SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum
Disusun oleh :
JOSHI ESMERALDA SINAGA
NIM : 150200478
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019
Utara selama ini dan saya juga masih diberikan kemampuan dalam menulis skripsi yang berjudul “Kepailitan terhadap CV dan Personal guarantor dalam Perjanjian Kredit (Analisis terhadap Putusan Nomor: 5/ Pdt.Sus-Pailit/
2016/PN. Mdn)”.
Skripsi ini akan membahas Putusan Nomor: 5/ Pdt.Sus-Pailit/ 2016/PN.
Mdn tentang penjatuhan putusan pailit terhadap personal guarantor CV. Anugerah Prima. Penulis mengkaji dengan metode penelitian kepustakaan serta menganalisis putusan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Prof. Dr. O.K. Saidin, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
Hukum Universitas Sumatera Utara;
6. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Ibu Tri Murti Lubis, SH, M.H selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr.
Detania Sukarja, SH., LL.M., selaku Dosen Pembimbing II yang telah menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan terhadap penulisan skripsi.
8. Bapak Syamsul Rizal SH., M.Hum., selaku Dosen Akademik penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
9. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staf akademik Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik, membimbing dan banyak membantu penulis selama masa kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
10. Terima kasih kepada kedua orang tua saya, Jawalsen Sinaga BA dan Evida Khairani yang selalu mendoakan, mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis;
11. Terima kasih kepada saudara- saudara saya, Sandy Christina ST, Bathara Dutha ST, Geiz Charita Spd dan Bob Anahara yang selalu ada bagi saya.
13. Terima kasih kepada Santa, Julita, Ayu, Susi, Rey, Salomo, Moses, Renhard dan teman- teman grup H lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu;
14. Terima kasih banyak kepada Ruth Dioni, Rugun, Tere, Melisa Tandoko, Shiddiq dan teman- teman lainnya yang telah turut andil dalam terselesaikannya skripsi ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengaharap kritik dan saran yang membangun agar dapat menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik kedepannya.
Penulis juga berharap kiranya skripsi ini bermanfaat dalam memperluas pengetahuan kita.
Medan, 19 Maret 2019 Penulis
Joshi Esmeralda
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ……….. 1
B. Perumusan Masalah ……….….… 11
C. Tujuan Penulisan ……….…. 11
D. Manfaat Penulisan …………...……… 11
E. Keaslian Penulisan ……… 12
F. Tinjauan Kepustakaan ……….. 13
G. Metode Penelitian ………...………. 23
H. Sistematika Penulisan ………..……… 26
BAB II KEDUDUKAN HUKUM PERSONAL GUARANTOR ... 29
A. Personal guarantee dalam Hukum Perdata ... 29
1. Hukum Jaminan di Indonesia ... 29
2. Personal guarantee ... 42
BAB III KEPAILITAN TERHADAP COMMANDITAIRE
VENNOOTSCHAP (CV) DAN PERSONAL GUARANTOR
DALAM PERJANJIAN KREDIT ... 49
A. Kepailitan terhadap Commanditaire Venootschap (CV) ... 49
1. Pengertian Commanditaire Vennootschap (CV) ... 49
2. Kepailitan Commanditaire Vennootschap (CV) ... 51
3. Akibat Hukum terhadap Kepailitan Commanditaire Vennootschap (CV) ... 53
B. Kepailitan Personal guarantor ... 55
1. Hak Istimewa dalam Perjanjian Pemberian Personal guarantee ... 58
2. Prosedur Permohonan Pailit terhadap Personal guarantor ... 59
BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR: 5/ PDT.SUS-PAILIT/ 2016/PN. MDN ... 67
A. Kasus Posisi ... 67
1. Duduk Perkara ... 67
2. Pertimbangan Hakim ... 69
3. Amar Putusan ... 73 B. Analisis terhadap Putusan Nomor: 5/Pdt.Sus-
A. Kesimpulan ... 82
B. Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA ... 90
LAMPIRAN
Sunarmi
Detania Sukarja
Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan Personal guarantor serta bagaimana kepailitan terhadap Personal guarantor dan Commanditaire Vennootschap (CV) dalam Perjanjian Kredit.
Dalam hal ini tidak ada pengaturan hukum yang secara jelas mengatur hal tersebut. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah kedudukan Personal guarantor dalam suatu Perjanjian Kredit, Kepailitan terhadap CV dan Personal guarantor dalam Perjanjian Kredit dan pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor: 5/ Pdt.Sus- Pailit/ 2016/
PN.Mdn.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif dengan dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan, meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang terkait dengan permasalahan. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Hasil penelitian disajikan dengan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedudukan Personal guarantor dalam perjanjian kredit yakni sebagai a second pocket to pay if the first should be empty. Terhadap permohonan pernyataan pailit yang ditujukan terhadap CV berlaku ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 UU Kepailitan terkait permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma dan terhadap personal guarantor yang dimohonkan pailit atas utang debitor yang ditanggunggnya, terhadapnya hanya dapat dimohonkan pailit apabila kedudukan personal guarantor berubah menjadi debitor. Berdasarkan Putusan pengadilan No.05/Pdt.Sus-Pailit/2016/PN.Mdn terkait penjatuhan pailit terhadap personal guarantor CV. Anugrah Prima, dalam pertimbangannya majelis hakim perlu memperhatikan kedudukan personal guarantor itu sendiri yang mana personal guarantor hanya merupakan a second pocket to pay if the first should be empty.
Kata Kunci : Kepailitan, Commanditaire Vennootschap (CV), Personal guarantor, Perjanjian Kredit
1 Mahasiswa Fakultas Hukum USU
11 Dosen Pembimbing I
111 Dosen Pembimbing II
A. Latar Belakang
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor yang sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang- utangnya.2 Namun kepailitan telah menjelma menjadi alternatif tersendiri yang umumnya digunakan oleh pihak kreditor untuk menyelesaikan perkara utang piutangnya dengan mengenyampingkan kepentingan pihak debitor. Selain itu alternatif berupa pengajuan permohonan pailit diambil karena dianggap proses penyelesaiannya lebih cepat dan efektif. Hingga saat ini perkara kepailitan termasuk perkara di bidang perdata khusus yang paling banyak diajukan ke pengadilan.3Masalah kepailitan selalu menimbulkan akibat yang panjang baik bagi debitor, kreditor, personal guarantor dan pihak- pihak terkait lain khususnya bagi badan usaha yang aktif dalam dunia bisnis.
Keberadaan Commanditaire Vennootschap (CV) selaku badan usaha dalam dunia bisnis telah dikenal cukup lama oleh masyarakat. Perusahaan berbentuk CV merupakan badan usaha yang paling banyak digunakan oleh pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) saat ini karena selain proses perizinannya lebih mudah
2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, (Surabaya: Kencana, 2008), Hlm. 2.
3Mahkamah Agung Republik Indonesia, Direktori Putusan, http://www.putusan.mahkamahagung.go.id, (diakses pada tanggal 24 Desember 2018).
juga biaya yang dibutuhkan untuk membuat perusahaan berbentuk CV termasuk relatif terjangkau.4 Suatu CV membutuhkan dana untuk menjalankan bisnisnya.
Sumber dana dalam menjalankan bisnisnya tersebut dapat ditinjau dari segi internal maupun eksternal CV itu sendiri. Sumber dana internal berasal dari pemasukan modal (inbreng) para pengurus dan sumber dana eksternal umumnya didapat melalui pinjaman dari lembaga perbankan maupun lembaga non perbankan dengan jaminan tertentu.5
Sumber dana eksternal tersebut diadakan demi kepentingan CV dengan skala kegiatan yang membutuhkan modal sangat besar akibat pengaruh globalisasi yang mengubah karakteristik dunia usaha Indonesia menjadi struktur usaha yang makin industrialis sehingga CV terkait tidak lagi mampu memenuhi dana yang dibutuhkan dalam menjalankan bisnisnya. Untuk menutupi kekurangan dana yang timbul CV biasanya akan melakukan peminjaman berupa kredit kepada pihak lain karena kredit merupakan salah satu alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan dana. Hampir sebagian besar CV pernah mengajukan kredit kepada kreditor.
Namun untuk dapat memperoleh fasilitas kredit bagi CV dibutuhkan suatu proses yang tidak begitu mudah. Akhir-akhir ini sebagian besar pihak kreditor yang memberikan pinjaman kepada CV umumnya akan meminta jaminan perorangan berupa personal guarantee pada setiap perjanjian kredit untuk mengantisipasi
4 Aria Ramawanda, Perusahaan Komanditer/ CV (Commanditaire Vennootschap), http://www.academia.edu/11838312/Perusahaan_Komanditer_CV_Comanditaire_Vennootschap_, (diakses pada tanggal 24 Desember 2018).
5 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), Hlm. l 55.
kemungkinan pihak debitor gagal dalam memenuhi kewajibannya.6 Selain itu penerimaan personal guarantee oleh kreditor sebagai jaminan kredit hanya untuk mengikat moral oblligations dari personal guarantor itu sendiri.7
Berkaitan dengan pemberian personal guarantee dalam perikatan CV yang dilakukan oleh personal guarantor dalam perjanjian pemberian kredit, perjanjian pemberian personal guarantee menimbulkan akibat hukum berupa kewajiban bagi personal guarantor untuk melakukan kewajiban CV selaku debitor dan apabila personal guarantor tidak dapat melakukan kewajibannya maka personal guarantor dapat digugat pailit oleh kreditor. Kepailitan CV akan menyebabkan kerugian bagi personal guarantor dalam perikatan CV karena personal guarantor juga dapat dinyatakan pailit apabila debitor tidak dapat melakukan kewajibannya (wanprestasi).
Hingga saat ini tidak ada dasar hukum untuk menuntut dan menempatkan seorang personal guarantor dalam keadaan pailit.8 Namun pada prinsipnya sifat borgtocht hanya menempatkan personal guarantor sebagai penanggung pembayaran yang akan dilaksanakan debitur. Oleh karena itu yang memikul pembayaran utang yang sebenarnya tetap berada pada diri debitur. Pada saat personal guarantor berada dalam keadaan tidak mampu kedudukannya sebagai
6Admin, Personal guarantee dalam Pengajuan Kredit, http://www.google.com/amp/old.presidentpost.id/2013/05/13/personal-guarantee- dalam- pengajuan-kredit/amp/, (diakses pada tanggal 24 Desember 2018).
7 Endah Wulandari, Rachmad Safa’at dan Siti Hamidah, Perlindungan Hukum bagi Bank dalam Mencegah Kerugian Akibat Kredit Bermasalah dengan Jaminan Personal guarantee, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Jurnal Hukum, Hlm. 5.
8 Disriani Latifah, Kedudukan Guarantor dalam Kepailitan, https://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/06/09/kedudukan-guarantor-dalam-kepailitan/, (diakses tanggal 24 Desember 2018).
penjamin harus diakhiri dan menggantinya dengan penjamin baru.9 Tetapi dalam prakteknya kedudukan personal guarantor kerap disamakan sebagai debitor dalam perkara kepailitan. Hal ini tentu akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi personal guarantor selaku pemberi personal guarantee terhadap debitor kepada kreditor. Oleh karena itu dirasa perlu membahas lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian personal guarantee daripada personal guarantor itu sendiri dan hal- hal terkait proses penyelesaian permohonan pailit terhadap personal guarantor.
Kepailitan merupakan salah satu sarana hukum yang menjadi landasan untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah terkait utang-piutang pihak pelaku usaha yang bankrut. Pada umumnya pailit adalah keadaan atau kondisi seorang individu atau suatu persekutuan atau perusahaan yang tidak dapat membayar utangnya sebagaimana adanya pada waktu jatuh tempo10 atau dengan kata lain kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mengalami kesulitan keuangan untuk membayar utangnya yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan. Mengenai pengertian kepailitan itu sendiri diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (yang selanjutnya disebut UU Kepailitan) yang menyatakan bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
9 Ibid.
10 Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Hlm.11.
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang11. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan menetapkan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya12. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa syarat – syarat agar permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan adalah sebagai berikut.
1. Adanya debitor;
2. Mempunyai dua atau lebih kreditor;
3. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Syarat – syarat agar debitor dapat dinyatakan pailit menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan bersifat kumulatif sehingga debitor hanya dapat dinyatakan pailit jika memenuhi seluruh (ketiga) syarat – syarat tersebut.13 Aturan tersebut harus diterapkan sebagaimana mestinya agar tercapai keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia. Namun perkara kepailitan seorang personal guarantor yang memberikan personal guarantee seringkali mengalami hal yang kurang menyenangkan sebagai akibat
11 Republik Indonesia (UU Kepailitan), Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443), Bab I, Pasal 1 ayat (1).
12 Ibid., Pasal 2 ayat (1).
13 Rama Saputra, Kasus Pailit TPI, http://www.academia.edu/4467980/kasus_pailit_tpi, (diakses pada tanggal 24 Desember 2018).
pihak kreditor meminta penetapan pengadilan untuk mempailitkan personal guarantor.14
Menurut R. Tjipto adinugroho personal guarantee merupakan jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, yang hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu.15 Dengan kata lain personal guarantee dapat dimaknai juga sebagai jaminan seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitor. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa personal guarantee adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditor) dengan seorang pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitor. Hak atas personal guarantee timbul dari perjanjian jaminan antara kreditor dengan pihak ketiga. Perjanjian personal guarantee merupakan hak relatif yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu yang terikat dalam perjanjian.16 Pada perjanjian personal guarantee pihak ketiga bertindak sebagai penjamin dalam pemenuhan kewajiban debitor yang berarti perjanjian personal guarantee merupakan janji untuk memenuhi kewajiban debitor, apabila debitor ingkar janji.17
14 Luky Pangastut, Pertanggungjawaban Pihak Personal Guarantee yang dinyatakan Pailit, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UNS, Jurnal Repertorium, Volume II No. 2, Juli - Desember 2015, Hlm. 146.
15 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), Hlm. 74.
16 H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), Hlm. 24.
17 Niken Prasetyawati dan Tony Hanoraga, Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Piutang, Jurnal Sosial Humaniora, Vol. 8, Juni 2015, Hlm. 129.
Perjanjian pemberian personal guarantee merupakan perjanjian jaminan yang bersifat accesoir.18 Hal ini berarti bahwa dalam hal perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit dinilai batal, maka pemberian jaminan ini akan ikut batal.
Perjanjian pemberian personal guarantee hapus apabila perjanjian pokoknya (perjanjian kredit) hapus misalnya kredit telah dilunasi dan lain-lain.
Mengingat perjanjian personal guarantee ini bersifat accesoir dan sebagai cadangan saja maka seorang personal guarantor diberikan “hak istimewa” yaitu hak yang dimiliki seorang penjamin untuk menuntut agar harta kekayaan milik si berutang utama (debitor) terlebih dahulu disita dan dijual/lelang.19 Jika hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk melunasi hutangnya, kemudian baru harta kekayaan personal guarantor dapat di eksekusi. Hak istimewa yang dimiliki seorang personal guarantor itu ada karena perjanjian personal guarantee sifatnya hanya sebagai cadangan saja artinya jika debitor tidak mampu melunasi hutangnya maka personal guarantor melunasi hutang debitor itu.
Dalam KUHPerdata, pengaturan terkait personal guarantor terdapat dalam Pasal 1820 sampai Pasal 1850 Buku II Bab XVII yang berjudul “penanggung utang”. Mengenai pengertian penanggungan dijelaskan dalam Pasal 1820 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penanggungan adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor bila debitor tersebut tidak memenuhi perikatannya.20
18 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), Hlm.176.
19 Republik Indonesia (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23), Bab XVII, Pasal 1831.
20 Ibid., Pasal 1820.
Pada beberapa kasus, kedudukan personal guarantor selaku penanggung yang pada awalnya hanya menjadi pihak ketiga yang akan menjamin dan menanggung pelunasan utang-utang debitor yang lalai dalam melunasi utang-utangnya dapat berubah menjadi seperti debitor utama yang dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh kreditor secara langsung tanpa harus terlebih dahulu menyita harta dari debitor utama yang pailit. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum yang mengatur bahwa personal guarantor baru tampil memenuhi kewajibannya apabila debitor utama sudah kehabisan harta untuk membayar utang-utangnya.21
Ketentuan Pasal 1831 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang personal guarantor tidak diwajibkan ikut dan turut membayar kepada kreditor selain jika debitor utama lalai dan aset-asetnya telah disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.22 Dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit pada kasus kepailitan harusnya personal guarantor cukup berperan sebagai pihak yang turut bertanggung jawab dalam pelunasan utang-utang debitor kepada kreditor , namun dalam praktek beberapa Putusan Pengadilan baik Yurisprudensi dan Putusan Pengadilan Niaga telah memutuskan bahwa personal guarantor menjadi debitor pailit, atau secara tanggung renteng dengan debitor utama bertanggung jawab terhadap utang kreditor dalam perkara permohonan kepailitan.
Putusan Pengadilan Niaga yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini adalah Putusan kepailitan yang dijatuhkan terhadap personal guarantor atas utang CV. Anugrah Prima berdasarkan Putusan Nomor: 5/ Pdt.Sus- Pailit/ 2016/
21 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: Tatanusa, 2012), Hlm.
408.
22 Luky Pangastut, Op. Cit., Hlm. 150.
PN.Mdn. Kasus sebagaimana tertuang dalam putusan paillit tesebut berawal dari adanya perjanjian pemberian fasilitas kredit antara Lembaga Pembiayaan Eksport Indonesia (EKSIMBANK) dengan CV.Anugrah Prima/ H.Prima Kurniawan.
Dalam perjalanannya, CV. Anugrah Prima ternyata mengalami kesulitan untuk membayar utangnya yang telah jatuh tempo. Kemudian terhadap keterlambatan tersebut pihak EKSIMBANK dan CV.Anugrah Prima sepakat untuk melakukan perpanjangan jangka waktu perjanjian kredit dan dalam kesepakatan tersebut H.Prima Kurniawan dan Tuan Dedi Novianto bertindak sebagai personal guarantor yang mengikatkan diri kepada pihak EKSIMBANK. Setelah perjanjian perpanjangan tersebut dilakukan pihak CV. Anugrah Prima pada akhirnya tetap tidak bisa melakukan pembayaran sehingga pihak EKSIMBANK mengajukan permohonan pailit terhadap personal guarantor CV. Anugrah Prima ke Pengadilan Niaga yang kemudian permohonan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Dalam putusan tersebut Tuan Dedi Novianto selaku personal guarantor turut dinyatakan pailit hanya berdasarkan bukti perjanjian pemberian personal guarantee antara pihak EKSIMBANK dengan Tuan Dedi Novianto tanpa membuktikan adanya utang lain oleh Tuan Dedi Novianto. Sebagaimana aturan mengenai syarat pailit yang telah dijelaskan sebelumnya maka seharusnya Tuan Dedi Novianto tidak dapat dinyatakan pailit karena ia hanya memiliki satu utang. Pertentangan hukum yang terdapat dalam putusan hakim dengan perundang- undangan menyebabkan ketidakpastian hukum yang merugikan bagi pihak- pihak terkait.
Penjatuhan putusan pailit oleh Pengadilan Niaga yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang- undang tidak jarang menimbulkan putusan-putusan kepailitan yang menjadi kontroversial dan menyebabkan berbagai permasalahan bagi pihak- pihak yang terkait. Hal tersebut bertentangan dengan maksud dan tujuan kepailitan yang mana untuk memberikan perlindungan hukum yang seimbang atau adil kepada kreditor, debitor dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah utang piutang antara debitor dan kreditor secara adil, cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat menunjang pembangunan perekonomian nasional.23
Ketidakpastian hukum yang timbul akibat kekeliruan maupun keinkonsistenan hakim dalam memutus perkara pailit berimbas negatif pada Pengadilan Niaga itu sendiri serta penegakan hukum Indonesia di mata dunia dan membuktikan bahwa UU terkait kepailitan di Indonesia kurang efektif sehingga masih menimbulkan tafsiran- tafsiran yang berbeda diantara para hakim yang memutus perkara kepailitan. Untuk itu diperlukan adanya perbaikan lebih lanjut terhadap sistem hukum dalam pengaturan perkara- perkara kepailitan khususnya terhadap kepailitan CV dan Personal guarantor demi tercapainya kepastian hukum.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis beranggapan bahwa perlu diadakan suatu penelitian mengenai “Kepailitan terhadap Commanditaire Vennootschap (CV) dan Personal guarantor dalam Perjanjian kredit.”
23 UU Kepailitan, Op.Cit., Penjelasan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Bagaimana kedudukan Personal guarantor dalam suatu Perjanjian Kredit?
2. Bagaimana Kepailitan terhadap CV dan Personal guarantor dalam Perjanjian Kredit?
3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor: 5/ Pdt.Sus- Pailit/
2016/ PN.Mdn?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini sebagaimana sejalan dengan perumusan masalah diatas adalah sebagai berikut.
1. Untuk dapat mengetahui kedudukan personal guarantor dalam suatu Perjanjian Kredit serta pengaturan hukumnya di Indonesia.
2. Untuk dapat mengetahui akibat serta hak maupun kewajiban CV dan personal guarantor jika dinyatakan pailit.
4. Untuk mengkaji dan menganalisispertimbangan hakim dalam Putusan Nomor: 5/ Pdt.Sus- Pailit/ 2016/ PN.Mdn.
D. Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi manfaat penelitian yang ingin dicapai meliputi manfaat dari segi teoritis dan segi praktis adalah sebagai berikut.
1. Secara Teoritis
a. Diharapkan dapat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ekonomi pada umumnya dan hukum kepailitan pada khususnya.
b. Sebagai referensi untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai hal- hal terkait kepailitan terhadap CV dan personal guarantor bagi pihak- pihak yang berkepentingan.
2. Secara Praktis
a. Diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi sekaligus sebagai pemecahan berupa jalan keluar untuk masalah- masalah yang timbul terkait kepailitan terhadap CV dan personal guarantor.
b. Sebagai rujukan serta masukan data ataupun literatur bagi pengembangan Ilmu Hukum, terutama sebagai referensi terhadap penelitian melalui metode analisis yuridis dan diharapkan bermanfaat bagi para akademisi kampus, praktisi hukum bisnis, lembaga hukum maupun pihak lainnya yang membutuhkan bahan referensi mengenai kepailitan terhadap CV dan personal guarantor.
E. Keaslian Penulisan
Mengenai keaslian penulisan skripsi dengan judul “Kepailitan terhadap CV dan Personal guarantor dalam Perjanjian Kredit (Analisis terhadap Putusan Nomor: 5/ Pdt.Sus-Pailit/ 2016/PN. Mdn)”, penulis sebelumnya telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan digital Universitas Sumatera Utara .
Setelah ditelusuri, dapat dipastikan bahwa sebelumnya belum ada dibuat karya ilmiah dengan judul yang serupa dengan penelitian ini.Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan pada perpustakaan digital Universitas Sumatera Utara tersebut maka dengan ini penulis menyatakan bahwa keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.
Penulisan skripsi ini murni merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri yang didapat melalui berbagai referensi baik dari buku-buku ,peraturan perundang-undangan maupun informasi yang terdapat dalam media cetak dan situs online berupa jurnal, siaran pers, makalah dan tanpa melakukan peniruan karya milik orang lain sehingga data yang terkumpul dapat dibuktikan keabsahannya. Apabila suatu hari ternyata terdapat bahwa ada judul yang sama telah dibuat sebelum hari dimana penulis lulus dalam pengujian skripsi, maka penulis siap untuk bertanggungjawab sepenuhnya.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Tinjauan umum terhadap Kepailitan
Kata “Kepailitan” berasal dari bahasa Belanda yakni “failliet”. Yang merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan oleh pengadilan.24 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa kepailitan adalah keadaan atau kondisi atau badan hukum yang tidak mampu lagi membayar kewajibannya (dalam hal
24 Wikipedia, Pailit, http://id.m.wikipedia.org/wiki/Pailit, (diakses pada tanggal 24 Desember 2018).
utang- utangnya) kepada sipiutang.25 Pengertian kepailitan menurut International Swaps and Derivatives Association (ISDA) adalah terjadinya salah satu kejadian- kejadian berikut ini.26
a. Perusahaan yang mengeluarkan surat utang berhenti beroperasi (pailit);
b. Perusahaan tidak solvent atau tidak mampu membayar utang;
c. Timbulnya tuntutan kepailitan;
d. Proses kepailitan sedang terjadi;
e. Telah ditunjuknya receivership;
f. Dititipkannya seluruh aset kepada pihak ketiga.
Di negara- negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”, yang mana pengertian Kepailitan itu sendiri adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa Pailit.27
Dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa pengertian pailit atau bankrupt adalah sebagai berikut.28
“ the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is unable to pay it’s debt as they are, or became due; The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.
Dari pengertian bankrupt yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas diketahui bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang debitor atas utang- utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut
25 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Hlm. 812.
26 Annurdi, Tanggung Jawab Sekutu Firma atas Kepailitan, Tanjungpura Law Journal, Vol.1, Januari 2017, Hlm. 18.
27 Sunarmi, Op.Cit., Hlm. 20.
28 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Company, St. Paul, 1979, Hlm.147.
harus disertai dengan proses pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya.29 Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitor. Keputusan tentang pailitnya debitor harus berdasarkan keputusan pengadilan, dalam hal ini adalah Pengadilan Niaga yang diberikan kewenangan untuk menolak atau menerima permohonan tentang ketidakmampuan debitor. Keputusan pengadilan ini diperlukan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga perihal ketidakmampuan seorang debitor itu akan dapat diketahui oleh umum.30 Seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Selain pengertian- pengertian yang disebutkan di atas terdapat pula pendapat lainnya mengenai pengertian kepailitan. Berikut adalah beberapa sarjana yang mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian kepailitan.
1. J. Djohansyah
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga karena debitor tidak dapat membayar utangnya.31
29 Sunarmi, Op.Cit., Hlm. 21.
30 Ibid.
31Rudy Lontoh, Penyelesaian Utang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), Hlm. 23.
2. R. Soekardono
Kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan dan pemberesan boedel dari orang yang pailit.32 3. N.E. Algra
Kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang- utangnya kepada kreditor (si berpiutang).33
4. Siti Soemarti Hartono
Kepailitan adalah suatu lembaga hukum dalam hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal-Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.34
5. Mohammad Chidir Ali
Kepailitan adalah pembeslahan masal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil- adilnya di antara para kreditor dengan di bawah pengawasan pemerintah.35
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) diatur mengenai pengertian kepailitan yang menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
32 Ibid.
33 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., Hlm. 1.
34 Sunarmi, Op.Cit., Hlm. 22.
35 Ibid.
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang- undang ini.36
Pasal tersebut menyebutkan secara tegas bahwa kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual karena itu disyaratkan dalam Undang- undang Kepailitan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki dua atau lebih kreditor. Seorang debitor yang hanya memiliki satu kreditor tidak dapat dinyatakan pailit karena hal tersebut bertentangan dengan prinsip sita umum. Jika hanya ada satu kreditor maka yang berlaku adalah sita individual sedangkan sita individual bukanlah sita dalam kepailitan.37 Dalam sita umum seluruh harta kekayaan debitor akan berada di bawah penguasaan dan pengurusan kurator.
Debitor tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya.
2. Tinjauan umum terhadap Commanditaire Venootschap (CV)
CV atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah perseroan komanditer adalah suatu perseroan yang menjalankan suatu perusahaan yang dibentuk antara satu atau beberapa orang pesero yang secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung jawab solider) pada satu pihak dan satu atau beberapa orang pesero sebagai pelepas uang (geldschieter) di lain pihak.38 CV merupakan suatu bentuk badan usaha yang paling banyak digunakan oleh para pengusaha kecil dan menengah (UKM) sebagai bentuk identitas organisasi badan usaha di Indonesia.39
36 UU Kepailitan, Op.Cit., Pasal 1 ayat (1).
37 Sunarmi, Op.Cit., Hlm. 24.
38 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia Bagian 1, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001), Hlm. 34.
39 Aria Ramawanda, Loc.Cit.
Pengaturan mengenai pengertian CV sendiri diatur dalam Pasal 19 ayat (1) KUHDagang yang menyatakan persekutuan yang melepas uang yang dinamakan persekutuan komanditer didirikan antara satu orang atau beberapa sekutu yang tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya pada satu pihak dan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang pada pihak lain.40
Berikut juga dijelaskan beberapa pengertian CV menurut pandangan para ahli.
1. Molengraaff
CV merupakan perkumpulan (Vereeniging) perjanjian kerjasama, dimana satu atau lebih sekutu mengikatkan diri untuk memasukkan modal tertentu untuk perkiraan bersama oleh satu atau lebih sekutu lain menjalankan perusahaan niaga (handelsbedrijf).41
2. Prof. Drs.C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil, SH., M.H
CV adalah suatu perseroan yang bertindak di muka umum. Dalam perseroan ini seorang atau lebih dari anggota- anggotanya tidak menjadi pimpinan perusahaan maupun bertindak terhadap pihak ketiga. 42
3. H.M.N. Purwosutjipto
CV ialah suatu peraekutuan firma yang mempunyai satu atau beberapa orang sekutu komanditer.43
40 Republik Indonesia (KUHDagang), Kitab Undang-undang Hukum Dagang, (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23), Bab III, Pasal 19.
41 Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk- Bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), Hlm. 57.
42 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok- Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), Hlm. 84.
Ketentuan mengenai CV diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan lex specialis dari KUHPerdata. KUHDagang ini merupakan warisan dari Hindia Belanda berupa Wetboek Van Koophandel (Wvk), yang berdasarkan asas konkordansi (asas keselarasan) masih terus berlaku sampai ada peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia yang menggantikannya.44
3. Tinjauan umum terhadap Personal guarantor
Personal guarantor dalam bahasa Indonesia umumnya dikenal dengan istilah penjamin. Personal guarantor adalah pihak ketiga yang mengikatkan diri secara sukarela kepada kreditor untuk dapat meyakinkan kreditor terkait bahwa debitor pasti mampu untuk melunasi utangnya.45 Pengaturan mengenai personal guarantor diatur dalam KUHPerdata Buku II Bab XVII Pasal 1820 sampai Pasal 1850.
Pasal 1820 KUHPerdata memuat pengertian terkait personal guarantee yang menyatakan penjaminan adalah suatu perjanjian/ persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditor atau si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor atau si berutang bila debitor tesebut tidak memenuhi perikatannya.46
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan hal- hal sebagai berikut.
43 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 2007), Hlm. 74.
44 Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, (Mataram:
Erlangga, 2012), Hlm.13.
45 H. Salim HS, Op.Cit., Hlm. 22.
46 KUHPerdata, Op.Cit., Bab XVII, Pasal 1820.
a. Personal guarantor adalah pihak ketiga;
b. Personal guarantor turut terlibat dalam perikatan demi kepentingan kreditor;
c. Personal guarantor mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor jika debitor tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam bahasa Indonesia personal guarantor dikenal dengan istilah penanggung atau penjamin. R.Subekti menyatakan bahwa syarat untuk dapat menjadi personal guarantor yakni harus cakap untuk mengikatkan diri, mampu memenuhi perikatan dan berada di wilayah Indonesia.47
Personal guarantor berkewajiban untuk membayar utang debitor kepada kreditor manakala si debitor lalai/cidera janji yang artinya personal guarantor berperan sebagai a second pocket to pay if the first should be empty48 dalam perikatan utang piutang antara kreditor dengan debitor.
4. Tinjauan umum terhadap Perjanjian Kredit
Kredit merupakan salah satu alternatif solusi untuk kebutuhan dana. Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani “credere” yang artinya percaya,49 pengertian mengenai kredit diatur dalam Pasal 1 ayat (11) UU Perbankan yang menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan atas kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
47Andreas AP, Resume Hukum Jaminan,
http://tyas20okteknologi.wordpress.com/2012/01/20/tugas-hukum/, (diakses pada tanggal 24 Desember 2018).
48 Asrul Sani, Tinjauan Hukum mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan Perusahaan, Varia Peradilan,Edisi 101, Hlm. 144.
49 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Grafiti, 2010), Hlm. 2.
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah waktu tertentu dengan pemberian bunga.50Kredit mempunyai banyak arti, dimana dalam dunia bisnis pada umumnya kata kredit diartikan sebagai kesanggupan akan pinjaman uang atau kesanggupan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayarnya kelak.51 Dengan demikian kredit dapat pula berarti bahwa pihak pertama memberikan prestasi baik berupa barang, uang maupun jasa kepada pihak lain sedangkan sebagai kontraprestasinya akan diterima kemudian dalam jangka waktu tertentu.
Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi pelaku bisnis. Penggunaan fasilitas kredit sudah menjadi hal yang tidak asing dan merupakan alternatif yang umumnya dilakukan pelaku bisnis untuk mengatasi keterbatasan dana yang terjadi.
Pemberian fasilitas kredit haruslah berdasarkan suatu kepercayaan, dengan demikian perjanjian kredit adalah pemberian kepercayaan.52 Hal tersebut terkait ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kegiatan perjanjian pemberian kredit yaitu UU Perbankan, yang mana dalam Pasal 8 ayat (1) menetapkan bahwa dalam memberikan kredit bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
50 Republik Indonesia (UU Perbankan), Undang- undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) jo. Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3473), Bab I, Pasal 1 ayat (11).
51 Muhammad Djumhana, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: Alumni, 1983), Hlm. 21.
52 Try Widiyono, Agunan Kredit dalam Financial Engineering, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), Hlm. 2.
pembiayaan yang dimaksud sesuai dengan yang telah diperjanjikan53. Hal ini berarti bahwa prestasi yang diberikan benar-benar diyakini dapat dikembalikan oleh penerima kredit sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang disetujui bersama- sama oleh para pihak.
Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitor.54Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat rill. Arti riil adalah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh kreditor kepada debitor. Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu memang dalam prakteknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahami dengan baik. Dalam perjanjian tersebut pihak debitor hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan melakukan tawar-menawar.55
Secara umum pemberian fasilitas kredit diberikan dalam rangka memenuhi modal kerja dan investasi.56Seluruh aspek transaksi- transaksi dalam masyarakat pada dasarnya memerlukan pembiayaan dan oleh karena hal tersebut peluang adanya pemberian fasilitas kredit saat ini semakin luas.
53 UU Perbankan, Op.Cit., Pasal 8 ayat (1).
54 Try Widiyono, Op.Cit., Hlm. 4.
55.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1992), Hlm. 29.
56 Try Widiyono, Op.Cit.,, Hlm. 15.
Muhammad Yunus menyatakan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan sebanyak- banyaknya orang diperlukan adanya penyaluran kredit yang lebih besar dan luas. 57
Berdasarkan penjelasan- penjelasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kredit memiliki peranan yang krusial dalam memajukan perekonomian suatu Negara.
G. METODE PENELITIAN 1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan hukum normatif yang merupakan penelitian yang dikhususkan pada penelitian bahan pustaka atau data sekunder58 yang didahului dengan penelitian Inventarisasi Hukum Positif sebelumnya. Penelitian inventarisasi tersebut adalah penelitian pendahuluan sebelum peneliti lebih jauh melangkah pada penelitian hukum lainnya.59 Hasil penelitian Inventarisasi Hukum Positif merupakan data dasar yang wajib dimiliki oleh seorang peneliti hukum normatif.
Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan ,yang mana penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup hal- hal berikut.60
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
57 Ibid.
58 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Hlm. 24.
59 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Penelitian Hukum, Bahan ajar Metode Penelitian Hukum, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2010), Hlm. 23.
60 Soerjono Soekanto, Op.Cit., Hlm. 14.
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;
d. Perbandingan hukum; dan e. Sejarah hukum.
Dari kelima penelitian hukum normatif di atas, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal yang ditujukan untuk menguji taraf kesinkronan antar peraturan perundang- undangan yang terkait objek penelitian yang akan dibahas.61 Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang menggunakan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian atau peraturan yang berhubungan dengan objek penelitian.62Dengan penerapan metode ini diharapkan hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan gambaran dan deskripsi serta data yang seteliti mungkin mengenai kepailitan terhadap CV dan Personal guarantor dalam Perjanjian kredit.
2. Data Penelitian
Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian ini adalah data Sekunder yang merupakan data yang diperoleh atau berasal dari bahan- bahan kepustakaanyang berfungsi mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer, yang berisikan informasi tentang data primer.63Data sekunder tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta
61 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Op.Cit., Hlm. 38.
62 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Palu: Sinar Grafika, 2009), Hlm.105.
63 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), Hlm.24.
dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.64 Informasi tertulis tersebut disebut juga bahan hukum (law material). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan- bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh dari dokumen- dokumen resmi perundang- undangan, buku- buku, hasil penelitian, laporan, surat kabar, makalah, kamus dan berbagai data lain yang terkait dengan kepailitan terhadap CV dan Personal guarantor dalam Perjanjian kredit dengan rincian sebagai berikut.
a. Bahan Hukum Primer yakni bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat65 serta berkaitan dengan penelitian yaitu Kitab Undang- undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang- undang Hukum Dagang (KUHDagang), Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Undang- undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Undang- undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan berbagai peraturan
perundang- undangan terkait lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder berupa buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum berupa hasil karya dalam ruang lingkup hukum dan hasil karya yang terkait dengan objek penelitian ini.66
64 M.Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), Hlm.27.
65 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Op.Cit., Hlm. 18.
66 Ibid.
c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memuat penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini67 seperti kamus, majalah, siaran pers, artikel dan ensiklopedia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi kepustakaan (library research) terhadap bahan- bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang digunakan sebagai dasar penelitian.
Dalam penelitian ini penulis melakukan analisis dan mempelajari data- datayang terdapat dalam buku-buku ,siaran pers, jurnal , artikel, karya ilmiah, dan dokumen lainnya yang berhungan dengan penelitian ini .
4. Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari metode kepustakaan (library research) dipahami, ditafsirkan dan dianalisis dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan menyusun dan menyeleksi berdasarkan data dan bahan hukum yang diperoleh berdasarkan kebenaran serta dihubungkan sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan penelitian skripsi ini terdiri dari V Bab ,yang pada setiap Bab memiliki sub-babnya masing masing yang secara garis besar menguraikan hal-hal sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
67 Ibid.
Dalam pendahuluan diuraikan mengenai latar belakang yang berupa alasan-alasan penulis memilih judul penelitian ini dan juga mengenai pokok permasalahan yang akan dibahas, manfaat penulisan, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II KEDUDUKAN HUKUM PERSONAL GUARANTOR
Pada bab ini diuraikan mengenai Personal guarantee dalam Hukum Perdata dan Perjanjian Pemberian Personal guarantee dalam Perjanjian Kredit. Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai Hukum Jaminan di Indonesia terkait pengertian, dasar hukum dan pembagian Hukum Jaminan.
BAB III KEPAILITAN TERHADAP COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV) DAN PERSONAL GUARANTOR DALAM PERJANJIAN KREDIT
Dalam bab ini diuraikan mengenai hal – hal terkait kepailitan CV dan Personal guarantor baik berupa akibat hukum maupun prosedur permohonan pailit serta dimuat pula mengenai hak istimewa Personal guarantor dalam Perjanjian Pemberian Personal guarantee.
BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR: 5/
PDT.SUS-PAILIT/ 2016/PN. MDN
Bab empat berisi tinjauan terhadap pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan pailit CV. Anugrah Prima beserta Personal
guarantornya yang kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap amar putusan permohonan kepailitan tersebut.
BAB V PENUTUP
Bab terakhir berisi kesimpulan dari pembahasan-pembahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya dan disertai saran- saran berupa sumbangan pemikiran berdasarkan kesimpulan khususnya mengenai kepailitan terhadap CV dan Personal guarantor dalam Perjanjian kredit.
A. Personal guarantee dalam Hukum Perdata
1. Hukum Jaminan di Indonesia
a. Pengertian Hukum Jaminan
Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan dari bahasa Belanda yakni zakerheidesstelling. Sedangkan kata jaminan sendiri merupakan terjemahan dari \ zekerheid. Zekerheid mencakup secara umum cara- cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya di samping pertanggungjawaban umum debitor terhadap barang- barangnya.68 Jaminan menurut Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 adalah segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu piutang dalam masyarakat.69 Istilah jaminan dikenal juga dengan istilah agunan.
Pengertian agunan tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (23) UU Perbankan yang menyatakan jaminan tambahan diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.70
68 H. Salim HS, Op.Cit., Hlm. 21.
69 Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR, tanggal 28 Februari 1991, Pasal 2 ayat (1).
70 UU Perbankan, Op.Cit., Pasal 1 ayat (23).
Istilah jaminan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accesoir).
Jaminan terkait merupakan salah satu unsur pemberian kredit yang harus diserahkan oleh debitor kepada bank.71 Unsur- unsur jaminan yaitu sebagai berikut.
1. Jaminan tambahan;
2. Diserahkan debitor kepada bank;
3. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.72
Pengertian jaminan dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya Mariam Darul Badrulzaman yang menyatakan bahwa jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai oleh uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.73
Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan74 sedangkan menurut M. Bahsan pengertian jaminan adalah segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat.75
Dari pengertian- pengertian yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa unsur jaminan adalah sebagai berikut.
71 UU Perbankan, Op.Cit., Penjelasan.
72 H. Salim HS, Loc.Cit.
73 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Creditverband, Gadai dan Fiducia, (Bandung: Alumni, 1987), Hlm. 227.
74 Ibid.
75 Ibid.
1. Difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditor (bank);
2. Wujud jaminan ini dapat dinilai dengan uang (jaminan materiil); dan 3. Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara kreditor dengan
debitor.
Dalam seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang lembaga Hipotek dan jaminan lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disebutkan bahwa hukum jaminan meliputi pengertian baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.76 Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan dan bukan pengertian hukum jaminan, oleh karena itu hukum jaminan erat sekali hubungannya dengan hukum benda.
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan menyatakan bahwa hukum jaminan mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan menjaminkan benda- benda yang dibelinya sebagai jaminan. Pengaturan tersebut harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum bagi lembaga- lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.77 Adanya lembaga jaminan atau lembaga demikian kiranya harus dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah besar, jangka waktu yang lama dan bunga yang relatif rendah.
Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjhoen Sofwan ini merupakan sebuah konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan
76 H. Salim HS, Op.Cit., Hlm. 5.
77 Ibid.
perundang- undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan datang.
J. Satrio menyatakan bahwa bahwa hukum jaminan adalah peraturan yang mengatur jaminan- jaminan piutang seorang kreditor terhadap debitor.78 Definisi tersebut difokuskan pada pengaturan pada hak- hak kreditor semata- mata dan tidak memperhatikan hak- hak debitor sedangkan yang menjadi objek kajiannya adalah benda- benda jaminan.
Menurut H. Salim HS, hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah- kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.79Unsur- unsur yang tercantum dalam definisi ini adalah hal- hal sebagai berikut.80
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum dalam bidang jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah- kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan, traktat dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak tertulis adalah kaidah- kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan;
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan
Pemberi jaminan adalah orang- orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan.Pihak yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan hukum yang membutuhkan fasilitas kredit.Orang ini lazim disebut dengan debitor.Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan.Pihak yang bertindak sebagai penerima jaminan ini adalah orang atau badan hukum. Badan hukum
78 H. Salim HS, Op.Cit., Hlm. 6.
79 Ibid.
80 Ibid., Hlm. 7.
adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank;
3. Adanya jaminan
Pada dasarnya jaminan yang diserahkan kepada kreditor adalah jaminan materiil dan immateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan yang berupa hak- hak kebendaan seperti jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak sedangkan jaminan immateriil merupakan jaminan non kebendaan;
4. Adanya fasilitas kredit
Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan non bank.Pemberian kredit merupakan permberian uang berdasarkan kepercayaan dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa debitor sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya.Begitu juga debitor percaya bahwa bank atau lembaga keuangan non bank dapat memberikan kredit kepadanya.
b. Dasar Hukum Jaminan
Tempat pengaturan hukum jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tempat yaitu di dalam KUHPerdata dan di luar KUHPerdata. Secara umum dalam KUHPerdata terdapat dua bagian pengaturan mengenai penjaminan. Pengaturan yang pertama terdapat pada Buku II KUHPerdata Bab XX dan XXI tentang jaminan kebendaan yang dalam perkembangan prakteknya telah ditambah dengan Undang- undang Hak Tanggungan dan Undang- undang jaminan Fidusia.
Pengaturan yang kedua adalah tentang jaminan perorangan yang terdapat pada Buku III KUHPerdata Bab XVII tentang penanggung utang.
Ketentuan- ketentuan hukum yang erat kaitannya dengan hukum jaminan yang masih berlaku dalam KUHPerdata adalah gadai (Pasal 1150 KUHPerdata sampai Pasal 1161 KUHPerdata) dan Hipotek (Pasal 1162 KUHPerdata sampai Pasal 1232 KUHPerdata). Hal- hal yang diatur dalam ketentuan tentang hipotek ini meliputi hal- hal berikut.
a) Ketentuan- ketentuan umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178 KUHPerdata);
b) Pendaftaran hipotek dan bentuk pendaftaran (Pasal 1179 sampai dengan Pasal 1194 KUHPerdata);
c) Pencoretan pendaftaran (Pasal 1195 sampai dengan Pasal 1197 KUHPerdata);
d) Akibat hipotek terhadap pihak ketiga yang menguasai barang yang dibebani (Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1208 KUHPerdata);
e) Hapusnya hipotek dan Pasal 1209 sampai dengan Pasal 1220 KUHPerdata);
f) Pegawai- pegawai yang ditugaskan menyimpan hipotek, tanggung jawab mereka dan hal diketahuinya daftar- daftar oleh masyarakat yang dikenal dengan publikasi register umum (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232 KUHPerdata).
Ketentuan mengenai Pembebanan hipotek hak atas tanah kini sudah tidak berlaku lagi karena telah dicabut oleh Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan sedangkan terhadap hipotek atas kapal laut yang beratnya 20 ke atas dan pesawat udara masih berlaku ketentuan- ketentuan yang terdapat di dalam KUHPerdata.
Ketentuan hukum jaminan yang terdapat di luar KUHPerdata merupakan ketentuan- ketentuan hukum yang tersebar di luar KUHPerdata. Ketentuan- ketentuan hukum itu yakni sebagai berikut.