• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB I"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem peradilan pidana dapat digam-barkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan, dapat diselesaikan dengan diaju-kannya si pelaku ke muka sidang pengadilan dan mendapat hukuman. Namun gambaran diatas bukanlah sebagai keseluruhan tugas dari sistem peradilan pidana itu karena sebagian tugas yang lain adalah bagaimana mencegah mereka yang sedang ataupun telah melakukan perbuatan pidana itu tidak mengulangi lagi perbuatan mereka yang melanggar hukum itu.

(2)

subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri

(subsystem of criminal justice system)1

Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem tentunya memiliki subsistem-subsistem seperti pendapat Sidik Sunaryo sebagai berikut:

Di dalam sistem peradilan pidana terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasya-rakatan dan advokat yang secara ke-seluruhan dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan sistem peradilan.2

Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai salah satu subsistem peradilan pidana memiliki tugas yang salah satu tugas tersebut adalah melakukan penyidikan. Penyidikan sendiri diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

1 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,

Semarang: BP Undip, hlm. 5

2 Sidik Sunaryo, 2005. Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM

(3)

Menurut Pasal 1 ayat (13) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di mana keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.3

Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketetertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, penga-yoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya

3 Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

(4)

ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia4.

Tindakan kepolisian adalah setiap tindakan atau perbuatan kepolisian berdasarkan wewe- nangnya dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum. Tindakan kepolisian memposisikan polisi sebagai subyek hukum artinya sebagai drager van de

rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan

kewajiban-kewajiban di mana kepolisian (sebagai lembaga maupun fungsi) melakukan berbagai tindakan yang bersifat tindakan hukum

(rechtelijkhandelingen) maupun tindakan yang

berdasarkan fakta/nyata (feitelijkhandelingen).

Di dalam melaksanakan tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat tersebut Kepolisian selalu melaksanakannya berdasarkan atas hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Tindakan hukum sendiri memiliki pengertian sebagai berikut:

Tindakan hukum adalah suatu tindakan yang menimbulkan akibat hukum tertentu seperti tindakan dalam rangka penegakan hukum (penangkapan, pemeriksaan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan lain-lain) atau

4 Kelik Pramudya, 2010, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum,

(5)

tindakan penertiban masyarakat pemakai jalan, unjuk rasa, pertunjukan dan lain-lain, sedangkan tindakan berdasarkan fakta/nyata artinya tindakan-tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum, oleh karena itu, tidak menimbulkan akibat-akibat hukum seperti penyelenggaraan upacara, peresmian kantor atau gedung-gedung kepolisian, dan lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh pejabat pemerintahan5.

Oleh karena itu, setiap tindakan yang dilakukan kepolisian khususnya di dalam proses penyidikan selalu menimbulkan akibat hukum tertentu, sehingga segala tindakan kepolisian di dalam proses penyidikan haruslah memiliki sandaran hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian dalam menangani kasus yang dilakukan oleh anak di antaranya adalah diversi, di mana pengertian diversi adalah:

Pemikiran tentang pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan-tindakan kebijak-sanaan dalam menangani atau menye-lesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan /melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari penyidikan, pe-nuntutan, pemeriksaan pada sidang pe-ngadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini dimaksudkan

5 Sadjijono, 2010, Memahami Hukum Kepolisian,

(6)

un-tuk mengurangi dampak negative ke-terlibatan anak dalam proses peradilan tersebut6.

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.7 Sehingga upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mung-kin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.8

6 Purniati, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk,

2003, Analisa Situasi Sistem Peradilan Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, Departemen Kriminologi Universitas Indonesia & UNICEF, hlm. 4.

7 Maidin Gultom, 2010, Perlindungan Hukum terhadap anak

dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung; Refika Aditama, hlm. 33

8 Penjelasan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

(7)

Pengertian anak dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak sebagai seseorang yang berlum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak meng-artikan Perlindungan Anak sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Mengenai penanganan anak yang berkonflik dengan hukum disebutkan dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa

“penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara

anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai

upaya terkhir”

Proses hukum formal merupakan jalan terakhir dalam menangani Anak Konflik Hukum9. Dalam penanganan Anak Konflik Hukum dikenal adanya konsep Restorative Justice, yang merupakan konsep penanganan Anak Konflik Hukum dengan melibatkan

9 Waluyadi, 2010, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju,

(8)

semua pihak, termasuk pelaku sendiri10. Polri tidak sesegera mungkin untuk membawa kasus yang kecil/ringan ke jalur penyidikan, namun lebih memprioritaskan untuk menyelesaikan perma-salahan tersebut dengan melibatkan pranata sosial yang ada di masyarakat dengan mengedepankan prinsip kemitraan

(partnership) dan pemecahan masalah (Problem

solving).

Fiat justisia ruat coelum, pepatah Latin ini

memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan”. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah di-implementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit berdalih penegakan dan kepastian hukum. Dan pendekatan Restorative Justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana,RumahTahanan dan Lembaga

Pemasyarakatan yang over capacity malah berimbas pada banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam

10 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung:

(9)

lingkungan rutan dan lapas. Pengawasan yang lemah tidak berimbang dengan banyaknya jumlah tahanan narapidana. Lapas seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam memasyarakatkan kembali para narapidana tersebut, malah seolah lapas telah bergeser fungsinya se-bagai academy of crime, tempat

dimana para narapidana lebih “diasah”

kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana11. Bagaimana dengan kepentingan korban dan korban, apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya. Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam sebuah kasus misalnya, posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian perkara tersebut. Pihak penegak hukum seakan tidak melihat kenyataan bahwa pihak korban di sini telah menyatakan bahwa tidak ada kepentingannya yang dilanggar karena yang terjadi hanyalah sebuah kesalah pahaman yang melibatkan para pelaku yang masih berusia anak-anak. Proses formil tersebut harus terus digulirkan karena sudah termasuk pada ranah hukum acara pidana, kilah penegak hu-kum pada umumnya.

Pendekatan Restorative Justice dalam penanganan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak juga telah dikuatkan melalui Putusan

(10)

Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 yang telah memberikan "pencerahan baru" dalam upaya memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak terutama terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law).

Uji materiil yang diajukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia/KPAI dan Yayasan Pusat dan Kajian Anak Perlindungan Medan atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1) dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi.

Di dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan bahwa Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tin-dakan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang pengadilan Anak tidak ada perubahan kemudian pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(11)

mengenai bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah)

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memutuskan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

1. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh;

2. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau 3. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau

Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Penjatuhan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

(12)

langsung mendorong korban hingga terjengkang, kemudian korban ditendang perutnya sebanyak 2 (dua) kali dan ditampar pipi sebelah kanan sebanyak 1 (satu) kali hingga merasakan sakit.

Atas perkara tersebut pihak Kepolisian Resor Tegal menggunakan pendekatan Restorative Justice terhadap Tersangka dengan berusaha menghubungi korban dan perkara ini dapat diselesaikan melalui pendekatan Restorative Justice.

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti dalam tesis ini sebagai berikut:

1. Mengapa dilakukan Restorative Justice dalam penyelesaian tindak pidana anak oleh Polres Tegal?

2. Apa kriteria yang digunakan dalam pendekatan

Restorative Justice dalam penye-lesaian tindak

pidana anak?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis alasan-alasan diguna-kannya pendekatan restorative justice system dalam penyelesaian tindak pidana anak.

2. Menganalisis kriteria pendekatan restorative

(13)

C. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini bagi pihak-pihak terkait adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum pidana pada umumnya dan khususnya di dalam implementasi dan me-kanisme penyelesaian perkara dengan restorative justice 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi hukum pidana khususnya dalam implementasi dan mekanisme penyelesaian perkara dengan restorative justice.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan karya orisinil dari penulis sebagai eksplorasi lebih dalam dan berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Konsep

restorative justice dalam penanganan tindak pidana

anak pernah dikaji dalam penelitian sebelumnya oleh beberapa penulis, namun pengkajiannya tersebut belum sampai pada ranah untuk memahami apa saja alasan-alasan digunakannya pendekatan restorative

justice di dalam penanganan tindak pidana anak

(14)

kendala-kendalanya dalam penanganan tindak pidana anak di dalam proses penyidikan.

E. Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan sebagai pendekatan (approach) untuk menganalisis dan menerapkan pendekatan restorative justice dalam kasus penyelesaian tindak pidana anak adalah teori keadilan restorative, teori hukum progresif dan teori hukum kritis.

1. Teori Keadilan Restorasi

Jim Consedine, salah seorang pelopor keadilan restoratif dari New Zealand berpendapat bahwa konsep keadilan reributif dan restitutif yang berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan dan perusakan harus digantikan oleh keadilan restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam ma-syarakat, pemaafan dan pengampunan12. Nilai-nilai keadilan memberikan perhatian yang sama terhadap korban dan pelaku. Otoritas untuk menentukan rasa keadilan ada di tangan para pihak bukan pada negara. Mereka tidak mau lagi menjadi korban kedua kali oleh negara dan menentukan derajat keadilan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka seperti dalam keadilan retributif dan restitutif. Considine mendorong

12 Fatahillah A. Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasan

(15)

penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif yang memi-nimalkan peran negara dan fokus pada pemulihan korban dan pelaku.

Consedine mendefinisikan keadilan restoratif sebagai: on repairing the damage.

(Tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai serangan terhadap negara, tetapi kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Keadilan restoratif berlandaskan pada kemanusiaan kedua belah pihak, pelaku dan korban. Tujuan dari proses restoratif adalah untuk memulihkan luka semua pihak yang disebabkan oleh kejahatan yang di-lakukan termasuk korban dan penjahat. Alternatif solusi dieksplorasi dengan fo-kus untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan)13

Munculnya keadilan restoratif sebagai alternatif penyelesaian sengketa merupakan jawaban dari kritik terhadap kelemahan sistem peradilan pidana yang ada sekarang yakni:

13 Jim Consedine, 1995, Restorative Justice; Healing the Effects of

(16)

a. ketidakefektifan dan kegagalan untuk mencapai tujuannya sendiri yakni perbaikan diri pelaku dan pencegahan tindak kriminal;

b. mengambil pusat konflik dari para pihak dan meminggirkan peran mereka;

c. kegagalan untuk membuat pelaku bertanggung jawab secara tepat dan berguna dan kurang tanggap terhadap kebutuhan korban;

d. ketergantungan pada penjatuhan hukum-an sebagai balasan terhadap penderitaan akibat kejahatan. Sebagai hasilnya pen-deritaan dibalas dengan penderitaan lain yang meningkatkan penderitaan dalam masyarakat, bukan menguranginya;

e. terpisah secara waktu, ruang dan hubungan sosial dari kejahatan yang dilakukan, permasalahannya dan para individu yang memperngaruhi terjadinya pengulangan kejahatan;

f. ketergantungan terhadap kontrol sosial formal bukan informal;

g. ketidaksensitifan terhadap keragaman budaya dan etnis;

h. tidak efisien, terutama terkait dengan lamanya waktu dalam memperoses per-kara; dan

i. biaya tinggi dalam makna sosial dan ekonomi.14

14 Adan Crawford and Tim Newburn, 2001, Youth Offending and

(17)

2. Teori Hukum Progresif

Hukum progresif berupa mengubah paradigma legalistik yang sudah terdogma dalam pikiran aparat penegak hukum untuk tidak hanya berpedoman pada teks hukum belaka15. Para penegak hukum harus mengamati dan menyesuaikan dengan perubahan sosial budaya yang terjadi di dalam masyarakat.

Gagasan hukum progresif bertolak dari dua komponen basis dalam hukum yaitu hukum dan perilaku. Jadi hukum sebagai peraturan dan hukum sebagai perilaku. Peraturan akan membangun suatu system hukum positif sedangkan perilaku atau manusia akan menggerakan peraturan dan system yang sudah dibangun. Sehingga dapat kita lihat ada peraturan yang tidak berlaku (black letter law, law on

paper, law in the book), Hukum hanya menjadi

janji-janji dan akan menjadi kenyataan (in action) apabila. ada campur tangan manusia. Hukum progresif berkehendak agar hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Hukum progresif bertumpu pada manusia yang melakukan mobilisasi hukum, maka penegak hukum menjadi faktor penentu bagi lahirnya hukum yang berpihak pada keadilan, ketertiban, kemanfaatan perdamaian. Oleh karena itu perlu ada kebijakan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan perlindungan hukum secara maksimal. Dalam artian apakah anak

15 Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta:

(18)

apabila berhadapan dengan hukum mesti diproses secara pidana atau tidak? Kalau diproses secara pidana apa parameternya? Kalau tidak juga perlu parametemya.Sesungguhnya apabila ada suatu kasus maka Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Ke-polisian Republik Indonesia . memberikan we-wenang kepada kepolisian untuk menge-luarkan deskresi.

Nonet dan Selnick membedakan tiga keadaan dasar mengenai hukum dasar ma-syarakat yaitu:

Pertama, Hukum represif, yaitu hukum sebagai alat kekuasaan represif;

Kedua, Hukum otonom, yaitu hukum sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri.

Ketiga, Hukum responsive, yaitu hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Hukum responsive terbuka terhadap perubahan-perubahan masyarakat dengan maksud untuk mengabdi pada usaha meringankan beban kehidupan sosial dan mencapai sasaran-sasaran kebijakan sosial, seperti keadilan sosial, emansipasi kelompok-kelompok sosial yang dikesampingkan dan diterlantarkan, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.

3. Teori Hukum Kritis

Teori hukum kritis juga bertujuan meningkatkan kondisi sosial golongan yang lemah

(19)

termasuk perempuan dan anak. Beberapa konvensi internasional mema-sukkan perempuan dan anak sebagai ke-lompok yang lemah karena selalu menghadapi banyak resiko dan rentan terhadap bahaya dari kelompok lain.16

Menurut pandangan teori hukum kritis, hukum di Indonesia hanya berpaku pada Undang-Undang tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis. Semestinya hukum tidak dapat berdiri sendiri tetapi harus ditopang oleh faktor sosiologis. Penegakan hukum di Indonesia tersandera oleh banyaknya aturan hukum tanpa memperdulikan esensi hukum tersebut untuk kepentingan masyarakat.

Hukum di Indonesia memenjarakan diri-nya sendiri pada tujuan keadilan dan kepastian hukum tanpa memerdulikan tujuan kemanfaatan. Bangsa ini harus menyadari bahwa hukum dibuat untuk manusia sehingga eksistensi hukum harus benar-benar dimaknai untuk memberikan kemanfaatan bagi seluruh manusia.

Penegakan hukum di Indonesia yang tanpa didasari pemahamaman akan filosofi dari tujuan pembuatan hukum itu sendiri menyebabkan terjadinya disorientasi dalam penegakan hukum. Disorientasi ini tampak dalam sistem pemidanaan yang hanya mampu memenjarakan orang tetapi tidak mampu mengembalikan keseimbangan dan persatuan

16 Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan: Kritik Teori Hukum

(20)

di tengah masyarakat yang terganggu akibat suatu tindak pidana. Sudah saatnya pene-gakan hukum di Indonesia dikembalikan kepada orientasi yang benar. Orientasi yang didasarkan pada keseimbangan antara faktor keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Pengembalian penegakan hukum di Indonesia pada orientasi yang benar dapat diawali dengan penerapan

restorative justice atau prinsip keadilan restoratif.

F. Metode Penelitian 1.Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan dalam tesis ini yaitu yuridis sosiologis atau Sosio-Legal

research, karena permasalahan yang diteliti berkaitan

erat dengan realitas sosial dan tingkah laku nyata manusia.17 Penelitian ini mencoba menelusuri secara mendalam (indepth) dan nyata terhadap sebuah fenomena penerapan hukum pidana dari konteks sosial. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat mengungkap sesuatu yang berkaitan erat dengan sifat unit dari realitas sosial dan dunia tingkah laku manusia, sehingga memperoleh gambaran yang jelas yang terkait langsung dengan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak.

17 Ronny Hanintijo Soemitro, 1982. Metode Penelitian Hukum.

(21)

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini, yaitu sebagai berikut :

a. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi suatu putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap18. Kasus yang digunakan oleh penulis adalah Berita Acara Pemeriksaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak di Polres Tegal yang diselesaikan melalui pendekatan Resto-rative justice seperti tersebut di dalam Latar Belakang Penelitian ini. Kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yang merupakan referensi bagi peneliti sebagai penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum pendekatan restorative

justice dalam pe-nyelesaian tindak pidana anak.

b. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach) Pendekatan Undang-undang dila-kukan dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan kasus yang ditangani. Dalam hal ini penulis menelaah Undang-undang yang berkaitan dengan pendekatan

restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana

anak seperti(a) Undang-undang Nomor 2 Tahun

18 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana,

(22)

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (c) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai Perubahan Atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

c. Jenis Bahan Hukum

Berkaiatan dengan data yang digunakan dalam penulisan tesis ini, maka bahan hukum yang digunakan antara lain:

1) Bahan Hukum Primer

Berikut ini peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah: (a)Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (c) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai Perubahan Atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Sedangkan Berita Acara Peme-riksaan dalam tindak pidana yang di-lakukan oleh anak yang diselesaikan melalui pendekatan

restorative justice digunakan juga sebagai

(23)

2) Bahan Hukum Sekunder

Dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan yang terkait dengan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak.

3.Metode Analisis

Data yang terkumpul akan dianalisis secara

yuridis-kualitatif. Analisis yuridis dilakukan karena

penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan

analisis kualitatif yaitu menggunakan tahapan

ber-pikir sistematis guna menemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini yakni pendekatan restorative justice dalam penyelesaian tindak pidana anak dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana Terpadu.

G. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

(24)

Bab II Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang menjadi acuan analisia penelitian adalah me-ngenai Konsepsi Tindak Pidana Yang Dilakukan Anak, Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pen-dekatan Restorative Justice

Bab III Hasil Penelitian dan Analisis

Dalam Bab III ini, penulis akan menjelaskan secara rinci mengenai ha-sil penelitian yakni analisis kriteria pertimbangan-pertimbangan digunakannya pendekatan restora-tive justice system dalam penye-lesaian tindak pidana anak oleh Polres Tegal dan analisis mengenai kriteria pendekatan restorative justice system dalam penyelesaian tindak pidana anak.

Bab IV Penutup

Pada Bab IV ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dari analisis dan saran atau masukan mengenai pertimbangan-pertimbangan

diguna-kannya pendekatan

restorative justice dalam

Referensi

Dokumen terkait

Ketentutan penanganan benturan kepentingan di Lingkungan PT Bhanda Ghara Reksa [PerseroJ tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari.

We then run a regression of log Q on our independent variables (i.e., board size, the num- ber of board meetings, the proportion of inde- pendent commissioners on the board,

IMPLEMENTASI STRATEGI PEMBELAJARAN INTERTEKSTUAL D ENGAN PROCESS ORIENTED GUIDED INQUIRY LEARNING (POGIL) PAD A KONSEP TINGKAT KEJENUHAN LARUTAN.. Universitas Pendidikan Indonesia

, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, karunia, kesehatan, kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaan magang serta penyusunan

Selaku Ketua Jurusan Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan pada

Analisis Shift Share menunjukkan dari tahun 2001-2010, Kabupaten Jember berspesialisasi pada sektor yang sama dengan sektor yang tumbuh cepat di perekonomian

[r]

Latar belakang Sirup maltosa merupakan bahan baku utama dalam produksi.. makanan dan