• Tidak ada hasil yang ditemukan

SPEKTRUM PETUGAS BIMBINGAN DI SEKOLAH MENENGAH ATAS : Studi Deskriptif-anaHtis dalam Rangka Kategorisasi Petugas Bimbingan Dilihat dari Segi Kualifikasi Pendidikan beserta Tugas dan Kompetensinya menurut Beberapa Pakar Bimbingan di Indonesia dan Keadaan p

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SPEKTRUM PETUGAS BIMBINGAN DI SEKOLAH MENENGAH ATAS : Studi Deskriptif-anaHtis dalam Rangka Kategorisasi Petugas Bimbingan Dilihat dari Segi Kualifikasi Pendidikan beserta Tugas dan Kompetensinya menurut Beberapa Pakar Bimbingan di Indonesia dan Keadaan p"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

SPEKTRUM PETUGAS BIMBINGAN

DI SEKOLAH MENENGAH ATAS

(Studi Deskriptif-anaHtis dalam Rangka Kategorisasi

Petugas Bimbingan Dilihat dari Segi Kualifikasi Pendidikan

beserta Tugas dan Kompetensinya menurut

Beberapa Pakar Bimbingan di Indonesia dan Keadaan

pada Beberapa SMA di Jawa Barat)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat

Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Bidang Bimbingan dan Konseling

Olefa

MSolehuddin

8932191/XXI-13/BK

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN BANDUNG

(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING :

Pembimbing I

PROF. DR. ROCHMAN NATAWIDJAJA

NIP. 130 183 131

Pembimbing II

DR. MOHAMMAD SURYA

(3)

Lampiran A.1

ABSTRAK

Berkenaan dengan upaya profesionalisasi petugas bimbingan di

Sekolah Menengah Atas (SMA), studi ini diarahkan untuk menelaah

spektrum petugas bimbingan di SMA, diUhat dari kuaUfikasi pendidikan serta tugas-kewenangan dan kompetensinya, menurut pandangan para pakar bimbingan dan keadaan di lapangan. Dengan menggunakan angket terhadap 10 pakar bimbingan dari beberapa perguruan tinggi di Indo nesia dan 52 petugas bimbingan dari beberapa SMA di Jawa Barat, yang dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif, diperoleh suatu hasil peneli

tian sebagai berikut ini.

Secara garis besar, terdapat empat pandangan pakar yang ber

beda dalam merumuskan spektrum petugas bimbingan di SMA. Perbedaan

tersebut terjadi baik dalam-hal kategorisasi, sebutan, maupun dalam

menentukan lingkup tugas-kewenangan dan kompetensi. Namun di sisi

lain masih terdapat kesamaan pandangan di antara mereka, yakni bahwa

semakin tinggi kua-lifikasi pendidikan petugas bimbingan dalam bidang

bimbingan dipandang semakin tinggi pula kualifikasi profesionalnya.

Lingkup tugas-kewenangan dan kompetensi petugas bimbingan yang

tinggi kualifikasi profesionalnya lebih banyak berkenaan dengan aktivi

tas bimbingan yang bersifat konseptual, kuratif, dan pengembangan; sedangkan yang rendah kualifikasi profesionalnya lebih banyak ber

kenaan dengan aktivitas yang bersifat informatif dan

teknis-administra-tif.

Secara aktual, spektrum petugas bimbingan di SMA terdiri dari

empat kategori, yakni petugas bimbingan bukan lulusan BP/PPB dan

(4)

belum mengikuti pendidikan minor dan penataran bimbingan, bukan

lulusan BP/PPB tetapi pernah mengikuti pendidikan minor dan/atau

penataran bimbingan, lulusan sarjana muda atau D3 BP/PPB, dan pe

tugas bimbingan lulusan SI BP/PPB. Semua petugas bimbintfan tersebut

lajimnya disebut guru BP atau kadang-kadang guru BK. Pada dasarnya,

tidak ada perbedaan mencolok di antara mereka, baik dalam lingkup

tugas yang dilakukan maupun dalam lingkup kompetensi yang dikuasai.

Sedikit perbedaan terjadi dalam segi visi bimbingan — para petugas

bimbingan lulusan BP/PPB menunjukkan visi yang lebih tepat dan

konsisten.

Spektrum petugas bimbingan yang diperkirakan layak diterapkan di SMA terdiri dari tiga kategori, yakni guru pembimbing (guru bukan

lulusan BP/PPB berpengalaman mengajar minimal dua tahun yang di

tugasi bimbingan setelah mengikuti penyetaraan bimbingan), konselor

muda. (lulusan sarjana muda atau D3 BP/PPB), dan konselor (minimal lu

lusan SI BP/PPB). Sebutan umum bagi mereka adalah pembimbing.

Fungsi utama guru pembimbing adalah "membantu" penyelenggaraan bimbingan. Lingkup tugas-kewenangannya berkisar pada aktivitas-aktivitas administratif dan beberapa pelayanan bimbingan yang lebih

ber-sifat informatif dan sederhana. Tugas utama konselor muda juga

masih bersifat "membantu", tetapi dalam lingkup aktivitas yang lebih luas dan kompleks ditambah dengan membantu aktivitas manajemen bimbingan. Konselor dianggap berwenang penuh untuk menyelenggara kan seluruh aktivitas bimbingan dengan penekananan pada aktivitas

pelayanan yang lebih kompleks dan mendalam, manajemen, serta aktivi

tas penelitian dan pengembangan program.

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR

UNGKAPAN TERIMA KASIH

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Penjelasan Masalah dan Perumusan

Pertanya-an PenelitiPertanya-an , 15

C. Objek Penelitian dan Penjelasan Istilah .. 23

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 25

E. Asumsi Penelitian , 27

BAB II PETUGAS BIMBINGAN DI SEKOLAH MENENGAH ATAS ... 30

A. Konsep Dasar Bimbingan di Sekolah Menengah

Atas 30

B. Permasalahan dan Tugas Perkembangan Siswa

sebagai Subjek Garapan Bimbingan di Seko

lah Menengah Atas 46

C. Personel-personel yang Terutama Terlibat

dalam Penyelenggaraan Bimbingan di Sekolah

Menengah Atas 55

D. Tugas Petugas Bimbingan di Sekolah Mene

ngah Atas 65

E. Kompetensi Petugas Bimbingan di Sekolah

Menengah Atas . 85

BAB III METODE PENELITIAN 101

A. Metode dan Prosedur Penelitian 101

B. Subjek Penelitian 102

C. Instrumen Pengumpul Data 105

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA Ill

A. Hasil Penelitian Ill

B. Pembahasan Hasil Penelitian 148

vii

1

(6)

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 163

A. Kesirapulan 163

B. Rekomendasi 166

DAFTAR PUSTAKA 176

LAMPIRAN-LAMPIRAN 181

A. ABSTRAK 182

B. RIWAYAT HIDUP 186

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.2. Kompetensi Siswa Sekolah Menengah Atas 52

2.2. Kesesuaian antara Tingkat Pendidikan dan Tanggung

Jawab Perabimbing 63

1.3. Responden Pakar Bimbingan 103

2.3. Responden Petugas Bimbingan 105

(8)

DAFTAR GAMBAR

1.1. Model Sistemik

Upaya

Profesionalisasi

Petugas

Bimbingan di Sekolah 17

1.2. Lingkup Garapan Penelitian dalam Upaya

(9)
(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seperti halnya pendidikan pada umumnya, bimbingan tak lepas

dari berbagai persoalan dan tantangan, terlebih-lebih karena usia

bimbingan yang masih relatif muda bila dibanding dengan bidang-bidang

pendidikan lainnya. IPBI (1990) mengidentifikasi empat persoalan pokok

bimbingan yang dihadapi dewasa ini, yakni persoalan: (1) ketenagaan,

(2) pengorganisasian dan pengadministrasian, (3) pengembangan profesi,

dan (4) pelaksanaan bimbingan di sekolah dasar.

Berkenaan dengan segi ketenagaan bimbingan, masalah yang

muncul mencakup baik segi kuantitas maupun segi kualifikasi. Secara

kuantitatif, rasio guru pembimbing dan siswa secara nasional belum

ter-penuhi, penyebarannya belum merata, serta munculnya keragaman te

naga bimbingan di lapangan yang membuat tenaga bimbingan profesional

alih profesi. Dalam hal kualifikasi, keragaman petugas bimbingan ter

sebut memunculkan persoalan tentang deskripsi kerja, tanggung jawab,

dan kemampuan melaksanakan tugas, sehingga pada gilirannya

meng-akibatkan siswa tidak mendapat pelayanan yang memadai, di samping

membentuk citra bimbingan yang tidak sewajarnya.

Berkenaan dengan segi pengorganisasian, pengadministrasian. dan

pengawasan, petugas bimbingan belum memperoleh pembinaan dan

pengawasan yang sewajarnya, sehingga mengakibatkan tidak

terdapat-nya keseragaman petunjuk pelaksanaan, di samping belum tertibterdapat-nya

(11)

segi promosi jabatan, guru pembimbing belum mendapatkan kejelasan yang memadai, ditambah lagi dengan kondisi sarana bimbingan yang

lajimnya kurang memenuhi persyaratan serta iklim kerja yang belum

sepenuhnya menunjang.

Masalah kompetensi, aktivitas penelitian, dan publikasi juga masih

menghadapi kendala yang banyak berkenaan dengan upaya

mengem-bangkan profesi bimbingan. Bervariasinya tingkat kompetensi petugas bimbingan menyebabkan bervariasinya pula dalam hal pelaksanaan bimbingan. Aktivitas penelitian dan publikasi juga masih dihadapkan

kepada sangat terbatasnya kondisi-kondisi yang menunjang bagi

terlak-sananya aktivitas-aktivitas tersebut.

Berkenaan dengan pelaksanaan bimbingan di SD, tampaknya belum

terjamah secara sewajarnya. Cukup banyak problema-problema perilaku

murid SD yang sebenarnya perlu perhatian dan penanganan secara

se-rius, namun semua itu baru ditangani oleh para guru kelas yang ku

rang memiliki waktu dan keterampilan khusus untuk menangani pro

blema-problema tersebut.

Apa yang diungkapkan oleh IPBI di atas menggambarkan tentang

betapa masih banyaknya persoalan bimbingan yang perlu segera ditan

gani. Salah satunya adalah berkenaan dengan masalah ketenagaan.

Masalah ketenagaan bimbingan ini dipandang amat krusial untuk segera

ditangani mengingat faktor-faktor berikut ini.

Pertama, dilihat dari segi usia perkembangan bimbingan serta

tuntutan dan tantangan yang muncul sebagai akibat dari pembangunan

dan perkembangan kehidupan. Kalau tahun 1960-an dipandang sebagai

dekade perintisan (pertama) bagi .penyelenggaraan layanan bimbingan,

(12)

perjalanan profesi bimbingan di muka bumi Indonesia. Dilihat dari segi

usia tersebut — memasuki dekade keempat — dengan perkembangan

organisasi profesi (IPBI) dan lembaga pendidikannya yang sudah

men-capai jenjang tertinggi (Jenjang S3), maka sudah sepatutnyalah

se-andainya pada saat ini profesi bimbingan berbenah diri melakukan

konsolidasi profesional. Tuntutan akan perlunya melakukan konsolidasi

profesional ini dirasakan semakin meningkat manakala dikaitkan dengan

tantangan dan persoalan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini. Dunia

pendi-dikan saat ini betul-betul ditantang untuk mampu menghasilkan

manusia-manusia yang berkualitas, yang mampu menghadapi dan

meng-atasi arus perkembangan kehidupan dengan kemajuan ilmu dan teknologi

yang semakin hari semakin kompleks. Untuk menjawab tantangan ter

sebut tentunya dunia pendidikan kita membutuhkan tenaga-tenaga

kependidikan, termasuk tenaga bimbingan, yang betul-betul profesional,

sehingga mampu menyelenggaraan aktivitas pendidikan secara profesi

onal pula.

Kedua, dilihat dari kondisi ketenagaan bimbingan yang

ada sekarang. Sampai saat ini masih banyak personel sekolah, terlepas

dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerjanya, yang terlibat

langsung sebagai petugas bimbingan di sekolah. Namun sayangnya, para

petugas bimbingan yang beraneka tersebut belum ditata dan

ditertib-kan secara teratur, sehingga keberadaan para petugas bimbingan di sekolah tampak menjadi baur dan menimbulkan kesan bahwa bimbingan

seolah-olah merupakan suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh

(13)

bahkan mungkin "mematikan" perjalanan hidup profesi bimbingan.

Sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji melalui penelitian

ini, yakni masalah ketenagaan bimbingan, maka uraian selanjutnya ten

tang latar belakang ini akan difokuskan untuk menguraikan topik-topik

khusus berikut: (1) keterlibatan guru dan kepala sekolah dalam

penye-lenggaraan bimbingan di sekolah; (2) baurnya petugas bimbingan di sekolah; dan (3) perlunya penataan dan penertiban para petugas bim

bingan di sekolah.

1. Keterlibatan Guru dan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan

Bimbingan di Sekolah

Awal pendirian lembaga-lembaga pendidikan konselor pada bebera

pa IKIP/FKIP dan perintisan penyelenggaraan layanan bimbingan pada

beberapa sekolah di Indonesia dilakukan hampir secara bersamaan —

pada tahun 1960-an. Perintisan penyelenggaraan layanan bimbingan di

sekolah-sekolah kita dilakukan dengan tidak menunggu terlebih dahulu

lahirnya para sarjana bimbingan. Dengan demikian, bisa jadi

orang-orang yang pertama menyelenggarakan layanan bimbingan di sekolah,

terlepas dari bagaimana bentuk dan jenis kegiatannya, adalah mereka

yang tidak berlatar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang

bimbingan.

Proses awal pengembangan bimbingan seperti yang dilukiskan di

atas dapat membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap per

kembangan profesi bimbingan selanjutnya. Tidak sekedar

konsekuensi positif yang muncul, tetapi juga muncul

konsekuensi-konsekuensi yang sering berdampak negatif cukup lama terhadap proses

perkembangan bimbingan. Sebagai misal, terjadinya salah praktek dalam

(14)

bimbingan yang keliru di lapangan (sekolah) yang sulit diperbaiki da

lam waktu singkat, munculnya perasaan lebih mampu dan lebih

ber-wenang dalam melakukan bimbingan pada guru-guru pembimbing yang

telah lama berkecimpung dalam penyelenggaraan bimbingan, meskipun di

antara mereka ada yang tidak pernah atau sedikit sekali mendapatkan

pendidikan dan pelatihan tentang bimbingan.

Terlepas dari konsekuensi-konsekuensi tersebut di atas, salah

sa-tu fakta yang tidak dapat dipungkiri sebagai akibat dari pengembangan

bimbingan seperti itu adalah hadirnya orang-orang yang tidak berlatar belakang pendidikan bimbingan dalam jajaran staf bimbingan. Kehadiran

mereka dalam jajaran bimbingan tidak sekedar menampilkan diri sebagai

anggota suatu staf sekolah yang mempunyai peran bimbingan dalam

menjalankan tugasnya, tapi tampil sebagai guru-konselor

secara

pe-nuh. Para guru-konselor seperti itu sampai sekarang masih ada,

bah-kan akhir-akhir ini barisan mereka lebih diperkuat lagi dengan terja

dinya peristiwa alih fungsi guru-guru SPG/SGO menjadi guru-guru

SLTA lainnya — guru-guru SPG/SGO dalam bidang keguruan dilantik

menjadi guru-konselor.

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa

keberada-an guru-pembimbing ykeberada-ang tidak atau kurkeberada-ang berlatar belakkeberada-ang pendi

dikan dalam bidang bimbingan ,secara historis, merupakan suatu fakta

yang telah dan masih ada. Mereka telah turut mendukung terjadinya proses "peletakan batu pertama" penyelenggaraan kegiatan bimbingan di sekolah, meskipun di sisi lain juga memunculkan dampak-dampak yang

dapat menghambat perkembangan profesi bimbingan itu sendiri.

Keterlibatan staf-staf sekolah lain, khususnya guru dan kepala

(15)

yang amat diperlukan dan dibenarkan. Hal ini berdasar pada

sekurang-kurangnya dua hal. Pertama, berdasar pada segi keterjalinan kegiatan

bimbingan dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya; dan kedua.

berdasar pada adanya variasi dalam

jenis-jenis kegiatan bimbingan.

Keterjalinan kegiatan bimbingan dengan ke-giatan pendidikan secara

keseluruhan menuntut keterjalinan pula pada pihak para pengelolanya.

Di satu sisi, para pengelola bimbingan amat memerlukan kerja sama dan dukungan dari staf-staf sekolah lainnya; dan di sisi lain, staf-staf

sekolah

lain juga dapat mengambil manfaat dari jasa layanan yang

diberikan oleh para guru pembimbing dalam mendukung dan

meningkat-kan efektivitas layanan pendidimeningkat-kan yang diselenggarameningkat-kannya. Jadi,

keterjalinan tersebut sifatnya mutual, tidak searah. Semua pihak

dapat

saling memerlukan dan saling memperoleh keuntungan kalau keter

jalinan itu diwujudkan dalam suatu kerja sama yang harmonis.

Dilihat dari segi kegiatan bimbingan itu sendiri, dapat dikatakan

bahwa kegiatan bimbingan itu bervariasi dan berentang sifatnya — dari

yang sifatnya teknis-administratif sampai kepada yang sifatnya

keahli-an dkeahli-an mengkeahli-andung unsur terapeutis. Adkeahli-anya variasi dkeahli-an rentkeahli-angkeahli-an

kegiatan dalam bimbingan tersebut memungkinkan bervariasinya pula

para pelakunya — dilihat dari taraf profesionalitasnya. Dengan

demi-kian, beragamnya para petugas bimbingan yang ada di sekolah-sekolah

kita sekarang — dilihat dari segi jenis dan jenjang pendidikan, serta taraf keahliannya — dapat saja diterima dan dibenarkan sepanjang

mereka itu ditugasi sesuai dengan kualifikasi dan kewenangan mereka

masing-masing.

Kedudukan dan peran guru dalam adegan persekolahan teramat

(16)

program sekolah, termasuk dalam program bimbingan, adalah krusial

(Gibson & Mitchell, 1981: 69). Keterlibatan guru sebagai guru-konselor

dipandang oleh Glanz (1964: 290) sebagai bentuk hubungan lebih formal

antara guru dan bimbingan.

Di samping guru, kepala sekolah juga memegang peranan amat penting dalam kaitannya dengan penyelenggaraan bimbingan di sekolah.

Kepala sekolah adalah penanggung jawab utama dalam operasionalisasi

program-program sekolah secara keseluruhan, karenanya kepedulian

kepala sekolah terhadap bimbingan akan sangat mempengaruhi aktivi

tas bimbingan pada sekolah yang bersangkutan.

Akhir-akhir ini, dengan diberlakukannya sistem angka kredit bagi

tugas jabatan guru, terdengar selentingan bahwa banyak, atau

seku-rang-kurangnya ada, di antara para kepala sekolah yang cenderung

memilih melakukan bimbingan daripada mengajar sebagai cara untuk

menutupi kekurangan kreditnya dari yang diperoleh dari jabatan kepala

sekolah. Di satu sisi, hal ini amat menggembirakan karena berarti

banyak di antara para kepala sekolah yang terjun langsung sebagai

guru-konselor. Namun di sisi lain, hal tersebut juga menimbulkan

kekhawatiran — jangan-jangan pekerjaan bimbingan dipandang lebih

ringan atau lebih mudah daripada mengajar, atau sekedar formalitas untuk menutupi kekurangan angka kredit.

Dengan memperhatikan fakta historis serta sifat dan kedudukan

pelayanan bimbingan dalam sistem pendidikan sekolah secara keseluruh

an, adanya keterlibatan guru dan kepala sekolah dalam jajaran staf

bimbingan di sekolah dapat dipahami dan bahkan diperlukan, terlebih

dalam kondisi kurangnya tenaga konselor. Yang menjadi persoalan

(17)

mendukung efektivitas pelayanan bimbingan di sekolah dan tidak

"men-cemari" sifat profesional dari bimbingan itu sendiri. Persoalan tersebut,

salah satunya, mengimplikasikan perlunya penataan dan penempatan

para petugas bimbingan sesuai dengan kualifikasi profesional mereka.

2. Baurnya Petugas Bimbingan di Sekolah

Para petugas bimbingan yang terlibat langsung sebagai staf bim

bingan di sekolah lajimnya dikategorikan ke dalam satu kelompok yang

disebut guru BP, guru bimbingan, atau guru pembimbing. Tak ada

perbedaan sebutan antara guru pembimbing yang benar-benar

ber-pendidikan sarjana bimbingan

dan

guru pembimbing yang hanya

di-tatar beberapa bulan, minggu,

atau hari, atau bahkan dengan petugas

bimbingan yang tidak pernah ditatar sekalipun. Pokoknya, semua guru

yang ditugasi sebagai staf bimbingan di sekolah disebutlah guru BP,

guru bimbingan, atau guru pembimbing.

Terjadinya kebauran seperti itu dengan sendirinya tidak sekedar

terjadi dalam hal pemberian sebutan kepada para petugas bimbingan,

tetapi terjadi pula dalam hal pembagian tugas-kewenangan di antara

mereka. Tak ada kejelasan tentang pembagian tugas-kewenangan yang

didasarkan pada latar belakang pendidikan atau kualifikasi profesional

mereka. Kalaupun ada pembagian tugas, pembagian itu lajimnya didasar

kan pada banyaknya kelas atau jumlah siswa yang dilayani.

Gejala di atas menunjukkan adanya kesalahkaprahan dalam profesi

bimbingan. Bimbingan dipandang sebagai suatu pekerjaan yang dapat

dilakukan oleh sembarang orang. Bimbingan belum dihargai sebagai

suatu profesi yang menuntut penataan dan pemungsian para petugasnya

sesuai dengan kualifiaksi profesional mereka.

(18)

adalah peristiwa dialihfungsikannya guru-guru SPG/SGO bidang

ke-guruan menjadi

guru-konselor

dengan hanya melalui penataran be

berapa hari. Ironisnya, ada sebagian dari mereka yang justru berlatar

belakang pendidikan bimbingan malah menjadi guru bidang studi.

Kesalahkaprahan di atas berkembang karena pengakuan dan

penghargaan yang tidak jelas terhadap fungsi konselor sekolah (Roch

man Natawidjaja, 1989: 8). Dengan kata lain, kedudukan dan fungsi

konselor sekolah sebagai salah satu staf sekolah yang memberikan

pe-layanan pendidikan tertentu secara profesional belum mendapat tempat

sebagaimana layaknya.

Lahirnya Undang-undang No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Keputusan Menpan No. 26/1989 tentang Angka Kredit bagi Ja

batan Guru di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

serta Peraturan Pemerintah No. 27, 28, 29, dan 30/1990 yang

masing-masing tentang Pendidikan Prasekolah, Pendidikan Dasar, Pendidikan

Menengah, dan Pendidikan Tinggi memang merupakan peristiwa yang

sa-ngat berarti bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Karena

dengan lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut berarti kita

telah memiliki landasan pijak yang kokoh, secara yuridis formal, dalam

menyelenggarakan pendidikan.

Menyadari pentingnya kelahiran peraturan perundang-undangan

tersebut, M. Surya

(1991 : 2)

memandang peristiwa tersebut sebagai

suatu tonggak sejarah — dunia pendidikan memasuki "era" baru dalam

arti bahwa pendidikan di Indonesia akan berlangsung atas dasar lan

dasan konstitusional yang memandai. Namun yang menjadi persoalan

sekarang, bagaimana halnya dengan bimbingan ?

(19)

tampaknya masih belum memberikan kejelasan yang memadai tentang ke

dudukan bimbingan, termasuk ketenegaannya, dalam konteks pendidikan

di sekolah. Hal ini terbukti dengan tidak tercantumnya tenaga pembim

bing secara eksplisit seba-gai tenaga kependidikan pada undang-undang

tersebut (lihat pasal 27 ayat 2). Meskipun pada pasal 1 ayat 1

undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar

untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,

dan/atau latihan, namun perkataan bimbingan pada pasal tersebut belum

tentu berarti "guidance" sebagai suatu profesi tersendiri dalam dunia

pendidikan.

Dalam Surat Keputusan Menpan No. 26/1989 tentang Angka Kredit

bagi Jabatan Guru secara jelas dinyatakan bahwa kegiatan bimbingan

merupakan salah satu unsur bidang kegiatan jabatan guru dan ter

masuk unsur utama bahan penilaian dalam memberikan angka kredit

(pasal 2 dan 5). Dalam surat keputusan Menpan tersebut telah

dibeda-kan antara pekerjaan mengajar dan pekerjaan menyelenggaradibeda-kan bim

bingan. Penggunaan istilah bimbingan pada surat keputusan Menpan ini

tampak sudah mengarah kepada pengertian bimbingan sebagai suatu

pekerjaan tersendiri yang tidak semata-mata menyatu dengan pekerjaan

mengajar. Hal ini dapat dilihat pada rincian tugas pokok guru (pasal 3)

atau pada lampiran surat keputusan tersebut.

Pada Peraturan Pemerintah No. 28 dan 29/1990 tercantum bab

tersendiri tentang bimbingan, yakni Bab X. Pada bab tersebut (pasal 25

pada P.P. No. 28/1990 dan pasal 27 pada P.P. No. 29/1990) dinyatakan

bahwa "Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa

dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan

me-rencanakan masa depan." Dengan dicantumkannya bab tersendiri tentang

(20)

bimbingan ini berarti P.P. No. 28 dan 29/1990 secara tegas mengakui

keberadaan bimbingan sebagai salah satu unsur kegiatan pendidikan di

sekolah.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa peraturan-peraturan

perundang-undangan tersebut pada dasarnya telah mengakui keberadaan dan

ke

dudukan layanan bimbingan dalam kegiatan pendidikan di dunia

per-sekolahan. Dengan kata lain, pelaksanaan bimbingan di sekolah telah

me-miliki landasan yuridis formal yang dapat dipertanggungjawabkan.

Salah satu persoalan yang masih perlu dicarikan jawabannya

sekarang adalah: "Siapakan yang bertugas menyelenggarakan kegiatan

bimbingan tersebut di sekolah ?" Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak

ditemukan secara eksplisit dalam Undang-undang No. 2/1989, begitu

juga dalam Surat Keputusan Menpan No. 26/1989. Meskipun dalam surat

keputusan Menpan tersebut dibedakan antara

pekerjaan mengajar dan

pekerjaan membimbing,

namun tidak ada keterangan yang membedakan

guru dengan petugas yang menyelenggarakan bimbingan. Bahkan de

ngan keputusan Menpan tersebut muncul kesan bahwa bimbingan itu

seolah-olah merupakan tugas guru pada umumnya, tanpa diperlukan staf

ahli khusus dalam bidang bimbingan. Baru pada P.P. No. 28 dan 29/1990

yang masing-masing

pada pasal 25 dan pasal 27 ayat 2 ditemukan ja

waban eksplisit terhadap pertanyaan itu. Pada pasal-pasal tersebut di

nyatakan bahwa "Bimbingan diberikan oleh guru pembimbing." Dalam

P.P. No. 38/1992 tentang tenaga kependidikan juga ditegaskan bahwa

tenaga pendidik terdiri atas pembimbing, pengajar, dan pelatih, dan

yang dimaksud dengan tenaga pembimbing adalah tenaga pendidik yang

bertugas utama mebimbing peserta didik. Namun, siapakah. "guru pem

bimbing" atau "pembimbing" yang dimaksudkan tersebut — konselorkah,

(21)

guru bidang studikah, guru yang pernah mendapat penataran

bimbing-ankah, atau siapa ? Sampai saat ini belum ada kejelasan yang memadai

tentang hal tersebut. Prayitno (1990: 4-5) mengkhawatirkan

ketidak-jelasan persoalan tersebut dapat menimbulkan

kerancuan pelaksanaan

bimbingan di sekolah. Pekerjaan bimbingan di sekolah akan menjadi

rebutan di antara personel sekolah.

Berdasarkan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan peme

rintah yang ada dewasa ini (Keputusan Menpan No. 26/ 1989, S.E.

Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN tanggal 15 Agustus 1989, dan S.E.

Mendikbud tanggal 5 Juli 1990), Kakanwil Depdikbud Jawa Timur (1990)

telah mengidentifikasi personel-personel sekolah yang dimungkinkan

untuk dapat dikategorikan sebagai guru pembimbing. Personel-personel

sekolah yang dimaksud adalah: (1) guru kelas sekaligus sebagai guru

BP, (2) guru bidang studi yang merangkap sebagai guru BP, (3) guru

BP yang merangkap sebagai guru bidang studi, (4) guru BP

dengan

latar belakang pendidikan non-BP, (5) kepala sekolah yang membimb

ing sekurang-kurangnya 40 siswa, (6) guru BP yang memiliki minor BP,

dan (7) guru BP yang memiliki ijazah Jurusan BP. Kondisi guru pem

bimbing yang begitu beragam seperti itu, di satu sisi

dapat menjadi

"kemudahan", dalam arti mudah mencari guru pembimbing. Namun perlu

diingat bahwa kemudahan itu tidak selamanya melahirkan keuntungan.

Bahkan di balik kemudahan yang diperoleh

dari situasi seperti itu

ter-kandung berbagai hambatan, tantangan, bahkan "ancaman" bagi perkem

bangan bimbingan untuk menjelma sebagai suatu profesi yang matang.

3. Perlunya Penataan dan Pembinaan Petugas Bimbingandi Sekolah

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa keterlibatan staf

sekolah lain, khususnya guru dan kepala sekolah, dalam jajaran

(22)

personel bimbingan secara historis merupakan suatu fakta dan secara

konseptual dapat diterima dan dibenarkan. Yang menjadi tantangan

sekarang adalah bagaimana agar keberadaan mereka dalam jajaran staf

bimbingan di sekolah itu dapat menjadi sumber daya dukung bagi

ter-selenggaranya pelayanan bimbingan dengan baik tanpa "mencemari" sifat

profesional bimbingan itu sendiri.

Adanya keanekaragaman petugas — dilihat dari kualifikasi profe

sional — dalam staf bimbingan di sekolah sebenarnya dapat merupakan

suatu sumber tenaga yang mendukung terealisasikannya program bim

bingan dengan baik, tapi dapat pula sebaliknya.

Sejauh mana

mereka

dapat menjadi sumber daya dukung atau sebaliknya bagi keberhasilan

dan pengembangan bimbingan di sekolah amat tergantung kepada

pemungsian mereka secara tepat sesuai dengan kompetensi dan

kewe-nangan masing-masing, di samping tergantung kepada kualitas cara

pembinaan terhadap mereka. Ketidaktepatan dalam hal penempatan,

pemungsian, dan pembinaan mereka dapat mendorong mereka untuk menjadi petugas bimbingan yang tidak produktif, atau bahkan

"destruk-tif" — dilihat dari status bimbingan sebagai suatu profesi.

Penataan dan penugasan para petugas bimbingan secara tepat

amat penting dilakukan guna mewujudkan situasi kerja yang efektif

dan profesional. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu pembagian tugas

dan tanggung jawab di antara para petugas yang dituangkan dalam

suatu deskripsi tugas yang jelas sesuai dengan kompetensi dan

kewe-nangan masing-masing. Deskripsi tugas ini amat penting sebagai

peman-du kegiatan para petugas bimbingan, sehingga mereka dapat bekerja

secara terarah dan tidak menyalahi etik profesional. Diungkapkan oleh

Peters dan Shertzer (1974: 141) bahwa efektivitas pengelolaan program

(23)

bimbingan di sekolah akan terfasilitasi dengan adanya deskripsi tugas

masing-masing anggota staf yang dinyatakan secara tersurat.

Jika penataan para petugas bimbingan tidak dilakukan dengan

segera, maka profesi dan profesionalitas petugas bimbingan menjadi

baur. Hal ini dengan sendirinya akan menghambat profesi petugas

bimbingan itu sendiri (Rochman Natawidjaja, 1989: 8).

Upaya pembinaan dan peningkatan profesionalitas para petugas

bimbingan juga merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan. Hal

ini mengingat peran mereka yang sangat esensial dan strategis dalam

upaya mewujudkan bimbingan sebagai suatu profesi. Mereka merupakan

"pasukan" yang bertugas sebagai ujung tombak di medan kerja. Wujud

bimbingan yang teraktualisasi di lapangan akan sangat tergantung

kepada penampilan kerja mereka. Dengan demikian, tumbuhnya

keper-cayaan masyarakat (public trust) terhadap bimbingan, sebagai suatu

pelayanan'profesional, akan banyak tergantung kepada keberhasilan

kerja mereka.

Upaya pembinaan kemampuan profesional para petugas bimbingan

dapat ditempuh melalui dua jalur pendidikan, yakni jalur pendidikan

pra-jabatan (pre-service training) dan jalur pendidikan dalam-jabatan

(in-servicetraining). Penyelenggaraan pendidikan pra-jabatan tampaknya

baru terselenggara untuk sebagian petugas bimbingan, yakni untuk

ca-lon konselor yang diselenggarakan di jurusan PPB atau BP-LPTK,

sedangkan bagi calon petugas bimbingan lainnya — guru — dapat

di-anggap belum terselenggara. Namun demikian, program pendidikan untuk

calon konselor pun (jurusan PPB atau BP) perlu segera dibenahi,

disesuaikan dengan "nafas" peraturan perundang-undangan pendidikan

yang berlaku di negara kita serta kecenderungan-kecenderungan dunia

(24)

pendidikan yang terjadi di lapangan.

Penyelenggaraan pendidikan dalam-jabatan atau penataran bagi

para petugas bimbingan, akhir-akhir ini banyak

dan telah sejak lama

diselenggarakan. Namun yang menjadi persoalan adalah perihal

kualitas-nya. Sarapai sekarang-belum ada suatu panduan yang jelas dan relatif

standar untuk menyelenggarakan penataran bagi para petugas bimbing

an, sehingga program-program penataran petugas bimbingan yang ter

selenggara selama ini sifatnya masih sembarang baik dalam hal program,

penyelenggara, maupun pesertanya.

Guna membenahi kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan di

atas

diperlukan

peran

serta

berbagai

pihak

yang terkait, yakni

para pembuat kebijakan dan keputusan, para administrator. para pakar

(ilmuwan), dan pelaksana (M. Surya, 1991). Mereka dituntut untuk dapat

melaksanakan tanggung jawab dan perannya

secara profesional

dan

proporsional. Secara profesional dalam arti melaksanakan tugas ber

dasarkan kesungguhan profesional sesuai dengan tugas dan bidangnya,

dan secara proporsional dalam arti melaksanakan tugas sesuai dengan

proporsi dan bidang tanggung jawabnya.

Dilihat dari konteks pihak-pihak yang terkait seperti disebutkan

di atas, penelitian ini merupakan salah satu upaya dari unsur pakar

(insan akademis) ke arah pembenahan kondisi-kondisi tersebut.

B. Penjelasan Masalah dan PerumuBan Pertanyaan Penelitian

Permasalahan pokok yang menjadi garapan utama dalam penelitian

ini adalah berkenaan dengan upaya profesionaliasi petugas bimbingan di

sekolah. Upaya profesionalisasi petugas bimbingan di sini pada dasarnya

mengandung dua arti, yakni berarti peningkatan profesionalitas para

(25)

petugas dan berarti kategorisasi petugas itu sendiri (Rochman Natawi

djaja, 1989).

Dimensi pertama, yakni peningkatan profesionalitas petugas bim

bingan, berkenaan dengan upaya pendidikan bagi petugas bimbingan.

Upaya pendidikan ini mencakup pendidikan pra-jabatan (pre-service

training) dan pendidikan dalam-jabatan (in-service training). Pendidikan

pra-jabatan adalah upaya pendidikan yang dimaksudkan untuk membina

dan mempersiapkan para calon petugas bimbingan sebelum mereka

bekerja, sedangkan pendidikan dalam-jabatan merupakan upaya pem

binaan dan pengembangan kemampuan profesional para petugas bim

bingan lebih lanjut setelah mereka bertugas.

Dimensi kedua, yakni kategorisasi petugas bimbingan di sekolah,

menyangkut upaya pengidentifikasian dan pengelompokan jenis-jenis

petugas bimbingan yang ada di sekolah-sekolah. Hal ini amat penting

sebagai dasar untuk menata, menempatkan, dan menugaskan para petu

gas bimbingan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan

masing-masing, sehingga mereka

benar-benar dapat berfungsi secara efektif

dalam menjalankan tugas sebagai petugas bimbingan. Di samping itu,

hal tersebut juga amat penting sebagai dasar untuk mengembangkan

program-program pendidikan yang terspesifiaksi sesuai dengan

jenis-jenis petugas bimbingan yang ada secara aktual di sekolah-sekolah.

Dengan memperhatikan dua dimensi upaya profesionalisasi terse

but, maka model sistemik pemikirannya dapat dilukiskan sebagai berikut:

(26)

PENINGKATAN PROFESIONALITAS PETUGAS BIMBINGAN

Gambar 1.1. Model Sistemik Upaya Profesionalisasi Petugas Bimbingan di Sekolah*

Pada gambar di atas terlukiskan dua dimensi upaya profesionalisa

si

petugas bimbingan, yakni dimensi peningkatan dan dimensi

katego-risasi petugas bimbingan. Dalam dimensi peningkatan profesionalitas,

secara garis besar, ada dua jenis program pendidikan yang perlu

tMugas admustrasi tidak dimasukkan ke dalan gambar tersebut

(27)

diselenggarakan, yakni program pendidikan pra-jabatan dan program

pendidikan dalam-jabatan. Dalam dimensi kategorisasi, teridentifikasi tiga

jenis petugas bimbingan, yakni pembimbing (konselor, konselor-muda,

dan guru-konselor), guru, dan kepala sekolah.

Program pendidikan pra-jabatan mencakup tiga program pendidik an, namun pada intinya dapat dikelompokkan menjadi dua macam saja.

Pertama, program pendidikan untuk calon konselor dan konselor-muda.

Program pendidikan untuk jenis petugas bimbingan ini diselenggarakan melalui program perkuliahan di jurusan PPB dengan program gelar (jenjang SI ke atas) untuk calon konselor dan program non gelar (jen

jang D3) untuk calon konselor-muda. Kedua. program pendidikan bagi

guru sebagai staf sekolah yang memiliki peran bimbingan. Sesuai

dengan sifatnya — dalam jabatan guru tercakup peran bimbingan sesuai dengan kedudukannya, program pendidikan dalam bidang bimbingan untuk guru ini harus merupakan bagian terpadu dari program pendi dikan calon guru; dalam hal ini harus tercakup dalam komponen MKDK

kulikulum LPTK.

Program pendidikan atau pelatihan dalam jabatan mencakup dua

jenis program, yakni program pendidikan yang bersifat penyetaraan dan

program pendidikan yang bersifat penyegaran. Program pendidikan

penyetaraan adalah program pendidikan yang dimaksudkan untuk

menyetarakan kualifikasi profesional calon guru-konselor atau kepala

sekolah dengan persyaratan minimal. Program pendidikan seperti ini me rupakan program pendidikan kualifikasi (qualification training) yang di selenggarakan oleh LPTK atau lembaga lain yang berwenang. Program pendidikan yang bersifat penyegaran adalah program pendidikan yang

(28)

dimaksudkan untuk memberikan penyegaran dan peningkatan kemampuan

profesional petugas bimbingan. Program pendidikan ini merupakan

program pendidikan bukan kualifikasi (non-qualification training) yang

diselenggarakan oleh lembaga-lembaga setempat (Kanwil Dikbud/Sekolah),

IPBI, LPTK yang menyelenggarakan program pendidikan konselor, atau

kerja sama di antara lembaga-lembaga tersebut . Untuk materi-materi

yang bersifat umum, penyelenggaraan pendidikan atau pelatihannya

dapat dilakukan secara umum pula, dalam arti dapat diikuti secara

ber-sama oleh semua petugas bimbingan. Namun untuk materi-materi yang

sifatnya khusus untuk jenis petugas bimbingan tertentu hanya di

selenggarakan bagi jenis petugas bimbingan tertentu pula.

Kategorisasi petugas bimbingan yang terlukiskan dalam gambar di

atas baru merupakan kategorisasi yang diantisipasi berdasarkan latar

belakang pendidikan formal dan kedudukan mereka dalam

hubungan-nya dengan penyelenggaraan program bimbingan di sekolah. Gambaran

aktual tentang hal tersebut baru dapat diketahui setelah diperolehnya

data konkrit tentang hal tersebut dari lapangan.

Berangkat dari pemikiran yang diuraikan di atas, maka permas

alahan yang dapat dimunculkan sebagai pertanyaan-pertanyaan peneli

tian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep spektrum petugas bimbingan di sekolah

menurut pertimbangan para pakar bimbingan ?

2. Bagaimana pula spektrum petugas bimbingan yang ada di se

kolah-sekolah sekarang ?

3. Spektrum petugas bimbingan seperti apakah yang dipandang layak diterapkan di sekolah berdasarkan pengkajian terhadap dua jenis

spektrum di atas serta hal-hal lain yang relevan ?

(29)

4. Program-program pendidikan pra-jabatan seperti apakah yang

perlu diselenggarakan untuk mempersiapkan para calon petugas bim

bingan yang profesional ?

5. Program-program pendidikan dalam-jabatan seperti apakah

yang perlu diselenggarakan untuk membina dan mengembangkan profe

sionalitas para petugas bimbingan di sekolah ?

Mengingat begitu luasnya lingkup garapan penelitian tersebut, di

satu sisi, dan terbatasnya kemampuan peneliti, di sisi lain, maka peneli

tian ini difokuskan hanya untuk menjawab pertanyaan penelitian 1, 2,

dan 3 dengan dibatasi kepada para petugas bimbingan yang terlibat

langsung sebagai staf bimbingan - pembimbing - di Sekolah Menengah

Atas (SMA). Dengan demikian, konkritnya, penelitian ini akan diarahkan

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian berikut:

1. Bagaimanakah konsep spektrum petugas bimbingan di SMA

me-nurut pertimbangan para pakar bimbingan ?

2. Bagaimana pula spektrum petugas bimbingan yang ada di

SMA-SMA sekarang ?

3. Spektrum petugas bimbingan seperti apakah yang dipandang

layak diterapkan di SMA berdasarkan pengkajian terhadap dua jenis

spektrum di atas serta hal-hal lain yang relevan?

* Pertanyaan penelitian pertama bersifat konseptual, dan untuk

menjawab pertanyaan ini akan didasarkan pada hasil judgment para

pakar bimbingan tentang spektrum petugas bimbingan yang sesuai

dengan kondisi persekolahan di negara kita. Dari studi ini diharapkan

dapat diperoleh suatu rumusan konseptual tentang spektrum petugas

bimbingan di SMA yang mencakup kategorisasi jenis-jenis petugas

bimbingan beserta rincian tugas-kewenangan dan

kompetensi

(30)

masing-masing.

Sesuai dengan sasarannya, jawaban terhadap pertanyaan peneli

tian kedua akan dirumuskan berdasarkan pendekatan empiris, yakni

dengan cara mengidentifikasi keragaman petugas bimbingan yang ada di

SMA dewasa ini beserta rincian tugas yang mereka emban dan kom

petensi aktual yang

mereka kuasai masing-masing. Untuk memperoleh

hasil studi yang lebih kaya dan lebih bermakna, dalam studi ini juga

diungkap visi mereka tentang bimbingan dan pengalaman pendidikan

mereka dalam bimbingan.

Pertanyaan penelitian ketiga menuntut jawaban yang didasarkan

baik pada pendekatan empiris maupun konseptual. Karena itu jawaban

bagi pertanyaan penelitian ketiga ini akan didasarkan pada hasil peng

kajian terhadap spektrum hasil judgment para pakar dan spektrum aktu

al yang secara nyata ada di lapangan beserta referensi lain yang

rele-v a n .

Fokus permasalahan yang dirumuskan dalam tiga pertanyaan

penelitian di atas terbatas pada dimensi kategorisasi dari upaya profesi

onalisasi petugas bimbingan. Jadi, garapan pokok penelitian ini adalah

masalah penataan petugas bimbingan di sekolah, yakni penertiban

sebutan terhadap para petugas bimbingan di sekolah beserta penertiban

pembagian tugas dan kewenangan sesuai dengan taraf profesionalitas

masing-masing. Kalau dikaitkan dengan kerangka pemikiran sistemik

seperti yang telah digambarkan terdahulu, maka lingkup garapan peneli

tian ini terlihat sebagai berikut:

(31)

L. f-p : E i i N 1 i d : i t: i d : i j k : A i I N I p-i i Program SI BP

ke atas

v

~ s

Program 'N

^ D3/SM BP f—)

V JJ

SPEKTRUM PETUGAS

BIMBINGAN 01 SE

KOLAH : KERAGAMAN

PETUGAS BIMBINGAN

SERTA RINCIAN TU

GAS-KEWENANGAN DAN KOMPETENSI MASING-[ MASING Petugas Bin bi ngan: Konsel or Konsel or-Muda Guru-Konselor 7 Program Penyetaraan , R ! A ; ( J r A ! B : A : T A N ! 1 i

' Tercakup da- \ !'

.J i l<

.1am komp. mkdk!-->i '

i i I '

( Kur. LPTK <

Guru

5»* Gur. Kons.

K ll i L 11 i i i ' •J

I c ,

I

Kepal a

Sekol ah

v

-/ Tercakup da-.

' 1am Prog. Pen.'.

\ '

/\ Cal . Kep. Sek. '

•—. H _ _ _^

fc"

Program

-} jPenyegaran J:*' \ Konsel or ' ;

V ' .

P E N D I D

s ^ j

I Program \ J

•^ [Penyegaran^;,

1 Kons.Mud.,' !

^ — '

/ Program *

/ «

. $JPenyegaran

* Gur. Pemb.'

/ Program \ :

• \ l Penyegaran1""

t n

; Guru ' ;

v^ / :

/ Program x

v jreuyegarantl?

\ Kep. Sek.

V D A L A M a ; T i i a : i n : t -JL,

PENINGKATAN PROFESIONALITAS PETUGAS BI MBINGAN

Keterangan:

= Lingkup garapan penelitian. = Di 1 uar garapan penelitian.

Gambar 2.1. Lingkup Garapan Penelitian dalam Upaya

Kategorisasi Petugas Bimbingan

(32)

Pada gambar di atas dibedakan antara dimensi peningkatan dan

dimensi kategorisasi profesionalitas petugas bimbingan. Dimensi

peningkatan profesionalitas digambarkan dengan garis yang

terputus-putus, sedangkan dimensi kategorisasi

sebagian digambarkan dengan

garis bersambung (tidak terputus-putus) dan sebagian lainnya digam

barkan dengan garis terputus-putus. Garapan penelitian ini hanya

terbatas pada upaya kategorisasi sebagaimana terlihat pada gambar de

ngan garis bersambung.

C. Qbjek Penelitian dan Penjelasan Istilah

Objek penelitian ini adalah spektrum petugas bimbingan di SMA.

Istilah spektrum pada mulanya berarti bayangan seberkas warna (seper

ti terlihat dalam pelangi dan biasanya dideskripsikan sebagai merah,

oranye, kuning, hijau, biru, nila, dan lembayung) yang terbentuk oleh

suatu sinar cahaya yang ditembuskan. kepada sebuah prisma. Namun is

tilah tersebut dapat juga berarti lain, yakni menunjukkan kepada suatu

rentang atau urutan yang luas dari sesuatu (A.S. Hornby, 1982).

Pengertian istilah spektrum dalam penelitian ini merujuk kepada

pengertian kedua, yakni rentang dari sesuatu, dan

yang dimaksud

dengan sesuatu di sini adalah petugas bimbingan di SMA. Dengan de

mikian, istilah spektrum petugas bimbingan di SMA yang digunakan

dalam penelitian ini didefinisikan sebagai deskripsi rentang atau ke

ragaman petugas bimbingan di SMA, dilihat dari latar belakang pendi

dikan formal, beserta rincian tugas-kewenangan dan kompetensi

masing-masing.

Istilah petugas bimbingan, secara luas, dimaksudkan sebagai se

butan umum terhadap para personel bimbingan baik yang terlibat

(33)

langsung sebagai staf bimbingan maupun yang sekedar mempunyai

peranan tertentu dalam bimbingan, tetapi amat penting, karena

kedudukan dan fungsi utamanya di sekolah. Rincinya, sebutan petugas

bimbingan ini secara luas mencakup pembimbing (konselor, konselor

muda, guru-konselor), petugas administrasi bimbingan, guru, dan kepala

sekolah. Petugas bimbingan yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi

hanya personel-personel bimbingan yang terlibat langsung sebagai staf

bimbingan di SMA selain petugas administrasi bimbingan, yakni yang

tercakup ke dalam kelompok pembimbing. Sebutan konselor diperguna

kan bagi staf bimbingan yang berpendidikan minimal sarjana BP/PPB,

sedangkan istilah konselor-muda diperuntukkan bagi staf bimbingan

yang berpendidikan sarjana muda/D3 BP/PPB. Sebutan guru-konselor

dipergunakan bagi para guru atau staf sekolah lainnya yang terlibat

langsung sebagai guru pembimbing di sekolah.

Selain istilah-istilah pokok yang telah dijelaskan di atas, ada pula

beberapa istilah lain yang dipandang perlu dijelaskan di sini, yakni

istilah tugas-kewenangan, kompetensi. dan visi. Berdasarkan referensi-referensi yang digunakan (Rochman Natawidjaja, 1986; Thatcher &

McQueen, 1974; dan Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan

Pengem-bangan Bahasa, 1988) dan disesuaikan dengan kepentingan penelitian

ini, maka istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut.

Tugas-kewenangan diartikan sebagai seperangkat kegiatan yang

secara etis profesional dianggap legal dan perlu dilakukan oleh

sese-orang karena menduduki suatu jabatan tertentu. Jabatan yang dimak

sudkan di sini adalah petugas bimbingan, karenanya istilah

tugas-kewenangan

di sini diartikan sebagai seperangkat kegiatan bimbingan

yang secara etis profesional dianggap legal dan perlu dilakukan oleh

(34)

seorang petugas bimbingan di sekolah dalam rangka menjalankan fungsi

dan perannya sebagai petugas bimbingan.

Kompetensi diartikan sebagai kemampuan profesional yang

ber-hubungan dengan suatu jabatan tertentu. Dengan demikian, istilah

kompetensi di sini merujuk kepada kemampuan profesional (dibatasi

kepada kemampuan unjuk kerja dan kognisi) petugas bimbingan di

sekolah.

Vis|, secara harfiah, berarti penglihatan atau kemampuan untuk

mempersepsi bentuk dan warna suatu objek. Untuk kepentingan peneli

tian ini, istilah visi dimaksudkan sebagai pandangan atau wawasan para

petugas bimbingan di sekolah tentang bimbingan itu sendiri.

Rincian lebih lanjut tentang aspek-aspek yang terkandung dalam

pengertian istilah-istilah tersebut disajikan pada uraian tentang

instru-men penelitian.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diarahkan untuk menggarap dua kegiatan pokok,

yakni mengembangkan konsep ideal spektrum petugas bimbingan di SMA

menurut pakar bimbingan dan mendeskripsikan spektrum petugas bim

bingan yang secara aktual ada di SMA-SMA dewasa ini. Dengan meng

garap dua kegiatan pokok tersebut, dari penelitian ini diharapkan dapat

diperoleh hal-hal berikut:

1) rumusan spektrum petugas bimbingan di SMA menurut judgment

para pakar bimbingan;

2) deskripsi empiris spektrum petugas bimbingan yang ada di

SMA-SMA dewasa ini; dan

3) rumusan spektrum petugas bimbingan yang layak diterapkan di

(35)

SMA-SMA berdasarkan pengkajian terhadap dua jenis spektrum

di atas serta referensi lain yang relevan.

Tiga macam hasil penelitian tersebut diharapkan dapat dijadikan

bahan masukan bagi upaya profesionalisasi petugas bimbingan di seko

lah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar atau bahan

pertimbangan dalam menata dan menertibkan para petugas bimbingan di

sekolah serta mengatur pembagian tugas di antara para petugas bim

bingan di sekolah, khususnya di SMA. Di samping itu, hasil penelitian

ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam

mengem-bangkan program-program pendidikan dan pelatihan bagi para petugas

bimbingan guna meningkatkan profesionalitas mereka.

Hasil penelitian ini memiliki nilai manfaat, baik secara teoretis

maupun praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memperkaya

atau merenovasi konsep bimbingan, khususnya yang berkenaan dengan

segi ketenagaannya. Temuan tentang rumusan ideal spektrum petugas

bimbingan di sekolah dapat merupakan suatu masukan "baru" untuk

memperkaya atau sekurang-kurangnya memperbaharui konsep ketena

gaan bimbingan yang sesuai dengan kondisi persekolahan kita.

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat berguna baik bagi para

pembuat keputusan dan kebijakan, para penyelenggara pendidikan te

naga bimbingan, maupun bagi para petugas bimbingan itu sendiri. Bagi

Eembuat keputusan dan' kebijakan, hasil penelitian ini dapat merupakan

bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan yang berhubungan

dengan pengaturan ketenagaan bimbingan di sekolah. Bagi penyelengga

ra pendidikan dan atau pelatihan petugas bimbingan, hasil penelitian ini

dapat merupakan masukan yang amat berharga, karena dengan

memper-timbangkan informasi yang didapat dari hasil penelitian ini berarti

(36)

mereka dapat menmengembangkan suatu program pendidikan yang lebih

tepat sesuai dengan kondisi dan tuntutan empiris di lapangan. Begitu

juga bagi para petugas bimbingan di sekolah, hasil penelitian ini

seku-rangkurangnya dapat dijadikan "cermin" untuk mengintrospeksi dan

mengkaji diri masing-masing, di samping secara tak langsung dapat

dijadikan bahan pertimbangan untuk menata dan mengatur pembagian

tugas di antara mereka.

E. Asumsi Penelitian

Beberapa pemikiran yang melandasi pelaksanaan penelitian ini

adalah sebagai berikut ini.

1. Dalam sistem pendidikan

di

Indonesia, bimbingan dan

kon-seling merupakan konsekuensi logis dari hakikat pendidikan sebagai

mana tersurat dan tersirat dalam GBHN (Sunaryo Kartadinata, 1989: 3).

Dijelaskan bahwa proses pendidikan di Indonesia harus sampai kepada

upaya yang dapat menyentuh dunia kehidupan individu. Upaya ini

dimaksudkan untuk membantu peserta didik memperhalus,

menginter-^alisasi, dan mengintegrasikan sistem nilai dan pola perilaku yang

di-pelajari melalui proses pendidikan. Strategi upaya khusus yang dapat

menyentuh kehidupan individual tersebut adalah bimbingan dan

kon-seling.

2. Bimbingan dan konseling adalah pekerjaan profesional yang

me-nuntut kualifikasi pendidikan dan keahlian tertentu bagi

penyelenggara-nya. Namun hal ini tidak berarti bahwa pekerjaan bimbingan

semata-mata merupakan tugas dan tanggung jawab staf ahli. Keterlibatan staf

lain, khususnya guru dan kepala sekolah, amat diperlukan untuk

efek-tifnya penyelenggaraan program bimbingan di sekolah. Dijelaskan oleh

(37)

McDaniel dan Shaftel (1956: 31) bahwa "... guidance is not the property

and responsibility solely of few specialists in school system. Every

teacher and every administrator has a function in the school's guidance

activity ...".

3. Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas sesuai

dengan kemampuan dan kewenangan masing-masing petugas, serta

di-wujudkan dalam suatu kerja sama yang harmonis akan mendukung

ter-ciptanya suasana kerja yang kondusif bagi para petugas bimbingan un

tuk menjalankan tugasnya secara produktif. Dijelaskan oleh Peters dan

Shertzer (1974: 141- 142) bahwa penugasan yang tepat itu akan

menja-min masing-masing petugas bimbingan untuk mengetahui apa yang

harus ia lakukan, membantu dalam mendefinisikan peranan

masing-masing petugas, serta membantu untuk lebih mengefektifkan artikulasi

berbagai aktivitas bimbingan oleh staf. Selanjutnya, mereka menjelaskan

bahwa meskipun fleksibilitas dalam pembagi-an tugas itu dimungkinkan,

namun hal itu tidak boleh digunakan untuk merusak standar

profesi-onal.

4. Keterandalan layanan bimbingan akan sangat ditentukan oleh

pemahaman dan kemampuan petugas bimbingan dalam melaksanakan

tugas yang harus dilakukannya, pemahaman yang mendalam tentang

mengapa dia harus melakukan apa yang harus dilakukannya, dan

memahami batas-batas kemampuannya sehingga ia dapat mengembangkan

kemampuan itu sebatas wewenangnya (Rochman Natawidjaja, 1989: 1).

Untuk mendapatkan pemahaman dan kemampuan tersebut,' tentunya para

petugas bimbingan perlu disiapkan, dibina, dan dikembangkan melalui

pengalaman pendidikan dan pelatihan yang dapat

dipertanggungjawab-kan pada bidang bimbingan.

(38)

5. Penyelenggaraan program pendidikan atau

pelatihan bagi

petugas bimbingan akan lebih efektif kalau didasarkan pada kemampuan

dan kebutuhan para petugas yang nyata di lapangan, di samping di

dasarkan pada hal-hal lainnya yang relevan. Untuk memperoleh gambar

an empiris tentang kemampuan dan kebutuhan para petugas bimbingan

ini perlu dilakukan suatu penelitian yang cermat dan dapat dipercaya.

(39)

•?., . . . .

t . '• .-.•"•i?'> ft-

/V-ft.'--few* 0 3 w^

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode dan Prosedur Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjaring pandangan para pakar tentang spektrum petugas bimbingan di Sekolah Menengah Atas

(SMA) serta untuk mengetahui deskripsi empiris dari spektrum petugas

bimbingan yang secara aktual terdapat di lapangan. Dengan berdasar pada dua informasi tersebut serta referensi lain yang relevan, selanjut nya dirumuskan pula suatu rumusan tentang spektrum petugas bimbing

an yang diperkirakan layak diterapkan di SMA. Dengan demikian, peneli

tian ini merupakan penelitian deskriptif-analitis. Dikatakan deskriptif,

karena penelitian ini mendeskripsikan fakta-fakta atau

fenomena-fenomena empiris, dan dikatakan analitis adalah untuk menegaskan

bahwa penelitian ini tidak sekedar mendeskripsikan fakta-fakta atau

fenomena-fenomena tersebut sebagaimana adanya, melainkan dalam pene

litian ini dilakukan analisis lebih lanjut sehingga didapat suatu rumusan

baru tentang spektrum petugas bimbingan tersebut.

Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yakni per

siapan, pengumpulan data, dan pelaporan. Tahap persiapan mencakup

aktivitas-aktivitas: (1) mengembangkan desain penelitian, (2) mengem

bangkan alat pengumpul data dan memperbanyaknya, serta (3) menyele

saikan masalah perijinan (dari mulai fakulta&, institut, sospol Jawa

Barat, sampai dengan kanwil Depdikbud Jawa Barat) dan segi-segi

teknis-administratif lainnya.

Sesuai dengan jenis dan responden penelitian, pelaksanaan

(41)

pengumpulan data dilakukan dengan menempuh tiga tahap kegiatan.

Tahap pertama (Nopember-Desember 1991) mengumpulkan data dari

responden pakar bimbingan luar IKIP Bandung. Pengumpulan data dari

kelompok responden ini dilakukan di saat pelaksanaan Konvensi Nasional

VIII dan Kongres Nasional VII IPBI pada tanggal 11-13 Nopember 1991 di

Padang. Namun demikian, karena kesibukan pada saat itu, para respon

den umumnya tidak bersedia mengisi angket secara langsung, melainkan

diisi setelah mereka pulang ke daerah masing-masing. Setelah setengah

bulan berlalu dari kegiatan konvesi dan kongres tersebut, peneliti

mengirimkan kembali angket kepada para pakar yang belum

mengembali-kan angket terdahulu. Tahap kedua adalah membagimengembali-kan angket kepada

para pakar bimbingan yang berlokasi di IKIP Bandung. Kegiatan tahap

kedua ini dilakukan setelah pulang dari Padang atau antara akhir bulan

Nopember 1991 sampai dengan awal Januari 1992. Sebagian pakar ada yang meminta dialog langsung dengan peneliti untuk memberikan penje

lasan tentang komentar-komentarnya, khususnya berkenaan dengan

komentar tambahan yang tidak dimuat secara tertulis. Tahap ketiga

adalah melakukan pengumpulan data dari para responden guru pembim

bing di lapangan. Pengumpulan data ini dilakukan antara bulan

Desem-ber 1991 dan Januari 1992.

Tahap pelaporan hasil penelitian mencakup dua aktivitas utama,

yakni analisis data dan penulisan hasilnya. Tahap pelaporan ini agak tersendat-sendat pelaksanaannya sesuai dengan kondisi dan kemampuan

peneliti sehingga menghabiskan waktu yang relatif lama.

B« Subjek Penelitian

Penelitian ini melibatkan dua kelompok responden, yakni pakar

(42)

bimbingan dan petugas bimbingan di SMA. Responden pakar bimbingan

adalah beberapa dosen FIP IKIP Bandung yang mempunyai reputasi

standing-academic cukup meyakinkan dan banyak menggeluti dunia

bimbingan, dilengkapi dengan pakar-pakar bimbingan dari beberapa

perguruan tinggi, khususnya IKIP, yang ada di Indonesia. Dengan

memperhatikan masukan dari pihak pembimbing (pembimbing penulisan

tesis) dan IPBI, akhirnya teridentifikasi lima belas pakar yang dianggap

mewakili pakar-pakar bimbingan yang ada di Indonesia. Namun demikian,

dari lima belas pakar yang dijadikan responden tersebut hanya sepuluh

orang yang mengisi dan mengembalikan angket. Sepuluh responden

pakar bimbingan yang dimaksud berasal dari tujuh perguruan tinggi

seperti tertera pada tabel berikut:

TABEL 1.3

RESPONDEN PAKAR BIMBINGAN

No. Perguruan Tinggi Asal

Jumlah Responden

1. IKIP Medan 1 orang

2. IKIP Padang

1 orang

3. IKIP Jakarta 1 orang

4. IKIP Bandung

4 orang

5. UNS Surakarta

1 orang

6. IKIP Malang

1 orang

7. IKIP Ujung Pandang

1 orang

Jr u m 1 a h 10 orang

Pada tabel di atas tampak bahwa meskipun responden yang

mengembalikan angket itu hanya 10 orang (66,7 %) kalau dilihat dari

segi jumlah, namun kalau dilihat dari segi lembaga asal atau daerah,

(43)

mereka tampak cukup mewakili.

Yang menjadi responden pembimbing adalah para pembimbing pada

beberapa SMA Negeri di Kodya Bandung, Bogor, dan Kabupaten

Maja-lengka. Dipilihnya SMA, karena level sekolah ini mempunyai variasi

petugas bimbingan yang lebih lengkap bila dibanding dengan level-level

sekolah lainnya -

SD atau SMP. Begitu pula dengan dipilihnya tiga

daerah tersebut sebagai lokasi penelitian, karena daerah-daerah itu

dipandang mempunyai variasi kondisi sekolah yang relatif memadai, di

samping secara teknis-operasional lebih memudahkan peneliti untuk

melakukan pengumpulan data.

Bandung dipilih sebagai yang mewakili wilayah perkotaan (kota

besar). Dinamika dan kompleksitas kehidupan di perkotaan diasumsikan

mempunyai karakteristik tersendiri dan mempunyai pengaruh-pengaruh

tertentu terhadap kondisi persekolahan. Di samping itu, di kota Ban

dung ini terdapat beberapa lembaga pendidikan tinggi yang menyeleng

garakan program pendidikan bimbingan. Bahkan IKIP Bandung menye

lenggarakan program pendidikan bimbingan tersebut sampai dengan jen

jang S3 dan telah banyak meluluskan para doktor dalam bidang bim

bingan. Kedekatan lokasi sekolah dengan lembaga-lembaga pendidikan

bimbingan ini diasumsikan dapat mempengaruhi pula perkembangan

wawasan dan pengetahuan para petugas bimbingan di sekolah.

Bogor dipilih sebagai yang mewakili wilayah kota sedang yang

masih terimbasi secara cukup berarti oleh pengaruh kehidupan kota

besar. Selain itu, di kota Bogor juga terdapat beberapa lembaga

pen-didikan tinggi yang menyelenggarakan program bimbingan, namun tidak

selengkap yang terdapat di Bandung.

Majalengka dipilih sebagai yang mewakili wilayah kota kecil yang

(44)

secara geografis relatif jauh dari kota-kota besar. Kehidupannya masih

relatif sepi dari hingar-bingar kehidupan di kota besar. Di samping itu,

di daerah Majalengka ini relatif minim adanya lembaga-lembaga pen

didikan tinggi dan belum terdapat lembaga pendidikan yang menyeleng

garakan program bimbingan.

Dengan memperhatikan klasifikasi sekolah yang dibuat oleh Subino

(1984), ditetapkanlah para petugas bimbingan yang terdapat di sembilan

SMA Negeri yang terdapat di tiga daerah tersebut sebagai responden

petugas bimbingan dari lapangan. Jumlah seluruh petugas bimbingan

pada sembilan SMAN tersebut adalah 55 orang, dan yang mengembalikan

angket secara lengkap berjumlah 52 orang (94,55). Deskripsi lebih rinci

tentang lokasi dan responden penelitian petugas bimbingan ini dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

TABEL 2.3

RESPONDEN PETUGAS BIMBINGAN

No, 1 2, 3, 4. 5. 6. 7. 8. 9. Sekolah

SMAN 1 Bandung*

SMAN 6 Bandung

SMAN 7 Bandung

SMAN 9 Bandung

SMAN 3 Bogor

SMAN 5 Bogor

SMAN Ciawi Bogor

SMAN Majalengka

SMAN Talaga Majalengka*

J u m l a h

Jumlah 5 orang 4 orang 9 orang 5 orang 5 orang 6 orang 4 orang 8 orang 6 orang 52 orang

Catatan: *Pada masing-masing sekolah terdapat satu

pembimbing yang tidak mengembalikan angket.

(45)

C. Instrumen Pengumnul Data

Sesuai dengan keadaan responden yang tersebar pada wilayah

yang cukup luas, dalam penelitian ini digunakan angket sebagai alat

dan teknik pengumpul data. Dengan kata lain, pengumpulan data untuk

kepentingan penelitian ini dilakukan dengan cara self-report.

Ada dua instrumen pengumpul data yang digunakan dalam peneli

tian ini, yakni angket untuk para pakar bimbingan dan angket

untuk

para petugas bimbingan di sekolah. Angket per-tama. yakni angket

untuk pakar bimbingan, memuat aspek-aspek berikut: (1) kategorisasi

jenis-jenis petugas bimbingan beserta sebutan untuk masing-masing,

(2) rincian tugas-kewenangan, dan (3) rincian kompetensi yang perlu

dikuasai oleh masing-masing. Terhadap kategorisasi jenis-jenis petugas

bimbingan beserta rincian tugas-kewenangan dan kompetensinya ter

sebut, para pakar diminta untuk menimbang ketepatannya dan sekaligus

memberikan komentar untuk lebih memperbaiki dan melengkapinya.

Komentar di sini ada yang secara parsial terhadap masing-masing item

pernyataan angket dan ada pula yang bersifat menyeluruh. Dengan

demikian, angket ini mengkombinasikan jawaban yang bersifat tertutup

(daftar cek) dengan yang bersifat terbuka.

An*ket kedua» angket untuk petugas bimbingan di sekolah, pada

dasarnya dikembangkan dengan menggunakan konstruk yang serupa

dengan yang digunakan pada angket pertama, namun angket ini

dileng-kapi dengan memuat aspek visi petugas bimbingan tentang bimbingan.

Dengan demikian, angket kedua ini memuat empat aspek pokok, yakni:

(1) pengalaman pendidikan dan pelatihan para petugas bimbingan, (2)

tugas-tugas aktual yang mereka jalankan dalam melaksanakan bimbing

an, (3) kompetensi aktual yang mereka kuasai, dan (4) visi mereka

(46)

tentang bimbingan. Sebagian besar dari angket ini disusun dalam

bentuk jawaban tertutup, dan untuk mendapatkan jawaban yang lebih

lengkap, sebagian lainnya dibuat dalam bentuk terbuka.

Gambaran lebih rinci tentang aspek-aspek yang dimuat dalam dua

angket di atas dapat dilihat pada tabel kisi-kisi sebagaimana terlampir

(lampiran 1).

Dua angket di atas dikembangkan dengan menempuh sembilan

tahap . Pertama, menelaah referensi-referensi yang ada dan berkaitan

dengan materi yang akan dimuat dalam angket. Kedua. berdasarkan

referensi-referensi yang ditelaah kemudian merumuskan konstruk

angket dan mewujudkannya dalam bentuk kisi-kisi. Ketiga.

mendiskusi-kan kisi-kisi angket dengan tiga orang dosen jurusan PPB FIP IKIP

Bandung. Keempat, menulis item-item pernyataan angket berdasarkan

kisi-kisi tersebut. Kelima, menimbangkan item-item pernyataan angket

kepada tiga orang pakar. Keenam memperbaiki item-item

pernyataan-pernyataan yang dipandang perlu berdasarkan masukan dari para

pakar. Ketujuh, mengujicobakan angket kepada lima orang petugas

bimbingan* di SMA dan langsung mendiskusikan

hal-hal yang masih

dirasakan kurang jelas oleh mereka. Kedelapan. memperbaiki kembali

beberapa item pernyataan yang masih dirasakan kurang jelas tersebut.

Kesembilan, memperbanyak angket sesuai dengan kebutuhan.

D. Analisis Data

Ada dua kelompok data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni

data hasil timbangan para pakar bimbingan tentang spektrum petugas

bimbingan di SMA dan data yang diperoleh dari para petugas bimbingan

di lapangan. Data pertama diolah dengan cara menelaah dan memadukan

(47)

timbangan dan isi komentar yang diajukan oleh para pakar bimbingan.

Lebih jelasnya, pengolahan data pertama dilakukan dengan menempuh

langkah-langkah berikut. Pertama, memverifikasi data untuk menentukan

data yang dapat diolah dan yang tidak dapat. Kedua. mengelompokkan

data berdasarkan kesamaan level dan banyaknya kategorisasi yang

diajukan oleh para pakar. Ketiga, menelaah hasil timbangan dan komen

tar masing-masing pakar secara perkelompok kategorisasi. Untuk yang

berupa data kelompok, dalam pengolahannya digunakan pula bantuan

perhitungan statistik sederhana -

frekuensi — untuk menentukan

kecenderungan pandangan yang lebih kuat di antara mereka; dalam hal

ini ditentukan lebih dari setengah, tapi tidak bersifat mutlak. Keempat.

mendeskripsikan hasil telaahan tersebut dalam suatu rumusan tentang

spektrum petugas bimbingan di SMA menurut pakar bimbingan.

Data kedua, data dari para petugas bimbingan, pada dasarnya

diolah secara kuantitatif, yakni dengan menggunakan perhitungan sta

tistik sederhana — frekuensi. Data-data essai yang ditambahkan oleh

para responden dianalisis melalui analisis isi . Secara lebih rinci, lang

kah pengolahan data kedua ini dilakukan sebagai berikut. Pertama.

memverifikasi data. Kedua, mengelompokkan data sesuai dengan latar

belakang pendidikan responden. Ketiga. menghitung frekuensi dan

per-sentase jawaban "YA" untuk masing-masing kelompok responden serta mencatat jawaban-jawaban yang ditambahkan oleh mereka. Kempat, me-nafsirkan jawaban responden dengan menggunakan kriteria di atas 50 % untuk menetapkan bahwa suatu tugas itu merupakan suatu aktivitas

yang lajim dilakukan atau suatu kompetensi sebagai sesuatu yang

dikuasai oleh masing-masing kelompok petugas bimbingan. Data-data

pelengkap lainnya, seperti, lamanya pengalaman bekerja sebagai petugas

(48)

bimbingan, kedudukan dalam struktur organisasi bimbingan, serta yang

lain-lainnya juga dideskripsikan guna memperoleh gambaran yang lebih

komprehensif tentang responden yang diteliti.

Penelaahan data seperti dideskripsikan di atas, masing-masing

dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan penelitian pertama dan kedua,

sedangkan untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga, penelaahannya

dilakukan dengan memadukan hasil analisis data pertama dan data kedua

dilengkapi dengan rujukan lain yang relevan (P.P. No.29/1990 dan No.

38/1992). Di sini tidak lagi dilakukan analisis kuantitatif, melainkan

sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan analisis logis-komparatif.

Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut. Pertama.

Referensi

Dokumen terkait

Namun, dengan status sebuah negara membangun persoalan pendidikan dan sumber tenaga manusia di bidang teknik dan vokasional tidak kurang pentingnya; bukan sahaja dalam

Referensi ditulis dengan urutan : nama belakang penulis, nama penulis, judul artikel dengan huruf miring, judul/nama website dengan huruf tebal, pemilik website, tahun

HASIL YANG DICAPAI, hasil penelitian berdasarkan aspek pasar dan pemasaran menunjukkan permintaan yang meningkat setiap tahunnya yang dapat dilihat dari skenario peseimis,

Klasifikasi adalah proses yang digunakan ilmuwan untuk mengadakan penyusunan atau pengelompokkan atas objek-objek atau kejadian-kejadian. Keterampilan klasifikasi dapat dikuasai

Inti utama dari “Perancangan Buku Fotografi Artefak Kemaritiman di Koarmatim Surabaya” adalah untuk mengenalkan kepada penduduk di luar kota Surabaya dan terutama

Secara statistik terdapat perbedaan pengetahuan gizi antara mahasiswi LPP Graha Wisata Semarang dan mahasiswi Sastra Inggris Undip, dan sampel yang berada di

dalam website ini terdapat pemborosan yaitu ada banyak berita yang sama pada satu halaman website dan website inipun tidak konsisten dalam menggunakan

Pencarian ini dapat dikhususkan lagi jika pengguna telah mengetahui lebih dahulu jenis kata “kamus” yang mana yang akan dicari dengan mengetikkan angka homonimnya di dalam