• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL SUNDA : Studi Kasus di SMA Negeri 2 Cimahi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL SUNDA : Studi Kasus di SMA Negeri 2 Cimahi."

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Definisi Operasional ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 15

E. Paradigma Penelitian ... 16

F. Asumsi Penelitian ... 18

G. Manfaat Penelitian ... 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pendidikan Karakter di Indonesia ... 20

1. Hakikat Karakter ... 20

2. Nilai-nilai Karakter ... 24

3. Hakikat dan Dasar Filosofi Pendidikan Karakter di Indonesia 33

4. Pendidikan Karakter dalam Konteks Pendidikan Nasional ... 42

B. Tinjauan Tentang Kearifan Lokal Sunda ... 58

1. Makna Kearifan Lokal Sunda ... 58

2. Nilai-nilai Karakter yang Tercermin dalam Makna Kata Sunda ... 62

3. Nilai-nilai Karakter yang Tercermin dalam Pandangan Hidup Orang Sunda ... 77

4. Nilai-nilai Karakter yang Tercermin dalam Budaya Sunda ... 81

C. Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda dalam Konteks PKn ... 88

D. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik, Teori Kognitif Sosial, dan Teori Pengkondisian Klasik ... 109

1. Interaksionisme Simbolik ... 109

2. Teori Kognitif Sosial ... 119

3. Teori Pengkondisian Klasik ... 120

(2)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 127

1. Pendekatan Penelitian ... 127

2. Metode Penelitian ... 128

B. Instrumen Penelitian ... 130

C. Teknik Pengumpulan Data ... 132

D. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 138

E. Tahap-tahap Penelitian ... 139

F. Uji Validitas Data Penelitian ... 143

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Umum SMA Negeri 2 Cimahi ... 146

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 149

1. Pandangan Warga Sekolah Tentang Program Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda di Satuan Pendidikan ... 150

2. Program Pendidikan Karakter di Sekolah Melalui Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 155

3. Faktor-Faktor yang Kondusif Bagi Upaya Pembentukan Karakter di Sekolah Melalui Pengembangan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 158

4. Dampak Program Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda Terhadap Peserta Didik ... 161

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 163

1. Pandangan Warga Sekolah Tentang Program Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda di Satuan Pendidikan ... 163

2. Program Pendidikan Karakter di Sekolah Melalui Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 199

3. Faktor-Faktor yang Kondusif Bagi Upaya Pembentukan Karakter di Sekolah Melalui Pengembangan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda ... 216

4. Dampak Program Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda Terhadap Peserta Didik ... 219

D. Keterbatasan Penelitian ... 228

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 229

B. Rekomendasi ... 233

(3)

LAMPIRAN ... 241

1. Surat Penelitian 2. Pedoman Wawancara 3. Hasil Wawancara 4. Hasil Observasi

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jangkauan Sikap dan Perilaku dengan Butir-Butir Nilai Budi

Pekerti ... 27

Tabel 2.2 Domain Budi Pekerti Islami menurut Al-Quran dan Hadis ... 29

Tabel 2.3 Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa ... 50

Tabel 2.4 Wujud Pengamalan Pancasila ... 54

Tabel 2.5 Tata Wayah dalam Budaya Sunda ... 83

(5)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Paradigma Penelitian Pengembangan Pendidikan Karakter

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini, terdapat beberapa hal permasalahan terkait pembangunan

karakter bangsa. Sebagaimana pandangan pemerintah yang dikutip oleh Sukadi

(2011: 81) bahwa dewasa ini ada enam permasalahan yang dihadapi bangsa

Indonesia dalam pembangunan karakter bangsa, yaitu: disorientasi dan belum

dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa; keterbatasan

perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila;

bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman

disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa.

Selanjutnya sejalan dengan enam permasalahan tersebut telah muncul

berbagai perilaku yang mencerminkan degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila

dan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini muncul dalam berbagai

kasus, seperti: kasus narkoba yang semakin subur, pertikaian bersenjata antar

kelompok massa yang makin menghiasi berita TV, kekerasan terhadap anak dan

perempuan, pornografi dan porno aksi yang semakin vulgar ditunjukan oleh

kalangan muda hingga elit politik, hubungan sek bebas yang makin menjangkiti

kalangan generasi muda siswa dan mahasiswa, tindakan Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme (KKN) dimana-mana, serta kasus mafia hukum, peradilan, dan pajak.

(7)

kelompok masyarakat Indonesia sendiri, kasus money politics dalam pilkada dan

pemilu legislatif, pencemaran dan kehancuran lingkungan ekologis, kompetisi

antar kepentingan yang makin tajam dan tidak fair, pameran kekayaan yang makin

tajam oleh kelompok kaya terhadap kelompok miskin, kasus penggusuran

kelompok miskin di kota-kota besar, dan sulitnya menumbuhkan kepercayaan

terhadap kejujuran masyarakat. Kasus-kasus tersebut adalah sedikit contoh kecil

dari gunung es bagaimana degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila telah terjadi

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dewasa ini.

Menurut data Kompas (Samani dan Hariyanto, 2011: 4-5) menulis

kerusakan moral mencemaskan sebagai headline yang terpampang di halaman

depan. Dalam berita tersebut disampaikan sebagai ikhtisar hal-hal yang terkait

penyelenggara negara berupa fakta:

1. Sepanjang 2004-2011, Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158

kepala daerah yang terdiri atas Gubernur, Bupati dan Wali Kota tersangkut

korupsi.

2. Sedikitnya 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011.

3. 30 anggota DPR periode 1999-2004 dari 4 parpol terlibat kasus dugaan suap

pemilihan Deputi Gubemur Senior Bank Indonesia.

4. Kasus korupsi terjadi di sejumlah institusi seperti KPU, Komisi Yudisial,

KPPU, Ditjen Pajak, Bank Indonesia, dan BKPM.

(8)

1. Sepanjang 2010 Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi kepada 107 hakim,

baik berupa pemberhentian maupun teguran. Jumlah tersebut meningkat

dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 78 hakim.

2. Pegawai kejaksaan yang dijatuhi sanksi sepanjang 2010 mencapai 288 orang,

meningkat 60 persen dibandingkan tahun 2009 yang sebanyak 181 orang. Dari

288 orang pada tahun 2010 tersebut, 192 orang yang dijatuhi sanksi adalah

jaksa.

3. Selama tahun 2010 sebanyak 294 polisi dipecat dari dinas POLRI yang terdiri

dari 18 orang Perwira, 272 orang Bintara, dan 4 orang Tamtama.

Hal yang lebih menyedihkan terjadi karena di daerah, masyarakat bahkan

melakukan apresiasi kepada koruptor sehingga:

1. Ada orang yang memenangi Pilkada Kabupaten meskipun sebelumnya sudah

divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan TIPIKOR dalam kasus korupsi

APBD.

2. Ada orang yang menang Pilkada sebagai Wali Kota padahal sebelumnya

ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi APBD dan telah divonis

sembilan tahun penjara oleh Pengadilan TIPIKOR (10 Mei 2011).

Sementara itu, dalam dunia pendidikan kasus bertindak curang (cheating)

baik berupa tindakan mencontek, mencontoh pekerjaan teman atau mencontoh

dari buku pelajaran seolah-olah merupakan kejadian sehari-hari. Bahkan dalam

pelaksanaan ujian akhir sekolah seperti Ujian Akhir Nasional (UAN) di sementara

daerah ditengarai ada guru memberikan kunci jawaban kepada siswa. Jika

(9)

soal-soal untuk UAN, pada UAN tahun 2011, di suatu Kabupaten, karena takut

muridnya tidak lulus seorang Kepala Sekolah SMA berani mencuri soal Fisika,

kemudian menugasi guru bidang studi yang bersangkutan untuk menjawab

soal-soal tersebut, dengan rencana kuncinya akan diberikan kepada para siswanya.

Menurut Setiadi dan Kolip (2011: 54-55) mengungkapkan bahwa masa

remaja adalah fase perkembangan anak yang menginjak antara masa anak-anak ke

masa dewasa. Masa tersebut dianggap juga sebagai masa transisi. Di masa-masa

tersebut biasanya anak memiliki kecenderungan untuk mencari figur yang

menjadi idola seperti bintang film, tokoh-tokoh ternama seperti tokoh dari dunia

keolahragaan dan figur-figur lainnya. Anak juga dihadapkan pada permasalahan

pencarian jati diri ditambah lagi di dalam jiwanya terdapat perasaan ingin

diperhatikan oleh lingkungan masyarakatnya. Akibatnya anak tersebut sering

melakukan tindakan dan gaya sebagaimana tokoh yang diidolakan. Dia juga dapat

terjebak dalam tindakan kontroversial seperti terjerumus dalam tindakan

menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya seperti

mengkonsumsi narkoba, berkelahi, dan lain sebagainya. Perilaku penyimpangan

tersebut semata-mata dipicu oleh karakter sebagai remaja yang masih labil

jiwanya. Pada masa ini pengaruh luar juga lebih dominan sehingga anak

cenderung mengabaikan nasihat orang tuanya. Sang anak bisa saja menganggap

nasihat atau pengaruh orang tua sebagai hal yang tidak populer, “kolot”, “kuno”,

“norak”, dan lain sebagainya.

Berdasarkan pemaparan diatas, sesuatu yang terpenting adalah ancaman

(10)

tertulis dalam publikasi Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan

Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 1) bahwa persoalan budaya dan karakter

bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai

aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara,

dialog, dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka

masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial

berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum

seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang

muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan,

perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang

tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media

massa, seminar, dan di berbagai kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian

diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan

penerapan hukum yang lebih kuat.

Selanjutnya, dalam publikasi tersebut juga dituliskan bahwa persoalan

yang paling krusial dan menjadi sebuah fenomena berkaitan dengan penyiapan

sumber daya manusia yang siap berkompetisi di era global adalah krisis nilai-nilai

karakter bangsa. Pada saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis

nilai-nilai karakter bangsa, yang ditandai dengan semakin maraknya kejahatan dan

tindakan-tindakan lain yang tidak mencerminkan nilai-nilai karakter bangsa, yang

dilakukan oleh orang-orang berpendidikan dan ada yang punya jabatan strategis di

(11)

mantan pejabat pemerintah yang dihukum karena keterlibatannya dalam perkara

kriminal, korupsi, dan penyalahgunaan jabatan.

Pemberlakuan Pendidikan Kewargannegaraan (disingkat PKn) untuk

mengemban pendidikan karakter bangsa, secara yuridis formal terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

secara tegas menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab. Pembentukan karakter atau akhlak peserta didik ditempatkan pada bagian

awal tujuan pendidikan nasional. Hal itu menunjukkan betapa pentingnya

pembentukan karakter atau akhlak peserta didik. PKn sebagai bagian dari mata

pelajaran yang ada dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memiliki

peran strategis untuk turut serta dalam pembentukan kepribadian peserta didik.

Khusus mengenai pendidikan karakter, Winataputra (2009: 2.7)

menyebutkan bahwa dalam penjelasan pasal 37 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional secara

khusus tidak menyebutkan, namun secara implisit, antara lain tercakup dalam

muatan PKn, yang secara substantif dan pedagogis mempunyai misi

mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan

dan cinta tanah air. Hal itu juga ditopang oleh rumusan landasan kurikulum, yang dalam pasal 36 ayat (3) secara ekspilisit perlu memperhatikan persatuan

(12)

dan seni, keragaman potensi daerah dan lingkungan dan peningkatan potensi,

kecerdasan dan minat peserta didik. Landasan yuridis ini menunjukkan bahwa

pendidikan karakter menjadi bagian yang mendasar dan melekat, tidak bisa

dipisahkan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional yang harus diwujudkan.

Tujuan pendidikan nasional yakni terbentuknya manusia Indonesia yang utuh

yang dalam taksonomi Bloom membentuk aspek kognitif, afektif dan

psikomotor, dalam pandangan bangsa Indonesia sebagai manusia yang

mempunyai karakter, dan terminologi Islam sebagai manusia kaffah yang

berakhlak mulia.

Merujuk pada hal tersebut diatas, Murdiono (2010: 1) menjelaskan bahwa

PKn bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen) yang

ditandai dengan dimilikinya tiga kemampuan kewarganegaraan meliputi:

pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan

(civic skills), dan karakter kewarganegaraan (civic disposition). Ketiga kemampuan kewarganegaraan ini dapat dimiliki oleh peserta didik jika

pembelajaran yang dikembangkan oleh para guru di sekolah memperhatikan

berbagai hal penting yang menunjang keberhasilan proses pembelajaran. Salah

satu hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran

kewarganegaraan adalah strategi pembelajaran yang dikembangkan atau

diterapkan oleh para guru di kelas. Melalui pemilihan strategi pembelajaran yang

sesuai dan tepat, pembelajaran kewarganegaraan akan menjadi pembelajaran yang

menyenangkan sehingga tujuan pembelajaran kewarganegaraan pun akan dapat

(13)

Seperti yang ditulis oleh Winataputra (2001: 294-295), Visi Pendidikan

Kewarganegaraan adalah dalam arti luas, yakni sebagai “sistem Pendidikan

Kewarganegaraan”. Agar berfungsi dan berperan sebagai (1) program kurikuler

dalam pendidikan formal dan non-formal, (2) program aksi sosio-kultural dalam

konteks kemasyarakatan, dan (3) sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana

pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial. Visi ini mengandung dua dimensi,

yakni (1) dimensi substantif berupa muatan pembelajaran (content and learning

experiences) dan objek telaah serta objek pengembangan (aspek ontologi), dan (2)

dimensi proses berupa penelitian dan pembelajaran (aspek epistemologi dan

aksiologi).

Selanjutnya beliau juga menegaskan bahwa misi sosio-kultural Pendidikan

Kewarganegaraan adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem kepercayaan/ nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks pembangunan

masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan partisipasi warga negara

secara cerdas dan bertanggung jawab melalui berbagai kegiatan sosio-kultural

secara kreatif yang pada akhirnya bermuara pada tumbuh dan berkembangnya

komitmen moral dan sosial kewarganegaraan. Sedangkan misi

substantif-akademis adalah mengembangkan “struktur atau tubuh pengetahuan” Pendidikan

Kewarganegaraan, termasuk didalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi

mengenai dan yang berkenaan dengan “civic virtue” atau kebajikan

kewarganegaraan dan “civic culture” atau budaya kewarganegaraan melalui

kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi

(14)

pengembangannya itu (fungsi aksiologis). Berdasarkan misi substantif-akademis

Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu mengembangkan “struktur atau tubuh pengetahuan” Pendidikan Kewarganegaraan, maka dalam penelitian ini peneliti

lebih memfokuskan kepada budaya kewarganegaraan (civic culture) berupa sistem

kepercayaan/nilai yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Sunda yang

kemudian diangkat dan diintegrasikan dalam mata pelajaran PKn di sekolah

sebagai pembelajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal

Sunda. (Winataputra, 2001: 299).

PKn sebagai program kurikuler dalam pendidikan formal, maka menurut

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional Pasal 37 Ayat (1), bahwa kurikulum pendidikan dasar dan

menengah wajib memuat: Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan

Bahasa. Sedangkan Pasal 37 Ayat (2), bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib

memuat: Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Bahasa.

Penjelasan Pasal 37 Ayat (1) menjelaskan bahwa “Pendidikan kewarganegaraan

dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki

rasa kebangsaan dan cinta tanah air”.

Proses pembelajaran PKn hendaknya selalu menggunakan konsep dan

strategi. Strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah dengan

mengembangkan strategi pembelajaran berbasis nilai-nilai kearifan lokal (yang

dalam hal ini adalah nilai-nilai kearifan lokal Sunda). Menggali dan menanamkan

kembali kearifan lokal Sunda sebagai basis budaya melalui pembelajaran PKn,

(15)

Untuk dapat mengembangkan pembelajaran PKn berbasis nilai-nilai kearifan

lokal Sunda, tentunya diperlukan seorang pengajar yang bukan sekedar

memahami kearifan lokalnya secara tekstual, melainkan dapat memanfaatkan

kearifan lokal yang ada dalam proses pembelajaran di kelas. Selain itu,

kemampuan profesional seorang pengajar dalam mengajar PKn juga diperlukan,

mulai dari merencanakan pembelajaran sampai pada pelaksanaan pembelajaran di

kelas. Sehingga tampak pola pembelajaran yang lebih terencana.

Berdasarkan pada sifatnya, kearifan lokal Sunda dikenal dengan budaya

yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat

Sunda adalah ramah tamah (someah), murah senyum, lemah lembut, dan sangat

menghormati orang tua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat Sunda.

Sehingga ketika mendengar kata orang Sunda, maka kecenderungannya yang

terlintas dalam pikiran adalah sosok yang lemah lembut, penyayang, dan penuh

pengertian. Sedangkan berdasarkan pada keberadaannya, kebudayaan Sunda

termasuk sebagai salah satu kebudayaan tertua. Kebudayaan Sunda yang ideal

kemudian sering dikaitkan dengan kebudayaan raja-raja Sunda, yang sering

dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi (meskipun menurut beberapa sumber,

keberadaan Prabu Siliwangi hanya sebagai mitos). Etos dan watak Sunda yang

sampai saat ini oleh sebagian kalangan masyarakat Sunda masih dipertahankan

adalah silih asih, silih asah, silih asuh, cageur, bageur, bener, singer dan pinter.

Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber

kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu

(16)

Islam, namun ada beberapa yang bukan beragama Islam. Walaupun berbeda

agama, namun pada dasarnya seluruh kehidupan di tujukan untuk alam semesta.

Ini semua merupakan keberagaman yang tidak semua orang Sunda

mengetahuinya.

Mengenai nilai budaya Sunda, Hermawan (2008: 75-85) menjelaskan

bahwa terdapat empat nilai-nilai dalam budaya Sunda. Nilai-nilai tersebut adalah

nilai keharmonisan dalam hidup, penghargaan terhadap waktu, nilai

kelingkunganan, dan penghargaan dan penghormatan kepada leluhur.

Selanjutnya, kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang

membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain. Secara umum masyarakat

Sunda di Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat religius.

Pada kebudayaan Sunda, keseimbangan magis (dalam ilmu hukum adat disebut

religio magis) di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat,

sedangkan keseimbangan sosial masyarakat sunda dilakukan dengan

gotong-royong. Hal seperti itulah yang kemudian menjadi suatu dialektika dalam

kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda.

Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan totalitas terhadap tatanan

tradisional masyarakat berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk

melakukan mekanisme kontrol sosial (social control). Bertalian dengan proses

konservasi nilai-nilai budaya daerah ini memiliki fungsi yakni sekolah digunakan

sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai

tradisional dari suatu masyarakat. Pada masa proses industrialisasi dan

(17)

baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi

sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana

nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial

suatu bangsa (Idi, 2011: 69-70).

Sejalan dengan penjelasan diatas, keberadaan lembaga pendidikan sangat

berperan dalam mengembangkan dan melestarikan kearifan lokal Sunda sebagai

pembentukan karakter bangsa. Salah satu lembaga pendidikan formal yang masih

mempertahankan dan melestarikan kearifan lokal Sunda di Jawa Barat adalah

SMA Negeri 2 Cimahi, yang kemudian sekolah ini menjadi contoh betapa

perlunya kita kembali kepada kearifan lokal dalam membentuk karakter bangsa

yang berbudi pekerti luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian, dan menjadi

manusia Indonesia yang ber-Pancasilais. SMA Negeri 2 Cimahi telah menjadikan

kearifan lokal Sunda (dalam kebijakannya) sebagai salah satu misi sekolah, yaitu

meningkatkan wawasan peserta didik yang bertaraf internasional dengan

mempertahankan nilai luhur budaya kedaerahan Jawa Barat (otak internasional

hati Jawa Barat).

Sejalan dengan pendapat diatas, misi tersebut menjadi salah satu “ruh”

dari terlaksananya proses pengajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai

kearifan lokal Sunda. “Ruh” ini kemudian menjadi dasar dalam kegiatan

pembelajaran atau pun kebijakan sekolah. Seperti kita mengetahui bahwa SMA

Negeri 2 Cimahi telah mendapatkan ISO, dan inilah barangkali yang membedakan

sekolah ini dengan sekolah lainnya. Meskipun mereka telah berkelas

(18)

(khususnya kearifan lokal Sunda). Mereka sangat yakin bahwa kearifan lokal

dapat membentuk karakter dan pribadi yang tangguh yang “berfikir secara global,

namun bertindak secara lokal”.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti

merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul PENGEMBANGAN

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL

SUNDA (Studi Kasus di SMA Negeri 2 Cimahi).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka peneliti

mengajukan rumusan masalah pokok penelitian ini, yaitu: “Bagaimanakah

pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di

sekolah?”.

Agar penelitian ini lebih terarah pada pokok permasalahan, maka peneliti

jabarkan dalam beberapa sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan warga sekolah tentang program pendidikan

karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di satuan pendidikan?

2. Bagaimana program pendidikan karakter di sekolah melalui nilai-nilai

kearifan lokal Sunda?

3. Faktor-faktor apa saja yang kondusif bagi upaya pembentukan karakter di

sekolah melalui pengembangan nilai-nilai kearifan lokal Sunda?

4. Bagaimana dampak program pengembangan pendidikan karakter berbasis

(19)

C. Definisi Operasional

1. Karakter

Karakter berasal dari kata Yunani charakter yang mengacu kepada suatu tanda

yang terpatri pada sisi sebuah koin. Karakter lazim dipahami sebagai

kualitas-kualitas moral yang awet yang terdapat atau tidak terdapat pada setiap

individu yang terekspresikan melalui pola-pola perilaku atau tindakan yang

dapat dievaluasi dalam pelbagai situasi. Sejak zaman Yunani Kuno, karakter

sudah menjadi bagian dari etika normatif. Etika normatif bertalian dengan

prinsip-prinsip moral yang dianggap balk dan buruk. Terdapat tiga arus etika

normatif. etika keutamaan (virtues ethics), etika deontologikal atau etika

kewajiban (deontological ethics) dan etika konsekuensi (consequentialism

atau, sering juga dijuluki, utilitarianism (etika utilitas atau kegunaan) dengan

pelbagai perbedaan tekanan. Kalidjernih (2010: 3).

2. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk “membentuk” kepribadian

seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam

tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung

jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Lickona

(1992: 56).

3. PKn

a. PKn atau Civic Education sebagai “…the foundational course work in

(20)

sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar

kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Cogan

(Ganeswara dan Wilodati, 2011: 1).

b. Citizenship education atau education for citizenship adalah istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “…both these

in-school experiences as well as out-of in-school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media,etc which help to shape the totality of the citizen”, yaitu PKn mencakup di dalam lembaga pendidikan formal

(dalam hal ini di sekolah dan dalam program pendidikan guru) dan diluar

sekolah baik yang berupa program penataran atau program lainnya yang

sengaja dirancang atau sebagai dampak pengiring dari program lain yang

berfungsi memfasilitasi proses pendewasaan atau pematangan sebagai

warga negara. Cogan (Ganeswara dan Wilodati, 2008: 1-2).

4. Nilai-nilai Kearifan Sunda

Nilai-nilai kearifan yang dimaksud adalah nilai budaya Sunda yang

berkembang pada masyarakat Sunda.

D. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan tentang

pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di

(21)

1. Mendeskripsikan pandangan warga sekolah tentang program pendidikan

karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di satuan pendidikan.

2. Mengetahui program pendidikan karakter di sekolah melalui nilai-nilai

kearifan lokal Sunda.

3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang kondusif bagi upaya pembentukan

karakter di sekolah melalui pengembangan nilai-nilai kearifan lokal Sunda.

4. Mendeskripsikan dampak program pengembangan pendidikan karakter

berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda terhadap peserta didik.

E. Paradigma Penelitian

Paradigma dalam penelitian ini merupakan cara pandang, cara berfikir,

atau kerangka pikir tentang penelitian pengembangan pendidikan karakter

berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda. Paradigma ini dapat membantu

memahami keseluruhan isi penelitian, yang dituangkan ke dalam bagan berikut

(22)

Bagan 1.1 Paradigma Penelitian Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Sunda PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL SUNDA DI SEKOLAH KRISIS NILAI-NILAI KARAKTER KEARIFAN LOKAL SUNDA DI KALANGAN PESERTA DIDIK DI JAWA BARAT

(23)

F. Asumsi Penelitian

Asumsi yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini meliputi:

1. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kearifan lokal yang salah

satunya adalah nilai-nilai kearifan lokal Sunda. Pendidikan merupakan upaya

sadar suatu kelompok masyarakat/bangsa untuk membelajarkan nilai-nilai

karakter yang dianggap baik, penting dan berguna kepada generasi berikutnya.

2. Esensi nilai-nilai karakter tidak terlepas dari nilai-nilai kearifan lokal yang

dijadikan pegangan oleh masyarakatnya. Nilai-nilai keraifan lokal tersebut

merupakan salah satu muatan materi yang harus terkandung dalam

pembelajaran PKn dan pembelajaran lainnya.

3. SMA Negeri 2 Cimahi merupakan salah satu sekolah yang memiliki pola

pengembangan pembelajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan

lokal Sunda.

G. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah bersifat teoritik

dan praktis. Adapun manfaat-manfaat tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Teoritik

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mengembangkan proses dan

materi pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal, khususnya kearifan

Sunda sesuai dengan tujuan PKn yaitu to be good citizenshif (membentuk warga

(24)

2. Praktis

a. Bagi peneliti, penelitian ini berguna sebagai bahan untuk mengembangkan

pendidikan karakter berbasis nilai kearifan lokal, khususnya

nilai-nilai kearifan Sunda, baik dari segi konsep ataupun pembelajarannya.

b. Bagi sekolah, penelitian ini berguna untuk membantu setiap satuan

pendidikan (sekolah) dalam memberi makna lebih dan memanfaatkan

peluang mata pelajaran PKn dan mata pelajaran lainnya untuk

mengambangkan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal,

khususnya nilai-nilai kearifan lokal Sunda.

c. Bagi peserta didik, penelitian ini berguna sebagai pembentukan karakter

sebagai identitas bangsa sesuai dengan kearifan lokalnya khususnya

(25)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Peneletian

1. Pendekatan Penelitian

SMU Negeri 2 Cimahi adalah sekolah yang terletak di wilayah Cimahi,

Jawa Barat, tepatnya di kawasan KPAD. Sekolah ini sudah bersertifikat mutu

internasional (Quality System Certificate) ISO 9001:2008. Sehingga dalam proses

pembelajarannya diharuskan bersatandar internasional. Namun meskipun ada

keharusan berstandar internasional, sekolah ini tetap mempunyai komitmen untuk

mengembangkan kearifan lokal Sunda dalam pendidikan karakternya (termuat

dalam kebijakan sekolah yaitu dalam salah satu misinya), ditengah-tengah

pudarnya kearifan lokal Sunda pada sebagian besar masyarakat Sunda.

Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, di Jawa Barat jarang sekali ada

sekolah yang mempunyai berkomitmen tinggi dalam mengembangan nilai-nilai

karakter kesundaan, selain Yayasan Paguyuban Pasundan, Yayasan Atikan Sunda,

dan SMA Negeri 2 Cimahi itu sendiri. Menurut peneliti, ini merupakan hal yang

menakjubkan, mengingat status SMA Negeri 2 Cimahi adalah sekolah berlabel

”negeri” dan sudah bersertifikat mutu internasional, yang secara logika tidak

mungkin institusi tersebut berani mengusung nilai-nilai kearifan lokal Sunda

dalam kebijakan sekolahnya. Peneliti pastikan, bahwa di Jawa Barat belum ada

sekolah yang berani menuangkan pengembangan kearifan lokal Sunda dalam

(26)

Berdasarkan pada pemikiran tersebut, maka dalam melakukan penelitian

ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Nasution (2003: 5) menjelaskan

bahwa hakikat penelitian kualitatif adalah untuk mengamati orang dalam

lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa

dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. Peneliti berusaha untuk

mendapatkan makna yang sesungguhnya dari permasalahan yang akan peneliti

teliti secara mendalam guna mewujudkan beberapa kepentingan dalam melakukan

penilitian, yaitu sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan pandangan warga sekolah tentang program pendidikan

karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di satuan pendidikan.

b. Mengetahui program pendidikan karakter di sekolah melalui nilai-nilai

kearifan lokal Sunda.

c. Mendeskripsikan faktor-faktor yang kondusif bagi upaya pembentukan

karakter di sekolah melalui pengembangan nilai-nilai kearifan lokal Sunda.

d. Mendeskripsikan dampak program pengembangan pendidikan karakter

berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda terhadap peserta didik.

2. Metode Penelitian

Berdasarkan pendekatan penelitian diatas, maka metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah studi kasus. Menurut Maxfield (Nazir, 2005: 57),

bahwa studi kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang

berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.

(27)

Peneliti ingin mempelajari secara intensif latar belakang serta interaksi lingkungan

dari unit-unit sosial yang menjadi subjek. Tujuan studi kasus adalah untuk

memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta

karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang

kemudian dari sifat-sifat khas di atas akan jadikan suatu hal yang bersifat umum.

Hasil dari penelitian kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus

yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga, dan sebagainya. Tergantung dari

tujuannya, ruang lingkup dari studi dapat mencakup segmen atau bagian tertentu

atau mencakup keseluruhan siklus kehidupan dari individu, kelompok, dan

sebagainya, baik dengan penekanan terhadap faktor-faktor kasus tertentu, ataupun

meliputi keseluruhan faktor-faktor dan fenomena-fenomena. Studi kasus lebih

menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil.

Ini berbeda dengan metode survei, di mana peneliti cenderung mengevaluasi

variabel yang lebih sedikit, tetapi dengan unit sample yang relatif besar.

Selanjutnya menurut Stake (Creswell, 2010:20) menjelaskan bahwa studi

kasus merupakan strategi penelitian dimana didalamnya peneliti menyelidiki

secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok

individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti

mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur

pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.

Berdasarkan pernyataan diatas, peneliti memilih metode studi kasus karena

metode ini dilakukan secara instensif, terperinci dan mendalam terhadap individu,

(28)

penelitian ini adalah bahwa SMA Negeri 2 Cimahi merupakan salah satu sekolah

yang berada di Jawa Barat yang memiliki komitmen dalam menjaga dan

melestarikan kearifan lokal Sunda untuk mengembangkan pendidikan karakter.

Data yang dikumpulkan dari lapangan adalah hasil pengamatan langsung

terhadap situasi yang mengikutinya dalam situasi natural, wajar, sebagaimana

adanya, kemudian dari hasil wawancara terhadap responden, dan studi

dokumentasi, selanjutnya pengumpulan data dilakukan secara langsung terhadap

situasi dan interaksi dalam pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai

kearifan lokal Sunda di SMA Negeri 2 Cimahi. Pada akhimya data tersebut akan

terkumpul secara totalitas dalam kesatuan konteks sehingga dapat dipahami

maknanya.

B. Instrumen Penelitian

Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang terjun ke

lapangan untuk mencari informasi melalui observasi, wawancara, dan studi

dokumentasi. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan antar

manusia, artinya selama proses penelitian akan lebih banyak mengadakan kontak

dengan orang-orang di sekitar lokasi penelitian yaitu SMA Negeri 2 Cimahi.

Dengan demikian peneliti lebih leluasa mencari informasi dan data yang terperinci

tentang berbagai hal yang diperlukan untuk kepentingan penelitian.

Pemikiran peneliti ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Nasution (2003: 55-56) tentang instrumen penelitian kualitatif/naturalistik, yaitu

(29)

manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya ialah bahwa segala

sesuatu belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur

penelitian, data yang akan dikumpulkan, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil

yang diharapkan, itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan jelas

sebelumnya. Segala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang penelitian itu.

Dalam keadaan yang serba tak pasti dan jelas itu tidak ada pilihan lain dan hanya

peneliti itu sendiri satusatunya alat yang dapat menghadapinya.

Selanjutnya Nasution juga menjelaskan bahwa peneliti sebagai instrumen

penelitian serasi untuk penelitian serupa ini karena mempunyai ciri-ciri yang

berikut:

1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari

lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian.

Tidak ada instrumen lain yang dapat bereaksi dan berinteraksi terhadap

demikian banyak faktor dalam situasi yang senantiasa berubah-ubah.

2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan

dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat

penelitian lain, seperti yang digunakan dalam penelitian kuantitatif, yang dapat

menyesuaikan diri dengan bermacam-macam situasi serupa itu. Suatu test

hanya cocok untuk mengukur variabel tertentu akan tetapi tidak dapat dipakai

untuk mengukur macam-macam variabel lainnya.

3. Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen berupa

(30)

Hanya manusia sebagai instrumen dapat memahami situasi dalam segala

seluk-beluknya.

4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan

pengetahuan semata-mata. Untuk memahaminya kita sering perlu

merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita.

5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia

dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan

arah pengamatan, untuk men-test hipotesis yang timbul seketika.

6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan berdasarkan

data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai

balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan.

7. Dalam penelitian dengan menggunakan test atau angket yang bersifat

kuantitatif yang diutamakan adalah respons yang dapat dikuantifikasi agar

dapat diolah secara statistik, sedangkan yang menyimpang dari itu tidak

dihiraukan. Dengan manusia sebagai instrumen, respons yang aneh, yang

menyimpang justru diberi perhatian. Respons yang lain dari pada yang lain,

bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan

dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diselidiki.

C. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan metode penelitian yang digunakan, maka teknik

(31)

yaitu teknik wawancara mendalam, observasi, studi dokumentasi, dan studi

kepustakaan.

1. Wawancara Mendalam

Pengertian wawancara dapat diungkap dari berbagai ahli yang ditulis oleh

Satori dan Komariah (2011: 129-130), yaitu sebagai berikut.

a. Berg: membatasi wawancara sebagai suatu percakapan dengan suatu tujuan,

khususnya tujuan untuk mengumpulkan informasi.

b. Sudjana: wawancara adalah proses pengumpulan data atau informasi melalui

tatap muka antara pihak penanya (interviewer) dengan pihak yang ditanya atau

penjawab (interviewee).

c. Esterberg: interview, a meeting of two persons to exchange information and

idea through question and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topic. (Wawancara merupakan

suatu pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu).

Peneliti memakai teknik wawancara mendalam dalam penelitian ini

dikarenakan ingin mengetahui betul duduk permasalahan yang peneliti jadikan

sebagai rumusan masalah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nasution

(2003: 73) bahwa dengan wawancara mendalam ini diharapkan dapat diperoleh

bentuk-bentuk informasi tertentu dari semua responden dengan susunan kata dan

(32)

Berg (Satori dan Komariah, 2011: 133) menyebutkan tiga jenis

wawancara, yaitu:

a. Wawancara terstandar (Standardized interview)

b. Wawancara tidak terstandar (Untandardized interview)

c. Wawancara semi standar (Semistandized interview)

Berdasarkan pada pemaparan diatas, maka teknik wawancara yang peneliti

lakukan adalah dengan wawancara semi standar. Peneliti lakukan ini supaya

adanya kedalaman dalam penelitian. Sehingga pada akhir penelitian terdapat titik

jenuh yang kemudian menjadi akhir dalam penelitian.

Penelitian tentang pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai

kearifan lokal Sunda di sekolah ini, akan melakukan wawancara mendalam

kepada:

a. Kepala Sekolah

b. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan

c. Komite Sekolah

d. Guru

e. Peserta Didik

2. Observasi

Observasi dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah pengamatan.

Alat ini digunakan untuk mengamati; dengan melihat, mendengarkan, merasakan,

mencium, mengikuti, segala hal yang terjadi dengan cara mencatat/merekam

(33)

Hadi (Sugiyono, 2007: 145) menjelaskan bahwa observasi merupakan suatu

proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis

dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan

dan ingatan.

Sedangkan menurut Alwasilah (2002: 211) observasi penelitian adalah

pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk perolehan data yang

dikontrol validitas dan reliabilitasnya. Metode ini menggunakan pengamatan atau

penginderaan langsung terhadap suatu benda, kondisi, situasi, proses, atau

perilaku.

Menurut Spradley (Satori dan Komariah, 2011: 120) tahapan observasi

dibagi menjadi tiga tahap, yaitu 1) observasi deskriptif, 2) observasi terfokus 3)

observasi terseleksi.

Peneliti menggunakan teknik observasi karena terdapat beberapa

keunggulan. Menurut Patton (Nasution, 2003: 59-60) manfaat observasi ialah:

a. Dengan berada di lapangan peneliti lebih mampu memahami konteks data

dalam keseluruhan situasi, jadi ia dapat memperoleh pandangan yang holistik

atau menyeluruh.

b. Pengalaman langsung memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan

induktif, jadi tidak dipengaruhi oleh konsep-konsep atau pandangan

sebelumnya. Pendekatan induktif membuka kemungkinan melakukan

(34)

c. Peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau yang tidak diamati orang lain,

khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap

“biasa” dan karena itu tidak akan terungkapkan dalam wawancara.

d. Peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan terungkapkan

oleh responden dalam wawancara karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi

karena dapat merugikan nama lembaga.

e. Peneliti dapat menemukan hal-hal di luar persepsi responden, sehingga

peneliti memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.

f. Dalam lapangan peneliti tidak hanya dapat mengadakan pengamatan akan

tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, misalnya merasakan suasana

situasi sosial.

Untuk mempermudah jalannya observasi, maka peneliti menggunakan

observasi partisipatif, dimana adanya keterlibatan antara peneliti dengan subjek

penelitian, yang dalam hal ini adalah pihak warga sekolah serta situasi sekolah.

Sehingga terjadi kejelasan yang nyata terhadap permasalahan yang dikaji.

Kejelasan inilah yang menurut peneliti sebagai titik jenuh dalam penelitian.

Objek observasi dalam penelitian ini adalah adaptasi dari pendapatnya

Spradley (Sugiyono, 2007: 229), yaitu terdiri dari tiga komponen. Komponen

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Place, atau tempat di mana interaksi dalam situasi sosial sedang berlangsung, yaitu di SMA Negeri 2 Cimahi.

(35)

c. Activity, atau kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial yang sedang berlangsung, yaitu kegiatan pengembangan pendidikan karakter

berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di SMA Negeri 2 Cimahi.

3. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi adalah mengumpulkan sejumlah dokumen yang

diperlukan sebagai bahan data informasi sesuai dengan masalah penelitian (Danial

dan Warsiah, 2007: 66). Dokumen berguna karena dapat memberikan latar

belakang yang lebih luas mengenai pokok penelitian, dapat dijadikan bahan

triangulasi untuk mengecek kesesuaian data (Nasution, 2003: 86).

Berdasarkan pengertian diatas, maka jenis-jenis dokumentasi yang

dijadikan dasar acuan peneliti adalah sesuai dengan pendapat dari Bogdan (Satori

dan Komariah, 2011: 153-155), yaitu:

a. Dokumen pribadi dan buku harian

b. Surat pribadi

c. Autobiografi

d. Dokumen resmi, dan

e. Fotografi

4. Studi Kepustakaan/Literatur

Studi kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan

mengumpulkan sejumlah buku-buku, majalah, liflet, yang berkenaan dengan

(36)

literatur, selain dari mencari sumber data sekunder yang akan mendukung

penelitian, juga diperlukan untuk mengetahui sampai ke mana ilmu yang

berhubungan dengan penelitian telah berkembang, sampai ke mana terdapat

kesimpulan dan degeneralisasi yang telah pernah dibuat, sehingga situasi yang

diperlukan dapat diperoleh (Nazir, 2005: 93).

Berdasarkan kepada pendapat diatas, maka peneliti mengadakan studi

dokumentasi dan literatur dari dokumen-dokumen yang ditemukan di sekolah atau

bahan-bahan literatur yang sesuai sebagai jalan bagi peneliti dalam menganalis

hasil penelitian.

D. Lokasi dan Subjek Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah SMA Negeri 2 Cimahi yang beralamat di

Jalan Sriwijaya IX KPAD No. 45 A Kota Cimahi 40254. Sekolah tersebut

merupakan salah satu sekolah menengah yang masih mempertahankan,

melestarikan, dan mengembangkan kearifan lokal Sunda untuk membentuk

karakter peserta didik menjadi warga negara yang baik.

2. Subjek Penelitian

Penelitian selalu dihadapkan pada sumber data yang disebut dengan subjek

penelitian yang akan memberikan informasi sesuai dengan permasalahan

(37)

Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah warga sekolah

yang ada di SMA Negeri 2 Cimahi. Subjeknya adalah sebagai berikut:

a. Kepala Sekolah

b. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan

c. Komite Sekolah

d. Guru

e. Peserta Didik

Penelitian ini menggunakan sampel purposif dan snowball sampling

sehingga besarnya sampel ditentukan oleh adanya pertimbangan perolehan

informasi. Penentuan sampel dianggap telah memadai apabila telah sampai pada

titik jenuh. Sehingga pengumpulan data dari responden didasarkan pada ketentuan

atau kejenuhan data dan informasi yang diberikan.

E. Tahap-tahap Penelitian

Sebuah penelitian akan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan

seperti yang diharapkan, jika penelitian itu dilaksanakan sesuai dengan

langkah-langkah yang telah direncanakan. Oleh karena itu, supaya penelitian yang peneliti

lakukan dapat berjalan dengan baik guna mencapai hasil yang maksimal, maka

dalam melakukan penelitian ini, disusun langkah-langkah penelitian secara

(38)

1. Tahap Pra Penelitian

Pada tahap ini, peneliti menyusun rancangan penelitian dengan terlebih

dahulu melakukan pra penelitian ke SMA Negeri 2 Cimahi pada bulan Februari

2012. Tujuannya adalah untuk mengetahui kondisi umum dari SMA Negeri 2

Cimahi terutama yang berkaitan dengan proses belajar mengajar di sekolah

tersebut. Hal ini dilakukan guna mendapatkan data tentang pengembangan

pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda yang akan dijadikan

data dan informasi awal untuk memperkuat gambaran tentang bagaimana proses

pengembangan pendidikan karakter.

Setelah mengadakan pra penelitian selanjutnya peneliti mengajukan

rancangan penelitian yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, metode dan teknik penelitian, lokasi dan subjek

penelitian. Kemudian peneliti memilih dan menentukan lokasi yang akan

dijadikan sebagai sumber data atau lokasi penelitian yang disesuaikan dengan

keperluan dan kepentingan masalah penelitian. Setelah lokasi penelitian

ditetapkan, selanjutnya peneliti mengupayakan perizinan dari instansi yang

terkait, prosedur perizinan yang ditempuh adalah sebagai berikut:

a. Mengajukan surat permohonan untuk melakukan penelitian kepada Direktur

Sekolah Pascasarjana UPI.

b. Surat permohonan tersebut kemudian diberikan kepada Kepala SMA Negeri 2

Cimahi untuk pemberian izin kepada peneliti dalam mengadakan penelitian di

(39)

2. Tahap Pelaksanaan

Setelah selesai tahap persiapan penelitian, dan persiapan-persiapan yang

menunjang telah lengkap, maka peneliti terjun ke lapangan untuk pelaksanaan

penelitian, yang dimulai pada bulan Februari 2012 hingga Mei 2012. Dalam

melaksanakan penelitian, peneliti menekankan bahwa instrumen yang utama

adalah peneliti sendiri (key instrument). Peneliti sebagai instrumen utama dibantu

oleh pedoman observasi dan pedoman wawancara antara peneliti dengan

responden. Pedoman wawancara yang peneliti persiapkan sebagai berikut.

a. Kepala Sekolah

b. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan

c. Komite Sekolah

d. Guru

e. Peserta Didik

Tujuan dari wawancara mendalam ini adalah untuk mendapatkan

informasi yang diperlukan agar dapat menjawab permasalahan penelitian. Setiap

selesai melakukan penelitian di lapangan, peneliti menuliskan kembali data-data

yang terkumpul kedalam catatan lapangan, dengan tujuan supaya dapat

mengungkapkan data secara mendetail dan lengkap.

3. Tahap Analisis Data

Kegiatan analisis data dilakukan setelah data yang diperlukan terkumpul.

Dengan demikian, pada tahap ini, peneliti berusaha mengorganisasikan data yang

(40)

Menurut Creswell (2010: 274-275) menyatakan bahwa analisis data

merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terus-menerus

terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis, dan menulis catatan

singkat sepanjang penelitian. Analisis data melibatkan pengumpulan data yang

terbuka, yang didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan umum, dan analisis

informasi dari para partisipan.

Analisis data kualitatif yang akan digunakan peneliti adalah berdasarkan

pada model Miles dan Huberman (Sugiyono, 2007: 246) yang terdiri atas tiga

aktivitas, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.

Ketiga rangkaian aktivitas tersebut adalah sebagai berkut.

a. Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan

pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu.

Pedapat ahli di atas relevan dengan kondisi penulis di lapangan, dimana

semakin lama peneliti melakukan penelitian, data yang diperoleh semakin banyak,

kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui

reduksi data. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan

gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan

pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya kembali bila diperlukan.

b. Data Display (Penyajian Data)

Data yang bertumpuk dan laporan lapangan yang tebal akan sulit

(41)

tertentu dalam penelitian harus diusahakan membuat berbagai macam matrik,

uraian singkat, networks, chart, dan grafik. (Nasution, 2003: 129).

Pendapat Nasution di atas sejalan dengan pendapat Sugiyono (2008: 249)

yang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan

dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan

sejenisnya. Dengan men-display data maka akan memudahkan untuk memahami

apa yang terjadi, merencanakan rencana selanjutnya berdasarkan apa yang telah

dipahami tersebut. Oleh karena itu supaya penulis tidak terjebak dalam tumpukan

data lapangan yang banyak, peneliti melakukan display data. Display data yang

dilakukan lebih banyak dituangkan kedalam bentuk uraian singkat.

c. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi)

Langkah ketiga ini peneliti lakukan di lapangan dengan maksud untuk

mencari makna dari data yang dikumpulkan. Agar mencapai suatu kesimpulan

yang tepat, kesimpulan tersebut senantiasa diverifikasi selama penelitian

berlangsung, agar lebih menjamin validitas penelitian dan dapat dirumuskannya

kesimpulan akhir yang akurat.

F. Uji Validitas Data Penelitian

Berdasarkan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, maka dalam

penelitian ini untuk menguji keabsahan data, pengukurannya dinyatakan absah

apabila memiliki derajat keterpercayaan (credibility), keteralihan (transferability),

kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Berikut disajikan

(42)

1. Keterpercayaan (Credibility/Validitas Internal) Penelitian

Penelitian berangkat dari data. Data adalah segala-galanya dalam

penelitian. Oleh karena itu, data harus benar-benar valid. Ukuran validitas suatu

penelitian terdapat pada alat untuk menjaring data, apakah sudah tepat, benar,

sesuai dan mengukur apa yang seharusnya diukur. Alat untuk menjaring data

penelitian kualitatif terletak pada penelitinya yang dibantu dengan metode

interview, observasi, dan studi dokumen. Dengan demikian, yang diuji

ketepatannya adalah kapasitas peneliti dalam merancang fokus, menetapkan dan

memilih informan, melaksanakan metode pengumpulan data, menganalisis dan

menginterpretasi dan melaporkan hasil penelitian yang kesemuanya itu perlu

menunjukkan konsistensinya satu sama lain. Keterpercayaan penelitian kualitatif

tidak terletak pada derajat akurasi desain penelitian dengan hasil yang dicapai

tetapi pada kredibilitas peneliti.

2. Keteralihan (Transferability/validitas eksternal)

Uji terhadap ketepatan suatu penelitian kualitatif selain dilakukan pada

internal penelitian juga pada keterpakaiannya oleh pihak eksternal. Validitas

eksternal berkenaan dengan derajat akurasi apakah hasil penelitian dapat

digeneralisasikan atau diterapkan pada populasi di mana sampel tersebut diambil

(43)

3. Kebergantungan (Dependability/ Reliabilitas)

Kebergantungan disebut juga audit kebergantungan menunjukkan bahwa

penelitian memiliki sifat ketaatan dengan menunjukkan konsistensi dan stabilitas

data atau temuan yang dapat direflikasi. Pengujian ini dilakukan dengan

mengaudit keseluruhan proses penelitian. Kalau proses penelitian tidak dilakukan

di lapangan dan datanya ada, maka penelitian tersebut tidak reliabel atau

dependable.

4. Kepastian (confirmability/Objectivitas)

Kepastian atau audit kepastian yaitu bahwa data yang diperoleh dapat

dilacak kebenarannya dan sumber informannya jelas. Komfirmabilitas

berhubungan dengan objektivitas hasil penelitian. Hasil penelitian dikatakan

memiliki derajat objektivitas yang tinggi apabila keberadaan data dapat ditelusuri

secara pasti dan Penelitian dikatakan objektif bila hasil penelitian telah disepakati

banyak orang. Uji konfirmabilitas hampir sama dengan uji dependabilitas,

sehingga pengujiannya dapat dilakukan secara bersamaan. Uji konfirmabilitas

berarti menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil

penelitian merupakan fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka

penelitian tersebut telah memenuhi standar konfirmabilitas. Artinya, seorang

peneliti melaporkan hasil penelitian karena ia telah melakukan serangkaian

kegiatan penelitian di lapangan. Untuk menjaga kebenaran dan objektivitas hasil

penelitian, perlu dilakukan “audit trail” yakni, melakukan pemeriksaan guna

(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam BAB IV, dapat

peneliti rumuskan suatu kesimpulan sementara dan rekomendasi.

A. Kesimpulan

1. Kesimpulan Umum

Nilai-nilai kearifan lokal Sunda merupakan nilai-nilai budaya atau tata

nilai kehidupan masyarakat Sunda, yang dapat ditelusuri dari naskah, prasasti dan

situs, adat istiadat pernikahan, dan naskah dongeng. Nilai-nilai karakter

kesundaan juga tercermin dalam makna kata Sunda, pandangan hidup orang

Sunda, dan budaya Sunda. Nilai-nilai tersebut adalah nilai yang berhubungan

antara manusia dengan Tuhannya, dirinya sendiri, sesama manusia dan

bangsanya, dan sesama makhluk ciptaan Allah SWT.

Nilai-nilai kearifan lokal Sunda harus dilestarikan dan dikembangkan dari

sejak dini. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam membentuk kembali

identitas kesundaan yang sekarang ini kecenderungan masyarakat Sunda telah

melupakannya. Jadi, untuk membentuk pribadi orang Sunda yang

“nyunda”/berkarakter Sunda, maka pendidikan karakter berbasis nilai-nilai

kearifan lokal Sunda adalah suatu keniscayaan.

Pendidikan merupakan wahana yang sangat strategis dalam upaya

(45)

kesundaan yang wajib dibelajarkan di sekolah adalah (1) Nilai manusia sebagai

makhluk Tuhan (Sirna Ning Cipta, Sirna Ning Rasa, Sirna Ning Karsa, Sirna

Ning Karya, Sirna Ning Wujud, Sirna Ning Dunya, Sirna Ning Pati; (2) Nilai manusia sebagai makhluk Individu (Sirna Ning Diri, Cageur, Bageur, Bener,

Pinter, Singer, Teger, Pangger, Wanter, Cangker, Nyunda, Nyantri, Nyantana, Nyatria, Anu Nyunda Tur Islami); (3) Nilai manusia sebagai makhluk sosial, negara dan bangsa yaitu Sirna Ning Hurip yang bisa diwujudkan apabila dalam

berkehidupan setiap manusia selalu mengedepankan: Silih Asih, Silih asah, dan

Silih asuh; (4) Nilai manusia dengan makhluk lainnya yaitu Sirna Ning Hirup.

Nilai-nilai karakter kesundaan menurut Haji Hasan Mustapa (HMM)

adalah karakter yang berlandaskan Ketuhanan (Allah SWT), yaitu segala perilaku

yang dilakukan oleh umat manusia harus sesuai dengan tuntunan syariah Islam.

Keharusan tersebut dimaksudkan supaya setiap manusia bisa sukses dan selamat

di dunia dan akhirat. Sehingga menurut HMM, pandangan hidup orang Sunda

adalah harus memahami, meyakini, dan menjalankan keimanan dan ketaqwaan

terhadap Allah SWT. Dapat peneliti ikhtisarkan bahwa kemungkinan menurut

HMM, nilai-nilai kesundaan sama dengan nilai-nilai Islam. Nilai-nilai tersebut

bisa ditemukan dalam semua karya sastranya, yaitu Dangdanggula Sirna Rasa,

Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, dan

Asmarandana Nu Kami.

Pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal

Sunda tersebut diatas, di SMA Negeri 2 Cimahi dilaksanakan melalui

(46)

terutama Misi untuk meningkatkan wawasan peserta didik yang bertaraf

internasional dengan mempertahankan nilai luhur budaya kedaerahan Jawa Barat

(otak internasional hati Jawa Barat).

Kegiatan pembelajaran pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan

lokal Sunda yang berlangsung di sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan

sekitar, karena pada dasarnya pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dari

proses pendidikan yang berlangsung di rumah dan masyarakat. Pada prakteknya,

kerjasama dilakukan melalui proses pengintegrasian nilai-nilai yang berkembang

di tengah masyarakat Sunda dalam proses pendidikan di sekolah, yaitu melalui

kebijakan sekolah, proses pembiasaan, pembelajaran di kelas, dan kegiatan

ekstrakurikuler.

Berdasarkan prosesnya dalam dunia pendidikan, proses pendidikan

karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda melalui pembelajaran di kelas

saat ini dilakukan melalui pengintegrasian, khususnya pada mata pelajaran Bahasa

Sunda, Seni Budaya, PKn, Pendidikan Agama, sejarah, dan umumnya pada semua

mata pelajaran lain yang telah ada di sekolah.

Materi tentang nilai-nilai kesundaan, baik secara khusus ataupun

diintegrasikan pada mata pelajaran lain, pada kenyataannya di lapangan kurang

disukai oleh guru ataupun peserta didik. Kondisi ini terjadi karena meteri tersebut

tidak masuk dalam Ujian Nasional (UN), serta kurangnya penguasaan guru-guru

terhadap materi-materi berkenaan dengan kearifan lokal Sunda, sehingga pada

(47)

2. Kesimpulan Khusus

a. Pandangan warga sekolah mengenai pengembangan pendidikan karakter

berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda menyatakan bahwa pendidikan

tersebut sangat penting untuk dilaksanakan satuan pendidikan, dengan tujuan

untuk membelajarkan karakter-karakter kesundaan yang berlandaskan

Pancasila.

b. Program pendidikan karakter di SMA Negeri 2 Cimahi melalui nilai-nilai

kearifan lokal Sunda adalah dengan menggunakan model kurikulum

terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran dan model suplemen. Sedangkan

model pembelajarannya menggunakan model keteladanan dan pembiasaan,

namun tidak secara tersurat terdapat nilai-nilai kearifan lokal Sunda (nilai-nilai

kesundaan tidak menggunakan teks bahasa Sunda), hanya tersirat semata.

c. Faktor-faktor yang kondusif bagi upaya pembentukan karakter di SMA Negeri

2 Cimahi melalui pengembangan nilai-nilai kearifan lokal Sunda adalah faktor

harapan tinggi dikalangan siswa untuk berprestasi (highly expectation for

student achievment), faktor penekanan pendidikan pada keterampilan dasar

(emphasis on basic skills), dan faktor lingkungan yang tertata dengan rapi (orderly environment).

d. Pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan lokal Sunda di

SMA Negeri 2 Cimahi berdampak positif yaitu sebagai pengembangan

identitas kesundaan dan berdampak negatif yaitu mengarah kepada

primordialisme. Maka mata pelajaran PKn dijadikan sebagai salah satu

(48)

B. Rekomendasi

Demi terlaksananya kegiatan pengembangan pendidikan karakter berbasis

nilai-nilai kearifan lokal Sunda di sekolah, maka peneliti merekomendasikan

sebagai berikut.

1. Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Kabupaten/Kota, perlu membuat kebijakan

khusus mengenai nilai-nilai kearifan lokal Sunda dalam pengembangannya di

sekolah sebagai penguat kebijakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang sampai saat ini

menurut peneliti tidak ada.

2. SMA Negeri 2 Cimahi, perlu membuat kebijakan khusus mengenai kearifan

lokal Sunda dalam pengembangannya di sekolah di dalam program-program

kegiatannya. Kebijakan tersebut diantaranya.

a) Menegaskan jenis model kurikulum yang dipakai

b) Menegaskan bentuk model pembelajaran berkarakter

c) Menegaskan nilai-nilai karakter tersebut dengan memakai teks bahasa

Sunda

d) Diadakan muatan materi pelajaran tentang hakikat Sunda, hakikat orang

Sunda, sejarah Sunda, dan nilai-nilai kesundaan, bahasa Sunda, seni

Sunda, baik menjadi mata pelajaran baru ataupun dimuatkan pada mata

pelajaran yang sudah ada. Mungkin selama ini muatan materinya hanya

sebatas pembudayaan bahasa dan seni Sunda.

e) Selanjutnya, sebagai bahan pertimbangan, perlunya mengubah salah satu

(49)

internasional hati Sunda”. Rekomendasi ini berlandaskan bahwa

penamaan Jawa Barat merupakan pemaknaan dari letak wilayah secara

geografis bukan secara budaya yang dianutnya, tidak semua masyarakat

berdasarkan pada kebudayaan Sunda, contohnya masyarakat Cirebon dan

Indramayu, yang sebagian masyaraktnya menggunakan budaya Jawa, atau

budaya dengan ciri khasnya tersendiri.

3. Guru Sekolah

a) Guru yang mengajar di daerah Jawa Barat harus secara terus menerus

berusaha untuk menguasai kebudayaan Sunda.

b) Guru harus lebih kreatif dalam mengemas pembelajaran, terutama

pembelajaran berkarakter. Jikalau rekomendasi saya pada point 1 dan 2

belum ada respon, maka guru harus membuat pola pembelajaran untuk

mengarahkan peserta didik mengetahui akan nilai-nilai kesundaannya,

minimalnya nilai-nilai kesundaan tersebut dibuat dalam teks pada silabus

dan RPP. Khusus untuk guru mata pelajaran PKn, supaya muatan

materinya dikondisikan untuk mengarah kepada pemupukan jiwa

nasionalisme peserta didik sebagai upaya dalam penanggulangan dampak

positif dari pengembangan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai kearifan

lokal Sunda.

4. Peserta Didik, perlu adanya respon yang postif. Hal ini bisa diwujudkan

dengan tingkat kekreatifan peserta didik untuk selalu melestarikan budaya

Sunda. Kekreatifan itu bisa diwujudkan minimalnya dengan memakai bahasa

(50)

5. Masyarakat Sunda, perlu adanya pusat kajian sunda di tiap kabupaten/kota.

Sehingga minimalny

Gambar

Tabel 2.1 Jangkauan Sikap dan Perilaku dengan Butir-Butir Nilai Budi                 Pekerti ...........................................................................................

Referensi

Dokumen terkait

Konsumen hanya tinggal memilih produk yang ingin dibeli kemudian setelah mendapat konfirmasi dari pihak Hikari, konsumen diharapkan segera melakukan pembayaran dengan cara transfer.

Dari penelitian ini diketahui bahwa pelanggan secara umum merasa puas terhadap layanan purna jual dan complain handling yang diberikan oleh Suzuki Citra Asri Buana Nanggewer.

Pengetahuan HIV/AIDS dan bahaya narkoba : Pilih salah satu jawaban yang benar dengan memberi tanda silang (x) pada jawaban yang menurut anda benara. Sikap HIV/AIDS dan

Penulisan Ilmiah, Fakultas Ilmu Komputer, 2007.

Dari perbandingan yang telh dilakukan, didapat kan hasil (1) jumlah variabel yang diubah pada kedua fase yaitu sebanyak 1 variabel; (2) perubahan arah kedua fase

Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa data citra gambar yang diperoleh dari kamera akan diproses oleh Raspberry Pi menggunakan Python dan OpenCV dengan

produk kontrol yang merupakan bolu gulung dengan bahan baku tepung terigu.. Pengujian daya terima dilakukan dua tahap yaitu uji organoleptik dan uji

Adapun sampel dalam penelitian ini peneliti mengambil dua kelas, yaitu kelas X IIS 2 sebagai kelas eksperimen dan kelas X Bahasa sebagai kelas kontrol.. Adapun