuitas. Hal ini
dikarenakan pemilik ekuitas dapat mengurangi risiko investasi mereka melalui
portofolio saham dengan biaya yang lebih murah. Walaupun bondholders juga
dapat membentuk portofolio obligasi, namun biaya yang harus dikeluarkan jauh
lebih besar dibandingkan dengan pembentukan portofolio saham. Hal ini
dikarenakan sifat dari obligasi yang biasanya illiquid. Hal yang sama juga berlaku
untuk kreditur yang berasal dari perbankan. Walaupun dimungkinkan bagi
perbankan untuk menyalurkan dana pinjaman ke berbagai sektor industri, namun
hal tersebut akan berdampak terhadap biaya monitoring. Temuan Acharya, Hasan,
dan Saunders (2006) mendukung hal tersebut. Portfolio investasi perbankan ke
berbagai sektor industri justru menurunkan kualitas portfolio yang disebabkan
oleh buruknya kinerja monitoring yang dilakukan perbankan. Dengan
keterbatasan yang dimiliki lender tersebut, maka diharapkan mereka akan
memberikan insentif lebih bagi perusahaan yang melakukan strategi diversifikasi
usaha dengan mensyaratkan tingkat keuntungan yang lebih rendah dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak terdiversifikasi.
10
Hasil penelitian Yan (2006) menunjukkan bahwa nilai perusahaan yang terdiversifikasi akan meningkat ketika perusahaan mengalami kendala pendanaan yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut biaya pendanaan dari sumber eksternal akan sangat tinggi sehingga manfaat yang didapatkan perusahaan dari sumber dana internal akan semakin besar. Berbagai penelitian terkait dengan diversifikasi usaha dan pasar pendanaan internal juga mendukung hal tersebut (Matsusaka dan Nanda, 2002; Stein, 1997). Dengan demikian, besaran manfaat diversifikasi usaha dalam mengurangi biaya modal berdasarkan perspektif sumber pendanaan internal akan sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar modal eksternal, seperti suku bunga. Semakin tinggi selisih biaya modal internal dengan biaya modal eksternal yang mengindikasikan semakin tingginya kendala pendanaan yang dihadapi perusahaan, maka manfaat yang didapatkan perusahaan terdiversifikasi dari sumber pendanaan internal diharapkan akan semakin besar.
Selain itu hasil penelitian Leland (2007), Franco et. al., (2010), serta Hann et. al., (2013) menunjukkan bahwa kemampuan diversifikasi usaha dalam mengurangi risiko perusahaan akan semakin besar ketika tingkat korelasi arus kas antar unit bisnis perusahaan rendah. Dengan kata lain tingkat korelasi arus kas merupakan salah satu komponen yang mempengaruhi risiko sistematis.
Perusahaan yang memiliki korelasi arus kas yang rendah antar unit bisnis
memiliki kesempatan yang lebih besar untuk melakukan transfer sumber daya dari
unit bisnis yang memiliki surplus dana ke unit bisnis yang mengalami defisit
pendanaan, dibandingkan dengan perusahaan terdiversifikasi dengan korelasi arus
kas yang tinggi.
11
Penelitian ini fokus pada pengujian pengaruh diversifikasi usaha terhadap biaya modal. Ada tiga alasan utama yang mendasari peneliti untuk menguji pengaruh tersebut. Pertama, menjawab pertanyaan mengapa perusahaan tetap melakukan strategi diversifikasi meskipun banyak hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Dalam upaya menjawab pertanyaan tersebut, peneliti mencoba mengaitkannya dengan biaya modal untuk mengidentifikasi salah satu faktor yang mungkin mendasari keputusan perusahaan dalam menerapkan strategi diversifikasi. Hal ini diperkuat juga dengan fenomena konglomerasi yang mulai berkembang di Indonesia yang ditandai dengan banyaknya grup atau korporasi bisnis yang muncul dan menguasai berbagai sektor usaha. Sebagaimana diketahui bahwa ada dua tipe diversifikasi usaha, yaitu diversifikasi terkait (di dalam satu sektor industri yang sama) dan diversifikasi tidak terkait (terdiri dari berbagai sektor industri). Konglomerasi merupakan bentuk implementasi diversifikasi tidak terkait yang dilakukan perusahaan ke berbagai sektor industri. Tipe diversifikasi yang dilakukan perusahaan akan mempengaruhi tingkat korelasi arus kas antar unit bisnis.
Alasan kedua mengapa penelitian ini relevan untuk dilakukan dikarenakan
berbagai penelitian sebelumnya tentang diversifikasi usaha lebih banyak
menyoroti isu terkait dengan kinerja. Hann et. al., (2013) menyebutkan bahwa
penelitian mereka merupakan penelitian pertama yang menguji pengaruh
diversifikasi usaha terhadap biaya modal dengan menggunakan perspektif
coinsurance effect. Hal ini berbeda dengan berbagai penelitian sebelumnya yang
12
menggunakan konsep merger dan akuisisi dalam menjelaskan pengaruh diversifikasi usaha terhadap risiko perusahaan.
Alasan ketiga, sebagian besar penelitian mengenai strategi diversifikasi usaha dilakukan di negara maju. Penelitian serupa masih jarang dilakukan dalam konteks negara berkembang, khususnya Indonesia. Padahal isu diversifikasi usaha menjadi fenomena menarik untuk diteliti di negara tersebut. Kondisi pasar modal yang belum mapan di negara berkembang, serta masih lemahnya regulasi terkait dengan perlindungan investor menyebabkan proses alokasi modal secara internal melalui diversifikasi usaha menjadi sumber pendanaan dominan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan perspektif coinsurance, diversifikasi usaha diduga memiliki pengaruh ganda terhadap biaya modal. Di satu sisi penurunan risiko perusahaan akibat diversifikasi akan mengurangi biaya utang, namun di sisi lain peningkatan utang akan meningkatkan risiko pemegang saham sehingga tingkat keuntungan yang disyaratkan pemegang saham akan meningkat. Perspektif keagenan dan pasar pendanaan internal juga menjelaskan hal yang sama, diversifikasi usaha dapat meningkatkan ataupun menurunkan biaya modal. Dengan adanya pengaruh ganda dari diversifikasi usaha terhadap biaya modal, penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak akhir (net effect) dari pengaruh tersebut secara keseluruhan.
Untuk menguji apakah secara rata-rata diversifikasi usaha menurunkan atau
meningkatkan biaya modal, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
13