• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Eksploitasi Anak dalam Iklan:studi analisis semiotika Roland Barthes dalam iklan 3 Indie+ T1 362008041 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Representasi Eksploitasi Anak dalam Iklan:studi analisis semiotika Roland Barthes dalam iklan 3 Indie+ T1 362008041 BAB II"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Originalitas Penelitian

Originalitas penelitian menyajikan perbedaan dan persamaan bidang kajian yang diteliti antara peneliti dengan peneliti-peneliti sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk untuk menghindari adanya pengulangan kajian terhadap hal-hal yang sama. Dengan demikian akan diketahui sisi-sisi apa saja yang membedakan dan akan diketahui pula letak persamaan antara penelitian peneliti dengan penelitian-penelitian terdahulu. Dalam hal ini akan lebih mudah dipahami,jika peneliti menyajikannya dalam bentuk tabel dibandingkan dengan menyajikan dalam bentuk paparan yang bersifat uraian. Oleh karena itu, peneliti memaparkannya dalam bentuk tabel seperti dibawah ini :

(2)

Versi ”Bikin Good

Periklanan (advertising) adalah bisnis ide dan kreatifitas (Roman, Maas & Nisenholtz, 2005).Periklananmerupakan suatu upaya komunikasi yang dilakukan oleh produsen kepada konsumen untuk meunjang proses pemasaran.

(3)

Klepper (seperti dikutip Liliweri, 1997:17) “Iklan atau advertising berasal dari

bahasa latin “avere” yang berarti mengoperkan gagasan dan pikiran kepada pihak

lain”. Wright (Seperti dikutip Liliweri, 1997:10) “iklan merupakan suatu proses

komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide

melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif”. Menurut Rhenald

Kasali (1992:21), secara sedrhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan oleh suatu masyarakat lewat suatu media.

Namun demikian, untuk membedakannya dengan pengumuman biasa, iklan lebih diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli.

Ciri-ciri iklan yang baik

1. Etis, berkaitan dengan kepantasan.

2. Estetis, berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan).

3. Artistik, bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.

2.2.2. Fungsi Iklan

Menurut Shimp, secara umum, periklanan memiliki beragam fungsi komunikasi yang penting bagi perusahaan bisnis dan organisasi lainnya. Fungsi periklanan yaitu:

1. Informing, periklanan membuat konsumen sadar akan merek-merek baru, mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta memfasilitasi penciptaan citra mereka yang positif.

2. Persuading, iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk) pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang ditawarkan.

3. Remiding, iklan menjaga agar iklan tetap terjaga dalam ingatan konsumen. 4. Adding Value, periklanan memberi nalai tambah nilai merek dengan

mempengaruhi persepsi konsumen.

5. Bantuan untuk upaya lain perusahaan, periklanan adalah pendamping dan memfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran.

(4)

to whom, with what effect, and in which channel. Dalam penjelasan ini Laswell menunjukan sebuah kegiatan komunikasi yang menggunakan saluran-saluran komunikasi. Saluran-saluran ini yang kemudian diwujudkan melalui penggunaan sebuah media, yang salah satunya adalah media televisi. Jefkins (1997:109-110) menyatakan bahwa terdapat beberapa keunggulan iklan televisi, diantaranya:

1. Kesan realistik, karena sifatnya yang visual, dan merupakan kombinasi warna-warna,suara, dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan nyata

2. Masyarakat lebih tanggap, karena iklan televisi ditayangkan di rumah-rumah dalam suasana yang serba santai atau rekreatif maka masyarakat lebih siap untuk memberikan perhatian.

3. Repetisi atau pengulangan, iklan televisi bisa ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya, dan dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu bangkit.

Iklan begitu penting dalam upaya memahami tatanan signifikansi modern, maka tidak heran jika iklan menjadi sangat menarik bagi pakar semiotika. Dalam periklanan, bahasa umunya merupakan sarana untuk menegaskan, mengacu atau semata-mata untuk menyatakan makna subtekstual. Menurut Danesi, (2010:379-380), ada banyak teknik verbal yang digunakan pengiklan untuk mewujudkan tujuan ini dan secara lebih umum untuk memuaskan produk kedalam kesadaran sosial.

2.2.3. Kode Etik dan Sanksi dalam Periklanan

Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang

dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan

(5)

Selain hal-hal tersebut EPI juga mengatur beberapa hal misalnya tentang tata karma pemeran iklan yaitu Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya.Dalam EPI juga diberikan beberapa prinsip tentang keterlibatan anak-anak di bawah umur seperti antara lain:

a. Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.

b. Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya,

menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.

c. Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu

produk yang bukan untuk anak-anak.

d. Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan

permintaan anak-anak mereka akan produk terkait (lihat halaman 34 EPI).

2.3.

REPRESENTASI

Representasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan mewakili, keadaan mewakili, apa yang mewakili, perwakilan. Representasi di pahami sebagai

gambaran sesuatu yang akurat atau realita terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to presentasi”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai

apa yang telah diberikan pada benda yang digambarkan. Representasi merupakan hubungan

antara konsep-konsep dan bahasa yang menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu objek, realitas atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa

(Hermawan, 2011:234).

Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hall berargumentasi bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Hall menunjukan bahwa sebuah imaji akan memepunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta.

Hall menyebut ‘representasi sebagai konstitutif’. Representasi tidak hadir sampai

(6)

Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Stuart Hall menganggap bahwa ada yang salah dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji yang dimunculkan oleh media semakin memburuk. Hall mengamati bahwa media cenderung sensitif pada gaya hidup kelas menengah keatas, mayoritas masyarakat yang sudah teratur.

2.4.

EKSPLOITASI ANAK

Eksploitasi ‘exploitation’ yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi kesejahteraan. Dalam realita kehidupan sehari-hari, anak banyak di jadikan sebagai “Senjata

Pencari Uang” bagi kalangan kaum dewasa. Eksploitasi anak adalah sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak. Hal ini biasa dilakukan oleh seseorang maupun sekelompok orang dewasa dengan cara memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik. Pemerasan tenaga anak ini tentu tanpa memperhatikan hak-hak anak dalam mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis & status sosialnya. Dengan kata lain eksploitasi anak dapat juga diartikan dengan memanfaatkan anak secara tidak etis demi kebaikan ataupun keuntungan sendiri, orang lain, maupun kepentingan bersama.

2.5.

SEMIOTIKA

2.5.1.Pengertian Semiotika

Semiotik sebagai suatu model dari pengetahuan sosial memahami dunia sebagai

sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda yang lain yang digunakan dalam konteks sosial. Secara etimologis istilah semiotika berasal

dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti ’tanda’(Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau

seme,yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) (dalam Sobur, .2004: 16).

Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja.

(7)

semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistemnya serta proses pelambangan.

Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure mewakili tradisi Eropa. Semiologi menurut Saussure seperti dikutip seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Hidayat,

1998:26). Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda.

Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (thing). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to comunicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2006:15).

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda.

Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).

(8)

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified, adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Elemen-elemen makna dari Saussure

Sumber : Alex Sobur , “Analisis Teks Media” (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004)

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signified. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44). Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal

dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).

Barthes dalam Sobur (2004: 15) menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

(9)

kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular culture dan media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer (2003: 53), Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial (Hermawan, 2011: 251).

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Ini disebut Barthes

sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Konotasi mempunyai makna yang

subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap dalam gambar berikut ini:

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Sumber : Alex Sobur, “Semiotika Komunikasi” (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004)

(10)

bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Sementara itu petanda konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi.

1) Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama (Denotasi)

Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotasi justru diasosiasikan dengan

ketertutupan makna (Sobur,2009:70).

Menurut Lyons (dalam Sobur,2009:263) denotasi adalah hubungan yang digunakan

dalam tingkat pertama pada kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran.

Harimurti Krisdalaksana (dalam Sobur,2009:263) mendefinisikan denotasi sebagai makna kata atau sekelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan sifatnya objektif. Denotasi dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya bahkan kadang juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Di dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama sementara konotasi merupakan tingkat kedua.

Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna khusus yang terdapat pada sebuah tanda pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata yang disebut sebagai makna referensial, makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Keraf (dalam Sobur,2009:265) mengungkapkan bahwa makna denotasi (denotative meaning) disebut juga dengan

beberapa istilah seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual atau ideasional, makna referensial atau makna proposisional. Disebut makna denotasional,

referensial, konseptual atau ideasional karena makna itu menunjuk pada (denote) kepada satu referen, konsep, atau ide tertentu dari sebuah referen. Disebut makna kognitif karena makan itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan. Dan makna ini disebut juga dengan makna proposisional pernyataan yang bersifat fakual.

(11)

Misalnya kata ‘ayam’ mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas teretntu yang

memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan telur.

2) Sistem Penandaan Tingkat Kedua (Konotasi)

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasin tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain,

Fiske (dalam Sobur,2009:128) mengatakan bahwa denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek sedangkan konotasi adalah bagaimana

menggambarkannya.

Konotasi menempatkan denotasi sebagai penanda terhadap petanda atau signified baru sehingga melahirkan makna konotasi (second order signification). Penanda dalam pemaknaan konotasi terbentuk melalui tanda denotasi yang digabungkan dengan petanda baru atau tambahan sehingga tanda denotaso akan sangat menentukan signifikasi selanjutnya.

Dalam kerangka Barthes,konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainya.

Jika denotasi sebuah kata adalah objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya. Arthur Asa Berger (Sobur,2009:263) mengemukakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna deotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka

makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil.

(12)

lay out, technical treatment, choice). Untuk memunculkan sebuah makna konotasi,

Barthes (2010:6) menyusun tahap-tahap konotasi. Agar dipahami dengan jelas, tiga tahap pertama (trick effect, pose and object) harus dibedakan dengan tiga tahap terakhir (photogenia, aesthetisicm dan sintax). Tahap ini sudah sering didengar dan tidak dijelaskan dengan detail, tetapi hanya diposisikan secara struktural.

a. Trick Effect ( efek tiruan)

Trick effect memanfaatkan kredibiltas yang dimiliki oleh foto. Trick effect

merupakan syarat konotasi yang melihat teknik-teknik visual yang terdapat

dalam shot. Seperti kita lihat merupakan kekuatan luar biasa denotasi untuk mengelupas pesan yang seolah-olah hanya bersifat denotatif belaka, tetapi sarat

dengan muatan konotatif. Metode ini memanipulasi atau meniadakan beberapa hal atau mengubah latar warna. Trick effect bisa mengubah hal penting dalam suatu scene atau mungkin hanya berperan minor seperti pencahayaan atau kontras warna.

b. Pose (sikap)

Ketika berbicara tentang pose, otomatis kita langsung teringat kepada objek tubuh. Pose merupakan komunikasi non verbal yang dilihat melalui bahasa tubuhnya. Metodenya misalnya dilakukan dengan cara menampilkan gambar setengah tubuh, tatapan mata ke atas, kedua tangan menyatu. Gerakan-gerakan diatas jika ditampilkan akan terlihat seseorang yang seolah-olah berdoa.

c. Object (objek)

Pengaturan sikap atau posisi objek mesti sunguuh-sungguh diperhatikan karena makna akan diserap dari objek yang diambil. Daya tarik akan semakin besar apabila objek yang digunakan bisa merujuk pada jejaring ide tertentu (rak buku merujuk pada intelektualitas) atau kalau mau lebih rumit lagi, simbol-simbol berkesan dalam masyarakat (pintu kamar gas yang menjadi tempat eksekusi

mati seorang tahanan merujuk pada pintu gerbang pemakaman dalam mitologi kuno). Objek-objek ini bisa menjadi elemen luar biasa bagi proses pertandaan. d. Photogenia ( fotogenia)

(13)

e. Aesthetisicm (estetis)

Aestheticism erat kaitannya dengan ‘seni’. Aestheticism berhubungan dengan keindahan. Dalam suatu scene bisa ditemukan gambaran yang sudah diatur begitu rupa hingga tampak seperti lukisan. Ide-ide yang terkandung dalam aestheticism mirip dengan seni lukis. Aestheticism melihat pada makna keseluruhan makna gambar layaknya lukisan. Jika gambar biasa hanya menampilkan sosok, benda, dan menawarkan fakta saja tetapi aestheticism melihat secara keseluruhan. Gambar pedesaan di sore hari ketika matahari

terbenam misalnya bisa diartikan sebagai ketenangan atau kedamaian. f. Sintax (sintaksis)

Sintax adalah gabungan yang membentuk makna. Jika kelima syarat diatas

hanya melihat scene per scene maka sintax melibatkan beberapa scene untuk melihat makna yang terkandung di dalamnya.

3) Mitos

Budiman (dalam Sobur,2009:71) mengatakan dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun Sobur (2009:71) mengatakan sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem

pemaknaaan tataran kedua.

(14)

Kata ‘mitos’ berasal dari bahasa Yunani ‘myhtos’ yang berarti ‘kata’, ‘ujaran’, ‘kisah

tentang dewa-dewa’. Sebuah mitos adalah narasi yang karakter-karakter utamanya adalah para dewa, para pahlawan dan makhluk mistis, plotnya berputar disekitar asal muasal benda-benda atau di sekitar makna benda-benda dan settingnya adalah dunia metafisika yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos berfungsi sebagai teori asli mengenal dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan kisah-kisah untuk menjelaskan asal-usul mereka (Danesi, 2010:207). Menurut Urban

(Sobur, 2009:222) mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami realitas. Menurut Molinowski (Sobur, 2009:222) mitos adalah pernyataan purba tentang realitas yang lebih

relevan.

Mitos menciptakan suatu sistem pengetahuan metafisika untuk menjelaskan asal-usul, tindakan dan karakter manusia selain fenomena dunia. Sistem ini adalah suatu sistem yang secara instingtif kita ambil bahkan hingga saat ini untuk menyampaikan pengetahuan tentang nilai-nilai dan moral awal kepada anak-anak. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Dengan mempelajari mitos, kita dapat mempelajari bagaimana masyarakat yang berbeda menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang dunia dan tempat bagi manusia di dalamnya. Kita dapat mengkaji mitos untuk mempelajari bagaimana orang-orang mengembangkan suatu sistem sosial khusus dengan banyak adat-istiadat dan cara hidup, dan juga memahami secara lebih baik nilai-nilai yang mengikat para anggota masyarakat untuk menjadi satu kelompok.

Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita

tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe

wacana.

(15)

serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator. (Hermawan, 2011: 253).

2.5.3.Semiotika Iklan

Pada awalnya iklan dikenal oleh masyarakat melalui media yang terbatas. Iklan dikenali pada media cetak seperti iklan pada Koran maupun iklan yang dipasang dalam suatu media sebagai relief atau papan nama. Perkembangan iklan mengikuti perkembangan media

yang memuatnya sehingga saat ini iklan terus berevolusi bentuknya sesuai dengan industri yang menaunginya. Berawal dari iklan yang dipasang melalui papan-papan pengumuman,

kemudian berkembang menjadi iklan yang disiarkan melalui radio dan berkembang lebih jauh menjadi iklan yang ditayangkan pada televisi dan internet.

Sebagai sebuah bangunan representasi, iklan sebagai sistem pertandaan tidak hanya mencerminkan realitas manfaat dari produk yang ditawarkan namun iklan juga merepresentasikan maksud atau gagasan yang tersembunyi dari penggagasnya. Prinsip semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi tanda, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio dan audiovisual.

Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giacardi berpendapat bahwa iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan, memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperrealistik. Menurutnya iklan berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas nyata yang ada di masyarakat. Suharko mengatakan iklan berusaha merepresentasikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah

juga bagian dari kesadaran budayanya (Wibowo, 2011: 128).

(16)

Dalam hal ini akan dicari gambaran seperti apa tanda sebagai sebuah sistem dalam realitas simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem representasi yang terdapat dalam konstruksi iklan tersebut (Wibowo, 2011: 129).

Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik tanda verbal yang mencakup bahasa yang kita kenal maupun tanda non verbal yaitu bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004: 116).

Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991)

mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi

dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain. Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua

adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musikdan suara. Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti

konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level

Gambar

Gambar 1. Elemen-elemen makna dari Saussure
Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Siswa pada kelas unggulan mengalami kecemasan yang lebih tinggi dalam menghadapi ujian akhir semester dibandingkan dengan siswa kelas non

[r]

[r]

Telah dilakukan penelitian yang berjudul Pengembangan Media Pembelajaran Buletin pada Materi Hukum-hukum Dasar Kimia Kelas X SMA/MA di Banda Aceh.. Penelitian ini bertujuan

Pada hari ini Rabu, tanggal Tiga Belas bulan September tahun Dua ribu tujuh belas, yang bertandatangan dibawah ini Pejabat Pengadaan pada Dinas Pertanian Kabupaten Humbang

PENGETAHUAN PETERNAK TENTANG PEMAHAMAN KETERKAITAN GEJALA BERAHI DENGAN KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI DI KECAMATAN LENGAYANG KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATERA

Pada hari ini Jumat tanggal Dua Belas bulan Sembilan tahun dua ribu empat belas , Pokja III yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati Hulu Sungai Selatan Nomor 391 Tahun